Anda di halaman 1dari 90

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT

KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa atas berkat dan
karuniaNya penyusunan revisi buku Pedoman Pencegahan dan Pen gendalian
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) telah dapat disele saikan. ISPA telah menjadi
salah satu penyebab utama kematian balita, baik secara global maupun nasional.
Permasalahan ini menuntut perhatian pemerintah untuk memastikan tingginya akses
masyarakat terhadap pelayanan pencegahan dan pengendalian ISPA yang komprehensif dan
berkualitas.

Pedoman ini merupakan penjabaran dari RPJMN 2015-2019 Bidang Kesehatan dan
Renstra Kementerian Kesehatan 2015-2019. Dengan demikian, pedoman ini diharapkan dapat
menjadi acuan bagi Kementerian Kesehatan dan bagi
Dinas Kesehatan provinsi/kabupaten/kota dalam pelaksanaan dan pengembangan
upaya-upaya strategis dalam pencegahan dan pengendalian ISPA. Revisi pedoman dilakukan
sebagai penyesuaian atas perubahan struktur Kementerian Kesehatan hingga unit kerja
terendahnya, di samping adanya perkembangan pengetahuan terkait penanggulangan ISPA.

Dokumen ini telah mendapatkan masukan dari berbagai pihak termasuk


kementerian/lembaga pemerintah, Ikatan Profesi, Akademisi, dan mitra pembangunan
kesehatan. Kami mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tinggi kepada semua pihak
yang telah memberikan kontribusi dalam revisi buku pedoman ini. Diharapkan upaya kecil ini
dapat memberikan dampak besar dalam menurunkan beban penyakit menular, khususnya
ISPA.

Semoga dokumen ini dapat mendorong perencanaan, pelaksanaan dan penilaian program
pencegahan dan pengendalian ISPA yang lebih berkualitas di tingkat nasional dan daerah
dalam upaya mewujudkan penurunan angka kesakitan dan kematian serta beban ekonomi
akibat penyakit menular di Indonesia.

Dr. Wiendra Waworuntu, MKes

i
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT

KATA SAMBUTAN
DIREKTUR JENDERAL PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT

Permasalahan penyakit ISPA cenderung meningkat dalam beberapa dekade


terakhir baik secara global maupun nasional. ISPA telah menjadi pembunuh utama
balita di dunia. Penyakit ini menjadi masalah kesehatan masyarakat baik di negara maju
maupun di negara-negara sedang berkembang.

Hal serupa terjadi di Indonesia, dominasi kematian balita masih disebabkan oleh
pneumonia . Bangsa Indonesia dihadapkan pada masalah ganda, di satu sisi masih berhadapan
dengan penyakit menular yang belum tuntas, dan pada saat yang sama kita dihadapkan juga
pada masalah PTM. Fasilitas pelayanan kesehatan menghadapi tantangan dalam penyediaan
pelayanan bagi penyakit akut dan juga penyakit kronis yang membutuhkan pelayanan untuk
jangka waktu yang lama dan mahal.

Kesuksesan pencegahan dan pengendalian ISPA sangat tergantung pada kinerja fasilitas
pelayanan kesehatan yang didukung oleh sumber daya yang cukup, tenaga kesehatan yang
berkomitmen serta strategi dan kebijakan yang dilaksanakan secara terintegrasi,
komprehensif dan berkesinambungan. Upaya penanggulangan ISPA memerlukan upaya
bersama secara lintas unit kerja di Kementerian Kesehatan, lintas sektor terkait yang didukung
dengan keterlibatan masyarakat, termasuk akademisi, profesional dan dunia usaha, dengan
dukungan politis. Penanggulangan masalah ini perlu dilakukan secara komprehensif mulai dari
upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.

Saya menyambut baik penyusunan revisi Pedoman Pencegahan dan Pengendalian ISPA.
Saya harapkan pedoman ini bisa menjadi acuan bagi jajaran kesehatan di semua tingkat
administrasi untuk mengembangkan strategi dan kegiatan strategis penanggulangan ISPA di
wilayah kerja masing-masing. Saya juga berharap bahwa dokumen ini bisa menjadi acuan bagi
unit-unit kerja pada Kementerian Kesehatan terkait serta sektor di luar kesehatan di semua
tingkatan dalam mendukung upaya penanggulangan ISPA

Saya menyampaikan apresiasi dan penghargaan kepada semua pihak yang telah
memberikan kontribusi dalam penyusunan buku ini. Semoga Allah SWT meridhoi segala
upaya kita dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang sehat dan berdaya
saing.
Jakarta, Juli 2016
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit

dr. H. Mohamad Subuh, MPPM

i
i
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT

DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ................................................................................................... i
KATA SAMBUTAN ..................................................................................................... iii
DAFTAR ISI ................................................................................................................ iv
DAFTAR BAGAN DAN TABEL .................................................................................. v
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................................. vi
PENGERTIAN ............................................................................................................ vii
DAFTAR SINGKATAN ............................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 1 A.
Latar Belakang ................................................................................................ 2 B. Ruang
Lingkup ................................................................................................ 2 C. Dasar Hukum
.................................................................................................. 3
BAB II SITUASI EPIDEMIOLOGI INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT ....... 5
A. Gambaran Morbiditas dan Mortalitas ............................................................ 5 B.
Pengendalian Faktor Risiko ISPA ................................................................... 8
C. Capaian Hasil Kegiatan Pencegahan dan Pengendalian ISPA Periode
2010 - 2014 ................................................................................................... 9
D. Tantangan Pencegahan dan Pengendalian ISPA .......................................... 12 BAB III
TUJUAN DAN STRATEGI PROGRAM .........................................................14 A. Tujuan
Program Pencegahan dan Pengendalian ISPA ............................... 15 B. Strategi
Pencegahan dan Pengedalian ISPA ............................................... 15
1. Penemuan dan Tata Laksana Kasus Pneumonia Balita ........................... 16 2.
Kesiapsiagaan dan Respon Terhadap Pandemi Influenza ....................... 21
3. Pengendalian Faktor Resiko ..................................................................... 22
4. Penguatan Sistem Informasi, Surveilans dan Kajian ................................ 23 5.
Penguatan Dukungan Manajemen ........................................................... 23
BAB IV KEGIATAN POKOK PENCEGAHAN PENGENDALIAN ISPA .................... 25
A. Penemuan dan Tatalaksana Kasus Pnemonia Balita .................................... 23 B.
Kesiapsiagaan & Respon Terhadap Pandemi ............................................... 26 C.
Pengendalian Faktor Risiko ISPA .................................................................. 26 D. Sistem
Informasi, Surveilans, dan Kajian/Riset ............................................. 27 E. Penguatan
Dukungan Manajemen Program ................................................. 28 BAB V MONITORING DAN
EVALUASI .................................................................... 26 A. Pencatatan dan Pelaporan
Rutin ................................................................... 29 B. Laporan Surveilans Sentinel
.......................................................................... 32

v
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT
PEDOMAN

DAFTAR BAGAN DAN TABEL


DAFTAR LAMPIRAN Halaman
Bagan 2.1 ........................................................................................................... 5
Halaman
Bagan 2.2 .......................................................................................................... 6
Lampiran 1 Perkiraan Angka insidens Penumonia Balita....................................... 43
Bagan 2.3 .......................................................................................................... 6
BAB VI PERAN JAJARAN KESEHATAN, PEMANGKU KEPENTINGAN DAN
MASYARAKAT DALAM PENGENDALIAN ISPA ..................................................... 35
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 39
LAMPIRAN-LAMPIRAN ............................................................................................ 41
KONTRIBUTOR............. ........................................................................................... 65

Bagan 2.4 .......................................................................................................... 7


Bagan 2.5 .......................................................................................................... 7
Bagan 2.6 .......................................................................................................... 10
Bagan 3.1 .......................................................................................................... 16
Bagan 3.2 .......................................................................................................... 21
Bagan 5.1 .......................................................................................................... Tabel 2.2 30
.......................................................................................................... 8
Tabel 3.1 .......................................................................................................... 15
Tabel 6.1 .......................................................................................................... 35

Lampiran 2 Data Sasaran Program ISPA ............................................................... 44


Lampiran 3 Form Puskesmas.................................................................................. Lampiran 45
4 Form Kabupaten .................................................................................. 46
Lampiran 5 Form Provinsi ....................................................................................... 47
Lampiran 6 Stempel Tatalaksana ISPA ................................................................... 48
Lampiran 7 Form PWS ............................................................................................ 49
Lampiran 8 Kuesioner Bimtek ISPA Provinsi .......................................................... Lampiran 50
9 Kuesioner Bimtek ISPA Kabupaten/Kota ............................................. Lampiran 10 54
58

vi
Kuesioner Bimtek ISPA Puskesmas .................................................... Lampiran 11 Poster 63
...................................................................................................

vii
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT

PENGERTIAN
Untuk memudahkan pemahaman dan kesamaan persepsi terhadap pedoman ini,
perlu dijelaskan beberapa pengertian istilah dibawah ini yaitu:

1 . Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA )


Infeksi akut yang menyerang salah satu bagian/lebih dari saluran napas mulai
hidung sampai alveoli termasuk adneksanya (sinus, rongga telinga tengah, pleura).

2. Pneumonia
Pneumonia adalah infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru ( alveoli ).

Pneumonia Balita ditandai dengan adanya gejala batuk dan atau kesukaran bernapas
seperti napas cepat, tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (TDDK), atau gambaran
radiologi foto thorax/dada menunjukkan infiltrat paru akut. Demam bukan merupakan
gejala yang spesifik pada Balita. Dalam penatalaksanaan pencegahan dan pengendalian
ISPA semua bentuk pneumonia seperti bronkopneumonia, bronkiolitis disebut
“pneumonia” saja.

3. ISPA bagian atas


Adalah Infeksi Saluran Pernapasan Akut bagian atas mulai dari hidung sampai epiglotis.

4. Influenza
Influenza adalah infeksi akut yang menyerang saluran pernapasan, disebabkan oleh virus
influenza.

5. Influenza Like Illness (ILI)


Penyakit yang mempunyai gejala serupa influenza yaitu demam ≥38°C disertai batuk.

6. ISPA
Adalah infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dengan gejala demam atau demam ≥38°C,
dan batuk tidak lebih dari 10 hari sejak timbul gejala dan memerlukan perawatan rumah
sakit.

7. Episenter Pandemi Influenza


Adalah lokasi titik awal terdeteksinya sinyal epidemiologis dan sinyal virologis yang
merupakan tanda terjadinya penularan influenza pandemi (influenza baru) antar
manusia yang dapat menimbulkan terjadinya pandemi influenza.

ix
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT

8. Sinyal Epidemiologi
Klaster penderita atau klaster kematian karena Pneumonia yang tidak jelas penyebabnya
dan terkait erat dengan faktor waktu dan tempat dengan rantai penularan yang
berkelanjutan atau Klaster penderita Flu Burung dengan dua generasi penularan atau lebih
tanpa hubungan darah antar generasi dan atau adanya penularan kepada petugas
kesehatan yang merawat penderita.

9. Sinyal Virologi
Adanya jenis virus influenza baru yang berasal dari percampuran materi genetik 2 virus
influenza atau lebih (reassortment) dan atau berasal dari mutasi adaptif virus influenza
unggas atau manusia. Untuk jelasnya dapat dibaca pada pedoman Penanggulangan
Episenter Pandemi Influenza yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal PP & PL,
Kementerian Kesehatan Tahun 2008.

