Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

LARYNGOPHARYNGEAL REFLUX (LPR)

Oleh :
Emir Gahara, S.Ked 1618012028
Intan Fajar Nintiyas, S. Ked 1718012003

Preceptor :

DR. dr. Fatah Satya W, Sp. THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN THT


RSUD DR. H. ABDOEL MOELOEK BANDAR LAMPUNG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
2018

i
ii
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan jurnal reading dengan tema
“Laryngopharyngeal Reflux” sebagai rangkaian kegiatan Kepaniteraan Klinik di SMF
THT RSUD Dr. Abdoel Moeloek Bandar Lampung.

Dengan ketulusan hati penulis juga ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada
dosen pembimbing di bagian THT, atas semua bantuan dan kesabarannya membimbing
penulis sehingga penulis dapat menjalani kepaniteraan klinik di bagian THT RSUD Dr.
Abdoel Moeloek Bandar Lampung.

Penulis menyadari bahwa referat ini tentu tidak terlepas dari kekurangan karena
keterbatasan waktu, tenaga, dan pengetahuan penulis. Maka sangat diperlukan
masukan dan saran yang membangun. Semoga referat ini dapat memberikan manfaat
bagi kita semua.

Bandar Lampung, Juli 2018

Penulis

BAB I

PENDAHULUAN

3
Laryngopharyngeal reflux (LPR) adalah jejas pada laringofaring yang
diakibatkan aliran balik isi lambung ke daerah laringofaring. Karakteristik gejala
berupa suara serak, mendehem, sekret di belakang hidung, kesulitan dalam proses
menelan, batuk setelah makan atau berbaring, tersedak, batuk kronik, dan perasaan
mengganjal di tenggorok. Lebih dari 50% pasien dengan keluhan LPR tidak
mengalami keluhan rasa terbakar di dada dan regurgitasi, keluhan tersebut merupakan
tanda khas gejala gastroesophageal reflux disease (GERD).

Beberapa literatur menyatakan bahwa GERD tidak sama dengan LPR karena
kedua mekanismenya berbeda, pada GERD kejadian refluks terjadi pada malam hari,
adanya nyeri pada epigastrium, periode terpapar cairan asam lambung lebih lama,
serta adanya gangguan dismotilitas esophagus, juga terdapat defek terdapat di LES
(lower esophageal spinchter). Pada pasien LPR kejadian refluks terjadi siang hari,
tidak terdapat nyeri epigastrium, periode terpapar cairan asam lambung lebih singkat
serta tidak adanya gangguan dismotilitas esophagus, defek terdapat di LES (lower
esophageal spinchter). Perbedaan ini kemungkinan karena mekanisme dan pola gejala
serta manifestasi yang berbeda sehingga beberapa pasien LPR tidak mempunyai
gejala GERD atau beberapa pasien mempunyai kedua gejala tersebut.

Laryngopharyngeal reflux (LPR) terdapat manifestasi ekstraesofageal yang


lebih sering daripada gastroesophageal reflux disease (GERD). Keadaan ini
dilaporkan sebanyak 10% dari pasien yang datang ke tempat praktek ahli THT, dan
lebih dari 50% pasien dengan suara serak didapatkan penyakit yang berhubungan
dengan refluks. Merupakan hal yang berbahaya apabila tidak mengetahui adanya
LPR, keterlambatan dalam menegakkan diagnosis LPR dapat menyebabkan biaya
pengobatan yang tidak perlu, dan kesalahan diagnosis, yang pada akhirnya berakibat
keterlambatan pada penyembuhan pasien.

