Anda di halaman 1dari 18

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi

Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru. sebagian besar


oleh mikroorganisme (virus/bakteri) dan sebagian kecil disebabkan oleh hal lain
(aspirasi, radiasi, dll).1

3.2 Etiologi

Usia pasien merupakan faktor yang memegang peranan penting pada


perbedaan dan kekhasan pneumonia anak, terutama dalam spektrum etiologi,
gambaran klinis dan strategi pengobatan. Spektrum mikroorganisme penyebab
pada neonatus dan bayi kecil berbeda dengan anak yang lebih besar. Etiologi
pneumonia pada neonatus dan bayi kecil meliputi Streptococcus group B dan
bakteri Gram negatif seperti E.colli, Pseudomonas sp, atau Klebsiella sp. Pada
bayi yang lebih besar dan anak balita, pneumonia sering disebabkan oleh infeksi
Streptococcus pneumoniae, Haemophillus influenzae tipe B, dan Staphylococcus
aureus, sedangkan pada anak yang lebih besar dan remaja, selain bakteri tersebut,
sering juga ditemukan infeksi Mycoplasma pneumoniae. Dinegara maju,
pneumonia pada anak terutama disebabkan oleh virus, disamping bakteri, atau
campuran bakteri virus. (tabel 1)

Terdapat berbagai faktor resiko yang menyebabkan tingginya angka mortalitas


pneumonia pada anak balita di negara berkembang. Faktor resiko tersebut adalah:
pneumonia yang terjadi pada masa bayi, berat badan lahir rendah, tidak mendapat
imunisasi, tidak mendapat ASI yang adekuat, malnutrisi, defisiensi vitamin A,
tingginya prevalens kolonisasi bakteri patogen di nasofaring, dan tingginya
pajanan terhadap polusi udara (polusi industri atau asap rokok).1

12
13

Tabel 1. Etiologi pneumonia menurut umur


Usia Etiologi yang sering Etiologi yang jarang
Lahir – 20 hari Bakteri Bakteri
E. colli Bakteri an aerob
Streptococcus grup B Haemophillus influenza
Listeria monocytogenes Streptococcus pneumonia
Ureaplasmaurealyctims
Virus
3 minggu -3 bulan Bakteri Bakteri
Chalmydia trachomatis Bordetella pertussis
Streptococcus pneumonia Haemophilus influenza tipe B
Virus Moraxella cathralis
Virus adeno Staphylococcus aureus
Virus influenza Ureaplasmaurealyctims
Respiratory syncytial virus Virus
Virus parainfluenza 1,2,3 Virus sitomegalo
4 bulan – 5 tahun Bakteri Bakteri
Chalmydia trachomatis Haemophilus influenza tipe B
Streptococcus pneumonia Moraxella cathralis
Mycoplasma pneumoniae Staphylococcus aureus
Virus Neisseria meningitidis
Virus adeno virus
Virus influenza Virus varisela-Zoster
Respiratory syncytial virus
Virus rinovirusparainfluenza
5 tahun- remaja Bakteri Bakteri
Chalmydia trachomatis Haemophilus influenza tipe B
Streptococcus pneumonia legionella
Mycoplasma pneumoniae Staphylococcus aureus
virus
Virus adeno
Virus influenza
Respiratory syncytial virus
Virus rinovirusparainfluenza
Virus Epstein-Barr
Virus Varisela Zoster

3.3 Epidemiologi

Diperkirakan hampir seperlima kematian anak diseluruh dunia, lebih


kurang 2 juta anak balita meningal setiap tahun akibat pneumonia, sebagian besar
terjadi di Afrika dan Asia Tenggara. Menurut survei kesehatan nasional 2001,
27% kematian bayi, 22,8% kematian balita di Indonesia disebabkan oleh penyakit
respiratori, terutama pneumonia.1
14

3.4 Patofisiologi
Normalnya, saluran pernapasan steril dari daerah sublaring sampai
parenkim paru. Paru-paru dilindungi dari infeksi bakteri melalui mekanisme
pertahanan anatomis dan mekanis, dan faktor imun local dan sistemik. Mekanisme
pertahanan awal berupa filtrasi bulu hidung, reflex batuk, dan mukosilier
apparatus. Mekanisme pertahanan lanjut berupa sekresi IgA lokal dan respon
inflamasi yang diperantarai leukosit, komplemen, sitokin, immunoglobulin,
makrofag, alveolar, dan imunitas yang diperantarai sel.

