Anda di halaman 1dari 45

BAB I

KONSEP DASAR MEDIS

A. Definisi Giant Cell Tumor


Giant cell tumor (tumor sel raksasa) juga dikenal sebagai osteoklastoma
adalah suatu neoplasma yang mengandung sejumlah besar sel raksasa mirip
osteoklas bercampur dengan sel mononukleus. Tumor ini juga sering terjadi,
membentuk sekitar 20% dari semua tumor jinak tulang (Supriyati & Irwinsyah.
2017).
Tumor giant cell (tgc) tulang merupakan sebuah lesi yang bersifat jinak
tetapi secara lokal dapat bersifat agresif dan destruktif yang ditandai dengan
adanya vaskularisasi yang banyak pada jaringan penyambung termasuk proliferasi
sel-sel mononuklear pada stroma dan banyaknya sel datia yang tersebar serupa
osteoklas (Supriyati & Irwinsyah. 2017).

(Ga mb

ar 1. Lokasi GCT pada epiphysis.)

Giant cell tumor atau oesteoclastoma adalah tumor yang relatif jarang,
ditandai dengan adanya sel giant multinuklear. Jenis tumor ini biasanya dianggap
sebagai tumor jinak. Gct, yang paling sering terjadi pada epiphysis tulang panjang,
merupakan tumor jinak yang meluas kaya akan sel raksasa osteoklastik. Sering
terjadi pada usia 20 sampai 40 tahun (Supriyati & Irwinsyah. 2017).
Sebagian besar tumor sel raksasa terjadi pada tulang panjang, tibia
proksimal, distal femur, radius distal, dan humerus bagian proksimal, meskipun
giant cell tumor ini juga telah dilaporkan dapat terjadi pada sakrum, kalkaneus,
serta tulang kaki. Tumor ini biasanya muncul di metafisis dari lempeng epifisis
(Digambiro, Reza. 2015).

B. Etiologi
Penyebab dari tumor ini belum diketahui dengan pasti, namun dari studi
ultra struktur diketahui bahwa sel neoplastik tumor ini merupakan sel-sel stroma
yang berbentuk bulat, oval atau spindel merupakan sel mononuclear. Osteoclast-
like giant cell yang terbentuk dianggap akibat reaktivitas dari sel-sel mononuclear.
Studi sitogenetik menunjukkan adanya asosiasi telomer akibat abrasi
kromosom. Terjadi pemendekan panjang telomer (kehilangan sekitar 500 pasang
basa) yang ditunjukkan oleh sel-sel tumor pada pasien giant cell tumor
dibandingkan dengan sel lekosit pada pasien yang sama. Telomer yang sering
terlibat adalah kromosom (Digambiro, Reza. 2015).

C. Patofisiologi
Giant cell tumor pada tulang terjadi secara spontan. Mereka tidak diketahui
apakah terkait dengan trauma, faktor lingkungan, atau diet. Pada kasus-kasus yang
jarang, mereka mungkin berhubungan dengan hiperparatiroidisme. Dalam
Beberapa penelitian pembentukan GCT ada beberapa faktor yang menetukan,
pertama yaitu adanya perubahan siklin, dimana siklin memainkan peran penting
dalam mengatur perjalanan membagi sel melalui pos pemeriksaan penting dalam
siklus sel. Karena perubahan dari beberapa siklin, terutama siklin D1, telah terlibat
dalam perkembangan neoplasma, para peneliti memeriksa 32 kasus GCT pada
tulang panjang untuk amplifikasi gen siklin D1 dan overekspresi protein
menggunakan diferensial polymerase chain reaction dan imunohistokimia,
masing-masing (Supriyati & Irwinsyah. 2017).
Kedua, adanya evaluasi Immunohistokimia yang terkait dengan ekspresi
microphtalmia yang merupakan faktor transkripsi dalam lesi giant cell.
Microphtalmia terkait dengan faktor transkripsi (Mitf), anggota subfamili heliks-
loop-helix faktor transkripsi, biasanya dinyatakan dalam oesteoklas mononuklear
dan multinuklear, terlibat dalam differensiasi terminal oesteoklas. Disfungsi
aktivitas oesteoklas yang menghasilkan ekspresi Mitf yang abnormal serta telah
terlibat oesteoporosis. Sejumlah sel giant lainnya dari berbagai jenis termasuk
oesteoklas seperti sel-sel giant terlihat dalam berbagai tumor, secara tradisional
dianggap berasal monosit, terlihat dalam berbagai tulang dan lesi extraosseus
(Supriyati & Irwinsyah. 2017).
Ketiga adalah sel stroma. Sel stroma Fibroblastlike, yang selalu hadir
sebagai komponen dari tumor sel raksasa pada tulang (GCT), dapat diamati
dikedua sampel in vivo dan kultur. Meskipun mereka diasumsikan untuk memicu
proses kanker di GCT, histogenesis sel stroma GCT adalah kurang diketahui. Hal
ini diketahui bahwa sel batang mesenchymal (MSC) dapat berkembang ke
oesteoblas. Bukti telah disajikan bahwa sel-sel stroma GCT juga dapat
mengembangkan untuk oesteoblas. Sebuah koneksi antara MSC dan sel stroma
GCT dicari dengan menggunakan 2 pendekatan laboratorium yang berbeda
(Supriyati & Irwinsyah. 2017).

D. Tanda Dan Gejala


Osteoklastoma (giant cell tumor = tumor sel raksasa) merupakan tumor
tulang yang mempunyai sifat dan kecenderungan untuk berubah menjadi ganas
dan agresif sehingga tumor ini dikategorikan sebagai suatu tumor ganas. Tumor sel
raksasa menempati urutan ke dua (1,75%) dari seluruh tumor ganas tulang,
terutama ditemukan pada umur 20-40 tahun dan jarang sekali di bawah umur 20
tahun dan lebih sering pada wanita daripada pria (Supriyati & Irwinsyah. 2017).
Gejala utama yang ditemukan berupa nyeri serta pembengkakan terutama
pada lutut dan mungkin ditemukan efusi sendi serta gangguan gerakan pada sendi.
Mungkin juga penderita datang berobat dengan gejala-gejala fraktur (10%). Dapat
juga terjadi pembesaran massa secara lambat. Lebih dari tiga per empat pasien
tercatat mengalami pembengkakan pada lokasi tumor. Keluhan lain yang jarang
terjadi adalah kelemahan, keterbatasan gerak sendi dan fraktur patologis (Supriyati
& Irwinsyah. 2017).
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan massa yang keras dan nyeri
ditemukan pada lebih dari 80% pasien. Disuse Atrophy, efusi pada persendian atau
hangat pada lokasi tumor. Bila lesi tumor terletak di tulang-tulang vertebra dapat
timbul gejala nerologis. Nyeri tekan pada pemeriksaan palpasi juga didapatkan
pada pasien. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan atrofi otot dan menurunnya
pergerakan sendi. TGC pada sakrum sering menimbulkan gejala low back pain
yang meluas di kedua ekstremitas bagian bawah dan dapat disertai gejala
neurologis, gangguan berkemih atau buang air besar(Supriyati & Irwinsyah. 2017).

