Anda di halaman 1dari 5

Nama Kelompok :

1. Martaria Tiurlan Nada ( 10011381520138 )


2. Tiara Juita ( 10011181520019 )
3. Maya Lisa Nurjana ( 10011181520031 )
4. Rani Khairunnisa ( 10011381520136 )
Kelas : B ( MOLES )
Urbanisasi Paska Lebaran dan APBN 2016

Seperti periode-periode sebelumnya, paska lebaran 2015 ini, Provinsi DKI Jakarta harus
bersiap diri menghadapi lonjakan pendatang baru dari berbagai pelosok daerah di Indonesia.
Meski berat dengan problematika kehidupan kota, Jakarta di mata kaum pendatang tetap menjadi
magnet luar biasa bagi perbaikan status hidup. Himpitan ekonomi di daerah asal, makin
memperbesar tekat para kaum urban untuk mencoba mengadu nasib di Jakarta. Menurut Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil Provinsi Jakarta, jumlah pendatang baru yang diprediksi akan
masuk ke Jakarta tahun 2015 ini mengalami kenaikan sekitar 3% menjadi 70.593 orang
dibandingkan jumlah pendatang 2014 sekitar 68.537 orang. Hebatnya lagi, hampir sebagian
besar kaum pendatang yang rata-rata berpendidikan menengah rendah hanya bermodalkan nekat
tanpa keahlian apapun. Akibatnya, mayoritas pendatang dipastikan hanya akan bekerja di sektor
informal serta berpotensi terjerumus dalam dunia kriminalitas ibu kota. Keterbatasan lahan juga
memaksa kaum pendatang untuk hidup di jalanan. Tak heran, meskipun sudah ditertibkan, setiap
habis Lebaran jumlah gubuk liar, manusia gerobak dan rumah kardus akan meningkat secara
drastis. Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan, mengingat pendatang tersebut sebetulnya
memiliki niat yang mulia. Namun apa daya, kejamnya ibu kota memaksa impian mereka kandas
di tengah jalan.
Problem urbanisasi ini sejatinya menjadi masalah klasik yang selalu terulang setiap
tahunnya. Sayangnya, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah DKI Jakarta sepertinya tidak
pernah memiliki kiat menghadapi fenomena tersebut. Kebijakan yang ada, akhirnya hanya
bersifat kuratif, tanpa pernah berpikir bagaimana mencegah laju urbanisasi. Semakin banyak
dilakukan operasi yustisi kependudukan atau razia KTP, jumlah pendatang baru bukannya
berkurang, justru malah terus bertambah. Akibatnya program-program tersebut justru semakin
beraroma proyek semata tanpa menghasilkan solusi praktis. Banyak pihak menilai, fenomena ini
sebetulnya terjadi akibat besarnya tingkat kesenjangan antarpenduduk serta kesenjangan antara
desa dan kota. Berdasarkan data BPS, porsi 20% penduduk dengan pendapatan tertinggi di
Indonesia terus meningkat, sementara 40% penduduk pendapatan menengah dan rendah
cenderung fluktuatif. Dilihat dari nilai Indeks Gini, terlihat peningkatan signifikan dari 0,33
tahun 2002, menjadi 0,41 tahun 2013. Data distribusi pendapatan juga memperkuat hal tersebut.
Sejak tahun 2010, porsi kelompok 20 persen penduduk terkaya naik pesat hingga 49%,
sementara kelompok 40 persen menengah dan 40 persen termiskin terus mengalami penurunan.
Berdasarkan data pengamat, jika di tahun 1980, sekitar 78% penduduk Indonesia masih tinggal
di pedesaan, maka kondisi tersebut kini justru mengalami kebalikan. Penduduk desa masih
berkisar di angka 120 juta jiwa, sementara penduduk yang tinggal di perkotaan justru mengalami
kenaikan hingga empat kali lipat, dari 32,76 juta jiwa menjadi sekitar 123,12 juta jiwa. Jika tren
urbanisasi tetap seperti saat ini, maka di tahun 2025 nanti sekitar 65% penduduk akan berada di
kota, sementara sisanya akan berdiam di pedesaan dengan mayoritas usia nonproduktif dan senja.