10. Kejadian Luar Biasa (KLB)


Kejadian Luar Biasa (KLB) menurut PP Nomor 40 tahun 1981 tentang Penanggulangan
Wabah Penyakit Menular adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan atau
kematian secara epidemiologis pada suatu daerah, dalam kurun waktu tertentu dan
merupakan keadaan yang dapat menjurus pada terjadinya wabah.

11. Wabah
Wabah menurut UU RI Nomor 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular adalah
kejadian berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat yang jumlah
penderitanya meningkat secara nyata melebihi dari keadaan yang lazim pada waktu dan
daerah tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka.

12. Pandemi Influenza


Adalah wabah penyakit influenza yang menjangkiti banyak negara di dunia yang ditetapkan oleh
organisasi kesehatan dunia (WHO).

13. Surveilans Sentinel ISPA berat


Adalah suatu sistem surveilans ISPA berat (SARI) berbasis laboratorium pada populasi dan
wilayah terbatas untuk mendapatkan sinyal adanya masalah kesehatan pada suatu
populasi atau wilayah yang lebih luas.
14. ISPA akibat polusi
ISPA akibat polusi adalah ISPA yang disebabkan oleh faktor risiko polusi udara seperti asap
rokok, asap pembakaran di rumah tangga, gas buang sarana transportasi dan industri,
kebakaran hutan dan lain lain.

15. Care seeking


Kegiatan ini ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran keluarga balita
dengan pneumonia dalam pencarian pelayanan kesehatan. Kegiatan ini dapat dipadukan
dengan tindak lanjut atau pelacakan penderita pneumonia yang tidak kontrol ulang
setelah dua hari pengobatan. Pada saat kunjungan ke rumah penderita diharapkan
petugas kesehatan/ISPA dapat melaksanakan penyuluhan tentang pneumonia kepada
keluarga penderita dan sekitarnya.

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT

DAFTAR SINGKATAN
AI = Avian Influenza
AIDS = Acquired Immune Deficiency Syndrome
APBD = Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
APBN = Anggaran Pndapatan dan Belanja Negara

Ormas = Organisasi Masyarakat


PHEIC = Public Health Emergency of International Concern
Poskesdes = Pos Kesehatan Desa
Posyandu = Pos Pelayanan Terpadu
PP = Peraturan Pemerintah
Puskesmas = Pusat Kesehatan Masyarakat
PWS = Pemantauan Wilayah Setempat

xi
APD = Alat Pelindung Diri
APEC = Asian Pacific Economy Country
ARI = Acute Respiratory Infection
Balita = Bawah Lima Tahun
BBLR = Berat badan lahir rendah
BNPB = Badan Nasional Penanggulangan Bencana
BSL = Bio Security Level
CDC = Communicable Disease Control
CFR = Case Fatality Rate
DBD = Demam Berdarah Dengue
Ditjen P2P = Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
DPRD = Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
DVD = Digital Video Disc
FB = Flu Burung
HN = Hemagglutinin, Neuraminidase (contoh H5N1, H1N1)
ICU = Intensive Care Unit
IDAI = Ikatan Dokter Anak Indonesia
ILI = Influenza Like Illnes
IRA = Infeksi Respiratorik Akut
ISPA = Infeksi Saluran Pernapasan Akut
Kemenkes = Kementrian Kesehatan
KIE = Komunikasi, Informasi dan Edukasi
KLB = Kejadian Luar Biasa
LP/LS = Lintas Sektor/Lintas Program
LSM = Lembaga Swadaya Masyarakat
MDGs = Millenium Developments Goals
MTBS = Manjemen Terpadu Balita Sakit
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT

Renstra = Rencana Strategi


Riskesdes = Riset Kesehatan Dasar
RPJMN = Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
RS = Rumah Sakit
RSUD = Rumah Sakit Umum Daerah
Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction
RT PCR =

xii xiii
SARI = Severe Acute Respitory Infection
SARS = Severe Acute Respitory Syndrome
SDKI = Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia
SDM = Sumber Daya Manusia
SDGs = Sustainable Development Goals
SIBI = Surveilans ISPA Berat Indonesia
SK = Surat Keputusan
SKD = Sistim Kewaspadaan Dini
SKRT = Survei Kesehatan Rumah Tangga
SPM = Standar Pelayanan Minimal
TGC = Tim Gerak Cepat
TNI = Tentara Nasional Indonesia
TOGA = Tokoh Agama
TOMA = Tokoh Masyarakat
ToT = Training of Trainer
TP PKK = Tim Penggerak Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga
UNICEF = United Nation International Children’s Emergency Fund
UPK = Unit Pelayanan Kesehatan
UU = Undang-Undang
VCD = Video Compact Disc
WHO = World Health Organization
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kesehatan merupakan aspek penting dari hak asasi manusia (HAM), sebagaima na
disebutkan dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
tahun 1948 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas taraf kehidupan yang memadai
untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya sendiri dan keluarganya. Hak atas kesehatan juga
dapat ditemukan di instrumen nasional yang diatur dalam UU no 36 tahun 2009 tentang
kesehatan. Sesuai dengan norma HAM, maka negara berkewajiban untuk menghormati,
melindungi, dan memenuhi hak-hak asasi kesehatan tersebut. Kewajiban tersebut antara lain
dilakukan dengan cara menyediakan pelayanan kesehatan berkualitas yang aksesibel bagi
seluruh rakyat (inklusif), upaya pencegahan menurunnya status kesehatan masyarakat,
melakukan langkah-langkah legislasi yang dapat menjamin perlindungan kesehatan
masyarakat, dan mengembangkan kebijakan kesehatan, serta menyediakan anggaran
memadai.

Pembangunan kesehatan dalam 3 dekade terakhir ini telah berhasil meningkatkan umur
harapan hidup penduduk Indonesia dari 54,4 pada tahun 1980 (SP 1980) menjadi 69,8 pada
tahun 2012 (BPS 2013). Keberhasilan juga ditunjukkan dalam menurunkan angka kesakitan
dari berbagai penyakit menular. Namun demikian, Indonesia masih dihadapkan dengan
berbagai tantangan dalam pencegahan dan pengendalian penyakit menular, antara lain masih
tingginya angka kesakitan dan kematian akibat infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).

ISPA merupakan penyakit yang sering terjadi pada anak. Dari semua kasus yang terjadi di
masyarakat, 7-13% kasus berat dan memerlukan perawatan rumah sakit. Episode batuk-pilek
pada balita di Indonesia diperkirakan 2-3 kali per tahun (Rudan et all Bulletin WHO 2008). ISPA
merupakan salah satu penyakit utama dengan kunjungan pasien yang tinggi di Puskesmas
(40%-60%) dan rumah sakit (15%-30%). Menurut hasil Riskesdas 2007, proporsi kematian
balita karena pneumonia menempati urutan kedua (15,2%) setelah diare.
Salah satu penyakit ISPA yang perlu mendapat perhatian juga adalah penyakit influenza,
karena penyakit influenza merupakan penyakit yang dapat menimbulkan wabah sesuai dengan
Permenkes Nomor 1501/Menkes/Per/X/2010 tentang Jenis

Penyakit Menular Tertentu Yang Dapat Menimbulkan Wabah dan Upaya Penanggulangan.

Beberapa kondisi telah ditengarai menjadi faktor risiko terhadap timbulnya ISPA,
antara lain kurangnya pemberian ASI eksklusif, gizi buruk, polusi udara dalam ruan gan
( indoor air pollution ) , berat badan bayi lahir rendah (BBLR), kepadatan penduduk
serta imunisasi campak. Berbagai upaya telah dilakukan untuk penanggulangan ISPA
yang diawali pada tahun 1984, bersamaan dengan diawalinya pengendalian ISPA di
tingkat global.

1
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT

Dalam perjalanannya,strategi penangulangan ISPA di Indonesia telah mengalami


beberapa perkembangan terkait dengan perkembangan strategi global, regional
maupun lokal, sebagai berikut:

1. Lokakarya ISPA Nasional 1984 , menghasilkan pengembangan sistem dan


mengklasifikasikan penyakit ISPA menjadi ISPA ringan, sedang dan berat.

2. Lokakarya ISPA Nasional 1988, disosialisasikan pola baru tatalaksana kasus ISPA dengan
tiga klasifikasi: pneumonia, pneumonia berat dan batuk bukan pneumonia.

3. Lokakarya Nasional III 1990 di Cimacan disepakati menerapkan pola baru tatalaksana kasus
ISPA di Indonesia dengan memfokuskan kegiatan pengendalian pneumonia Balita.

4. Tahun 1997, WHO memperkenalkan Integrated Management of Childhood Illness (IMCI)


atau Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) sebagai model pendekatan tatalaksana
kasus terpadu untuk berbagai penyakit anak, yaitu: pneumonia, diare, DBD, malaria,
campak, gizi kurang dan kecacingan. Pada daerah yang telah melaksanakan MTBS,
tatalaksana pneumonia diintegrasikan dalam pendekatan MTBS.

5. Dalam pertemuan Review Pengendalian ISPA di Bekasi, 2005 di kalangan akademisi mulai
diperkenalkan istilah Infeksi Respiratorik Akut (IRA) sebagai padanan istilah bahasa Inggris
Acute Respiratory Infection (ARI). Pada dasarnya ISPA sama dengan IRA.

6. Tahun 2007 telah dilaksanakan Seminar Perkembangan ISPA yang dihadiri oleh
Ikatan Dokter Ahli Anak Indonesia (IDAI) dan Dokter Spesialis Anak dari 14 Fakultas
Kedokteran di Indonesia untuk merevisi pedoman tatalaksana pneumonia Balita sesuai
dengan perkembangan terbaru khususnya perubahan pemberian antibiotika dari 5 hari
menjadi 3 hari pengobatan.

7. Review terhadap pedoman ini juga telah dilaksanakan pada tahun 2011 namun tidak
mengalami perubahan substansi.

Penulisan Pedoman Pencegahan dan Pengendalian ISPA ini merupakan upaya pemerintah
untuk mengidentifikasi aksi strategis yang akan diimplementasikan dalam Pedoman ini

mencapai tujuan yang tercantum dan Rencana Strategis Kementerian Kesehatan


2015-2019 dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019.

B. RUANG LINGKUP MELIPUTI :


Ruang lingkup pengendalian ISPA sesuai dengan Struktur Organisasi terbaru
dilingkungan Kementerian Kesehatan telah mengalami pengembangan sesuai
dengan kondisi dan kebutuhan pelayanan kesehatan masyarakat yaitu:

2
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT

1. Pneumonia Balita, yang difokuskan pada penemuan dan tata laksana kasus;
2. Influenza, yang difokuskan pada kesiap-siagaan dan repons terhadap pandemi
influenza;
3 . Pengendalian faktor risiko ISPA, dengan fokus penanganan gangguan pernapasan
akibat kabut asap
4 . Penguatan Sistem Informasi, Surveilans dan Riset/Kajian
5 . Penguatan Dukungan manajemen.
dimaksudkan juga untuk memberikan pemahaman kepada sektor kesehatan maupun sektor
lain yang terkait, mengenai:

1. Besaran (magnitude) permasalahan ISPA,


2. Dampak terhadap kesehatan penduduk maupun beban sosio-ekonomi bagi pemerintah
dan masyarakat, serta
3. Strategi pencegahan dan pengendalian yang perlu diimplementasikan. Dengan demikian,
pedoman ini juga akan berfungsi sebagai alat advokasi untuk mencapai kesepakatan
tentang peran dan keterlibatan serta aksi yang bisa dikontribusikan oleh sektor kesehatan
dan non kesehatan serta masyarakat dalam upaya pencegahan dan pengendalian ISPA di
Indonesia.

