Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

Anestesi merupakan tindakan menghilangkan nyeri dan rumatan pasien sebelum, se


lama dan sesudah pembedahan. Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-"tidak,
tanpa" dan aesthtos, "persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu
tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur
lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Istilah anestesi digunakan pertama kali oleh
Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun 1846.1
Setiap pembedahan akan menjalani prosedur anestesi.2 Diperkirakan bahwa sekitar
2% wanita hamil menjalani anestesi selama kehamilan, untuk operasi yang tidak terkait
dengan persalinan. Angka ini mungkin jauh lebih tinggi pada trimester pertama dimana
kehamilan mungkin tidak terdeteksi pada saat operasi. Sekitar 42% dari prosedur terjadi pada
trimester pertama, 35% selama trimester kedua dan 23% selama trimester ketiga.3 Usus
buntu, torsi ovarium dan trauma adalah indikasi yang lebih umum untuk intervensi bedah.
Untuk memberikan anestesi yang aman bagi ibu dan janin, perlu pertimbangan mengenai
perubahan fisiologis dan farmakologis yang terjadi selama kehamilan, karena perubahan ini
dapat menimbulkan bahaya bagi mereka berdua.4
Seperti yang diuraikan diatas bahwa tindakan anestesi selama kehamilan, diperlukan
pertimbangan yang baik untuk keselamatan ibu dan janin. Oleh karena itu diperlukan
manejemen dalam melakukan anestesi terhadap ibu hamil selama preoperatif, durante
operatif serta post operatif.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perubahan Fisiologis Ibu Hamil


Pada masa kehamilan ada beberapa perubahan pada hampir semua sistem organ pada
maternal. Perubahan ini diawali dengan adanya sekresi hormon dari korpus luteum dan
plasenta. Efek mekanis pada pembesaran uterus dan kompresi dari struktur sekitar uterus
memegang peranan penting pada trimester kedua dan ketiga. Perubahan fisiologis seperti ini
memiliki implikasi yang relevan bagi dokter anestesi untuk memberikan perawatan bagi
pasien hamil. Perubahan yang relevan meliputi perubahan fungsi hematologi,
kardiovaskular, ventilasi, metabolik, dan gastrointestinal.5
2.1.1 Berat Badan dan Komposisi
Berat badan (BB) rata-rata meningkat selama kehamilan kira-kira 17% dari BB
sebelum hamil atau kira-kira 12 kg. Penambahan berat badan adalah akibat dari peningkatan
ukuran uterus dan isi uterus (uterus 1 kg, cairan amnion 1 kg, fetus dan plasenta 4 kg),
peningkatan volume darah dan cairan interstitial (masing-masing 2 kg), dan lemak serta
protein baru kira-kira 4 kg. Penambahan BB normal selama trimester pertama adalah 1-2 kg
dan masing-masing 5-6 kg pada trimester 2 dan 3.5
Implikasi Klinisnya:
Konsumsi oksigen meningkat sehingga harus diberikan oksigen sebelum induksi
anestesi umum. Penusukan spinal atau epidural anestesi menjadi lebih sulit. Karena
penambahan berat badan dan penambahan besar buah dada kemungkinan menimbulkan
kesulitan intubasi.6
2.1.2 Perubahan Kardiovaskular
Sistem kardiovaskular beradaptasi selama masa kehamilan terhadap beberapa
perubahan yang terjadi. Meskipun perubahan sistem kardiovaskular terlihat pada awal
trimester pertama, perubahan pada sistem kardiovaskular berlanjut ke trimester kedua dan
ketiga, ketika cardiac output meningkat kurang lebih sebanyak 40 % daripada pada wanita
yang tidak hamil. Cardiac output meningkat dari minggu kelima kehamilan dan mencapai
tingkat maksimum sekitar minggu ke-32 kehamilan, setelah itu hanya mengalami sedikit
peningkatan sampai masa persalinan, kelahiran, dan masa post partum. Sekitar 50%
peningkatan dari cardiac output telah terjadi pada masa minggu kedelapan kehamilan.
Meskipun, peningkatan dari cardiac output dikarenakan adanya peningkatan dari volume

2
sekuncup dan denyut jantung, faktor paling penting adalah volume sekuncup, dimana
meningkat sebanyak 20% sampai 50% lebih banyak daripada pada wanita tidak hamil.
Perubahan denyut jantung sangat sulit untuk dihitung, tetapi diperkirakan ada peningkatan
sekitar 20% yang terlihat pada minggu keempat kehamilan. Meskipun, angka normal dalam
denyut jantung tidak berubah dalam masa kehamilan, adanya terlihat penurunan komponen
simpatis.5
Pada trimester kedua, kompresi aortocava oleh pembesaran uterus menjadi penting
secara progresif, mencapai titik maksimum pada minggu ke- 36 dan 38, setelah itu dapat
menurunkan perpindahan posisi kepala fetal menuju pelvis. Penelitian mengenai cardiac
output, diukur ketika pasien berada pada posisi supine selama minggu terakhir kehamilan,
menunjukkan bahwa ada penurunan dibandingkan pada wanita yang tidak hamil, penurunan
ini tidak diobservasi ketika pasien berada dalam posisi lateral decubitus. Sindrom hipotensi
supine, yang terjadi pada 10 % wanita hamil dikarenakan adanya oklusi pada vena yang
mengakibatkan terjadinya takikardi maternal, hipotensi arterial, penurunan kesadaran, dan
pucat. Kompresi pada aorta yang dibawah dari posisi ini mengakibatkan penurunan perfusi
uteroplasental dan mengakibatkan terjadinya asfiksia pada fetus. Oleh karena itu,
perpindahan posisi uterus dan perpindahan posisi pelvis ke arah lateral harus dilakukan secara
rutin selama trimester kedua dan ketiga dari kehamilan.5
Naiknya posisi diafragma mengakibatkan perpindahan posisi jantung dalam dada,
sehingga terlihat adanya pembesaran jantung pada gambaran radiologis dan deviasi aksis kiri
dan perubahan gelombang T pada elektrokardiogram (EKG). Pada pemeriksaan fisik sering
ditemukan adanya murmur sistrolik dan suara jantung satu yang terbagi-bagi. Suara jantung
tiga juga dapat terdengar. Beberapa pasien juga terlihat mengalami efusi perikardial kecil dan
asimptomatik.5
Implikasi Klinis:
Peningkatan curah jantung mungkin tidak dapat ditoleransi oleh wanita hamil dengan
penyakit katup jantung (misalnya stenosis aorta, stenosis mitral) atau penyakit jantung
koroner. Dekompensasio jantung berat dapat terjadi pada 24 minggu kehamilan, selama
persalinan, dan segera setelah melahirkan.6
2.1.3 Perubahan Hematologi
Volume darah maternal mulai meningkat pada awal masa kehamilan sebagai akibat
dari perubahan osmoregulasi dan sistem renin- angiotensin, menyebabkan terjadinya retensi
sodium dan peningkatan dari total body water menjadi 8,5 L. Pada masanya, volume darah
meningkat sampai 45 % dimana volume sel darah merah hanya meningkat sampai 30%.

