PENDAHULUAN
Istilah anestesi dimunculkan pertama kali oleh dokter Oliver Wendell Holmes
Amerika, diturunkan dari dua kata Yunani : An berarti tidak, dan Aesthesis berarti rasa atau
sensasi nyeri. Secara harfiah berarti ketiadaan rasa atau sensasi nyeri. Dalam arti yang lebih
luas, anestesi berarti suatu keadaan hilangnya rasa terhadap suatu rangsangan. Pemberian
anestetikum dilakukan untuk mengurangi dan menghilangkan rasa nyeri baik disertai atau
tanpa disertai hilangnya kesadaran. Seringkali anestesi dibutuhkan pada tindakan yang
berkaitan dengan pembedahan.1,2
Anestesi dibagi menjadi 2 kelompok yaitu anestesi lokal dan anestesi umum. Pada
anestesi lokal hilangnya rasa sakit tanpa disertai hilangnya kesadaran, sedangkan pada
anestesi umum hilangnya rasa sakit disertai hilangnya kesadaran. 2
Tidak semua pasien memerlukan premedikasi. Pasien yang memerlukannya pun, tidak
semuanya dapat diberi premedikasi. Dengan kata lain, premedikasi bukanlah keharusan dan
sesuatu yang rutin untuk setiap anestesia. Premedikasi juga tidak berarti pemberian obat jenis
tertentu saja sebelum anestesia.2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1
II.1 Definisi Anestesi
Anestiologi adalah ilmu kedokteran yang pada awalnya beprofesi menghilangkan nyeri
dan rumatan pasien sebelum, selama dan sesudah pembedahan. Definisi anastesiologi
berkembang terus sesuai dengan perkembangan ilmu kedokteran.2,4
Anestesi merupakan suatu peristiwa hilangnya sensasi, perasaan nyeri bahkan
hilangnya kesadaran sehingga memungkinkan dilakukan pembedahan. Tujuan anestesi yaitu :
2,4
Hipnotik
Analgesi
Relaksasi otot
Preanestesi adalah pemberian zat kimia sebelum tindakan anestesi umum dengan tujuan
utama menenangkan pasien, menghasilkan induksi anestesi yang halus, mengurangi dosis
anestetikum, mengurangi atau menghilangkan efek samping anestetikum, dan mengurangi
nyeri selama operasi maupun pasca operasi.1
2
Anamnesis dapat diperoleh dari pasien sendiri (autoanamnesis) atau melalui keluarga
pasien (alloanamnesis). Dengan cara ini kita dapat mengadakan pendekatan psikologis
serta berkenalan dengan pasien. 2,4
Yang harus diperhatikan pada anamnesis: 2,4
- Identifikasi pasien, missal: nama, umur, alamat, pekerjaan, dll.
- Riwayat penyakit yang pernah atau sedang diderita yang mungkin dapat menjadi
penyulit dalam anestesi, antara lain: penyakit alergi, diabetes mellitus, penyakit paru-
paru kronik (asma bronchial, pneumonia, bronchitis), penyakit jantung dan hipertensi
(infark miokard, angina pectoris, dekompensasi kordis), penyakit hati, dan penyakit
ginjal.
- Riwayat obat-obat yang sedang atau telah digunakan dan mungkin menimbulkan
interaksi dengan obat-obat anestetik. Misalnya kortikosteroid, obat antihipertensi,
obat-obat antidiabetik, antibiotika golongan aminoglikosida, obat penyakit jantung
seperti digitalis, diuretika, obat anti alergi, tranquilizer, monoamino oxidase inhibitor,
bronkodilator.
- Riwayat operasi dan anestesi yang pernah dialami diwaktu yang lalu, berapa kali, dan
selang waktunya. Apakah pasien mengalami komplikasi saat itu seperti kesulitan
pulih sadar, perawatan intensif pasca bedah.
- Kebiasaan buruk sehari-hari yang mungkin dapat mempengaruhi jalannya anestesi
seperti: merokok dan alkohol.
B. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan keadaan gigi-geligi, tindakan buka
mulut, lidah relative besar sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan
tindakan laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan
laringoskopi intubasi.2,4
Pemeriksaan rutin lain secara sistematik tentang keadaan umum tentu tidak boleh
dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi semua sistem organ tubuh
pasien. 2,4
C. Pemeriksaan laboratorium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan penyakit
yang sedang dicurigai. Banyak fasilitas kesehatan yang mengharuskan uji laboratorium
secara rutin walaupun pada pasien sehat untuk bedah minor, misalnya pemeriksaan darah
3
kecil (Hb, lekosit, masa perdarahan dan masa pembekuan) dan urinalisis. Pada usia
pasien di atas 50 tahun ada anjuran pemeriksaan EKG dan foto toraks. Praktek-praktek
semacam ini harus dikaji ulang mengingat biaya yang harus dikeluarkan dan manfaat
minimal uji-uji semacam ini. 2,4
Setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium,
selanjutnya dibuat rencana mengenai obat dan teknik anestesi yang akan digunakan.
