Anda di halaman 1dari 43

PRESENTASI KASUS

Seorang anak laki-laki 2 tahun 6 bulan dengan DHF derajat 1 dan


gizi kurang

DISUSUN OLEH:
KHARIZ FAHRURROZI G99162015 (A-7)
MUFTI AKBAR G99171026 (A-5)

PEMBIMBING :
Husnia Auliyatul U., dr., Sp.A, M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK/ PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. MOEWARDI
2018

0
BAB I
STATUS PENDERITA

A. IDENTITAS PENDERITA
Nama : An. MIP
Usia : 2 tahun 6 bulan
Tanggal Lahir : 17 Agustus 2015
Berat Badan : 9,4 kg
Tinggi Badan : 85 cm
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Gupak Warak, Dukuh Tangen, Sragen
Tanggal Pemeriksaan: 27 Januari 2018
Nomor Rekam Medis : 01406xxx

B. ANAMNESIS
Anamnesis diperoleh dengan cara alloanamnesis terhadap orang tua
pasien saat dirawat di Bangsal Anak Melati 2, RSUD Dr. Moewardi.
1. Keluhan Utama
Demam
2. Riwayat Penyakit Sekarang

Selasa Rabu Sabtu Minggu Senin


23/2/2018 24/2/2018 25/2/2018 26/2/2018 27/2/2018
Lima hari sebelum masuk rumah sakit, siang hari pasien mulai demam
tinggi, mendadak, terus menerus sepanjang hari. Ibu pasien mengatakan
demam turun sebentar bila diberi obat penurun panas parasetamol,
kemudian naik kembali. Demam disertai dengan adanya mual dan muntah
±10x berisi makanan dan air. Jumlah sekali muntah ±¼ gelas belimbing,
berwarna kuning bercampur makanan. Selain itu ibu pasien mengeluhkan
BAB anaknya cair dan seperti ampas 2x. Tidak didapatkan lendir dan

1
darah, warna kuning. Keluhan mimisan dan gusi berdarah disangkal, BAK
tidak ada keluhan. Oleh orang tuanya, pasien dibawa ke klinik rawat inap
dan disarankan untuk mondok.
Saat dirawat di klinik, pasien mengatakan dua kali diperikasa
laboratorium tanggal 25 Januari 2018 dengan hasil trombosit 174 dan Hct
29. Kemudian diperiksa kembali tanggal 27 Januari 2018 dengan hasil
trombosit 34 dan hct 28. Berdasarkan keterangan rujukan obat yang
diterima pasien saat dirawat adalah infus RL, thiacid sirup, amoxicillin
sirup, dan paracetamol sirup. Dari klinik pasien dirujuk ke RSDM karena
trombosit rendah dan terdapat pembesaran hati.
Saat di IGD RSDM pasien sadar penuh, mau makan dan minum, tidak
demam dan tidak sesak. Keluhan mimisan dan gusi berdarah disangkal.
BAB lunak, warna kuning. BAK tidak didapatkan adanya keluhan.
Keluhan mual sudah berkurang, dan pasien sudah tidak muntah.

3. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat mondok sebelumnya : disangkal
Riwayat alergi obat/makanan : disangkal
Riwayat demam : disangkal

4. Riwayat Penyakit Keluarga dan Faktor Lingkungan


Riwayat demam tinggi terus menerus: disangkal
Riwayat alergi obat/makanan : disangkal
Riwayat demam di sekitar pasien : tetangga pasien ada yang menderita
demam berdarah beberapa waktu
yang lalu
5. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien merupakan anak ke dua dari dua bersaudara, tinggal
serumah dengan kedua orang tua pasien. Hubungan keluarga baik. Pasien
sejak lahir diasuh oleh orang tuanya. Ayah bekerja wiraswasta dan ibu
seorang guru MTs. Pasien berobat menggunakan fasilitas Badan

2
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Kesan sosial ekonomi pasien
cukup.

6. Riwayat Kehamilan dan Persalinan


Status kehamilan ibu P2A0, dengan usia saat hamil 28 tahun. Ibu
rutin kontrol ke bidan. Saat hamil ibu tidak mengonsumsi obat-obatan
kecuali suplemen besi dan asam folat. Saat hamil ibu mengatakan tidak
darah tinggi, tidak demam, dan tidak ada keputihan. Kesan kehamilan
dalam batas normal.

7. Riwayat Kelahiran
Pasien lahir dari ibu usia 28 tahun dengan umur kehamilan cukup
bulan, secara spontan di bidan dengan berat badan lahir 2800 gram dan
panjang badan 48 cm. Bayi langsung menangis kuat segera setelah lahir,
bergerak aktif, dan tidak ada kebiruan dan tidak kuning. Anus (+), cacat
(+). Kesan kelahiran baik.

8. Riwayat Imunisasi
0 bulan : Hep B
1 bulan : BCG, polio 1
2 bulan : DPT-HB-Hib 1, polio 2
3 bulan : DPT-HB-Hib 2, polio 3
4 bulan : DPT-HB-Hib 3, polio 4
9 bulan : Campak
Imunisasi wajib lengkap sesuai Kemenkes 2013
Imunisasi lanjutan belum diberikan

9. Riwayat Nutrisi
Pasien mendapatkan ASI eksklusif sejak lahir sampai usia 1 tahun.
Makanan pendamping ASI diberikan mulai usia 6 bulan. Saat ini pasien
makan tiga kali sehari dengan menu makan nasi disertai lauk pauk
beraneka ragam dan sayuran yang habis setiap kali makan. Dari hasil
anamnesis didapatkan kesan kualitas dan kuantitas nutrisi cukup.

3
10. Pohon Keluarga

MIP, 2 tahun 5
bulan
C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum : Nampak sakit sedang
Derajat Kesadaran : Composmentis, E4V5M5
2. Tanda vital
Suhu : 37,5 oC (37,4-37.8oC)
Denyut nadi : 124 x/menit
Saturasi O2 : 98%
Frekuensi pernapasan : 24 x/menit
Berat badan : 9,4 kg
3. Kulit : warna kecoklatan, kelembaban baik, turgor baik
4. Kepala : mesocephal, rambut kehitaman, tidak mudah rontok, UUB datar
5. Muka : sembab (-), wajah orang tua (-)
6. Mata : cowong (-), bulu mata hitam lurus tidak rontok, konjungtiva anemis
(-/-), sklera ikterik (-/-), edema palpebra (+/+), refleks cahaya (+/+)
7. Hidung : bentuk normal, napas cuping hidung (-/-), sekret (-/-), darah (-/-),
deformitas (-)
8. Mulut : sianosis (-), bibir kering (-), lidah kotor (-), gusi berdarah (-),
mukosa basah (+), susunan gigi normal.
9. Tenggorokan : uvula di tengah, tonsil T1 –T1, faring hiperemis (-),
pseudomembran (-), post nasal drip (-).