Teori kependudukan
Penduduk jika dilihat dari sisi positif, sebetulnya memiliki faktor strategis dalam
pembangunan dengan beberapa alasan. Alasan pertama, penduduk adalah subyek dan obyek
pembangunan. Sebagai subyek, penduduk harus dibina dan ditingkatkan kualitasnya sehingga
mampu menjadi mesin penggerak pembangunan. Sebagai obyek, pembangunan harus dapat
dinikmati oleh masyarakat. Dengan demikian, pembangunan harus diperhitungkan dengan
seksama, dengan memperhitungkan kemampuan penduduk, sehingga masyarakat mampu
berpartisipasi secara aktif. Alasan kedua, keadaan dan kondisi kependudukan yang ada akan
sangat mempengaruhi dinamika pembangunan. Jumlah penduduk yang besar, jika diikuti dengan
kualitas penduduk yang memadai, akan menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi.
Sebaliknya jumlah penduduk yang besar namun kualitasnya kurang memadai justru akan
menjadi beban pembangunan. Alasan ketiga, dampak perubahan dinamika kependudukan baru
akan terasa dalam jangka panjang, sehingga terkadang peran penting penduduk dalam
pembangunan menjadi terabaikan.
Teknologi akan memacu inovasi, meningkatkan produktivitas, serta terciptanya
pertumbuhan ekonomi yang stabil. Inovasi tersebut muncul dari hasil learning by doing, dengan
menekankan pentingnya kualitas penduduk di dalamnya. Pengembangan teori Solow Swan inilah
yang nantinya dikenal sebagai New Growth Theory, sebagai dasar munculnya revoluasi
pemikiran pentingnya kualitas penduduk dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi. Di era Orde
Baru, Pemerintah sebetulnya cukup concern dengan masalah kualitas penduduk. Banyak
kebijakan yang kemudian dihasilkan, bersifat terintegrasi demi menciptakan penduduk yang
berkualitas. Program Keluarga Berencana (KB), BKKBN, dan Posyandu adalah contoh nyata
kebijakan Pemerintah Orde Baru yang ditujukan demi menciptakan masyarakat yang berkualitas.
Rencananya, di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2016, besaran dana
Transfer ke Daerah akan mencapai Rp800 triliun, naik secara signifikan dibandingkan alokasi
APBN Perubahan 2015 sebesar Rp643,8 triliun. Di dalam alokasi tersebut, sudah termasuk pula
Dana Desa yang besarannya juga akan terus diupayakan untuk meningkat secara singifikan.
Optimalisasi “Ekonomi Lebaran” di daerah- daerah juga perlu dilakukan. Perlu dicatat
bahwa ketika ekonomi nasional tengah mengalami kelesuan, permintaan uang tunai untuk
kebutuhan Lebaran tahun 2015 justru mengalami kenaikan hingga mencapai Rp125 triliun. Dari
keseluruhan uang tersebut, sebesar Rp.61 triliun beredar di pulau Jawa, Rp20 triliun beredar di
pulau Sumatera dan sisanya sekitar Rp.11 triliun beredar di Bali dan Indonesia Timur. Dari Rp.61
triliun yang beredar di Jawa, sekitar 30%-nya beredar di Jakarta. Suatu potensi ekonomi yang
sebetulnya sangat disayangkan jika terbuang hanya untuk kegiatan konsumtif semata tanpa dapat
menggerakan kegiatan investasi selanjutnya. Oleh karena itu, ke depan Pemerintah sebaiknya
memfokuskan pada bagaimana menciptakan pembangunan yang merata di seluruh wilayah
sebagai acuan kinerja utama, khususnya di wilayah -wilayah perdesaan demi men-disencourage
ledakan urbanisasi. Tanpa itu semua, Jakarta akan terus menjadi tumpuan mengadu nasib seluruh
pendatang baru, meskipun Jakarta sendiri juga memiliki keterbatasan daya dukung dan daya
tampung. Seyogyanya pekerjaan ini dimulai dari sekarang. Jangan tunggu sampai Jakarta
menjadi kota nekropolitan bagi penduduknya.

Anda mungkin juga menyukai