Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH FARMASI

TYPHUS ABDOMINALIS

Oleh :
Siti Nurhidayah
G99142127

Pembimbing :
Dyah Poerwohastuti, S.Farm., Apt

KEPANITERAAN KLINIK ILMU FARMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD Dr. MOEWARDI
SURAKARTA

0
2015
BAB I
PENDAHULUAN

Tifus abdominalis atau yang sering disebut juga dengan demam tifoid
merupakan salah satu penyakit yang banyak ditemukan dalam kehidupan
masyarakat, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Penyakit ini erat kaitannya
dengan kualitas higiene pribadi dan sanitasi lingkungan yang kurang baik seperti
higiene perorangan dan penjamah makanan yang rendah, lingkungan yang kumuh,
kebersihan tempat-tempat umum (rumah makan atau restoran) yang kurang serta
perilaku masyarakat yang tidak mendukung untuk hidup sehat. Seiring dengan
terjadinya krisis ekonomi yang berkepanjangan akan menimbulkan peningkatan
kasus-kasus penyakit menular, termasuk demam tifoid ini.11,12
Di Indonesia penyakit ini bersifat endemik dan merupakan masalah
kesehatan masyarakat. Dari telaah kasus di rumah sakit besar di Indonesia,
tersangka demam tifoid menunjukkan kecenderungan meningkat dari tahun ke
tahun dengan rata-rata kesakitan 500/100.000 penduduk dan angka kematian
antara 0.6 – 5%. Dewasa ini demam tifoid harus mendapat perhatian yang serius
karena permasalahannya yang makin kompleks sehingga menyulitkanupaya
pengobatan dan pencegahan. Permasalahan tersebut mencakup : 1) gejala klinik
bervariasi dengan komplikasi yang berbahaya, 2) komorbid atau koinfeksi dengan
penyakit lain, 3) Resistensi terhadap antibiotik yang semakin meningkat, 4)
Peningkatan kasus carier dan relaps, dan 5) Cakupan vaksinasi demam tifoid yang
masih rendah.11,12

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Typhus abdominalis adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan
oleh infeksi kuman Salmonella typhi yang biasanya mengenai saluran
pencernaan dengan gejala demam lebih dari 7 hari, gangguan pada saluran
cerna, gangguan kesadaran, dan lebih banyak menyerang pada anak usia 12 –
13 tahun ( 70% – 80% ), pada usia 30 – 40 tahun ( 10%-20% ) dan di atas
usia pada anak 12-13 tahun sebanyak ( 5%-10% ).1

B. EPIDEMIOLOGI
Di Indonesia, demam tifoid jarang dijumpai secara epidemis tapi
bersifat endemis. Tidak ada perbedaan yang nyata insidens demam tifoid pada
pria dengan wanita. Insidens tertinggi didapatkan pada remaja dan dewasa
muda. Angka kesakitan yang diakibatkan demam tifoid cenderung meningkat
setiap tahun dengan rata-rata 500 / 100.000 penduduk. Angka kematian
diperkirakan 0.6 – 5 % sebagai akibat dari keterlambatan mendapat
pengobatan serta tingginya biaya pengobatan.6,12
Insidens demam tifoid bervariasi tiap daerah dan biasanya terkait
dengan sanitasi lingkungan. Di daerah rural (Jawa Barat) didapatkan 157
kasus per 100.000 penduduk, sedangkan di daerah urban ditemukan 760 –
810 per 100.000 penduduk. Perbedaan insidens di perkotaan berhubungan
erat dengan penyediaan air bersih yang belum memadai serta sanitasi
lingkungan dengan pembuangan sampah yang kurang memenuhi syarat
kesehatan lingkungan.6
Sumber penularan biasanya tidak dapat ditemukan. Ada 2 sumber
penularan Salmonella typhi yaitu pasien dengan tifoid dan carrier. Di daerah
endemik, transmisi terjadi melalui air yang tercemar dan makanan yang

2
tercemar oleh carrier yang merupakan sumber penularan yang paling sering di
daerah non endemik 5.
C. ETIOLOGI
Tifus abdominalis disebabkan oleh Salmonella typhi, Salmonella
paratyphi A, B, dan C. Salmonella typhosa merupakan basil gram negatif
yang bergerak dengan bulu getar, tidak berspora dan memiliki setidaknya tiga
macam antigen yaitu :
1. Antigen O (Ohne Hauch) yaitu somkatic antigen (tidak menyebar),
terdiri dari zat kompleks lipopolisakarida.
2. Antigen H (Hauch, menyebar) terdapat pada flagella.
3. Antigen Vi merupakan polisakarida kapsul verilen
Ketiga jenis antigen tersebut di dalam tubuh manusia akan
menimbulkan tiga macam antibodi yang lazim disebut aglutinin.6

D. PATOFISIOLOGI
Kuman Salmonella thypi masuk ke tubuh manusia melalui berbagai
cara, yang dikenal dengan 5 F yaitu Food (makanan), Fingers (jari
tangan/kuku), Fomitus (muntah), Fly (lalat), dan melalui Feses. Sebagian
kuman dimusnahkan asam lambung. Sebagian lagi masuk ke usus halus dan
mencapai jaringan limfoid plaque Payeri di ileum terminalis yang hipertropi.
Di tempat ini komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal dapat terjadi.
Kuman S.typhi kemudian menembus lamina propia masuk aliran limfe
mesenterial, dan mencapai kelenjar limfe mesenterial, yang juga mengalami
hipertropi. Setelah melewati kelenjar-kelenjar limfe ini, S.typhi masuk aliran
darah melalui ductus thoracicus. Kuman-kuman S.typhi lain mencapai hati
melalui sirkulasi portal dari usus. S.typhi bersarang di plaque Payeri, limpa,
hati dan bagian-bagian lain system retikuloendotelial. Semua disangka
demam dan gejala-gejala toksemia pada demam tifoid disebabkan
endotoksemia. Tapi kemudian berdasar penelitian eksperimental disimpulkan
bahwa endotoksemia bukan merupakan penyebab utama demam dan gejala-
gejala toksemia pada typhus abdominalis. Endotoksin S.typhi berperan pada
patogenesis, karena membantu terjadinya proses inflamasi lokal pada jaringan

