Etiologi
Etiologi kondrosarcoma masih belum diketahui secara pasti. Informasi
etiologi kondrosarkoma masih sangat minimal. Namun berdasarkan penelitian yang
terus berkembang didapatkan bahawa kondrosarkoma berhubungan dengan tumor-
tumor tulang jinak seperti enkondroma atau osteokondroma sangat besar
kemungkinannya untuk berkembang menjadi kondrosarkoma.[3] Tumor ini dapat juga
terjadi akibat efek samping dari terapi radiasi untuk terapi kanker selain bentuk
kanker primer. Selain itu, pasien dengan sindrom enkondromatosis seperti Ollier
disease dan Maffuci syndrome, beresiko tinggi untuk terkena kondrosarkoma.[1]
Patofisiologi
Patofisiologi kondrosarkoma primer maupun sekunder adalah terbentuknya
kartilago oleh sel-sel tumor tanpa disertai osteogenesis. Sel tumor hanya
memproduksi kartilago hialin yang mengakibatkan abnormalitas pertumbuhan tulang
dan kartilago. Secara fisiologis, kondrosit yang mati dibersihkan oleh osteoklas
kemudian daerah yang kosong itu, diinvasi oleh osteoblas-osteoblas yang melakukan
proses osifikasi. Proses osifikasi ini menyebabkan diafisis bertambah panjang dan
lempeng epifisis kembali ke ektebalan semula. Seharusnya kartilago yang diganti
oleh tulang di ujung diafisis lempeng memiliki ketebalan yang setara dengan
pertumbuhan kartilago baru di ujung epifisis lempeng. Namun pada kondrosarkoma,
proses osteogenesis tidak terjadi, sel-sel kartilago menjadi ganas dan menyebabkan
abnormalitas penonjolan tulang, dengan berbagai variasi ukuran dan lokasi.
Proses keganasan kondrosit dapat berasal dari perifer atau sentral. Apabila lesi
awal dari kanalis intramedular, di dlalam tulang itu sendiri dinamakan
kondrosarkoma sentral sedangkan kondrosarkoma perifer apabila lesi dari permukaan
tulang seperti kortikal dan periosteal. Tumor kemudian tumbuh membesar dan
mengikis korteks sehingga menimbulkan reaksi periosteal pada formasi tulang baru
dan soft tissue.[3][11]
Gambar proses pembentukan sarcoma tulang dan tisu lunak
Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan penting dalam usaha
penegakan diagnosis tumor. Pada kondrosarkoma, pemeriksaan radiologi yang dapat
dilakukan meliputi foto konvensional, CT Scan,dan MRI. Selain itu kondrosarkoma
juga dapat diperiksa dengan USG dan Nuclear Medicine.[11]
Foto konvensional
Foto konvensional merupakan pemeriksaan penting yang dilakukan untuk
diagnosis awal kondrosarkoma. Baik kondrosarkoma primer atau sentral memberikan
gambaran radiolusen pada area dekstruksi korteks. Bentuk destruksi biasanya berupa
pengikisan dan reaksi eksternal periosteal pada formasi tulang baru. Karena ekspansi
tumor, terjadi penipisan korteks di sekitar tumor yang dapat mengakibatkan fraktur
patologis. Scallop erosion pada endosteal cortex terjadi akibat pertumbuhan tumor
yang lambat dan permukaan tumor yang licin. Pada kondrosarkoma, endosteal
scalloping kedalamannya lebih dari 2/3 korteks, maka hal ini dapat membedakan
kondrosarkoma dengan enkondroma. Gambaran kondrosarkoma lebih agresif disertai
destruksi tulang, erosi korteks dan reaksi periosteal, jika dibandingkan dengan
enkondroma.[11][12]
Tidak ada kriteria absolut untuk penentuan malignansi. Pada lesi malignan,
penetrasi korteks tampak jelas dan tampak massa soft tissue dengan kalsifikasi.