4
Kesalahan dalam mendiagnosis LPR dapat memicu terjadinya keadaan
overdiagnosis dikarenakan gejala-gejala LPR antara lain; batuk, suara serak, dan
globus pharyngeus (sensasi tenggorok terasa mengganjal) tidaklah spesifik dan juga
dapat disebabkan karena infeksi, vocal abuse, alergi, merokok, iritasi dari polusi
udara, dan alcohol abuse.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

5
2.1 ANATOMI LARING

Laring merupkan suatu pipa fibrokartilaginea, membentang dari trachea hingga


radix linguae. Laring terletak di bagian anterior leher setinggi corpus vertebrae
cervicales III-VI, menghubungkan antara bagian inferior faring dengan trachea.
Laring berfungsi sebagai katup untuk melindungi jalan napas dan menjaga supaya
jalan napas selalu terbuka, terutama sewaktu menelan. Laring juga berfungsi
sebagai mekanisme fonasi yang dirancang untuk pembentukan suara. Laring terdiri
atas beberapa cartilago yang dihubungkan oleh beberapa ligamentum, digerakan
oleh otot dan dilingkupi oleh membran mucosa dari faring sampai trachea.

Kerangka laring terdiri dari sembilan cartilago. Sembilan cartilago ini terdiri atas
tiga tulang rawan tunggal yaitu: cartilago thyroidea, cartilago cricoidea, dan
cartilago epiglottica dan tiga tulang rawan berpasangan yaitu: cartilago
arytenoidea, cartilago corniculata, dan cartilago cuneiformis. Pada laring
terdapat 2 buah sendi, yaitu artikulasi krikotiroid dan artikulasi krikoaritenoid.

Gambar 1. Anatomi laring

6
2.1.1 OTOT-OTOT LARING
 Otot-otot ekstrinsik
Otot-otot ekstrinsik adalah otot-otot yang salah satunya
perlekatannya berada pada laring sedangkan perlekatan yang lain
berada pada luar laring, otot-otot ini dibagi dalam dua kelompok
yaitu: terletak di atas tulang hioid (suprahioid) dan ada yang terletak
dibawah tulang hioid (infrahioid). Otot ekstrinsik yang suprahioid
ialah m.digastrikus, m.geniohioid, m.stilohioid dan m. milohioid.
Otot yang infrahioid ialah m. sternohioid, m.omohioid, m. tirohioid.
Otot–otot ekstrinsik laring yng suprahioid berfungsi menarik laring
ke bawah, sedangkan yang infrahioid ialah menarik laring ke atas.

 Otot-otot intrinsik
Otot intrinsik merupakan otot-otot yang origo maupun insertionya
berada dalam larynx. Otot-otot intrinsik ini merupakan derivat dari
arcus pharyngeus IV dan VI. Otot-otot intinsik laring ialah
m.krikoaritenod lateral, m.tiroepiglotika, m. Vokalis, m.tiroaritenoid,
m.ariepiglotika dan m.krikotiroid. Otot-otot ini terletak di bagian
lateral laring. Otot-otot intrinsik laring yang terletak di bagian
posterior, ialah m.aritenoid transversum, m.aritenoid oblik dan
m.krikoaritenoid posterior. Sebagian besar otot-otot intrinsik adalah
adduktor(kontraksinya akan mendekatkan kedua pita suara ke tengah)
kecuali m.krikoaritenoid posterior yang merupakan otot abduktor
(kontraksinya akan menjauhkan kedua pita suara ke lateral).

2.1.2 Ruang dalam laring (cavum laring)


 Aditus laryngis
 Vestibulum laryngis
 Plica vestibularis (pita suara palsu)
 Rima vestibuli

7
 Ventriculus laryngis (kantung morgagni)
 Plica vocalis (pita suara sejati)
 Rima glottidis
 Cavitas infraglottica

2.1.3 NEUROVASCULARISASI LARING

1. Inervasi laring
Saraf-saraf laring berasal dari nervus vagus (nervus cranialis X)
melalui ramus internus dan externus nervus laryngeus superior dan
nervus laryngeus recurrens.

