Anda di halaman 1dari 13

Difteri adalah suatu penyakit infeksi yang disebarkan dari orang ke orang melalui percikan ludah dari

tenggorokan melalui batuk dan bersin. Penyakit ini biasanya muncul 2 sampai 5 hari setelah terinfeksi.
Difteri umumnya menyerang tonsil, faring, laring dan kadang kulit. Gejala berkisar dari gejala ringan
seperti nyeri menelan sampai berat yang mengancam jiwa, seperti difteri laring atau saluran nafas atas
dan bawah. Difteri seringkali diikuti dengan komplikasi miokarditis dan neuritis. Penyakit ini dapat
berakibat fatal. Lima sampai sepuluh persen pasien difteri meninggal,
meski telah mendapat pengobatan. Apabila tidak diobati, penyakit ini
dapat mengakibatkan lebih banyak kematian. Pasien yang tidak diobati
dapat menularkan sampai 2-3 minggu sehingga berpotensi untuk
menimbulkan wabah. Berdasarkan panduan WHO, definisi kasus klinis
pada KLB difteri adalah laringitis, faringitis atau tonsilitis disertai
pseudomembran di tonsil, faring dan/atau hidung. Isolasi C. diphtheria
dari apus tenggorok merupakan kriteria diagnostik laboratorium.4
Sedangkan berdasarkan buku pedoman Penanggulangan KLB Difteri
Provinsi Jawa Timur adalah sebagai berikut: kasus suspek difteri adalah
orang dengan gejala laringitis, nasofaringitis atau tonsilitis ditambah pseudomembran putih keabuan
yang tak mudah lepas dan mudah berdarah di faring, laring, tonsil. Kasus probable difteri adalah suspek
difteri ditambah salah satu dari : a)Pernah kontak dengan kasus (<2 minggu),b)Ada didaerah endemis
difteri, c)Stridor, bullneck, Perdarahan submukosa atau petekie pada kulit, d)Gagal jantung, gagal ginjal
akut, miokarditis dan atau kelumpuhan motorik 1 s/d 6 minggu setelah awitan, e)Mati. Kasus konfirmasi
Difteri adalah kasus probable yang hasil isolasi ternyata positif C. difteriae yang toksigenik (dari usap
hidung, tenggorok, ulkus kulit, jaringan, conjungtiva, telinga, vagina) atau serum antitoksin meningkat 4
kali lipat atau lebih (hanya bila kedua sampel serum diperoleh sebelum pemberian toksoid
difteri atau antitoksin)5.

1. EPIDEMIOLOGI

Pada awal tahun 1990, WHO melaporkan endemic difteri diBrazil, India, Indonesia, Filipina, dan
beberapa bagian dari Uni Soviet. Angka kematian berkisar 5-10%, dan lebih tinggi pada anak usia < 5
tahun [1].

Penelitian di India, melaporkan bahwa insiden tertinggi terlihat pada kelompok umur 0-5 tahun (58%),
rasio laki-laki banding perempuan 1,833:1, Sebagian besar pasien berasal dari pedesaan (47%) dan
wilayah kesukuan (39,5%) [3].

2. ETIOLOGI

Difteri adalah penyakit infeksi akut yang terjadi secara lokal pada mukosa atau kulit, yang disebabkan
oleh basil Gram Positif Corynebacterium diphteriae dan Corynebacterium ulceran [1].

Korinebakteri berdiameter 0,5-1 µm dan panjang beberapa mikrometer. Secara khas, organisme ini
memiliki pembengkakan iregular pada satu ujung yang memberikan gambaran “bentuk gada”. Pada agar
darah, koloni C. diphteriae berukuran kecil, granular, dan berwarna abu-abu, dengan tepi tidak teratur,
dan dapat mempunyai zona hemolisis. Pada agar kalium telurit, koloni berwarna coklat hingga hitam,
karena telurit di reduksi secara intrasellular [2].

3. PATOGENESIS

Bakteri biasanya memasuki tubuh melalui saluran pernafasan bagian atas, tapi dapat juga masuk
melalui kulit, genital, atau mata. C. diphteriae dalam hidung atau mulut berkembang di sel epitel saluran
nafas atas terutama tonsil, kadang kulit, konjungtiva, dan genital. Basil menghasilkan eksotoksin yang
menyebabkan reaksi inflamasi lokal, selanjutnya terjadi kerusakan jaringan dan nekrosis [1].