3
tempat S.typhi berkembang biak. Demam pada tifoid disebabkan karena
S.typhi dan endotoksinya merangsang sintesis dan penglepasan zat pirogen
olek leukosis pada jaringan yang meradang5. Proses perkembangan S. Typhi
di dalam tubuh dijelaskan dalam bagan berikut.

Tabel 1. Perkembangan kuman S. typhi

4
E. MANIFESTASI KLINIS
Masa tunas berlangsung 10 – 14 hari. Gejala-gejala yang timbul
bervariasi. Selain itu, gambaran penyakit bervariasi dari penyakit ringan yang
asimptomatis sampai gambaran penyakit yang khas dengan komplikasi dan
kematian.
Minggu pertama, keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi
akut pada umumnya, yaitu demam (suhu tubuh meningkat pada sore dan
malam hari), nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah,
obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, epistaksis. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan suhu badan meningkat.
Dalam minggu kedua, gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa
demam, bradikardia relatif, lidah khas (kotor di tengah, tepi dan ujung merah
(coated tongue) serta tremor), hepatomegali, splenomegali, rasa perut
kembung (meteorismus), gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma,
delirium, atau psikosis, roseolae jarang ditemukan pada orang Indonesia5.

F. DIAGNOSIS
Biakan darah positif memastikan typhus abdominalis, tapi biakan
darah negatif tidak menyingkirkan typhus abdominalis. Biakan feces positif
menyokong diagnosis klinis typhus abdominalis5. Biakan feces ini, 75%
positif pada minggu ketiga.
Diagnosis serologis kurang dapat diandalkan dibandingkan biakan.
Sebagian besar pasien dapat mempunyai antibodi terhadap antigen O, H, dan
Vi (tes widal). Jika tidak mendapatkan imunisasi yang baru, titer antibodi
terhadap antigen O (> 1/640) adalah sugestif, tapi tidak spesifik selama
salmonella serogrup. Peninggian antibodi empat kali lipat pada sediaan
berpasangan adalah kriteria yang baik, untuk memastikan diagnosis typhus
abdominalis selama 2 sampai 3 minggu5,6. Jadi pemeriksaan widal dinyatakan
positif apabila :
 Titer O widal I 1/320 atau
 Titer O widal II naik 4 kali atau lebih dibandingkan titer O widal I atau

5
 Titer O widal I (-) tapi titer O widal II (+) berapapun angkanya
Sedangkan pemeriksaan penunjang lainnya :

Darah perifer lengkap : leukopenia, limfositosis, aneosinofilia

Biakan empedu : tumbuh koloni Salmonella typhi9

TUBEX® test

Diagnosis klinis typhus abdominalis atau demam tifoid diklasifikasikan


menjadi 2, yaitu :
1. Suspek demam tifoid (Suspect Case)
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik didapatkan gejala demam, gangguan
saluran cerna, dan petanda gangguan kesadaran. Jadi sindrom tifoid
didapatkan belum lengkap. Diagnosis suspek tifoid hanya dibuat pada
pelayanan kesehatan dasar.
2. Demam tifoid klinis (Probable Case)
Didapatkan gejala klinis demam tifoid yang lengkap dan didukung
dengan hasil laboratorium yang menunjukkan tifoid.11,12

G. DIAGNOSIS BANDING
Demam Berdarah Dengue
Malaria
Leptospirosis
Hepatitis A
Infeksi Saluran Kemih
Demam yang berhubungan dengan infeksi HIV11

H. KOMPLIKASI
Biasanya terjadi pada minggu kedua dan ketiga demam. Komplikasi
demam tifoid antara lain :
1. Tifoid toksik (Tifoid ensefalopati)

6
Penderita dengan sindrom demam tifoid dengan panas tinggi yang
disertai dengan kekacauan mental hebat, kesadaran menurun, mulai dari
delirium sampai koma.
2. Syok septik
Penderita dengan demam tifoid, panas tinggi serta gejala-gejala toksemia
yang berat. Selain itu, terdapat gejala gangguan hemodinamik seperti
tekanan darah turun, nadi halus dan cepat, keringat dingin dan akral
dingin.
3. Perdarahan dan perforasi intestinal (peritonitis)
Komplikasi perdarahan ditandai dengan hematoschezia. Dapat juga
diketahui dengan pemeriksaan feses (occult blood test). Komplikasi ini
ditandai dengan gejala akut abdomen dan peritonitis. Pada foto polos
abdomen 3 posisi dan pemeriksaan klinis bedah didapatkan gas bebas
dalam rongga perut.
4. Hepatitis tifosa
Kelainan berupa ikterus, hepatomegali, dan kelainan tes fungsi hati.
5. Pankreatitis tifosa
Terdapat tanda pankreatitis akut dengan peningkatan enzim lipase dan
amilase. Tanda ini dapat dibantu dengan USG atau CT Scan.
6. Pneumonia
Didapatkan tanda pneumonia yang diagnosisnya dibantu dengan foto
polos toraks.11

I. TERAPI
1. Terapi Suportif
a. Bed rest total, sampai 7 hari bebas panas3. Maksudnya untuk
mencegah terjadinya komplikasi yakni perdarahan usus atau
perforasi usus. Mobilisasi pasien dilakukan secara bertahap, sesuai
dengan kekuatan pasien guna menghindari komplikasi pneumonia
hipostatik dan dekubitus5.

