TENTANG
DISUSUN OLEH :
ANDI TRISNAWATI
(P07220116005)
A. Pengertian
Halusinasi adalah persepsi sensorik yang keliru dan melibatkan panca
indera (Isaacs, 2002).
Halusinasi merupakan gangguan atau perubahan persepsi dimana klien
mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu penerapan
panca indra tanpa ada rangsangan dari luar. Suatu penghayatan yang dialami
suatu persepsi melalui panca indra tanpa stimulus eksteren/ persepsi palsu
(Maramis, 2005).
Halusinasi adalah kesan, respon dan pengalaman sensori yang salah
(Stuart, 2007).
Menurut Varcarolis (2006: 393), halusinasi dapat didefenisikan sebagai
terganggunya proses sensori seseorang, dimana tidak terdapat stimulus.
B. Penyebab
1. Faktor Predisposisi
Menurut Stuart (2007), faktor penyebab terjadinya halusinasi adalah:
a. Biologis
Abnormalitas perkembangan sistem saraf yang berhubungan dengan
respon neurobiologis yang maladaptif baru mulai dipahami. Ini
ditunjukkan oleh penelitian-penelitian yang berikut:
1) Penelitian pencitraan otak sudah menunjukkan keterlibatan otak
yang lebih luas dalam perkembangan skizofrenia. Lesi pada daerah
frontal, temporal dan limbik berhubungan dengan perilaku
psikotik.
2) Beberapa zat kimia di otak seperti dopamin neurotransmitter yang
berlebihan dan masalah-masalah pada system reseptor dopamin
dikaitkan dengan terjadinya skizofrenia.
3) Pembesaran ventrikel dan penurunan massa kortikal menunjukkan
terjadinya atropi yang signifikan pada otak manusia. Pada anatomi
otak klien dengan skizofrenia kronis, ditemukan pelebaran lateral
ventrikel, atropi korteks bagian depan dan atropi otak kecil
(cerebellum). Temuan kelainan anatomi otak tersebut didukung
oleh otopsi (post-mortem).
b. Psikologis
Keluarga, pengasuh dan lingkungan klien sangat mempengaruhi
respon dan kondisi psikologis klien. Salah satu sikap atau keadaan
yang dapat mempengaruhi gangguan orientasi realitas adalah
penolakan atau tindakan kekerasan dalam rentang hidup klien.
c. Sosial Budaya
Kondisi sosial budaya mempengaruhi gangguan orientasi realita
seperti: kemiskinan, konflik sosial budaya (perang, kerusuhan, bencana
alam) dan kehidupan yang terisolasi disertai stress.
2. Faktor Presipitas
Menurut Stuart (2007), faktor presipitasi terjadinya gangguan halusinasi
adalah:
a. Biologis
Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur
proses informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk
dalam otak yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara
selektif menanggapi stimulus yang diterima oleh otak untuk
diinterpretasikan.
b. Stress lingkungan
Ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi terhadap stressor
lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.
c. Sumber koping
Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi
stressor.
C. Manifestasi Klinis
1. Bicara, senyum dan tertawa sendiri
2. Menarik diri dan menghindar dari orang lain
3. Tidak dapat membedakan antara keadaan nyata dan tidak nyata
4. Tidak dapat memusatkan perhatian
5. Curiga, bermusuhan, merusak (diri sendiri, orang lain dan lingkungannya),
takut
6. Ekspresi muka tegang, mudah tersinggung
(Budi Anna Keliat, 2005)
D. Tahapan dan tingkatan halusinasi
1. Comporting → cemas sedang, halusinasi merupakan kesenangan
Karakteristik
Non psikotik, merasa cemas, kesepian, bersalah, takut sehingga mencoba
berpikir hal-hal menyenangkan, halusinasi masih dapat dikontrol
Observable patient behaviors
Tersenyum/tertawa sendiri, bicara tanpa bersuara, rapid eyes movement,
bicara pelan, diam dan preoccupied
2. Condemnine → cemas berat, halusinasi menjadi refulsif
Karakteristik
Nonspesifik pengalaman sensori menjadi menakuitkan, klien merasa
hilang kontrol dan merasa dilecehkan oleh pengalaan sensori tersebut,
menarik diri dari orang lain
Observable patient behaviors
Peningkatan aktivitas sistem saraf otonom, peningkatan denyut jantung,
respirasi dan tekanan darah.
