TINEA PEDIS
Diajukan Kepada :
dr. Nunik Sriwahyuni Sp. KK
Disusun Oleh :
Fahrizal Kusuma Wijaya
20110310007
A. PENGALAMAN
Seorang anak perempuan, usia 10 tahun, datang dengan keluhan gatal yang dirasakan
di punggung kaki kanan dan sela-sela jari kaki kanan yang sudah dirasakan kurang
lebih 3 bulan terakhir. Keluhan gatal dirasa memberat terutama saat bermain air,
keluhan tidak disertai dengan perih (-) dan panas (-). Keluhan pertama dirasakan
setelah pasien bermain dengan genangan air di depan rumah. Keluhan gatal dirasakan
menjalar ke sea-sela jari tangan dan tidak terdapat keluhan di bagian tubuh yang lain
Pasien sudah melakukan pengobatan dengan dioles kemideron tetapi dirasa tidak ada
perubahan. Pasien tidak mempunyai hewan piaraan.
C. ANALISIS
1. DEFINISI
Tinea pedis adalah infeksi kulit dari jamur superfisial pada kaki. Tinea pedis
merupakan infeksi dermatofita pada kaki terutama mengenai sela jari dan telapak
kaki. Tinea pedis merupakan golongan dermatofitosis pada kaki.
2. EPIDEMIOLOGI
3. ETIOLOGI
Jamur penyebab tinea pedis yang paling umum ialah Trichophyton rubrum
(paling sering), T. interdigitale, T. tonsurans (sering pada anak) dan
Epidermophyton floccosum. T. rubrum lazimnya menyebabkan lesi yang
hiperkeratotik, kering menyerupai bentuk sepatu sandal (mocassinlike) pada kaki;
T. mentagrophyte seringkali menimbulkan lesi yang vesikular dan lebih meradang
sedangkan E. floccosum bisa menyebabkan salah satu diantara dua pola lesi diatas.
Dermatofit dapat ditransmisikan melalui zoophilic (hewan-manusia),
anthropophilic (manusia-manusia) dan geophilic (tanah-manusia)
4. ETIOPATOGENESIS
5. GAMBARAN KLINIK
4. Bentuk yang terakhir adalah bentuk akut ulseratif pada telapak dengan
maserasi, madidans, dan bau. Diagnosis Tinea pedis lebih sulit karena
pemeriksaan kerokan kulit dan kultur sering tidak ditemukan jamur.(8)
6. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan langsung sediaan basah dilakukan langsung menggunakan
mikroskop, mula-mula dengan pembesaran 10x10, kemudian dengan pembesaran
10x45. Pemeriksaan dengan pembesaran 10x100 biasanya tidak diperlukan.
Sediaan basah dilakukan dengan meletakkan bahan diatas gelas alas, kemudian
ditambah 1-2 tetes larutan KoH. Konsentrasi larutan untuk sediaan rambut adalah
10% dan untuk kulit dan kuku 20%. Setelah sediaan dicampur dengan larutan KoH,
ditunggu 15-20 menit hal ini diperlukan untuk melarutkan jaringan. Untuk
mempercepat proses pelarutan dapat dilakukan pemanasan sediaan basah diatas api
kecil. Pada saat mulai keluar uap pada sediaan tersebut, pemanasan sudah cukup.
Bila terjadi penguapan, maka akan terbentuk kristal KoH, sehingga tujuan yang
diinginkan tidak tercapai. Untuk melihat elemen jamur lebih nyata dapat
ditambahkan zat warna pada sediaan KoH, misalnya tinta Parker superchoom blue
black. Pada sediaan kulit dan kuku yang terlihat adalah hifa, sebagai 2 garis sejajar,
terbagi oleh sekat, dan bercabang maupun spora berderet (artrospora) pada kelainan
kulit lama dan/atau sudah diobati.
Pemeriksaan dengan pembiakan diperlukan untuk menyokong pemeriksaan
langsung sediaan basah dan untuk menentukan spesies jamur. Pemeriksaan ini
dilakukan dengan menanamkan bahan klinis pada media buatan. Yang dianggap
paling baik pada waktu ini adalah medium agar dextrosa Sabouraud. Pada agar
Sabouraud dapat ditambahkan antibiotik saja (kloramfenikol) atau ditambah pula
klorheksimit. Kedua zat tersebut diperlukan untuk menghindarkan kontaminasi
bakterial maupun jamur kontaminan.