7
b. Menjaga kecukupan asupan cairan yang dapat diberikan secara oral
maupun parenteral. Cairan parenteral diindikasikan pada penderita
yang sakit berat, ada komplikasi, penurunan kesadaran serta yang
sulit makan. Dalam hal ini dapat diberikan Infus Ringer Laktat 20
tetes/menit, untuk menggantikan cairan tubuh yang hilang dan
mengembalikan keseimbangan elektrolit-elektrolit tubuh karena
pasien mengalami mual dan muntah dimana dapat mengancam
terjadinya dehidrasi. Keadaan dehidrasi ini dapat dicegah karena
infus ringer laktat mengandung komposisi elektrolit dan
konsentrasinya sama dengan yang dikandung di dalam cairan
ekstraseluler. Kandungan elektrolitnya antara lain Natrium 130 mEq,
Kalium 4 mEq, Klorida 109 mEq, Kalsium 3 mEq, Asetat 28 mEq.
Natrium merupakan kation utama plasma darah dan menentukan
tekanan osmotik, klorida merupakan anion utama plasma darah serta
kalium merupakan kation intraseluler sebagai konduksi syaraf dan
otot11,12.
c. Diet saring TKTP (Tinggi Kalori Tinggi Protein) rendah serat,
konsistensi lunak sampai 7 hari bebas panas lalu ganti bubur kasar,
dan setelah 7 hari ganti dengan nasi3. Pemberian bubur saring
bertujuan untuk menghindari komplikasi perdarahan usus / perforasi
usus, karena ada pendapat bahwa usus perlu diistirahatkan5.

2. Terapi Simptomatik
a. Antipiretik, untuk menurunkan demam. Misalnya, dengan pemberian
Paracetamol dengan dosis 3 x 500-1000 mg sehari
b. Antiemetik, diperlukan bila penderita muntah hebat11,12

3. Terapi Definitif / Kausatif


Penyebab dari typhus abdominalis adalah bakteri Salmonella
typhii, sehingga jelas dalam hal ini diberikan terapi kausatif/definitif
berupa pemberian antimikroba (antibiotik) sesuai dengan bakteri

8
penyebabnya. Terapi antibiotik merupakan inti dari farmakoterapi dan
harus dimulai jika bukti klinis mendukung gambaran typhus
abdominalis2. Sejak tahun 1960, telah muncul strain S.typhii yang
resisten terhadap kloramfenikol dan pada tahun 1989, strain S. typhii
Multi Drugs Resistance (MDR) yang kebal terhadap Kloramfenikol
amoxicillin dan cotrimoxazol muncul dan menyebar di anak benua India
dan beberapa negara di Asia Tenggara. Untuk kasus typhus MDR ini
maka obat pilihan utamanya adalah Flouoroquinolone dan
Cephalosporin generasi ketiga karena kemanjuran serta rendahnya angka
kasus relaps dan carrier2. Kloramphenikol terutama digunakan pada
daerah-daerah dimana strain lokal masih sensitif1,2. Pada kasus Typhus
Abdominalis MDR pada anak, karena penggunaan quinolone tidak
dianjurkan, maka cephalosporine generasi ke tiga menjadi pilihan
utama2.

Tabel 1. Antibiotik dan Dosis Penggunaan untuk Tifoid5,11,12


Antibiotik Dosis Kelebihan dan Kekurangan
Kloramfenikol Dewasa : 4x500 mg (2 g / Kelebihan :
hari) selama 10 hari  Merupakan obat yang sering
Anak : 100 mg/kgBB/hari digunakan dan telah lama
per oral atau IV, dibagi 4 dikenal efektif untuk tifoid
dosis, selama 10-14 hari  Murah dan dapat diberikan
peroral dan sensitivitas masih
tinggi
 Pemberian PO / IV
 Tidak diberikan bila leukosit
< 2000/mm3
Seftriakson Dewasa : 2–4 g / hari Kelebihan :
selama 3-5 hari  Cepat menurunkan suhu,
Anak : 80 mg/kgBB/hari, lama pemberian pendek dan
IM atau IV, dosis tunggal, dapat dosis tunggal serta

9
selama 5 hari cukup aman untuk anak
 Pemberian IV
Ampisilin dan Dewasa : 1,5–2 g / hari Kelebihan :
Amoksisilin selama 7-10 hari  Aman untuk penderita hamil
Anak : 100 mg/kgBB/hari  Sering dikombinasikan
per oral atau IV, dibagi 3 dengan kloramfenikol pada
dosis, selama 10 hari pasien yang kritis
 Tidak mahal
 Pemberian PO / IV
 Angka Carrier lebih sedikit
pada bakteri yang benar-
benar sensitif
Kekurangan :
 Perbaikan klinis lebih lambat
 Kasus relaps lebih banyak
 Kurang efektif dibandingkan
dengan Kloramfenikol dalam
menurunkan panas dan kasus
relaps
Kotrimoksasol Dewasa : 2x(160–180) mg Kelebihan :
(TMP-SMX) selama 7-10 hari  Tidak mahal
Anak : 4–6 mg/kgBB/hari,  Pemberian PO
per oral, dibagi 2 dosis,  Dapat digunakan pada pasien
selama 10 hari yang alergi terhadap
Kloramfenikol, Tiamfenikol,
dan golongan Penisilin
 Sama efektif seperti
Kloramfenikol dalam
menurunkan panas dan
pencegahan relaps
Kekurangan :
 Perbaikan klinis lebih lambat
Kuinolon Siprofloksasin 2x500 mg Kelebihan :