4
10. Telinga : bentuk aurikula dextra et sinistra normal, kelainan liang telinga
(-), serumen (-/-), tragus pain (-), sekret (-)
11. Leher : bentuk normal, trakhea di tengah, kelenjar thyroid tidak membesar.
12. Limfonodi : kelenjar limfe auricular, submandibuler, servikalis,
supraklavikularis, aksilaris, dan inguinalis tidak membesar.
13. Thorax : bentuk normochest, retraksi (-) interkostal dan sub sternal, iga
gambang (-), gerakan simetris kanan = kiri
Cor : Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : Batas jantung kesan tidak melebar
Kiri atas : SIC II linea parasternalis sinistra
Kiri bawah : SIC IV linea midclavicularis sinistra
Kanan atas : SIC II linea parasternalis dekstra
Kanan bawah : SIC IV linea parasternalis dekstra
Auskultasi : BJ I-II intensitas normal, reguler, bising (-)
Pulmo : Inspeksi : Pengembangan dada kanan = kiri
Palpasi : Fremitus raba kanan = kiri
Perkusi : Sonor / Sonor di semua lapang paru
Batas paru-hepar : Spatium Intercostae (SIC) V kanan
Batas paru-lambung : SIC VI kiri
Redup relatif di : SIC V kanan
Redup absolut : SIC VI kanan (hepar)
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), ronkhi
basah kasar (-/-), ronkhi basah halus
(-/-)
14. Abdomen : Inspeksi : dinding dada sejajar dinding perut
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani, pekak alih (-)
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar 4 cm BACD,
tepi tajam, NT (-), lien tidak teraba.
15. Urogenital : dalam batas normal
16. Gluteus : Baggy pants (-)

5
17. Ekstremitas :
akral dingin - - sianosis oedem
- - - -
- - - - - -
Capillary Refill Time < 2 detik, A. dorsalis pedis teraba kuat
Rumple Leed test (+)
Interpretasi : Rumple leed (+) didapatkan petechiae sebanyak ±12 pada
kulit lengan bawah bagian volar dengan garis tengah kurang lebih 2,8 cm,
kira-kira 4 cm di bawah fossa cubiti
18. Kuku : keruh (-), spoon nail (-), konkaf (-)

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tanggal 25/01/2017
Pemeriksaan Hasil Rujukan Satuan Keterangan
Hematologi rutin
Hb 9.6 10.8-12.8 g/dL 1.5-3 tahun
Hct 29 35-43 % 8 bulan-3 tahun
Eritrosit 4 3.6-5.2 10^6/µL 8 bulan-3 tahun
Nilai MC
MCV 72.5 73-101 fL 1.5-3 tahun
MCH 24 23-31 Pg 11 bulan-5tahun
MCHC 33.1 26-34 g/dL 1.5-3 tahun
RDW-CV 14.2 11.5-14.5 % Dewasa
Trombosit 174 217-497 10^3/µL Laki-laki,1-5 tahun
Leukosit 9.3 6.0-17.0 10^3/µL 2 tahun
5.5-15.5 4 tahun

Tanggal 27/01/2017
Pemeriksaan Hasil Rujukan Satuan Keterangan
Hematologi rutin
Hb 9.8 10.8-12.8 g/dL 1.5-3 tahun
Hct 29.4 35-43 % 8 bulan-3 tahun
Eritrosit 4.12 3.6-5.2 10^6/µL 8 bulan-3 tahun
Nilai MC
MCV 71.4 73-101 fL 1.5-3 tahun
MCH 23.8 23-31 Pg 11 bulan-5tahun
MCHC 33.3 26-34 g/dL 1.5-3 tahun
RDW-CV 14.4 11.5-14.5 % Dewasa
Trombosit 32 217-497 10^3/µL Laki-laki,1-5 tahun
Leukosit 17.3 6.0-17.0 10^3/µL 2 tahun
5.5-15.5 4 tahun

6
Lab Tanggal 27/01/2017 (RSDM)
Pemeriksaan Hasil Rujukan Satuan
Hematologi rutin
Hb 9.5 11.5-12.8 g/dL
Hct 28 34-40 %
Leukosit 10.5 5.5-17.0 ribu/µL
Trombosit 34 150-450 ribu/µL
Eritrosit 3.95 3.90-5.30 10^6/µL
Index Eritrosit
MCV 69.9 /um 80.0-96.0
MCH 24.1 Pg 28.0-33.0
MCHC 34.4 g/dl 33.0-36.0
RDW 12.7 % 11.6-14.6
Hitung Jenis
Eosinofil 0.90 % 0.00-4.00
Basofil 0.90 % 0.00-1.00
Netrofil 75.90 % 29.00-72.00
Limfosit 18.30 % 30.00-48.00
Monosit 4.00 % 0.00-5.00

E. STATUS GIZI
1. BB / U : -3 SD < BB/U < -2 SD
Interpretasi BB/U : Underweight
2. TB / U : -2 SD < TB/U < 0 SD
Interpretasi TB/U : Normoheight
3. BB/TB :-3 < BB/TB < -2 SD
Interpretasi BB/TB : gizi kurang
Kesimpulan: underweight, normoheight, gizi kurang, menurut kurva
WHO 2006.

F. DAFTAR MASALAH
Seorang anak laki-laki, 2 tahun 6 bulan dengan:
1. Demam tinggi mendadak, terus menerus sejak 5 hari SMRS
2. Mual & Muntah kurang lebih 10 kali berisi cairan dan makanan
3. BAB cair kurang lebih 2 kali
4. Edema palpebra
5. hepatomegali 4 cm di bawah arcus costa dextra, tepi tajam

7
6. Anemia mikrositik hipokromik (Hb 9.5 g/dl, MCV 69,9%, MCH 24,1
pg) dan trombositopenia (34 ribu/ul)

G. DIAGNOSIS BANDING
1. DHF derajat 1 dd Demam Dengue tanpa perdarahan
2. Anemia mikrositik hipokromik

H. DIAGNOSIS KERJA
1. DHF derajat 1
2. Anemia mikrositik hipokromik
3. Gizi kurang, underweight

I. PENATALAKSANAAN
1. Mondok bangsal infeksi tropis
2. Diet nasi lauk 1000kkal/hari
3. Infus Asering 5cc/kgBB/jam ~ 45 ml/jam iv
4. Paracetamol (15mg/kgBB/8 jam ~ 1 cth/8 jam)

J. PLANNING
1. Cek lab DR2/8 jam
2. IgG, IgM Dengue (gain 29/1/18)
3. Urinanalisis / feses rutin
4. GDT

K. MONITORING
1. KUVS/TD/8jam
2. BC/D/8 jam
3. Awasi tanda syok dan perdarahan

L. EDUKASI
1. Edukasi keluarga tentang penyakit pasien, edukasi untuk menambah
intake makanan dan minuman pasien, prognosis pasien baik dengan
penanganan yang tepat
2. Lapor bila ada tanda-tanda perdarahan

8
3. Kompres hangat apabila demam lebih dari 37,5°C dan pemberian
paracetamol bila demam lebih dari 38,5°C
4. Edukasi untuk melakukan pemberantasan sarang nyamuk di lingkungan
rumah

M. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia
Ad sanationam : dubia
Ad fungsionam : dubia