Toksin terdiri atas 2 fragmen, fragmen B berikatan dengan reseptor penjamu dan sifat proteolitik yang
memotong lapisan membrane lipid, sehingga membantu fragmen A masuk ke sel penjamu. Selanjutnya
terjadi destruksi epitel dan nekrosis. Pada daerah nekrosis terbentuk fibrin yang diinfiltrasi sel darah putih
membentuk patchy exudat. Pada keadaan lanjut, toksin diproduksi lebih banyak dan nekrosis semakin
luas. Jika membrane menyebar ke bronchial dapat menimbulkan dispneu. Kerusakan jaringan lokal,
menyebabkan toksin menyebar melalui limpa dan hematogen ke organ lain seperti miokardium, ginjal,
dan system saraf [1].

Kriteria laboratorium untuk diagnosis difteri:


Isolasi Corynebacterium diphteriae dari spesimen klinis, atau antibodi serum meningkat 4 kali atau
lebih (hanya bila kedua sampel serum diperoleh sebelum pemberian toxoid difteri atau antitoxin).
Klasifikasi kasus difteri
Kasus probable difteri adalah kasus yang memenuhi deskripsi klinis difteri
Kasus konfirmasi difteri adalah kasus probable difteri yang dipastikan melalui pemeriksaan
laboratorium atau berhubungan secara epidemiologi dengan kasus terkonfirmasi laboratorium.
Tata Laksana
Semua kasus yang memenuhi kriteria di atas (probable difteri) harus diperlakukan sebagai difteri
sampai terbukti bukan.
Pengobatan
Tujuan pengobatan penderita difteri adalah menginaktivasi toksin yang belum terikat secepatnya,
mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi C. diphtheriae
untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteri.
Umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok negatif 2 kali berturut-
turut dengan jarak 24 jam. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3 minggu. Istirahat tirah
baring selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat.
Khusus
Antitoksin: Anti Diphtheria Serum (ADS)
Antitoksin diberikan segera setelah ditegakkan diagnosis difteri. Dengan
pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada penderita kurang
dari 1%, namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6, angka kematian ini bisa
meningkat sampai 30%.

Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit terlebih dahulu, oleh karena pada pemberian ADS
dapat terjadi reaksi anafilaktik, sehingga harus disediakan larutan adrenalin 1:1000 dalam semprit.
Uji kulit dilakukan dengan penyuntikkan 0,1 ml ADS dalam larutan garam fisiologis 1:1.000 secara
intrakutan. Hasil positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi > 10 mm. Bila uji kulit positif, ADS
diberikan dengan cara desensitisasi (Besredka). Bila uji hipersensitivitas tersebut diatas negatif, ADS
harus diberikan sekaligus secara intravena. Dosis ADS ditentukan secara empiris berdasarkan berat
penyakit dan lama sakit, tidak tergantung pada berat badan pasien, berkisar antara 20.000-100.000
KI seperti tertera pada tabel 5. Pemberian ADS intravena dalam larutan garam fisiologis atau 100 ml
glukosa 5% dalam 1-2 jam. Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping obat dilakukan
selama pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya. Demikian pula perlu dimonitor
terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness).
Antibiotik
Antibiotik diberikan untuk membunuh bakteri dan menghentikan produksi toksin. Penisilin prokain
25.000 - 50.000 U/kgBB/hari (maksimum 1,2 juta U/hari) selama 14 hari. Bila terdapat riwayat
hipersensitivitas penisilin diberikan eritromisin 40 mg/kgBB/hari (maksimum 2 g/hari) dibagi 4
dosis, interval 6 jam selama 14 hari. Algoritma
Kortikosteroid
Kortikosteroid diberikan untuk kasus difteri yang disertai dengan gejala obstruksi saluran napas
bagian atas (dapat disertai atau tidak bullneck) dan bila terdapat penyulit miokarditis. Prednison 2
mg/kgBB/hari selam 2 minggu kemudian diturunkan bertahap
Trakeostomi
Bila tampak kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernapasan yang progresif merupakan indikasi
tindakan trakeostomi.
Pengobatan kontak
Kontak erat adalah orang serumah atau orang lain yang memiliki kontak erat satu rumah, guru,
petugas kesehatan yang terpapar dengan sekret nasofaring, orang-orang yang menggunakan
perangkat masak atau makan minum yang sama dan pengasuh anak yang terinfeksi. Pada orang
yang mengalami kontak tanpa memandang status imunisasi seyogyanya diimunisasi sampai hal-hal
berikut dilakukan yaitu (a) Biakan hidung dan tenggorok (b) Semua kontak dipantau apakah timbul
gejala selama masa inkubasi, 7 sampai 14 hari (c) Anak yang telah mendapat imunisasi dasar
diberikan booster toksoid difteri, yang belum diimunisasi segera melengkapi imunisasi.
Pengobatan karier
Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan tanda dan gejala difteri,
tetapi pada kultur swab tenggorok ditemukan basil difteri dalam nasofaringnya.
Pengobatan untuk karier adalah benzatin penisilin G 600.000 unit untuk anak <30
kg dan 1,2 juta unit untuk anak > 30 kg, atau eritromisin 40-50 mg/kgBB/hari
dibagi 4 dosis selama 7 hari, maksimum (1 gram/hari). Pemantauan dilakukan
sampai ada hasil kultur, jika masih positif, antibiotik diberikan lebih lama.
6. PROGNOSIS