A. Motorik:
Semua otot intrinsik laring diinervasi oleh n. laryngeus recurrens
kecuali m. cricothyroideus yang mendapat inervasi dari n.
laryngeus externus (ramus externus n. laryngeus superior)

B. Sensoris :
n. laryngeus internus membawa serabut sensoris dari mukosa
larynx di atas plica vocalis termasuk permukaan superior plica
vocalis.

n. laryngeus recurrens membawa serabut sensoris dari mukosa


larynx di bawah plica vocalis

2. Pembuluh-pembuluh larynx.:
A. Arteria
a. a. laryngea superior cabang dari a. thyroidea superior, berjalan
bersama nervus laryngeus internus menembus membrana
thyrohyoidea memvascularisasi permukaan dalam larynx

8
b. a. laryngea inferior cabang dari a. thyroidea inferior, berjalan
bersama nervus laryngeus inferior memvacularisasi membran
mukosa dan otot-otot di aspek inferior larynx
B. Vena : Vena-vena larynx mengikuti arteri-arteri larynx, vena
laryngea superior biasanya bermuara pada vena thyroidea
superior, lalu bermuara ke dalam vena jugularis interna. Vena
laryngea inferior bermuara pada vena thyroidea inferior.
Kemudian bermuara ke vena brachiocephalica sinistra
C. Limfe : Pembuluh limfe yang berasal dari larynx diatas plica
vocalis ditampung oleh nodi lymphoidei cervicales posteriores
profundi. Pembuluh limfe dari larynx di bawah plica vocalis
ditampung oleh nodi lymphoidei cervicales profundi inferiores.

2.2 LARYNGOPHARYNGEAL REFLUX

2.2.3 DEFINISI

Laryngopharyngeal reflux (LPR) adalah jejas pada laringofaring yang


diakibatkan aliran balik isi lambung ke daerah laringofaring, dengan
karakteristik gejala suara serak, mendehem, sekret di belakang hidung,
kesulitan dalam proses menelan, batuk setelah makan/berbaring,
tersedak, batuk kronik, dan perasaan mengganjal di tenggorok.

2.2.2 ETIOLOGI

LPR secara etiologi dapat disebabkan karena faktor fisik yaitu adanya
gangguan fungsional dari sphincter esophagus, hiatal hernia,

9
abnormalitas kontraksi esophagus, lambatnya pengosongan dari
lambung, sedangkan dapat juga disebabkan karena infeksi, vocal
abuse, alergi, merokok, iritasi dari polusi udara, alcohol abuse dan
gaya hidup, misalnya, diet makanan berlemak, kopi, coklat, NSAID,
makanan pedas, merokok, minuman beralkohol.

2.2.3 EPIDEMIOLOGI

Prevalensi baik LPR maupun GERD sampai saat ini belum diketahui
secara pasti, tetapi Koufman pernah melaporkan pada tahun 1988 dari
10% pasien dengan keluhan gangguan suara menderita LPR. Dan pada
tahun 2002 pernah dilakukan penelitian yang menyebutkan juga
prevalensi pasien dengan keluhan LPR berkisar antara 15-20% dan
lebih dari 15% pasien tersebut berobat ke dokter spesialis THT dengan
manifestasi keluhan LPR.

2.2.5 PATOFISIOLOGI

Secara fisiologis terdapat 4 pertahanan untuk melindungi saluran


aerodigestivus dari cedera refluks yaitu : 15,16,17

1. Gastroesophageal Junction (GEJ)


2. Fungsi motorik esofagus dan klirens asam
3. Resistensi jaringan mukosa esofagus
4. Upper esophageal sphincter (UES)

1. Gastroesophageal Junction (GEJ)


Mekanisme pertama pada pertahanan anti refluks adalah
gastroesophageal junction. Pertahanan ini terdiri dari sphincter
dengan elemen otot dari lower esophageal sphincter (LES) dan otot
lurik dari diafragma bagian bawah, yang berkombinasi untuk
menjaga tekanan GEJ, hal ini penting untuk menahan tekanan intra-

10
abdominal, dan mencegah isi lambung melewati esofagus. Secara
fisiologis LES merupakan sphincter dengan panjang 3-4 cm dengan
otot yang dapat berkontraksi di distal esofagus. Sphincter akan
relaksasi setelah terjadi proses menelan makanan dan memasukkan
ke dalam lambung, secara anatomi daerah ini mempunyai ketebalan
2-3 kali lebih tebal dibanding bagian dinding proksimal esofagus.