N. FOLLOW UP PASIEN
1. 28/01/18
Subjektif
Pasien mengatakan demam sudah menurun, bintik merah (-), bab hitam
(-), mimisan (-)
Obyektif
a. Keadaan umum: tampak sakit sedang, composmentis
b. VS
1) HR : 119x
2) RR : 28x
3) T : 37,1-37,7
4) SpO2 : 99%
5) TD : 90/60 mmHg
6) BC : +320
7) D : 2.1
c. Pemeriksaan fisik
1) Kepala : Mesocephal
2) Mata : Anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-), Edema palpebral (+/+)
3) Hidung : Nafas cuping hidung (-/-), Sekret (-/-), Epistaksis (-/-)
4) Mulut : Mukosa basah (+), Gusi berdarah (-)
5) Thorax : simetris, retraksi (-)
6) Pulmo : Suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan (-/-)
7) Cor : Bunyi jantung I & II reguler, Bising (-)
8) Abdomen : Bising usus (+) supel, hepar teraba 4cm bawah
arcus costae dextra, lien: tidak teraba
9) Ekstremitas : akral dingin (-/-), ADP kuat, CRT < 2”
d. Pemeriksaan lab
Lab Tanggal 28/01/2017 (RSDM) Jam 14:41

9
Pemeriksaan Hasil Rujukan Satuan
Hematologi rutin
Hb 9.9 11.5-12.8 g/dL
Hct 29 34-40 %
Leukosit 10.0 5.5-17.0 ribu/µL
Trombosit 42 150-450 ribu/µL
Eritrosit 4.18 3.90-5.30 10^6/µL
Index Eritrosit
MCV 69.7 /um 80.0-96.0
MCH 23.7 Pg 28.0-33.0
MCHC 34.0 g/dl 33.0-36.0
RDW 12.5 % 11.6-14.6
MPV 8.7 Fl 7.2-11.1
PDW 19 % 25-65
Hitung Jenis
Eosinofil 2.20 % 0.00-4.00
Basofil 1.10 % 0.00-1.00
Netrofil 57.80 % 29.00-72.00
Limfosit 30.20 % 30.00-48.00
Monosit 8.70 % 0.00-5.00

Lab Tanggal 28/01/2017 (RSDM) Jam 18:38


Pemeriksaan Hasil Rujukan Satuan
Hematologi rutin
Hb 9.4 11.5-12.8 g/dL
Hct 27 34-40 %
Leukosit 9.7 5.5-17.0 ribu/µL
Trombosit 39 150-450 ribu/µL
Eritrosit 3.89 3.90-5.30 10^6/µL

Index Eritrosit
MCV 69.5 /um 80.0-96.0
MCH 24.2 Pg 28.0-33.0
MCHC 34.8 g/dl 33.0-36.0
RDW 12.7 % 11.6-14.6
MPV 9.7 Fl 7.2-11.1
PDW 20 % 25-65
Hitung Jenis
Eosinofil 1.10 % 0.00-4.00
Basofil 1.00 % 0.00-1.00
Netrofil 64.10 % 29.00-72.00
Limfosit 29.50 % 30.00-48.00
Monosit 4.30 % 0.00-5.00

10
Lab Tanggal 28/01/2017 (RSDM) Jam 22:37
Pemeriksaan Hasil Rujukan Satuan
Hematologi rutin
Hb 8.6 11.5-12.8 g/dL
Hct 25 34-40 %
Leukosit 6.5 5.5-17.0 ribu/µL
Trombosit 48 150-450 ribu/µL
Eritrosit 3.63 3.90-5.30 10^6/µL
Index Eritrosit
MCV 69.3 /um 80.0-96.0
MCH 23.7 Pg 28.0-33.0
MCHC 34.1 g/dl 33.0-36.0
RDW 12.6 % 11.6-14.6
MPV 8.8 Fl 7.2-11.1
PDW 19 % 25-65
Hitung Jenis
Eosinofil 3.30 % 0.00-4.00
Basofil 1.30 % 0.00-1.00
Netrofil 55.60 % 29.00-72.00
Limfosit 31.00 % 30.00-48.00
Monosit 8.80 % 0.00-5.00

Assesment
1) DHF derajat 1 (Demam hari ke V-VI)
2) Anemia mikrositik hipokromik
3) Gizi kurang, underweight
Terapi
1) Diet nasi lauk 1000kkal/hari
2) IVFD Asering (5cc/kg/jam) ~ 45 ml/jam IV
3) Paracetamol (15mg/kg/8jam) ~ 1 cth/8jam PO
Plan
1) Cek IgG & IgM dengue (29/01/18)
2) Urinalisis & feses rutin
Monitoring
1) KUVS/8jam
2) Awasi tanda perdarahan

2. 29/01/18
Subjektif

11
Pasien sudah tidak demam 2 hari ini, tidak mual, BAB tidak hitam, mata
masih bengkak
Obyektif
a. Keadaan umum: tampak sakit sedang, composmentis
b. VS
1) HR : 105x
2) RR : 24x
3) T : 36,8 (36,8-37,0)
4) SpO2 : 96%
5) TD : 90/60 mmHg
6) BC : +940
7) D : 3.38 ml/kg/jam
c. Pemeriksaan fisik
1) Kepala : Mesocephal
2) Mata : Anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-), Edema palpebral (+/+)
3) Hidung : Nafas cuping hidung (-/-), Sekret (-/-), Epistaksis (-/-)
4) Mulut : Mukosa basah (+), Gusi berdarah (-)
5) Thorax : simetris, retraksi (-)
6) Pulmo : Suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan (-/-)
7) Cor : Bunyi jantung I & II reguler, Bising (-)
8) Abdomen : Bising usus (+) supel, hepar teraba 2cm bawah
arcus costae dextra, lien: tidak teraba
9) Ekstremitas : akral dingin (-/-), ADP kuat, CRT < 2”
d. Pemeriksaan lab
Lab Tanggal 29/01/2017 (RSDM) 6:23
Pemeriksaan Hasil Rujukan Satuan
Hematologi rutin
Hb 9.1 11.5-12.8 g/dL
Hct 27 34-40 %
Leukosit 7.6 5.5-17.0 ribu/µL
Trombosit 56 150-450 ribu/µL
Eritrosit 3.89 3.90-5.30 10^6/µL
Index Eritrosit
MCV 70.0 /um 80.0-96.0
MCH 23.4 Pg 28.0-33.0
MCHC 33.5 g/dl 33.0-36.0
RDW 12.6 % 11.6-14.6
MPV 8.0 Fl 7.2-11.1
PDW 18 % 25-65
Hitung Jenis
Eosinofil 4.30 % 0.00-4.00
Basofil 1.40 % 0.00-1.00
Netrofil 53.60 % 29.00-72.00
Limfosit 28.70 % 30.00-48.00

12
Monosit 12.00 % 0.00-5.00

Lab Tanggal 29/01/2017 (RSDM) 21:14


Pemeriksaan Hasil Rujukan Satuan
Hematologi rutin
Hb 8.4 11.5-12.8 g/dL
Hct 25 34-40 %
Leukosit 6.0 5.5-17.0 ribu/µL
Trombosit 78 150-450 ribu/µL
Eritrosit 3.54 3.90-5.30 10^6/µL
Index Eritrosit
MCV 70.1 /um 80.0-96.0
MCH 23.7 Pg 28.0-33.0
MCHC 33.9 g/dl 33.0-36.0
RDW 12.6 % 11.6-14.6
MPV 8.8 Fl 7.2-11.1
PDW 17 % 25-65
Hitung Jenis
Eosinofil 4.00 % 0.00-4.00
Basofil 0.00 % 0.00-1.00
Netrofil 48.00 % 29.00-72.00
Limfosit 37.00 % 30.00-48.00
Monosit 11.00 % 0.00-5.00