C. DASAR HUKUM

1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 Tentang Wabah Penyakit Menular.


2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara.
3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara.
4. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan
Tanggung Jawab Keuangan Negara.
5. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional.
6. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana
telah diubah dengan UU Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti UU Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan UU Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi UU.
7. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
8 . Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional Tahun 2005–2025
9 . Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
10 . Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit.
11 . Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1991 Tentang Penanggulangan Wabah
Penyakit Menular.
12 . Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara/ Daerah.

3
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT

13 . Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan


antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/ Kota.
14 . Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional.
15 . Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah.
16. Peraturan Kepala BNPB Nomor 6A Tahun 2011 tentang pedoman penggunaan dana siap
pakai pada status keadaan darurat bencana.
17. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 949/MENKES/PER/VIII/2004 tentang Sistem
Kewaspadaan Dini Kejadian Luar Biasa.
18. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 741/MENKES/PER/VII/2008 Tentang Standar Pelayanan
Minimal Bidang Kesehatan Di Kabupaten/Kota18. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
1144/MENKES/PER/VIII/2010 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan.
19. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1501/MENKES/PER/X/2010 Tentang Jenis
Penyakit Menular Tertentu Yang Dapat Menimbulkan Wabah Dan Upaya Penanggulangan.
20. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1537A/MENKES/SK/XII/2002 tentang Pedoman
Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut Penanggu- langan Pneumonia Pada
Balita.
21. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1116/MENKES/SK/VIII/2003 Tentang Pedoman
Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan.
22. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 300/MENKES/SK/IV/2009 tentang Pedoman
Penanggulangan Episenter Pandemi Influenza.
23. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 311/MENKES/SK/V/2009 Tentang
Penetapan Penyakit Flu Baru H1N1 (Mexican Strain) Sebagai Penyakit Yang Dapat
Menimbulkan Wabah.
24. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 375/MENKES/SK/V/2009 Tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Bidang Kesehatan Tahun 2005-2025.
25. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.03.01/160/I/2010 tentang Rencana Strategis
Kementerian Kesehatan Tahun 2010-2014.
26. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 021/MENKES/SK/I/2011 Tentang Rencana Strategis
Kementerian Kesehatan Tahun 2010-2014.

4
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT

BAB II
SITUASI EPIDEMIOLOGI
INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT
A. GAMBARAN MORBIDITAS DAN MORTALITAS
27. Permenkes No 64 Tahun 2015 tentang Organisasi dan tata kerja Kementerian Infeksi Saluran
Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyakit yang sering terjadi pada anak. Insidens menurut
kelompok umur Balita diperkirakan 0,29 episode per anak/tahun di negara berkembang dan 0,05
episode per anak/tahun di negara maju. Ini menunjukkan bahwa terdapat 156 juta episode baru
di dunia per tahun dimana 151 juta episode (96,7%) terjadi di negara berkembang. Kasus
terbanyak terjadi di India (43 juta), China (21 juta) dan Pakistan (10 juta) dan Bangladesh,
Indonesia, Nigeria masing-masing 6 juta episode. Dari semua kasus yang terjadi di masyarakat, 7-
13% kasus berat dan memerlukan perawatan rumah sakit. Episode batuk-pilek pada Balita di
Indonesia diperkirakan 2-3 kali per tahun (Rudan et al Bulletin WHO 2008). ISPA merupakan salah
satu penyakit utama dengan kunjungan pasien di Puskesmas sebesar 40%-60% dan kunjungan
rumah sakit sebesar 15%-30%.

Pneumonia adalah pembunuh utama balita di dunia, lebih banyak dibanding dengan
gabungan penyakit AIDS, malaria dan campak.. Di dunia setiap tahun diperkirakan lebih dari 2
juta Balita meninggal karena Pneumonia (1 Balita/20 detik) dari 9 juta total kematian Balita.
Diantara 5 kematian Balita, 1 di antaranya disebabkan oleh pneumonia. Bahkan karena
besarnya kematian pneumonia ini, disebut sebagai pandemi yang terlupakan atau “the
forgotten pandemic”.Namun, tidak banyak perhatian terhadap penyakit ini, sehingga
pneumonia disebut juga pembunuh Balita yang terlupakan atau “the forgotten killer of
children”(Unicef/WHO 2006, WPD 2011). Di negara berkembang 60% kasus pneumonia
disebabkan oleh bakteri, sementara di negara maju umumnya disebabkan oleh virus

Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, proporsi kematian Balita
akibat pneumonia menempati urutan kedua yaitu 15,5% setelah diare (25,2%). Dengan
demikian, penurunan kematian balita hanya dapat dicapai melalui upaya intensifikasi
penurunan kejadian pneumonia.

Kesehatan.

5
Gambar 2.1
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT

Menurut Riskesdas, prevalensi ISPA di Indonesia pada 2013 adalah 25,0%. Angka ini tidak
jauh berbeda dengan hasil Riskesdas 2007 yaitu 25,5%. Prevalensi yang dihitung adalah period
prevalence ISPA yang dihitung dalam kurun waktu 1 bulan terakhir. Pada 2013, lima provinsi
dengan prevalensi ISPA tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur (41,7%), Papua (31,1%), Aceh
(30,0%), Nusa Tenggara Barat (28,3%) dan Jawa Timur (28,3%).
Gambar 2.2
Prevalensi ISPA menurut provinsi (2007 & 2013)

50 ,0

40 ,0

30 ,0

20 ,0

10 ,0

0 ,0

2007 2013

Prevalensi (period prevalence) Pneumonia untuk semua umur menurut provinsi pada 2007
dan 2013 dapat dilihat pada Gambar 2.3. Secara nasional terjadi penurunan prevalensi
pneumonia dari 2,13 % pada 2007 menjadi 1,8% pada 2013. Terdapat lima provinsi dengan
angka prevalensi tertinggi meliputi Nusa Tenggara Timur (4,6%), Papua (2,6%), Sulawesi Barat
(3,1%), Sulawesi Tengah (2,3%), dan Sulawesi Selatan (2,4%).
Proporsi Kematian Balita akibat Pneumonia (Riskesdas 2007)

2.9 12.6 Diare Tenggelam


2.9 Pneumonia Tb
25.2
3.9 NEC Malaria

4.9 Meningitis Leukemia


DBD Lain-lain
5.8 15.5
Campak
6.8
8.8 10.7

6
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT

Lima provinsi yang mempunyai prevalensi pneumonia balita tertinggi adalah Nusa
Tenggara Timur (35,5 %), Aceh (35,6 %), Bangka Belitung (34,8 %), Sulawesi Barat
(34,8 ‰) dan Kalimantan Tengah (32,7% ).

Gambar 2.4
Prevalensi Pneumonia per 1000 balita menurut kelompok umur (2013)
Gambar 2.3

25
21 , 7 21
20 18 ,2 17 ,9

15 13 ,6

10

0
0-11 bulan 12-23 bulan 24-35 bulan 36-47 bulan 48-59 bulan

Gambar 2.5
Prevalensi Pneumonia per 1000 balita menurut Tingkat Ekonomi (2013)

Prevalensi Pneumonia menurut provinsi (2007 & 2013)


8 ,0

6 ,0

4 ,0

2 ,0

0 ,0

Pada gambar 2.4 dan 2.5 didapatkan bahwa prevalensi pneumonia tertinggi
terdapat pada kelompok umur 12-23 bulan (21,7%) , dan pneumonia lebih banyak
dialami oleh kelompok penduduk dengan status ekonomi terendah (27,4%), yang
2007 2013
digambarkan melalui indeks kepemilikan.

Sementara itu, prevalensi (period prevalence) pneumonia balita di Indonesia adalah


18 ,5 per mil.

7
30 27 , 4

25 22 , 5

20 17 , 5
16
15 12 , 4

10

0
Terbawah Menengah Menengah Menengah Atas Teratas
Bawah

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT

Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012 melaporkan hal yang
berbeda. Dilaporkan sekitar 5% balita mengalami gejala-gejala ISPA berdasarkan informasi
yang disampaikan ibu balita, dan 75% diantaranya dibawa ke fasilitas pelayanan kesehatan.
Tidak ada perbedaan prevalensi ISPA pada balita diantara kelompok pendidikan ibu, tingkat
ekonomi, status merokok orang tua, serta jenis kelamin. Hanya dilaporkan bahwa prevalensi
ISPA terendah didapati pada kelompok balita usia di bawah 6 bulan.

Data morbiditas dan mortalitas ISPA dan Pneumonia yang dapat menggambarkan besaran
masalah secara nasional masih terbatas. Data nasional berbasis masyarakat yang tersedia
bersumber dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) dan Survey Demografi dan Kependudukan
Indonesia (SDKI) yang menggunakan metode recall, didasarkan pada pertanyaan atas gejala-
gejala penyakit kepada responden saat penelitian. Sebagian kalangan menilai metode seperti
ini menghasilkan data yang bias. Oleh karena itu ada upaya yang dilakukan untuk mengetahui
besaran masalah pneumonia, antara lain menggunakan faktor risiko penyakit. Angka yang
dihasilkan merupakan estimasi sasaran pada tingkat provinsi atau kabupaten. Data estimasi
pneumonia balita dapat dilihat pada Lampiran 1.

B. PENGENDALIAN FAKTOR RISIKO ISPA

8
Salah satu unsur penting dalam pencegahan kejadian ISPA adalah pengendalian faktor risiko,
yang meliputi antara lain:
1. Pemberian ASI eksklusif,
2. Kekurangan gizi pada balita,
3. Pencegahan terjadinya berat badan lahir rendah,
4. Pengurangan polusi udara dalam ruangan, dan paparan polusi di luar ruangan 5. Imunisasi
6. Kepadatan Penduduk.
Penerapan beberapa intervensi dalam pengendalian faktor risiko telah dilakukan di
beberapa negara dan didokumentasikan sebagai lesson learned sebagaimana tercantum pada
tabel 2.2.

Tabel. 2.2. Pengendalian Faktor Risiko dan Dampaknya


( Lesson Learned dari Best Practices Internasional )
Upaya-upaya pengendalian faktor risiko di atas, telah dilaksanakan oleh berbagai unit
terkait baik di pusat maupun daerah sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Namun

9
demikian, pada pelaksanaan kegiatan pengendalian faktor risiko ke depan, Subdit ISPA akan
memfokuskan kegiatannya pada penanganan gangguan pernafasan akibat kabut asap.

Kabut asap yang dihasilkan dari kebakaran hutan dan lahan mengandung material yang
dapat berdampak negative bagi kesehatan. Dampak tersebut bisa berupa iritasi mata, iritasi
kulit, iritasi dan peradangan saluran pernapasan yang bisa berlanjut menjadi infeksi saluran
pernapasan, dan lain-lain. Jika kita mengerti cara melindungi diri dan melakukannya dengan
baik, maka dampak negatif tersebut dapat dikurangi. Semua orang berisiko terkena dampak
kabut asap dan harus melakukan upaya pencegahan. Bayi, Balita, ibu hamil, orang lanjut usia,
orang dengan penyakit kronis seperti penyakit
paru kronik, jantung, asma mempunyai risiko lebih besar terkena sehingga harus lebih berhati-hati.