Infeksi paru terjadi bila satu atau lebih mekanisme di atas terganggu, atau
bila virulensi organism bertambah. Agen infeskius masuk ke saluran napas bagian
bawah melalui inhalasi atau aspirasi flora komensal dari slauran napas bagian
atas, dan jarang mellaui hematogen. Virus dapat meningkatkan kemungkinan
terjangkiynya infeksi saluran napas bagian bawah dengan mempengaruhi
mekanisme pembersihan dan respon imun. Diperkirakan sekitar 25-75% anak
dengan pneumonia bakteri didahului dengan infeksi virus.

Invasi bakteri ke parenkim paru menimbulkan konsolidasi eksudatif


jaringan ikat paru yang bias lobular (bronkopneumonia), lobar, atau interstisiel.
Pneumonia bakteri dimulai dengan terjadinya hiperemi akibat pelebaran
pembuluh darah, eksudasi cairan intra-alveolar, penumpukan fibrin, dan infiltrasi
neutrofil, yang dikenal dengan stadium hepatisasi merah. Konsolidasi jaringan
menyebabkan penurunan compliance paru dan kapasitas vital. Peningkatan aliran
darah yang melewati paru yang terinfeksi menyebabkan terjadinya pergeseran
fisiologis (ventilation-perfusion mismatching) yang kemudian menyebabkan
terjadinya hipoksemia. Selanjutnya desaturasi oksigen menyebabkan peningkatan
kerja jantung.

Stadium berikutnya terutama diikuti penumpukan fibrin dan disintegrasi


progresif dari sel-sel inflamasi (hepatisasi kelabu). Pada kebanyakan kasus,
resolusi konsolidasi terjadi setelah 8-10 hari dimana eksudat dicerna secara
enzimatik untuk selanjutnya direabsorbsi dan dikeluarkan melalui batuk. Apabila
infeksi bakteri menetap dan meluas ke kavitas pleura, supurasi intrapleura
menyebbakan terjadinya empiema. Resolusi dari reaksi pleura dapat berlangsung
15

secara spontan, namun kebanyakan menyebabkan penebalan jaringan ikat dan


pembentukan perlekatan (Bennete, 2013).

Secara patologis, terdapat 4 stadium pneumonia, yaitu (Bradley et.al.,


2011):

1. Stadium I (4-12 jam pertama atau stadium kongesti)

Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang


berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan
peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia
ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast setelah
pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup
histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur
komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk
melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru.
Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium
sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus.
Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus
ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah
paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen
hemoglobin.

2. Stadium II (48 jam berikutnya)

Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah,
eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai bagian dari
reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya
penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah
dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau
sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung
sangat singkat, yaitu selama 48 jam.
16

3. Stadium III (3-8 hari berikutnya)

Disebut hepatisasi kelabu, yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih


mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin
terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel.
Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat
karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler
darah tidak lagi mengalami kongesti.

4. Stadium IV (7-11 hari berikutnya)

Disebut juga stadium resolusi, yang terjadi sewaktu respon imun dan
peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh
makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.

Antibiotik yang diberikan sedini mungkin dapat memotong perjalanan


penyakit, sehingga stadium khas yang telah diuraikan sebelumnya tidak terjadi.
Beberapa bakteri tertentu sering menimbulkan gambaran patologis tertentu bila
dibandingkan dengan bakteri lain. Infeksi streptococcus pneumoniae biasanya
bermanifestasi sebagai bercak-bercak konsolidasi merata di seluruh lapang paru
(bronkopneumonia), dan pada anak besar atau remaja dapat berupa konsolidasi
pada satu lobus (pneumonia lobaris). Pneumatokel atau abses-abses kecil sering
disebabkan oleh Staphylococcus aureus pada neonatus atau bayi kecil, karena
Staphylococcus aureus menghasilakan berbagai toksin dan enzim seperti
hemolisis, lekosidin, stafilokinase, dan koagulase. Toksin dan enzim ini
menyebabkan nekrosis, perdarahan, dan kavitas. Koagulase berinteraksi dengan
faktor plasma dan menghasilkan bahan aktif yang mengkonversi fibrinogen
menjadi fibrin, sehingga terjadi eksudat fibrinopurulen. Terdapat korelasi antara
produksi koagulase dan virulensi kuman. Staphylococcus yang tidak
menghasilkan koagulase jarang menimbulkan penyakit yang serius. Pneumatokel
dapat menetap hingga berbulan-bulan, tetapi biasanya tidak memerlukan terapi
lebih lanjut.1
17