Prognosis bergantung pada virulensi basil, lokasi dan luas membrane, kekebalan penderita, cepat
lambatnya pengobatan, dan pengobatan yang diberikan. Pada difteri dengan keterlibatan jantung
prognosisnya buruk dengan angka kematian 60-90% [1].

7. PENCEGAHAN

Pencegahan terbaik dengan vaksinasi. Untuk vaksin anak dan remaja dengan DTaP dan dewasa Tdap
tiap 10 tahun atau ketika terjadi paparan [1].

Membatasi kontak dengan basil seminimal mungkin, pasien difteri harus diisolasi dan bahayanya dapat
dikurangi dengan pemberian antibiotic [2].

Faktor faktor kemungkinan penyebab terjadinya KLB difteri di Indonesia Munculnya KLB Difteri dapat
terkait dengan adanya immunity gap, yaitu kesenjangan atau kekosongan kekebalan di kalangan
penduduk di suatu daerah. Kekosongan kekebalan ini terjadi akibat adanya akumulasi kelompok yang
rentan terhadap Difteri, karena kelompok ini tidak mendapat imunisasi atau tidak lengkap imunisasinya.
Akhir-akhir ini, di beberapa daerah di Indonesia, muncul penolakan terhadap imunisasi Adanya
miskonsepsi beberapa orang atau kelompok terhadap vaksinasi merupakan salah satu faktor penyebab
terjadinya KLB di Indonesia dan kelompok ini harus didekati secara khusus.
Selain itu, petugas kadang menunda imunisasi pada anak yang sakit ringan padahal imunisasi tidak boleh
diberikan hanya pada keadaan defisiensi imun dan riwayat syok anafilaksis pada pemberian vaksin
terdahulu. Vaksin difteri mengandung toksoid yang memerlukan pemberian iImunisasi penguat untuk
tetap mempertahankan titer antibodi pada ambang pencegahan. Untuk itu diperlukan suntikan
sebanyak 5 kali sebelum mencapai umur masuk sekolah dasar. Selain itu, kualitas vasin dapat
mempengaruhi efektivitasnya. Hal ini sangat ditentukan oleh rantai dingin distribusi sehingga perlu
dilakukan pemantauan transportasi dan penyimpanannya.
.

Bagaimana mengendalikan KLB? Metode yang paling efektif adalah imunisasi masal seluruh populasi.
Individu yang kontak erat dengan pasien harus diidentifiksi dan segera diobati dengan antibiotik.
Penyakit harus didiagnosis secara dini dan prosedur tatalaksana kasus dengan baik untuk mencegah
komplikasi dan kematian. Kuncinya adalah surveilans termasuk deteksi sumber penularan, verifikasi KLB,
penyusunan program strategis pencegahan dan pengendalian, pembangunan prasarana kesehatan
masyarakat dan penelitian.