Lab Tanggal 29/01/2017 (RSDM) 21:14


Pemeriksaan Hasil Rujukan Satuan
Serologi
IgM dengue Negatif Negatif
IgG dengue Negatif Negatif

Assesment
1) DHF derajat I (Febris hari VI-VII)
2) Anemia mikrositik hipokromik
3) Gizi kurang, underweight
Terapi
1) Diet nasi lauk 1000kkal/hari
2) IVFD Asering (5cc/kg/jam) ~ 45 ml/jam IV
3) Paracetamol (15mg/kg/8jam) ~ 1 cth/8jam PO
Plan
1) Cek DL2/12jam
2) IgG, IgM dengue hari ini
3) Urinalisis/feses rutin

13
Monitoring
1) KUVS/8jam

3. 30/01/18
Subjektif
Pasien mengatakan sudah tidak demam (3 hari), tidak mual, BAB tidak
hitam, bengkak pada mata dan ekstremitas berkurang
Obyektif
a. Keadaan umum: tampak sakit sedang, composmentis
b. VS
1) HR : 125x
2) RR : 32x
3) T : 36,6 (36,6-37,5)
4) SpO2 : 98%
5) TD : 90/60 mmHg
6) BC : +650
7) D : 2.38 ml/kg/jam
c. Pemeriksaan fisik
1) Kepala : Mesocephal
2) Mata : Anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-), Edema palpebral (+/+)
berkurang
3) Hidung : Nafas cuping hidung (-/-), Sekret (-/-), Epistaksis (-/-)
4) Mulut : Mukosa basah (+), Gusi berdarah (-)
5) Thorax : simetris, retraksi (-)
6) Pulmo : Suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan (-/-)
7) Cor : Bunyi jantung I & II reguler, Bising (-)
8) Abdomen : Bising usus (+) supel, hepar teraba 1cm bawah
arcus costae dextra, lien: tidak teraba
9) Ekstremitas : akral dingin (-/-), ADP kuat, CRT < 2”
Assesment
1) DHF derajat I (Febris hari VII-VIII)
2) Anemia mikrositik hipokromik
3) Gizi kurang, underweight
Terapi
1) Diet nasi lauk 1000kkal/hari
2) IVFD Asering (5cc/kg/jam) ~ 45 ml/jam IV (STOP)
3) Paracetamol (15mg/kg/8jam) ~ 1 cth/8jam PO
4) IVFD D5 1/2 NS 30ml/jam
Plan
1) Cek DL2/24jam

14
Monitoring
1) KUVS/8jam

15
BAB II
ANALISIS KASUS

Salah satu penyakit dengan gejala klinis demam tinggi mendadak kurang
dari 7 hari adalah infeksi oleh virus dengue. Infeksi dengue memiliki gejala
demam tinggi mendadak 2-7 hari, diikuti dengan adanya gejala klinis berupa
manifestasi perdarahan baik spontan maupun diprovokasi, hepatomegali, dan syok
(WHO, 2011). Pada pasien ini didapatkan gejala-gejala tersebut yang menguatkan
pada diagnosis demam dengue atau demam berdarah dengue.
Lima hari sebelum masuk rumah sakit, siang hari pasien mulai demam
tinggi, mendadak, terus menerus sepanjang hari. Ibu pasien mengatakan demam
turun sebentar bila diberi obat penurun panas parasetamol, kemudian naik
kembali. Demam disertai dengan adanya mual dan muntah ±10x berisi makanan
dan air. Jumlah sekali muntah ±¼ gelas belimbing, berwarna kuning bercampur
makanan. Pada infeksi dengue demam dapat meningkat dengan cepat antara 39-
41oC, sehingga dapat diberikan obat penurun panas untuk meringankan gejala
(Halstead, 2016; WHO, 2011). Mual dan muntah yang terjadi mungkin dapat
disebabkan karena nyeri kepala/nyeri retro-orbita atau karena penekanan organ
karena hepatomegali. Berdasarkan anamnesis lebih lanjut, saat ini terdapat
tetangga pasien di dekat rumah yang sedang dirawat dengan keterangan demam
berdarah. Hal ini dapat menjadi faktor risiko infeksi dengue dari lingkungan.
Oleh keluarga, pasien dibawa ke klinik dan disarankan untuk mondok.
Saat mondok di klinik, pasien diperiksa laboratorium sebanyak 2 kali dan
mendapat terapi infus RL, thiacid sirup, amoxicillin sirup, paracetamol sirup.
Hasil pemeriksaan Lab tanggal 25/1/2018 di Klinik: Hb = 9,6 g/dL; Hct = 29%;
AL = 9,3 ribu/µL; AT = 174 ribu/µL. Kemudian pada perawatah hari ke-3
dilakukan pemeriksaan lab ulang tanggal 27/1/2018 dengan hasil Hb = 9,8 g/dL;
Hct = 29,4%; AL = 17,3 ribu/µL; AT = 32 ribu/µL. Berdasarkan hasil pemeriksaan
fisik dan lab, didapatkan hepatomegali, edema palpebra, dan tromobistopenia
kemudian pasien dirujuk ke RSDM.
Di IGD RSDM dilakukan pemeriksaan ulang, dengan keadaan pasien
sadar penuh, tidak demam, tidak sesak, mau makan dan minum. Tidak ada

16
keluhan perdarahan spontan. Pada pemeriksaan tanda vital tidak didapatkan
adanya kelainan. BAB dan BAK tidak ada kelainan. Namun dari pemeriksaan
fisik didapatkan adanya edema palpebral dan pembesaran hepar (hepatomegali)
dengan pembesaran 4cm di bawa arcus costalis dextra. Karena ada kecurigaan ke
arah demam berdarah, dilakukan pemeriksaan rumple leed. Pada pasien ini
dilakukan uji tourniquet dan didapatkan hasil positif sebanyak ±12 titik. Dari
pemeriksaan lab, didapatkan hasil Hb = 9.5 g/dL; Hct = 28%; AL = 10.5 ribu/µL;
AT = 34 ribu/µL.
Pada awal perjalanan penyakit, infeksi dengue terkadang susah dibedakan
dengan penyakit lain dengan gejala klinis demam. Salah satu pemeriksaan fisik
yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan rumple leed atau uji tourniquet untuk
melihat adanya kebocoran plasma. Pada pasien ini didapatkan hasil pemeriksaan
positif. Selain itu didapatkan adanya hepatomegali yang dapat menjadi tanda
adanya destruksi trombosit yang dapat dilihat juga melalui hasil lab berupa
trombositopenia. Selain itu hepatomegali kemungkinan juga dapat disebabkan
oleh kelebihan cairan (Halstead, 2016; WHO, 2011). Vital sign yang normal
(suhu) dapat menunjukkan pasien dalam fase kritis. Atas indikasi dari gejala dan
hasil pemeriksaan laboratorium tersebut, pasien disarankan untuk rawat inap.
Berdasarkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan hasil laboratorium di
atas dapat disimpulkan terdapat beberapa gejala klinis dan hasil laboratoris yang
mendukung ke arah DHF derajat I menurut klasifikasi WHO tahun 2011. Selain
itu berdasarkan skrining gizi, didapatkan gizi kurang pada pasien ini. Setelah
dilakukan diagnosis pada pasien dapat dilakukan tatalaksana pada pasien DHF
derajat I sesuai dengan Pedoman Diagnosis dan Tata Laksana Infeksi Virus
Dengue (IDAI) 2014. Berdasarkan pedoman pasien tersebut dapat dirawat inap di
pelayanan kesehatan seperti puskesmas atau rumah sakit karena memenuhi
kriteria rawat inap berupa hepatomegali dan trombositopenia. Tata laksana yang
tepat dan segera dapat mengurangi risiko perkembangan penyakit ke arah syok.
Saat rawat inap 3 hari pasien mendapatkan terapi diet nasi lauk
1000kkal/hari, IVFD asering 5cc/kgBB/jam ~ 45 ml/jam iv, dan parasetamol syr
(15mg/kgBB/8 jam ~ 120ml atau 1 cth/8 jam). Diet nasi lauk diberikan untuk