3.5 Manifestasi klinis

Sebagian besar gambaran klinis pneumonia pada anak berkisar antara


ringan hingga sedang, sehingga dapat berobat jalan saja. Hanya sebagian kecil
yang berat, mengancam kehidupan, dan terdapat komplikasi sehingga
memerlukan perawatan di RS

Beberapa faktor yang mempengaruhi gambaran klinis pneumonia pada


anak adalah imaturitas anatomik dan imunologik, mikroorganisme penyebab yag
luas, gejala klinis yang kadang-kadang tidak khas terutama pada bayi, terbatasnya
penggunaan prosedur diagnostik invasif, etiologi non infeksi yang relatif lebih
sering dan faktor patogenesis. Disamping itu, kelompok usia pada anak
merupakan faktor penting yang menyebabkan karakteristik penyakit berbeda-
beda, sehingga perlu dipertimbangkan dalam tatalaksana pneumonia.

Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung pada berat ringannya
infeksi, tetapi secara umum adalah sebagai berikut:

 Gejala infeksi umum, yaitu demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan
napsu makan, keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah atau diare;
kadang-kadang ditemukan gejala infeksi ekstrapulmuner
 Gejala gangguan respiratori untuk batuk, sesak napas, retraksi dada, takipnea,
napas cuping hidung, air hunger, merintih, dan sianosis.

Pada pemeriksaan dapat ditemukan tanda klinis seperti pekak perkusi,


suara napas melemah, dan ronki. Akan tetapi pada neonatus dan bayi kecil, gejala
dan tanda pneumonia lebih beragam dan tidak selalu jelas terlihat. Pada perkusi
dan auskultasi paru umumnya tidak ditemukan kelainan.1

Pasien biasanya mengalami demam tinggi, batuk, gelisah, rewel, dan sesak
nafas. Pada bayi, gejalanya tidak khas, seringkali tanpa demam dan batuk. Anak
besar kadang mengeluh sakit kepala, nyeri abdomen disertai muntah.2

Manifestasi klinis yang terjadi akan berbeda-beda berdasarkan kelompok


umur tertentu. Pada neonatus sering dijumpai takipneu, retraksi dinding dada,
grunting, dan sianosis. Pada bayi-bayi yang lebih tua jarang ditemukan grunting.
18

Gejala yang sering terlihat adalah takipneu, retraksi, sianosis, batuk, panas, dan
iritabel.

Pada anak pra sekolah, gejala yang sering terjadi adalah demam, batuk
(non produktif/produktif), takipneu, dan dispneu yang ditandai dengan retraksi
dinding dada. Pada kelompok anak sekolah dan remaja, dapat dijumpai panas,
batuk (non produktif/produktif), nyeri dada, nyeri kepala, dehidrasi dan letargi.
Pada semua kelompok umur, akan dijumpai adanya nafas cuping hidung.

Pada auskultasi, dapat terdengar suara pernapasan menurun. Fine creackles


(ronki basah halus) yang khas pada anak besar, bisa tidak ditemukan pada bayi.
Gejala lain pada anak besar adalah dull (redup) pada perkusi, vokal fremitus
menurun, suara nafas menurun, dan terdengar fine creakles (ronkhi basah halus) di
daerah yang terkena. Iritasi pleura akan mengakibatkan nyeri dada; bila berat
gerakan dada menurun waktu inspirasi, anak berbaring ke arah yang sakit dengan
kaki fleksi. Rasa nyeri dapat menjalar ke leher, bahu dan perut.2

3.6 Diagnosis kerja

Pneumonia pada anak umumnya didiagnosis berdasarkan gambaran klinis


yang menunjukkan keterlibatan sistem respiratori, serta gambaran radiologis.
Prediktor paling kuat adanya pneumonia adalah demam, sianosis, dan lebih dari
satu gejala respiratori berikut: takipnea, batuk, nafas cuping hidung, retraksi, ronki
dan suara nafas melemah. Tanda bahaya pada anak:1,3

1. Usia 2 bulan – 5 tahun adalah tidak dapat minum, kejang, kesadaran menurun,
stridor, dan gizi buruk
2. Tanda bahaya pada anak berusia dibawah 2 bulan adalah malas minum,
kejang, kesadaran menurun, stridor, mengi dan demam/badan terasa dingin.
19