3. Controlling → cemas berat, halusinasi tidak dapat ditolak
Karakteristik
Klien menyerah terhadap halusinasinya, halusinasi menjadi lebih
mengancam
Observable patient behavior
Mengikuti perintah halusinasinya, sulit berhubungan dengan orang lain,
berkeringat, tremor, tidak dapat mengikuti perintah dari perawat.
4. Conquering → panik, klien dikuasai oleh halusinasinya
Karakteristik
Pengalaman sensori menjadi menakutkan dan mengancam jika tidak
mengikuti perintahnya
Observable patient behavior
Pelaku panik, resiko tinggi mencederai diri sendiri/orang lain,m,m
aktivitas menggambarkan isi halusinasi seperti perilaku kekerasan, gelisah,
isolasi sosial/katatonia.
E. Klasifikasi
1. Halusinasi pendengaran
Klien mendengar suara/bunyi yang tidak ada hubungannya dengan
stimulkus yang nyata/lingkungan. Dengan kata lain yang berada disekitar
klien tidak mendengar bunyi atau suara yang didengar klien tersebut.
2. Halusinasi penglihatan
Klien melihat gambaran yang jelas atau samar tanpa adanya stimulus yang
nyata dari lingkungan\
3. Halusinasi penciuman
Klien mencium sesuatu yang muncul dari sumber tertentu tanpa stimulus
yang nyata
4. Halusinasi pengecapan
Klien merasakan sesuatu yang tidak nyata biasanya merasakan rasa
makanan yang tidak enak
5. Halusinasi perabaan
Klien merasakan sesuatu pada kulitnya tanpa stimulus yang nyata
F. Akibat
Adanya gangguang persepsi sensori halusinasi dapat beresiko mencederai
diri sendiri, orang lain dan lingkungan (Keliat, B.A, 2006). Menurut
Townsend, M.C suatu keadaan dimana seseorang melakukan sesuatu tindakan
yang dapat membahayakan secara fisik baik pada diri sendiri maupuan orang
lain.
Seseorang yang dapat beresiko melakukan tindakan kekerasan pada diri
sendiri dan orang lain dapat menunjukkan perilaku :
1. Data subjektif :
a. Mengungkapkan mendengar atau melihat objek yang mengancam
b. Mengungkapkan perasaan takut, cemas dan khawatir
2. Data objektif :
a. Wajah tegang, merah
b. Mondar-mandir
c. Mata melotot rahang mengatup
d. Tangan mengepal
e. Keluar keringat banyak
f. Mata merah
G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien halusinasi dengan cara :
1. Menciptakan lingkungan yang terapeutik
Untuk mengurangi tingkat kecemasan, kepanikan dan ketakutan pasien
akibat halusinasi, sebaiknya pada permulaan pendekatan di lakukan secara
individual dan usahakan agar terjadi knntak mata, kalau bisa pasien di
sentuh atau di pegang. Pasien jangan di isolasi baik secara fisik atau
emosional. Setiap perawat masuk ke kamar atau mendekati pasien,
bicaralah dengan pasien. Begitu juga bila akan meninggalkannya
hendaknya pasien di beritahu. Pasien di beritahu tindakan yang akan di
lakukan.
Di ruangan itu hendaknya di sediakan sarana yang dapat merangsang
perhatian dan mendorong pasien untuk berhubungan dengan realitas,
misalnya jam dinding, gambar atau hiasan dinding, majalah dan permainan
2. Melaksanakan program terapi dokter
Sering kali pasien menolak obat yang di berikan sehubungan dengan
rangsangan halusinasi yang di terimanya. Pendekatan sebaiknya secara
persuatif tapi instruktif. Perawat harus mengamati agar obat yang di
berikan betul di telannya, serta reaksi obat yang di berikan.
3. Menggali permasalahan pasien dan membantu mengatasi masalah yang
ada.
Setelah pasien lebih kooperatif dan komunikatif, perawat dapat menggali
masalah pasien yang merupakan penyebab timbulnya halusinasi serta
membantu mengatasi masalah yang ada. Pengumpulan data ini juga dapat
melalui keterangan keluarga pasien atau orang lain yang dekat dengan
pasien.
4. Memberi aktivitas pada pasien
Pasien di ajak mengaktifkan diri untuk melakukan gerakan fisik, misalnya
berolah raga, bermain atau melakukan kegiatan. Kegiatan ini dapat
membantu mengarahkan pasien ke kehidupan nyata dan memupuk
hubungan dengan orang lain. Pasien di ajak menyusun jadwal kegiatan dan
memilih kegiatan yang sesuai.