10
selama 1 minggu  Pefloksasin dan Fleroksasin
Ofloksasin 2x(200–400) lebih cepat menurunkan suhu
mg selama 1 minggu  Efektif mencegah relaps dan
Pefloksasin 1x400 mg karier
selama 1 minggu  Pemberian PO
Fleroksasin 1x400 mg  Anak < 18 tahun tidak
selama 1 minggu dianjurkan karena efek
samping pada pertumbuhan
tulang
Sefiksim Anak : 20 mg/kgBB/hari, Kelebihan :
per oral, dibagi 2 dosis,  Aman untuk anak
selama 10 hari  Efektif
 Pemberian PO
Tiamfenikol Dewasa : 4x500 mg/hari Kelebihan :
Anak : 50 mg/kgBB/hari  Dapat dipakai untuk anak dan
selama 5-7 hari bebas dewasa
panas  Dilaporkan cukup sensitif
pada beberapa daerah
 Dosis dan efektivitas sama
dengan Kloramfenikol
 Angka Carrier lebih sedikit
pada bakteri yang sensitif
Kekurangan :
 Perbaikan klinis lebih lambat
 Kasus relaps lebih banyak

Pengobatan Thypus Abdominalis / Demam Tifoid pada Wanita Hamil


Penggunaan Kloramfenikol pada ibu hamil trimester III tidak
dianjurkan karena dapat menyebabkan partus prematur, IUFD (Intra
Uterin Fetal Death), dan sindrom “Grey Baby”8. Sedangkan untuk ibu
hamil Trimester I dan II dapat diberikan 3. Tiamfenikol juga tidak
dianjurkan digunakan pada trimester I karena adanya kemungkinan efek

11
teratogenik terhadap janin. Namun, pada kehamilan lebih lanjut
Tiamfenikol dapat digunakan. Demikian juga obat golongan
Fluorokuinolon maupun Kotrimoksasol tidak boleh digunakan untuk
mengobati demam tifoid pada ibu hamil. Obat yang dianjurkan untuk
pengobatan demam tifoid pada ibu hamil adalah Ampisilin, Amoksisilin,
dan Seftriakson6.
“Grey Baby Syndrome” juga dapat terjadi pada pemberian
kloramfenikol pada bayi prematur yang mendapat dosis tinggi. Dosis
maksimal untuk bayi kurang dari 1 bulan adalah 25 mg/kgBB/hari7.

J. PROGNOSIS
Terapi yang cocok, terutama jika pasien perlu dirawat secara medis
pada stadium dini, sangat berhasil. Angka kematian dibawah 1%, dan hanya
sedikit penyulit yang terjadi6. Secara keseluruhan, prognosis penyakit ini
adalah bonam (baik), namun dari segi kesembuhan (ad sanationam) dubia ad
bonam (ragu-ragu atau cenderung baik) karena penyakit ini cenderung dapat
terjadi berulang / relaps.11

BAB II
ILUSTRASI KASUS

A. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Nn. N

12
Umur : 25 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Mahasiswa
Alamat : Kadipiro, Surakarta
Agama : Islam
Tanggal Pemeriksaan : 17 Desember 2015
No. RM : 002605XX

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama : Demam
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang dengan keluhan demam. Demam dirasakan sejak
kurang lebih 7 hari SMRS. Demam dirasakan naik turun terutama
memberat pada sore hari dan malam hari sampai badan menggigil.
Penderita mengaku sudah meminum obat penurun panas (panadol) dan
demam sempat turun tetapi naik lagi setelah beberapa jam minum obat.
Kepala penderita juga pusing terutama saat demam. Penderita
mengeluhkan nyeri perut dan mual-muntah, nafsu makan berkurang dan
badan terasa lemah. Sudah 4 hari ini penderita tidak BAB. BAK tidak ada
keluhan. Dalam keseharian, pasien sering membeli makanan dan minuman
di pinggiran jalan.
3. Riwayat Penyakit Dahulu :
 Riwayat mondok karena penyakit serupa (-)
 Riwayat alergi obat, makanan, udara dingin (-)
 Riwayat DM (-)
 Riwayat asma (-)
 Riwayat penyakit Liver (-)
4. Riwayat Penyakit Keluarga
 Riwayat penyakit serupa (-)
 Riwayat alergi (-)

13
 Riwayat DM (-)

C. PEMERIKSAAN FISIK
A. Keadaan Umum Sakit sedang, compos mentis, gizi kesan cukup

B. Tanda Vital Tensi : 110/70 mmHg


Nadi : 70 x / menit, irama reguler, isi dan tegangan cukup
Frekuensi Respirasi : 20 x/menit
Suhu : 38,7 0C
Status Gizi BB = 55 kg
TB = 165 cm
BMI = 20,2 kg/m2
C. Kulit Warna coklat, turgor menurun (-), hiperpigmentasi (-),
kering (-), teleangiektasis (-), petechie (-), ikterik (-),
ekimosis (-), pucat (-)
D. Kepala Bentuk mesocephal, rambut warna hitam, uban (-), mudah
rontok (-), luka (-)
E. Mata Mata cekung (-/-), konjunctiva pucat (-/-), sklera ikterik
(-/-), perdarahan subkonjugtiva (-/-), pupil isokor dengan
diameter (3 mm/3 mm), reflek cahaya (+/+), edema
palpebra (-/-), strabismus (-/-)
F. Telinga Membran timpani intak, sekret (-), darah (-), nyeri tekan
mastoid (-), nyeri tekan tragus (-)
G. Hidung Nafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-), fungsi
penghidu baik
H. Mulut Sianosis (-), gusi berdarah (-), gigi tanggal (-), bibir kering
(-), pucat (-), lidah kotor (+), papil lidah atrofi (-),
stomatitis (-), luka pada sudut bibir (-), tepi lidah hiperemi
(+)
I. Leher JVP R+2cm (tidak meningkat), trakea di tengah, simetris,
pembesaran kelenjar tiroid (-), pembesaran limfonodi
cervical (-), leher kaku (-), distensi vena-vena leher (-)
J. Thorax Bentuk normochest, simetris, pengembangan dada kanan =
kiri, retraksi intercostal (-), spider nevi (-), pernafasan