Berikut adalah kalsifikasi pneumonia berdasarkan pedoman diagnosis dari WHO:

Usia 2 bulan – 5 tahun

 Pneumonia berat:
- bila ada sesak nafas
- harus dirawat dan diberikan antibiotik
 Pneumonia
- bila tidak ada sesak nafas
- ada nafas cepat dengan laju nafas:
 >50x/menit untuk anak usia 2 bulan-1 tahun
 >40x/menit untuk anak >1-5 tahun
- Tidak perlu dirawat, diberikan antibiotik oral
 Bukan pneumonia
- Bila tidak ada nafas cepat dan sesak nafas
- Tidak perlu dirawat dan tidak perlu antibiotik, hanya diberikan
pengobatan simtomatis seperti penurun panas

Usia < 2 bulan

 Pneumonia
- Bila ada nafas cepat (>60x/menit) atau sesak nafas
- Harus dirawat dan diberikan antibiotic
 Bukan pneumonia
- Tidak ada nafas cepat atau sesak nafas
- Tidak perlu dirawat, cukup diberikan pengobatan simptomatis.2,3

3.7 Diagnosis banding

1. Bronkiolitis
Gejala awal berupa gejala infeksi respiratori atas akibat virus, seperti pilek
ringan, batuk, dan demam. Satu hingga dua hari kemudian timbul batuk
yang disertai dengan sesak napas. Selanjutnya dapat ditemukan wheezing,
sianosis, merintih (grunting), napas berbunyi, muntah setelah batuk, rewel,
20

dan penurunan nafsu makan. Pada pemeriksaan fisik pada anak yang
mengarah ke diagnosis bronkiolitis adalah adanya takipnea, takikardi, dan
peningkatan suhu diatas 38,5 derajad celcius. Selain itu, dapat juga
ditemukan konjungtivitis ringan dan faringitis. Obstruksi saluran
respiratori bawah akibat respon inflamasi akut akan menimbulkan gejala
ekspirasi memanjang hingga wheezing. Usaha-usaha pernapasan yang
dilakukan anak untuk mengatasi obstruksi akan menimbulkan napas
cuping hidung dan retraksi interkostal. Selain itu, dapat juga ditemukan
ronki dari pemeriksaan auskultasi paru. sianosis dapat terjadi dan bila
gejala menghebat, dapat terjadi apnea, terutama pada bayi berusia 6
minggu.

Pada rontgen toraks didapatkan gambaran hiperinflasi dan infiltrat, tetapi


gambaran ini tidak spesifik dan dapat ditemukan pada asma, pneumonia
viral atau atipikal, dan aspirasi. Dapat pula ditemukan gambaran
atelektasis, terutama pada saat konvalesens akibat sekret pekat bercampur
sel-sel mati yang menyumbat, air trapping, diafragma datar dan
peningkatan diameter antero-posterior.

Sebagian besar tatalaksana bronkiolitis pada bayi bersifat suportif, yaitu


pemberian oksigen, minimal handling pada bayi, cairan intravena dan
kecukupan cairan, penyesuaian suhu lingkungan agar konsumsi oksigen
minimal, tunjangan respirasi bila perlu, dan nutrisi. Setelah itu barulah
digunakan bronkodilator, anti-inflamasi seperti kortikosteroid, antiviral
seperti ribavirin, dan pencegahan dengan vaksin RSV, RSV
immunoglobuline, atau humanized RSV monoclonal antibody
(palivizumab).4

2. Bronkitis
Bronkitis akut adalah proses inflamasi selintas yang mengenai trakea,
bronkus utama dan menengah yang bermanifestasi sebagai batuk, serta
biasanya akan membaik tanpa terapi dalam 2 minggu. Pemeriksaan
21

auskultasi dada biasanya tidak khas pada stadium awal. Seiring


perkembangan dan progresivitas batuk, dapat terdengar berbagai macam
ronki, suara napas yang berat dan kasar, wheezing, ataupun suatu
kombinasi. Hasil pemeriksaan radiologis biasanya normal atau didapatkan
peningkatan corakan bronkial. Pada umumnya, gejala akan menghilang
dalam 10-14 hari. Bila tanda-tanda klinis menetap hingga 2-3 minggu,
perlu dicurigai adanya proses kronis. Selain itu, dapat juga terjadi infeksi
bakteri sekunder.4