Namun derajat bentuk kalsifikasi matriks ini dapat dijadikan patokan grade tumor.
Pada tumor yang agresif, dapat dilihat gambaran kalsifikasi matriks iregular. Bahkan
sering pula tampak area yang luas tanpa kalsifikasi sama sekali. Destruksi korteks dan
soft tissue di sekitarnya juga menunjukkan tanda malignansi tumor. Jika terjadi
destruksi dari kalsifikasi matriks yang sebelumnya terlihat sebagai enkondroma, hal
tersebut menunjukkan telah terjadi perubahan ke arah keganasan menjadi
kondrosarkoma.
CT Scan
Dari 90% kasus ditemukan gambaran radiolusen yang berisi kalsifikasi
matriks kartilago. Pada pemeriksaan CT scan didapatkan hasil lebih sensitif untuk
penilaian distribusi kalsifikasi matriks dan integritas korteks. Endosteal cortical
scalloping pada tumor intramedullar juga terlihat lebih jelas pada CT scan
dibandingkan dengan foto konvensional. CT scan ini juga dapat digunakan untuk
memandu biopsi perkutan dan menyelidiki adanya proses metastase di paru-paru.
MRI
MRI merupakan modalitas untuk mengevaluasi penyebaran lokal dari tumor
karena kemampuan yang baik dalam interpretasi sumsum tulang dan jaringan lunak.
MRI merupakan tehnik pencitraan yang paling akurat untuk menentuan stadium dari
osteosarkoma dan membantu dalam menentukan manajemen pembedahan yang tepat.
Untuk tujuan stadium dari tumor, penilaian hubungan antara tumor dan kompartemen
pada tempat asalnya merupakan hal yang penting. Tulang, sendi dan jaringan lunak
yang tertutupi fascia merupakan bagian dari kompartemen. Penyebaran tumor
intraoseus dan ekstraoseus harus dinilai. Fitur yang penting dari penyakit intraoseus
adalah jarak longitudinal tulang yang mengandung tumor, keterlibatan epifisis, dan
adanya skip metastase. Keterlibatan epifisis oleh tumor telah diketahui sering terjadi
daripada yang diperkirakan, dan sulit terlihat dengan gambaran foto polos.
Keterlibatan epifisis dapat didiagnosa ketika terlihat intensitas sinyal yang sama
dengan tumor yang terlihat di metafisis yang berhubungan dengan destruksi fokal
dari lempeng pertumbuhan. Skip metastase merupakan focus synchronous dari tumor
yang secara anatomis terpisah dari tumor primer namun masih berada pada tulang
yang sama. Deposit sekunder pada sisi lain dari tulang dinamakan transarticular skip
metastase. Pasien dengan skip metasase lebih sering mempunyai kecenderungan
adanya metastase jauh dan interval survival bebas tumor yang rendah. Penilaian dari
penyebaran tumor ekstraoseus melibatkan penentuan otot manakah yang terlibat dan
hubungan tumor dengan struktur neurovascular dan sendi sekitarnya. Hal ini penting
untuk menghindari pasien mendapat reseksi yang melebihi dari kompartemen yang
terlibat. Keterlibatan sendi dapat didiagnosa ketika jaringan tumor terlihat menyebar
menuju tulang subartikular dan kartilago.[11]
Ultrasonography
Ultrasonography tidak secara rutin digunakan untuk menentukan stadium dari
lesi. Ultrasonography berguna sebagai panduan dalam melakukan percutaneous
biopsi. Pada pasien dengan implant prostetik, Ultrasonography mungkin merupakan
modalitas pencitraan satu satunya yang dapat menemukan rekurensi dini secara lokal,
karena penggunaan CT atau MRI dapat menimbulkan artefak pada bahan metal.
Meskipun ultrasonography dapat memperlihatkan penyebaran tumor pada jaringan
lunak, tetapi tidak bisa digunnakan untuk mengevaluasi komponen intermedula dari
lesi.[11]