3
Perbedaan peningkatan ini dapat menyebabkan terjadinya ”anemia fisiologis” dalam
kehamilan dengan hemoglobin rata rata 11.6 g/dl dan hematokrit 35.5%.
Bagaimanapun, transpor oksigen tidak terganggu oleh anemia relatif ini, karena tubuh
sang ibu memberikan kompensasi dengan cara meningkatkan curah jantung, peningkatan
PaO2, dan pergeseran ke kanan dari kurva disosiasi oxyhemoglobin.7
Kehamilan sering diasosiasikan dengan keadaan hiperkoagulasi yang memberikan
keuntungan dalam membatasi terjadinya kehilangan darah saat proses persalinan.
Konsentrasi fibrinogen dan faktor VII,VIII, IX,X,XII, hanya faktor XI yang mungkin
mengalami penurunan. Fibrinolisis secara cepat dapat diobservasi kemudian pada trimester
ketiga. Sebagai efek dari anemia dilusi, leukositosis dan penurunan dari jumlah platelet
sebanyak 10 % mungkin saja terjadi selama trimester ketiga. Karena kebutuhan fetus, anemia
defisiensi folat dan zat besi mungkin saja terjadi jika suplementasi dari zat gizi ini tidak
terpenuhi. Imunitas sel ditandai mengalami penurunan dan meningkatkan kemungkinan
terjadinya infeksi viral.7
Implikasi Klinis:
Peningkatan volume darah mempunyai beberapa fungsi penting yaitu untuk
memenuhi kebutuhan akibat pembesaran uterus dan unit feto-plasenta, mengisi reservoir
vena, melindungi ibu dari perdarahan akibat melahirkan, dan karena ibu menjadi
hipercoagulabel selama proses kehamilan. Keadaan ini berlangsung sampai 8 minggu setelah
melahirkan.6
2.1.4 Perubahan Sistem Respirasi
Adaptasi respirasi selama kehamilan dirancang untuk mengoptimalkan oksigenasi ibu
dan janin, serta memfasilitasi perpindahan produk sisa CO2 dari janin ke ibu.5
Konsumsi oksigen dan ventilasi semenit meningkat secara progresif selam masa
kehamilan. Volume tidal dan dalam angka yang lebih kecil, laju pernafasan meningkat. Pada
aterm konsumsi oksigen akan meningkat sekitar 20-50% dan ventilasi semenit meningkat
hingga 50%. PaCO2 menurun sekitar 28-32mm Hg. Alkalosis respiratorik dihindari melalui
mekanisme kompensasi yaitu penurunan konsentrasi plasma bikarbonat. Hiperventilasi juga
dapat meningkatkan PaO2 secara perlahan. Peningkatan dari 2,3-difosfogliserat mengurangi
efek hiperventilasi dalam afinitas hemoglobin dengan oksigen. Tekanan parsial oksigen
dimana hemoglobin mencapai setengah saturasi ketika berikatan dengan oksigen meningkat
dari 27 ke 30 mm Hg. hubungan antara masa akhir kehamilan dengan peningkatan curah
jantung memicu perfusi jaringan.7

4
Posisi dari diafragma terdorong ke atas akibat dari pembesaran uterus dan umumnya
diikuti pembesaran dari diameter anteroposterior dan transversal dari cavum thorax. Mulai
bulan ke lima, expiratory reserve volume, residual volume,dan functional residual capacity
menurun, mendekati akhir masa kehamilan menurun sebanyak 20 % dibandingkan pada
wanita yang tidak hamil. Secara umum, ditemukan peningkatan dari inspiratory reserve
volume sehingga kapasitas paru total tidak mengalami perubahan. Pada sebagian ibu hamil,
penurunan functional residual capacity tidak menyebabkan masalah, tetapi bagi mereka yang
mengalami perubahan pada closing volume lebih awal sebagai akibat dari merokok, obesitas,
atau skoliosis dapat mengalami hambatan jalan nafas awal dengan kehamilan lanjut yang
menyebabkan hipoksemia. Manuver tredelenburg dan posisi supin juga dapat mengurangi
hubungan abnormal antara closing volume dan functional residual capacity. Volume residual
dan functional residual capacity kembali normal setelah proses persalinan.8
Implikasi Klinisnya:
Penurunan FRC, peningkatan ventilasi semenit, serta adanya penurunan MAC akan
menyebabkan paturien lebih sensitive terhadap anestetika inhalasi daripada wanita yang tidak
hamil, disebabkan karena peningkatan edema, vaskularisasi, fragilitas membran mukosa,
harus dihindari intubasi nasal, dan digunakan pipa endotrakhea yang lebih kecil daripada
untuk wanita yang tidak hamil.6
2.1.5. Perubahan Sistem Renal
Vasodilatasi renal mengakibatkan peningkatan aliran darah renal pada awal masa
kehamilan tetapi autoregulasi tetap terjaga. Ginjal umumnya membesar. Peningkatan dari
renin dan aldosterone mengakibatkan terjadinya retensi sodium. Aliran plasma renal dan laju
filtrasi glomerulus meningkat sebanyak 50% selama trimester pertama dan laju filtrasi
glomerulus menurun menuju ke batas normal pada trimester ketiga. Serum kreatinin dan
Blood Urea Nitrogen (BUN) mungkin menurun menjadi 0.5-0.6 mg/dL dan 8-9mg/dL.
Penurunan threshold dari tubulus renal untuk glukosa dan asam amino umum dan sering
mengakibatkan glukosuria ringan(1-10g/dL) atau proteinuria (<300 mg/dL). Osmolalitas
plasma menurun sekitar 8-10 mOsm/kg.5
Implikasi Klinis:
Kadar normal BUN dan kreatinin parturien 40% lebih rendah dari wanita yang tidak
hamil, maka bila BUN dan kreatinin sama seperti wanita yang tidak hamil menunjukkan
adanya fungsi ginjal yang abnormal.6

