Anda di halaman 1dari 5

1.

Masalah kesehatan jiwa secara global di Indonesia dan Dunia Beserta Dampaknya
Berbagai kondisi psikososial yang menjadi indikator taraf kesehatan jiwa masyarakat,
khususnya yang berkaitan dengan karakteristik kehidupan di perkotaan (urban mental health)
meliputi: kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kasus perceraian, anak remaja putus
sekolah, kasus kriminalitas anak remaja, masalah anak jalanan, promiskuitas, penyalahgunaan
Napza dan dampak nya (hepatitis C,HIV/AIDS dll), gelandangan psikotik serta kasus bunuh
diri.
a. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
Kekerasan dalam rumah tangga adalah tiap perbuatan terhadap seseorang yang berakibat
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan fisik, seksual, psikologis dan/atau penelantaran
rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau
perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (definisi
dalam UU No.23 tahun 2004 tentang penghapusan KDRT). Lingkup rumah tangga
adalah suami, istri dan anak, termasuk juga orang-orang yang mempunyai hubungan
keluarga karena hubungan darah, perkawinan, pengasuhan, perwalian dengan suami
maupun istri yang menetap bersama dalam rumah tangga.
Dampak kekerasan dalam rumah tangga: meliputi gangguan kesehatan fisik non-
reproduksi (luka fisik, kecacatan), gangguan kesehatan reproduksi (penularan penyakit
menular seksual, kehamilan yang tidak dikehendaki), gangguan kesehatan jiwa (trauma
mental), kematian atau bunuh diri. Kekerasan rumah tangga juga dapat menjadi salah satu
atau kontributor meningkatnya kasus perceraian, kasus penelantaran anak, kasus
kriminalitas anak remaja serta juga penyalahgunaan Napza
b. Anak Putus Sekolah
Berdasarkan data direktorat pendidikan kesetaraan depdiknas tahun 2005 lalu di Indonesia
tercatat jumlah pelajar SLTP yang putus sekolah adalah sebanyak 1.000.746 siswa/siswi,
sedangkan pelajar SLTA yang putus sekolah adalah sebanyak 151.976. jumlah lulusan
SLTA yang tidak melanjutkan pendidikan keperguruan tinggi pada tahun tersebut tercatat
sebanyak 691.361 siswa/ siswi.
Dampak anak putus sekolah :Laporan Organisai Buruh Internasional (ILO) tahun 2005
menyatakan bahwa sebanyak 4,18 juta anak usia sekolah di Indonesia tidak bersekolah
dan sebagainya menjadi “pekerja anak” perwakilan ILO di Indonesia menyatakan bahwa
banyaknya anak putus sekolah dan menjadi pekerja anak disebabkan karena biaya
pendidikan di Indonesia masih dianggap terlalu mahal dan tak terjangkau oleh sebagian
kalangan masyarakat. Angka partisipasi kasar (APK) program wajib belajar 9 tahun yang
dirilis Depdiknas menunjukan baru mencapai 88,68% dari target 95% partisipasi anak usia
sekolah yang diharapkan.
c. Masalah Anak Jalanan
Masalah anak jalan di Indonesia seperti kekerasan pada anak, masalah anak jalanan,
penelantaran anak dan sebagainya masih cukup tinggi. Berdasarkan data dari Departemen
Sosial tahun 2005, jumlah anak jalanan di Indonesia adalah sekitar 30.000 anak dan
sebagian besarnya berada di jalan-jalan di DKI Jakarta. Selain itu baru terdapat 12 daerah
di Indonesia yang memiliki perda tentang anak jalanan.
Dampak masalah anak jalanan tersebut jelas rentan terhadap berbagai tindak kekerasan,
penyimpangan perlakuan, pelecehan seksual bahkan dilibatkan dalam berbagai tindak
kriminal oleh orang dewasa yang menguasainya.
d. Kasus Kriminalitas Anak Remaja
Data Direktorat Jenderal Kemasyarakatan Dephukham dan komnas pelindungan anak
(PA) menujukan bahwa pada tahun 2005 di Indonesia terdapat 2.179 tahanan anak dan
802 narapidana anak, 7 diantaranya anak perempuan. Tahun 2006 angkanya menjadi
4.130 tahanan anak serta 1.325 narapidana anak, dimana 34 diantaranya adalah anak
perempuan. Menurut survey Komnas PA penyebab anak masuk LP Anak adalah 40%
karena terlibat kasus Narkoba (Napza), 20% karena perjudian sedangkan sisanya karena
kasus lain-lain.
Dampak kasus kriminalitas anak remaja Kira-kira 20% tindak kekerasan seksual pada
tahun 2006 pelakunya adalah anak remaja, 72% anak remaja pelaku kekerasan seksual
mengaku terinspirasi Tayangan TV, setelah membaca media cetak porno dan nonton film
porno. Laporan Komnas PA menyatakan bahwa 50-70% anak terlibat dalam tindak pidana