3.8 Pemeriksaan penunjang

1. Darah Perifer Lengkap


pada pneumonia virus dan juga pada pneumonia mikoplasma umumnya
ditemukan leukosit dalam batas normal ataus sedikit meningkat. Akan
tetapi, pada pneumonia bakteri didapatkan leukositosis yang berkisar
antara 15.000-40.000/mm3 dengan predominan PMN. Leukopenia (
>5.000/mm3) menunjukan prognosis yang buruk. Leukositosis hebat (<
3.000/ mm3) hampir selalu menunjukkan adanya infeksi bakteri, sering
ditemukan pada keadaan bakteriemi, dan risiko terjadinya komplikasi
lebih tinggi. Pada infeksi Chalmydia pneumoniae kadang-kadang
ditemukan eosinofiilia. Efusi pleura merupakan cairan eksudat dengan sel
PMN berkisar antara 300-100.000/mm3, protein >2,5 g/dl, dan glukosa
relatif lebih rendah daripada glukosa darah. Kadang-kadang terdapat
anemia ringan dan laju endap darah (LED) yang meningkat. Secara umum,
hasil pemeriksaan darah perifer lengkap dan LED tidak dapat
membedakan antara infeksi virus dan infeksi bakteri secara pasti.
2. C- Reactive Protein (CRP)
CRP adalah suatu protein fase akut yang disintesis oleh hepatosit. Sebagai
respon infeksi atau inflamasi jaringan, produksi CRP secara cepat
distimulasi oleh sitokin, terutama inteleukin (IL) -6, IL-1, dan TNF.
Meskipun fungsi pastinya belum diketahui, CRP sangat mungkin berperan
dalam opsonisasi mikroorganisme atau sel yang rusak. Kadar CRP
22

biasanya lebih rendah pada infeksi virus dan infeksi bakteri superfisialis
daripada infeksi bakteri profunda. CRP kadang-kadang digunakan untuk
evaluasi respon terapi antibiotik.
3. Uji Serologi
Uji serologi untuk mendeteksi antigen dan antibodi pada infeksi bakteri
tipik mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang rendah. Akan tetapi,
diagnosis infeksi streptokokus grup A dapat dikonfirmasi dengan
peningkatan titer antibodi seperti antistreptolisin O, streptozim, atau
antiDnase B. Peningkatan titer dapat juga berarti adanya infeksi terdahulu.
Untuk konfirmasi diperlukan serum fase akut dan serum fase konvalesen
4. Pemeriksaan Mikrobiologis
Pemeriksaan mikrobiologik untuk diagnosis pneumonia anak tidak rutin
dilakukan kecuali pada pneumonia berat yang dirawat di Rs. Untuk
pemeriksaan mikrobiologis spesimen dapat berasal dari usap tenggorok,
sekret nasofaring, bilasan bronkus, darah, pungsi pleura, atau aspirasi paru.
diagnosis dikatakan definitif bila kuman ditemukan dari darah, cairan
pleura, atau aspirasi paru. kecuali pada masa neonatus, kejadian
bakteremia sangat rendah sehingga kultur darah jarang yang positif.
Spesimen yang memenuhi syarat adalah sputum yang mengandung lebih
dari 25 lekosit dan kurang dari 40 sel epitel/ lapangan pada pemeriksaan
mikroskopis dengan pemebesaran kecil.
5. Rontgen Thoraks
Umumnya pemeriksaan yang diperlukan untuk menunjang diagnosis
pneumonia di Instalasi gawat darurat hanyalah pemeriksaan rontgen toraks
posisi AP. Posisi lateral tidak meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas
penegakan diagnosis pneumonia pada anak. Foto AP lateral hanya
dilakuakan pada pasien dengan tanda dan gejala klinik distress pernapasan.
Gambaran foto rongen toraks pneumonia pada anak meliputi infiltrat
ringan pada satu paru hingga konsolidasi luas pada kedua paru. pada suatu
penelitian ditemukan bahwa lesi pneumonia pada anak terbanyak berada di
paru kanan, terutama lobus atas. Bila ditemukan di paru kiri, dan
terbanyak di lobus bawah, maka hal itu merupakan prediktor perjalanan
23

penyakit yang lebih berat dengan resiko terjadinya pleuritis lebih


meningkat.
Gambaran foto rontgen toraks dapat membantu mengarahkan
kecenderungan etiologi pneumonia. Penebalan peribronkial, infiltrat
intersisial merata dan hiperinflasi cenderung terlihat pada pneumonia
virus. Infiltrat alveolar berupa konsolidari segmen atau lobar,
bronkopneumonia dan air bronchogram sangat mungkin disebabkan oleh
bakteri. Pada pneumonia stafilokokus sering ditemukan abses-abses kecil
dan pneumatokel dengan berbagai ukuran. Jika terdapat gambaran
retikonodular fokal pada satu lobus, hal ini cenderung disebabkan oleh
infeksi mikoplasma. Demikian pula bila terlihat gambaran perkabutan atau
ground glass consolidation, serta transient pseudoconsolidation karena
infiltrat intersisial yang konfluens, patut dipertimbangkan adanya infeksi
mikoplasma.1