E. Pemeriksaan Penunjang
1. Gambaran Radiologi
a. X-RAY
Gambaran radiologi GCT pada tulang panjang melibatkan metafisis
dan epifisis yang meluas ke permukaan sendi. Lesi tampak radiolusen, sering
disertai trabekulasi dan berbatas jelas. Korteks tulang menipis dan kadang-
kadang menggembung (ballooning). Gambaran khas GCT pada X-ray adalah
soap bubble appearnce dan kadng-kadang membentuk gambaran egg shell.
Sebagian besar lesi bersifat eksentrik dan dekat dengan permukaan
persendian (Supriyati & Irwinsyah. 2017).
a) b)
Gambar 2 : a) gambaran lesi litik di condilus lateralis femur sinistra dengan
perluasan ke area subchondral; b) gambaran lesi litik di trochanter mayor femur
dekstra
b. CT-scan
Pemeriksaan CT-scan membantu menentukan luas dekstruksi korteks
secara tepat dan lokasi optimal untuk cortical window.23,25

Gambar 3. CT scan tumor sel raksasa


ulna distal potongan koronal. Temuan
radiografi menunjukkan lesi
subarticular diperluas

c. MRI
Pemeriksaan MRI diindikasikan ketika tumor telah mengikis korteks
dan dicurigai adanya keterlibatan neurovaskular. Pemeriksaan MRI dapat
membantu mengevaluasi penetrasi subkondral (Supriyati & Irwinsyah.
2017).

Gambar 4. Potongan koronal MRI pergelangan tangan menunjukkan


tumor sel raksasa terletak di posisi subarticular dalam radius distal.
Lesi adalah heterogen dan hyperintense.
d. Bone Scan
Bone scan akan menunjukkan penurunan ambilan radioisotop di
tengah lesi (doughnut sign).
2. Biopsi
Pemeriksaan biopsi dapat dilakukan dengan metode frozen section
bersamaan dengan tindakan operasi maupun secara terpisah. Sediaan diambil
dari area yang nekrosis dan hemoragis. Pada pemeriksaan histologi didapatkan
gambaran giant cell berinti banyak dengan sel stroma yang homogen, berinti
satu yang bulat atau oval. Nukleus sel stroma yang identik dengan nukleus giant
cell merupakan gambaran histologi yang khas pada GCT yang membedakan
dengan kondisi lain yang mengandung giant cell.
Gambar 5. Gambaran
mikoroskopis giant cell
tumour.

F. Komplikasi
Komplikasi pasca operasi yang paling sering timbul adalah infeksi,
perdarahan di area operasi, dan kurangnya stabilitas tulang setelah dilakukan
operasi (Novi, Tamara. 2018).

G. Penatalaksanaan
Penanganan giant cell tumour adalah operasi, baik dengan kuratase intralesi,
maupun eksisi luas.
1. Stage 1 atau 2
Untuk lesi stage 1 atau 2, tujuan terapi adalah mengangkat lesi dengan
tetap menyelamatkan sendi yang terlibat. Terapi yang dipilih adalah kuretase.
Namun karena tingginya angka rekurensi post kuretase, yaitu sekitar 22
hingga 52 %, maka dilakukan ajuvan terapi dengan menggunakan nitrogen
cair, phenol, atau methylmethacrylate. Dengan penambahan ajuvan terapi,
kesuksesan kontrol lokal meningkat menjadi 85 sampai 90 %. Eksisi
dilakukan dengan membuat cortical window yang cukup luas untuk
mengakses setiap sudut dari lesi intraoseus (Supriyati & Irwinsyah. 2017).
Kryoterapi dengan nitrogen cair dapat menyebabkan kematian sel
tumor 2 cm dari batas kavitas dan formasi krristal es intralsel dipertimbangkan
menjadi mekanisme utama nekrosis sel. Komplikasi penggunaan nitrogen cair
dapat berupa ekstensif nekrosis dri tulang dan jaringan lunak sekitar dan dapat
mempresipitasi fraktur patologis atau nekrosis kulit. Penggunaan phenol
secara lokal membantu mengeliminasi sel tumor melalui mekanisme nekrosis
koagulasi non spesifik dan lebih aman dibanding nitrogen cair karena phenol
hanya menyebabkan nekrosis 1,5 mm pada tulang. Kavitas yang terbentuk
dari kuretase ditutup dengan menggunakan methacrylate atau bone grafts
setelah pemberian terapi adjuvan.
2. Stage 3 atau lesi rekuran
Kategori ini termasuk fraktur patologis atau destruksi sendi. Eksisi luas
diindikasikan pada.
a. Tumor stage 3 ekstensif tanpa support mekanik dari tulang yang tersisa
b. Lesi rekuren
c. GCT yang disertai fraktur patologis dengan intraartikular dispacement
d. GCT yang terletak di proximal fibula atau distal ulna
e. Tumor di distal radius dengan ekstensi extraoseous
Untuk keadaan rekureni lokal yang masif, transformasi maligna, atau
infeksi, amputasi merupakan pilihan terapi. Adapun penggunaan radioterapi
pada tumor yang tidak dapat direseksi masih dipertimbangkan karena dapat
menyebabkan transformasi maligna.

H. Prognosis
Giant cell tumor mempunyai kemampuan untuk agresif lokal dan kadang-
kadang dapat pula bermetastasis jauh. Gambaran histologi tidak dapat
memprediksi perluasan agresi tumor. Follow up pasien setelah penanganan dengan
kuretase, pemesangan bone graft, cementation, cryotherapy atau instilasi dengan
fenol, penting untuk mengetahui adanya kekambuhan yang terjadi pada hampir
25% kasus. Kekambuhan biasanya terjadi dalam dua tahun setelah operasi. Block
excision pada tulang kecil terbukti menurunkan rekurensi local (Digambiro, Reza.
2015).

Metastasis ke paru-paru terjadi pada sekitar 2% kasus giant cell tumor


dengan rentang waktu 2-3 tahun setelah terdiagnosa.Tumor yang mengalami
metastasis ini tumbuh sangat lambat di dalam paru-paru (benign pulmonary
implant) dan dapat regresi spontan. Sangat sedikit yang progresif dan
menyebabkan kematian. Kekambuhan lokal, manipulasi bedah dan lokasi pada
tulang radius distal pada beberapa studi terbukti meningkatkan resiko metastasis.
Grading histologi pada giant cell tumor tidak mencerminkan prediksi terjadinya
metastasis. Transformasi keganasan jarang terjadi dan bila terjadi sering dijumpai
pada pasien yang mendapat radioterapi (Digambiro, Reza. 2015).

BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Pengumpulan data
a. Identitas
Identitas merupakan langkah pertama dari proses keperawatan dengan
mengumpulkan data-data yang akurat dari klien sehingga akan diketahui
berbagai permasalahan yang ada :
1) Identitas klien : nama, umur,jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan,
tanggal masuk RS, tanggal operasi, tanggal pengkajian, nomor rekam
medik, diagnosa medis, alamat.
2) Identitas penanggung jawab : nama, umur, pendidikan, pekerjaan,
hubungan dengan klien, alamat.
b. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan Utama
Keluhan utama adalah keluhan yang paling dirasakan pasien sehingga
mendorong pasien untuk mencari pertolongan medis. Keluhan utama pada
pasien Oesteoclastoma adalah nyeri. Menurut Baredero, M (2008) rasa
nyeri merupakan salah satu akibat dari penyakit tumor yang paling ditakuti
pasien.
Sebenarnya, nyeri adalah gejala tumor yang dirasakan pada tahap awal
karena tumor masih terlokalisasi. Sekitar 5-10% pasien tumor padat merasa
nyeri yang mengganggu kegiatan sehari-hari. Lebih dari 90% pasien
mengalami nyeri jika pasien mengalami nyeri jika tumor akan menjadi
kanker sudah berkembang dan bermetatasis.
2) Riwayat Kesehatan sekarang
Riwayat penyakit apa saja adalah satu-satunya faktor yang terpenting
bagi petugas kesehatan dalam menegakan diagnosis atau menentukan
kebutuhan pasien dengan menggunakan konsep PQRST (Smeltzer & Bere,
2012)
P : (Paliatif / provokatif), apakah yang menyebabkan keluhan dan
memperingan serta memberatkan keluhan.
Q : (Quality / Kwantity), seberapa berat keluhan dan bagaimana
rasanya serta berapa sering keluhan itu muncul.
R : (Region /
Radiation), lokasi keluhan dirasakan dan juga arah
penyebaran keluhan sejauh mana.
S : (Scala / Severity), intensitas keluhan dirasakan, apakah sampai
mengganggu atau tidak.
T : (Timming), kapan keluhan dirasakan, seberapa sering, apakah
berulang-ulang, di mana hal ini menentukan waktu dan durasi.
3) Riwayat Kesehatan Dahulu
Perlu diketahui apakah ada penyakit dahulu yang pernah dialami pasien
yang memungkinkan akan berpengaruh pada kesehatan sekarang, misalnya
hipertensi, diabetes melitus, asma.
4) Riwayat Kesehatan Keluarga
Perlu diketahui apakah anggota keluarga yang mempunyai penyakit serupa
dengan pasien atau penyakit keturunan lain, karena pasien oesteoclastoma
penyebabnya bisa dari riwayat keturunan (genetik)
c. Keadaan Umum
1) Penampilan
Meliputi kemampuan fisik klien secara umum biasanya terlihat lemah dan
lesuketika banyak bergerak dan beraktivitas.
2) Kesadaran
Tingkat kesadaran klien apakah compos mentis (sadar sepenuhnya) dengan
GCS 15-14, apatis (acuh tak acuh) dengan GCS 13-12, samnolen (keadaan
keasadaran yang mau tidur saja) dengan GCS 11-10, delirium (keadaan
kacau motorik) dengan GCS 9-7, sopor (keadaan kesadaran yang
menyerupai koma) dengan GCS 9-7, coma (keadaan kesadaran yang hilang
sama sekali) dengan GCS <7).
3) Berat badan dan tinggi badan
Meliputi berat badan dan tinggi badan sebelum sakit dan sesudah sakit.
4) Tanda-tanda vital
Tanda-tanda vital terdiri atas empat pemeriksaan, yaitu :
a) Tekanan darah
b) Pemeriksaan denyut nadi
c) Pemeriksaan respirasi
d) Pemeriksaan suhu
5) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan secara head to toe yang meliputi:
a) Respirasi
Perlu dikaji mulai dari bentuk hidung, ada tidaknya secret pada lubang
hidung, pergerakan cuping hidung waktu bernapas, auskultasi bunyi
napas apakah bersih atau ronchi, serta frekuensi napas.
b) Sirkulasi
Terjadinya peningkatan denyut nadi dan tekanan darah, tetapi keadaan
tersebut tergantung dari nyeri yang dirasakan individu.
c) Nutrisi dan Cairan
Kaji keadaan mulut, gigi, bibir, kaji abdomen untuk mengetahui
peristaltik usus.
d) Neurosensori
Sistem neurosensori yang dikaji adalah fungsi cerebral, fungsi kranial,
dan fungsi sensori mengkaji : Nyeri superfisial, sensasi suhu, sensasi
posisi
e) Pencegahan terhadap cahaya
Pada sistem penginderaan kemungkinan tidak ada gangguan pada
pasien oesteoclastoma.
f) Ekstremitas
Rentang sendi yang menunjukan kemampuan luas gerak persendian
tertentu, mulai dari kepala sampai anggota gerak bawah,
ketidaknyamanan atau nyeri yang dikatakan klien waktu bergerak,
observasi adanya luka, adanya kelemahan dan penurunan toleransi
terhadap aktifitas. Pengkajian sistem motorik keseimbangan koordinasi
gerakan adalah, cepat, berselang-selang, dan ataksia
g) Integument
Kaji keadaan kulit, tekstur, kelembaban, turgor, warna, dan fungsi
perabaan. Kaji keadaan luka. Pada klien Osteosarkoma terdapat luka
dengan panjang tergantung dari luas luka, terdapat kemerahan dan
terjadi pembesaran pada daerah luka.
h) Sistem endokrin
Dikaji adanya nyeri tekan atau tidak, adanya oedeme atau tidak pada
kelenjar getah bening, ada riwayat alergi atau tidak. Biasanya tidak ada
masalah pada sistem endokrin.
i) Sistem perkemihan
Kaji adanya nyeri pada saat berkemih, adanya nyeri tekan dan benjolan.
6) Pola Aktivitas
Pada pasien oesteoclastoma biasanya aktivitas sehari-harinya terganggu
begitu juga pada status personal hygiene akan mengalami perubahan
sehingga personal hygiene klien dibantu oleh keluarga atau perawat di
ruangan.
7) Data Penunjang
a) Data psikologi
Emosi klien, konsentrasi klien pada saat diajukan pertanyaan oleh
perawat. Menurut Smeltzer (2012) Koping Efektif.Pasien dan
keluarganya didorong untuk mengungkapkan rasa takut, keprihatian dan
perasaan mereka. Mereka membutuhkan dukungan dan perasaan diterima
agar mereka mampu dampak tumor maligna. Perasaan terkejut, putus asa,
dan sedih pasti akan terjadi, maka rujukan ke perawat psikiatri, ahli
psikologi, konselor atau rohaniawan perlu diindikasikan untuk bantuan
psikologik khusus.
b) Data sosial
Perlu dikaji tentang tidak tanggapnya aktifitas disekitarnya baik
ketika dirumah atau dirumah sakit. Biasanya ada perubahan tingkah laku
karena menahan nyeri luka operasi yang dirasakan klien.
c) Data spiritual
Hal yang perlu dikaji yaitu bagaimana pelaksanaan ibadah selama
sakit. Perlu pula dikaji keyakinan klien tentang kesembuhannya
dihubungkan dengan agama yang dianut klien dan bagaimana persepsi
klien tentang penyakitnya. Aktivitas ibadah pasien oesteoclastoma
biasanya terganggu.
d) Data ekonomi
Menurut Smiltzer (2012) kemandirian versus ketergantungan
merupakan isu pada klien yang menderita keganasan. Gaya hidup akan
berubah secara drastis, keluarga harus didukung dalam menjalankan
penyesuaian yangharus dilakukan.
8) Analisa Data
Analisa data merupakan proses berfikir secara ilmiah berdasarkan
teori-teori yang dihubungkan dengan data-data yang ditemukan saat
pengkajian. Menginterprestasikan data atau membandingkan dengan
standar fisiologi setelah dianalisa, maka akan didapat penyebab terjadinya
masalah pada pasien (Nurrohmah, 2016).