14
torakoabdominal, sela iga melebar (-), pembesaran KGB
axilla (-/-)
K. Jantung :
Inspeksi Iktus kordis tidak tampak
Palpasi Iktus kordis teraba di SIC V 1 cm medial linea
medioclavicularis
Iktus kordis tidak kuat angkat
Perkusi Batas jantung kanan atas : SIC II linea sternalis dextra
Batas jantung kanan bawah : SIC IV linea parasternalis
dekstra
Batas jantung kiri atas : SIC II linea parasternalis sinistra
Batas jantung kiri bawah : SIC V 1 cm medial linea
medioklavicularis sinistra
Pinggang jantung : SIC II-III parasternalis sinistra
→ konfigurasi jantung kesan tidak melebar
Auskultasi HR : 92 kali/menit reguler. Bunyi jantung I-II murni,
intensitas normal, reguler, bising (-), gallop (-). Bunyi
jantung I > Bunyi jantung II, di SIC V 1 cm medial linea
medioklavikula sinistra dan SIC IV linea parasternal
sinistra. Bunyi jantung II > Bunyi jantung I di SIC II linea
parasternal dextra et sinistra.
L. Pulmo :
Inspeksi Normochest, simetris, sela iga melebar (-), iga mendatar
(-). Pengembangan dada kanan = kiri, sela iga melebar,
retraksi intercostal (-)
Palpasi Simetris. Pergerakan dada kanan = kiri, peranjakan dada
kanan = kiri, fremitus raba kanan = kiri
Perkusi Sonor / Sonor
Auskultasi Suara dasar vesikuler intensitas normal, suara tambahan
wheezing (-/-), ronchi basah kasar (-/-), ronchi basah halus
basal paru (-/-), krepitasi (-/-)
Punggung kifosis (-), lordosis (-), skoliosis (-), nyeri ketok
kostovertebra (-),
M Abdomen :

15
Inspeksi Dinding perut sejajar dari dinding thorak, distended (-),
venektasi (-), sikatrik (-), stria (-), caput medusae (-)
Auscultasi Peristaltik (+) normal
Perkusi Timpani, pekak alih (-)
Palpasi nyeri tekan (-). Hepar tidak teraba. Lien tidak teraba.
N. Genitourinaria Ulkus (-), sekret (-), tanda-tanda radang (-)

O. Ekstremitas Kuku pucat (+), spoon nail (-)


Akral dingin Odem
_ _ _ _
_ _ _ _

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG :
Darah Rutin
Hemoglobin : 12,0 g/dL
Hematokrit : 35 %
Leukosit : 8000 g/dL
Eritrosit : 4.100.000 g/dL
Trombosit : 157.000 g/dL
Kimia Klinik
SGOT : 25 u/l
SGPT : 28 u/l
Kreatinin : 0.8 mg/dl
Ureum : 20 mg/dl

Elektrolit
Natrium darah : 130 mmol/L (↓)
Kalium darah : 3.3 mmol/L
Chlorida darah : 93 mmol/L (↓)

Widal Test
Titer O Titer H
S. typhi 1 / 320 1 / 400

16
S. paratyphi 1 / 160 1 / 160

E. DIAGNOSIS
Typhus Abdominalis

F. PENATALAKSANAAN
1. Non Medikamentosa
 Bed rest total sampai 7 hari bebas panas (mobilisasi bertahap dari
duduk sampai pulih kekuatan)
 Diet TKTP lunak, rendah serat sampai 7 hari bebas panas. Kemudian
diganti bubur kasar setelah 7 hari diganti nasi
2. Medikamentosa
 Infus NaCl 0,9%
 Kloramfenikol 4 x 500 mg selama 10 hari → drug of choice Tifoid
 Pamol 3 x 500 mg → Demam
 Rantin injeksi → Mual-muntah

Penulisan Resep

RSUD Dr. Moewardi Surakarta


Poli Klinik Interna
17 Desember 2015
Dokter : dr. Siti Nurhidayah

R/ Infus Natrium Chlorida 0,9% fl No III


Cum infuse set No I
Abocath no 20 No I
Three way No I
S imm
R / Kloramfenikol tab mg 500 No XL
S 4 dd tab I

17
R/ Pamol tab mg 500 No. XV
S 3 dd tab I
R/ Rantin inj amp No. III
Cum disposable syringe cc 3 No. III
S imm

Pro : Nn. N (25 tahun)


Alamat : Kadipiro, Surakarta

G. PROGNOSIS
Ad vitam : bonam
Ad fungsionam : bonam
Ad sanam : dubia ad bonam

BAB III
PEMBAHASAN

A. Tindakan Umum
Tujuan pengobatan adalah untuk membasmi infeksi, mengurangi
morbiditas dan mencegah komplikasi2.
Untuk membasmi infeksi dan mencegah komplikasi, maka pemberian
antibiotika yang tepat adalah hal yang terpenting dan menjadi inti
farmakoterapi terhadap typhus abdominalis. Antibiotik diberikan secara
empiris bila bukti-bukti klinis menyokong diagnosa typhus abdominalis2.
Untuk mengurangi morbiditas, pemberian glukokortikoid
(Dexamethasone) dapat diberikan pada pasien yang mengalami demam
toksemik yang berat1,3. Pemberian harus dengan indikasi dan dosis yang tepat
karena dapat menyebabkan perdarahan dan perforasi usus 3. Pemberian asam

18
salisilat dan antipiretik lain tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan
perdarahan dan perforasi usus4 disamping memang tidak banyak berguna 3.
Untuk mengurangi demam dapat dilakukan kompres dengan air hangat3 .