17
memperbaiki asupan gizi pasien. Pada infeksi dengue tidak ada terapi kausatif,
melainkan terapi simtomatik dan terapi cairan.
Pada pasien ini diberikan cairan kristaloid isotonik berupa asering. Asering
dipilih karena cairan memiliki sifat dapat dimetabolisme di otot dan bukan di
hepar. Pada pasien DBD terjadi hepatomegali sebagai akibat proses infeksi
sehingga pemilihan asering diharapkan tidak menambah beban kerja hepar.
Pemberian obat simptomatis pada pasien ini adalah antipiretik dengan
(parasetamol) dengan dosis 15 mg/kgBB/kali apabila demam. Parasetamol
sebaiknya diberikan hanya pada keadaan pasien demam dengan suhu > 38,5° C
dengan interval 8 jam. Sedangkan, apabila demam di bawah 38,5oC cukup
dikompres hangat. Pemberian obat golongan NSAID tidak dianjurkan karena
dapat memperburuk manifestasi perdarahan pada pasien karena secara
farmakodinamis menghambat thromboxane A2 (Hadinegoro, 2014; Furst et al,
2012).
Pada follow up didapatkan perbaikan keadaan pasien dengan berkurangnya
edema palpebral dan hepatomegali. Pada hasil pemeriksaan laboratorium serial
setiap 12 jam, didapatkan peningkatan trombosit dari tanggal 28 sampai tanggal
29. Nilai hematokrit pasien mengalami peningkatan sekitar 17%. Berdasarkan
hasil pemeriksaan serologi IgM dan IgG dengue, didapatkan hasil keduanya
negatif. Hasil ini dapat memiliki beberapa kemungkinan di antaranya; hasil false
negative atau pasien tidak menderita dengue melainkan infeksi lain. Karena secara
teori nilai serum IgM dan IgG akan meningkat pada kasus DHF (Hadinegoro,
2014; Halstead, 2016; WHO, 2011).

18
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Demam dengue (DF) dan demam berdarah dengue (DBD) atau Dengue
Hemorrhagic Fever (DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
salah satu dari 4 strain virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk
Aedes aegypti dan Aedes albopictus (Vyas, 2013). DF merupakan bentuk
ringan infeksi dengue yang ditandai dengan klinis demam bifasik, myalgia
atau arthralgia, disertai leukopenia, ruam, dan limfadenopati. Sedangkan DHF
merupakan bentuk infeksi dengue yang lebih parah yang ditandai dengan
peningkatan permeabilitas kapiler, gangguan hemostasis. Pada kasus yang
berat, penyakit ini dapat disertai dengan syok (dengue shock syndrome, DSS)
(Halstead, 2016).

B. Epidemiologi
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang sering
ditemukan pada daerah beriklim tropis layaknya Indonesia. Demam Berdarah
Dengue dibawa oleh nyamuk Aedes dengan persebaran di lebih dari 100
negara beriklim tropis dan subtropis. Selain di Indonesia, penyakt ini juga
menyebar di Negara-negara Asia Tenggara, Asia pasifik dan Amerika bagian
utara dan selatan. Lebih dari 2,5 milyar manusia di dunia hidup di bawah
ancaman terkena demam dengue dan bentuk lainnya yang mengancam jiwa;
yaitu DBD, dan Dengue Shock Syndrome (DSS) (WHO, 2011).
Lebih dari 75% dari populasi ini hidup di wilayah Asia-Pasifik. Seiring
dengan penyebaran penyait ke daerah yang lebih luas, frekuensi dari penyakit
ini pun terus meningkat. Saat ini diperkirakan bahwa telah terjadi 50 juta
kasus demam dengue setiap tahunnya dan setengah juta penduduk menderita
DBD dengan biaya perawatan yang juga merangkak naik, dengan populasi
utama adalah anak-anak di bawah lima tahun (sekitar 90%). Lebih lanjut,
sekitar 2,5% dari penderita demam dengue meninggal karena penyakitnya.

19
DHF merupakan penyakit endemik yang muncul sepanjang tahun
terutama pada daerah tropis dan subrtropis terutama ketika musim hujan
(CDC, 2010). Indonesia diketahui merupakan negara hiperendemik dengue,
urutan kedua di dunia dengan jumlah kasus DBD tertinggi setelah Brasil
(WHO, 2011). Pada tahun 2015 di 34 provinsi tercatat sebanyak 126.675
penderita DHF dan 1.229 diantaranya meninggal dunia. Dibandingkan tahun
sebelumnya, jumlah ini lebih tinggi. Jumlah penderita DHF tahun 2014 adalah
100.347 dan 907 diantaranya meninggal dunia. Peningkatan ini dapat
disebabkan oleh mobilitas penduduk yang tinggi, perkembangan wilayah
perkotaan, perubahan iklim dan kepadatan penduduk (Depkes, 2016).
Penularan infeksi virus dengue terjadi melalui vektor nyamuk dari
familii Stegomyia dan genus Aedes, terutama A. aegypti yang aktif di siang
hari. Keempat strain virus dengue telah diisolasi dari vektor ini. Kejadian luar
biasa atau outbreak dengue biasanya mencakup populasi yang besar hingga
80%. Pada daerah endemik, infeksi terutama terjadi pada anak-anak dan orang
asing. Umumnya populasi dewasa sudah imun terhadap infeksi dengue
(Halstead, 2016).

C. Etiologi
DHF disebabkan oleh virus dengue dari genus Flavivirus. Terdapat 4
serotipe dengue; DENV-1, DENV-2, DENV-3, dan DENV-4 yang semuanya
dapat menyebabkan DF atau DHF. Terjadinya infeksi akan memberikan
imunitas seumur hidup. Secara struktur virus ini memiliki beberapa struktur;
core protein (C), membrane-associated protein (M), envelope protein (E), dan
tujuh gen protein non-struktural (NS). Diantara protein tersebut, NS1
merupakan protein yang penting & memiliki nilai diagnostik (WHO, 2011).

D. Patofisiologi
Secara umum, tidak semua pasien yang menderita DF akan menjadi
DHF. Kebanyakan kasus DHF terjadi karena adanya infeksi sekunder yaitu
adanya infeksi dari dua atau lebih strain virus dengue yang berbeda.
Kesimpulan ini didapatkan melalui studi epidemiologi (Halstead, 2016).