B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut
Kategori : Psikologis
Subkategori : Nyeri dan Kenyamanan
Kode : D.0077
a. Definisi : pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan
kerusakan jaringan aktual atau fungsional dengan onset mendadak atau
lambat dan berintensitas ringan hingga berat yang berlangsung kurang dari
3 bulan.
b. Penyebab :
1) Agen pencedera fisiologis (mis.inflamasi, iskemis,neoplasma).
2) Agen pencedera kimiawi (mis.terbakar,bahan kimia iritan).
3) Agen pencedera fisik (mis.abses, amputasi, terbakar, terpotong,
mengangkat berat, prosedur operasi, trauma, latihan fisik berlebihan.
c. Gejala dan Tanda Mayor
1) Subjektif
- Mengeluh nyeri
2) Objektif
1) Tampak meringis
2) Bersikap protektif
3) Gelisah
4) Frekuensi nadi meningkat
5) Sulit tidur
d. Kondisi Klinis Terkait
1. Kondisi pembedahan
2. Cedera traumatis
3. Infeksi
4. Sindrom koroner akut
5. Glaukoma

2. Gangguan Eliminasi Urine


Kategori : Fisiologis
Subkategori : Eliminasi
Kode : D.0040
a. Definisi
Disfungsi eliminasi urine
b. Penyebab
1. Penurunan kapasitas kandung kemih
2. Iritasi kandung kemih
3. Penurunan kemampuan menyadari tanda-tanda gangguan kandung
kemih
4. Efek tindakan medis dan diagnostic (mis. Operasi ginjal, operasi
saluran kemih, anestesi, dan obat-obatan)
5. Kelemahan otot pelvis
6. Ketidakmampuan mengakses toilet (mis. Imobilisasi)
7. Hambatan lingkungan
8. Ketidakmampuan mengkomunikasikan kebutuhan eliminasi
9. Outlet kandung kemih akan tidak lengkap (mis. Anomaly saluran
kemih congenital)
10. Imaturitas (pada anak usia < 3 tahun)
c. Gejala dan tanda mayor
Subjektif:
1. Desakan berkemih (urgensi)
2. Urine menetes (dribbling)
3. Sering buang air kecil
4. Nokturia
5. Mengompol
6. Enuresis
Objektif:
1. Distensi kandung kemih
2. Berkemih tidak tuntas
3. Volume residu urine meningkat
d. Gejala dan tanda minor
Subjektif:
1. Tidak tersedia
Objektif:
1. Tidak tersedia
e. Kondisi klinis terkait
1. Infeksi ginjal dan saluran kemih
2. Hiperglikemi
3. Cancer
4. Cedera/tumor/Infeksi medulla spinalis
5. Neuropati deabetikum
6. Neuropati alkoholik
7. Stroke
8. Parkinson
9. Skeloris multiple
10. Obat alpha adrenergik

3. Keletihan
Kategori : Fisikologis
Subkategori : Aktivitas dan Istirahat
Kode : D.0057
a. Definisi
Penurunan kapasitas kerja fisik dan mental yang tidak pulih dengan
istirahat
b. Penyebab
1) Gangguan tidur
2) Gaya hidup menoton
3) Kondisi fisiologis (mis. Penyakit kronik, penyakit terminal, anemia,
malnutrisi, kehamilan)
4) Program perawatan/pengobatan jangka panjang
5) Peristiwa hidup negative
6) Stress berlebihan
7) depresi
c. Gejala dan tanda mayor
Subyektif :
1) Mengeluh Lelah
2) Merasa energy tidak pulih walaupun tetap tidur
3) Merasa kurang tenaga
Objektif :
1) Tidak mampu mempertahankan aktivitas rutin
2) Tampak lesu
Gejala dan tanda minor
Subyektif :
1) Merasa bersalah akibat tidak mampu menjalankan tanggung jawab
2) Libido menurun
Objektif :
1) Kebutuhan istirahat meningkat
d. Kondisi klinis terkait
1) Anemia
2) Kanker
3) Hipotiroidisme/hipertiroidisme
4) AIDS
5) Depresi
6) Menopause

4. Resiko perdarahan
Kategori : Fisiologis
Subkategori : Sirkulasi
Kode : D.0012
a. Definisi
Berisiko mengalami kehilangan darah baik internal (terjadi di dalam tubuh)
maupun eksternal (terjadi hingga keluar tubuh).
b. Faktor resiko
1. Aneurisma
2. Gangguan gastrointestinal
3. Gangguang fungsi hati
4. Komplikasi kehamilan
5. Komplikasi pasca partum
6. Gangguan koagulasi
7. Efek agen farmakologis
8. Tindakan pembedahan
9. Trauma
10. Kurang terpapar informasi tetang pencegahan perdarahan
11. Proses keganasan
c. Kondisi klinis terkait
1. Aneurisma
2. Koagulopati intravaskuler diseminata
3. Sirosis hepatis
4. Ulkus lambung
5. Varises
6. Trombositopenia
7. Ketuban pecah sebelum waktunya
8. Plasenta previa
9. Atonia uterus
10. Retensi plasenta
11. Tindakan pembedahan
12. Kanker
13. Trauma.