Pada saat kejadian kebakaran hutan subdit ISPA melakukan surveilans kasus ISPA untuk melihat
kecenderungan kasus akibat asap.

C. CAPAIAN HASIL KEGIATAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN ISPA


PERIODE 2010-2014

1 . Cakupan Penemuan Pneumonia Balita

Salah satu indikator kunci dalam program P2-ISPA adalah cakupan penemuan pneumonia
balita. Sejak tahun 2000, angka cakupan penemuan pneumonia Balita berkisar antara 20%-

1
0
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT

Masih rendahnya angka cakupan penemuan pneumonia Balita tersebut disebab kan
antara lain oleh:

a. Sumber pelaporan rutin terutama berasal dari Puskesmas, hanya beberapa


provinsi dan kabupaten/kota yang mencakup rumah sakit dan sarana pelayanan
keseha tan lainnya,
b. Deteksi kasus di puskesmas masih rendah karena sebagian besar tenaga belum
36%. Angka cakupan tersebut masih jauh dari target nasional yaitu periode 2000-2004 sebesar
86%, sedangkan periode 2005-2009 adalah dalam terlatih., dan
c. Kelengkapan pelaporan masih rendah terutama pelaporan dari kabupaten/kota ke provinsi.

Gambar 2.6. Cakupan Penemuan Pneumonia Balita 2011-2015


120.00

100.00

80.00

63.45
60.00

40.00
29.47
23.98 23.42 24.79
20.00

0.00
2011 2012 2013 2014 2015
CAKUPAN TARGET

Pada akhir tahun 2015 Subdit ISPA bersama Litbangkes dan FKM UI membuat modifikasi
baru terkait estimasi pneumonia Balita sehingga ditetapkan bahwa estimasi setiap daerah
berbeda sesuai dengan faktor resiko masing-masing daerah. Angka tersebut diharapkan dapat
mendekati gambaran kondisi penemuan kasus pneumonia Balita didaerah tersebut

2 Kesiapsiagaan dan Respon Pandemi Influenza

Kasus flu burung (FB) pada manusia di Indonesia pertama kali ditemukan pada Juni 2005.
Kasus FB pada manusia kumulatif sudah tersebar di 15 propinsi (Sumut, Sumsel, Sumbar,
kisaran 46 %-86%. Sementara itu, sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 2.6
cakupan penemuan pneumonia balita cenderung tidak berubah periode 2011-2014.
Peningkatan terjadi pada tahun 2015 yaitu sebesar 63,45%.

1
1
Lampung, Riau, Banten, DKI Jakarta, Jabar, Jateng, Jatim, Yogyakarta, Sulsel, NTB, Bengkulu dan
Bali) dan 58 kabupaten/kota. Klaster terbesar ditemukan di Kabupaten Karo, Sumut dimana 6
orang meninggal dari 7 kasus positif (confirmed). Pada tahun 2011, kasus FB masih ditemukan
di 4 provinsi yaitu DKI Jakarta, Jabar, DI Yogyakarta dan Bali. Di Indonesia kasus masih menular
dari hewan ke manusia, belum ada bukti penularan antar manusia yang efisien. Indonesia
adalah yang terbanyak kasus FB di dunia dengan kematian 167 orang dari 199 kasus positif
(CFR 83,9%) dan 17 klaster (Oktober 2016).

1
2
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT

Walaupun kasus FB di Indonesia tetap ditemukan, namun jumlah kumulatif kasus


pertahun sudah menunjukkan penurunan. Di saat Indonesia sedang berupaya menanggulangi
kasus flu burung, dunia dikejutkan dengan munculnya virus Influenza A Baru (H1N1) di San
Diego, Amerika Serikat dan menyebarke Mexico pada April 2009, yang menyebar dengan
cepat ke berbagai negara di dunia. Sampai dengan Februari 2010, sudah menyebar lebih dari
211 negara dan menyebabkan kematian sekitar 15.000 orang. Sedangkan di Indonesia
ditemukan 1.097 kasus positif dan 10 orang (CFR 0.9%) diantaranya meninggal (10 Februari
2010).

Indonesia telah menyusun Rencana Strategi Penanggulangan Flu Burung dan


Kesiapsiagaan Pandemi Influenza tahun 2005. Berbagai upaya pengendalian telah dilakukan
oleh Kemenkes antara lain penyiapan rumah sakit rujukan, penguatan surveilans,
laboratorium virologi dan BSL-3, komunikasi informasi dan edukasi, aspek hukum, logistik,
koordinasi LP/LS, kerjasama internasional dan simulasi.

Subdit ISPA bekerjasama dengan Lintas program dan lintas sektor telah melaksanakan
simulasi penanggulangan episenter pandemi influenza di Bali (April 2008) dan Makassar (April
2009), Table¬top Exercise di 6 provinsi (Jawa barat, Sumatera Utara, Jambi, Bengkulu,
Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah), penyusunan rencana kontijensi penanggulangan
episenter di 11 propinsi (Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Lampung, Riau,
Banten, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan) dan 80
kabupaten/kota, penyusunan pedoman dan modul, sosialisasi H1N1 ke 33 provinsi dengan
melibatkan lintas program dan lintas sektor.

Review dan assesment Kesiapsiagaan Pandemi Influenza tahun 2015 di delapan provinsi (
DKI Jakarta, Jawa Barat, Bali, Jawa Timur, Banten, Kalimantan Barat dan Sulawesi Selatan.)
dilakukan bersama Tim Independen. Masih banyak provinsi dan kabupaten/kota yang
memerlukan advokasi untuk mengadopsi atau mereplikasi upaya tersebut yang disesuaikan
dengan kondisi wilayah masing-masing.

13
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT

D TANTANGAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN ISPA


1 . Belum efektifnya upaya-upaya penemuan dan tatalaksana kasus pneumonia
balita
Cakupan penemuan kasus pneumonia balita secara nasional masih rendah,
bahkan masih jauh dari target yang telah ditetapkan , namun belum ada kajian
Pada tahun 2016 dilaksanakan kegiatan review penyusunan rencana kontijensi di tingkat
nasional bekerjasama dengan RSPAD dan melibatkan lintas sektor ( Kementerian dan lembaga
terkait) juga lintas program di Kemenkes dan dilanjutkan dengan simulasi terbatas di RSPAD.
Dilanjutkan dengan rencana kontijensi tingkat propinsi di lima provinsi terpilih ( Banten, Jawa
Barat, Jawa Timur, Kepulauan Riau, Sulawesi Selatan dan Sumatera Selatan), dan Table Top
Exercises (TTX) dan simulasi terbatas di dua komprehensif yang dilakukan untuk menjawab
permasalahan ini yaitu:
a. Masih banyak anggota masyarakat yang belum mengenal gejala-gejala pneumonia pada
balita sehingga tidak membawa ke fasilitas pelayanan kesehatan,
b. Petugas kesehatan belum maksimal melakukan sosialisasi tentang gejala-gejala
pneumonia
c. Ketrampilan petugas yang belum standar dalam melakukan deteksi dini kasus balita
batuk dan sesak napas.
d. Motivasi dan kepatuhan petugas dalam melaksanakan Tatalaksana standar.
e. Sarana prasarana yang belum memadai dalam pelaksanan program didaerah.
f. Rendahnya akses masyarakat terhadap pelayanan pneumonia.

Bila kondisi ini terus terjadi, maka hal ini dapat menjadi penghambat upaya pemerintah
dan masyarakat dalam percepatan penurunan angka kematian balita. Hal ini mengindikasikan
bahwa upaya-upaya intensifikasi penemuan kasus perlu dilakukan dan upaya inovatif perlu
terus dikembangkan.

2 . Belum optimalnya upaya penanganan ISPA di wilayah kabut asap.

Kabut asap sisa kebakaran hutan dan lahan kerap menyelimuti sejumlah wilayah di
Indonesia. Pada tahun 2015 dilaporkan 8 kota di pulau Kalimantan dan Sumatera mengalami
kabut asap. Paparan kabut asap mendatangkan beberapa jenis penyakit yang menyerang
masyarakat antara lain penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), iritasi kulit, gangguan
propinsi ( Banten dan Kepulauan Riau). Kegiatan lainnya yang dilakukan sebagai
bentuk respon dan kesiapsiagaan menghadapi kemungkinan pandemic influenza
adalah adanya Surveilans ISPA Berat Indonesia ( SIBI ) di 6 RS sentinel ( RSUD Wono sari
Jogjakarta, RSUD Kanujoso Kalimantan Timur, RSUD Bitung Sulawesi Utara, RSUD
Deli Serdang Sumatera Utara, RSUD dr M.Haulussy Maluku, RSUD Provinsi NTB), dan
Sentinel Influenza Like Illness (ILI) di 27 Puskesmas di 26 Propinsi.

1
4
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT

3 . Masih rendahnya jumlah daerah dengan kesiapsiagaan pandemi influenza

Melihat kejadian pandemi pada beberapa tahun terakhir, semua negara di dunia
tetap mewaspadai kemungkinan tersebut dengan strategi yang disesuaikan dengan
situasi negara masing-masing. Pemerintah Indonesia telah melakukan upa ya
upaya penguatan kesiapsiagaan dan respon ( core capacity ) untuk mengantisipasi
terjadinya pandemi. Upaya-upaya telah dilakukan melalui penyusunan rencana konti jensi,
jiwa, iritasi mata , asma , dan pneumonia. Kabut asap sisa kebakaran hutan dan lahan juga
membawa dampak buruk bagi kehidupan sosial masyarakat.

Upaya penanganan ISPA sebagai dampak gangguan kesehatan pada wilayah kabut asap
dinilai belum terintegrasi secara optimal. Pada Kementerian Kesehatan, masih diperlukan
mekanisme kerja lintas program terkait. Oleh karena itu, penanganan ISPA perlu mendapat
perhatian bagi seluruh pelaku program kesehatan yang terkait.
table top exercise dan simulasi lapangan. Namun demikian, skala yang dilakukan dinilai masih
terlalu kecil, belum banyak kabupaten/kota yang menyelenggarakan hal tersebut. Di samping
itu, rencana kontijensi belum mengindikasikan kegiatan yang terstruktur dan terkoordinasi.
Oleh karena itu masih perlu dilakukan penguatan kapasitas dan mekanisme kerja secara lintas
program maupun lintas sektor.

4. Kurangnya ketersediaan data dan hasil riset terkait P2-ISPA

Pelaksanaan sistem surveilans penyakit belum dapat mendukung penyediaan data secara
optimal, karena kelengkapan dan ketepatan waktu laporan belum sepenuhnya dipenuhi.
Demikian pula, pelaksanaan pencatatan dan pelaporan di fasilitas pelayanan kesehatan belum
optimal. Hal ini mengakibatkan sulitnya mendapatkan informasi akurat dan lengkap yang
diperlukan untuk pengembangan strategi dan kebijakan pencegahan dan pengendalian ISPA.
Kondisi ini diperberat dengan masih kurangnya riset dan kajian dalam negeri tentang
pengendalian ISPA, khususnya keterkaitan antara faktor risiko dengan kejadian ISPA. Oleh
karena itu, diperlukan upaya serius untuk memastikan ketersediaan data dan informasi terkait
P2-ISPA.