Tata Laksana Anak harus dirawat di ruang isolasi, dan diperiksa laboratorium. Pengobatan memerlukan
pemberian antitoksin difteri dan antibiotik. Pengobatan dengan antibiotik umumnya menjadikan pasien
menjadi tidak menularkan dalam 24 jam. Apabila tidak di imunisasi, anak dan dewasa dapat terinfeksi
berulang dengan penyakit ini, untuk itu lakukan segera setelah sembuh. Apabila belum lengkap,
sesuaikan dengan status imunisasinya.

Manajemen kontak5 Untuk memutuskan rantai penularan, seluruh anggota keluarga serumah harus
segera diperiksa oleh dokter dan diperiksa apus tenggorok untuk menentukan status mereka apakah
mereka penderita atau karier (pembawa kuman) difteri dan mendapat pengobatan (eritromisin 50mg/kg
berat badan selama 5 hari). Awasi ketat selama 7 hari mulai tanggal terakhir kontak. Lakukan desinfeksi
serentak dan menyeluruh terhadap barang yang terpapar dengan penderita. Beri eritromisin pada
semua orang serumah tanpa melihat status imunisasi. Bila kontak menangani makanan dan anak
sekolah, bebaskan dari tugas tersebut sementara. Berikan vaksin pada fase konvalesen sesuai
rekomendasi.

Vasksinasi DPT

Bila sehat, maka selama masa bayi, DPT diberikan 3 kali, paling dini umur 6 minggu, selang 4 minggu.
Kombinasi toksoid difteri dengan vaksin tetanus dan pertussis merupakan bagian Program
Pengembangan Imunisasi (PPI) Kementerian Kesehatan RI semenjak tahun 1974. Setelah imunisasi
dasar, masa proteksi berkisar sekitar 10 tahun. Daya kebal di perkuat melalui paparan strain toksigenik
C. diphtheria. Apabila tidak ada boosting alamiah, untuk mempertahankan kekebalan diperlukan dosis
penguat toksoid difteri setelah bayi dan umur masuk sekolah. Untuk memutus transmisi pada KLB
dilakukan pemberian profilaksis antibiotik terhadap kontak dan pemberian Imunisasi pada yang berisiko
(Outbreak response immunization/ORI), yaitu: DT pada usia 3-5 tahun dan 5-7 tahun sedangkan Td pada
usia >7-15 tahun. Anak usia 1-3 tahun yang belum lengkap dilakukan imunisasi DPT-Hepatitis B.
Imunisasi dilakukan selain di tempat tinggal, juga dilakukan di sekolah. Menurut CDC, pemberian rutin
vaksin DPT harus diberikan pada umur 2, 4, 6 selanjutnya antara 15 sampai 18 bulan, dan umur 4 sampai
6 tahun. Dosis ke empat dapat diberikan paling dini pada umur 12 bulan, paling tidak 6 bulan setelah
diberikan dosis ke tiga. DPT dan dan apabila tersedia DTaP dapat diberikan paling dini pada umur 6
minggu. Apabila datang terlambat, maka selang minimum antara dosis 1, 2 dan 3 adalah 4 minggu,
sedangkan dari dosis 3 ke 4, dan dari dosis 4 ke dosis ke 5 dianjurkan selang minimal masing masing 6
bulan (Tabel 1 dan 2).

Bagi anak 7 sampai 18 tahun, selang minimum antar dosis 1 ke dosis 2, dosis 2 ke dosis 3 adalah 4
minggu, sedangkan apabila dosis pertama DTaP/ DT diberikan sebelum mencapai umur 1 tahun, maka
selang antara dosis 3 ke dosis 4 adalah 4 minggu, sedangkan apabila dosis pertama DTaP/DT telah
diberikan pada atau sesudah umur 1 tahun maka dosis selanjutnya diberikan selang 6 bukan sebagai dosis
final. Apabila dosis ke empat telah diberikan setelah umur 4 tahun, maka dosis kelima DTaP tidak lagi
diperlukan.