Gambar 6 : Gambaran histopatologi dari Tinea pedis; hifa pada lapisan superfisial
dari epidermis
7. DIAGNOSIS BANDING
Berdasar Budimulya (2006) dan Perdoski (2001) Tinea pedis harus dibedakan
dari beberapa penyakit lain dikaki sebagai diagnosis banding diantaranya adalah :
8. DIAGNOSIS
Athlet’s foot biasanya dapat didiagnosis dengan inspeksi dari kulit, tetapi jika
diagnosis tidak pasti, maka dilakukan pemeriksaam kalium hidroksida dari kerokan
kulit dan diperiksa menggunakan mikroskop (dikenal sebagai tes KOH). Tes ini
dapat membantu penegakan diagnosis dari Athlet’s foot dan membantu
menyingkirkan kemungkinan penyebab yang lain, seperti kandidiasis, keratolisis,
erithrasma, dermatitis kontak, eksim, atau psoriasis. Dermatofitosis diketahui
menyebabkan Athlet’s foot dan akan menunjukkan beberapa hifa bersepta dan
bercabang pada mikroskop.
Pada lampu wood (black light), meskipun berguna dalam mendiagnosis
infeksi jamur pada kulit kepala (Tinea kapitis), biasanya tidak membantu dalam
mendiagnosis Athlet’s foot, karena dermatofit umum yang menyebabkan penyakit
ini tidak berfluoresensi dibawah sinar ultraviolet.
9. PENATALAKSANAAN
Secara umum penatalaksanaan Tinea pedis didasarkan atas klasifikasi dan tipenya.
Tabel 1. Klasifikasi jenis Tinea pedis dan pengobatannya
Tipe Organisme Gejala Klinis Pengobatan
Penyebab
Moccasin Trichophyton Hiperkeratosis yang Antifungal topikal
rubrum difus, eritema dan disertai dengan obat-
retakan pada obatan keratolitik
Epidermophyton permukaan telapak asam salisilat, urea
floccosum kaki; pada umumnya dan asam laktat
Scytalidium sifatnya kronik dan untuk mengurangi
hyalinum sulit disembuhkan; hiperkeratosis; dapat
berhubungan dengan juga ditambahkan
S. dimidiatum
defisiensi Cell dengan obat-obatan
Mediated Immunity oral
(CMI)
Interdigital T. mentagrophytes Tipe yang paling Obat-obatan topikal;
sering; eritema, bisa juga
(var. interdigitale) krusta dan maserasi menggunakan obat-
T. rubrum yang terjadi pada obatan oral dan
sela-sela jari kaki, pemberian antibiotik
E. floccosum
jika terdapat infeksi
S. hyalinum bakteri; kronik :
S. dimidiatum ammonium klorida
hexahidrate 20 %
Candida spp.
Inflamasi / T. mentagrophytes Vesikel dan bula Obat-obatan topikal
Vesikobulosa pada pertengahan biasanya cukup pada
(var. kaki; berhubungan fase akut, namun
mentagrophytes) dengan reaksi apabila dalam
dermatofit keadaan berat maka
indikasi pemberian
glukokortikoid
Ulseratif T. rubrum Eksaserbasi pada Obat-obatan topikal;
daerah interdigital; antibiotik digunakan
T. Ulserasi dan erosi; apabila terdapat
mentagrophytes biasanya terdapat infeksi sekunder
E. floccosum infeksi sekunder oleh
bakteri; biasanya
terdapat pada pasien
imunokompromais
dan pasien diabetes
A. ANTIFUNGAL TOPIKAL
Obat topikal digunakan untuk mengobati penyakit jamur yang terlokalisir.
Efek samping dari obat-obatan ini sangat minimal, biasanya terjadi dermatitis
kontak alergi, yang biasanya terbuat dari alkohol atau komponen yang lain.
a. Imidazol Topikal. Efektif untuk semua jenis Tinea pedis tetapi lebih cocok
pada pengobatan Tinea pedis interdigitalis karena efektif pada dermatofit
dan kandida.
Klotrimazole 1 %. Antifungal yang berspektrum luas dengan
menghambat pertumbuhan bentuk yeast jamur. Obat dioleskan dua
kali sehari dan diberikan sampai waktu 2-4 minggu. Efek samping
obat ini dapat terjadi rasa terbakar, eritema, edema dan gatal.
Ketokonazole 2 % krim merupakan antifungal berspektrum luas
golongan Imidazol; menghambat sintesis ergosterol, menyebabkan
komponen sel yang mengecil hingga menyebabkan kematian sel
jamur. Obat diberikan selama 2-4 minggu.