5. Melibatkan keluarga dan petugas lain dalam proses perawatan
Keluarga pasien dan petugas lain sebaiknya di beritahu tentang data pasien
agar ada kesatuan pendapat dan kesinambungan dalam proses
keperawatan, misalny dari percakapan dengan pasien di ketahui bila
sedang sendirian ia sering mendengar laki-laki yang mengejek. Tapi bila
ada orang lain di dekatnya suara-suara itu tidak terdengar jelas. Perawat
menyarankan agar pasien jangan menyendiri dan menyibukkan diri dalam
permainan atau aktivitas yang ada. Percakapan ini hendaknya di
beritahukan pada keluarga pasien dan petugaslain agar tidak membiarkan
pasien sendirian dan saran yang di berikan tidak bertentangan.
H. Pohon Masalah
K. Diagnosa
Diagnosa keperawatan yang dapat ditarik dari pohon masalah tersebut adalah
1. Gangguan sensori perceptual : Halusinasi
2. Isolasi sosial: Menarik Diri
Daftar Pustaka
Ade Herman, S.D. 2011. Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Nuha Medika.
Fitria, Nita. 2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan
dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta :
Salemba Medika
Maramis, W.f. 2005. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Ed. 9 Surabaya: Airlangga
University Press.
A. Pengertian
Isolasi social adalah keadaan dimana individu atau kelompok mengalami
atau merasakan kebutuhan atau keinginan untuk meningkatkan keterlibatan
dengan orang lain tetapi tidak mampu untuk membuat kontak (Carpenito,
2008).
Isolasi social adalah suatu sikap individu menghindari diri dari interaksi
dengan orang lain. Individu merasa bahwa ia kehilanngan hubungan akrab dan
tidak mempunyai kesempatan untuk membagi perasaan, pikiran, prestasi, atau
kegagalan (Yosep, 2009, hlm.229).
Isolasi social adalah keadaan ketika seorang individu mengalami
penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang
lain disekitarnya. (Keliat dan Kemat, 2009, hlm. 93).
B. Penyebab
1. Faktor Predis Posisi
Beberapa faktor pendukung yang dapat menyebabkan isolasi sosial adalah:
a. Faktor Perkembangan
Kurangnya stimulasi, kasih sayang, perhatian dan kehangatan dari ibu /
pengasuh kepada bayi akan memberikan rasa tidak aman yang dapat
menghambat terbentuknya rasa percaya.
b. Faktor komunikasi dalam keluarga
Masalah komunikasi dalam keluarga dapat menjadi kontribusi untuk
mengembangkan gangguan tingkah laku. Sikap bermusuhan /
hostilitas. Sikap mengancam dan menjelek – jelekkan anak. Ekspresi
emosi yang tinggi. Orang tua atau anggota keluarga sering berteriak,
marah untuk persoalan kecil / spele, sering menggunakan kekerasan
fisik untuk mengatasi masalah, selalu mengkritik, mengkhayalkan,
anak tidak diberi kesempatan untuk mengungkapkan pendapatnya
tidak memberi pujian atas keberhasilan anak .
c. Faktor sosial budaya
Isolasi sosial atau mengasingkan diri lingkungan merupakan faktor
pendukung terjadinya gangguan berhubungan. Contoh : Individu yang
berpenyakit kronis, terminal, menyandang cacat atau lanjut usia.
Demikianlah kebudayaan yang mengizinkan seseorang untuk tidak
keluar ruman (pingit) dapat menyebabkan isolasi sosial.
d. Faktor biologi
Genetik merupakan salah satu faktor pendukung gangguan jiwa,
insiden tertinggi skizofrenia di temukan pada keluarganya yang
anggota keluarga menderita skizofrenia.
2. Faktor Presipitasi
Stresor presipitas terjadi isolasi sosial dapat ditimbulkan oleh faktor
Internal maupun eksternal meliputi.
a. Stressor sosial budaya
Stressor sosial budaya dapat memicu kesulitan dalam berhubungan,
terjadinya penurunan stabilitas keluarga seperti : perceraian, berpisah
dengan orang yang dicintai kehilangan pasangan pada usia tua,
kesepian karena ditinggal jauh, dirawat dirumah sakit atau dipenjara.
b. Stressor Giokimic
Kelebihan dopamin pada mesokortikal dan mesolimbik serta traktus
saraf dapat merupakan indikasi terjadinya skizofrenia
c. Stressor biologic dan lingkungan sosial
Beberapa penelitian membuktikan bahwa kasus skizofrenia sering
terjadi akibat interaksi antara individu, lingkungan, maupun biologis.
d. Stressor psikologis
Kecemasan yang tertinggi akan menyebabkan menurunya kemampuan
individu untuk berhubungan dengan orang lain. Ego pada klien
psikotik mempunyai kemampuan terbatas untuk mengatasi stres. Hal
ini berkaitan dengan adanya masalah serius antara hubungan ibu dan
anak pada fase sinibiotik sehingga perkembangan psikologis individu
terhambat.