Misalnya pada diabetes mellitus, induksi tidak menggunakan ketamin yang dapat
menimbulkan hiperglikemia. Pada penyakit paru kronik, mungkin operasi lebih baik
dilakukan dengan teknik analgesia regional daripada anestesi umum mengingat
kemungkinan komplikasi paru pasca bedah. Dengan perencanaan anestesi yang tepat,
kemungkinan terjadinya komplikasi sewaktu pembedahan dan pasca bedah dapat
dihindari. 2,4
E. Masukan oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anesthesia. Regurgitasi isi lambung dan
kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko utama pada pasien-pasien yang
menjalani anesthesia. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang
dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesia harus dipantangkan dari masukan oral
(puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesia. Pada pasien dewasa umumnya
puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak
diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anesthesia. Minuman bening, air putih, the manis
sampai 3 jam dan untuk keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1
jam sebelum induksi anesthesia. 2,4
4
ASA II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.
ASA III :Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin
terbatas.
ASA IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan aktivitas
rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap saat.
ASA V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan
hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.
Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat (cito) dengan
mencantumkan tanda darurat (E=emergency), misalnya ASA I E atau III E. 2,4
G. Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anesthesia dengan tujuan
untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia diantaranya : 2,4
-Meredakan kecemasan dan ketakutan
-Memperlancar induksi anesthesia
-Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
-Meminimalkan jumlah obat anestetik
-Mengurangi mual muntah pasca bedah
-Menciptakan amnesia
-Mengurangi isi cairan lambung
-Mengurangi refleks yang membahayakan
Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seorang dihadapkan pada situasi yang tidak
pasti. Membina hubungan baik dengan pasien dapat membangun kepercayaan dan
menenteramkan pasien. Obat pereda kecemasan bisa digunakan diazepam peroral 10-15
mg beberapa jam sebelum induksi anestesia. Jika disertai nyeri karena penyakitnya,
dapat diberikan opioid misalnya petidin 50 mg intramuskular.4
Cairan lambung 25 ml dengan pH 2,5 dapat menyebabkan pneumonitis asam. Untuk
meminimalkan kejadian diatas dapat diberikan antagonis reseptor H2 histamin misalnya oral
simetidin 600 mg atau oral ranitidin (zantac) 150 mg 1-2 jam sebelum jadwal operasi.4
Untuk mengurangi mual muntah pasca bedah sering ditambahkan premedikasi suntikan
intramuscular untuk dewasa droperidol 2,5-5 mg atau ondansentron 2-4 mg (zofran, narfoz).4
5
Tindakan anestesi yang aman tidak terlepas dari kelengkapan peralatan anestesi yang
baik. Baik tidak berarti harus canggih dan mahal, tetapi lebih berarti berfungsi, sesuai dengan
tujuan kita member anesthesia yang lancer dan aman.4
II.2 PREMEDIKASI
II.2.1.Definisi
Bergantung kepada tujuan dan sifat obatnya, premedikasi dapat diberikan malam
sebelum operasi atau beberapa jam sebelum anestesia. Obat-obat yang diberikan oleh dokter
lain dan tidak terkait dengan prosedur anestesi bukanlah premedikasi. Contohnya pemberian
antibiotika oleh ahli penyakit dalam sejak tiga hari sebelumnya, antihipertensi oleh
kardiologis dan sebagainya.Obat premedikasi diberikan oleh dokter anestesiologis. Cara
pemberian obat premedikasi pun dapat melalui berbagai rute.3,4
Premedikasi (premedication) sebenarnya bukan istilah yang tepat. Ini bukan tindakan
yang dilakukan sebelum pemberian obat tertentu. Yang dimaksud premedikasi adalah
pemberian obat atau obat-obat sebelum anastesia, untuk mendapatkan kondisi yang
diharapkan oleh anestesiologi. Jadi, istilah yang tepat sebenarnya adalah medikasi
praanestesi.2
Tidak semua pasien memerlukan premedikasi. Pasien yang memerlukannya pun, tidak
semuanya dapat diberi premedikasi. Dengan kata lain, premedikasi bukanlah keharusan dan
sesuatu yang rutin untuk setiap anestesia. Premedikasi juga tidak berarti pemberian obat jenis
tertentu saja sebelum anestesia.2
6
Dalam berbagai literatur tujuan pemberian premedikasi dapat sangat beragam. Diantara
tujuan pemberian premedikasi yang sering disebut-sebut, antara lain:4
1. Mengurangi kecemasan
2. Mengurangi nyeri
3. Mengurangi kebutuhan obat-obat anestetik
4. Mengurangi sekresi saluran pernapasan
5. Menyebabkan amnesia
6. Mengurangi kejadian mual-muntah pascaoperasi
7. Membantu pengosongan lambung, mengurangi produksi asam lambung atau
meningkatkan pH asam lambung
8. Mencegah refleks-refleks yang tidak diinginkan.
Pencegahan Ansietas
Jika dilihat tiap-tiap tujuan diatas, sebenarnya dapat dimengerti bahwa obat-obat di
atas diberikan untuk mencegah berbagai kondisi yang tidak diinginkan. Semua kondisi yang
tidak diinginkan ini berhubungan dengan prosedur anestesia yang akan dijalani pasien.