5. Resiko infeksi
Kategori : Lingkungan
Subkategori : Keamanan dan Proteksi
Kode : D.0142
a. Definisi
Berisiko mengalami peningkatan terserang organisme patogenik
b. Faktor resiko
1. Penyakit kronis
2. Efek prosedur invasive
3. Malnutrisi
4. Peningkatan paparan organisme pathogen lingkungan
5. Ketidakadekuatan pertahan tubuh primer:
a) Gangguan peristaltic
b) Kerusakan integritas kulit
c) Perubahan sekresi pH
d) Penurunan kerja siliaris
e) Ketuban pecah lama
f) Ketuban pecah sebelum waktunya
g) Merokok
h) Statis cairan tubuh
6. Ketidakadekuatan pertahanan tubuh sekunder
a) Penurunan haemoglobin
b) Imunosupresi
c) Leukopenia
d) Supresi respon inflamasi
e) Vaksinasi tidak adekuat
c. Kondisi klinis terkait
1. AIDS
2. Luka Bakar
3. Penyakit Paru Obstruktif kronis
4. Diabetes mellitus
5. Tindakan invasive
6. Kondisi penggunaan terapi steroid
7. Penyalahgunaan obat
8. Ketuban pecah sebelum waktunya
9. Kanker
10. Gagal ginjal
11. Imunosupresi
12. Lymphedema
13. Leukositopenia
14. Gangguan fungsi hati

C. Intervensi Keperawatan (PPNI, 2018) :


1. Nyeri Akut
Intervensi Keperawatan
a. Manajemen Nyeri :
1) Observasi
a) Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,
intensitas nyeri.
R: Mengidentifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,
intensitas nyeri merupakan hal yang amat penting untuk memilih
intervensi yang cocok dan untuk mengevaluasi keefektifan dari terapi
yang diberikan.
b) Identifikasi factor yang memperberat dan memperingan nyeri
R: Untuk melihat faktor pencetus yang memicu adanya nyeri
c) Monitor efek samping penggunaan analgetik
R: Untuk mencegah adanya alergi obat pada pasien
2) Terapeutik
a) Berikan teknik non farmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
( mis.hipnosis, akupresur, terapi musik,terapi pijat,
aromaterapi,terknik imajinasi terbimbing, kompres hangat atau
dingin).
R: pemberian teknik non farmakologi yntuk mengendalikan dan
meredakan rasa nyeri
b) Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri (mis.suhu ruangan,
pencahayaan, kebisingan)
R: Adanya lingkungan yang nyaman dapat mempengaruhi kualitas
nyeri yang dirasakan dapat berkurang
3) Edukasi
a) Jelaskan penyebab, periode dan pemicu nyeri
R: Pasien dapat mengetahui penyebab, periode dan pemicu nyeri
b) Jelaskan strategi meredakan nyeri
R: Agar pasien mengethaui tindakan yang akan dilakukan ketika
nyeri dirasakan
c) Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
R: Memandirikan pasien dalam mengontrol nyeri
4) Kolaborasi
a) Kolaborasi pemberian analgetik
R: pemberian analgetik dengan teratur dapat mengurangi rasa nyeri
b. Terapi relaksasi
1) Observasi
a) Identifikasi penurunan tingkat energy, ketidakmampuan
berkonsentrasi, atau gejala lain yang mengganggu kemampuan
kognitif
R: Mengidentifikasi dapat membantu untuk pemberian intervensi
b) Periksa ketegangan otot, frekuensi nadi, tekanan darah dan suhu
sebelum dan sesudah latihan
R: Untuk mencegah terjadinya peningkatan tekanan intrakranial
c) Monitor respon terhadap relaksasi
R: Untuk mengetahui apakah pasien mampu untuk melakukan
relaksasi atau tidak
1) Terapeutik
a) Ciptakan lingkungan yang tenang dan tanpa gangguan dengan
pencahayaan dan suhu ruang nyaman
R: Untuk memberikan rasa aman dan nyaman kepada pasien
b) Gunakan pakaian yang longgar
R: Memudahkan pasien dalam melakukan relaksasi
c) Gunakan nada suara lembut dengan irama lambat dan berirama
R: Paisen merasa dihargai dan pasien mampu mengikuti relaksasi
2) Edukasi
a) Jelaskan tujuan, manfaat, batasan dan jenis relaksasi yang tersedia
(mis. Music, meditasi, napas dalam, relaksasi otot progresif)
R: pasien mendapatkan informasi yang baru tentang relaksasi
b) Anjurkan mengambil posisi nyaman
R: agar pasien tetap dalam kondisi yang aman dan nyaman
c) Anjurkan rileks dan merasakan sensasi relaksasi
R: pasien dapat meraskan sensari relaksasi dengan baik
d) Anjurkan sering mengulangi atau melatih teknik yang dipilih
R: untuk membantu mengurangi rasa nyeri
c. Pemberian Analgesik
1) Observasi
a) Identifikasi karakteristik nyeri (mis. Pencetus, Pereda, Kualitas,
Lokasi, Intensits, Frekuensi, Durasi)
R: Mengidentifikasi dapat memudahkan dalam pemberian intervensi
dengan baik.
b) Identifikasi riwayat alergi obat
R: Mengidentifikasi riwayat alergi obat dapat mencegah keracunan
obat
c) Monitor tanda-tanda vital sebelum dan sesudah pemberian analgesic
R: untuk melihat perbedaan sebelum dan setelah pemberian obat
2) Terapeutik
a. Tetapkan target efektifitas analgesic untuk mengoptimalkan respons
pasien
R: Dengan mentargetkan target efektifats psien dapat membantu
pasien penyembuhan
b) Dokumentasikan respons terhadap efek analgesic dan efek yang
tidak diinginkan
R: Penting untuk dilakukan pendokumentasian untuk melihat
perkembangan kondisi pasien
3) Edukasi
a) Jeleskan efek terapi dan efek samping obat
R: Pasien mampu mengetahui efek dari terapi dan efek samping yang
berbahaya.
4) Kolaborasi
Kolaborasi pemberian dosis dan jenis analgesik, sesuai indikasi
R: Pemberian analgesic berdasarkan dosis dan jenisnya dapat
meredakan nyeri pasien
d. Terapi Murottal
1) Observasi
a) Identifikasi aspek yang akan difokuskan dalam terapi (mis. Stimulasi,
relaksasi, konsentrasi dan pengurangan nyeri)
R: Mengidentifikasi dapat memudahkan pemberian terapi murottal
b) Identifikasi jenis terapi yang digunakan berdasarkan keadaan dan
kemampuan pasien (mendengarkan atau membaca Al-Quran).
R: Memudahkan memilih jenis terapi yang akan diberikan kepada
pasien
1. Terapeutik
a) Posisikan dalam posisi dan lingkungan yang nyaman
R: dengan posisi yang aman dan nyaman dapat mengurangi rasa
nyeri
b) Batasi rangsangan eksternal selama terapi yangh dilakukan (mis.
Lampu, suara, pengunjung, panggilan telfon)
R: agar saat pemberian terapi murottal bisa dihayati
c) Putar rekam yang telah ditetapkan
R: Pasien dapat mendengarkan dan menikmati
2. Edukasi
a) Jelaskan tujuan dan manfaat terapi
R: supaya pasien mengerti diberikan tindakan ini
b) Anjurkan memusatkan perhatian atau pikiran and pada lantunan
ayat Al-Quran
R: agar Pasien dapat mengalihkan perasaannya dan rasa nyeri dapat
redah
e. Perawatan kenyamanan
1) Observasi
a) Identifikasi gejala yang tidak menyenangkan (mis. Mual, nyeri,
gatal, sesak)
R: Mengidentifikasi gejala yang tidak menyenangkan (mis. Mual,
nyeri, gatal, sesak) dapat memberikan rasa aman pada pasien
2) Terapeutik
a) Berikan posisi nyaman
R: Dengan posisi yang nyaman pasien dapat mengontrol rasa nyeri
b) Kompres air dingin atau air hangat
R: Dapat meredahkan nyeri
3) Edukasi
a) Jelaskan mengenai kondisi dan pilihan terapi
R: Supaya pasien dpat memahami dan mampu dilkakukan sendiri
b) Ajarkan latihan pernapasan
R: Mengatur pernapasan saat nyeri bisa menurunkan sensari rasa
nyeri yang dirasakan
4) Kolaborasi
a) Kolaborasi pemberian analgesic, antihistamin, jika perlu
R: Pemberian analgesic, antihistamin dapat meredahkan rasa nyeri