1) Hubungan ibu dan anak
Ibu dengan kecemasan tinggi akan mengkomunikasikan
kecemasannya pada anak, misalnya dengan tekanan suara yang
tinggi, hal ini membuat anak bingung, karena belum dapat
mengklasifikasikan dan mengartikan pasien tersebut.
2) Dependen versus Interdependen
Ibu yang sering membatasi kemandirian anak, dapat menimbulkan
konflik, di satu sisi anak ingin mengembangkan kemandiriannya.
C. Manifestasi Klinis
1. Apatis, ekspresi sedih, afek tumpul.
2. Menghidar dari orang lain (menyendiri)
3. Klien tampak memisahkan diri dari orang lain misalnya pada saat makan.
4. Tidak merawat dan memperhatikan kebersihan diri.
5. Komunikasi kurang / tidak ada.
6. Klien tidak tampak bercakap-cakap dengan klien lain / perawat.
7. Tidak ada kontak mata : klienlebih sering menunduk.
8. Mengurung diri di kamar / tempat terpisah, klien kurang dalam mobilitas.
9. Menolak berhubungan dengan orang lain.
10. Tidak melakukan kegiatan sehari-hari, artinya perawatan diri dan kegiatan
rumah tangga sehari-hari tidak dilakukan.
D. Akibat
Perilaku ini biasanya disebabkan karena seseorang menilai dirinya rendah,
sehingga timbul perasaan malu untuk berinteraksi dengan orang lain. Bila
tidak dilakukan intervensi lebih lanjut, maka akan menyebabkan perubahan
persepsi sensori : halusinasi dan resiko tinggi mencederai diri, orang lain juga
bisa menyebabkan intoleransi aktivitas yang dapat berpengaruh terhadap
kemempuan untuk melakukan perawatan secara mandiri
E. Pohon Masalah
G. Diagnosa Keperawatan
1. Isolasi sosial : Menarik diri
2. Gangguan konsep diri : Harga diri rendah
3. Perubahan persepsi sensori : Halusinasi
H. Intervensi
Tujuan
Pasien mampu :
- Menyadari penyebab isolasi sosial
Berinteraksi dengan orang lain
Keluarga mampu :
Merawat pasien isolasi sosial di rumah
Daftar Pustaka
Marlindawani, Jeney, 2002, Asuhan keperawatan pada klien dengan masalah
Psikososial dengan gangguan jiwa
Rasmun S. Kep. M 2004. Seres Kopino dan Adaptasir Toors dan Pohon Masalah
Keperawatan. Jakarta : CV Sagung Seto Stuart, GW. 2002. Buku Saku
Keperawatan Jiwa. Edisi 5. Jakarta: EGC.
A. Pengertian
Perawatan diri adalah salah satu kemampuan dasar manusia dalam
memenuhi kebutuhannya guna memepertahankan kehidupannya, kesehatan
dan kesejahteraan sesuai dengan kondisi kesehatannya, klien dinyatakan
terganggu keperawatan dirinya jika tidak dapat melakukan perawatan diri (
Depkes 2000).
Defisit perawatan diri adalah gangguan kemampuan untuk melakukan
aktifitas perawatan diri (mandi, berhias, makan, toileting) (Nurjannah, 2004).
Deficit perawatan diri pada pasien dengan gagguan jiwa merupakan deficit
peraatan diri yang terjadi akibat adanya perubahan proses pikir sehingga
kemampuan untuk melakukan aktivitas perawatan diri menurun (Keliat dan
akemat 2007).
Menurut Poter. Perry (2005), Personal hygiene adalah suatu tindakan
untuk memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk kesejahteraan
fisik dan psikis.
B. Penyebab
1. Faktor prediposisi
a. Perkembangan
Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien sehingga
perkembangan inisiatif terganggu.
b. Biologis
Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan
perawatan diri.
c. Kemampuan realitas turun
Klien dengan gangguan jiwa dengan kemampuan realitas yang kurang
menyebabkan ketidakpedulian dirinya dan lingkungan termasuk
perawatan diri.
d. Sosial
Kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan diri
lingkungannya. Situasi lingkungan mempengaruhi latihan kemampuan
dalam perawatan diri.