B. Terapi Antibiotik
Terapi antibiotik merupakan inti dari farmakoterapi dan harus dimulai
jika bukti klinis mendukung gambaran typhus abdominalis2.
Sejak tahun 1960, telah muncul strain S.typhii yang resisten terhadap
kloramfenikol dan pada tahun 1989, strain S. typhii Multi Drugs Resistance
(MDR) yang kebal terhadap Chloramphenicol, Amoxicillin dan Cotrimoxazol
muncul dan menyebar di anak benua India dan beberapa negara di Asia
Tenggara. Untuk kasus typhus MDR ini maka obat pilihan utamanya adalah
Flouoroquinolone dan Cepholosporin generasi ketiga karena kemanjuran serta
rendahnya angka kasus relaps dan carrier2.
Kloramphenicol terutama digunakan pada daerah-daerah dimana
strain lokal masih sensitif1,2. Pada kasus typhus abdominalis MDR pada anak,
karena penggunaan quinolone tidak dianjurkan, maka cephalosporine
generasi ketiga menjadi pilihan utama2.

C. Pembahasan Obat
Obat yang dipilih sebagai antibiotik pada kasus di atas adalah
Kloramfenikol, dimana obat ini bekerja dengan cara berikatan dengan subunit
ribosom 50 S bakteri dan menghambat pertumbuhan bakteri dengan
menghambat sintesa protein2. Efektif untuk bakteri gram positif dan negatif 2,
namun jika ada antibiotik lain yang lebih aman, dianjurkan untuk tidak
menggunakan kloramfenikol. Saat ini terutama digunakan untuk demam
typhoid, infeksi Salmonella yang lain, serta H. influenzae.
Resorbsi dari usus lengkap dan cepat, dengan bioavailability 75-90%.
Distribusi ke jaringan rongga, dan cairan tubuh, kecuali empedu. Kadar dalam
LCS (Liquid Cerebro Spinal) tinggi sekali. Protein plasma (PP) kurang dari
50%, plasma-t ½-nya rata-rata 3 jam. Dalam hati, 90% dirombak menjadi

19
glukoronid inaktif8. Ekskresi melalui ginjal dalam bentuk inaktif dan hanya
10% dalam bentuk utuh7.
Perbaikan klinis tampak pada hari kedua dan panas mulai turun pada
2,4
hari ke 3-5 . Diberikan secara peroral kecuali pasien mengeluh mual atau
diare, dimana dapat diberikan per IV (intra venous). Pemberian per IM (intra
muscular) haruslah dihindari karena menyebabkan penurunan panas yang
lambat serta kadar obat dalam darah kurang memuaskan2.
Efek samping lain yang umum terjadi adalah gangguan lambung usus,
neuropati optis dan perifer, radang lidah dan mulut. Efek samping yang lebih
berat yaitu reaksi hematologik berupa depresi sumsum tulang yang reversibel
dan anemia aplastik yang ireversibel8. Angka kejadian reaksi hematologik ini
adalah 1: 24.000-50.0007.
Interaksi dengan obat lain :
1. Barbiturat : dapat menyebabkan peningkatan kadar serum barbiturat
sedang kadar serum kloramfenikol menurun sehingga mengakibatkan
toksisitas2 di samping itu juga memperpendek waktu paruh
kloramfenikol.
2. Sulfonil urea : hipoglikemia.
3. Rifampisin : kadar serum kloramfenikol turun.
4. Antikoagulan : peningkatan efek dari antikoagulan.
5. Hydantoin : meningkatkan kadar serum hydantoin.

Penggunaan Kloramfenikol pada ibu hamil trimester III tidak


dianjurkan karena dapat menyebabkan partus prematur, IUFD (Intra Uterin
Fetal Death), dan sindrom “Grey Baby”8. Sedangkan untuk ibu hamil
Trimester I dan II dapat diberikan3. Tiamfenikol juga tidak dianjurkan
digunakan pada trimester I karena adanya kemungkinan efek teratogenik
terhadap janin. Namun, pada kehamilan lebih lanjut Tiamfenikol dapat
digunakan. Demikian juga obat golongan Fluorokuinolon maupun
Kotrimoksasol tidak boleh digunakan untuk mengobati demam tifoid pada

20
ibu hamil. Obat yang dianjurkan untuk pengobatan demam tifoid pada ibu
hamil adalah Ampisilin, Amoksisilin, dan Seftriakson6.