Sebagai contoh , mengapa pasien harus dihindarkan dari kecemasan? Kecemasan
meningkatkan produksi dan penglepasan katekolamin darah yang memicu peningkatan tonus
simpatis. Hasilnya adalah peningkatan tekanan darah dan laju jantung.Tentu kondisi ini tidak
baik bagi anestesia. Konsumsi O2 meningkat, penggunaan obat anestetik meningkat, risiko
komplikasi sistem kardiolovaskuler pasca-anestesia pun meningkat. Obat ansiolitik sering
7
juga menimbulkan amnesia. Amnesia anterograd menguntungkan untuk mencegah trauma
psikologi akibat “pengalaman tidak menyenangkan” yang mungkin dialami pasien selama
pembedahan.2
Menurut Fielman banyak pasien dalam keadaan sadar pada akhir operasi, akan tetapi
tidak dapat mengingat kejadian yang baru terjadi setelah pembedahan. Ada kemungkinan
pasien dapat menerima kejadian sebelum dan sesudah pembedahan tanpa gelisah emosional
yang berat. Banyak obat premedikasi menyebabkan amnesia atau menimbulkan potensial
efek amnesia dengan obat anestetika.5
Bahaya lain dari obat-obat sedatif adalah efek vasodilatasi yang ditimbulkannya. Pada
pasien sehat hal ini tidak mendatangkan masalah karena vasodilatasi karena obat sedatif yang
diberikan peroral biasanya tidak berat. Pada pasien dalam kondisi hipovolemia atau pasien
dengan resistensi vaskular sistemik (SVR) yang tidak boleh turun, vasodilatasi menjadi tidak
menguntungkan. Pemberian obat sedatif disamping ditujukan untuk mendapatkan efek-efek
diatas juga dapat mengurangi kebutuhan akan zat anestetik, disamping membantu mencegah
kejadian “awake” atau terbangun selama anestesia.2
Hipersekresi jalan nafas juga perlu dikurangi, bila mungkin dicegah. Jalan nafas
utama dalamtubuh manusia, trakea, merupakan satu-satunya pintu masuknya O2. Jika pasase
udara terganggu, tentu akan terganggu pula oksinegasi pasien. Terutama pada pasien
terhipnosis, kemampuan mempertahankan patensi jalan nafas akan terganggu. Pasien tidak
dapat batuk spontan untuk membersihkan jalan nafasnya. Selain dapat mengganggu
oksigenasi, hal ini juga berpotensi menyebabkan pneumonia. Sekalipun pasien menjalani
8
anestesia umumm dengan intubasi endotrakeal, hipersekresi jalan napas tetap merupakan
penyulit, terutama jika ini meliputi seluruh jalan nafas.2
Penyulit lain yang berhubungan dengan jalan nafas adalah asma bronkiale atau
hipersensitivitas jal an nafas. Kondisi ini sangat rentan dengan segala bentuk iritan dan
manipulasi jalan nafas. Tindakan intubasi apalagi jika dilakukan ketika anestesia belum
cukup dalam- dapat memicu serangan yang berakibat penyempitan jalan nafas.
Laringospasme dan bronkokonstriksi intra anestesia dapat berbahaya bahkan fatal.2
Selain harus diketahui faktor pencetusnya, pada pasien dengan penyulit ini perlu
dipersiapkan hal-hal yang dapat mencegah atau setidaknya mengurangi gejala. Pada dasarnya
persiapan sama seperti manajemen asma. Perlu dipertimbangkan pemberian obata
bronkodilator, agonis βdan/atau steroid. Lebih baik lagi jika obat-obat ini dapat diberikan
secara topikal, misalnya dengan inhaler atau nebulizer. Pemberian topikal dapat mengurangi
efek samping sistemik obat-obat ini. Saat ini tersedia cukup beragam obat topikal yang
mudah digunakan. Pasien dapat diminta melakukan sendiri administrasi obat ini malam dan
pagi hari sebelum operasi. Bila perlu dosis ulangan dapat diberikan sesaat sebelum induksi.2
Terkadang pasien tertentu memiliki risiko pneumonia aspirasi yang tinggi. Sebagai
contoh pasien dengan refluks esofagitis, pasien hamil besar, pasien dengan tumor intra-
abdomen. Termasuk didalam kelompok ini adalah pasien yang menjalani operasi emergensi
yang tidak sempat dipuasakan. Pasien seperti ini ketika dilakukan induksi anestesia dapat
terjadi refluks isi lambung ke atas dan karena posisi pasien terlentang maka besar risiko
terjadinya aspirasi isi lambung. Pasien dengan risiko pneumonia aspirasi seringkali diberi
metoklopramid untuk mempercepat absorbsi isi lambung atau diberikan H2. Obat-obat ini
dapat diberikan malam dan pagi sebelum operasi. Untuk kasus emergensi, diberikan sedini
mungkin sebelum anastesi dimulai. Dapat juga diberikan sodium sitrat sesaat sebelum induksi
untuk meningkatkan pH lambung.2
Trauma bedah dapat menyebabkan bagian tubuh bergerak, bila anestesia tidak
memadai. Obat-obat analgetik dapat diberikan sebelum pembedahan, sehingga anestesia
lemah seperti N2O memerlukan sedikit penambahan obat-obat lain selama anstesia.5
Trauma pada kulit dapat mentebabkan perubahan denyut jantung dan tekanan darah.