20
Adanya hubungan ini menunjukkan adanya peran system imun dalam
patogenesis DHF.
Pada fase akut infeksi sekunder, terjadi aktivasi sistem komplemen
secara cepat. Selain sistem imun innate, imunitas adaptif juga tersensitasi pada
infeksi sekunder. Akibatnya terjadi sekresi sitokin yang berlebihan seperti
TNF-α, interferon-γ dan interleukin-2 yang menyebabkan perubahan
permeabilitas vaskuler (Halstead, 2016; WHO, 2011). Gangguan pada
permeabilitas ini juga dipengaruhi oleh adalnya protein NS1 yang berinteraksi
dengan sel endotel, faktor pembekuan darah, dan platelet yang pada akhirnya
menyebabkan kebocoran plasma yang merupakan gejala khas DHF (Halstead,
2016). Peningkatan permeabilitas dinding kapiler mengakibatkan
berkurangnya volume plasma, yang ditandai dengan trombositopenia,
hipotensi dan hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit).
Antibodi yang telah ada sebelumnya dari infeksi pertama berisifat
heterolog dengan infeksi sekunder sehingga tidak bisa menetralisir serotipe
virus yang baru (non-neutralizing antibody). Antibodi dan antigen dengue
akan membentuk kompleks yang akan mengikat reseptor Fcγ pada membran
sel target (sel leukosit terutama makrofag). Karena antibodi heterolog maka
virus akan bebas melakukan replikasi dalam sel makrofag. Mekanisme ini
dikenal dengan antibody dependent enhancement (ADE) (Kurane, 2007).
Kompleks antigen-antibodi juga dapat berikatan dengan trombosit
dengan adanya reseptor Fcγ pada membran trombosit (Fitzgerald et al, 2006).
Ikatan ini diikuti dengan pengeluaran ADP (adenosin diphosphate) yang
memicu agregasi trombosit. Sebagai konsekuensinya, trombosit akan
dihancurkan oleh RES (reticulo-endothelial system) sehingga terjadi
trombositopenia. Agregasi trombosit akan memicu pengeluaran platelet faktor
III yang mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif dengan penurunan
jumlah faktor koagulasi (Disseminated intravascular coagulopathy, DIC).
Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit.
Walaupun jumlah trombosit banyak namun tidak berfungsi dengan baik. Di
sisi lain, aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor XII (Hageman)
yang mengaktivasi sistem kinin dan memacu peningkatan permeabilitas

21
kapiler yang dapat mempercepat terjadinya syok. (Halstead, 2012; Gubler et
al, 2014).

Gambar 1. Manifestasi dan patofisiologi DHF (WHO, 2011).

22
E. Klasifikasi
Menurut WHO (2011), DF dan derajat DHF diklasifikasikan
berdasarkan tanda dan gejala dan hasil pemeriksaan laboratorium (Tabel 1).
DHF derajat III dan IV disebut juga dengan DSS. Berdasarkan klasifikasi
terbaru, selain DF dan 4 derajat DHF, dikenal expanded dengue syndrome
yang ditandai dengan adanya organopati spesifik.

Gambar 2. Klasifikasi diagnosis dengue menurut WHO (2011)

Tabel 1. Klasifikasi DF dan DHF menurut WHO (2011)

23
F. Manifestasi Klinik
Secara umum manifestasi klinis DF dan DHF dapat dilihat pada Tabel 1.
Gejala-gejala yang muncul merupakan manifestasi klinis dari patofisiologi
infeksi dengue yang mengikuti 3 tahap alami infeksi; masa febris, kritis, dan
perbaikan (Gambar 2).
1. Demam Dengue
Demam dengue diawali dnegan masa inkubasi selama 1-7 hari.
Pada masi ini manifestasi klinis bervariasi dan dipengaruhi oleh usia
pasien. Pada anak di bawah lima tahun biasanya berupa demam akut 1-5
hari, adanya faringitis, rhinitis, dan batuk ringan. Pada anak yang lebih
besar ditandai dengan demam akut dengan kenaikan suhu yang cepat
antara 39.4-41.1oC, dan disertai dengan nyeri kepala bagian frontal dan
retroorbital, nyeri punggung , myalgia, dan artrhalgia (Halstead, 2016;
WHO, 2011).
Pada 1-2 hari pertama demam dapat ditemukan ruam pada muka,
leher, dan dada diikuti dengan ruam makulopapuler general atau
rubeliform pada hari ke 3-4 kecuali pada telapak tangan dan kaki (WHO,
2011). Ruam juga dapat muncul setelah 1-2 hari setelah masa perbaikan
dan akan hilang sekala berkala dalam 1-5 hari diikuti deskuamasi epitel.
Pada masa ini suhu tubuh dapat sedikit meningkat. Peningkatan suhu ini
merupakan tanda khas demam bifasik pada demam dengue (Halstead,
2016). Pada demam dengue didapatkan leukopenia, trombositopenia,
peningkatan hematokrit > 5-10%, namun tidak disertai dengan kebocoran
plasma (Tabel 1).
2. Demam Berdarah Dengue
DF dan DHF sukar dibedakan pada masa awal penyakit. Fase awal
DHF dapat bermanifestasi serupa dengan DF diikuti dengan perburukan
cepat pada hari ke 2-5. Pada fase kedua ini, pada pasien dapat ditemukan
akral dingin, penurunan jumlah urin, kemerahan pada wajah, keringat
dingin, nyeri mid-epigastrik, dan iritabel. Gejala-gejala ini sering diikuti
dengan adanya pembesaran liver dan tanda syok (Halstead, 2016).

24
Adanya kebocoran plasma dapat dibuktikan dengan pemeriksaan
torniquet yang ditemukan pada fase awal febris. Adanya ptechiae pada
ekstremitas, axila, wajah, dan palatum juga dapat ditemukan. Pada
pemeriksaan laboratorium ditemukan peningkatan hematokrit ≥20%.
Kehilangan plasma apabila tidak ditangani akan menyebabkan syok
hipovolemik dan terkadang asites dan efusi pleura tidak mudah untuk
ditemukan pada pemeriksaan fisik. Penurunan kadar protein plasma
(albumin) >0,5gr/dl atau <3.5gr% juga dapat menjadi bukti adanya
kehilangan plasma (WHO, 2011).

Gambar 3. Perjalanan Penyakit Infeksi Dengue (CDC, 2011).

G. Pemeriksaan Laboratorium
Dilakukan pemeriksaan laboratorium darah lengkap untuk mengikuti
perkembangan dan diagnosa penyakit. Pemeriksaan trombosit perlu diulang
untuk mengetahui perkembangan penyakit. Pada DHF didapatkan jumlah
trombosit < 100.000 /µl. Peningkatan nilai hematokrit menggambarkan
terjadinya hemokonsentrasi, yang merupakan indikator terjadinya perembesan

25
plasma.Nilai peningkatan ini lebih dari 20% (Halstead 2016, WHO 2011,
Gandasubrata, 1999).
Antibodi terhadap virus dengue dapat ditemukan di dalam darah sekitar
demam hari ke-5, meningkat pada minggu pertama sampai dengan ketiga, dan
menghilang setelah 6-12 minggu. Pada infeksi primer, IgG meningkat sekitar
demam hari ke-14. Sedangkan pada infeksi sekunder, IgG meningkat pada hari
kedua. Oleh karena itu diagnosa dini infeksi primer hanya dapat ditegakkan
dengan mendeteksi IgM setelah demam hari kelima. Diagnosis infeksi
sekunder dapat ditegakkan lebih dini dengan adanya peningkatan antibodi IgG
sekitar 4 kali lipat dan IgM. Pemeriksaan penunjang lain yang juga dapat
dilakukan adalah PCR dengan sensitivitas 80-90% dan spesifitas 95%. Selain
itu PCR dapat mengonfirmasi jenis serotipe virus (CDC 2013; Halstead,
2016).

a) Infeksi primer b) Infeksi sekunder

Gambar 4. Titer IgG dan IgM pada Infeksi Dengue (CDC, 2013)

H. Diagnosis Banding
Beberapa panyakit memiliki gejala mirip demam dengue. Diagnosis
banding dapat didasarkan pada fase demam dan fase kritis (Tabel 2 dan Tabel
3).