Apabila tersedia vaksin Tetanus and diphtheria toxoids and acellular pertussis (Tdap) (Umur minimum
diberikan: 10 tahun), maka dapat diberikan vaksin Tdap 1 dosis pada semua remaja umur 11 sampai 12
tahun. Pemberian rutin dapat diberikan tanpa melihat selang terakhir vaksin yang mengandung toksoid
difteri. Remaja hamil dapat diberikan selama masa kehamilan dengan pilihan masa kehamilan antara 27-
36 minggu, tidak bergantung selang pemberian vaksinasi Td atau Tdap. Anak umur 7 tahun atau lebih
yang status imunisasinya tidak lengkap harus di vaksinasi dengan vaksin Tdap sebagai dosis pertama,
dan apabila diperlukan dosis tambahan, maka dapat digunakan vaksin Td. Pada anak berumur 7 sampai
10 tahun yang diberikan satu dosis Tdap sebagai dosis pertama, tidak perlu diberikan vaksin Tdap pada
umur 11 sampai 12 tahun sebagai imunisasi pada remaja, sebagai gantinya berikan Td setelah 10 tahun
pemberian Tdap. Anak umur 11 sampai 18 tahun yang belum diberikan vaksin Tdap harus menerima
satu dosis diikuti dengan dosis penguat Td setiap 10 tahun sesudahnya. Apabila vaksin DTaP diberikan
pada anak 7 sampai 10 tahun, maka ini dianggap merupakan bagian dari seri catch-up. Dosis ini
diangap sebagai dosis Tdap remaja, atau anak ini selanjutnya dapat diberikan dosis penguat Tdap pada
umur 11 sampai 12 tahun. Apabila pemberian DTaP diberikan pada remaja 11 sampai 18 tahun, maka
dosis tersebut harus dihitung sebagai dosis booster pada masa remaja (Tabel 2.).16 5

DEFINISI OPERASIONAL KLB


Suatu wilayah dinyatakan KLB Difteri jika ditemukan minimal 1 Suspek Difteri. Kegiatan imunisasi dalam
KLB difteri antara lain :

1. Penguatan imunisasi dasar dan lanjutan untuk mencegah KLB difteri:


a. Cakupan imunisasi dasar (DPT3), pada bayi harus mencapai minimal 95%
b. Cakupan imunisasi lanjutan usia 18 bulan dan anak sekolah dasar minimal
harus mencapai 95%
2. Melakukan Outbreak Response Immunisation (ORI)
3. Jika pertimbangan epidemiologi mengharuskan, maka seluruh populasi orang
dewasa harus disertakan dalam imunisasi massal.
4. Melakukan Rapid Convenience Assessment (RCA) pada wilayah yang ada kegiatan imunisasi untuk
mengetahui validitas cakupan dan tanggapan masyarakat yang masih menolak imunisasi.
5. Memantau kualitas dan manajemen rantai vaksin. Potensi vaksin sangat besar kontribusinya terhadap
kualitas pelayanan imunisasi dan terbentuknya kekebalan.
6. Memantau dan membina kompetensi petugas pengelola vaksin maupun koordinator program
imunisasi. Kualitas pengelola vaksin dan koordinator program imunisasi yang tidak kualified akan
berpengaruh pada kualitas vaksinasinya.
7. Penderita difteri apabila telah sembuh dan yang tidak pernah diimunisasi sebaiknya segera diberi satu
dosis vaksin yang mengandung toksoid difteri (sebaiknya Td) dan kemudian lengkapi imunisasi dasar
sekurang-kurangnya 3 dosis.
8. Penderita dengan status imunisasi belum lengkap, harus melengkapi imunisasi dasar dan lanjutan
sesuai jadual program imunisasi nasional.

Imunisasi

Imunisasi merupakan salah satu pencegahan penyakit menular khususnya Penyakit yang Dapat Dicegah
Dengan Imunisasi (PD3I) yang diberikan kepada tidak hanya anak sejak masih bayo hingga remaja tetapi
juga kepada dewasa. Cara kerja imunisasi yaitu dengan memberikan antigen bakteri atau virus tertentu
yang sudah dilemahkan atau dimatikan drngan tujuan merangsang sistem imun tubuh untuk
membentuk antibodi. Antibodi yang terbentuk setelah imunisasi berguna untuk menimbulkan
/meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif sehingga dapat mencegah atau mengut=rangi kejadian
akibat penularan PD3I tersebut.

Imunisasu merupakan salah satu investasi kesehatan yang paling cost-effective (murah), karena terbukti
dapat mencegah dan mengurangi kejadian sakit, cacat, dan kematian akibat PD3I yang diperkirakan 2
hingga 3 juta kematian tiap tahunnya.