Gambar 1. gambar gastroesophageal junction dan lokasi LES

2. Fungsi motorik esofagus dan Klirens Asam


Pertahanan anti refluks kedua adalah fungsi motorik normal dari
esofagus. Bolus makanan dan minuman akan didorong oleh kekuatan
dari gerak peristaltik dari pharyngoesophageal junction turun
kebawah sampai ke gastroesophageal junction dan ke dalam
lambung. Gerak peristaltik secara primer di rangsang oleh proses
menelan di faring atau secara sekunder dengan stimulasi langsung
pada mukosa esofagus. Gerakan peristaltik ini penting untuk
membersihkan refluks ke dalam lambung. Adanya gangguan gerakan
esofagus akan meningkatkan refluk dengan melewati esofagus
sampai ke laryngopharyng. Dengan pengukuran manometric, pada
pasien LPR didapatkan 75% mengalami kelainan motilitas.

11
Gmb 3. gerakan peristaltik normal dari proksimal esofagus sampai distal esofagus, dan berakhir terjadinya
relaksasi LES

Gmb 4. gmb e-g memperlihatkan adanya gangguan motilitas esofagus, gmb h memperlihatkan LES relaksasi
inkomplit, kombinasi tsb dpt meningkatkan resiko terjadinya refluks.

3. Upper Esophageal Sphincter


Pertahanan antirefluks yang ketiga adalah Upper Esophageal
sphincter (UES). Terjadinya kelemahan pada mekanisme ini yang
membedakan antara GERD dan LPR. UES didefinisikan sebagai
daerah yang dapat berkonstriksi secara tonik di pharyngoesofageal
junction. Seperti pada LES, UES akan berelaksasi pada saat
makanan atau minuman akan masuk pada proses menelan. Secara
anatomi UES merupakan serabut distal dari otot cricopharyngeus
dan bagian proksimal dari esofagus. Dimana otot cricopharyngeus
memegang peranan penting pada tekanan di UES. Fungsi utama
dari UES adalah menjaga masuknya udara masuk kedalam esofagus
selama respirasi dan menjaga sekresi gaster masuk ke faring
sewaktu refluks. Adanya penyimpangan pada fungsi yang kedua

12
tersebut diyakini sebagai penyebab kerusakan primer pada LPR,
yang bermanifestasi terjadinya refluks yang mencapai
laryngopharyng.

Gmb 5. Laring dan letak dari Upper Esophageal Sphinter

4. Resistensi Mukosa Faring dan Laring


Pada saat refluks yang melewati UES dan mencapai daerah
laryngopharyng akan menyebar di sepanjang mukosa yang
berbatasan di daerah kepala leher. Pada keadaan ini hanya ada satu
pertahanan untuk mencegah inflamasi dan kerusakan dari komponen
korosif refluks yaitu resistensi dari mukosa faring dan laring.

13
Gmbr 6. Lapisan epitel skuamos pada mukosa kepala-leher

Dengan adanya empat penghalang fisiologis yang melindungi saluran


jalan napas bagian atas dari trauma akibat refluks, yaitu: spingter
esofagus bawah, pembersihan asam dengan motor esofagus,
resistensi jaringan mukosa esofagus, dan spingter esofagus atas maka
epitel respiratori bersilia di laring yang normalnya berfungsi untuk
membersihkan mukus dari cabang trakeobronkial, akan meningkat
jumlahnya bila keempat sistem penghalang ini gagal dan disfungsi
dari silia ini akan menyebabkan pengumpulan mukus sehingga terjadi
sensasi postnasal drip dan merangsang pengeluaran dahak. Iritasi
cairan refluks secara langsung menyebabkan terjadinya batuk dan
tersedak (laringospasme) akibat sensitivitas saraf sensoris laring
terangsang dengan inflamasi lokal. Kombinasi faktor-faktor ini
menyebabkan terjadinya edema plika vokalis, ulkus kontak, dan
granuloma yang menyebabkan timbulnya gejala LPR: suara serak,
globus pharyngeus, dan nyeri tenggorok.