3.9 Tatalaksana

Sebagian besar pneumonia pada anak tidak perlu dirawat inap.indikasi


perawatan terutama berdasarkan terat ringannya penyakit, misalnya toksis, distres
pernapasan, tidak mu makan/minum, atau ada penyakit dasar yang lina,
komplikasi dan terutama mempertimbangkan usia pasien. Neonatus dan bayi kecil
dengan kemungkinan klinis pneumonia harus dirawat inap. Dasar tatalaksana
pneumonia rawat inap adalah pengobatan kausal dengan antibiotik yang sesuai,
serta tindakan suportif. Pengobatan suportif meliputi pemberian cairan intravena,
terapi oksigen, koreksi terhadap gangguan keseimbangan asam-basa, elektrolit
dan gula darah. Untuk nyeri dan demam dapat diberikan analgetik/antipiretik.
Suplementasi vitamin A tidak terbukti efektif. Penyakit penyerta harus
ditanggulangi dengan adekuat, kompilasi yang mungkin terjadi harus dipantau dan
diatasi.

Penggunaan antibiotik yang tepat merupakan kunci utama keberhasilan


pengobatan. Terapi antibiotik harus segera diberikan pada anak dengan
24

pneumonia yang diduga disebabkan oleh bakteri. Identifikasi dini mikroorganisme


penyebab tidak dapat dilakukan karena tidak tersedianya uji mikroniologis cepat.
Oleh karena itu, antibiotik dipilih berdasarkan pengalaman empiris. Umumnya
pemilihan antibiotik empiris didarkan pada kemungkinan etiologi penyebab
dengan mempertimbangkan usia dan keadaan klinis pasien serta faktor
epidemiologis(tabel 2).1

 Pneumonia rawat jalan


Pada pneumonia rawat jalan dapat diberikan antibiotika lini pertama secara
oral, misalnya amoksisilin atau kotrimoksazol. Pada pneumonia ringan
berobat jalan, dapat diberikan antibiotik tunggal oral dengan efektifitas yang
mencapai 90%. Penelitian multisenter di Pakistan menemukan bahwa pada
pneumonia rawat jalan, pemberian amoksisilin dan kotrimoksazol dua kali
sehari mempunyai efektifitas yang sama. Dosis amoksisilin yang diberikan
25mg/kgBB, sedangkan kotrimoksazol adalah 4mg/kgBB TMP-20mg/kgBB
sulfametoksazol). Makrolid, baik eritromisin maupun makrolid baru dapat
digunakan sebagai terapi alternatif beta laktam untuk pengobatan inisial
pneumonia, dengan pertimbangan adanya aktivitas ganda terhadap
S.pneumoniae dan bakteri atipik.
 Pneumonia rawat inap
Pilihan antibiotik lini pertama dapat menggunakan antibiotik golongan beta-
laktam atau kloramfenikol. Pada pneumonia yang tidak responsif terhadap
beta laktam dan kolramfenikol dapat diberikan antibiotik lain seperti
gentamisin, amikasin, atau sefalosporin, sesuai dengan petunjuk etiologi yang
ditemukan. Terapi antibiotik diteruskan selama 7-10 hari pada pasien dengan
pneumonia tanpa komplikasi, meskipun tidak ada studi kontrol mengenai lama
terapi antibiotik yang optimal.

Pada neonatus dan bayi kecil, terapi awal antibiotik intravena harus dimulai
sesegera mungkin. Oleh karena pada neonatus dan bayi kecil sering terjadi
sepsis dan meningitis, antibiotik yang direkomendasikan adalah antibiotik
spektrum luas seperti kombinasi beta laktam/klavulonat dengan
25

aminoglikosid, atau sefalosporin generasi ketiga. Bila keadaan sudah stabil,


antibiotik dapat diganti dengan antibiotik oral selama 10 hari.