Atropin dan hiosin dalam dosis biasa tidak mencegah tanggapan tekanan darah terhadap
9
intubasi pada anestesia ringan. Dosis biasa atropin atau hiosi pra bedah diragukan dapat
melindunginpasien dari refleks vagal dan tidak mempunyai dasar yang kuat serta kekuatan
maksimum obat ini amat singkat. Hal ini menyebabkan beberapa orang beranggapan, bahwa
atropin tidak harus selalu dipakai, karena dapat dibetikan secara intra venaapabila tidak ada
indikasi.5
Mengurangi Nyeri
Umumnya pasien menunggu operasi bebas dari rasa nyeri dan banyak pasien
mengeluh nyeri pasca bedah. Eckenhoff dan herlich membuktikan pasien dengan premedikasi
narkotika kurang mengeluh nyeri pada masa pulih, akan tetapi masa pulih lebih lama.
Alternatif analgetik selain golongan opioid adalah obat-obat anti inflamasi nonsteroid
(NSAID). Pemilihan obat ini harus cermat dengan mempertimbangkan efek sampingnyapada
saluran napas (asma bronkiale dapat dicetuskan obat NSAID tertentu), pada saluran cerna
(beberapa NSAID iritatif pada lambung) dan sistem koagulasi darah.2,5
Pada saat ini kebutuhan pemberian obat-obatan khusus untuk memnuat induksi
anestesia menjadi lebih mudah sudah berkurang. Hal ini karena banyak dipakai induksi intra
vena dan penggunaan pelemas otot yang mengurangi kesulitan khususnya pernapasan
sertakarena pemakaian uap yang tidak merangsang seperti halotan banyak menggantikan eter.
Sebelum induksi inhalasi lebih-lebih pada pasien yang kekar dan emosional pemberian
morfin ataupetidin banyak mengutungkan. Selain itu disebutkan bahwa narkotika dapat
mengurangi takipnu yang sering terjadi selam anestesia dengan trikloroetilen dan halotan.5
10
Faktor-faktor yang mempengaruhi dosis obat:5
1. Usia : Merupakan variabel yang penting dalam kerja ibat. Sesudah usia 40 tahun
efek narkotika dan sedativa meninggi, karena rasa nyeri berkurang dengan
peningkatan usia. Fenomena ini disebankan oleh karena penurunan kepekaan
terhadap rangsangan sensorik dengan pertambahan usia tidak hanya penurunan
persepsi nyeri, tetapi juga penurunan aktifitas refleks jalan napas.
2. Suhu : Setiap kenaikan suhu 1 derajat F laju metabolisme basal naik sebesar 7%
3. Emosi : Mungkin merupakan penyebab terbanyak kenaikan laju metabolisme basal
pra anestesia. Takut dan ketegangan merupakan faktor utama dan keduanya
meninggikan kepekaan terhadap rasa nyeri
4. Nyeri : Laju metabolisme basal meningkat, oleh karena rasa nyeri yang sebanding
dengan intensitas rasa nyeri.
5. Penyakit: Pasien harus dinilai sehubungan dengan penyakit dan terapinya. Pada pasien
penyakit kronis seperti osteomielitis dengan gizi jelek morfin lebih udah
toksik, karena hati tidak dapat mengolah orfin dosis besar. Pada pasien anemia
pemakain opiat atau obat depresan sebaiknya dosis dikurangi.
Tergantung kepada cara pemberian obat. Pemberian obat secara subkutan tidak akan
efektif dalam 1 jam, secara intra muskular minimum harus ditunggu 40 menit. Pada kasus
yang sangat darurat dengan waktu tindakan pembedahan yang tidak pasti obat-obat dapat
diberikan secra intravena. Obat akan segera efektif sebelum induksi. Bila pembedahan belum
akan dimulai dalam waktu 1 jam dianjurkan pemberian premedikasi intra muskular, cara
subkutan tidak dianjurkan. Harus diingat semua obat premedikasi intramuskular, diberikan
secara intra vena dapat menyebabkan sedikit hipotensi kecuali atropin dan hiosin. Hal ini
dapat dikurangi dengan pemberian secara perlahan-lahan dan diencerkan.5
11
menyebabkan komplikasi mual-muntah diantaranya pembedahan laparoskopi abdomen.
Intraoperatif, mual bisa timbul jika terjadi hipotensi akibat anestesia spinal atau akibat
penarikan struktur visera intra-abdomen. Tentu, kejadian mual-muntah intraoperatif hanya
terjadi jika pasien sadar, tidak menjalani anestesia umum.2
Pemberian obat untuk mengurangi sekresi jalan napas ( obat antisialogog) juga sering
diberikan di kamar bedah. Ini terutama untuk pasien yang akan mendapatkan ketamin untuk
anestesia, atau untuk pasien yang akan dilakukan prosedur laringoskopi dalam keadaan sadar
(awake laryngoscopy), baik laringoskopi langsung, tak langsung maupun dengan serat optik.