5. Masih lemahnya dukungan manajemen program

Saat ini telah dikembangkan rumah singgah yang ditujukan guna melindungi pen duduk
yang berisiko terserang penyakit karena asap, seperti bayi, ibu hamil, lanjut usia,
anak-anak, dan penderita penyakit kronis. Namun demikian, rumah singgah belum
diupayakan standarisasi tentang luasnya, tata-laksana penanganan kasus ISPA, dan
ketersediaan logistik yang diperlukan di rumah tersebut.

15
Beberapa provinsi dan kabupaten masih belum sepenuhnya dapat menerapkan kebijakan
dan strategi nasional karena keterbatasan dalam aspek sumber daya, kebijakan daerah dan
peran masyarakat. Kondisi umum di daerah, khususnya sumber daya manusia, infrastruktur,
kapasitas manajerial dan finansial relatif masih terbatas. Dukungan kebijakan di tingkat
provinsi dan kabupaten kurang optimal karena masih lemahnya advokasi dan koordinasi
antara sektor kesehatan dan sektor non kesehatan, termasuk dengan pemerintah daerah
setempat. Sebagai dampak dari penerapan sistem pemerintahan desentralisasi, pemerintah
daerah sesungguhnya mempunyai kewenangan untuk dapat menetapkan prioritas
pembangunan daerahnya, termasuk program pencegahan dan pengendalian ISPA.

1
6
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT

BAB III
TUJUAN DAN STRATEGI PROGRAM
A. TUJUAN PROGRAM PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN ISPA
Pencegahan dan pengendalian ISPA merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari program pembangunan kesehatan yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas
hidup manusia, sehingga setiap individu menjadi produktif, berdayasaing dan bermanfaat bagi
pembangunan nasional. Dengan demikian, tujuan pencegahan dan pengendalian ISPA
ditujukan untuk menurunkan angka kesakitan (morbiditas), angka kematian (mortalitas) dan
disabilitas serta mengurangi beban ekonomi akibat ISPA dalam rangka pencapaian tujuan
pembangunan kesehatan dan pembangunan nasional.

Tujuan kegiatan pencegahan dan pengendalian ISPA ditetapkan melalui indikatorindikator


kunci yang dituangkan dalam dokumen perencanaan seperti RPJMN 2015-2019, Rencana
Strategis Pembangunan Kesehatan Kementerian Kesehatan dan Rencana Kegiatan P2 ISPA.
Indikator-indikator kunci dan target dapat dilihat pada tabel 3.1

Tabel 3.1. Indikator dan Target Pencegahan dan Pengendalian ISPA 2015-2019
Baseline Target
No Indikator
2016 2017 2018 2019
RPJMN:
Persentase
kabupaten /kota dengan cakupan 30 40 50 60
penemuan pneumonia balita minimal 14,8
80%
1 (2015)
Renstra Kemenkes:
Persentase kabupaten / kota
yang 50% puskesmasnya
2 30 40 50 60
melaksanakan tata-laksana 14,8
pneumonia balita sesuai standar
(2015)
3 Rencana Program P2-ISPA: 70 80 85 90
Cakupan penemuan pneumonia 58,9
balita
(2015)
4 Jumlah kumulatif Provinsi yang 12 16 20 24
menyusun 8

18
Rencana Kontijensi Kesiapsiagaan (2015)
Pandemi Influenza

B. STRATEGI PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN ISPA

Untuk menjamin tercapainya target yang telah ditetapkan pada Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 dan Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian
Kesehatan tahun 2015-2019, diperlukan strategi nasional pencegahan dan pengendalian ISPA
di Indonesia. Strategi tersebut dikembangkan berdasarkan tantangan dan permasalahan serta
kapasitas sektor kesehatan, dengan memperhatikan
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT

strategi global maupun regional. Implementasi strategi pencegahan dan pengendalian ISPA
akan dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain: arah kebijakan pembangunan kesehatan,
kerangka regulasi, kerangka kelembagaan, ketersediaan pendanaan, serta lingkungan strategis
di tingkat pusat dan daerah.

Strategi yang dikembangkan dalam pencegahan dan pengendalian ISPA, terdiri dari 5 pilar yang
meliputi:
1. Penemuan dan tata laksana kasus pneumonia balita;
2. Kesiapsiagaan dan respon terhadap pandemi influenza;
3. Pengendalian faktor risiko, dan
4. Penguatan sistem informasi dan kajian, serta
5. Penguatan manajemen program

1 . PENEMUAN DAN TATA LAKSANA KASUS PNEUMONIA BALITA

Secara global, dalam kerangka strategi pencegahan dan pengendalian pneumonia balita, upaya-
upaya dikelompokkan menjadi 3 misi, yaitu:
a. Melindungi (to protect) balita dengan menciptakan lingkungan yang mempunyai risiko
kecil untuk kejadian pneumonia. Upaya dalam kategori ini meliputi pemberi an ASI eksklusif,
pemberian gizi seimbang, pencegahan berat badan lahir rendah, pegurangan polusi udara
dalam ruangan serta perilaku cuci tangan pakai sabun.
b. Mencegah (to prevent) balita terkena pneumonia. Upaya yang dilakukan dalam
kategori ini adalah pemberian vaksinasi batuk rejan (pertusis), campak, Haemophilus
Influenzae b (Hib) dan pneumokokus (untuk Indonesia belum diberlakukan.

19
c. Mengobati (to treat) balita yang terkena pneumonia melalui tata-laksana kasus baik di
fasilitas pelayanan kesehatan pratama maupun di Rumah Sakit.

Gambar 3.1 Kerangka Pencegahan dan Pengendalian Pneumonia Balita

Melindungi ( to protect ) Mencegah ( to prevent )


Melindungi balita melalui Mencegah balita menjadi sakit
penyediaan lingkungan sehat pneumonia
- Pemberian ASI ekslusif Pemberian vaksinasi:
- Pemberian gizi seimbang, - Batuk rejan (pertusis ).
Pencegahan BB lahir rendah,
- Campak dan Hib
- Pengurangan polusi udara dalam
ruangan - Pneumokokus (belum diterapkan
- Perilaku cuci tangan pakai sabun. Menurunkan di Indonesia)
angka
kesakitan
dan kematian
akibat
pneumonia

Mengobati ( to treat )
Mengobati balita yang terkena
pneumonia
Tata-laksana kasus sesuai standar
di fasilitas pelayanan kesehatan
pratama dan rumah sakit.

Sumber: Adopsi dari Global Action Plan for Prevention and Control of Pneumonia , 20091)

20
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT

Pendekatan komprehensif yang mencatumkan seluruh intervensi dalam kerangka


penanggulangan pneumonia. Kerangka ini menganjurkan diimplementasikannya paket
intervensi yang terintegrasi secara efektif, layak (feasible) dan terjangkau (affordable).
Dianjurkan pula dalam implementasi kerangka ini setiap negara dapat memilih intervensi yang
diperlukan sesuai dengan kondisi lokal. Sesuai dengan norma hak azasi manusia, maka setiap
balita Indonesia mempunyai hak untuk diberikan perlindungan, pencegahan dan pengobatan
terhadap kejadian pneumonia.

Dalam pengendalian penumonia balita, kegiatan penemuan dan tatalaksana kasus merupakan
intervensi utama. Upaya penemuan kasus meliputi:

a. Penemuan kasus secara pasif.


Upaya penemuan dilakukan terhadap balita yang datang ke fasilitas pelayanan kesehatan
Puskesmas dan jaringannya atau Rumah Sakit termasuk Rumah sakit swasta.
b. Penemuan kasus secara aktif.
Dalam hal ini, petugas kesehatan bersama kader secara aktif menemukan kasus baru di
lapangan dan kunjungan ke rumah pada pasien pneumonia yang tidak datang untuk
kunjungan ulang.

Langkah-langkah penemuan kasus:

a. Menanyakan balita yang batuk dan atau kesukaran bernapas


b. Melakukan penentuan tanda bahaya sesuai golongan umur <2 bulan dan 2 bulan sampai 59
bulan
c. Melakukan pemeriksaan dengan melihat tarikan dinding dada bagian bawah keda lam (TDDK)
dan hitung napas.
d. Melakukan klasifikasi balita batuk dan atau kesukaran bernapas; pneumonia berat, pneumonia
dan batuk bukan pneumonia

Kasus pneumonia balita yang ditemukan segera ditindak lanjuti dengan tatalaksana kasus yang
efektif, melalui upaya-upaya sebagai berikut:

21
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT

Penemuan kasus akan dilakukan secara aktif melalui pendekatan keluarga.


Pemahaman dan keterlibatan keluarga dalam mengenali gejala pneumonia pada
balita dan membawanya ke fasilitas pelayanan kesehatan diharapkan akan dapat
meningkatkan cakupan penemuan kasus pneumonia.
a. Pengobatan dengan menggunakan antibiotik: amoksisilin dosis tinggi selama 3 hari dan
obat simptomatis yang diperlukan seperti parasetamol, salbutamol (dosis dapat dilihat
pada bagan Tatalaksana ISPA).
b. Kunjungan ulang bagi penderita pneumonia setelah 2 hari mendapat antibiotik di
A. Tatalaksana kasus Pneumonia Balita

1 . Klasifikasi Balita Batuk dan atau Kesukaran Bernapas :

Klasifikasi penderita pneumonia Balita dikelompokan berdasarkan golongan umur


sebagai berikut :

• Umur < 2 bulan klasifikasinya bila tidak ada TTDK dan Napas Cepat hanya Batuk Bukan
Pneumonia saja. Untuk tindakan rujuk segera pada anak < 2 bulan bila ada tanda bahaya di
masuk katagori penyakit sangat berbahaya

• Umur 2 bulan sampai 59 bulan klasifikasi ada tiga pembagian yaitu Pneumonia Berat,
Pneumonia dan batuk Bukan Pneumonia. Bila ada indikasi salah satu tanda bahaya masukan
ke pada katagori penyakit sangat berat

2 . Tatalaksana penderita batuk dan atau kesukaran bernapas umur < 2 Bulan

TANDA BAHAYA UMUR < 2 BULAN

1. Napas cepat (≥ 60 kali/menit) atau 7 . Stridor


2. Napas lambat ≤ 30 kali/menit) atau 8 . Wheezing
3. TDDK 9 . Tangan dan Kaki teraba dingin
4. Kurang bisa Minum 10 . Tanda gizi buruk
5. Kejang 11 . Demam
6. Kesadaran menurun

fasilitas pelayanan kesehatan.


c. Rujukan bagi penderita pneumonia berat atau penyakit sangat berat.

Memperhatikan tingkat kinerja penanggulangan pneumonia, baik dalam cakupan


penemuan kasus maupun kualitas tatalaksana kasus, maka dipandang perlu untuk
melakukan intensifikasi terhadap pendekatan yang dilakukan serta pengembangan
upaya terobosan yang dapat memberi dampak terhadap kinerja penanggulangan
pneumonia balita.

22
Anak umur < 2 bulan yang mempunyai salah satu tanda bahaya diatas, dikelompokan pada
PENYAKIT SANGAT BERAT dan perlu tindakan segera rujuk → untuk tindakan rujukan harus
ditentukan diagnosa terlebih dahulu oleh dokter.
Bila anak umur < 2 bulan tidak ditemukan tanda bahaya maka anak masuk klasifikasi ISPA : BATUK
BUKAN PNEUMONIA.