Dalam Undang-undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 dinyatakan bahwa setiap anak berhak
memperoleh imunisasi dasar sesuai dengan ketentuan untuk mencegah terjadinya penyakit yang dapat
dihindari melalui imunisasi dan pemerintah wajib memberikan imunisasi lengkap kepada setiap bayi dan
anak. Penyelenggaraan imunisasi tertuang dalam Peraturan MenteriKesehatan Nomor 42 Tahun 2013.

Imunisasi Dasar pada Bayi

Setiap negara mempunyai program imunisasi yang berbeda, tergantung prioritas dan keadaan
kesehatan di masing-masing negera. Penentuan jenis imunisasi ini didasarkan atas kajian ahli dan
analisa epidemiologi atas penyakit-penyakit yang timbul. Di Indonesia, program imunisasi mewajibkan
setiap bayi (usia 0-11 bulan) mendapatkan imunisasi dasar lengkap yang terdiri dari 1 dosis Hepatitis B, 1
dosis BCG, 3 dosis DPT-HB-Hib, 4 dosis polio tetes, dan 1 dosis campak dengan jadwal pemberian
sebagai berikut:
Tren imunisasi dasar lengakp nasional tahun 2015 dapat dilihat sebagai berikut dibawah ini.
 Dibandingkan periode 2008-2011, cakupan imunisasi dasar lengkap periode 2012-2015 di
Indonesia mengalami penurunan
 Cakupan imunisasi dasar lengkap berdasarkan data rutin pada tahun 2010-2013 mencapai target
Rencana Strategi (Renstra) Kementerian kesehatan. Namun pada tahun 2014 dan 2015 cakupan
imunisasi tidak mencapat terget renstra yang diharapkan.
 Proporsi imunisasi dasar lengkap menurut survei Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun
2010 (53,8%) dan 2013 (59,2%) belum mencapai target yang ditetapkan pada tahun tersebut.
Alan tetapi telah mengalami mengalami peningkatan yang cukup baik.
 Terdapat perbedaan data imunisasi dasar lengkap dari hasil pencatatan rutin dan survei.
Capaian imunisasi dasar lengkap dari hasil pencatatan rutin lebih tinggi dibandingkan data yang
diperoleh dari survei Riskesdas.
 Perbedaan yang terjadi disebabkan karena adanya kelemahan pada data rutin yaitu validitas dan
kelengkapan yang beragam. Sebagian daerah memiliki validitas dan kelengkapan yang baik,
namun beberapa daerah lainnya memiliki validitas dan kelengkapan data yang rendah.
Sedangkan kelemahan dari data survei yaitu terdapat balita yang tidak dapat diketahui status
imunisasinya (missing) dan bias memory recall dari ibu. Hal ini karena ketiadaan buku KIA atau
kartu imunisasi untuk menggali informasi yang dimaksud. Selain itu, ketidakakuratan
pewawancara saat proses wawancara dan pencatatan.
 Data imunisasi dasar lengkap dari Riskesdas 2013 didapatkan standard error (SE) 2,5 lebih besar
dibandingkan dengan SE dari data rutin 2014 yang sebesar 1,6. Perhitungan SE didapatkan dari
persentase per provinsi tanpa menggunakan pembobotan.

Imunisasi DPT dan Kejadian Difteri


 Tren cakupan DPT 3 dari data rutin antara tahun 2007-2015 memperlihatkan kondisi yang
konstan karena caupan pada periode tersebut sudah tinggi yaitu antara 90-100%
 Sedangkan tren jumlah kasus difteri cenderung meningkat, puncaknya terjadi pada tahun
2002, yaitu sebanyak 1.192 kasus. Provinsi Jawa Timur merupakan kontributir terbesar
kasus difteri, yaitu sebanyak 74% dari seluruh kasus pada tahun 2014. Demikian pula pada
tahun 2015, Jawa Timur masih menyumbang kasus terbesar (63%)
 Pada tahun 2015, sebanyak 37% kasus difteri merupakan penderita yang belum
mendapatkan imunisasi DPT3.
 Data cakupan imunisasi DPT3 dari Riskesdas 2013 didapatkan standard error (SE) 2,2 lebih
besar dibandingkan dengan SE dari data rutin 2013 yang sebesar 1,7.