5
2.1.6. Perubahan pada Sistem Gastrointestinal
Fungsi gastrointestinal dalam masa kehamilan dan selama persalinan menjadi topik
yang kontroversial. Namun, dapat dipastikan bahwa traktus gastrointestinal mengalami
perubahan anatomis dan fisiologis yang meningkatkan resiko terjadinya aspirasi yang
berhubungan dengan anestesi general.5
Refluks gastroesofagus dan esofagitis adalah umum selama masa kehamilan.
Disposisi dari abdomen ke arah atas dan anterior memicu ketidakmampuan dari sfingter
gastroesofagus. Peningkatan kadar progestron menurunkan tonus dari sfingter gastroesofagus,
dimana sekresi gastrin dari plasenta menyebabkan hipersekresi asam lambung. Faktor
tersebut menempatkan wanita yang akan melahirkan pada resiko tinggi terjadinya regurgitasi
dan aspirasi pulmonal. Tekanan intragaster tetap tidak mengalami perubahan. Banyak
pendapat yang menyatakan mengenai pengosongan lambung. Beberapa penelitian
melaporkan bahwa pengosongan lambung normal bertahan sampai masa persalinan. Di
samping itu,hampir semua ibu hamil memiliki pH lambung di bawah 2.5 dan lebih dari 60%
dari mereka memiliki volume lambung lebih dari 25mL. kedua faktor tersbut telah
dihubungkan memiliki resiko terhadap terjadinya aspirasi pneumonitis berat. Opioid dan
antikolinergik menurunkan tekanan sfingter esofagus bawah, dapat memfasilitasi terjadinya
refluks gastroesofagus dan penundaan pengosongan lambung. Efek fisiologis ini bersamaan
dengan ingesti makanan terakhir sebelum proses persalinan dan penundaan pengosongan
lambung mengakibatkan nyeri persalinan dan merupakan faktor predisposisi pada ibu hamil
akan terjadinya muntah dan mual.5
Implikasi Klinis:
Wanita hamil harus selalu dianggap lambung penuh tanpa melihat lama puasa
prabedah. Bila mungkin anestesi umum dihindari. Dianjurkan penggunaan rutin antacid non-
partikel. Perubahan gastrointestinal akan kembali dalam 6 minggu postpartum.6
2.1.7. Perubahan Sistem Saraf Pusat dan Perifer
Konsentrasi alveolar minimum menurun secara progresif selama masa kehamilan.
Pada masa aterm menurun sekitar 40% untuk semua anestesi general. Namun, konsentrasi
alveolar minimum kembali normal pada hari ketiga pasca kelahiran. Perubahan kadar
hormon maternal dan opioid endogen telah dibuktikan. Progestron yang memiliki efek sedasi
ketika diberikan dalam dosis farmakologis, meningkat sekitar 20 kali lebih tinggi daripada
normal pada masa aterm dan kemungkinan berefek kecil dalam observasi. Peningkatan secara
signifikan kadar endorfin juga memegang peranan penting dalam masa persalinan dan
kelahiran. Wanita hamil menunjukkan peningkatan sensitivitas terhadap kedua jenis anestesi

6
baik regional maupun general. Dari awal periode pemasukan anestesi secara neuraxial,
wanita hamil membutuhkan lebih sedikit anestesi lokal daripada wanita yang tidak hamil
untuk mencapai level dermatom sensorik yang diberikan. Minimum local analgesic
concentration (MLAC) digunakan dalam anestesi obstetrik untuk membandingkan potensi
relatif dari anestesi lokal dan MLAC didefinisikan sebagai median dari konsentrasi
analgesik efektif dalam 20 ml volume untuk analgesi epidural dalam periode awal persalinan.
Obstruksi dari vena cava inferior karena pembesaran uterus mengakibatkan distensi dari vena
pleksus epidural dan meningkatkan volume darah epidural. Yang mendekati masa akhir
kehamilan menghasilkan tiga efek mayor : (1) penurunan volume cairan serebrospinal, (2)
penurunan volume potensial dari ruang epidural, (3) peningkatan tekanan ruang epidural. Dua
efek awal memicu penyebaran sefalad dari cairan anestesi lokal selama anestesi spinal dan
epidural, dimana efek yang terakhir mungkin menjadi predisposisi dalam insidensi lebih
tinggi dari punksi dural dengan anestesi epidural.5,9
Implikasi Klinisnya:
Dosis anestestika lokal harus dikurangi. Peningkatan sensitivitas anestesi lokal yang
digunakan untuk spinal dan epidural analgesia terjadi sampai 36 jam postpartum.6
2.1.8. Perubahan Sistem Muskoloskeletal
Kenaikan kadar relaksin selama masa kehamilan membantu persiapan kelahiran
dengan melemaskan serviks, menghambat kontraksi uterus, dan relaksasi dari simfisis pubis
dan sendi pelvik. Relaksasi ligamen menyebabkan peningkatan risiko terjadinya cedera
punggung. Kemudian dapat berkontribusi dalam insidensi nyeri punggung dalam kehamilan.5
Implikasi Klinis:
Relaksasi ligament dan jaringan kolagen dari columna vertebralis merupakan sebab
utama dari terjadinya lordosis selama kehamilan, yang menyulitkan dilakukan spinal atau
epidural analgesi.6
2.1.9. Sirkulasi Uteroplasental
Sirkulasi uteroplasental normal sangat dibutuhkan dalam perkembangan dan
perawatan untuk fetus yang sehat. Insufiensi sirkulasi uteroplasental dapat menjadi penyebab
utama dalam retardasi pertumbuhan fetal intrauterin dan ketika menjadi parah dapat
mengakibatkan kematian fetus. Integrasi dari sirkulasi bergantung pada aliran darah uterus
yang adekuat dan fungsi normal plasenta. Aliran darah uterin meningkat secara progresif
selama kehamilan dan mencapai nilai rata rata antara 500ml sampai 700ml di masa aterm.7
Aliran darah melalui pembuluh darah uterus sangat tinggi dan memiliki resistensi
rendah. Perubahan dalam resistensi terjadi setelah 20 minggu masa gestasi. Aliran darah