2. Gangguan Eliminasi Urine


a. Kateterisasi urine
1) Observasi
a) Periksa kondisi pasien (mis. Kesadaran, tanda-tanda vital, daerah
perennial, distensi kandung kemih, inkontinensia urine, reflex
berkemih)
R: Memberikan informasi untuk membantu dalam menetukan
intervensi.
2) Terapeutik
a) Siapkan peralatan, bahan-bahan dan ruangan tindakan
R: Membantu dalam persiapan sebelum melakukan tindakan
kepada pasien.
b) Siapkan pasien; bebaskan pakaian bawah dan posisikan dorsal
rekumben (untuk wanita) dan supine (untuk laki-laki)
R: Memudahkan pasien untuk diberikan tindakan
c) Pasang sarung tangan
R: Untuk mencegah terkontaminassi cairan pasien dan
mikroorganisme lainnya
d) Bersihkan daerah perineal atau proposium dengan cairan NaCl atau
aquades
R: Memberikan teknik aspetik dalam perawatan perineum
e) Lakukan insersi kateter dengan menerapkan prinsip aseptic
R: Memberikan teknik aseptic dalam pemasangan kateter
f) Sambungkan kateter urine dengan urin bag
R: Menampung urine untuk melakukan pemeriksaan
g) Isi balon dengan NaCl 0,9% sesuai anjuran pabrik
R: Supaya dapat mengembang balon pada kateter urine.
h) Fiksasi selang kateter di atas simpisis atau di paha
R: Agar selang kateter tidak terlipat dan nampak rapi
i) Pastikan kantung urine ditempatkan lebih rendah dari kandung
kemih
R: Mencegah terjadi masuknya urine ke kandung kemih
j) Berikan label waktu pemasangan
R: Untuk dapat diketahui tanggal pemberian
3) Edukasi
a) Jelaskan tujuan dan prosedur pemasangan kateter urine
R: Pasien dapat mengetahui tindakan yang akan diberikan
b) Anjurkan menarik napas saat insersi selang kateter
R: Untuk mengurangi sensari rasa sakit
b. Perawatan Kateterisasi Urine:
1) Observasi
a) Monitor kepatenan kateter
R: Mencegah resiko infeksi dan sumbatan
b) Monitor tanda dan gejala obstruksi aliran urine
R: Berguna untuk mengevaluasi obstruksi dan pilihan intervensi
c) Monitor input dan output cairan (jumlah dan karakteristik)
R: Retensi urine meningkatkan tekanan dalam saluran perkemihan
atas
2) Terapeutik
a) Gunakan teknik aseptik selama perawatan kateter urine
R: Mencegah terjadinya infeksi dan masuknya mikroorganisme
b) Pastikan kantung urine diletakkan dibawah ketinggian kandung
kemih dan tidak di lantai.
R: Mencegah masuknya urine yang telah keluar dan masuk kembali
ke kandung kemih
c) Kosongkan kantung urine jika kantung urine telah terisi setengahnya
R: Untuk memudahkan dihitung cairan pasien dan tidak terasa berat
pada kantung kemih
3) Edukasi
Jelaskan tujuan, manfaat, prosedur dan resiko sebelum pemasangan
kateter.
R: Meningkatkan pengetahuan dan diharapkan pasien lebih kooperatif.
c. Perawatan retensi urine
1) Observasi
a) Identifikasi penyebab retensi urine (mis. Peningkatan tekanan
uretra, kerusakan arkus reflex, disfungsi neurologis, efek agen
farmakologis)
R: Memberikan informasi untuk menentukan intervensi yang akan
diberikan kepada pasien
b) Monitor intake dan output cairan
R: Untuk mengetahui jumlah cairan yang masuk dan keluar
c) Monitor tingkat distensi kandung kemih dengan palpasi
R: Membantu mencegah distensi atau komplikasi
2) Terapeutik
a) Berikan rangsangan berkemih (mis. Mengalirkan air keran,
membilas toilet, kompres dingin pada abdomen)
R: Dapat memicu untuk mengeluarkan urine
b) Pasang kateter urine
R: Untuk membantu pasien mengeluarkan urine
3) Edukasi
a) Jelaskan penyebab retensi urine
R: Memberikan informasi kepada pasien tentang penyebab retensi
urine
b) Anjurkan pasien atau keluarga mencatat output urine
R: Untuk mengetahui jumlah cairan yang ada dalam tubuh pasien
dan cairan yang keluar
d. Manajemen cairan
1) Observasi
a) Monitor status hidrasi (mis. Frekuensi nadi, kekuatan nadi, akral,
pengisian kapiler, kelembapan mukosa, turgor kulit, tekanan darah)
R: Memberikan informasi untuk menentukan intervensi yang akan
diberikan kepada pasien
b) Monitor berat badan
R: Mengetahui apaha terjadi perubahan berat badan sebelum sakit
dan seteah sakit
2) Terapeutik
a) Catat intake-output dan hitung balans cairan 24 jam
R: Untuk mengetahui jumlah cairan yang masuk dan keluar dalam
tubuh pasien
b) Berikan cairan intravena
R: Untuk memenuhi cairan elektrolit dan nutrisi yang dibutuhkan
oleh tubuh pasien