D. Alasan pemilihan Kloramfenikol untuk kasus ini


1. Diharapkan adanya perbaikan keadaan klinis yang lebih cepat
dibandingkan jika diberikan antibiotik lain (Amoxicillin, Amphicillin,
Kotrimoxazol).
2. Harga lebih murah dibanding golongan Quinolon dan Cephalosporin
generasi ketiga.
3. Pada pemeriksaan fisik tidak didapatkan adanya tanda kerusakan hepar.
4. Dapat diberikan peroral.
5. Masih merupakan obat pilihan utama untuk typhus abdominalis di
Indonesia.
Pada pasien ini harus dilakukan pemantauan darah rutin (Hb, Hct, AL,
AT). Jika terdapat penurunan terutama leukosit < 2000/mm3 maka
kloramfenikol diganti dengan obat antibiotik lain.
E. Infus NaCl 0,9%
Pemberian infus pada kasus ini bertujuan untuk menggantikan cairan
tubuh yang hilang dan mengembalikan keseimbangan elektrolit-elektrolit
tubuh karena pasien mengalami mual dan muntah dimana dapat menyebabkan
terjadinya dehidrasi

F. Pamol
Nama obat Pamol (Paracetamol) – Parasetamol adalah drivat p-
aminofenol yang mempunyai sifat antipiretik /
analgesik.
Sifat antipiretiknya disebabkan oleh gugus
aminobenzen dan mekanismenya diduga berdasarkan
efek sentral. Parasetamol memiliki sebuah cincin
benzena, tersubstitusi oleh satu gugus hidroksil dan
atom nitrogen dari gugus amida pada posisi para (1,4)..

21
Sifat analgesik Parasetamol dapat menghilangkan rasa
nyeri ringan sampai sedang. Paracetamol sebagai
analgetik memiliki khasiat sama seperti aspirin atau
obat-obat non steroid antiinflamatory drug (NSAID)
lainnya. Paracetamol bertindak sebagai inhibitor
selektif COX-1 dan COX-2 pada sistem saraf pusat.
Tidak seperti NSAID, parasetamol tidak mencegah
sintesis prostaglandin dengan kompetitif mengikat
enzim COX, tetapi memodulasi jalur COX melalui
kemampuannya untuk mengurangi aktivitas COX.
Sifat antiinflamasinya sangat rendah sehingga tidak
digunakan sebagai antirematik.
Karena Parasetamol memiliki aktivitas anti
inflamasi (antiradang) rendah, sehingga tidak
menyebabkan gangguan saluran cerna maupun efek
kardiorenal yang tidak menguntungkan. Karenanya
cukup aman digunakan pada semua golongan usia.
Farmakokinetik Pada penggunaan per oral, Parasetamol diserap dengan
cepat melalui saluran cerna. Konsentrasi tertinggi
dalam plasma dalam waktu ½ jam dan masa paruh
plasma 1 – 3 jam. Obat ini tersebar ke seluruh cairan
tubuh. Dalam plasma 25 % paracetamol terikat protein
plasma. Obat ini dimetabolisme oleh enzim mikrosom
hati. Sebagian asetaminofen (80%) dikonjugasi dengan
asam glukuronat dan sebagian kecil dengan asam
sulfat. Selain itu, obat ini juga dapat mengalami
hidroksilasi. Obat ini diekskresi melalui ginjal,
sebagian kecil sebagai parasetamol (3%) dan sebagian
besar dalam bentuk terkonjugasi.
Dosis Dewasa Dosis paracetamol untuk dewasa adalah 300 mg – 1
g/hari dengan maksimum 4 g/hari.

22
Dosis anak Dosis anak 6-12 bulan 60 mg/kali, maks. 6 kali sehari;
1-6 tahun 60-120 mg/kali, maks. 6 kali/hari; 6-12 tahun
150 - 300 mg/kali, maks. 1,2 g/hari. Sediaan : tab. 100
mg, 500 mg; sir. 120 mg/5 ml
Efek samping • Mual, nyeri perut, dan kehilangan nafsu makan.
• Penggunaan jangka panjang dan dosis besar dapat
menyebabkan kerusakan hati.
• Reaksi hipersensitivitas/alergi seperti ruam,
kemerahan kulit, bengkak di wajah (mata, bibir),
sesak napas, dan syok
Kontraindikasi Pasien dengan riwayat gangguan fungsi hati dan ginjal
Interaksi Obat Paracetamol sering dikombinasikan dengan aspirin
untuk mengatasi rasa nyeri pada rematik sebab
paracetamol tidak mempunyai efek anti inflamasi
seperti aspirin sehingga bila kedua obat ini digabung
maka akan didapatkan sinergi pengobatan yang bagus
pada penyakit rematik. Paracetamol aman diberikan
pada wanita hamil dan menyusui namun tetap
dianjurkan pada wanita hamil untuk meminum obat ini
bila benar benar membutuhkan dan dalam pengawasan
dokter. Paracetamol dikombinasikan dengan opiod
codein dan penenang (syndol atau mersyndol).
Parasetamol umumnya digunakan untuk mengobati
demam, sakit kepala, dan rasa nyeri ringan. Senyawa
ini bila dikombinasikan dengan obat anti inflamasi non
steroid (NSAID) atau obat pereda nyeri opioid, dapat
digunakan untuk mengobati nyeri yang lebih parah.
Perhatian Sesuaikan dosis pada pasien dengan gagal ginjal dan
alkoholik

