Anda di halaman 1dari 4

TUGAS STASE MATA

Nama : Paulus Pradatama Raga Come


NIM : 1208011007
Tanggal : 28 Maret 2018

KELAINAN – KELAINAN BUTA WARNA

A. Fisiologi Melihat Warna


Pada retina, terdapat 2 jenis sel fotoreseptor yaitu sel batang dan sel kerucut. Sel batang
bertugas untuk pengelihatan dengan intensitas cahaya yang rendah dan bayangan
akromatik, sangat sensitif, ketajaman rendah dan lebih banyak terdapat di perifer, sel
batang hanya memiliki satu fotopigmen. Berbeda halnya dengan sel kerucut yang bertugas
untuk melihat dengan intensitas cahaya tinggi dan berwarna (kromatik), sensitivitas
cahaya yang rendah, ketajaman pengelihat yang tunggi dan sel kerucut lebih terpusat di
fovea memiliki 3 fotopigmen.
Sel kerucut dibagi menjadi 3 jenis yakni S cone (biru), M cone (hijau) dan L cone (merah).
Penamaan ini berdasarkan sensitivias sel terhadap panjang gelombang cahaya, karena tiap
fotopigmen menyerap cahaya secara maksimal pada panjang gelombang tertentu tetapi
juga menyerap panjang gelombang yang lebih panjang dan lebih pendek penamaan
tersebut yakni short wavelenght (biru), middle wavelenght (hijau) dan long wavelenght
(merah). Kurva penyerapan dari ketiga jenis sel kerucut saling tumpang tindih sehingga
dua atau tiga sel dapat berespon terhadap panjang gelombang tertentu dengan tingkat
berbeda. S cone tersebar merata diseluruh retina, tetapi tidak terdapat di fovea.
Perbandingan jumlah L:M:S adalah 12:6:1.

Gambar 1. Jenis sel kerucut dan panjang gelombang


Secara umum terdapat 2 teori tentang pengelihatan warna:
1. Teori trikromatik
Teori trikromatik dikemukan oleh Young dan dimodifikasi oleh Helmholtz sehingga
disebut juga teori Young-Helmholtz. Teori ini mengemukakan setiap sel kerucut
memiliki fotopigmennya sendiri dan setiap fotopigmen sensitif terhadap 3 warna
primer yakni merah, hijau dan biru. Persepsi warna dibedakan oleh banyaknya impuls
yang masuk untuk merangsang masing – masing sel kerucut tersebut, sederhanannya
warna merupakan campuran atau kombinasi warna primer dengan berbeda
perbadingan L:M:S. Contohnya warna kuning terjadi kombinasi 83:83:0, dimana L-
cone (biru) tidak terstimulus. Sedangkan warna hijau merupakan kombinasi 31:67:36.
Penyempurnaan teori ini adalah dengan mengidentifikasi karakteristik biokimia dari
masing – masing pigmen pada tingkat DNA. Rhodopsin terdapat pada kromosom 3
dan gen S-Cone (biru) terdapat pada kromosom 7. Sedangkan M Cone (hijau) dan L
cone (merah) berdampingan pada lengan Q kromosom X.
2. Teori Opponent Colour oleh Hering
Teori ini menyatakan warna dikirim ke retina untuk diubah menjadi sinyal dan baru
dikirim ke otak. Teori ini menerangkan bahwa setiap warna itu eksklusif. Tidak ada
warna hijau kemerahan meskipun fenomena ini sulit dijelaskan dengan teori kromatik
saja. Berdasarkan teori ini, ada 2 tipe sel ganglion yakni:
- Red-green opponent colour cells untuk sinyal dari sel kerucut merah dan hijau
sehingga berguna untuk mendeteksi kontras warna merah/hijau yang diterima.
- Blue-yellow opponent colour cells mendapatkan warna kuning dari sel hijau dan
merah yang kontras dengan warna yang dihasilkan sel biru.
B. Etiologi
Buta warna dapat terjadi secara kongenital ataupun didadapat akibat penyakit tertentu.
Buta warna herediter merupakan kelainan genetik kromosom X ayah dan ibu yang
berkaitan dengan warna merah dan hijau (yang terdapat di lengan Q kromosom X). Anak
perempuan menerima satu kromosom X dari ibu dan satu dari ayahnya. Dibutuhkan hanya
satu gen untuk penglihatan warna normal, oleh sebab itu kebanyakan anak perempuan
sebagai karier. Sedangkan anak laki – laki menerima kromosom X dari ibu dan Y dari
ayah, jika gen X tunggal tidak mempunyai fotopigmen maka terjadi buta warna. Hal ini
menjelaskan buta warna lebih sering terjadi pada laki – laki dibandingkan perempuan.