26
Tabel 2. Penyakit dengan gejala mirim DHF fase demam

Tabel 3. Penyakit dengan gejala mirim DHF fase kritis

27
I. Penatalaksanaan
1. Alur triase
Setiap pasien tersangka dengue harus di skrining untuk menentukan
apakah pasien memerlukan rawat inap. Selain itu di triase, perlu diketahui
tanda-tanda bahaya pada infeksi dengue. Alur triase dapat dilihat pada
Bagan I.

Bagan 1. Alur triase yang dianjurkan untuk tersangka dengue


(Hadinegoro et al, 2014).

28
Tabel 2. Warning signs pada dengue (Hadinegoro et al, 2014).

Tabel 3. Tanda dan gejala syok terkompensasi (Hadinegoro et al,


2014).

Tabel 4. Tanda dan gejala syok dekompensasi (Hadinegoro et al,


2014).

29
Tabel 5. Edukasi untuk orang tua pasien rawat jalan (Hadinegoro et al,
2014).

2. Tatalaksana Umum
Pada dasarnya terapi DHF bersifat suportif dan simtomatis.
Penatalaksanaan ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat
kebocoran plasma dan memberikan terapi substitusi komponen darah
bilamana diperlukan. Dalam pemberian terapi cairan, hal terpenting yang
perlu dilakukan adalah pemantauan baik secara klinis maupun
laboratoris. Proses kebocoran plasma dan terjadinya trombositopenia
pada umumnya terjadi antara hari ke 4 hingga 6 sejak demam
berlangsung. Pada hari ke-7 proses kebocoran plasma akan berkurang
dan cairan akan kembali dari ruang interstitial ke intravaskular. Terapi
cairan pada kondisi tersebut secara bertahap dikurangi. Selain
pemantauan untuk menilai apakah pemberian cairan sudah cukup atau
kurang, pemantauan terhadap kemungkinan terjadinya kelebihan cairan
(efusi pleura atau asites) perlu diwaspadai.

30
Untuk mengatasi panas tinggi yang mendadak diperkenankan
memberikan obat panas paracetamol 10 – 15 mg/kg BB setiap 3-4 jam
diulang jika panas masih diatas 38,50C. Sebagian besar kasus DHF yang
rawat jalan adalah kasus febris hari pertama dan kedua tanpa penyulit
lainnya. Apabila terdapat penyulit hipertermi dan konvulsi sebaiknya di
rawat inap. Pada kasus DHF derajat I & II febris hari ke 3, 4, dan 5
dianjurkan untuk rawat inap karena ada resiko terjadi syok (Hadinegoro
et al., 2014).
Apabila hematokrit meningkat lebih dari 20% dari harga normal
sebaiknya penderita dirawat di ruang observasi dan direhidrasi selama
kurun waktu 12-24 jam. Penderita DHF yang gelisah dengan akral
dingin, nyeri abdomen dan oligouria sebaiknya dirawat inap. Penderita
dengan tanda-tanda perdarahan dan hematokrit yang tinggi harus dirawat
di rumah sakit untuk segera memperoleh cairan pengganti (Hadinegoro
et al., 2014).
Menurut IDAI (2010) tanda vital dan kadar hematokrit harus
dimonitor dan dievaluasi secara teratur untuk menilai hasil pengobatan.
Hal-hal yang harus diperhatikan pada monitoring adalah:
a. Nadi, tekanan darah, respirasi, dan temperatur harus dicatat setiap
15-30 menit atau lebih sering, sampai syok dapat teratasi.
b. Kadar hematokrit harus diperiksa tiap 4-6 jam sampai keadaan klinis
pasien stabil
c. Setiap pasien harus mempunyai formulir pemantauan, mengenai jenis
cairan, jumlah, dan tetesan, untuk menentukan apakah cairan yang
diberikan sudah mencukupi.
d. Jumlah dan frekuensi diuresis.
Volume dan macam cairan pengganti penderita DBD sama
dengan seperti yang digunakan pada kasus diare dengan dehidrasi sedang
(6-10% kekurangan cairan) tetapi tetesan harus hati-hati. Kebutuhan
cairan sebaiknya diberikan kembali dalam waktu 2-3 jam pertama dan
selanjutnya tetesan diatur kembali dalam waktu 24-48 jam saat
kebocoran plasma terjadi. Pemeriksaan hematokrit serial ditentukan
setiap 4-6 jam dengan monitoring tanda vital untuk mengatur jumlah

31
cairan pengganti yang masuk dan mencegah pemberian transfusi
berulang.
Jumlah cairan yang dibutuhkan adalah volume minimal cairan
pengganti yang cukup untuk mempertahankan sirkulasi secara efektif
selama periode kebocoran (24-48 jam), pemberian cairan yang
berlebihan akan menyebabkan efusi pleura dan asites, hingga edema
pulmo (Hadinegoro et al., 2014).

3. Jenis cairan
a. Kristaloid
1) Ringer Laktat
2) 5% Dekstrose di dalam larutan Ringer Laktat
3) 5% Dekstrose di dalam larutan Ringer Ashering
4) 5% Dekstrose di dalam larutan setengah normal garam fisiologi
(faali)
5) 5% Dekstrose di dalam larutan normal garam fisiologi (faali)
b. Koloidal
1) Plasma expander dengan berat molekul rendah (Dekstran 40)
2) Plasma

4. Kebutuhan cairan
Pemilihan jenis dan volume cairan yang diperlukan tergantung
dari umur dan berat badan pasien serta derajat kehilangan plasma sesuai
dengan derajat hemokonsentrasi yang terjadi. Pada anak yang gemuk,
kebutuhan cairan disesuaikan dengan berat badan ideal anak umur yang
sama. Kebutuhan cairan rumatan dapat diperhitungkan menggunakan
metode Holiday-Segar (Tabel 2) (Myers, 2009). Pada DHF terjadi
kebocoran plasma sehingga jumlah kebutuhan maintenance ditambah
dengan defisit 5% terutama saat fase kritis.
Terapi cairan meliputi jenis dan jumlah cairan yang diberikan.
Cairan kristaloid isotonik merupakan pilihan untuk pasien DBD. Tidak
dianjurkan pemberian cairan hipotonik seperti NaCl 0,45 %, kecuali bagi
pasien usia < 6 bulan. Dalam keadaan normal setelah satu jam pemberian
cairan hipotonis, hanya 1/12 volume yang bertahan dalam ruang
intravascular sedangkan cairan isotonis ¼ volume yang bertahan, sisanya

32
terdistribusi ke ruang intrseluler dan ekstraseluler. Pada keadaan
permeabilitas yang meningkat, volume cairan yang bertahan akan
semakin berkurang sehingga lebih mudah terjadi kelebihan cairan pada
pemberian cairan hipotonis (Hadinegoro, 2014).

