PENDAHULUAN
kemauan, dan kemampuan hidup sehat masyarakat agar terwujud derajat kesehatan
dan sektor - sektor , sehingga tujuan pembangunan kesehatan dapat tercapai dan
masalah kesehatan yang dihadapi bangsa indonesia dapat teratasi. Salah satu masalah
kesehatan yang dihadapi bangsa ini adalah masih ditemukan masyarakat yang buang
air besar di tempat terbuka yang berdampak pada penyakit diare. World Health
waterborne disease mencapai 3.400.000 jiwa/tahun. Serta menurut WHO, dari semua
kematian yang berakar pada buruknya kualitas air dan sanitasi, diare merupakan
Indonesia yang hidup dengan kondisi sanitasi buruk mencapai 72.500.000 jiwa yang
Milyar (56,7 triliun ) per tahun akibat buruknya kondisi higiene dan sanitasi. Oleh
karena itu adanya intervensi melalui modifikasi lingkungan untuk menurunkan resiko
1
penyakit diare hingga 94 % modifikasi lingkungan tersebut meliputi penyediaan air
2
3
cuci tangan pakai sabun menurunkan resiko 45 %. Dari hasil studi tersebut sehingga
capaian pada tahun 2012 adalah 56,24 % dari target yang ditetapkan yaitu 69%.
(Kemenkes,2013 )
komitmen pemerintah untuk meningkatkan akses air minum dan sanitasi dasar yang
Nomor 852 /Menkes /SK /IX /2008 yang disebut Sanitasi Total Berbasis Masyarakat
(STBM), meliputi 5 Pilar yaitu: Stop Buang Air Besar Sembarangan (Stop BABS),
Cuci tangan pakai sabun ( CTPS ), Pengelolaan Air Minum Rumah Tangga dan
Pengelolaan Air Limbah Rumah Tangga (PALRT). (Ditjen PP dan PL, 2011)
adanya subsidi pada program ini merupakan tantangan bagi tenaga kesehatan.
Pelaksanaan program STBM dimulai dari pilar pertama yaitu Stop Buang Air Besar
Sembarangan (Stop BABS). Fokus pertama dilakukan pada Stop BABS karena pilar
tersebut berfungsi sebagai pintu masuk menuju sanitasi total serta merupakan upaya
untuk memutus rantai kontaminasi kotoran manusia terhadap air baku minum,
4
makanan, dan lainnya. Program ini lebih menekankan pada perubahan perilaku
lingkungan mereka hingga mencapai kondisi Open Defecation Free (ODF). Kondisi
ODF ditandai dengan 100% masyarakat telah mempunyai akses BAB di jamban
sendiri, tidak adanya kotoran di lingkungan mereka, serta mereka mampu menjaga
kebersihan jamban.
air besar ke sungai, sawah, kolam, kebun, dan tempat terbuka lainya . Hasil riset
kesehatan dasar Propinsi NTT pada tahun 2013 menunjukkan bahwa rumah tangga
yang memiliki akses terhadap sanitasi Improved adalah yang terendah yaitu 30,5 %.
Seluruh Kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur masih terdapat 21,3% rumah
tangga yang belum memiliki fasilitas buang air besar dengan kisaran antara 0,2% di
itu memiliki fasilitas buang air besar umum, 6,5% fasilitas buang air besar milik
bersama dan hanya 70,2% yang merupakan milik sendiri. Persentase terbesar
masyarakat yang memiliki fasilitas buang air besar milik sendiri adalah di Timor
Tengah Selatan (91,3 % ) dan Timor Tengah Utara (91,4 %). Serta rumah tangga
yang tidak mempunyai fasilitas tempat buang air yang persentasenya lebih besar
terjadi perilaku buang air besar sembarangan di Kabupaten Sumba Timur. Dari 22
Kecamatan dan 156 Desa yang ada dengan jumlah Kepala Keluarga (KK) 54.940
yang masih BABS pada saat ini adalah sebanyak 34.706 atau 72, 62 % STBM
5
menunjukan layanan sanitasi dasar yang masih rendah di Kabupaten Sumba Timur
serta implikasi dari kondisi seperti ini adalah pada kasus diare. Hasil Rikesdas tahun
2013 menunjukan insiden diare di Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah 4,3 % dan
periode prevalence sebesar 10,9 %. Khusus pada balita, insiden diare tahun 2013
adalah 6,7%. Diare balita tertinggi pada kelompok 12-23 bulan yaitu 9,5 %, sedikit
perdesaan.
masyarakat setempat. Pada saat ini fokus utama program STBM di kabupaten ini
masih tertuju pada pilar pertama yaitu Stop Buang Air Besar Sembarangan (Stop
BABS). Indikator keberhasilan pilar pertama adalah tercapainya desa SBS (Stop
Buang Air Besar Sembarangan) yaitu 100% masyarakat desa setempat buang air
besar di jamban yang sehat. Hingga saat ini satu Kecamatan telah berhasil
Kecamatan Katala Hamu Lingu yang memiliki lima desa sebagai pelaksana program
dilakukan dengan pelaksanaan program STBM pilar pertama. Salah satu kecamatan
Kecamatan Pandawai adalah sebesar 32,04% serta KK yang BABS sebanyak 2.484
6
KK yang berasal dari 7 desa. Bila dilihat berdasarkan masing- masing desa
ODF( Open Defecation Free ). Oleh karena itu, untuk mengetahui hasil program
STBM di Kecamatan Pandawai yang lebih detail perlu dilakukan evaluasi dengan
yang SBS dan terciptanya masyarakat yang sehat dengan akses layanan sanitasi yang
layak.
STBM pilar satu maka dilakukan evaluasi pada wilayah kerja Puskesmas Kawangu.
Desa KambataTana adalah salah satu desa yang merupakan wilayah kerja puskesmas
STBM pilar satu. Evaluasi Program STBM yang dimaksud adalah evaluasi proses
yang meliputi persiapan pemicuan, pemicuan , dan paska pemicuan, serta evaluasi
output pada masyarakat yang telah mengikuti pemicuan STBM pilar satu. Sehingga
kegiatan dan output dari program STBM di Puskesmas Kawangu serta belum adanya
desa yang ODF sehingga peneliti tertarik untuk mengevaluasi pelaksanakan program
Sumba Timur masih terfokus pada pilar 1 yaitu Stop BABS sehingga berdasarkan
Puskesmas Kawangu ?
Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) pilar pertama Stop BABS di wilayah
kerja Puskesmas Kawangu Kabupaten Sumba Timur Tahun 2016 (Study Kasus Desa
Kambata Tana).
8
Stop BABS paska pemicuan pilar pertama program STBM di desa Kambata
Tana.
1. Sebagai sarana pengaplikasian teori evaluasi dan sanitasi yang telah didapatkan
selama perkuliahan.
program STBM.
kesehatan masyarakat.
lebih baik.
pelaksanaan dan output dari Program STBM di Wilayah Kerja Puskesmas Kawangu