Oleh karena antisialogog yang beredar di Indonesia adalah atropin, sering kali obat ini juga
digunakan untuk maksud lain. Efek vagolitik atropin sangat bermanfaat mencegah refleks
vagal akibat prosedur tertentu. Beberapa prosedur yang sering menyebabkan refleks vagal
antara lain penarikan otot-otot mata, penarikan omentum serta laringoskopi dan intubasi
(yang dilakukan ketika anestesi kurang dalam).5
1. Obat antikolinergik
2. Obat sedatif
3. Obat analgetik narkotik
12
Obat golongan antikolinergik adalah obat-obatan yang berkhasiat
menekan/menghambat aktinitas kolinergik atau parasimpatis. Antikolinergik adalah obat
yang memblokade neurotransmitter asetilkolin dengan cara inhibisi kompetitif. Obat-obat ini
menginhibisi tonus parasimpatis, dengan konsekuensi menurunkan tonus otot polos di saluran
cerna, saluran kemih dan sebagainya. Contoh obat-obat golongan ini adalah atropin,
glikopirolat, difenhidramin, dimenhidrinat, ipratropium bromida. Atropin adalah yang paling
banyak digunakan. Selain refleks sfingter, atropin menyebabkan dilatasi pupil. Oleh karena
itu penggunaan atropin perlu perhatian khusus pada glaukoma sudut sempit, hipertropi prostat
dan obstruksi kandung kemih.2,3
1. Sulfas Atropin
2. Skopolamin
Dosis atropin sebagai premedikasi adalah 0,01-0,02 mg/kgBB. Efek yang diinginkan dari
obat ini adalah antisialagog (mengurangi sekresi jalan nafas). Efek vagolitik terlihat nyata
pada atropin, sehingga obat ini pun berguna untuk mengatasi refleks vagal. Pada pasien yang
mengalami takikardi, tentu pemberian atropin sebagai obat premedikasi menjadi dilematis.
Glikopirolat menjadi alternatif karena tidak menyebabkan takikardia. Sayangnya obat ini
tiadak tersedia luas di indonesia.2
Efek lain antikolinergik yang tidak diinginkan antara lain: meningkatnya risiko refluks
gastro esofagus akibat penurunan tonus sfingter esofagus, agitasi, konvulsi hingga koma,
sikloplegia, demam akibat hambatan sekresi keringat dan mulut kering yang berlebihan. Oleh
sebab itu pemberian atropin sebagai premedikasi tidak boleh terlalu lama sebelum anestesia
dimulai karena akan menimbulkan sensasi tidak menyenangkan pada pasien.2
13
Atropin mengurangi sekresi saluran nafas. Hal ini tampak menguntungkan pada
pemakaian eter. Sekresi berlangsung selama anestesia dan dapat dirangsang oleh tindakan
seperti penghisapan atau pemasangan pipa jalan napas trakea. Antikolinergik ini digunakan
untuk mengurangi sekresi bronkus sebelum anestesia.5
Mekanisme kerja
Menghambat mekanisme kerja asetil kolin pada organ yang diinervasi oleh serabut saraf
otonom para simpatis atau serabut saraf yang mempunyai neurotransmiter asetil kolin.
Alkaloid beladona menghambat muskarinik secara kompetitif yang ditimbulkan oleh asetil
kolin pada sel efektor organ terutama pada kelenjar eksokrin, oot polos dan otot
jantung.Khasiat sulfas atropin lebih dominan pada otot jantung, usus dan bronkus, sedangkan
skopolamin lebih dominan pada iris, korpus siliare dan kelenjar. 3
Menghambat sekresi kelenjar pada hidung, mulut faring, trakea dan bronkus,
menyebabkan mukosa jalan napas kekeringan, menyebabkan relaksasi otot polos
bronkus dann bronkioli, sehingga diameter lumennya melebar akan meyebabkan
volume ruang rugi bertambah.3
Menghambat sekresi kelenjar liur sehingga mulut terasa kering dan sulit menelan,
mengurangi sekresi getah lambung sehingga, keasaman lambung bisa dikurangi.
Mengurangi tonus otot polos sehingga motalitas usus menurun.3
14
Efek terhadap kelenjar keringat
Kontra indikasi. 3
Alkaloid bellado ini tidak diberikan pada pasien yang menderita: demam, takikardi,
glaukoma dan tirotoksikasis.
Obat golongan sedatif adalah obat-obat yang berkhasiat anti cemas dan menimbulkan
rasa kantuk. Tujuan pemberian obat golongan ini adalah untuk memberikan suasana nyaman
bagi pasien prabedah, bebas dari rasa cemas dan takut, sehingga pasien menjadi tidak peduli
dengan lingkungannya.3
Untuk keperluan ini, obat golongan sedatif/trankuilizer yang sering digunakan adalah;3
1. Derivat fenothiazin
2. Derivat benzodiazepin
3. Derivat butirofenon
4. Derivat barbiturat
5. Antihistamin
1. Derivat Fenothiazin
Derivat fenothiasin yang banyak digunakan untuk premedikasi adalah prometazin. Obat
ini pada mulanya digunakan sebagai antihistamin.3
Khasiat farmakologi:
15
Menimbulkan depresi saraf pusat, bekerja pada formasio retikularis dan hipotalamus
menekan pusat muntah dan mengatur suhu obat ini berpotensi dengan sedatif lainnya.3
Terhadap respirasi
Menyebabkan dilatasi otot polos saluran nafas dan menghambat sekresi kelenjar.3
Terhadap kardiovaskular.
2. Derivat Benzodiazepin
Derivat benzodiazepin yang banyak digunakan untuk premedikasi adalah diazepan dan
midazolam. Derivat yang lain adalah: Klordiazepin, nitrazepam dan oksazepam.