23
24
25
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT

Mulai tahun 2015 telah dilakukan perubahan kebijakan pengobatan pneumonia balita di
fasilitas pelayanan kesehatan. Perubahan pengobatan yang semula menggunakan Co-
trimoxazole menjadi Amoxicillin didasarkan pada rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia
(IDAI), hasil-hasil penelitian serta dukungan dari Komite Ahli Program Pencegahan dan
Pengendalian ISPA. Saat ini telah ditetapkan kebijakan pengobatan dengan menggunakan
Amoxicillin dosis tinggi yaitu 80 - 100 mg/kgBB/kali, sebanyak 2 kali per hari dan diberikan
selama 3 hari.

Gambar 3.2. Kerangka Intensifikasi Pencegahan dan Pengendalian Pneumonia Balita


Intensifikasi Pencegahan dan Pengendalian Pneumonia

PROMOTIF PREVENTIF DIAGNOSTIK KURATIF

ANC Imunisasi : Hitung Napas


ASI eksklusif DPT Lihat Tarikan Antibiotik
Gizi seimbang Campak Dinding Dada ( Amoxicillin )
PHBS (CTPS) Hib bawah Ke dalam Terapi
Mengurangi Pneumokok ( TDDK ) Oksigen
polusi udara ( belum jadi Periksa Saturasi
Etika batuk program) Oksigen
Deteksi dini

Pendekatan Keluarga Penguatan Tatalaksana

2 . KESIAPSIAGAAN DAN RESPON TERHADAP PANDEMI INFLUENZA

Selain pneumonia balita, pencegahan dan pengendalian ISPA juga mencakup


kesiapsiagaan dan respon terhadap pandemi influenza. Beberapa pandemi influenza yang
terjadi telah menewaskan puluhan juta orang. Tiap pandemi tersebut disebabkan oleh
munculnya jenis baru virus penyakit pada manusia yang berevolusi menjadi bentuk yang
menyebar dengan mudah dari manusia ke manusia. Kondisi ini memberikan ancaman yang
besar kepada masyarakat, sehinga diperlukan kesiapsiagaan Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah.
Penyakit ISPA yang mendapatkan perhatian dunia atau Public Health Emergency
International Concern (PHEIC) atau dinilai sebagai kedaruratan kesehatan masyarakat yang

26
meresahkan dunia (KKMMD) yang memberikan ancaman besar terhadap masyarakat, antara
lain: SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome), MERS CoV (Middle East Respiratory Syndrome
Corona Virus), Flu Burung serta jenis flu lain
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT

Kejadian KKMMD dapat terjadi secara importasi yaitu sumber kedaruratan berasal dari luar
wilayah dan secara episenter yaitu sumber kedaruratan berasal dari wilayah kerja. Kedua kondisi
tersebut dapat timbul dalam situasi yang tidak dapat diprediksi sehingga kemampuan pemerintah
dan para pemangku kepentingan dalam
mencegah (to prevent), mendeteksi dini (to detect), menangani kasus sedini mungkin (to
response) akan mempengaruhi sejauh mana besaran kejadian kedaruratan dan penanganan
pasca kejadian tersebut.

Untuk memastikan kesiapsiagaan dan respon terhadap kejadian KKMMD yang efektif,
maka perlu disusun suatu Rencana Kontijensi secara terintegrasi baik di wilayah
kabupaten/kota dan juga di pintu masuk (bandara, pelabuhan dan pos lintas batas negara). Hal
ini penting karena upaya penanggulangan KKMMD tidak dapat dipisahkan, namun harus
dilakukan secara terintegrasi. Pada kondisi situasi kedaruratan benar-benar terjadi, rencana
kontinjensi yang sudah disusun dapat diaktivasi menjadi rencana operasi penanggulangan
dengan penyesuaian-penyesuaian situasi di lapangan.

Kesiapsiagaan dan respon terhadap pandemi influenza dianjurkan untuk memperhatikan


pula upaya pencegahan dan pengendalian pneumonia, juga pentingnya tatalaksana ISPA
melalui tata-kelola masyarakat.

3 . PENGENDALIAN FAKTOR RISIKO

Beberapa wilayah di Indonesia mempunyai potensi kebakaran hutan dan telah mengalami
beberapa kali kebakaran hutan terutama pada musim kemarau. Kabut asap akibat kebakaran

yang baru.

27
hutan dapat menimbulkan penyakit ISPA dan memperberat kondisi seseorang yang sudah
menderita pneumonia khususnya balita. Disamping itu asap rumah tangga yang masih
menggunakan kayu bakar juga menjadi salah satu faktor risiko pneumonia. Hal ini dapat
diperburuk apabila ventilasi rumah kurang baik dan dapur menyatu dengan ruang keluarga
atau kamar tidur.

Indonesia juga merupakan negara rawan bencana seperti banjir, gempa, gunung meletus,
tsunami, dll. Kondisi bencana tersebut menyebabkan kondisi lingkungan menjadi buruk, sarana
dan prasarana umum dan kesehatan terbatas. Penularan kasus ISPA akan lebih cepat apabila
terjadi pengumpulan massa (penampungan pengungsi). Pada situasi bencana jumlah kasus
ISPA sangat besar dan menduduki peringkat teratas.

Memperhatikan hal tersebut, maka upaya pengendalian faktor-faktor risiko akan


difokuskan pada penanganan gangguan pernafasan akibat kabut asap. Sementara itu, untuk
menjamin terintegrasinya pengendalian faktor risiko oleh unit terkait yang sesuai dengan tugas
pokok dan fungsinya, maka unit program P2-ISPA akan
memberikan perhatian pada kegiatan advokasi dan sosialisasi untuk menjamin terciptanya
upaya yang terintegrasi oleh lintas program dan lintas sektor dalam upaya pengendalian
faktor-faktor risiko.

28
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT

4. PENGUATAN SISTEM INFORMASI, SURVEILANS DAN KAJIAN

Sistem informasi program ISPA yang kuat akan menghasilkan data yang akurat, konsisten,
tepat waktu dan berkesinambungan. Data dengan karakteristik demikian, akan membantu
pengelola program untuk mendapatkan informasi guna memformulasikan strategi dan
kebijakan maupun dalam pengambilan-pengambilan keputusan operasional pada upaya
pencegahan dan pengendalian ISPA di setiap tingkatan administrasi. Pembinaan oleh
penanggung jawab program yang dilakukan secara berjenjang akan dapat lebih berdaya guna
dan berhasil guna. Penguatan Sistem Informasi yang sistematis dengan memanfaatkan
kemajuan teknologi informasi akan menjadi relatif mudah dilaksanakan oleh petugas dan
dapat menjamin ketersediaan data yang berkualitas.

ISPA merupakan salah satu penyebab kematian utama. Di samping itu, dalam golongan
penyakit ini kerap terjadi kejadian yang berpotensi menjadi perhatian dunia atau Public Health
Emergency International Concern (PHEIC) ataupun kejadian yang dinilai sebagai kedaruratan
kesehatan masyarakat (KKMMD) yang dapat memberikan ancaman besar terhadap
masyarakat. Oleh karena itu, surveilans mutlak diperlukan untuk menjamin dilaksanakannya
pengamatan dan pemantauan terhadap perkembangan kasus kejadian ISPA. Surveilans yang
dilakukan dapat berbasis laboratorium maupun berbasis epidemiologi. Surveilans akan
bermanfaat dalam pengembangan program pengedalian penyakit saluran pernapasan
termasuk influenza.

Pengembangan program secara terus menerus diperlukan untuk dapat menjawab berbagai
tantangan program di masyarakat. Intervensi yang lebih efektif dan efisien akan memberikan
keuntungan bagi masyarakat maupun penyelenggara program. Untuk pengembangan
program pencegahan dan pengendalian ISPA, selain memanfaatkan data yang bersumber dari
fasilitas (facility based) maupun masyarakat (community based) diperlukan pula informasi
yang didapatkan melalui kajian. Kajian maupun penelitian dapat melibatkan para ahli, praktisi,
ikatan profesi, maupun unsur universitas. Penelitian dapat dilakukan baik dalam skala kecil
maupun sekala besar tergantung pada kebutuhan informasi yang dibutuhkan.

29
5. PENGUATAN DUKUNGAN MANAJEMEN

Seluruh kegiatan sebagai implementasi dari strategi pencegahan dan pengendalian ISPA
yang telah diuraikan di atas, akan membuahkan hasil penurunan angka kematian dan
kesakitan akibat ISPA, hanya bila didukung dengan manajemen yang

kuat meliputi perencanaan, penyediaan anggaran, penyediaan sumber daya manusia


kesehatan yang cukup dan berkualitas, serta pengukuran dan pemantauan hasil kiner ja
program secara periodik.

Perencanaan program yang berkualitas, dapat memaksimalkan hasil dari sumber


daya yang tersedia, yang biasanya selalu terbatas. Demikian pula, pola
pembinaan dan supervisi yang efektif secara berjenjang dapat memastikan pelaksa naan
program ke arah pencapaian tujuan program yang telah disepakati.
3
1
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT
BAB IV
KEGIATAN POKOK
PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN ISPA
Strategi pencegahan dan pengendalian ISPA sebagaimana diuraikan pada bab
terdahulu, diimplementasikan melalui kegiatan atau aksi strategis untuk mencapai
target-target yang ditetapkan pada dokumen: (i) Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 bidang Kesehatan, (ii) Rencana Strategis
Kementerian Kesehatan, dan (iii) Rencana Program Pencegahan dan Pengendalian ISPA 2015-
2019. Kegiatan pokok yang diidenfikasi pada 5 pilar strategi – sebagaimana diuraikan pada
bab sebelumnya - merupakan kegiatan-kegiatan lanjutan dan kegiatan adopsi dari
pengembangan baru program yang dinilai dapat memberi kontribusi dalam pencapaian tujuan
program.

Kegiatan pokok pada masing-masing strategi diuraikan untuk dapat dijadikan pedoman
penyusunan perencanaan kegiatan pencegahan dan pengendalian ISPA di pusat dan daerah,
sebagai berikut:

A. PENEMUAN DAN TALAKSANA KASUS PNEUMONIA BALITA

Tujuan:
1. Terlaksananya penemuan bagi seluruh kasus kejadian pneumonia balita di masyarakat. 2.
Tersosialisasinya upaya care seeking di masyarakat agar masyarakat - terutama kelompok
Ibu – memahami dan mengenali gejala-gejala pneumonia pada balita, dan bila ditemukan
untuk segera dibawa ke fasilitas pelayanan kesehatan.
3. Terimplementasikannya pendekatan keluarga melalui kunjungan rumah untuk
melakukan deteksi dini dan pengobatan segera, serta implementasi upaya preventif &
promotif dalam pengendalian faktor risiko ISPA.
4. Terselenggaranya tatalaksana kasus pneumonia balita di fasilitas pelayanan kesehatan
sesuai standar.

Indikator:
1. Cakupan penemuan kasus pneumonia balita :

Cara perhitungan : Jumlah kasus pneumonia balita yang ditemukan x 100 %


Jumlah Perkiraan pneumonia Balita di wilayah kerja

2. Jumlah kasus dan angka kematian pneumonia balita di Puskesmas

Cara perhitungan : Jumlah kematian pneumonia balita


x 100%
Jumlah kasus pneumonia balita
3. Persentase Puskesmas yang memberi layanan ISPA sesuai standar.

