Anda di halaman 1dari 4

https://cpps.ugm.ac.

id/sunat-perempuan-masih-dilakukan-karena-alasan-agama-dan-

tradisi/

Yogyakarta, PSKK UGM – Menjalankan perintah agama adalah salah satu alasan

mengapa praktik sunat perempuan masih dilakukan oleh sebagian orang. Meski

tidak bermanfaat bahkan cenderung berdampak buruk pada kesehatan fisik dan

psikis perempuan, praktik sunat perempuan masih terus dilakukan bahkan menjadi

tradisi turun temurun yang sulit dicegah.

Di beberapa daerah, praktik sirkumsisi atau sunat pada perempuan (female genital

mutilation/cutting) dianggap sebagai kewajiban yang harus dijalankan agar sah

sebagai seorang muslimah. Menurut Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan

Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Dr. Dewi Haryani Susilastuti, selain alasan

agama dan tradisi, sunat perempuan dinilai pula sebagai cara untuk menjaga

keperawanan dan kebersihan organ perempuan. Melalui sunat perempuan,

seksualitas perempuan dikendalikan dan indentitas gender disahkan.

“Informasi dan data dari berbagai laporan tentang sunat perempuan yang saya

pelajari menunjukkan hal itu. Sunat perempuan dipandang sebagai upaya untuk

menjaga kehormatan keluarga, moral anak perempuan, bentuk penerimaan sosial

hingga diyakini bisa meningkatkan kesuburan,” jelas Dewi saat memaparkan hasil

desk study dalam Workshop Desk Review, Pengembangan Sampling dan Kuesioner

Praktik-Praktik Membahayakan FGM/C yang diselenggarakan oleh Dana

Kependudukan PBB (UNFPA) di Jakarta beberapa waktu lalu.

Persentase sunat perempuan dalam data Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013

(Riskesdas) menunjukkan hasil yang mencengangkan sekaligus miris. Sebanyak


51,2 persen anak perempuan usia 0-11 tahun di Indonesia pernah mengalami

praktik sunat. Kemudian 72,4 persen di antaranya mengalami sunat pada usia 1-5

bulan, 13,9 persen pada usia 1-4 tahun, serta 3,3 persen pada usia 5-11 tahun.

Survei yang sama menunjukkan praktik sunat perempuan paling banyak terjadi di

Gorontalo, yakni 83,7 persen, disusul kemudian Bangka Belitung, Banten,

Kalimantan Selatan, Riau, dan Jawa Barat. Sementara persentase terendah terjadi

di Nusa Tenggara Timur, yakni 2,7 persen.

Dewi menambahkan, dalam memutuskan dilakukan atau tidaknya sunat perempuan,

peran orang tua, keluarga, dan tokoh agama sangatlah berpengaruh. Di luar itu, ada

tekanan sosial yang dihadapi orang tua jika belum melakukan tindakan sunat pada

anak perempuannya, misalnya berupa sindiran maupun peringatan. Ada penilaian

bahwa apabila belum disunat, maka belum benar-benar menjadi umat muslim.

Sementara itu jika melihat dinamika gender di dalam mengambil keputusan sunat

perempuan, Dewi mengatakan, perempuan yang setuju terhadap praktik sunat

perempuan pada umumnya adalah perempuan dengan tingkat pendidikan yang

rendah, begitu pula dengan jumlah pendapatannya.

“Mereka juga memiliki jumlah anggota rumah tangga yang banyak, kepercayaan

yang tinggi terhadap tokoh masyarakat, tokoh agama, dan pemerintah lokal. Namun,

dalam pengambilan keputusan di dalam rumah tangga cenderung tidak memiliki

posisi tawar atau kuasa,” jelas Dewi lagi.

Aturan tidak tegas


Pemerintah sempat melarang petugas kesehatan untuk melakukan medikalisasi

sunat perempuan. Namun, mendapat respon dari Majelis Ulama Indonesia (MUI)

bahwa sunat bagi perempuan adalah makrumah (memuliakan) dan pelarangannya

justru dianggap bertentangan dengan syiar Islam, sikap pemerintah berubah. Sunat

perempuan kembali diperbolehkan walaupun dalam batasan-batasan tertentu. Hal

itu diatur dalam Permenkes Nomor 1636/MENKES/PER/XI/2010.

Sri Purwatiningsih, M.Kes yang juga peneliti dari PSKK UGM dalam forum yang

sama menambahkan, karena peraturan tersebut, posisi tenaga bidan menjadi

dilematis. Bidan menjadi “ujung tombak” dari praktik sunat perempuan, padahal

sirkumsisi pada perempuan tidak ada di dalam kurikulum pendidikan bidan.

Pada 6 Februari 2014, Kementerian Kesehatan kembali mengeluarkan Peraturan

Nomor 6 Tahun 2014 yang mencabut Permenkes No 1636/MENKES/PER/XI/2010.

Selain itu juga memberi mandat pada Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syara’k

untuk menciptakan pedoman sunat perempuan yang aman tanpa mutilasi alat

kelamin.

Melihat dinamika persoalan sunat perempuan di Indonesia, melalui dukungan dari

UNFPA Indonesia, PSKK UGM bersama dengan Komnas Perempuan melakukan

studi tentang praktik medikalisasi sunat perempuan di Indonesia. Studi diawali

dengan kajian literatur, kemudian dilanjutkan dengan survei (penelitian kuantitatif) di

tujuh provinsi dengan tingkat prevelansi sunat perempuan tertinggi di Indonesia,

serta tiga provinsi dengan kabupaten yang memiliki peraturan daerah yang

mengatur retribusi sunat perempuan, yaitu Kota Samarinda, Kota Jambi, dan

Kabupaten Lombok Barat. Studi kualitatif juga dilakukan melalui metode wawancara

mendalam, FGD, observasi partisipatoris dan exit interview.

Anda mungkin juga menyukai