7
uterus kurang memiliki mekanisme autoregulasi (pembuluh darah dilatasi maksimal selama
masa kehamilan) dan aliran arteri uterin sangat bergantung pada tekanan darah maternal dan
curah jantung. Hasilnya, faktor yang mempengaruhi perubahan aliran darah melalui uterus
dapat memberikan efek berbahaya pada suplai darah fetus.9
Aliran darah uterin menurun selama periode hipotensi maternal, dimana hal tersebut
terjadi dikarenakan hipovolemia, perdarahan, dan kompresi aortocaval, dan blokade simpatis.
Hal serupa, kontraksi uterus (kondisi yang meningkatkan frekuensi atau durasi kontraksi
uterus) dan perubahan tonus vaskular uterus yang dapat terlihat dalam status hipertensi
mengakibatkan gangguan pada aliran darah.5,7

2.2 Penatalaksanaan Anestesi Pada Kehamilan


Dalam rangka untuk memberikan anestesi yang aman bagi ibu dan janin, adalah
penting untuk mengingat perubahan fisiologis dan farmakologis yang menjadi ciri tiga
trimester kehamilan; perubahan ini dapat menimbulkan bahaya bagi mereka berdua. Dokter
anestesi memiliki tujuan sebagai berikut: 9
a. Mengoptimalkan dan menjaga fungsi fisiologis normal pada ibu
b. Mengoptimalkan dan menjaga aliran darah utero-plasenta dan pemberian oksigen
c. Menghindari efek obat yang tidak diinginkan pada janin
d. Menghindari merangsang miometrium (efek oxytocic)
2.2.1 Penatalaksanaan Anestesi Pada Operasi Obstetri Pada Kehamilan
2.2.1.1 Anestesi Lokal
Macam-macam anestesi lokal
a) Infiltrasi langsung di sekitar luka
Inervasi saraf di sekitar perineum berasal dari nervus pudendus. Untuk luka perineum tingkat
pertama dan kedua, cukup dilakukan infiltrasi lokal di sekitar lokasi jahitan luka.
Bahan analgesia yang lazim dipergunakan adalah lidokain (2-3 ampul, untuk sisi kanan dan
kiri). Selanjutnya ditunggu dua menit, dan jahitan terhadap luka episiotomi dapat dilakukan
dengan aman dan tenang.1
b) Blok nervus pudendus
Nervus pudendus menyarafi otot levator ani, dan otot perineum profunda serta superfisialis.
Dengan memblok saraf pudendus, akan tercapai anestesi setempat sehingga memudahkan
operator untuk melakukan reparasi terhadap perineum yang mengalami robekan. Teknik blok
saraf pudendus:
a. Siapkan 10 cc larutan lidokain 0,5-1% untuk anestesia.

8
b. Tangan kanan dimasukkan kedalam vagina untuk mencapai spina iskiadika.
c. Jarum suntik ditusukkan sampai menembus ujung ligamentum sakrospinarium, tepat
dibelakang spina iskiadika.
d. Kemudian jarum diarahkan agak ke inferolateralis, dilakukan aspirasi, untuk
menghindarkan masuknya obat anestesi lokal ke dalam pembuluh darah.
e. Suntikan diberikan sebanyak 10 cc dan ditunggu selama 2-5 menit sehingga efek anestesi
tercapai.1
Komplikasi anestesi lokal
Komplikasi terjadi bila anestesia lokal masuk ke dalam pembuluh darah, sehingga
menimbulkan intoksikasi susunan saraf pusat. Oleh karena itu harus dilakukan upaya untuk
menghindarkan masuknya obat anestesi ke dalam pembuluh darah, dengan jalan melakukan
aspirasi, sebelum penyuntikan dilakukan. Gejala intoksikasi obat anestesi lokal adalah :
a. Pusing dan kepala terasa ringan
b. Tinitus
c. Perilaku aneh
d. Kejang
e. Terdapat gangguan pernapasan
f. Intoksikasi pada sistem kardiovaskuler, dengan gejala awal hipertensi dan takikardi,
kemudian diikuti hipotensi dan bradikardi.1,6
Penanganan intoksikasi obat anestesi lokal yang masuk ke pembuluh darah. Bila
terjadi kejang, dapat diatasi dengan memberikan :
a. Pentotal
b. Valium
Bila terjadi gangguan pada sistem kardiovaskuler:
a. Berikan infus secepatnya
b. Berikan efedrin hingga tekanan darah naik
c. Bila keadaan pasien gawat, maka pasien dapat dirujuk ke rumah sakit yang mempunyai
fasilitas cukup.
d. Apabila dalam melakukan pertolongan sederhana, diperkirakan dapat terjadi komplikasi
yang serius, maka pasien perlu dipasangi infus, karena akan memudahkan pemberian obat-
obat antidotum (jika diperlukan).1,6