Gambar 2. Pengaruh kromosom X terhadap buta warna

Untuk penyebab yang didapat, dikenal hukum Kollner yang menyatakan defek penglihatan
warna merah dan hijau merupakan lesi saraf optik ataupun jalur penglihatan, sedangkan
defek penglihatan biru dan kuning akibat kelainan pada epitel sensori retina atau lapis
kerucut dan batang retina, atau pada makula. Terdapat pengecualian hukum Kollner:
1. Neuropati optik iskemik, atrofi optik pada glaukoma, atrofi optik yang diturunkan
secara dominan, atrofi saraf optik tertentu memberikan cacat biru kuning.
2. Defek penglihatan merah hijau pada degenerasi makula, mungkin akibat kerusakan
retina yang terletak pada sel ganglionnya.
3. Degenerasi makula juvenil terdapat buta biru kuning, merah hijau atau buta total,
sedangkan degenerasi makula stardgart dan fundus flavimakulatus menyebabkan
gangguna warna merah hijau.
4. Defek penglihatan warna biru dapat terjadi pada peningkatan TIO.
Gangguan penglihatan biru kuning terdapat pada glaukoma, ablasio retina, degenerasi
pigmen retina, degenerasi makula senilis dini, miopia, karioretinitis, oklusi pembuluh
darah retina, retinopati, papil edema, kercunan alkohol serta pertambahan usia. Gangguan
pengelihat merah hijau pada kelainan saraf optik, keracunan tembakau, neuritis
retrobulbar, atrofi optik dan lesi kompresi traktus optikus.
C. Jenis – Jenis Buta Warna
1. Trikromatik, yaitu keadaan pasien mempunyai 3 pigmen kerucut yang mengatur fungsi
penglihatan . Pasien buta warna ini dapat melihat berbagai warna, tetapi dengan
interpretasi berbeda dari normal. Bentuk defisiensi yang paling sering ditenukan:
- Deuteranomali, dengan defek pada penglihatan warna hijau atau kelemahan
fotopigmen M cone atau absorpsi M cone bergeser ke arah gelombang yang lebih
panjang sehingga diperlukan lebih banyak hijau untuk menjadi kuning baku.
- Protanomali, kelemahan fotopigmen L cone atau absorpsi L cone ke arah
gelombang yang lebih rendah, diperlukan lebih banyak merah untuk bergabung
menjadi kuning baku pada anomaloskop. Protanomali dan deutronomali terkait
kromosom X dan, di Amerika, terdapat pada 5% anak laki-laki.
- Tritanomali, merupakan defek penglihatan warna biru atau fotopigmen S cone atau
absorpsi S cone bergeser ke arah gelombang yang lebih panjang. Kelainan ini
bersifat autosomal dominan pada 0,1% pasien.
2. Dikromatik, yaitu pasien yang mempunyai 2 pigmen kerucut, akibatnya sulit
membedakan warna tertentu.
- Protanopia, keadaan yang paling sering ditemukan dengan defek pada penglihatan
warna merah hijau atau kurang sensitifnya pigmen merah kerucut (hilangnya
fotopigmen L cone) karena tidak berjalannya mekanisme red-green opponent.
- Deuteranopia, kekurangan pigmen hijau kerucut (hilangnya fotopigmen M cone)
sehingga tidak dapat membedakan warna kemerahan dan kehijauan karena kurang
berjalannya mekanisme viable red-green opponent.
- Tritanopia (tidak kenal biru), terdapat kesulitan membedakan warna biru dari
kuning karena hilangnya fotopigmen S-cone.
3. Monokromatik (akromatopsia atau buta warna total), hanya terdapat satu jenis pigmen
sel kerucut, sedangkan pigmen lainnya rusak. Pasien sering mengeluh fotofobia, tajam
penglihatan kurang, tidak mampu membedakan warna dasar atau warna antara (hanya
dapat membedakan hitam dan putih) silau dan nistagmus. Kelainan ini bersifat
autosomal resesif.
- Monokromatisme sel batang (rod monochromatism). Disebut juga suatu
akromatopsia (seluruhkomponen pigmen warna kerucut tidak normal), terdapat
kelainan pada kedua mata bersama dengan keadaan lain, seperti tajam penglihatan
kurang dari 6/60, nistagmus, fotofobia, skotoma sentral, dan mungkin terjadi akibat
kelainan sentral hingga terdapat gangguan penglihatan warna total, hemeralopia
(buta silang), tidak terdapat buta senja atau malam, dengan kelainan refraksi tinggi.
Insidens sebesar 1 dalam 30.000 dan pewarisan secara autosomal resesif
menyebabkan mutasi gen yang menyandi protein photoreceptor cation channel or
cone transducin.
- Monokromatisme sel kerucut (cone monochromatism). Terdapat hanya sedikit
defek atau yang efektif hanya satu tipe pigmen sel kerucut. Hal ini jarang, 1 dalam
100.000. Tajam penglihatan normal, tidak tedapat nistagmus, tidak terdapat
diskrimanasi warna. Biasanya disebabkan monokromasi biru, terkait kromosom X
resesif, yang menyebabkan mutasi gen yang menyandi opsin kerucut merah dan
hijau.

Sumber:
1. Hall JE, editors. Guyton and Hall Textbook of Medical Physiology. Ed 13th. New York:
McGraw-Hill; 2015.
2. Khurana AK, editors. Comprehensive Ophtalmology. Ed 4th. Mumbai: New Age
International (P) Limited Publisher; 2007
3. Kartika, Kunyjoro K, Yenni, Halim Y. Patofisiologi dan Diagnosis Buta Warna. CDK
2014; 14(4); Available from URL
http://www.kalbemed.com/Portals/6/10_215Patofi%20siologi%20dan%20Diagnosis
%20Buta%20Warna.pdf . Accessed 28 Maret 2018.
4. Sherwood L, editors. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem. Ed 8. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC;2016.

Anda mungkin juga menyukai