kriminalitas lalu di vonis penjara dan masuk LP Anak justru perilakunya menjadi lebih
jelek dan menjadi residivis dikemudian hari.
e. Masalah Narkoba, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya (Napza) serta
dampaknya (Hepatitis C, HIV/AIDS, dll)
Narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya (Napza) tergolong dalam zat
psikoaktif yang bekerja mempengaruhi kerja sistem penghantar sinyal saraf (neuro-
transmiter) sel-sel susunan saraf pusat (otak) sehingga meyebabkan terganggunya fungsi
kognitif (pikiran), persepsi, daya nilai (judgment) dan perilaku serta dapat menyebabakan
efek ketergantungan, baik fisik maupun psikis. Penyalahgunaan Napza di Indonesia
sekarang sudah merupakan ancaman yang serius bagi kehidupan bangsa dan negara.
Pengungkapan kasusnya di Indonesia meningkat rata-rata 28,9 % per tahun. Tahun 2005
pabrik extasi terbesar ke 3 di dunia terbongkar di Tangerang, Banten. Di Indonesia
diprediksi terdapat sekitar 1.365.000 penyalahgunaan Napza aktif dan data perkiraan
estimasi terakhir menyebutkan bahwa pengguna Napza di Indonesia mencapai 5.000.000
jiwa. Mengikuti laju perkembangan kasus tersebut dijumpai pula peningkatan epidemi
penyakit hati lever hepatitis tipe-c dan kasus HIV (Human Immunodeficiency Virus)
AIDS (Acquired Immune-Deficiency Syndrome) yang modus penularan melalui
penggunaan jarum yang tidak steril secara bergantian pada “pengguna Napza suntik
(Penasus/injecting drug user/ IDU).
Dampak napza Pola epidemik HIV/AIDS di Indonesia tak jauh berbeda dengan negara-
negara lain, pada fase awal penyebarannya melalui kelompok homoseksual, kemudian
tersebar melalui perilaku seksual berisiko tinggi seperti pada pekerja seks komersial,
namun beberapa tahun belakangan ini dijumpai kecenderungan peningkatan secara cepat
penyebaran penyakit ini diantara para pengguna Napza suntik. Berbagai sember
memperkirakan orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di Indonesia telah mencapai kurang
lebih 120.000 orang dan sekitar 80% dari jumlah tersebut terinfeksi karena pengunaan
jarum yang tidak steril secara bergantian pada para pengguna Napza suntik, jumlah
penderita HIV/AIDS dari tahun 2000 sampai 2005 meningkat dengan cepat menjadi 4 kali
lipat atau 40%. Data pada akhir tahun 2005 menyatakan bahwa prevalensi penularan HIV
AIDS pada “penasun” adalah 80- 90% artinya , mencapai 90% dari total penasun
dipastikan terinfeksi HIV/AIDS.
f. Gangguan Psikotik Dan Gangguan Jiwa Skizofrenia
Ganguan jiwa berat ini merupakan bentuk gangguan dalam fungsi alam pikiran berupa
disorganisasi (kekacauan) dalam isi pikiran yang ditandai antara lain oleh gejala gangguan
pemahaman (delusi waham) gangguan persepsi berupa halusinasi atau ilusi serta dijumpai
daya nilai realitas yan terganggu yang ditunjukan dengan perilaku-perilaku aneh (bizzare).
Gangguan ini dijumpai rata-rata 1-2% dari jumlah seluruh penduduk di suatu wilayah
pada setiap waktu dan terbanyak mulai timbul (onset) nya pada usia 15-35 tahun. Bila
angkanya 1 dari 1.000 penduduk saja yang menderita gangguan tersebut, di Indonesia bisa
mencapai 200-250 ribu orang penderita dari jumlah tersebut bila 10% nya memerlukan
rawat inap di rumah sakit jiwa berarti dibutuhkan setidaknya 20-25 ribu tempat tidur
(hospital bed) Rumah sakit jiwa yang ada saat ini hanya cukup merawat penderita
gangguan jiwa tidak lebih dari 8.000 orang. Jadi perlu dilakukan upaya diantaranya
porgram intervensi dan terapi yang implentasinya bukan di rumah sakit tetapi
dilingkungan masyarakat (community based psyciatric services) penambahan jumlah
rumah sakit jwa bukan lagi merupakan prioritas utama karena paradigma saat ini adalah
pengembangan program kesehatan jiwa masyarakat (deinstitutionalization). Terlebih saat
ini telah banyak ditemukan obat-obatan psikofarmaka yang efektif yang mampu
mengendalikan gejala ganggun penderitanya. Artinya dengan pemberian obat yang tepat
dan memadai penderita gangguan jiwa berat cukup berobat jalan.
Dampaknya Stigma terhadap gangguan jiwa berat ini tidak hanya menimbulkan
konsekuensi negatif terhadap penderitanya tetapi bagi juga anggota keluarga, meliputi
sikap-sikap penolakan, penyangkalan, disisihkan, dan diisolasi. Penderita gangguan jiwa
mempunyai risiko tinggi terhadap pelanggaran hak asasi manusia.