2. Faktor presipitasi
Yang merupakan faktor presipitasi deficit perawatan diri adalah kurang
penurunan motivasi, kerusakan kognisi atau perceptual, cemas,
lelah/lemah yang dialami individu sehingga menyebabkan individu kurang
mampu melakukan perawatan diri.
Menurut Depkes (2000: 59) Faktor – faktor yang mempengaruhi personal
hygiene adalah:
a. Body Image
Gambaran individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi kebersihan
diri misalnya dengan adanya perubahan fisik sehingga individu tidak
peduli dengan kebersihan dirinya.
b. Praktik Sosial
Pada anak – anak selalu dimanja dalam kebersihan diri, maka
kemungkinan akan terjadi perubahan pola personal hygiene.
c. Status Sosial Ekonomi
Personal hygiene memerlukan alat dan bahan seperti sabun, pasta gigi,
sikat gigi, shampo, alat mandi yang semuanya memerlukan uang untuk
menyediakannya.
d. Pengetahuan
Pengetahuan personal hygiene sangat penting karena pengetahuan
yang baik dapat meningkatkan kesehatan. Misalnya pada pasien
penderita diabetes mellitus ia harus menjaga kebersihan kakinya.
e. Budaya
Di sebagian masyarakat jika individu sakit tertentu tidak boleh
dimandikan.
f. Kebiasaan seseorang
Ada kebiasaan orang yang menggunakan produk tertentu dalam
perawatan diri seperti penggunaan sabun, sampo dan lain- lain.
g. Kondisi fisik atau psikis
Pada keadaan tertentu / sakit kemampuan untuk merawat diri
berkurang dan perlu bantuan untuk melakukannya
C. Manifestasi Klinis
1. Fisik:
Badan bau, pakaian kotor
Rambut dan kulit kotor
Kuku panjang dan kotor
Gigi kotor disertai mulut yang bau
Penampilan tidak rapi
2. Psikologis
Malas, tidak ada inisiatif
Menarik diri, isolasi diri
Merasa tak berdaya, rendah diri, dan merasa hina
3. Social
Interaksi kurang
Kegiatan kurang
Tidak mampu berprilaku sesuai norma
Cara makan tidak teratur, BAB dan BAK disembarang tempat , gosok
gigi dan mandi tidak mampu mandiri.
D. Akibat
Dampak yang ditimbulkan dengan keadaan defisit perawatan diri seperti
pasien dikucilkan di dalam keluarga atau masyarkat sehingga terjadi isolasi
sosial dan bahkan kehilangan kemampuan dan motivasi dalam melakukan
perawatan terhadap tubuhnya.
E. Pohon Masalah
G. Diagnose Keperawatan
1. Deficit Perawatan Diri
2. Isolasi Sosial : MD
3. Gangguan konsep diri : HDR
H. Intervensi
Tujuan
Pasien mampu :
- Melakukan kebersihan diri secara mandiri
- Melakukan berhias / berdandan secara baik
- Melakukan makan dengan baik
- Melakukan BAB / BAK secara mandiri
Keluarga mampu :
- Merawat anggota keluarga yang mengalami masalah kurang perawatan diri
Daftar Pustaka
Aziz R, dkk, Pedoman Asuhan Keperawatan Jiwa Semarang : RSJD Dr.
Amino Gonohutomo, 2003
Rasmun S. Kep. M 2004. Seres Kopino dan Adaptasir Toors dan Pohon
Masalah Keperawatan. Jakarta : CV Sagung Seto
Stuart, GW. 2002. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Edisi 5. Jakarta: EGC.
LAPORAN PENDAHULUAN
HARGA DIRI RENDAH
A. Pengertian
Harga diri adalah penilaian individu tentang nilai personal yang diperoleh
dengan menganalisis seberapa sesuai perilaku dengan ideal diri (Stuart, 2005)
Harga diri rendah adalah cenderung untuk memilih dirinya negative dan
merasa lebih rendah dari orang lain (Hamid Achir Yani, 2005)
Harga diri rendah adalah menolak dirinya sebagai sesuatu yang berharga
dan tidak dapat bertanggung jawab pada kehidupannya sendiri (Yoeddhas,
2010)
B. Penyebab
1. Faktor Predisposisi
a. Faktor yang memiliki harga diri meliputi pendataan orang lain,
harapan orang tua yang tidak realistis, kegagalan yang berulang kali,
kurang mempunyai tanggung jawab personal, ketergantungan pada
orang lain dan ideal diri yang tidak realistis.
b. Faktor yang mempengaruhi penampilan peran adalah peran seks,
tuntutan peran kerja, harapan peran kultural.
c. Faktor yang mempengaruhi identitas personal, meliputi ketidak
percayaan orang tua tekanan dari kelompok sebaya, perubahan dalam
stuktural sosial.