Beberapa penelitian melaporkan adanya penurunan kadar bikarbonat


yang memproduksi enzim carbonic anhidrase subtipe III pada epitel
laryng pasien dengan LPR dibandingkan dengan kadar yang tinggi
pada epitel laryng individu normal. Salah satu penelitian juga
menunjukan adanya peran dari refluks bilier yang menyebabkan
LPR. Pada penelitian terkini disebutkan bahwa jaringan laring yang
sangat rentan terhadap refluk dilindungi oleh efek regulasi ph dari
carbonic anhydrase pada mukosa laring posterior. Carbonic
anhydrase mengkatalisis hidrasi dari karbonhidrosida menjadi
bikarbonate, yang akan melindungi dari refluks asam. Di esofagus
terdapat produksi aktif dari bicarbonate pada ruang ekstraseluler yang
berfungsi untuk menetralisir refluks asam lambung. Lapisan
esofagus merupakan jaringan innate dengan resistensi terhadap

14
refluks fisiologis. Lapisan mukus pada lumen esofagus menghambat
penetrasi molekul – molekul besar seperti pepsin. “Unstirred water
layer” dibawahnya kaya akan bikarbonat dan merupakan buffer
lingkungan sekitar sel mukosa esofagus. Selain itu, epitel esofagus
itu sendiri mampu memblok asam dan pepsin pada membran sel dan
jembatan intraseluler. saat terjadi jejas pada esofagus, aliran darah
lokal mengalami peningkatan untuk mempercepat pemulihan.

Kontras dengan esofagus, laryng tidak terlindungi dengan baik dari


jejas akibat refluksasi gaster, terutama asam dan pepsin. Saluran
napas bagian atas sangat sensitif terhadap asam dan pepsin yang
teraktivasi. Pepsin terbukti mengalami aktivasi pada pH diatas 4, hal
ini menunjukan bahwa penurunan pH lebih mengakibatkan jejas pada
larynx dibandingkan pada esofagus. Seperti disebutkan di atas,
episode refluks pharynx yang hanya berlangsung sangat jarang (tiga
kali dalam satu minggu) dapat merusak larynx melalui jejas pada
mukosanya. Larynx tidak dilindungi oleh bikarbonat saliva, buffer
endogen jaringan, atau peristaltik. Larynx juga memiliki pertahanan
intrinsik jaringan yang buruk. Carbonic anhydrase isoenzyme III (CA
III) merupakan enzim dengan kemampuan buffer yang akan
meningkat saat esofagus berespon terhadap asam. Namun, CA III
akan menurun pada jaringan laryng yang rusak akibat asam dan
pepsin, hal ini akan semakin memperburuk proteksi laryng.

2.2.6 PERBEDAAN ANTARA GERD DAN LPR

Table 1. Perbedaan antara GERD dan LPR

15
2.2.7 DIAGNOSIS

Riwayat penyakit, hal ini penting bagi klinisi untuk menilai potensi
dari suara serak dan adanya laringitis non spesifik. Laringitis secara non
spesifik ditandai oleh adanya inflamasi dari laring, seringkali keluhan
ini ringan dan dapat sembuh secara spontan. Apabila keluhan ini
menetap, laringitis harus dicari penyebabnya yang bisa disebabkan
infeksi virus atau bakteri, alergi, trauma vokal, postnasal discharge atau
LPR.

Pada suara serak yang persisten atau progresif lebih dari 2-3 minggu,
perlu pemeriksaan laryngopharyng untuk menyingkirkan adanya kanker
dan kondisi serius lainnya. Adanya dugaan LPR ketika didapatkan
kecurigaan riwayat klinis dan penemuan yang mengarah ke LPR. Sering
terjadi kesalahan diagnosis antara LPR dan GERD. Survey internasional
oleh American Bronchoesophagological Association memaparkan gejala
yang tersering dari LPR, yaitu mendehem(98%), batuk lama (97%),
globus faringeus (95%) dan suara serak (95%). Belafsky dkk, telah
mengenalkan Indeks Gejala Refluks yang dapat membantu klinisi untuk
menilai derajat gejala LPR pada awal evaluasi dan setelah pengobatan.

16
Pasien di anamnesis menggunakan skala 0-5 untuk derajat gejala-gejala
dalam tabel 2. Skor Indeks Gejala Refluks lebih dari 13, adalah
abnormal.