9
2.2.1.2 Anestesi Regional
Pelaksanaan blok epidural / blok spinal bersifat spesialistik, sehingga sebaiknya
diserahkan kepada dokter ahli anastesia. Sebagai gambaran, berikut ini dikemukakan
beberapa hal tentang anastesia epidural atau spinal.
Dalam melakukan tindakan kecil pada obstetri dan ginekologi, seperti : penjahitan
kembali luka episiotomi, dilatasi dan kuretase, atau biopsi dianjurkan untuk melakukan
anastesia secara intravena (lebih mudah dan aman). Dinegara yang sudah maju, kebanyakan
kasus persalinannya memerlukan tindakan anastesia lumbal, sakral, atau kaudal.9
Analgesi/blok epidural (lumbal) : sering digunakan untuk persalinan pervaginam.
Anestesi epidural atau spinal : sering digunakan untuk persalinan perabdominam/sc
Keuntungan :
a. Mengurangi pemakaian narkotik sistemik sehingga kejadian depresi janin dapat
dicegah/dikurangi.
b. Ibu tetap dalam keadaan sadar dan dapat berpartisipasi aktif dalam persalinan.
c. Risiko aspirasi pulmonal minimal (dibandingkan pada tindakan anestesi umum)
d. Jika dalam perjalanannya diperlukan sectio cesarea, jalur obat anestesia regional sudah
siap.9
Kerugian :
a. Hipotensi akibat vasodilatasi (blok simpatis)
b. Waktu mula kerja (time of onset) lebih lama
c. Kemungkinan terjadi sakit kepala pasca punksi. (Post Dural Punction Headache/ PDPH)
d.Untuk persalinan per vaginam, stimulus nyeri dan kontraksi dapat menurun, sehingga
kemajuan persalinan dapat menjadi lebih lambat.9
Kontraindikasi :
a. Pasien menolak
b. Insufisiensi utero-plasenta
c. Syok hipovolemik
d. Infeksi / inflamasi / tumor pada lokasi injeksi
e. Sepsis
f. Gangguan pembekuan
g. Kelainan SSP tertentu 9
Teknik :
1. Pasang line infus dengan diameter besar, berikan 500-1000 cc cairan kristaloid (Ringer
Laktat).

10
2. 15-30 menit sebelum anestesi, berikan antasida
3. Observasi tanda vital
4. Epidural : posisi pasien lateral dekubitus atau duduk membungkuk, dilakukan punksi
antara vertebra L2-L5 (umumnya L3-L4) dengan jarum/trokard. Ruang epidural dicapai
dengan perasaan “hilangnya tahanan” pada saat jarum menembus ligamentum flavum.
5. Spinal / subaraknoid : posisi lateral dekubitus atau duduk, dilakukan punksi antara L3-
L4 (di daerah cauda equina medulla spinalis), dengan jarum / trokard. Setelah
menembus ligamentum flavum (hilang tahanan), tusukan diteruskan sampai menembus
selaput duramater, mencapai ruangan subaraknoid. Identifikasi adalah dengan
keluarnya cairan cerebrospinal, jika stylet ditarik perlahan-lahan.
6. Kemudian obat anestetik diinjeksikan ke dalam ruang epidural / subaraknoid.
7. Keberhasilan anestesi diuji dengan tes sensorik pada daerah operasi, menggunakan
jarum halus atau kapas.
8. Jika dipakai kateter untuk anestesi, dilakukan fiksasi. Daerah punksi ditutup dengan kasa
dan plester.
9. Kemudian posisi pasien diatur pada posisi operasi / tindakan selanjutnya.9

Obat anestetik yang digunakan


Lidocain 1-5%, bupivacain 0.25-0.75%, atau chlorprocain 2-3% .Dosis yang dipakai
untuk anestesi epidural lebih tinggi daripada untuk anestesi spinal.10

Komplikasi yang mungkin terjadi


Jika terjadi injeksi subarachnoid yang tidak diketahui pada rencana anestesi epidural
dapat terjadi total spinal anesthesia, karena dosis yang dipakai lebih tinggi. Gejala berupa
nausea, hipotensi dan kehilangan kesadaran, dapat sampai disertai henti napas dan henti
jantung. Pasien harus diatur dalam posisi telentang / supine, dengan uterus digeser ke kiri,
dilakukan ventilasi O2 100% dengan mask disertai penekanan tulang cricoid, kemudian
dilakukan intubasi. Hipotensi ditangani dengan memberikan cairan intravena dan ephedrine.6
Injeksi intravaskular ditandai dengan gangguan penglihatan, tinitus, dan kehilangan
kesadaran. Kadang terjadi juga serangan kejang. Harus dilakukan intubasi pada pasien,
menggunakan 1.0 – 1.5 mg/kgBB suksinilkolin, dan dilakukan hiperventilasi untuk mengatasi
asidosis metabolik.9

11
Komplikasi neurologik yang sering adalah rasa sakit kepala setelah punksi dura.
Terapi dengan istirahat baring total, hidrasi (>3 L/hari), analgesik, dan pengikat / korset perut
(abdominal binder).9

2.2.1.3 Anestesi Umum


Tindakan anestesi umum digunakan untuk persalinan per abdominam / sectio cesarea.
Indikasi :
a. Gawat janin.
b. Ada kontraindikasi atau keberatan terhadap anestesia regional.
c. Diperlukan keadaan relaksasi uterus.1,9
Keuntungan :
a. Induksi cepat.
b. Pengendalian jalan napas dan pernapasan optimal.
c. Risiko hipotensi dan instabilitas kardiovaskular lebih rendah.9
Kerugian :
a. Risiko aspirasi pada ibu lebih besar.
b. Dapat terjadi depresi janin akibat pengaruh obat.
c. Hiperventilasi pada ibu dapat menyebabkan terjadinya hipoksemia dan asidosis pada janin.
d. Kesulitan melakukan intubasi tetap merupakan penyebab utama mortalitas dan morbiditas
maternal.9
Teknik :
1. Pasang line infus dengan diameter besar, antasida diberikan 15-30 menit sebelum operasi,
observasi tanda vital, pasien diposisikan dengan uterus digeser / dimiringkan ke kiri.
2. Dilakukan preoksigenasi dengan O2 100% selama 3 menit, atau pasien diminta melakukan
pernapasan dalam sebanyak 5 sampai 10 kali.
3. Setelah regio abdomen dibersihkan dan dipersiapkan, dan operator siap, dilakukan rapid-
sequence induction dengan propofol 2 – 2.5 mg/kgBB atau ketamine 1-2mg/kg dan 1,5
mg/kgBB suksinilkolin.
4. Dilakukan penekanan krikoid, dilakukan intubasi, dan balon pipa endotrakeal
dikembangkan. Dialirkan ventilasi dengan tekanan positif.
5. O2-N2O 50%-50% diberikan melalui inhalasi, dan suksinilkolin diinjeksikan melalui
infus. Dapat juga ditambahkan inhalasi 1.0% sevofluran, 0.75% isofluran, atau 0.5%
halotan, sampai janin dilahirkan, untuk mencegah ibu bangun.