Mikonazol krim, bekerja merusak membran sel jamur dengan
menghambat biosintesis ergosterol sehingga permeabilitas sel
meningkat yang menyebabkan keluarnya zat nutrisi jamur hingga
berakibat pada kematian sel jamur. Lotion 2 % bekerja pada daerah-
daerah intertriginosa. Pengobatan umumnya dalam jangka waktu 2-6
minggu.
b. Tolnaftat 1% merupakan suatu tiokarbamat yang efektif untuk sebagian besar
dermatofitosis tapi tidak efektif terhadap kandida. Digunakan secara lokal 2-
3 kali sehari. Rasa gatal akan hilang dalam 24-72 jam. Lesi interdigital oleh
jamur yang rentan dapat sembuh antara 7-21 hari. Pada lesi dengan
hiperkeratosis, tolnaftat sebaiknya diberikan bergantian dengan salep asam
salisilat 10 %.
c. Piridones Topikal merupakan antifungal yang bersifat spektrum luas dengan
antidermatofit, antibakteri dan antijamur sehingga dapat digunakan dalam
berbagai jenis jamur.
Sikolopiroksolamin. Pengunaan kliniknya untuk dermatofitosis,
kandidiasis dan tinea versikolor. Sikolopiroksolamin tersedia dalam
bentuk krim 1 % yang dioleskan pada lesi 2 kali sehari. Reaksi iritatif
dapat terjadi walaupun jarang terjadi.
d. Alilamin Topikal. Efektif terhadap berbagai jenis jamur. Obat ini juga
berguna pada Tinea pedis yang sifatnya berulang (seperi hiperkeratotik
kronik).
Terbinafine (Lamisil®), menurunkan sintesis ergosterol, yang
mengakibatkan kematian sel jamur. Jangka waktu pengobatan 1
sampai 4 minggu. Berdasarkan penelitian yang dilakukan bahwa
terbinafine 1% memiliki keefektifan yang sama dengan terbinafine
10% dalam mengobati tine pedis namun dalam dosis yang lebih kecil
dan lebih aman.
e. Antijamur Topikal Lainnya.
Asam benzoat dan asam salisilat. Kombinasi asam benzoat dan asam
salisilat dalam perbandingan 2 : 1 (biasanya 6 % dan 3 %) ini dikenal
sebagai salep Whitfield. Asam benzoat memberikan efek fungistatik
sedangkan asam salisilat memberikan efek keratolitik. Asam benzoat
hanya bersifat fungistatik maka penyembuhan baru tercapai setelah
lapisan tanduk yang menderita infeksi terkelupas seluruhnya. Dapat
terjadi iritasi ringan pada tempat pemakaian, juga ada keluhan yang
kurang menyenangkan dari para pemakainya karena salep ini
berlemak
Asam Undesilenat. Dosis dari asam ini hanya menimbulkan efek
fungistatik tetapi dalam dosis tinggi dan pemakaian yang lama dapat
memberikan efek fungisidal. Obat ini tersedia dalam bentuk salep
campuran yang mengandung 5 % undesilenat dan 20% seng
undesilenat.
Haloprogin. Haloprogin merupakan suatu antijamur sintetik,
berbentuk kristal kekuningan, sukar larut dalam air tetapi larut dalam
alkohol. Haloprogin tersedia dalam bentuk krim dan larutan dengan
kadar 1 %.
B. ANTIFUNGAL SISTEMIK
Pemberian antifungal oral dilakukan setelah pengobatan topikal gagal
dilakukan. Secara umum, dermatofitosis pada umumnya dapat diatasi dengan
pemberian beberapa obat antifungal di bawah ini antara lain :
1. Griseofulvin merupakan obat yang bersifat fungistatik. Griseofulvin dalam
bentuk partikel utuh dapat diberikan dengan dosis 0,5 – 1 g untuk orang
dewasa dan 0,25 - 0,5 g untuk anak-anak sehari atau 10-25 mg/kg BB. Lama
pengobatan bergantung pada lokasi penyakit, penyebab penyakit, dan
imunitas penderita. Setelah sembuh klinis dilanjutkan 2 minggu agar tidak
residif. Dosis harian yang dianjurkan dibagi menjadi 4 kali sehari. Di dalam
klinik cara pemberian dengan dosis tunggal harian memberi hasil yang
cukup baik pada sebagian besar penderita. Griseofulvin diteruskan selama 2
minggu setelah penyembuhan klinis. Efek samping dari griseofulvin jarang
dijumpai, yang merupakan keluhan utama ialah sefalgia yang didapati pada
15 % penderita. Efek samping yang lain dapat berupa gangguan traktus
digestivus yaitu nausea, vomitus dan diare. Obat tersebut juga dapat bersifat
fotosensitif dan dapat mengganggu fungsi hepar.