Tabel 2. Refluks Symptom Indeks

Laringoskopi, tidak ada tanda yang spesifik dari iritasi laring dan
inflamasi yang dapat dilihat, tetapi beberapa penemuan dapat
meningkatkan dugaan ke LPR. Meskipun tidak khas, adanya penebalan,
kemerahan dan edema terutama di posterior laring (laringitis posterior)
paling sering ditemukan. Adanya perlekatan granuloma yang mempunyai
hubungan dengan monitoring pH, dijumpai pada kasus LPR 65%-74%
pasien, seringnya terletak di tepi tengah dari pita suara dan juga terdapat
edema infraglotis.

Tidak adanya tanda yang khas dari LPR, maka Belafsky dkk,
mengembangkan 8 macam skala klinis yang ditemukan berdasarkan

17
laringoskopi, dikenal dengan Skor Temuan Refluk (Reflux Finding
Score). Dari 8 temuan yang berhubungan dengan LPR diukur dengan
skala 0-4, temuannya antara lain : (tabel 3). Dan skornya dapat berkisar
antara 0 (normal) sampai 26, dan berdasarkan analisis pasien mempunyai
kemungkinan 95% apabila skornya 7 atau lebih.

Tabel 3. Refluks Finding Score

2.2.8 Penegakan diagnosis Refluks

Terdapat 3 pendekatan untuk menegakkan diagnosis yaitu respon dari


gejala kebiasaan dan pengobatan secara empirik, observasi endoskopi
pada mukosa, dan bukti adanya refluks dengan multichannel impedance
dan studi monitor pH. Pemeriksaan monitoring pH merupakan gold
standard serta sangat sensitif dan spesifik untuk pemeriksaan LPR tetapi
biaya pemeriksaanya mahal, invasif, pasien tidak nyaman, serta tidak
semua pusat pelayanan kesehatan tersedia untuk monitoring pH.
Pemeriksaan tambahan seperti radiografi, esophageal manometry,

18
pengukuran spectrophometric dari cairan refluks dan biopsi mukosa
dapat memberikan informasi yang bermanfaat untuk terapi.

2.2.9 DIFFRENTIAL DIAGNOSIS

 Larinigtis akut dan laryngitis kronik yang dapat disebabkan infeksi


bakteri,virus dan jamur

 Alergi
 Tumor dapat berupa tumor jinak yaitu laring papiloma, hemangioma,
tumor ganas berupa squamous cel carcinoma, tiroid carcinoma,
 Trauma dapat berupa vokal abuse, tercekik, inhalasi, intubasi,
radioterapi
 Immunocompromised

 Granulomatous diseases

 Autoimmune diseases

2.2.10 PENATALAKSANAAN
Pada saat riwayat penyakit dan pemeriksaan klinis mengarah ke LPR,
pasien diinstruksikan untuk merubah gaya hidup dan pola makanan.
Terapi Proton pump inhibitor (PPI) pada awal diberikan dan pasien
dinilai kembali setelah 3 bulan terapi. Apabila terapi tidak respon
maka akan dilakukan pemeriksaan lain dan monitor yang
berkelanjutan. Apabila terapi memperlihatkan kemajuan maka gejala
akan mereda dan pengobatan PPI akan diturunkan dosisnya.

19
Gmbr 7. Algoritma Penilaian dan Manajemen LPR

a. Edukasi pasien dan perubahan kebiasaan


Pasien dengan LPR diberikan edukasi dan disarankan untuk
merubah kebiasaan-kebiasaan, meliputi berhenti merokok,
penurunan berat badan dan menghindari alkohol. Perubahan ideal

20
dari makanan meliputi, pembatasan coklat, makanan berlemak,
buah-buahan yang asam, minuman berkarbonasi, anggur merah,
kafein, dan tidak makan 2-3 jam sebelum tidur malam. Hal ini
untuk menugurangi jumlah lemak yang ada dalam perut ketika
berbaring. Dimana untuk mencegah aliran balik asam ke esofagus
dan tenggorok akibat kelemahan sfingter.

