Anda di halaman 1dari 6

Sunat Perempuan, Antara

Perintah Agama dan Warisan


Budaya
Rabu 07 Februari 2018 06:00 WIB Siwi Tri Puji B/ Red: Agus Yulianto

http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-
islam/dunia/18/02/07/p3qgty396-sunat-perempuan-antara-perintah-
agama-dan-warisan-budaya

REPUBLIKA.CO.ID, Sebuah interpretasi yang paling sering didengar


adalah bahwa Islam tak pernah mewajibkan sunat bagi perempuan,
namun tak melarangnya juga. Di banyak wilayah, sunat perempuan
menjadi bagian tradisi, bukan berlatar agama.

Di Afrika, misalnya, pemotongan bagian organ intim perempuan ini


dipraktikkan tak hanya oleh umat Islam, tapi juga penganut Kristen
dan keyakinan animisme. Di Mesir, di mana 97 persen anak
perempuan mengalami mutilasi alat kelamin, baik umat Kristen Koptik
maupun Muslim melakukannya.

Namun, di tingkat akar rumput, mereka yang melakukan praktik


tersebut menawarkan campuran alasan budaya dan agama untuk itu.
Orang-orang Kris ten dan Muslim percaya bahwa penyunatan anak
perempuan mencegah mereka dari kemalangan di masa depan;
membuat mereka lebih menarik bagi suami. Banyak kaum ibu takut
anak perempuan mereka tidak bisa menikah jika mereka belum
bersunat.
Terkadang mitos juga terbentuk dalam masyarakat untuk
membenarkan sunat bagi perempuan. Hanny Lightfoot- Klein, ahli
antropologi yang melakukan penelitian bertahun-tahun tentang sunat
perempuan di Kenya, Mesir, dan Sudan, menjelaskan tiap
masyarakat memiliki keyakinan tersendiri terkait praktik ini. Di Sudan
misalnya, mitos umum yang diyakini adalah bahwa klitoris akan
tumbuh sepanjang leher angsa sampai terjepit di antara kedua kaki
jika tidak dipotong.

Namun, sejumlah ulama lokal juga menekankannya sebagai bagian


dari perintah agama. Sunat perempuan diyakini sebagai perintah
sunah, yang berarti bahwa praktik ini direkomendasikan secara
religius atau bahwa hal itu dilaku kan pada zaman Nabi Muhammad
SAW.

Meskipun tidak disebutkan tentang sunat perempuan dalam Alquran,


sebuah hadis menceritakan sebuah diskusi antara Rasulullah SAW
dengan Um Habibah (atau Um 'Atiyyah). Ia adalah dukun sunat pada
zamannya, dan terkait profesinya ia berkata, "Kecuali jika dilarang,
dan Anda memerintahkan saya untuk berhenti melakukannya." Nabi
Muhammad menjawab: "Ya, diperbolehkan. Mendekatlah supaya aku
bisa mengajarimu: jika memotong jangan berlebihan, karena akan
membawa lebih banyak sinar ke wajah, dan ini lebih menyenangkan
bagi sang suami."

Sebagian besar ulama menggunakan hadis ini untuk mengatakan


sunat dianjurkan, tapi tidak wajib bagi wanita. Tapi ada yang
mengatakan itu wajib. Sementara yang lain menyebut hadis ini dhoif
alias lemah.
Sebuah interpretasi yang sering di dengar adalah bahwa Islam tak
pernah mewajibkan sunat bagi perempuan, diyakini antara lain oleh
Syekh Omer dari Ethiopia. Yang lainnya, seperti almarhum rektor
Universitas Al-Azhar, Syekh Gad al-Haq, mengatakan, bahwa karena
Nabi tidak melarang sunat perempuan, maka hal itu diperbolehkan
atau, paling tidak, tidak dapat dilarang.