2. Faktor Presipitasi
a. Trauma seperti penganiayaan seksual dan psikologis atau menyaksikan
kejadian yang mengancam kehidupannya.
b. Ketegangan peran berhubungan dengan peran atau posisi yang
diharapkan dimana individu mengalaminya sebagai frustasi
c. Transisi Peran situasi adalah terjadi dengan bertambah atau
berkurangnya anggota keluarga melalui kelahiran dan kematian
d. Transisi peran sehat sakit akibat pergeseran dari keadaan sehat ke sakit
dicetuskan oleh kehilangan bagian tubuh, perubahan ukuran bentuk,
penampilan, fungsi tubuh, perubahan fisik berhubungan dengan
tumbang normal moral dan prosedur medis keperawatan
C. Manifestasi Klinis
Menurut Suliswati, 2005 tanda dan gejala harga diri rendah yaitu :
1 Merasa dirinya lebih rendah dari orang lain
2 Mengkritik diri sendiri dan orang lain
3 Gangguan dalam berhubungan
4 Rasa diri penting yang berlebihan
5 Perasaan tidak mampu
6 Rasa bersalah
7 Pandangan hidup yang pesimis
8 Penolakan terhadap kemampuan personal
9 Menarik diri secara social
10 Khawatir dan menarik diri dari realitas
D. Akibat
Harga diri rendah dapat membuat klien menjdai tidak mau maupun tidak
mampu bergaul dengan orang lain dan terjadinya isolasi sosial : menarik diri.
Isolasi sosial menarik diri adalah gangguan kepribadian yang tidak fleksibel
pada tingkah laku yang maladaptive, mengganggu fungsi seseorang dalam
hubungan sosial (DEPKES RI, 1998 : 336).
E. Pohon Masalah
Berduka disfungsional
G. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan konsep diri : HDR
2. Isolasi sosial : menarik diri
3. Berduka disfungsional
H. Intervensi
Tujuan
Pasien mampu :
- Mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
- Menilai kemampuan yang dapat digunakan
- Menetapkan / memilih kegiatan yang sesuai dengan kemampuan
- Melatih kegiatan yang sudah dipilih, sesuai kemampuan
- Merencanakan kegiatan yang sudah dilatihnya.
Keluarga mampu :
- Merawat pasien dengan harga diri rendah di rumah dan menjadi sistem
pendukung yang efektif bagi pasien
Daftar Pustaka
Fitria, N. 2009. Prinsip Dasar & Aplikasi Laporan Pendahuluan & Strategi
Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP & SP) untuk 7 Diagnosa. Jakarta
: Salemba Medika
C. Rentang respon
Respon adaptif Respon
maladaptif
1. Respon Adaptif
Respon adaprif adalah respon yang dapat diterima norma-norma social
Budaya yang berlaku. Dengan kata lain, individu tersebut dalam batas
normal jika menghadapi suatu masalah akan dapat memecahkan masalah
tersebut, respon adaptif (Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 96):
a. Pikiran logis adalah pandangan yang mengarah pada kenyataan
b. Persepsi akurat adalah pandangan yang tepat pada kenyataan
c. Emosi konsisten dengan pengalaman yaitu perasaan yang timbul dari
pengalaman
d. Perilaku sosial adalah sikap dan tingkah laku yang masih dalam batas
kewajaran
e. Hubungan sosial adalah proses suatu interaksi dengan orang laindan
lingkungan
2. Respon Maladaptif
a. Kelainan pikiran adalah keyakinan yang secara kokoh dipertahankan
walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan bertentangan dengan
kenyataan social
b. Perilaku kekerasan merupakan status rentang emosi dan ungkapan
kemarahan yang dimanifestasiakn dalam bentuk fisik
c. Kerusakan proses emosi adalah perubahan status yang timbul dari hati
d. Perilaku tidak terorganisir merupakan suatu perilaku yang tidak teratur
(Mukripah Damaiyanti, 2012: hal 97).