Menaikan posisi kepala lebih tinggi dari badan dengan dengan


benda keras seperti batu, kayu yang disusun. Dengan meninggikan
posisi kepala membantu menurunkan terpaparnya asam pada daerah
tenggorok. Untuk edukasi pasien termasuk tentang jadwal
pemberian obat PPI (omeperazole, esomeprazole, rabeprazole,
lansoprazole, dan pantoprazole) yang bekerja optimal bila
diberikan 30-60 menit sebelum makan.

b. Manajemen Obat-obatan
Obat-obatan yang digunakan untuk LPR terdiri dari 4 kategori
yaitu: PPI, antagonis reseptor H2, agent prokinetik, dan mucosal
cytoprotectans.

Proton pump inhibitor (PPI) merupakan obat utama dari pengobatan


LPR, diberikan dua kali sehari selama 3 bulan. Antogonis reseptor
H2 yaitu ranitidin telah terbukti lebih poten untuk menghambat
sekresi gaster dibanding simetidin, meskipun ini masih mempunyai
keterbatasan dalam terapi LPR. Agen prokinetik mempunyai efek
mempercepat klirens esofagus dan meningkatkan tekanan LES,
akan tetapi mempunyai efek samping yang aritmia ventrikuler dan
diare, penggunaan cisapride sudah tidak direkomendasikan, karena
efek sampingnya. Tegaserod merupakan agen prokinetik yang saat
ini dapat digunakan untuk menurunkan refluks. Obat tambahan lain

21
yang dapat melindungi mukosa dari iritasi pepsin dan asam adalah
sukralfat, sedangkan penggunaan antasida (sodium bicarbonat-
aluminum dan magnesium) mungkin dapat mengurangi gejala pada
GERD tetapi untuk LPR kurang bermanfaat.

Tabel 5

c.Pembedahan
Apabila manajemen dengan obat-obatan gagal, maka pasien dengan
refluks cairan dengan volume yang tinggi dan adanya inkompetensi
dari LES perlu dilakukan intervensi pembedahan. Dan hasil yang

22
diharapkan dari pembedahan adalah mengembalikan kompetensi dari
LES yang pada akhirnya berkurangnya episode refluks ke faring.

2.2.11 PROGNOSIS

Prognosis dari laryngopharyngeal reflux dapat berdasarkan durasi dari


lamanya penyakit, komplikasi yang dapat terjadi, prospek
penyembuhan, lamanya penyembuhan. Faktor umur bisa dijadikan
faktor prognosis yang menentukan keberhasilan refluks laringofaring.
Pada usia di atas 40 tahun terjadi perubahan mukosa laring yaitu
edema lapisan superfisial pada lamina propria terutama pada wanita
setelah menopause. Perubahan terjadi pada kelenjar di laring
menyebabkan produksi mukus berkurang, secara histologis pada usia
tua sedikit ditemukan granular retikulum endoplasmik dan aparatus
Golgi di mukus dan serosa laring, sehingga secara kualitas dan
kuantitas sekresinya berkurang. Perubahan juga terjadi pada mukosa
epitel vokal fold menjadi lebih tipis, menyebabkan pada usia di atas 40
tahun keadaan laring menjadi rentan apabila terpapar zat asam
sehingga meningkatkan angka kejadian kasus LPR.

DAFTAR PUSTAKA

Ford CN, MD. Evaluation dan Management of Laryngopharyngeal Reflux.


JAMA,September 2005 Vol 294;1534-1540

23
Koufman, James A. Laryngopharyngeal reflux2002: a new paradigm of airway
disease.Ear Nose and Throat Journal.September 2002

Koufman JA, Belafsky P, Postma GN. Laryngopharyngeal reflux symptoms


improve before changes in physical findings. Laryngoscope. 2001;111:979–
81.

Sidhu H, Shaker R, Hogan JW. Gastroesophageal reflux laryngitis. Dalam: Castel


OD,Richer JE, penyunting. The esophagus. Edisi ke-4. Philadelphia:
Lippincott Williams andWilkins; 2004. h. 518-28

Tutuian R, Castell DO. Diagnosis of laryngopharyngeal reflux. Curr Opin


OtolaryngolHead Neck Surg. 2004;12:174–9.

24

Anda mungkin juga menyukai