Untuk penyebab yang didapat, dikenal hukum Kollner yang menyatakan defek penglihatan
warna merah dan hijau merupakan lesi saraf optik ataupun jalur penglihatan, sedangkan
defek penglihatan biru dan kuning akibat kelainan pada epitel sensori retina atau lapis
kerucut dan batang retina, atau pada makula. Terdapat pengecualian hukum Kollner:
1. Neuropati optik iskemik, atrofi optik pada glaukoma, atrofi optik yang diturunkan
secara dominan, atrofi saraf optik tertentu memberikan cacat biru kuning.
2. Defek penglihatan merah hijau pada degenerasi makula, mungkin akibat kerusakan
retina yang terletak pada sel ganglionnya.
3. Degenerasi makula juvenil terdapat buta biru kuning, merah hijau atau buta total,
sedangkan degenerasi makula stardgart dan fundus flavimakulatus menyebabkan
gangguna warna merah hijau.
4. Defek penglihatan warna biru dapat terjadi pada peningkatan TIO.
Gangguan penglihatan biru kuning terdapat pada glaukoma, ablasio retina, degenerasi
pigmen retina, degenerasi makula senilis dini, miopia, karioretinitis, oklusi pembuluh
darah retina, retinopati, papil edema, kercunan alkohol serta pertambahan usia. Gangguan
pengelihat merah hijau pada kelainan saraf optik, keracunan tembakau, neuritis
retrobulbar, atrofi optik dan lesi kompresi traktus optikus.
C. Jenis – Jenis Buta Warna
1. Trikromatik, yaitu keadaan pasien mempunyai 3 pigmen kerucut yang mengatur fungsi
penglihatan . Pasien buta warna ini dapat melihat berbagai warna, tetapi dengan
interpretasi berbeda dari normal. Bentuk defisiensi yang paling sering ditenukan:
- Deuteranomali, dengan defek pada penglihatan warna hijau atau kelemahan
fotopigmen M cone atau absorpsi M cone bergeser ke arah gelombang yang lebih
panjang sehingga diperlukan lebih banyak hijau untuk menjadi kuning baku.
- Protanomali, kelemahan fotopigmen L cone atau absorpsi L cone ke arah
gelombang yang lebih rendah, diperlukan lebih banyak merah untuk bergabung
menjadi kuning baku pada anomaloskop. Protanomali dan deutronomali terkait
kromosom X dan, di Amerika, terdapat pada 5% anak laki-laki.
- Tritanomali, merupakan defek penglihatan warna biru atau fotopigmen S cone atau
absorpsi S cone bergeser ke arah gelombang yang lebih panjang. Kelainan ini
bersifat autosomal dominan pada 0,1% pasien.
2. Dikromatik, yaitu pasien yang mempunyai 2 pigmen kerucut, akibatnya sulit
membedakan warna tertentu.
- Protanopia, keadaan yang paling sering ditemukan dengan defek pada penglihatan
warna merah hijau atau kurang sensitifnya pigmen merah kerucut (hilangnya
fotopigmen L cone) karena tidak berjalannya mekanisme red-green opponent.
- Deuteranopia, kekurangan pigmen hijau kerucut (hilangnya fotopigmen M cone)
sehingga tidak dapat membedakan warna kemerahan dan kehijauan karena kurang
berjalannya mekanisme viable red-green opponent.
- Tritanopia (tidak kenal biru), terdapat kesulitan membedakan warna biru dari
kuning karena hilangnya fotopigmen S-cone.
3. Monokromatik (akromatopsia atau buta warna total), hanya terdapat satu jenis pigmen
sel kerucut, sedangkan pigmen lainnya rusak. Pasien sering mengeluh fotofobia, tajam
penglihatan kurang, tidak mampu membedakan warna dasar atau warna antara (hanya
dapat membedakan hitam dan putih) silau dan nistagmus. Kelainan ini bersifat
autosomal resesif.
- Monokromatisme sel batang (rod monochromatism). Disebut juga suatu
akromatopsia (seluruhkomponen pigmen warna kerucut tidak normal), terdapat
kelainan pada kedua mata bersama dengan keadaan lain, seperti tajam penglihatan
kurang dari 6/60, nistagmus, fotofobia, skotoma sentral, dan mungkin terjadi akibat
kelainan sentral hingga terdapat gangguan penglihatan warna total, hemeralopia
(buta silang), tidak terdapat buta senja atau malam, dengan kelainan refraksi tinggi.
Insidens sebesar 1 dalam 30.000 dan pewarisan secara autosomal resesif
menyebabkan mutasi gen yang menyandi protein photoreceptor cation channel or
cone transducin.
- Monokromatisme sel kerucut (cone monochromatism). Terdapat hanya sedikit
defek atau yang efektif hanya satu tipe pigmen sel kerucut. Hal ini jarang, 1 dalam
100.000. Tajam penglihatan normal, tidak tedapat nistagmus, tidak terdapat
diskrimanasi warna. Biasanya disebabkan monokromasi biru, terkait kromosom X
resesif, yang menyebabkan mutasi gen yang menyandi opsin kerucut merah dan
hijau.
Sumber:
1. Hall JE, editors. Guyton and Hall Textbook of Medical Physiology. Ed 13th. New York:
McGraw-Hill; 2015.
2. Khurana AK, editors. Comprehensive Ophtalmology. Ed 4th. Mumbai: New Age
International (P) Limited Publisher; 2007
3. Kartika, Kunyjoro K, Yenni, Halim Y. Patofisiologi dan Diagnosis Buta Warna. CDK
2014; 14(4); Available from URL
http://www.kalbemed.com/Portals/6/10_215Patofi%20siologi%20dan%20Diagnosis
%20Buta%20Warna.pdf . Accessed 28 Maret 2018.
4. Sherwood L, editors. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem. Ed 8. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC;2016.