Cara perhitungan : Jumlah Balita batuk dan atau sesak napas yang dihitung napas atau
ada
TDDK x
100 %
Jumlah kunjungan Balita Batuk dan atau sesak napas

3
3
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT

Kegiatan Pokok:
1. Kegiatan penemuan penderita secara aktif dan pasif.
2. Sosialisasi Care seeking di masyarakat.
3. Sosialisasi Pendekatan Keluarga dalam program P2-ISPA melalui kunjungan rumah.
4. Peningkatan kapasitas tenaga kesehatan dan pengelola ISPA.
5. Review Tata-laksana kasus di fasilitas pelayanan kesehatan.
B. KESIAPSIAGAAN & RESPON TERHADAP PANDEMI

Tujuan :
Terwujudnya kesiapsiagaan dan respon pemerintah bersama masyarakat di suatu wilayah
untuk menghadapi potensi pandemi influenza.
Indikator :
1. Jumlah provinsi yang mempunyai Rencana Kontinjensi Penanggulangan Episenter
Pandemi Influenza.

2. Jumlah provinsi yang melakukan simulasi dan review Renkon Penanggulangan


Episenter Pandemi Influenza.
Kegiatan:
1. Penyusunan revisi Pedoman Kesiapsiagaan dan Respon terhadap Pandemi.
2. Penyusunan Renkon, Table Top Exercise, simulasi lapangan di propinsi.
3. Peningkatan kapasitas tenaga kesehatan untuk menyusun Rencana Kontijensi;
4. Review upaya-upaya pengembangan kesiapsiagaan pandemi influenza.
5. Koordinasi dan integrasi lintas program dan lintas sektor dalam upaya-upaya
kesiapsiagaan dan respons terhadap pandemi influenza.

C. PENGENDALIAN FAKTOR RISIKO ISPA


Tujuan :
1 . Mewujudkan upaya penanganan kelompok rentan ISPA di rumah singgah pada
wilayah kabut asap.
2 . Terselenggaranya koordinasi lintas program dan lintas sektor dalam pengendalian
faktor-faktor risiko ISPA.

Indikator :
1 . Tersedianya pedoman pelaksanaan rumah singgah pada wilayah kabut asap.
2 . Jumlah penduduk yang memanfaatkan rumah singgah pada wilayah kabut asap.

34
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT

Kegiatan:
1 . Penanganan kelompok rentan ISPA pada tempat yang dikembangkan menjadi
rumah singgah pada wilayah kabut asap.
2 . Penyusunan pedoman tatalaksana penanganan ISPA di rumah singgah, termasuk
standarisasi rumah singgah dan ketersediaan alat air purifier .
3 . Penyediaan logistik rumah singgah, termasuk air purifier .
4 . Pertemuan koordinasi LP/LS dalam penanganan ISPA pada wilayah kabut asap.
5 . Pertemuan koordinasi LP/LS dalam penanganan faktor-faktor risiko ISPA.
D. SISTEM INFORMASI, SURVEILANS, DAN KAJIAN/RISET

3
5
Tujuan :
tan 1. Tersedianya data akurat melalui penguatan Sistem Pencatatan dan Pelaporan
PEDOMAN
2. Terlaksananya surveilans untuk ISPA & faktor risikonya sebagai bagian dari pengua
Sistem Informasi P2-ISPA
3. Monitoring dan evaluasi implementasi kegiatan pencegahan dan pengendalian
ISPA
4. Pengembangan Riset untuk mendukung kebijakan pencegahan dan pengendalian
ISPA

Indikator :
1. Jumlah kabupaten yang menyampaikan laporan rutin yang akurat, lengkap, tepat
waktu dan berkesinambungan.
2. Jumlah kabupaten yang menyampaikan laporan sentinel surveilan yang akurat,
lengkap, tepat waktu dan berkesinambungan.
3. Jumlah provinsi yang melakukan kajian/riset dalam pencegahan dan pengendalian
ISPA.

Kegiatan:
1. Laporan rutin kegiatan pencegahan dan pengendalian ISPA secara periodik
2. Pelaksanaan surveilans ISPA
3. Peningkatan kapasitas untuk pencatatan dan pelaporan kegiatan P2 ISPA
4. Pelaksanaan kajian terkait faktor risiko ISPA, pencegahan dan pengendalian ISPA
5. Sentinel surveilans pneumonia di Puskesmas dan RS sentinel 6 .
Pembinaan/monitoring kegiatan
PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT

E. PENGUATAN DUKUNGAN MANAJEMEN PROGRAM

Tujuan :

36
1. Terlaksananya perencanaan program P2 ISPA di setiap tingkatan administrasi 2.
Terlaksananya penguatan kapasitas manajemen dan teknis bagi tenaga kesehatan
pengelola P2 ISPA
3. Tersedianya dokumen anggaran yang mempunyai konektivitas antara pusat dan daerah, dan
dengan Renstra Kemenkes dan Rencana Program P2 ISPA
4. Terlaksananya pemantauan dan evaluasi program secara periodik
5. Terlaksananya pembinaan dan supervisi efektif secara berjenjang

Indikator :
1. Sumber Daya Manusia
Proporsi Puskesmas dengan tenaga terlatih dalam manajemen dan teknis pengen- dalian
ISPA.
2. Logistik
Proporsi Puskesmas yang memiliki alat bantu hitung napas atau Sound Timer dan Oksigen
Konsentrator
3. Obat-obatan
Ketersediaan antibiotik, antiviral (oseltamivir) dan obat-obat penunjang (penurun panas, dll)

Kegiatan:
1. Peningkatan kapasitas manajemen pengelola ISPA di kabupaten
2. Peningkatan kapasitas tenaga kesehatan puskesmas dan rumah sakit dalam manajemen dan
teknis pencegahan dan pengendalian ISPA
3. Penyusunan dokumen perencanaan dan dokumen anggaran sesuai dengan pedoman dan
ketentuan yang berlaku.
4. Penyediaan logistik dan obat-obatan sesuai dengan kewenangan
5. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan kegiatan Pencegahan dan Pengendalian ISPA
6. Pembinaan dan supervisi terpadu yang efektif.
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT

BAB V

MONITORING DAN EVALUASI

3
7
Monitoring atau pemantauan diproses pelaksanaan program dan kegiatan pencegahan
dan pengendalian ISPA diselenggarakan untuk mencatat perkembangan pelaksanaan
kebijakan secara terus menerus, mengidentifikasi masalah dan penyimpangan yang muncul.
Pemantauan diperlukan untuk menjamin proses pelaksanaan sudah sesuai dengan strategi
yang ditetapkan, dan apabila terdapat ketidaksesuaian maka tindakan korektif dapat dilakukan
dengan segera. Monitoring perlu dilaksanakan secara berkala yaitu mingguan, bulanan, sesuai
dengan kebutuhan.

Evaluasi akan menitikberatkan pelaksanaannya pada hasil atau keluaran program. Evaluasi
dapat meliputi koreksi jangka waktu yang lebih lama misalnya 6 bulan, tahunan dan lima
tahunan. Kegiatan evaluasi dilakukan untuk mengkaji relevansi, efisiensi, efektivitas dan
dampak suatu strategi atau kebijakan pengendalian ISPA agar sesuai dengan tujuan yang ingin
dicapai. Hasil evaluasi pelaksanaan seluruh kegiatan pencegahan dan pengendalian ISPA akan
menjadi bahan koreksi masukan bagi perencanaan tahun berikutnya.

Monitoring dan evaluasi pelaksanaan strategi pencegahan dan pengendalian ISPA


memerlukan data dan informasi yang lengkap, akurat, relevan, tepat waktu dan
berkesinambungan. Data dan informasi tersebut diperoleh melalui kegiatan pencatatan dan
pelaporan yng merupakan bagian dari Sistem Informasi P2 ISPA.

Data melalui proses pencatatan dan pelaporan dilengkapi dengan data bersumber dari
kajian dari hasil survei atau penelitian terkait ISPA. Analisis data yang dilakukan akan menjadi
bahan pengukuran kinerja, perencanaan, dan pengembangan strategi pelaksanaan program
P2 ISPA di setiap tingkatan administrasi. Analisis data juga akan dijadikan bahan pembinaan
teknis dan manajemen secara berjenjang.

Pencatatan dan Pelaporan program ISPA terdiri atas:

1. Pelaporan rutin berjenjang dari fasilitas pelayanan kesehatan hingga ke pusat setiap bulan.
Pelaporan rutin kasus ISPA tidak hanya bersumber dari Puskesmas saja tetapi dari semua
fasilitas pelayanan kesehatan baik swasta maupun pemerintah.

38
2. Pelaporan surveilans sentinel ISPA untuk semua golongan umur didapatkan dari lokasi
sentinel setiap bulan.
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT

Variabel yang ada dalam format pencatatan dan pelaporan, meliputi:


- Jumlah kunjungan balita batuk / kesukaran bernapas
- Jumlah balita batuk/ kesukaran bernapas yang dihitung napas atau dilihat TDDK
- Kasus pneumonia berdasarkan golongan umur dan gender
- Kasus pneumonia berat berdasarkan golongan umur dan gender
- Kasus batuk bukan pneumonia berdasarkan golongan umur dan gender
- Jumlah kematian karena pneumonia berdasarkan golongan umur dan gender

Format pencatatan dan pelaporan dapat dilihat pada lampiran 2. Mekanisme yang ditetapkan
dalam pencatatatan dan pelaporan meliputi:

- Semua balita yang berkunjung ke Puskesmas dengan gejala batuk dan atau kesukaran bernapas
dicatat dalam register puskesmas,

- Semua balita dengan gejala batuk atau kesukaran bernapas dilakukan perhitungan frekuensi napas
dan dilihat ada tidaknya tarikan dinding dada bagian bawah kedalam (TDDK),

- Dari hasil hitung napas dan dilihat ada tidaknya TDDK kemudian di klasifikasikan (pneumonia,
pneumonia berat, dan batuk bukan pneumonia) atau didiagnosis berdasarkan manifestasi klinis,

3. Pelaporan khusus kasus KKMMD terkait ISPA.

A. Pencatatan dan Pelaporan Rutin


Pencatatan dan pelaporan rutin ditujukan untuk menilai perkembangan cakupan
kasus pneumonia serta untuk peningkatan pelayanan pneumonia di fasilitas
pelayanan kesehatan.