Imunisasi Anak sekolah

Setelah mendapatkan imnisasi dasar lengkap pada saat bayi, seorang anak membutuhkan imunisasi
lanjutan selain saat berusia sebelum tiga tahun (batita) dengan mendapatkan imunisasi DPY-HB-Hib
dosis ke-4 pada usia 18 bulan dan campak dosis kedua pada usia 24 bulan dan pada saat usia sekolah
dasar, yaitu imunisasi campak dan DT pada siswa kelas 1 dan imunisasi Td pada siswa kelas 2 dan 3.
Pemberian imunisasi pada anak SD diberikan dalam kegiatan Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS) yaitu
imunisasi campak pada bulan Agustus sedangkan imunisasi DT dan Td pada bulan November. 6
Outbreak response immunization (ORI)

Outbreak response immunization atau (ORI) adalah strategi yang dilakukan untuk mengedalikan KLB
melalui pemberian imunisasi tambahan yang dilakukan di wilayah yang sedang terjadi KLB, khusus untuk
populasi yang berisiko tertular penyakit tersebut (dalam hal ini difteri). Tujuan ORI untuk meningkatkan
kekebalan populasi tersebut sehingga dapat mencegah meluasnya penularan penyakit, menurunkan
angka kesakitan dan kematian akibat penyakit tersebut. 7 ORI dilakukan tanpa menunggu hasil
laboratorium suspek difteri (kasus indeks), dengan sasaran sesuai dengan kajian epidemiologi tanpa
memandang status imunisasi sebelumnya. Cakupan ORI minimal 90% pada lokasi yang telah ditetapkan.
Skema pemberian vaksin difteri pada ORI adalah anak usia 1 tahun sampai dengan <19 tahun tanpa
memandang riwayat imunisasi yaitu dengan menyuntikkan vaksin DPT atau DT atau Td sesuai usia,
sebanyak 3 kali. . Vaksin yang digunakan adalah:
a. anak usia 1 - < 5 tahun menggunakan vaksin DPT-HB-Hib,
b. anak usia 5 - <7 tahun menggunakan vaksin DT
c. anak usia ≥ 7 tahun menggunakan vaksin Td8
Suntikan pertama disuntikkan 1 kali pada bulan ini, selanjutnya suntikkan kedua diberikan 1 kali dengan
jarak 1 bulan dari suntikan pertama, dan suntikan ke tiga diberkan 1 kali berjarak 6 bulan dari suntikan
kedua. Imunisasi disuntikkan secara intramuscular (IM) di area deltoid (otot lengan atas) kiri dengan
dosis 0,5 mL. Pemberian vaksin dalam skala luas diperlukan untuk mengendalikan KLB tanpa
memandang status imunisasi sebelumnya. Sehingga anak yang sudah lengkap imunisasinya, tetap
diberikan tiga dosis vaksin sesuai skema ORI yaitu bulan ke-0,1 dan 6

Tempat pelaksanaan ORI KLB difteri dilakukan di sarana kesehatan pemerintah (posyandu, Puskesmas,
RS Pemerintah) dan sekolah. Sarana kesehatan non pemerintah/swasta dapat melakukan ORI
berkordinasi dengan Dinas Kesehatan setempat.

Rapid Convenience Assessment (RCA)

Kegiatan evaluasi dilakukan setelah pelaksanaan kegiatan ORI difteri dengan menggunakan format RCA
(Rapid Convenience Assesment)/ Penilaian Cepat. Penilaian cepat (RCA) dilakukan untuk mengetahui
apakah seluruh sasaran pada daerah tersebut sudah diimunisasi. Penilaian ini dilakukan terhadap
minimal 20 rumah. Melalui kegiatan ini diharapkan tidak ada puskesmas yang tidak mencapai target
cakupan. Melalui “penilaian cepat atau Rapid Convenient Assessment” yang sudah dilakukan di suatu
daerah, dapat diketahui alasan tidak terimunisasinya sasaran dan kisaran cakupan di daerah tersebut.
Sasaran yang belum mendapatkan imunisasi dirujuk ke pos pelayanan imunisasi atau Puskesmas untuk
mendapatkan imunisasi polio, dan petugas diminta untuk kembali mencari sasaran lain yang mungkin
belum terimunisasi. 9

Anda mungkin juga menyukai