D. Proses Terjadinya Masalah
1. Faktor Predisposisi
Faktor pengalaman yang dialami tiapmorang yang merupakan factor
predisposis, artinya mungkin terjadi/mungkin tidak terjadi perilaku
kekerasan jika faktor berikut dialami oleh individu:
a. Psikologis
Menurut Townsend(1996, dalam jurnal penelitian) Faktor
psikologi perilaku kekerasan meliputi:
1) Teori Psikoanalitik, teori ini menjelaskan tidak terpenuhinya
kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak
berkembangnya ego dan membuat konsep diri yang rendah.
Agresif dan kekerasan dapat memberikan kekuatan dan
meningkatkan citra diri (Nuraenah, 2012: 30).
2) Teori pembelajaran, perilaku kekerasan merupakan perilaku
yang dipelajarai, individu yang memiliki pengaruh biologic
terhadap perilaku kekerasan lebih cenderung untuk
dipengaruhioleh peran eksternal (Nuraenah, 2012: 31).
b. Perilaku, reinforcement yang diterima pada saat melakukan
kekerasan, sering mengobservasi kekerasan dirumah atau diluar
rumah, semua aspek ini menstiumulasi individu mengadopsi
perilaku kekerasan (Eko Prabowo, 2014: hal 142).
c. Sosial budaya, proses globalisasi dan pesatnya kemajuan teknologi
informasi memberikan dampak terhadap nilai-nilai sosial dan
budaya pada masyarakat. Di sisi lain, tidak semua orang
mempunyai kemampuan yang sama untuk mnyesuaikan dengan
berbagai perubahan, serta mengelola konflik dan stress (Nuraenah,
2012: 31).
d. Bioneurologis, banyak bahwa kerusakan sistem limbik, lobus
frontal, lobus temporal dan ketidak seimbangan neurotransmitter
turut berperan dalam terjadinya perilaku kekerasan (Eko Prabowo,
2014: hal 143).
2. Faktor Presipitasi
Secara umum seseorang akan marah jika dirinya merasa terancam,
baik berupa injury secara fisik, psikis atau ancaman knsep diri.
Beberapa faktor pencetus perilaku kekerasan adalah sebagai berikut:
a. Kondisi klien: kelemahan fisik, keputusasaan,
ketidakberdayaan,kehidupan yang penuh dengan agresif dan masa
lalu yang tidak menyenangkan
b. Interaksi: penghinaan, kekerasan, kehilangan orang, merasa
terancam baik internal dari permasalahan diri klien sendiri maupun
eksternal dari lungkungan.\
c. Lingkungan: panas, padat dan bising
F. Akibat
Menurut Townsend, perilaku kekerasan dimana seeorang melakukan
tindakan yang dapat membahayakan, baik diri sendiri maupun orang lain.
Seseorang dapat mengalami perilaku kekerasan pada diri sendiri dan orang
lain dapat menunjukan perilaku (Kartikasari, 2015: hal 140) :
Data Subyektif :
1. Mengungkapkan mendengar atau melihat obyek yang mengancam
2. Mengungkapkan perasaan takut, cemas dan khawatir
Data Obyektif :
1. Wajah tegang merah
2. Mondar mandir
3. Mata melotot, rahang mengatup
4. Tangan mengepal
5. Keluar banyak keringat
6. Mata merah
7. Tatapan mata tajam
8. Muka merah
G. Mekanisme Koping
Beberapa mekanisme koping yang dipakai pada pasien marah untuk
melindungi diri antara lain:
1. Sublimasi
Menerima suatu sasaran pengganti yang mulia. Artinya dimata
masyarakat unutk suatu dorongan yang megalami hambatan
penyalurannya secara normal. Misalnya seseorang yang sedang marah
melampiaskan kemarahannya pada objek lain seperti meremas remas
adonan kue, meninju tembok dan sebagainya, tujuannya adalah untuk
mengurangi ketegangan akibat rasa amarah (Mukhripah Damaiyanti,
2012: hal 103).
2. Proyeksi
Menyalahkan orang lain kesukarannya atau keinginannya yang tidak
baik, misalnya seorang wanita muda yang menyangkal bahwa ia
mempunyai perasaan seksual terdadap rekan sekerjanya, berbalik
menuduh bahwa temannya tersebut mencoba merayu,
mencumbunya(Mukhripah Damaiyanti, 2012: hal 103).