3
9
hasil perhitungan napas dan ada tidaknya TDDK serta klasifikasi/diagnosis dicatat dalam status
penderita, yang kemudian di

40
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT

Dari hasil pencatatan dan pelaporan dapat dilakukan perhitungan indikator sebagai
berikut :
1. Indikator proses
Persentase Kab/Kota yang 50% Puskesmasnya melakukan Tatalaksana Standar
Pneumonia adalah jumlah kabupaten/ kota yang sebagian (50%) puskesmasnya
telah melaksanakan tatalaksana standar minimal 60 % dari seluruh kunjungan
balita batuk atau kesukaran bernapas.
atau kesukaran bernapas.
Jumlahbalitayangdatang dengan keluhan batuk
dan atau kesukaran bernapas diberikan
yang
Prosentasebalitayang tatalaksana standar
(dihitung napas/dilihat TDDK)
diberikan Tatalaksana Standar
Jumlah kunjungan
balitadengan batuk dan
atau
kesukaran bernapas

b. Di Kabupaten/Kota : Cara menghitung persentase puskesmas yang melaksanakan


Untuk menghitung indikator tersebut dilakukan dalam 3 tahap :

a. Di Puskesmas : Cara menghitung prosentase yang diberikan tatalaksana standar


yaitu jumlah balita batuk dan atau kesukaran bernapas yang dihitung napas atau dilihat
TDDK dibagi seluruh kunjungan balita dengan keluhan batuk dan
tatalaksana standar pneumonia yaitu jumlah puskesmas yang telah melaksanakan
tatalaksana standar minimal 60% dibagi jumlah seluruh puskesmas yang ada
di kab/kota tersebut.
Jumlah Puskesmasyangmelakukan Tatalaksana
Prosentase
Puskesmas yang Standarminimal 60%
melakukan Tatalaksana standar
JumlahPuskesmas yang ada di wilayah Kab/Kota
tersebut.

c. Di Provinsi/Pusat : Cara menghitung persentase kabupaten/kota yang 50%


puskesmasnya telah melaksanakan tatalaksana standar yaitu jumlah kabupaten /kota

41
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT

Jumlah kasus pneumonia balita yang ditemukan


Cakupan Penemuan pada tempat
tertentudalam kurun
waktu1 bulan
Pneumonia Balita
per
bulan Jumlah perkiraan kasus pada tempat
dalamkurun
waktu1 bulan /12 (bulan)

b. Cakupan Penemuan Pneumonia Balita dalam kurun waktu 1 tahun


yang 50% puskesmasnya telah melaksanakan tatalaksana standar dibagi jumlah seluruh
kabupaten/kota yang ada.
Perhitungan cakupan ini digunakan untuk mengevaluasi kinerja program, dan sebagai
langkah awal perhitungan indikator Prosentase Kab/kota dengan cakupan penemuan
pneumonia balita minimal 80%.

Jumlah kasus pneumonia balita yang ditemukan


Cakupan Penemuan pada tempat tertentu dalam kurun waktu 1 tahun
Pneumonia Balita
Jumlah perkiraan kasus pada
tempat tertentu dalam kurun
waktu 1 tahun

3. Prosentase Kab/kota dengan cakupan penemuan pneumonia balita minimal 80%


Jumlah kabupaten/kota dengan cakupan penemuan pneumonia minimal 80% dibagi
dengan jumlah seluruh kabupaten/kota yang ada dalam kurun waktu 1 tahun.

Jumlah Kabupaten/Kota dengan cakupan


Prosentase Kab/kota dengan
penemuan pneumonia minimal
80% cakupan penemuan

42
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT

2 . Laporan Surveilans ILI


- Kegiatan Surveilans ILI ditujukan untuk memperoleh informasi peredaran virus
influenza dari waktu ke waktu melalui pendekatan virologi dan epidemiologi.
Di samping itu, kegiatan ini ditujukan untuk mengindentifikasi besaran masalah
dari influenza yang didasarkan pada pemeriksaan klinis yang juga digunakan
untuk meningkatkan pelayanan influenza khususnya dalam menentukan kebutuhan
pneumonia balita minimal 80%
Jumlah seluruh kabupaten/kota

B. Laporan Surveilans Sentinel

Mempertimbangkan bahwa Indonesia merupakan negara yang sangat luas dengan populasi
yang besar, maka dipandang perlu digunakan metode surveilans sentinel. Hal ini sesuai
dengan rekomendasi WHO tentang Epidemiological Surveillance Standards for Influenza edisi
Juli 2012. Laporan Surveilans Sentinel, terdiri atas : 1) Laporan Sistem Surveilans ISPA Berat
Indonesia (SIBI), dan 2) Laporan Surveilans Influenza Like Illness (ILI).

1 . Laporan SIBI

- Laporan ditujukan untuk mengidentifikasi sirkulasi virus berpotensi pandemi,


dengan demikian surveilans ini merupakan bagian dari pelaksanaan kewaspadaan pandemi.

- Pelaksanaan SIBI merupakan kolaborasi antara Balitbangkes dan Ditjen P2P yang
mempunyai lokasi kegiatan di 2 RS Provinsi dan 4 RS Kabupaten pada 6 Provinsi. Disadari
bahwa data dari hasil surveilans merupakan hasil pada wilayah sentinel dan belum mewakili
Indonesia

- Keterangan rinci dari pencatatan dan pelaporan ini dapat dilihat pada “Petunjuk
Teknis Sistem Surveilans ISPA Berat Indonesia (SIBI) tahun 2013”
logistik dan jenis pelayanan.

- Untuk maksud tersebut telah dipilih masing-masing 1 Puskesmas dari 27 Kabupaten


dalam wilayah 27 Provinsi.

4
3
- Keterangan rinci dari pencatatan dan pelaporan ini dapat dilihat pada “Buku
Pegangan Pelaksanaan Surveilans Epidemiologi dan Virologi Influenza Like Illness (ILI) di
Puksesmas tahun 2015”.

44
4
5
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT

BAB VI
PERAN JAJARAN KESEHATAN, PEMANGKU KEPENTINGAN
DAN MASYARAKAT DALAM PENGENDALIAN ISPA

Pengendalian ISPA Tidak dapat dilaksanakan hanya dari jajaran kesehatan saja namun
harus didukung pemangku kepentingan dan masyarakat agar dapat mencapai tujuan.
Dukungan tersebut diperlukan dalam berbagai kegiatan pengendalian ISPA baik saran,
prasarana, sumber daya manusia dan dana sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-
masing.

Peran jajaran kesehatan, pemangku kepentingan dan masyarakat dalam pengendalian


ISPA dapat dilihat pada tabel berikut ini:
4
7
38 4
9
PEDOMAN PENGENDALIAN INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT

DAFTAR PUSTAKA

1 . Direktorat P2ML, Kemenkes RI (2015). Laporan Tahunan Direktorat Pengendalian


Penyakit Menular Langsung tahun 2015. Jakarta
2 . Ditjen PP & PL, Kemenke RI (2013). Pedoman Pengendalian Infeksi Saluran Pernapasan
Akut. Jakarta.
3. Kementerian PPN/ Bappenas (2014). Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional 2015-2019. Jakarta
4. Kementerian Kesehatan RI (2015). Rencana Strategis Kementerian Kesehatan 2015-
2019. Jakarta.
5. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 02.02/Menkes/117/2015 tentang Data
Pendukung Sasaran Program Pembangunan Kesehatan tahun 2015-2019.
6. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2014 Tentang
Penanggulangan Penyakit Menular.
7. WHO-UNICEF (2009). Global Action Plan for Prevention and Control of Pneumonia
(GAPP) Geneva.

8. Badan Litbangkes, Kemenkes RI (2013). Hasil Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta.
9. Kemenkes RI (2013). Buku Saku Flu Burung.

5
0
51
LAMPIRAN
53
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT

Lampiran 1: Perkiraan Angka insidens Pneumonia Balita


Angka Perkiraan Pneumonia 2015
NO PROVINSI PERKIRAAN KASUS NO PROVINSI PERKIRAAN KASUS

1 Aceh 4.46 18 Nusa Tenggara Barat 6.38

2 Sumatera Utara 2.99 19 Nusa Tenggara Timur 4.28

3 Sumatera Barat 3.91 20 Kalimantan Barat 2.12

4 Riau 2.67 21 Kalimantan Tengah 4.37

5 Jambi 3.15 22 Kalimantan Selatan 5.53

6 Sumatera Selatan 3.61 23 Kalimantan Timur 2.86

7 Bengkulu 2.00 24 Sulawesi UTara 2.68

8 Lampung 2.23 25 Sulawesi Tengah 5.19

9 Kep. Bangka Belitung 6.05 26 Sulawesi Selatan 3.79

10 Kepulauan Riau 3.98 27 Sulawesi Tenggara 3.84

11 DKI Jakarta 4.24 28 Gorontalo 4.84

12 Jawa Barat 4.62 29 Sulawesi Barat 4.88

13 Jawa Tengah 3.61 30 Maluku 3.74

14 DI Yogyakarta 4.32 31 Maluku Utara 2.29

15 Jawa Timur 4.45 32 Papua Barat 2.88

16 Banten 4.12 33 Papua 2.80

54
17 Bali 2.05 NASIONAL 3.55

55
56
57
58
59
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN
PEDOMAN
AKUT PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT

LampiranLampiran
6 Stempel7Tatalaksana
Form PWS ISPA

Contoh : Format Pemantauan


STEMPEL Wilayah Setempat
TATALAKSANA ISPA (PWS) Pneumonia di Tingkat Puskesm

Umur: Tahun PWS Pneumonia


Bulan Batuk: BalitaHariper Bulan/Desa
Gangguan Napas: Hari
Puskesmas: ...................
Tanda
Kabupaten: bahaya:
.................... Tidak bisa minum Kejang
YA / TIDAK
Jumlah Balita: ..................... orangKurang bisa minum Stridor
Sasaran penemuan Pneumonia Balita per tahun
Kesadaran (10% x Jml Balita): Wheezing
menurun .................. orang
Sasaran penemuan Pneumonia Balita Demamper0%
bulan
x Jml
dingin (1Balita
): .................. orang
Gizi Buruk
12
Target Tahun 200 Frekuensi
: A% (Tidaknapasboleh
: kali per
di bawah menit
target nasional)TDDK : YA / TIDAK
Target per bulanA%:= .....% (persentase minimum yang harus dicapai setiap bulan)
• Klasifikasi: Batuk bukan Pneumonia Pneumonia Pneumonia Berat
12
• Tindak lanjut: Rawat jalan Rujuk ke: JUMLA%
JUMLAH KASUS BULAN
NO NAMA DESA SASARA
• Obat yang (1N% Antibiotika: ) JAN FEBMARAPR MEI JUN JUL AGS SEP OK NO DE H
diberikan: 0 BALITA Obat lain: T T T V S

• Nasihat: Kontrol ulang: Hari


Cara minum obat:
Pemberian makanan-minuman:
Faktor Risiko
Kontak Unggas Kontak Penderita Kontak Lingkungan

JUMLAH KASUS
PERSEN (%) KASUS

60
61
62
63
64
65
66
67
68
69
70
71
72
73
74
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT

KONTRIBUTOR

1. Dr. Christina Widaningrum, MKes


2. Dr. Indra Kurnia Sari, MKes
3. Dr. Karnely Helena, MEpid
4. Dr. Indriyono, MPH
5. Imam Subekti, SKM MPH
6. Dr. Ari Baratena
7. Nur Hasan Surowi, SKM MKes
8. Prof. Mardjani Said, Sp.A (K)
9. dr. Monika Saraswati Sitepu, MSc
10. drg.Rudy Kurniawan, MKes
11. Irmawati, SKM MKes
12. M. Edy Hariyanto, SKM MEpid
13. Dr. Ira Wignjadiputro, MEpid
14. Dr. Rian Hermana
15. Dinasti Mularsih, SKM
16. Indra lalu, SKep
17. Netty, SKM MKes
18. Widia Noviyanti, SKM
19. Ari Yuliandi, SH
20. Riana Purba, SKM
21. Dr. Sahiyatun N.
22. Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah
23. Dinas Kesehatan Kabupaten Jawa Tengah

65

Anda mungkin juga menyukai