Pada balita dan anak lebih besar, antibiotik yang direkomendasikan adalah
antibiotik beta-laktam/klavulanat; pada kasus yang lebih berat diberika beta
laktam/klavulanat dikombinasikan dengna makrolid baru intravena, atau
sefalosporin generasi ketiga. Bila pasien sudah tidak demam atau keadaan
sudah stabil, antibiotik diganti dengan antibiotik oral dan berobat jalan.1

Pada pneumonia rawat inap, berbagai RS di Indonesia memberikan antibiotik


beta laktam, ampisilin, atau amoksisilin, dikombinasikan dengan
kloramfenikol.
Tabel 2. Tatalksana pneumonia menurut etiologinya
Pathogen Rekomendasi terapi Terapi alternative
Streptococc Sefuroksimaxetil, eritromisin,
us Seftriakson, sefoktaksim, penisilin
pneumonia klindamisin, atauvaksomisin.
G ataupenisilin V
Streptococc Sefuroksimaxetil, eritromisin,
us grup A Penisilin G
sefuroksim
Streptococc
us grup B Penisilin G
Haemophilu Sefuroksimaxetil,,sefuroksim
s influenza Seftriekson, sefotaksim,
tipe B
ampisilin-sulbaktam,
atauampisilin
Sefotaksimdenganataupuntanpaa Piperacilin-
Bakteriaer
minoglikosida tazobactamditambahsediaanami
ob gram
noglikosid
negatif
Seftazidimdenganataupuntanpaam Piperacillin-
p.
inoglikosida tazobactamditambahsediaanami
aeroginosa
noglikosida
Nafsilin, sefazolin, klindamisin Vankomisin (untuk MRSA)
Staphyloco
(untuk MRSA)
26

ccus
aureus
Eritromisin, Doksisiklin (<9 tahun),
Chel,ydop
azitromisinatauklaritomisin florokuinolon (>18 tahun)
hilis
pneumonia
Eritromisin, azitromisin,
Chalmydia
atauklaritomisin
trachomati
s
asiklovir
Herpes
simplex
virus

3.10 Komplikasi

Komplikasi pneumonia pada anak meliputi empiema torasis, perikarditis


purulenta, pneumotoraks, atau infeksi ekstrapulmuner seperti meningitis
purulenta. Empiema torasis merupakan komplikasi tersering yang terjadi pada
pneumonia bakteri

Ilten F dkk. Melaporkan mengenai komplikasi miokarditis yang cukup tinggi pada
seri pneumonia anak berusia 2-24 bulan. Oleh karena miokarditis merupakan
keadaan yang fatal, maka dianjurkan untuk melakukan deteksi dengan teknik
noninvasif seperti EKG, ekokardiografi, dan pemeriksaan enzim.1

3.11 Prognosis

Pada umumnya anak akan sembuh dari pneumonia dengan cepat dan
sembuh sempurna, walaupun kelainan radiologi dapat bertahan selama 6-8
minggu sebelum kembali ke kondisi normal. Pada beberapa anak, pneumonia
dapat berlangsung lebih lama dari 1 bulan atau dapat berulang. Pada kasus seperti
27

ini keumgnkinan adanya penyakit lain yang mendasari harus dinvestigasi lebih
lanjut, seperti dengan uji tuberkulin, pemeriksaan hidroklorida keringat untuk
penyakit kistik fibrosis, pemeriksaan imunoglobulin serum dan determinasi sub
kelas IgG, bronkoskopi untuk identifikasi kelaianan anatomis atau mencari benda
asing, dan pemeriksaan barium meal untuk refluks gastroeusofageal.5

3.12 Pencegahan

Vaksin influenza yang diberikan tiap tahun dianjurkan untuk seluruh anak
berusia 6 bulan- 18 tahun. Bayi 6 bulan sampai dengan anak usia 5 tahun
memiliki risiko tinggi terjadinya komplikasi dari influenza yang dilemahkan dapat
diberikan pada pasien 2-49 tahun. Beberapa vaksin trivalen telah memiliki lisensi
untuk digunakan sejak berusia 6 bulan. vaksinasi universal sejak masa kanak-
kanak dengan vaksinasi H. Influenza tipe B terkonjungasi dan S.pneumonia telah
menurunkan insidens terjadinya pneumonia secara bermakna. Keparahan suatu
infeksi RSV dapat dikurangi dengan menggunakan palivisumab pada pasien yang
beresiko tinggi.5