G. Rantin

23
Nama obat Rantin (Ranitidine HCl) – suatu penghambat aktivitas
histamin yang kompetitif dan reversibel pada reseptor-
H2 histamin, termasuk reseptor pada sel-sel lambung
dan bukan suatu zat antikolinergik, Ranitidin bekerja
dengan cara menghambat sekresi asam lambung basal
dan nokturnal melalui penghambatan kompetitif
terhadap kerja histamin pada reseptor - H2 histamin di
sel-sel parietal. Ranitidin juga menghambat sekresi
asam lambung yang dirangsang oieh makanan,
betazole, kofein, insulin dan refleks vagal fisiologis.
Efek penghambatan terhadap histamin bersifat
kompetitif, sedangkan terhadap pentagastrin bersifat
non-kompetitif.
Farmakokinetik Bioavailabilitas ranitidine yang diberikan secara oral
sekitar 50 % dan meningkat pada pasien penyakit hati.
Masa paruhnya 1,7 – 3 jam pada orang dewasa dan
memanjang pada orang tua dan pasien gagal ginjal.
Kadar puncak pada plasma dicapai 1 – 3 jam dan yang
terikat protein plasma hanya 15 %. Ranitidine
mengalami metabolisme lintas pertama di hati.
Ranitidine diekskresi terutama melalui ginjal sisanya
melalui tinja. Sekitar 70 % dari ranitidine yang
diberikan IV dan 30 % secara oral diekskresi dalam
urin dalam bentuk asal.
Dosis Dewasa Injeksi :
Harus diberikan secara perlahan-lahan (2'menit)
Dewasa : Intramuskular : 50 mg/2 ml, setiap 6-8 jam,
tanpa pengenceran.
Intravena :
- Intermittent bolus: 50 mg (2 ml) setiap 6'- 8 jam.
Larutkan Rantin® injeksi dalam 0,9% larutan NaCI

24
atau larutan i,v, yang cocok lainnya hingga konsen-
trasi tldak lebih besar dari 2,5 mg/ml (20 ml). •
Suntikkan dengan kecepatan tidak lebih dari 4 ml/
menit(5menit),
- Intermittent infusion: 50 mg/2 ml setiap 6 - 8 Jam,
Larutkan Rantin® injeksi dalam dekstrosa 5% atau
larutan i.v, yang cocok lainnya hingga konsentrasi
tidak lebih dari 0,5 mg/ml (100 ml). Diberikan dengan
kecepatan tidak lebih dari 5 - 7 ml/menit(15-20menit),
- Injeksi i.v. kontinyu; tambahkan injeksi ke dalam
larutan dekstrosa 5% (atau larutan untuk injeksi i.v. lain
yang cocok), dengan kecepatan Infus 6,25 mg/jam,
- Pada penderita sindroma Zollinger - Ellison: encer-
kan injeksi ke daldm larutan dekstrosa 5% (atau larutan
untuk injeksi i.v. lain yang cocok) sampai diperoleh
konsentrasi tidak lebih dari 2,5 mg/ml. Kecepatan infus
pertama 1,0 mg/kg/jam,setelah 4 jam (bila pada
pengukuran asam lambung diperoleh > l0 mEq/jam)
dosis dapat ditingkatkan 0-5 mg/kg/jam. Dosis
maksimal sampai 2,5 mg/kg/jam dengan kecepatan
infus 220 mg/jam,
- Pada penderita gagal ginjal (bila bersihan kreatinin <
50 mg/menit) : dosis yang dianjurkan i.m. atau i.v,
adalah 50 mg trap 18-24 jam (bila perlu interval
pemberian ditingkatkan menjadi tiap 12 jam). Karena
Ranitidin turut terdialisa maka waktu pemberian harus
disesuaikan, yaitu bertepatan dengan akhir hemodialisa.
Efek samping Nyeri kepala, pusing, malaise, mialgia, mual, diare,
konstipasi, ruam kulit, pruritus, kehilangan libido dan
impoten
Interaksi Obat Dengan diazepam, metoprolol, lignokain, fenitoin,

25
propanolol, teofilin, warfarin, midazolam, fentanyl,
nifedipin.
 Ranitidine tidak menghambat kerja dari sitokrom
P450 dalam hati.
 Pemberian bersama warfarin dapat meningkatkan
atau menurunkan waktu protrombin
Perhatian Sesuaikan dosis pada pasien dengan gangguan fungsi
ginjal, disfungsi hati, hamil dan masa laktasi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Butterton JR, Calderwood SB (2002). Acute Infectious Diarrheal Disease


and Bacterial Food Poisoning. In Harrison Principles of Internal Medicine
15-Ed, McGraw- Hill, p : 83.
2. Corales R (2004). Typhoid Fever. www.emedicine.com.
3. Gunawan GS. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta : Departemen
Farmakologi dan Terpeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
4. Hermawan AG (1999). Bed Side Teaching Ilmu Penyakit Dalam Edisi ke-2.
Surakarta : Yayasan Kesuma Islam Kedokteran.
5. Hermawan AG, Sumandjar T (2004). Penanganan penderita Demam Tifoid
Dewasa Di RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Dalam : Protap IPD-FK UNS
RSUD Dr. Moewardi, SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNS-RSUD Dr.
Moewardi Surakarta. pp : 115-116.
6. Widodo D (2009). Demam Tifoid. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid III Edisi ke-5. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, pp : 2797-2806.
7. Keusch GT (1999). Salmonellosis. Dalam : Harrison Prinsip-prinsip Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta : EGC, pp : 755-758.
8. Setiabudy I, Kunadi R (1995). Antimikroba. Dalam : Farmakologi dan Terapi
Edisi Ke-4. Jakarta : Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, pp : 651- 653.
9. Tjay TH, Rahardja K (2001). Obat- Obat Penting: Khasiat, Penggunaan ,
dan Efek- Efek Sampingnya Edisi ke- 5. Jakarta : PT Elex Media
Komputindo. pp : 64-82.

26
10. Zulkarnain I, Nelwan RHH, Pohan GT (2001). Demam Tifoid. Dalam :
Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta :
Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI, pp : 256-259.
11. Ikatan Dokter Indonesia (2014). Panduan Praktis Klinis Bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer Edisi Revisi Tahun 2014. Jakarta : IDI,
pp : 104-108.
12. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
364/MENKES/SK/V/2006 tentang Pedoman Pengendalian Demam Tifoid.

27

Anda mungkin juga menyukai