g. Kasus Bunuh Diri


Data WHO menunjukkan bahwa rata-rata sekitar 800.000 orang di seluruh dunia
melakukan tindakan bunuh diri setiap tahunnya. Laporan di India dan Sri Langka
menunjukkan angka sebesar 11-37 per 100 ribu orang, mungkin di Indonesia angkanya
tidak jauh dari itu. Menurut Dr. Benedetto Saraceno dari departemen kesehatan jiwa
WHO, lebih dari 90% kasus bunuh diri berhubungan dengan masalah gangguan jiwa
seperti depresi, psikotik dan akibat ketergantungan zat (Napza).
Dampaknya Yang mengkhawatirkan adalah dijumpainya pergeseran usia orang yang
melakukan tindak bunuh diri. Kalau dahulu sangat jarang anak yang usianya kurang dari
12 tahun melakukan tindak bunuh diri, tetapi sekarang bunuh diri pada anak usia kurang
dari 12 tahun semakin sering ditemukan. Ini menunjukkan kegagalan orang tua di rumah,
guru di sekolah dan tokoh panutan di asyarakat membekali keterampilan hidup (life skill)
untuk mengatasi tantangan maupun kesulitan hidupnya. Kasus bunuh diri sudah menjadi
masalah kesehatan masyarakat yang serius terutama bila dikaitkan dengan dampak
kehidupan moderen. Oleh karena itu WHO memandang bunuh diri sebagai peyebab utama
kematian dini yang dapat dicegah.

2. Prioritas utama kesehatan jiwa


Menjadikan kesehatan jiwa sebagai prioritas global dengan cara meningkatkan pelayanan
kesehatan jiwa lewat advokasi dan aksi masyarakat. Perkembangan teknologi digital membuat
dunia terasa semakin sempit, informasi dari aneka belahan dunia mampu di akses dalam
waktu yang sangat cepat, perkembangan pengetahuan, perkembangan terapi menjadi sebuah
media perubahan dalam proses penatalaksanaan gangguan jiwa, berlandaskan isu diatas maka
advokasi dan aksi masyarakat menjadi salah satu langkah awal untuk menekan penderita
gangguan jiwa di indonesia pada khususnya dan dunia pada umumnya.

Anda mungkin juga menyukai