Upaya mengurangi durasi ventilasi mekanik dan pemberian antibiotik


dengan bijaksana dapat menurunkan pneumonia akibat ventilator. Tempat tidur
pada bagian kepala harus dinaikan setinggi 30-45 derajaT pada pasien terintubasi
untuk meminimalisasi risiko aspirasi dan semua instrumen penghisap lendir dan
cairan saline harus steril. Cuci tangan baik sebelum dan setelah kontak dengan
setiap pasien dan menggunakan sarung tangan steril ketika menggunakan
prosedur invasif sangat penting untuk mencegah terjadinya penularan infeksi
nosokomial. Staf rumah sakit yang mengalami penyakit respiratori atau menjadi
pembawa penyakit tertentu seperti MRSA (methicillin-resisten S.aureus) harus
mematuhi kebijakan pengendalian infeksi untuk mencegah transmisi penyakit
kepada pasien. Sterilisasi peralatan sumber aerosol (misalnya alat pendingin
udara) dapat mencegah terjadinya pneumonia Legionella.5

Untuk mencegah pneumonia perlu partisipasi aktif dari masyarakat atau


keluarga terutama ibu rumah tangga, karena pneumonia sangat dipengaruhi oleh
28

kebersihan di dalam dan di luar rumah. Pencegahan pneumonia bertujuan untuk


menghindari terjadinya penyakit pneumonia pada balita. Berikut adalah upaya
untuk mencegah terjadinya penyakit pneumonia :

1. Perawatan selama masa kehamilan


Untuk mencegah risiko bayi dengan berta badan lahir rendah, perlu gizi ibu
selama kehamilan dengan mengkonsumsi zat-zat bergizi yang cukup bagi
kesehatan ibu dan pertumbuhan janin dalam kandungan serta pencegahan
terhadap hal-hal yang memungkinkan terkenanya infeksi selama kehamilan.
2. Perbaikan gizi balita

Untuk mencegah risiko pneumonia pada balita yang disebabkan karena


malnutrisi, sebaiknya dilakukan dengan pemberian ASI pada bayi neonatal
sampai umur 2 tahun. Karena ASI terjamin kebersihannya, tidak
terkontaminasi serta mengandung faktor-faktor antibodi sehingga dapat
memberikan perlindungan dan ketahanan terhadap infeksi virus dan bakteri.
Oleh karena itu, balita yang mendapat ASI secara ekslusif lebih tahan infeksi
dibanding balita yang tidak mendapatkannya.

3. Memberikan imunisasi lengkap pada anak


Untuk mencegah pneumonia dapat dilakukan dengan pemberian imunisasi
yang memadai, yaitu imunisasi anak campak pada anak umur 9 bulan,
imunisasi DPT (Difteri, Pertusis, Tetanus) sebanyak 3 kali yaitu pada umur 2
bulan, 3 bulan dan 4 bulan.
4. Memeriksakan anak sedini mungkin apabila terserang batuk.
Balita yang menderita batuk harus segera diberi pengobatan yang sesuai untuk
mencegah terjadinya penyakit batuk pilek biasa menjadi batuk yang disertai
dengan napas cepat/sesak napas.
5. Mengurangi polusi didalam dan diluar rumah
Untuk mencegah pneumonia disarankan agar kadar debu dan asap diturunkan
dengan cara mengganti bahan bakar kayu dan tidak membawa balita ke dapur
serta membuat lubang ventilasi yang cukup. Selain itu asap rokok, lingkungan
tidak bersih, cuaca panas, cuaca dingin, perubahan cuaca dan dan masuk angin
29

sebagai faktor yang memberi kecenderungan untuk terkena penyakit


pneumonia.
6. Menjauhkan balita dari penderita batuk.
Balita sangat rentan terserang penyakit terutama penyakit pada saluran
pernapasan, karena itu jauhkanlah balita dari orang yang terserang penyakit
batuk. Udara napas seperti batuk dan bersin-bersin dapat menularkan
pneumonia pada orang lain. Karena bentuk penyakit ini menyebar dengan
droplet, infeksi akan menyebar dengan mudah. Perbaikan rumah akan
menyebabkan berkurangnya penyakit saluran napas yang berat. Semua anak
yang sehat sesekali akan menderita salesma (radang selaput lendir pada
hidung), tetapi sebagian besar mereka menjadi pneumonia karena
malnutrisi.1,3,5

Anda mungkin juga menyukai