Tabel 6. Rumus maintenance cairan Holiday-Segar untuk anak-anak


(Holiday dan Segar, 1957)
Berat badan (kg) Kebutuhan cairan + Defisit 5%
5 500 750
10 1000 1500
15 1250 2000
20 1500 2500
25 1600 2850
30 1700 3200

33
5. Algoritma penatalaksanaan infeksi dengue
a. Penatalaksanaan infeksi dengue grade I dan II
Pada kasus DHF grade I dan II secara umum kebutuhan cairan
diberikan secara oral dan parenteral sama dengan dosis rumatan di
tambah dengan deficit 5% dan diberikan selama 48 jam. Pemberian
cairan pada kasus non-syok dapat mengikuti kecepatan pada gambar
di bawah.

Gambar 5. Kecepatan pemberian cairan pada kasus non-syok

34
Bagan 4. Penatalaksanaan DHF grade I & II

35
b. Penatalaksanaan syok secara umum

Bagan 5. Penatalaksanaan kasus tersangka DHF grade III-IV

36
c. Penatalaksanaan syok terkompensasi

Bagan 6. Penatalaksanaan syok terkompensasi

d. Penatalaksanaan syok dekompensasi

Bagan 7. Penatalaksanaan syok dekompensasi

37
Bagan 8. Bagan penggantian volume cairan pada DSS
(Hardjonegoro et al, 2012)

Tabel 7. Evaluasi hasil lab pada syok

J. Komplikasi
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada dari infeksi dengue adalah
1. Asidosis metabolik
2. Ketidakseimbangan elektrolit
3. Efusi pleura dan asites

38
4. Edema pulmonal
5. Acute respiratory distress syndrome (ARDS)

K. Prognosis
Secara umum, sebagian besar pasien DBD akan sembuh tanpa komplikasi
dalam waktu 24-48 jam setelah syok. Tanda pasien masuk ke dalam fase
penyembuhan adalah keadaan umum membaik, meningkatnya nafsu makan,
tanda vital stabil, Ht stabil dan menurun sampai 35-40%, dan diuresis cukup.
Pada fase penyembuhan dapat ditemukan confluent petechial rash (30%) atau
sinus bradikardi akibat mikokarditis yang umumnya tidak memerlukan
pengobatan. Cairan intravena harus dihentikan segera apabila memasuki fase
ini. Apabila nafsu makan tidak meningkat dan dan perut terlihat kembung
dengan atau tanpa penurunan atau menghilangnya bising usus, kadar kalium
harus diperiksa karena sering terjadi hipokalemia (fase diuresis). Buah-
buahan, jus buah atau larutan oralit dapat diberikan untuk menanggulangi
gangguan elektroliti.
Penderita dapai dipulangkan apabila paling tidak dalam 24 jam tidak
terdapat demam tanpa antipiretik, kondisi klinis membaik, nafsu makan baik,
nilai Ht stabil,tiga hari sesudah syok teratasi, tidak ada sesak napas atau
takipnea, dan junlah trombosit >50.000/mm3. Kegagalan tata laksana
umumnya disebabkan oleh kegagalan untuk memantau tetesan dan jumlah
cairan pengganti selama fase kritis. Pemberian cairan yang berkelebihan atau
lebih lama dari masa kebocoran plasma, kegagalan mengenal perdarahan
internal/tersembunyi, pemberian transfusi trombosit yang tidak perlu, serta
kegagalan memantau pasien berobat jalan, dan penggunaan pipa lambung
(nasogastric tube) untuk menentukan adanya perdarahan seringkali menjadi
penyebab tata laksana yang tidak tepat (Hadinegoro et al, 2012).

39
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang, pasien tersebut didiagnosis dengan DHF derajat I dan gizi
kurang, normoheight, normoweight.
2. Pada pasien tersebut telah dilakukan penanganan yang tepat sesuai
dengan pedoman tata laksana kasus infeksi dengue pada anak

B. Saran
1. Setelah pasien diperbolehkan pulang, sebaiknya dilakukan follow up
kembali untuk mengevaluasi hasil pengobatan.
2. Karena ada riwayat tetangga pasien dengan DHF diperulukan edukasi
pada keluarga pasien untuk menjaga kebersihan lingkungan untuk
mencegah infeksi berulang dengan pemberantasan sarang nyamuk (PSN)
3. Memberikan edukasi terhadap keluarga pasien untuk segera membawa ke
layanan kesehatan apabila terdapat gejala demam dengan tanda khas
dengue.

40
DAFTAR PUSTAKA

Centers for Disease Control. 2013. Dengue Laboratory Guidance and Diagnostic
Testing. Tersedia di:
https://www.cdc.gov/dengue/clinicallab/laboratory.html [diakses 21
Februari 2017).
Centers for Disease Control. 2011. Dengue Case Management Card. Tersedia di:
https://www.cdc.gov/Dengue/resources/Dengue%20Case
%20Management_card_125085_12x6_Zcard_Dengue.pdf [diakses 21
Februari 2017).
Furst DE, Ulrich RW, Praksh S. 2012. Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drugs,
Disease-Modifying Antirheumatic Drugs, Nonopioid Analgesics, & Drugs
Used in Gout. Dalam: Katzung et al (eds). Basic & Clinical Pharmacology.
12th ed. New York: McGraw Hill Medical. Hal: 63-46.
Gandasubrata, R. 1999. Penuntun laboratorium klinik. PT. Dian Rakyat: Jakarta.
Gubler DJ, Ooi EE, Vasudevan S, dan Farrar J .2014. Dengue and dengue
hemorrhagic fever. Singapore : CABI.
Hadinegoro, SR, Moedjito, I dan Chairulfatah, A. 2014. Pedoman Diagnosis dan
Tata Laksana kasus Infeksi Dengue pada Anak. Jakarta: Badan Penerbit
Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Hadinegoro SR, Kadim M, Devaera Y, Idris NS, dan Ambarsari CG. 2012.
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan LXIII: Update Management Of
Infectious Diseases And Gastrointestinal Disorders. Jakarta: FKUI.
Halstead, SB. 2016. Dengue Fever and Dengue Hemorrhagic Fever. Dalam:
Kliegman, et al (eds). Nelson Textbook of Pediatrics. 20th ed. Philadelphia:
Elsevier; 1629-32.
Holliday MA, Segar WE. 1957. The maintenance need for water in parenteral
fluid therapy. Pediatrics;19:823-832.
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2010. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter
Anak Indonesia. IDAI: Jakarta.
Kurane I. 2007. Dengue hemorrhagic fever with special emphasis on
immunopathogenesis. Comp Immun Microbiol Infect Dis; 30: 329–340.

41
Myers RS. 2009. Pediatric Fluid and Electrolyte Therapy. J Pediatr Pharmacol
Ther ;14:204–211.
World Health Organization. 2006. The WHO Child Growth Standards. WHO.
World Health Organization. 2011. Comprehensive Guidelines for Prevention and
Control of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever Revised and
Expanded Edition. India : WHO.

42

Anda mungkin juga menyukai