12
6. Obat inhalasi dihentikan setelah tali pusat dijepit, karena obat-obat tersebut dapat
menyebabkan atonia uteri.
7. Setelah melahirkan bayi dan plasenta, 20 IU oksitosin didrip IV dan 0,2 mg methergin IM/
dalam 100 ml normal salin di drip perlahan.
8. Setelah itu, untuk maintenance anestesi digunakan teknik balans (N2O/narkotik/relaksan),
atau jika ada hipertensi, anestetik inhalasi yang kuat juga dapat digunakan dengan
konsentrasi rendah.
9. Ekstubasi dilakukan setelah pasien sadar.9

2.2.2 Penatalaksanaan Anestesi Pada Operasi non Obstetri Pada Kehamilan


2.2.2.1 Penilaian Pre-operatif
Tindakan anestesi selama kehamilan perlu melibatkan hubungan dekat dengan dokter
kandungan dan termasuk penilaian USG dari janin selain itu juga diperlukan konsultasi
dengan Neonatologist. Selama penyelidikan radiologi, paparan janin harus diminimalkan.
Hasil tes darah yang relevan harus tersedia.3,4
Pra-pengobatan harus selalu menyertakan profilaksis aspirasi seperti ranitidin sitrat,
natrium dan metoclopramide. Premedikasi anxiolysis (Misalnya, midazolam 1 mg) mungkin
diperlukan untuk cemas nifas, seperti katekolamin tinggi dapat menurunkan rahim aliran
darah. Analgesia harus diresepkan mana yang tepat untuk menghindari efek merusak dari
stres pada ibu dan janin. Non-steroid anti-inflamasi obat harus dihindari, karena risiko
penutupan prematur duktus arteriosus. Namun, aspirin dosis rendah, bahkan ketika diminum
secara teratur, tampaknya aman dalam hal ini.4,11
2.2.2.2 Pertimbangan Obat
Antara 15 dan 56 hari kehamilan, embrio manusia dikatakan paling rentan terhadap
efek teratogenik obat. Sejak tahun 1978, sebagian besar obat yang digunakan dalam obat-
obatan dan anestesi telah ditetapkan kode dalam Katalog Swedia Specialities Farmasi
Terdaftar ( Fass). Kode-kode ini panduan untuk pilihan yang sesuai dari agen sehubungan
dengan efek pada janin, plasenta dan rahim-plasenta aliran darah, dan kemungkinan aborsi.
Studi hasil dalam jumlah besar perempuan yang menjalani operasi selama kehamilan
menunjukkan tidak ada peningkatan kelainan bawaan, tetapi risiko yang lebih besar dari
pembatasan aborsi, pertumbuhan dan berat badan lahir rendah. Studi ini menyimpulkan
bahwa masalah dihasilkan dari penyakit primer atau prosedur bedah itu sendiri daripada
paparan anestesi.8,11

13
Meskipun data yang tersedia tidak lengkap, penelitian menunjukkan bahwa pemberian
suatu analgesik, hipnotis opioid atau obat penenang tidak akan memiliki efek merusak pada
embrio atau perkembangan janin. Konsensus saat ini adalah bahwa benzodiazepin tidak
teratogenik dan dosis tunggal tampaknya aman. Karena kekhawatiran tentang peningkatan
risiko sumbing, penggunaan biasa, terutama pada trimester pertama, mungkin harus
dihindari.8
2.2.2.3 Anestesi dan gestasi
Operasi elektif sebaiknya tidak dilakukan sama sekali selama kehamilan. Operasi
darurat harus melanjutkan tanpa memandang usia kehamilan dan tujuan utama adalah untuk
melestarikan kehidupan ibu. Dimana layak, operasi sering ditunda sampai trimester kedua
untuk mengurangi resiko teratogenitas dan keguguran, meskipun tidak ada bukti kuat untuk
mendukung hal ini.6
2.2.2.4 Anestesi pada Trimester Pertama
Setelah 6-8 minggu kehamilan, jantung, hemodinamik, pernafasan, parameter
metabolik dan farmakologis yang jauh berubah. Dengan peningkatan ventilasi menit dan
konsumsi oksigen dan penurunan dalam cadangan oksigen (penurunan kapasitas residu
fungsional dan volume residu), wanita hamil menjadi lebih cepat hypoxaemic. Oksigen harus
selalu diberikan selama periode rentan untuk mempertahankan oksigenasi.6,12
Manajemen jalan napas oleh masker wajah, masker laring atau intubasi trakea bisa
secara teknis sulit karena diameter anteroposterior dinding dada meningkat, pembesaran
payudara, edema laring dan berat badan mempengaruhi jaringan lunak leher. Canul nasal
harus dihindari dalam kehamilan karena peningkatan vaskularisasi selaput lendir. Penurunan
konsentrasi cholinesterase plasma sebanyak 30% secara teori menyebabkan succinylcholine,
anestesi lokal ester memiliki efek yang lebih lama. 12
Aspirasi profilaksis dianjurkan dari awal trimester kedua. Kehamilan berhubungan
dengan persyaratan anestesi yang lebih rendah, meskipun mekanisme ini tidak diketahui.
Konsentrasi minimum alveolar (MAC) untuk anestesi inhalasi berkurang sebesar 30% sedini
8-12 minggu kehamilan. Obat IV yang menginduksi anestesi umum juga harus diberikan
dalam dosis yang lebih rendah.12
Kesejahteraan janin harus dinilai oleh USG atau Doppler sebelum dan setelah anestesi
dan pembedahan. Karena peningkatan risiko hipoksemia, kesulitan dengan intubasi, aspirasi
asam dan risiko bagi janin, anestesi regional lebih dipilih dari anestesi umum jika keadaan
memungkinkan.12