Namun, pakar fikih lain dari Universitas Al-Azhar berada dalam posisi
sebaliknya. Ali Gomar misalnya, mengatakan sunat perempuan harus
dihentikan untuk mendukung salah satu nilai tertinggi Islam, yaitu
tidak membahayakan pihak lain lain, dalam hal ini kaum Hawa.
Namun pendapat arus utama yang banyak dipakai kaum Muslim
adalah seperti yang dikemukakan Mufti Besar Al Azhar, Oman Ahmed
Al Khalili, "Meskipun tidak wajib bagi perempuan, kami tidak dapat
menggambarkannya sebagai kejahatan terhadap perempuan atau
sebagai pelanggaran terhadap hak-hak perempuan."

Merujuk pada pendapat ulama terdahulu, dari empat imam hanya


mahzab Syafi'i yang mewajibkannya. Ada juga pendapat yang lemah
yang menyatakan bahwa Imam Nawawi merekomendasi kan. Di
beberapa wilayah di Indonesia dan Malaysia yang menganut aliran
imam Syafi'i praktik sunat perempuan masih dilakukan, seperti halnya
di wilayah Palestina, Yordania, dan sebagian Suriah.

Survei di Yaman dan Kurdis tan Irak menunjukkan bahwa sunat


perempuan dipraktikkan secara luas. Namun, hampir dipastikan
bahwa hal tersebut tidak dilakukan oleh orang-orang Palestina atau
mayoritas orang Suriah dan Yordania.
Dalam aliran Syiah, hanya sedikit data terkait sunat perempuan.
Almarhum Ayatullah Agung Fadlallah di Lebanon diketahui sangat
menentang sunat perempuan. Dia beralasan sunat pada perempuan
bukanlah peraturan Islam; Sebaliknya itu adalah ritual Arab sebelum
Islam. Ada banyak hadis yang berkonotasi dengan sikap negatif Islam
terhadap ritual ini.

"Namun, Islam tidak melarangnya pada saat itu karena tidak mungkin
tiba-tiba melarang ritual dengan akar kuat dalam budaya Arab;
melainkan lebih suka untuk secara bertahap menguranginya.
Beginilah cara Islam menangani perbudakan juga," katanya.

Para ayatullah di Iran terkesan bersikap hati-hati terkait fatwa


terhadap sunat perempuan. Ayatollah Khamenei hanya menyatakan,
"Mutilasi alat kelamin perempuan tidak umum di kalangan kaum
Syiah, namun tidak ada salahnya jika hal itu dilakukan dengan alasan
tertentu, termasuk alasan kesehatan." Penelitian terakhir dari Iran
menemukan bahwa sunat perempuan dipraktikkan lebih banyak oleh
minoritas Sunni namun tidak oleh mayoritas kaum Syiah.

Namun, beberapa cabang Syiah melakukan praktik sunat bagi


perempuan. Misalnya aliran Zaydis di Yaman, Ibhadis di Oman, dan
setidaknya oleh sebagian kaum Ismailiyah (Daudi Bohras) di In dia,
ketiganya adalah cabang Syiah. Sebuah survei oleh WADI
menemukan bahwa di wilayah Kirkuk di Irak 23 persen gadis Syiah
dan wanita juga menjalani sunat.

***

SUNAT PEREMPUAN
PENYUNATAN

Tindakan dengan sengaja mengubah bentuk organ intim wanita tanpa


alasan medis.

EFEK

* Kesakitan

* Perdarahan hebat

* Kerusakan jaringan organ vital

* Demam

* Infeksi

* Shock

* Kematian

PROBLEM JANGKA PANJANG

* Problem buang air kecil, menstruasi, seksual

* Problem psikologis dan reproduksi

Penyunatan umumnya dilakukan sebelum usia 5 tahun

Somalia, Djibouti, Guinea dan adalah negara dengan persentase


sunat perempuan tertinggi di dunia.

Lebih dari 200 juta anak perempuan dan wanita menjadi korban sunat
di 30 negara di Afrika, Timur Tengah, dan Asia.
Sumber: WHO, UNICEF, International Journal of Gynaecology &
Obstetrics

Anda mungkin juga menyukai