Benzodiazepin memiliki efek yakni ansiolitik, sedasi dan amnesia. Benzodiazepin dapat
menimbulkan efek ansiolitik pada dosis yang tidak menimbulkan sedasi.2,4
Midazolam oral paling sering digunakan pada anak-anak. Midazolam sirup efektif sebagai
sedatif dan ansiolitik pada dosis 0,2-0,4 mg/kgBB. Beberapa penelitian membuktikan obat ini
juga efektif diberikan intranasal dan pada mukosa bukal. Seperti yang telah disebutkan diatas,
obat sedatif pada umumnya berpotensi menyebabkan hipotensi. Pada pasien sehat yang
mendapat midazolam dosis rendah efek depresi kardiovaskular sangat minimal. Efek
16
signifikan kardiovaskular dari midazolam terjadi hubungan dengan benzodiazepine induced
peripheral vasodilation. Waktu pulih dari midazolam meningkat pada pasien usia lanjut,
obesitas dan penyakit hati berat.2
Khasiat farmakologi
Terhadap saraf pusat dan medula spinalis
Mempunyai khasiat sedasi dan anti cemas yang bekerja pada kornu anterior medula
spinalis dan hubungan saraf otot. Pada dosis kecil bersifat sedatif , sedangkan dosis tinggi
sebagai hipnotik.3
Terhadap respirasi
Pada dosis kecil (0,2mg/kgBB) yang diberikan secara intravena, menimbulkan depresi
ringan yang tidak serius. Bila dikombinasikan dengan narkotik menimbulkan depresi nafas
yang lebih berat.3
Terhadap kardivaskular
Pada dosis kecil, pengaruhnya kecil sekali pada kontraksi maupun denyut jantung,
akan tetapi pada dosis besar menimbulkan hipotensi yang disebabkan oleh efek dilatasi
pembuluh darah.3
Terhadap saraf-otot
Menimbulkan penurunan tonus otot rangka yang bekerja di tingkat supra spinal,
sehingga sering digunakan pada pasien yang menderita kekakuan otot rangka seperti pada
tetanus.
Penggunaan klinis.3
17
Pada pemberian intramuskularatau intravena, obat ini tidakbisa dicampur dengan obat lain
karena bisa terjadi presipitasi. Jalur vena yang dipilih sebaiknya melalui vena-vena besar
untuk mencegh flebitis. Pemberian intramuskular kurang disenangi oleh karena menimbulkan
rasa nyeri pada daerah suntikan.3
Kemasan
Kemasan injeksi berbentuk larutan emulsi dalam ampul 2 ml yang mengandung 10
mg, berwarna kuning, sukar larut dalam air dan bersifat asam. Kemasan oral dalam bentuk
tablet 2 dan 5 mg, disamping itu ada kemasan supositoria atau piparektal (rectal tube) yang
diberikan pada anak-anak. Sedangkan midazolam yang ada dipasaran adalah hanya dalam
bentuk larutan tidak berwarna, mudah larut dalam air dan kemasan dalam ampul (3 dan 5 ml)
yang mengandung 5 mg/ml.3
3. Derivat butirofenon
Derivat ini disebut juga sebagai obat golongan neroleptika, karena sering digunakan
sebagai neroleptik. Derivat butirofenon yang sering digunakan sebagai obat premedikasi
adalah dehidrobenzperidol atau populer disebut DHBP.3
Efek farmakologi
Terhadap respirasi
Menimbulkan sumbatan jalan nafas akibat dilatasi pembuluh darah rongga hidung.
Juga menimbulkan dilatasi pembuluh darah paru sehingga kontra indikasi pada pasien asma.3
Terhadap sirkulasi
Menimbulkan vasodilatasi pembuluh darah perifer, sehingga sering digunakan sebagai
anti syok. Tekanan darah akan turun tetapi perpusi dapat dipertahankan selama volume
sirkulasi adekuat.3
18
Penggunaan klinik: 3
Kemasan
Dalam bentuk ampul 2 ml dan 10 ml, mengandung 2,5mg/ml. Tidak berwarna dan biasa
dicampur dengan obat lain.3
4. Derivat barbiturat
Derivat barbiturat yang sering digunakan sebagai obat premedikasi adalah: penobarbital
dan sekobarbital. Digunakan sebagai sedasi an penenang prabedah, terutama pada anak-anak.
Pada dosis lazim, menimbulkan depresi ringan pada respirasi dan sirkulasi. Sebagai
premedikasi diberikan intramuskular dengan dosis 2 mg/kgBB atau peroral.3
5. Preparat antihistamin
Obat golongan ini sering digunakan sebagai prenedikasi adalah derivat defenhidramin.
Khasiat yang diharapkan adalah: sedatif, antimuntah ringan dan antipiraetik, sedangkan efek
sampingnya adalah hipotensi yang sifatnya ringan.3
Sebagai analgetik, opioid bekerja secara sentral pada reseptor –reseptor opioid yang diketahui
ada 4 reseptor, yaitu:3
1. Reseptor Mu.
Morfin bekerja secara agonis pada reseptor ini. Stimulasi pada reseptor ini akan
menimbulkan analgesia, rasa segar, euforia dan depresi respirasi.
19
2. Reseptor Kappa
Stimulasi reseptor ini menimbulkan analgesia, sedasi dan anestesia. Morfin bekerja
pada reseptor ini.