3. Represi
Mencegah pikiran yang menyakitkan atau bahayakan masuk kedalam
sadar. Misalnya seorang anak yang sangat benci pada orang tuanya
yang tidak disukainya. Akan tetapi menurut ajaran atau didikan yang
diterimanya sejak kecil bahwa membenci orang tua merupakan hal
yang tidak baik dan dikutuk oleh tuhan. Sehingga perasaan benci itu
ditekannya dan akhirnya ia dapat melupakanya (Mukhripah
Damaiyanti, 2012: hal 103).
4. Reaksi formasi
Mencegah keinginan yang berbahaya bila di ekspresika.dengan
melebih lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan dan
menggunakan sebagai rintangan misalnya sesorangan yang tertarik
pada teman suaminya,akan memperlakukan orang tersebut dengan kuat
(Mukhripah Damaiyanti, 2012: hal 103).
5. Deplacement
Melepaskan perasaan yang tertekan biasanya bermusuhan pada objek
yang tidak begitu berbahaya seperti yang pada mulanya yang
membangkitkan emosi itu ,misalnya: timmy berusia 4 tahun marah
karena ia baru saja mendapatkan hukuman dari ibunya karena
menggambar didinding kamarnya. Dia mulai bermai perang-perangan
dengan temanya (Mukhripah Damaiyanti, 2012: hal 104).
H. Penatalaksanaan
1. Farmakoterapi
Pasien dengan ekspresi marah perlu perawatan dan pengobatan
mempunyai dosis efektif tinggi contohnya: clorpromazine HCL yang
berguna untuk mengendalikan psikomotornya. Bila tidak ada dapat
bergunakan dosis efektif rendah. Contohnya trifluoperasineestelasine,
bila tidak ada juga maka dapat digunakan transquilizer bukan obat anti
psikotik seperti neuroleptika, tetapi meskipun demikian keduanya
mempunyai efek anti tegang,anti cemas,dan anti agitasi (Eko Prabowo,
2014: hal 145).
2. Terapi okupasi
Terapi ini sering diterjemahkan dengan terapi kerja terapi ini buka
pemberian pekerjaan atau kegiatan itu sebagai media untuk melakukan
kegiatan dan mengembalikan kemampuan berkomunikasi, karena itu
dalam terapi ini tidak harus diberikan pekerjaan tetapi segala bentuk
kegiatan seperti membaca koran, main catur dapat pula dijadikan
media yang penting setelah mereka melakukan kegiatan itu diajak
berdialog atau berdiskusi tentang pengalaman dan arti kegiatan uityu
bagi dirinya. Terapi ni merupakan langkah awal yang harus dilakukan
oleh petugas terhadap rehabilitasi setelah dilakukannya seleksi dan
ditentukan program kegiatannya (Eko Prabowo, 2014: hal 145).
3. Peran serta keluarga \Keluarga merupakan sistem pendukung utama
yang memberikan perawatan langsung pada setiap keadaan (sehat-
sakit) pasien. Perawat membantu keluarga agar dapat melakukan lima
tugas kesehatan, yaitu mengenal masalah kesehatan, membuat
keputusan tindakan kesehatan, memberi perawatan pada anggota
keluarga, menciptakan lingkungan keluarga yang sehat, dan
menggunakan sumber yang ada pada masyarakat. Keluarga yang
mempunyai kemampuan mengtasi masalah akan dapat mencegah
perilaku maladaptif (pencegahan primer), menanggulangi perilaku
maladaptif (pencegahan skunder) dan memulihkan perilaku maladaptif
ke perilakuadaptif (pencegahan tersier) sehinnga derajat kesehatan
pasien dan keluarga dapat ditingkatkan secara optimal (Eko Prabowo,
2014: hal 145).
4. Terapi somatic
Menurut depkes RI 2000 hal 230 menerangkan bahwa terapi somatic
terapi yang diberikan kepada pasien dengan gangguan jiwa dengan
tujuan mengubah perilaku yang mal adaftif menjadi perilaku adaftif
dengan melakukan tindakan yang ditunjukkan pada kondisi fisik
pasien,terapi adalah perilaku pasien (Eko Prabowo, 2014: hal 146).
5. Terapi kejang listrik
Terapi kejang listrik atau electronic convulsive therapy (ECT) adalah
bentuk terapi kepada pasien dengan menimbulkan kejang grand mall
dengan mengalirkan arus listrik melalui elektroda yang menangani
skizofrenia membutuhkan 20-30 kali terapi biasanya dilaksanakan
adalah setiap 2-3 hari sekali (seminggu 2 kali) (Eko Prabowo, 2014:
hal 146).
I. Pohon Masalah
halusinasi causa