14
2.2.2.5 Anestesi pada trimester kedua
Kompresi Aortocaval adalah bahaya yang paling ditakutkan pada operasi ibu hamil
dengan usia gestasi lebih dari 20 minggu. Karena berat uterus dapat mendesak vena inferior
yang mengakibatkan penurunan aliran vena dan cardiac output. Sehingga mengakibatkan
penurunan aliran darah uterus-plasenta. Hal ini dapat terjadi pada bebepa wanita hamil
dengan posisi telentang. Biasanya keadaan ini dapat dikompensasi dengan vasokontriksi dan
takikardi pada ekstremitas atas. Efek ini dapat diperburuk oleh regional atau anestesi umum
ketika mekanisme kompensasi normal dilemahkan atau dihapuskan. Aortocaval kompresi
dapat dihindari dengan menggunakan posisi lateral. Hal ini juga dapat dikurangi dengan
perpindahan rahim melalui wedging atau perpindahan manual.12
Kehamilan berhubungan dengan keadaan hiperkoagulasi karena peningkatan pro-
koagulan faktor. Insiden komplikasi tromboembolik setidaknya lima kali lebih besar selama
kehamilan; tromboprofilaksis sangat penting.6,12
2.2.2.6 Anestesi untuk trimester ketiga
Pada usia kehamilan ini, melahirkan melalui operasi caesar sebelum operasi utama
adalah sering dianjurkan. Bila memungkinkan, operasi harus ditunda 48 jam untuk
memungkinkan terapi steroid untuk meningkatkan pematangan paru janin. Mungkin lebih
tepat untuk melahirkan bayi dengan anestesi regional, kemudian dikonversi ke anestesi umum
untuk operasi definitif. Anestesi pasca persalinan harus disesuaikan dengan persyaratan
bedah, dengan tindakan pencegahan bahwa agen-agen volatil harus dihentikan atau
digunakan hanya dalam dosis kecil (<0,5 MAC) bersama dengan oxytocics untuk
meminimalkan risiko atonia uteri dan perdarahan.12
Bedah, stres dan anestesi dapat menekan laktasi, setidaknya untuk sementara.
Kebanyakan obat diekskresikan ke dalam ASI, namun, hanya sedikit yang benar-benar
dikontraindikasikan selama menyusui (zat radioaktif misalnya, ergotamine, lithium, agen
psikotropika.6
2.2.2.7 Pengawasan Post-operatif
Denyut jantung janin (DJJ) dan aktivitas uterus harus dipantau selama pemulihan dari
anestesi. Jika janin layak untuk persalinan prematur, konsultasi dengan konsultan pediatric
telah mennyarankan, jika perlu, pasien harus dipindahkan ke rumah sakit dengan perawatan
intensif neonatal unit. Analgesia yang memadai harus diperoleh dengan sistemik atau opioid
tulang belakang. Anestesi regional lebih disukai karena opioid sistemik dapat mengurangi
variabilitas DJJ. Penggunaan rutin dan berkepanjangan nonsteroid obat antiinflamasi
sebaiknya dihindari karena efek janin potensial (misalnya, prematur penutupan ductus

15
arteriosus dan pengembangan oligohidramnion). Acetaminophen aman untuk meresepkan
dalam pengaturan ini. Mobilisasi awal dan profilaksis trombosis vena harus diwaspadai pada
pasien beresiko untuk tromboemboli.11

2.2.3 Obat Anestesi yang Aman Untuk Ibu Hamil


Kedua jenis anestesi umum dan spinal telah dianggap berhasil digunakan untuk
operasi non obstetric pada ibu hamil. Tidak ada penelitian yang terbaru menunjukkan
keunggulan suatu teknik dibandingkan yang lain dalam hal hasil bagi janin. Anestesi spinal
memang mencegah resiko yang potensial akan kegagalan intubasi dan aspirasi serta
mengurangi pemaparan teratogen yang potensial bagi janin.Dalam anestesi dan operasi, calon
janin paling baik dipastikan dengan perawatan yang cermat dari parameter hemodinamik dan
oksigenasi ibu. Pemantauan tertutup akan respon janin terhadap tanda-tanda kegawatan
sangat direkomendasikan.10
Saat penilaian preoperasi, premedikasi untuk menenangkan kegelisahan bisa untuk
dipertimbangkan. Profilaksis terhadap aspirasi pneumonitis dengan H2- reseptor antagonis
dan nonpartikulat antasida harus diberikan sejak 16 minggu gestasi. Sejak saat tersebut,
pasien harus dipertimbangkan berada pada resiko kompresi aortocaval dan aspirasi
pneumonitis.10,11
Anestesia umum biasanya dipertahankan dengan agen anestetik yang mudah
menguap, yaitu udara oksigen atau campuran N2O/O2. Studi terbaru tidak menemukan N2O
teratogenik dalam penggunaan klinis. Efek dari anestesia umum yang ringan dan berasosiasi
dengan katekolamin yang menghasilkan terganggunya perfusi uteroplacental yang dianggap
berbahaya bagi janin.6,10
Tekanan positif ventilasi harus digunakan dengan perawatan dan akhir tidal level CO2
harus dipertahankan dalam batasan yang terlihat normal dalam kehamilan.Ada hubungan
linear antara PaCO2 maternal dengan PaCO2 janin.6
Maternal hiperkarbia membatasi gradient dari difusi CO2 dari janin ke darah ibu dan
dapat menyebabkan asidosis janin, sehingga meningkatkan resiko kematian janin. Dengan
alasan ini, analisa gas darah rutin sangat dianjurkan dalam operasi laparaskopi, dimana CO2
digunakan untuk menetapkan dan mempertahankan pneumoperitoneum. Studi terbaru
menemukan korelasi yang baik antara tidal akhir CO2 dan PaCO2 dalam kehamilan dan
menyimpulkan bahwa gradient sebelumnya dapat digunakan dengan aman sebagai petunjuk
ventilasi selama laparaskopi pada pasien hamil.6

16
Aplikasi terhadap positif dan tekanan ekspirasi harus dipertimbangkan pada
perubahan hemodinamik yang dapat membahayakan perfusi plasenta. Pasien harus
diekstubasi sehingga sadar penuh dalam posisi lateral setelah melakukan suction orogastric
untuk bertahannya aspirasi sampai reflek jalan napas yang aman telah kembali.6