2. Ketokonazole. Obat per oral, yang juga efektif untuk dermatofitosis yaitu
ketokonazole yang bersifat fungistatik. Kasus-kasus yang resisten terhadap
griseofulvin dapat diberikan obat tersebut sebanyak 200 mg per hari selama
10 hari – 2 minggu pada pagi hari setelah makan. Ketokonazole merupakan
kontraindikasi untuk penderita kelainan hepar.
3. Itrakonazole. Itrakonazole merupakan suatu antifungal yangdapat digunakan
sebagai pengganti ketokonazole yang bersifat hepatotoksik terutama bila
diberikan lebih dari sepuluh hari. Itrakonazole berfungsi dalam menghambat
pertumbuhan jamur dengan mengahambat sitokorm P-45 yang dibutuhkan
dalam sintesis ergosterol yang merupakan komponen penting dalam sela
membran jamur. Pemberian obat tersebut untuk penyakit kulit dan selaput
lendir oleh penyakit jamur biasanya cukup 2 x 100-200 mg sehari dalam
selaput kapsul selama 3 hari. Interaksi dengan obat lain seperti antasida
(dapat memperlambat reabsorpsi di usus), amilodipin, nifedipin (dapat
menimbulkan terjadinya edema), sulfonilurea (dapat meningkatkan resiko
hipoglikemia). Itrakonazole diindikasikan pada Tinea pedis tipe moccasion.
Terbinafin. Terbinafin berfungsi sebagai fungisidal juga dapat diberikan sebagai
pengganti griseofulvin selama 2-3 minggu, dosisnya 62,5 mg – 250 mg sehari
bergantung berat badan. Mekanisme sebagai antifungal yaitu menghambat
epoksidase sehingga sintesis ergosterol menurun. Efek samping terbinafin
ditemukan pada kira-kira 10 % penderita, yang tersering gangguan gastrointestinal
di antaranya nausea, vomitus, nyeri lambung, diare dan konstipasi yang umumnya
ringan. Efek samping lainnya dapat berupa gangguan pengecapan dengan
presentasinya yang kecil. Rasa pengecapan hilang sebagian atau seluruhnya setelah
beberapa minggu makan obat dan bersifat sementara. Sefalgia ringan dapat pula
terjadi. Gangguan fungsi hepar dilaporkan pada 3,3 % - 7 % kasus. Terbinafin baik
digunakan pada pasien Tinea pedis tipe moccasion yang sifatnya kronik. Pada suatu
penelitian ternyata ditemukan bahwa pengobatan Tinea pedis dengan terbinafine
lebih efektif dibandingkan dengan pengobatan griseofulvin.
10. PENCEGAHAN
Salah satu pencegahan terhadap reinfeksi tinea pedis yaitu menjaga kaki
tetap dalam keadaan kering dan bersih, menghindari lingkungan yang lembab,
menghindari pemakaian sepatu yang terlalu lama, tidak berjalan dengan kaki
telanjang di tempat-tempat umum seperti kolam renang serta menghindari hindari
kontak dengan pasien yang sama. Penularan jamur ini biasanya asimptomatik,
sehingga umumnya tidak terlihat. Eradikasi jamur merupakan suatu hal yang sulit
dan membutuhkan proses yang panjang. Setelah mandi sebaiknya kaki dicuci
dengan benzoil peroksidase.
11. PROGNOSIS
DATA PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. NA
Umur : 10 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Pelajar
Agama : Islam
Alamat : Maguan Ketunggeng RT 2 RW 9 Dukun Kabupaten
Magelang
II. ANAMNESIS
- Keluhan Utama :
III. KESAN
- Kesadaran : Compos Mentis
- Keadaan Umum : Baik
- Vital Sign : Nadi : 86 x/menit
Respirasi : 24 x/menit
- Kepala : Mata : CA (-/-), SI (-/-)
Hidung : secret (-), epistaksis (-)
Mulut : lidah kotor (-), gusi berdarah (-0
Telinga : nyeri tekan (-), berdenging (-)
Tenggorokan : hiperemis (-), nyeri telan (-)
- Leher : pembesaran kelenjar tiroid (-), limfonodi (-)
- Paru :
PARU Depan Belakang
Statis Dinamis Statis Dinamis
Inspeksi Simetris Simetris, Simetris Simetris
Status Dermatologi
VI. TERAPI
Termisisl 2x1
Desoximethason 2x1
Interhistin tab 2x1
VII. PROGNOSIS
a. Vitam : Dubia ad bonam
b. Fungtionam : Dubia ad bonam
c. Sanasionam : Dubia ad bonam
DAFTAR PUSTAKA