3. Keletihan
a. Edukasi aktivitas dan istirahat
1) Observasi
a) Indentifikasi kesiapan dan kemampuan menerima informasi
R: Pastikan pasien dapat menerima informasi yang akan diberikan
2) Terapeutik
b) Sediakan materi dan media pengaturan aktivitas dan istirahat
R: Memudahkan pada saat pemberian aktivitas dan istrirahat
a) Berikan kesempatan kepada pasien dan keluarga untuk bertanya
R: Supaya pasien dapat mendapatkan informasi yang diinginkan
3) Edukasi
a) Jelaskan pentingnya melakukan aktivitas fisik/olahraga secara rutin
R: supaya pasien dapat melakukan aktivitas fisik/olahraga secara rutin
b) Anjurkan menyusun jadwal istirahat dan aktivitas
c) R: Memudahkan mengingat jadwal istirahat dan aktivitas
b. Manajemen Energi :
1) Observasi
a) Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang mengakibatkan kelelahan
R: Dapat memberikan informasi untuk melakukan intervensi
b) Monitor kelelahan fisik dan emosional
R: Mengetahui kondisi fisik dan emosional pasien
c) Monitor lokasi dan ketidaknyamanan selama melakukan aktivitas
R: Untuk mengetahui ketidaknyamanan pasien selama melakukan
aktivitas
2) Terapeutik
a) Sediakan lingkungan nyaman dan rendah stimulus (mis. Cahaya,
suara, kunjungan).
R: Suasana yang nyaman dapat memberikan rasa aman dan tenang.
b) Berikan aktivitas distraksi yang menenangkan
R: Untuk memberikan rasa nyaman kepada pasien
3) Edukasi
a) Anjurkan melakukan aktivitas secara bertahap
R: Agar pasien dapat melakukan aktivitas yang diberikan
b) Anjurkan menghubungi perawat jika tanda dan gejala kelelahan tidak
berkurang
R: Untuk mengurangi adanya tanda dan gejala kelelahan
4) Kolaborasi
Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara meningkatkan asupan
makanan.
R: Untuk mengetahui kebutuhan kalori dan nutrien
c. Terapi aktivitas
1) Observasi
a) Identifikasi defisit tingkat aktivitas
R: Memberikan informasi tentang tindakan intervensi yang akan
diberikan
b) Identifikasi kemampuan berpartisipasi dalam aktivitas tertentu
R: Memberikan informasi kemampuan pasien untuk ikut dalam
aktivitas tertentu
2) Terapeutik
a) Fasilitasi memilih aktivitas dan tetapkan tujuan aktivitas yang
konsisten sesuai kemampuan fisi, psikologis dan sosial
R: Membantu pasien dalam memilih aktivitas yang diminati
3) Edukasi
a) Jelaskan metode aktivitas sehar-hari
R: Memberikan informasi kepada pasien tentang metode aktivitas
sehar-hari
b) Anjurkan keluarga untuk memberi penguatan positif atas partisipasi
dalam aktivitas
R: Dengan penguatan positif pasien akan merasakan tenang dan
bersemangat
4) Kolaborasi
a. Kolaborasi dengan terapis okupasi dalam merencanakan dan
memonitor program aktivitas.
R: Membantu pasien dalam melakukan program aktivitas yang telah
diberikan
d. Dukungan tidur
1) Observasi
a) Identifikasi pola aktivitas tidur
R: Memberikan informasi tuntuk menentukan intervensi yang akan
diberikan intervensi
b) Identifikasi faktor pengganggu tidur
R: Memberikan informasi tentang penyebab pasien tidak dapat tidur
2) Terapeutik
a) Modifikasi lingkungan (mis. Pencahayaan, suhu, matras, dan tempat
tidur)
R: Dengan situasi yang nyaman dan aman pasien akan tenang dan
mampu beristirahat
b) Tetapkan jadwal tidur rutin
R: Supaya pasien mampu beristirahat dengan maksimal dan tidak
mengalami kelelahan
c) Lakukan prosedur untuk meningkatkan kenyamanan (mis. Pijat,
pengaturan posisi)
R: Memberikan
3) Edukasi
a) Jelaskan pentingnya tidur cukup selama sakit
R: Untuk memberikan informasi kepada pasien dan keluarganya
b) Anjurkan menepati kebiasaan waktu tidur
R: Untuk memenuhi kebutuhan istirahat pasien