3. Reseptor Sigma
Stimulasi reseptor ini menimbulkan perasaan disforia, halusinasi, pupil midriasis dan
stimulasi respirasi.
4. Reseptor Delta
Pada manusia peranan reseptor ini belum diketahui dengan jelas. Diduga memperkuat
reseptor Mu.
Golongan narkotik yang sering digunakan sebagai obat premedikasi adalah: petidin
dan morfin. Sedangkan fentanil digunakan sebagai suplemen anestesia.
Efek farmakologi
Terhadap susunan saraf pusat
Sebagai analgetik, obat ini bekerja pada talamus dan substansia gelatinosa medula
spinalis, disamping itu, narkotik juga mempunyai efek sedasi.3
Terhadap respirasi
Menimbulkan depresi pusat nafas terutama pada bayi dan orang tua. Efek ini semakin
manifes pada keadaan umum pasien yang buruk sehingga perlu pertimbangan seksama
dalam penggunaanya. Namun demikian efek ini dapat dipulihkan dengan nalorpin atau
nalokson.Terhadap bronkus, petidin menyebabkan dilatasi bronkus, sedangkan morfin
menimbulkan konstriksi akibat pengaruh pelepasan histamin.3
Terhadap sirkulasi
Tidak menimbulkan depresi sistem sirkulasi, sehingga cukup aman diberikan pada
semua pasiem kecuali bayi dan orang tua. Pada kehamilan, narkotik dapat melewati barier
plasenta sehingga bisa menimbulkan depresi nafas pada bayi baru lahir.3
20
Penggunaan klinik
Morfin mempunyai kekuatan 10 (sepuluh) kali dibandingkan dengan petidin, ini
berarti bahwa dosis morfin sepersepuluh dari petidin, sedangkan fentanil 100 kali dari
petidin.3
Analgetik narkotik digunakan sebagai:3
1. Premedikasi: petidin diberikan intramuskular dengan dosis 1 mg/kg bb atau intra
vena 0,5 mg/kg BB, sedangkan morfin sepersepuluhnya dari petidin, sedangkan
fentanil sepersepuluh dari petidin.
2. Analgetik untuk pasien yang menderita nyeri akut/kronis, diberikan sistemik atau
regional intratekal/epidural.
3. Suplemen anastesia atau analgesia
4. Analgetik pada tindakan endoskopi atau diagnosa lain
5. Suplemen sedasi dan analgetik di Unit Terapi Intensif
Morfin adalah: 5
obat pilihan jika rasa nyeri telah ada sebelum pembedahan
mengurangi kecemasan dan ketegangan
menekan TD dan nafas
merangsang otot polos
depresan SSP
pulih pasca bedah lebih lama
penyempitan bronkus
mual muntah (+)
Kontra indikasi
Pemberian narkotik harus hati-hati pada pasien orang tua atau bayi dan keadaan
umum yang buruk. Tidak boleh diberikan pada pasien yang mendapatkan preparat
penghambat monoamin oksidase, pasien asma dan penderita penyakit hati.3
21
4. Spasme bronkus pada pasien asma terutama akibat morfin
5. Kolik abdomen akibat spasme sfinter kandung empedu.
6. Mual muntah dan hipersaliva
7. Gatal-gatal seluruh tubuh
Penanggulangan efek samping ini dilakukan dengan jalan memberikan bantuan hidup
dasar dan segera memberikan obat penawar.3
Sindrom Abstinensia
Kemasan 3
1. Petidin dalam bentuk ampul 2 ml yang mengandung 50 mg/ml tidak berwarna
2. Fentanil dikemas steril dalam bentuka ampul 2 dan 10 ml tiap ml mengandung 50µg.
3. Morfin dlam bentuk ampul 1 ml yang mengandung 10 atau 20 mg , tidak berwarna dan
bisa dicampur dengan obat lain.