Tabel 2.1 Obat-obat anastesi dalam kehamilan adalah :10

Kategori Risiko
Nama Obat AAP* Kehamilan** Risiko Menyusui**
Anestesi Lokal
Articaine (Septocaine) NR - NR
Bupivacaine (Marcaine) NR C L2
Lidocaine (Xylocaine) Approved C L2
Mepivacaine
(Carbocaine, Polocaine) NR C L3
Procaine HCL
(Novocaine) NR C L3
Anestesi Umum

Halothane (Fluothane) Approved C L2


Isoflurane (Forane) NR - NR
Ketamine NR - NR
Methohexital (Brevital) Approved B L3
Nitrous oxide NR - L3
Sevoflurane (Ultane) NR B L3
Thiopental (Pentothal) Approved C L3
Obat lain yang sering digunakan selama anestesi
Sedatives
Diazepam (Valium) Concern D L3; L4 for chronic use
Midazolam (Versed) Concern D L3
Propofol (Diprivan) NR B L2
Triazolam (Halcion) NR X L3

17
Narcotic Analgesics
Alfentanil (Alfenta) NR C L2
Fentanyl (Sublimaze) Approved B L2
Hydromorphone
(Dilaudid) NR C L3
Morphine Approved B L3
Reversal Medication
Flumazenil (Romazicon) NR C NR
Naloxone (Narcan) NR C NR
Steroids
Decadron
(Dexamethasone) NR C NR
Stimulants
Epinephrine (Adrenaline) NR C L1
Anti-nausea
Promethazine
(Phenergan) NR C L2

* Per the AAP (American Academic of Pediatric) Policy Statement Transfer Obat dan
Bahan Kimia Lainnya Ke ASI, direvisi September 2001.
Approved: Obat yang cocok untuk ibu menyusui
Concern: Obat yang efeknya pada bayi yang menyusui tidak diketahui
tetapi harus diperhatikan
Caution: Obat yang telah berhubungan dengan efek yang signifikan pada beberapa bayi
yang menyusui dan harus diberikan pada ibu menyusui dengan perhatian
NR: Not Reviewed. Obat ini belum ditinjau oleh AAP.
** Per Medications’ and Mothers’ Milk by Thomas Hale, PhD (edisi 2004).

18
Kategori Resiko Laktasi Kategori Resiko Kehamilan
L1 (sangat aman) A (studi control menunjukkan tidak adanya resiko)
L2 (aman) B (tidak ada bukti resiko pada manusia)
L3 (sedang) C (resiko tidak bisa dicegah)
L4 (kemungkinan berbahaya) D (positif adanya resiko)
L5 (kontra indikasi) X (kontraindikasi dalam kehamilan)
NR: Not Reviewed. Obat ini belum ditinjau oleh Hale. (Hale, 2004)

19
BAB III
KESIMPULAN

Perubahan fisiologis kehamilan akan mempengaruhi tekhnik anestesi yang akan


digunakan. Risiko yang mungkin timbul pada saat penatalaksanaan anestesi adalah seperti
adanya gangguan pengosongan lambung, terkadang sulit dilakukan intubasi, kebutuhan
oksigen meningkat, dan pada sebagian ibu hamil posisi terletang (supine) dapat menyebabkan
hipotensi (“supine aortocaval syndrome”) sehingga janin akan mengalami hipoksia/asfiksia.
Teknik anestesi local (infiltrasi) jarang dilakukan, terkadang setelah bayi lahir
dilanjutkan dengan pemberian pentothal dan N2O/O2 namun analgesi sering tidak memadai
serta pengaruh toksik obat lebih besar. Anestesi regional (spinal atau epidural) dengan teknik
yang sederhana, cepat, ibu tetap sadar, bahaya aspirasi minimal, namun sering menimbulkan
mual muntah sewaktu pembedahan, bahaya hipotensi lebih besar, serta timbul sakit kepala
pasca bedah. Anestesi umum dengan teknik yang cepat, baik bagi ibu yang takut, serba
terkendali dan bahaya hipotensi tidak ada, namun kerugian yang ditimbulkan kemungkinan
aspirasi lebih besar, pengaturan jalan napas sering mengalami kesulitan, serta kemungkinan
depresi pada janin lebih besar.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Latief SA, Suryadi KA. Dahlan, M.R., 2007. Anestesiologi. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia
2. Li G, Huang MS, Lena S. 2009. Epidemiology of Anesthesia-related Mortality in the United
State, 1999-2005.Anesthesiology 110 (40): 759-765
3. Hool A. 2010. Anaesthesia In Pregnancy For Non-Obstetric Surgery. World Federation of
Societies of Anesthesiologist 185: 1-9
4. Walton NKD, Melachuri VK. 2006. Anaesthesia for non-obstetric surgery during
pregnancy. Contin Educ Anaesth Crit Care Pain 6 ( 2): 83-85
5. Guyton AC, Hall JE. Buku ajar fisiologi kedokteran (terjemahan). Edisi 9. Jakarta: EGC;
1996. 1063-76, 1203-37.
6. Morgan GE, Mikhail MS. Clinical anesthesiology. 2nd ed. Stamford:A LANGE medical
book; 1996. 834. 

7. World Health Organization. Managing complications in pregnancy and childbirth. Didapat
dari : URL, :http://www.who.int. 2003 (diakses tanggal 12 Agustus 2018)
8. Carvalho B. 2006. Nonobstetric Surgery During Pregnancy, IARS Review Course Lectures.
9. Heazell A. and Clift J. 2008. Obstetrics For Anaesthetists. Cambridge University Press.
Cambridge

10. Koren G, Pastuszak A, Ito S. 1998. Drugs in pregnancy. N Engl J Med 338:1128-37
11. Roisin NM, and David A. 2006. Anesthesia in pregnant patients for nonobstetric surgery. J
of Clin Anesth 18: 60–66
12 Goodman S. 2002 Anaesthesia for non obstetric surgery in the pregnant patient. Semin
Perinatol 26:136-45

21

Anda mungkin juga menyukai