4. Resiko Perdarahan
a. Pencegahan Perdarahan
1) Observasi
Monitor tanda dan gejala perdarahan
R: Memberikan informasi tentang tindakan yang akan diberikan kepada
pasien
2) Terapeutik
a) Pertahankan bed rest selama perdarahan
R: Mencegah terjadinya perdarahan yang hebat
b) Batasi tindakan invasive, jika perlu
R: Tindakan invasive dapat berisko menyebabkan perdarahan
3) Edukasi
a)Jelaskan tanda dan gejala perdarahan
R: memberikan informasi kepada pasien tentang tanda dan gejala
perdarahan
b) Anjurkan segera melapor jika terjadi perdarahan
R: Untk mengurangi frekuensi pengeluaran darah yang banyak
4) Kolaborasi
a) Kolaborasi pemberian obat pengontrol perdarahan, jika perlu
R: Agar perdarahan tidak memperparah kondisi pasien
b. Pencegahan syok
1) Observasi
a) Monitor status kardiopulmonal (frekuensi, dan kekuatan nadi,
frekuensi napa, TD, MAP)
R: Memberikan informasi untuk menentukan intervensi yang akan
diberikan
b) Monitor tingkat kesadaran dan respon pupil
R: Untuk mengetahui kondisi pasien
2) Terapeutik
a) Berikan oksigen untuk mempertahankan saturasi oksigen >94%
R: Pemberian oksigen dapat membantu sistem peredaran darah
b) Persiapkan intubasi dan ventilasi mekanis
R: Dapat mempertahankan jalan napas pada pasien
3) Edukasi
a) Jelaskan penyebab/faktor resiko syok
R: Memberikan informasi kepada pasien dan keluarganya tentang
faktor resiko syok
b) Jelaskan tanda dan gejala syok
R: Memberikan informasi kepada pasien dan keluarganya tentang
faktor resiko syok
4) Kolaborasi
a) Kolaborasi pemberian transfuse darah
R: Untuk memenuhi asupan darah yang hilang
c. Pencegahan Cedera
1) Observasi
a) Identifikasi area lingkungan yang berpotensi menyebabkan cedera
2) Terapeutik
a) Sediakan pencahayaan yang memadai
R: Supaya pasien dapat melihat lingkungan tempat tidur pasien
b) Gunakan pengaman tempat tidur sesuai dengan kebijakan fasilitas
pelayanan kesehatan
R: Untuk mencegah terjadinya resiko jatuh
3) Edukasi
Jelaskan alasan intervensi pencegahan jatuh ke pasien dan keluarga
R: Agara mencegah resiko jatuh pada pasien
4) Pemantauan Cairan
1) Observasi
a) Identifikasi tanda-tanda hipovolemia (mis. Frekuensi nadi meningkat,
nadi teraba lemah, tekanan darah menurun, tekanan nadi menyempit,
turgor kulit menurun, membrane mukosa kering, volume urin
menurun, hematokrit meningkat, haus, lemah, konsentrasi urine
meningkat, berat badan menurun dalam waktu singkat)
R: Memberikan informasi untuk menentukan pemberian intervensi
yang akan diberikan kepada pasien
b) Monitor waktu pengisian kapiler
R: Untuk melihat CFR pada pasien
2) Terapeutik
a) Atur interval waktu pemantauan sesuai dengan kondisi pasien
R: Untuk dapat dilakukan pemantauan secara berkala
b) Dokumentasikan hasil pemantauan
R: Untuk dapat melihat perkembangan pasien
3) Edukasi
a) Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
R: Memberikan informasi kepada pasien dan keluarganya
b) Informasikan hasil pemantauan
R: Supaya pasien dan keluarga dapat mengetahui kondisinya
DAFTAR PUSTAKA

Nurrohmah, Siti .2016. Asuhan Keperawatan Pada Tn. Idengan Gangguan Sistem
Muskuloskeletal: Osteosarkomadi Ruang Dahlia Rumah Sakit Umum Daerah
kabupaten Ciamis. Pendidikan Program Diploma III Keperawatan: Stikes
Muhammadiyah Ciamis Siti Nurrohmah
Tim pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia ,
Definisi dan Tindakan Keperawatan, edisi 1. Jakarta Selatan: DPP PPNI.
Tim pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia ,
Definisi dan Indikator Diagnostik, edisi 1. Jakarta Selatan: DPP PPNI.
Tim pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia , Definisi
dan Kriteria Hasil Keperawatan, edisi 1. Jakarta Selatan: DPP PPNI.
PENYIMPANGAN KDM

Terpapar sinar radioaktif, Trauma Virus Onkogenik Herediter


dan bahan karsinogenik
Kerusakan Gen
Proliferasi sel tulang secara abnormal
Neoplasma

Giant Cell Tumor

Distrofi dan Jaringan-jaringan sekitar Kerusakan Tindakan Medis


atrofi otot diinvasi oleh tumor Struktur Tulang Amputasi
Takut Gerak
Peningkatan penekanan Tulang lebih rapuh Cacat Permanen
Gangguan pada jaringan sekitar
Mobilitas Resiko Fraktur Gangguan
Fisik Citra Diri
Menekan saraf-
saraf sekitar
Resiko
Mengeluarkan Hormon BHSP Tinggi Perubahan Status Retikulo
Cedera Kesehatan sumsum
Pembuluh darah Thalamus
Tertekan dan Kurang Pengetahuan Gangguan
mudah ruptur Persepsi Nyeri Pembentukan eritrosit

Ansietas Penurunan jumlah eritrosit


Resiko Nyeri Akut
Anemia
Perdarahan
Kelemahan

Intoleransi Aktivitas
KATA PENGANTAR
   
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT berkat
segala nikmat iman, rahmat dan hidayah-Nya yang telah diberikan kepada penulis
sehingga dapat menyelesaikan Asuhan Keperawatan yang berjudul “Asuhan
Keperawatan pada Pasien Tn. l dengan diagnose Hipertrofi Prostat Di Kamar 12 Bed
1 di Ruang Perawatan Kontara 2 Bawah Depan RSUP dr. Wahidin Sudirohusodo”.
Teriring pula salam dan salawat kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW,
beserta keluarga dan para sahabatnya.
Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa tentu ada kelemahan dan kekurangan
dalam laporan pendahuluan ini, Oleh karena itu, dari segenap pembaca, penyusun
mengharapkan kritik dan saran untuk lebih meningkatkan mutu penulisan
selanjutnya.

Wassalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.


Makassar, 08 Oktober 2019
Penyusun

Nurwahidah , S.Kep

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................................i
KATA PENGANTAR .............................................................................................ii
DAFTAR ISI.............................................................................................................iii
BAB 1 KONSEP MEDIS.........................................................................................1
A. Definisi..................................................................................................................1
B. Etiologi..................................................................................................................1
C. Patofisiologi...........................................................................................................2
D. Tanda Dan Gejala..................................................................................................3
E. Pemeriksaan Penunjang.........................................................................................4
F. Komplikasi.............................................................................................................7
G. Penatalaksanaan....................................................................................................7
H. Prognosis...............................................................................................................8
BAB II KONSEP KEPERAWATAN.....................................................................10
A. Pengkajian.............................................................................................................10
B. Diagnosa Keperawatan..........................................................................................15
C. Intervensi...............................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................40
PENYIMPANGAN KDM........................................................................................41

Departemen Medikal Bedah

ASUHAN KEPERAWATAN
PADA Tn. N DENGAN DIAGNOSA HIPERTROFI PROSTAT
RUANG PERAWATAN LONTARA 2 BAWAH DEPAN
RSUP. dr. WAHIDIN SUDIROHUSODO MAKASSAR

Oleh :

KRISDAYANTI, S.Kep.
NIM: 70900119022

PRESEPTOR LAHAN PRESEPTOR INSTITUSI

(…………………….……..) (…………………………... . .. .)

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UIN ALAUDDIN MAKASSAR

2019
Pre Operasi P
Terjadi kompresi utera TURP. Prostatektomi
Kerusakan Penekanan serabut
Resistensi leher V.U Mukosa -serabut syaraf Trauma bekas insisi
dan daerah V.U Urogenetalia Folley Cateter
Nyeri

Ketebalan otot dekstrusor Obstruksi oleh


(fase kompenssi) Keletihan jendolan darah
post Operasi
Terbentuknya Penurunan
sakula/trabekula Pertahanan tubuh

Kelemahan otot Dekstrusor

Anda mungkin juga menyukai