Dalam aplikasinya, ketiga jenis obat-obat premedikasi ini dicampur dalam satu spuit
kecuali diazepam, dan disuntikkan secara intramuskular. Pemberian dengan cara ini
dimaksudkan untuk mengurangi suntikan berulang. Apabila diberikan terpisah, pasien akan
disuntik sebanyak tiga kali, keadaan ini tidak mengenakkan pasien.3
Pemberian opioid dapat menimbulkan sedasi, bukan karena efek ansiolitik melainkan
karena depresi susuna saraf pusat. Opioid (dan opiat) adalah analgetik. Opiat atau opioid
dengan waktu paruh yang panjang dapat pula memberi efek analgesia pasca operasi.2
Seperti disebutkan sebelumnya beberapa kelemahan opioid adalah depresi susunan saraf
pusat secara luas, termasuk depresi nafas. Hipoventilasi dapat mengakibatkan hipoksia dan
hiperkapnia yang tentu saja dapat berbahaya. Oleh karena itu opioid jarang digunakan
22
sebagai premedikasi diruangan, jika tanda-tanda vital diawasi dengan ketat. Penggunaan
opioid juga sebaiknya dihindari pada pasien yang akan melahirkan, pasien dengan kesadaran
tidak baik dan pasien dengan gangguan fungsi pernapasan.2
Toleransi dan ketergantungan dapat terjadi pada penggunaan opioid jangka panjang. Pada
pemberian opioid sekali saja sebagai premedikasi tentu kemungkinan ini kecil. Pada pasien
tertentu mungkin saja dosis opioid yang diberikan terlalu besar, sehingga menimbulkan gejala
overdosis. Pada overdosis yang berat dikenal istilah”triad overdosis opioid” yaitu miosis,
hipoventilasi dan koma. Kan tetapi hal ini lazimnya terjadi pada penggunaan dosis besar.2
Fenotiazin
Sebenarnya golongan obat ini berpotensi menyebabkan efek samping yang berat,
misalnya gejala ekstrapiramidal. Ada lagi efek yang terkenal dan dapat fatal, yaitu neurolrptic
malignant syndrome (NMS). Gejala klinis NMS sangat mirip dengan hipertermia malignan
dan juga diatasi dengan pemberian dantrolene.2
Β-blocker
Obat ini tidak diberikan sebagai premedikasi ruangan. Pemberian β blocker diluar
kamar bedah hampir selalu merupakan bagian dari terapi oleh kardiologis atau dokter
penyakit dalam. Penggunaan obat ini dikamar bedah sebagai premedikasi terbatas pada
preparat intravena yang berawitan sangat cepat dan durasinya pendek. Obat ideal untuk
keperluan ini adalah esmolol atau pilihan kedua metoprolol.2
23
Penggunaan β blocker sebagai premedikasi dimaksudkan untuk menghambat respon
hemodinamik akibat stimulus noniseptik (laringoskopi dan intubasi) serta menghambat
respon stress neuroendokrin. Harus diingat obat golongan ini tidak mempunyai komponen
analgesia. Kerjanya pada hemodinamika adalah pada reseptor-reseptor β di sistem
kardivaskular.2
Penggunaan β bloker yang tidak selektif sebaiknya dihindari pada pasien asma
bronkiale karena sekatan dapat terjadi juga direseptor β 2 di bronkus dan menyebabkan
bronkokonstriksi.2
Obat golongan ini menghambat pelepasan norepinefrin secara sentral. Oleh karena itu
pemberiannya harus dihindari pada pasien-pasien yang sangat memerlukan kemampuan
kompensasi kardivaskular, misalnya pasien dengan blok AV, pasien syok hipovolemi dan
sebagainya.2
Proton pump inhibitors sepsrti omeperazol, lansoprazol dan pantoprazol bekerja pada
sel parietal lambung,berikatan dengan menghambat pompa proton sehingga menghambat
sekresi asam lambung.Obat-obat ini diindikasikan untuk pengobatan ulus peptikum, penyakit
refluks gastrointestinal (gastriintestinal reflux disease, GERD) dan Zollinger Ellison
Syndrome. Penggunaannya sebagai profilaksis asam lambung pada anestesia umum terbatas
dibandingkan dengan penggunaan untuk tujuan diatas.2
24
mg iv, ranitidin oral 150-300 mg dibeikan malam hari dan waktu 1-2 jam pra anestesia.
Pemberian intravena harus lebih berhati-hati pada pasien dengan kelainan ginjal dan hepar.2
Antagonis Serotonin
Antagonis 5HT3 yang pertama kali dikenal ada beberapa jenis, yaitu derivat karbazol
(ondasetron), indazol ( granisetron) dan indol ( tropisetron dan dolasetron). Antagonis
reseptor 5HT hampir semuanya adalah antiemetik. Penggunaan rutin sebagai profilaksis anti
mual dan muntah dianjurkan sebelum induksi dan pasca bedah terutama pada pasien dengan
riwayat mual muntah, paseien menjalani pembedahan yang beresiko tinggi menyebabkan
nausea seperti laparoskopi, serta operasi yang memerlukan pencegahan mual muntah seperti
pada bedah saraf atau operasi mata. Dosis yang direkomendasikan pada ondansentron adalah
4 mg.2
Metoklorpropamid
Metoklorpropamid bekerja sebagai cholinomimetic yang memfasilitasi transmisi
asetilkolin pada reseptor muskarinik selektif. Obat ini adalah agen prokinetik pada saluran
cerna bagian atas, meningkatkan tonus sigter esofagus bagian bawah, mempercepat
pengososngan lambung dan menurunkan volum gaster. Efektif pada pasien dengan gastropati
diabetikum. Gastro-esophageal reflux disease (GERD) dan pencegahan pneumo aspirasi.2
Dosis metoklorpropamid 0.25 mg/kgBB efektif secara oral dengan awitan 30-60
menit dan secara intravena dengan awitan 1-3 menit. Dosis lebih besar 1-2 mg/kgBB dapat
digunakan sebagai pencegahan emesis kemoterapi. Efek samping pada pemberian intravena
cepat adalah kram abdominal. Obat ini dikontraindikasikan pada parkinsonisme, obstruksi
25
usus serta feookromasitoma karena dapat menyebabkan penglepasan katekolamin dari tumor.
Obat diekskresikan di urin sehingga perlu hai-hati pada pasien dengan gangguan ginjal.2
BAB III
PENUTUP
26
DAFTAR PUSTAKA
27
4. Latief, S.A. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensife FKUI. Jakarta. Hal :1, 29-32
5. Muhiman muhardi, Thaib Muhadri, Sunatrio S, Dahlan Ruslan. Anestesiologi.
Premedikasi. FKUI. Jakarta. Hal :59-62
28