1. Konsep Dasar
1) Anatomi dan Fisiologi
Medula spinalis merupakan jaringan saraf berbentuk kolum vertical tang
terbentang dari dasar otak, keluar dari rongga kranium melalui foramen occipital
magnum, masuk ke kanalis sampai setinggi segmen lumbal-2. Medulla spinalis terdiri
dari 31 pasang saraf spinalis (kiri dan kanan) yang terdiri atas.
a. 8 pasang saraf servikal.
b. 12 pasang saraf torakal.
c. 5 pasang saraf lumbal
d. 5 pasang saraf sakral
e. 1 pasang saraf kogsigeal.
2) Pengertian
Menurut Tarwoto (2007;200), hernia nukleus pulposus (HNP) adalah keadaan
dimana terjadi penonjololan atau perubahan tempat/bentuk pada nukleus pulposus
dalam diskus intervertebralis.
Menurut Muttaqin (2008;192), hernia nukleus pulposus (HNP) adalah ketika
nukleus pulposus keluar menonjol untuk kemudian menekan ke arah kanalis spinalis
melalui annulus fibrosis yang robek. HNP merupakan suatu nyeri yang disebabkan
oleh proses patologik di kolumna vertebralis pada diskus intervertebralis/diskogenik.
3) Etiologi
Etiologi pada HNP antara lain.
1. Trauma, hiperfleksia, injuri pada vertebra.
2. Spinal stenosis.
3. Ketidakstabilan vertebra karena salah posisi, mengangkat, dll.
4. Pembentukan osteophyte.
5. Degenerasi dan degidrasi dari kandungan tulang rawan annulus dan nucleus
mengakibatkan berkurangnya elastisitas sehingga mengakibatkan herniasi dari
nukleus hingga annulus.
4) Manifestasi Klinis
Menurut Tarwoto (2007;203), tanda dan gejala tergantung pada lokasi yang
terkena misalnya.
1. Pada daerah lumbal terjadi nyeri daerah pinggang pada satu sisi yang menjalar
ke arah tungkai dan kaki, kelemahan otot kaki, parestesia, kebas pada kaki,
gangguan eliminasi bowel, bladder dan seksual mungkin saja dapat terjadi. Nyeri
tekan pada daerah herniasi dan pergerakan tulang belakang berkurang.
2. Pada daerah servikal menimbulkan rasa nyeri pada leher atau pundak menjalar
pada lengan, gangguan sensitibilitas pada lengan atas bawah sisi radius dan ibu
jari.
(http://ppni-klaten.com/)
1. Mati rasa, gatal dan penurunan pergerakan satu atau dua ekstremitas.
2. Nyeri tulang belakang.
3. Kelemahan satu atau lebih ekstremitas.
4. Kehilangan control dari anus dan atau kandung kemih sebagian atau lengkap.
Gejala hernia nukleus pulposus (HNP) adalah adanya nyeri di daerah diskus
yang mengalami herniasasi diikuti dengan gejala pada daerah yang diinorvasi oleh
radika spinalis yang terkena oleh diskus yang mengalami herniasasi yang berupa
pengobatan nyeri ke daerah tersebut, mati rasa, kelayuan, maupun tindakan-tindakan
yang bersifat protektif.
Hal lain yang perlu diketahui adalah nyeri pada hernia nukleus pulposus ini
diperberat dengan meningkatkan tekanan cairan intraspinal (membungkuk,
mengangkat, mengejan, batuk, bersin, juga ketegangan atau spasme otot), akan
berkurang jika tirah baring.
5) Patofisiologi
Menurut Muttaqin (2008;192); Tarwoto (2007;201); (http://ppni-klaten.com/).
Daerah lumbal adalah daerah yang paling sering mengalami hernisasi
pulposus, kandungan air diskus berkurang bersamaan dengan bertambahnya usia.
Selain itu serabut menjadi kotor dan mengalami hialisasi yang membantu perubahan
yang mengakibatkan herniasi nukleus pulposus melalui anulus dengan menekan akar
– akar syaraf spinal.
Sebagian besar dari HNP terjadi pada lumbal antara VL 4 sampai L5, atau L5
sampai S1. Arah herniasi yang paling sering adalah posterolateral. Karena radiks saraf
pada daerah lumbal miring ke bawah sewaktu berjalan keluar melalui foramena
neuralis, maka herniasi discus antara L 5 dan S 1.
Perubahan degeneratif pada nukleus pulpolus disebabkan oleh pengurangan
kadar protein yang berdampak pada peningkatan kadar cairan sehingga tekanan intra
distal meningkat, menyebabkan ruptur pada anulus dengan stres yang relatif kecil.
Sedangkan M. Istiadi (1986) mengatakan adanya trauma baik secara langsung atau
tidak langsung pada diskus intervertebralis akan menyebabkan komprensi hebat dan
transaksi nukleus pulposus (HNP). Nukleus yang tertekan hebat akan mencari jalan
keluar, dan melalui robekan anulus tebrosus mendorong ligamentum longitudinal
terjadilah herniasi.
Menurut Tarwoto (2007;201), proses degeneratif yang terjadi pada diskus
intervertebralis diantaranya terjadi perubahan pada anulus fibrosus dan nukleus
pulposus. Pada anulusus fibrosus terjadi kerusakan dan serat-serat fibroelastik
terputus yang kemudian diganti jaringan ikat. Perubahan ini akan menimbulkan
rongga-rongga pada anulus. Perubahan yang terjadi pada nukleus pulposus adalah
adanya penurunan kemampuan pengikatan air sehingga volume nukleus polpusus
menjadi menurun. Perubahan kedua komponen tersebut menyebabkan tahanan inter
diskus akan menurun. Jika terjadi peninggian tekanan pada diskus intervertebralis
secara tiba-tiba dan berlangsung lama maka materi nukleus pulposus akan menonjol
mengisi anulus fibrosus yang rusak. Penonjolan nukleus ke belakang lateral dan
menekan saraf pada radiks dorsalis (mengandung serat saraf sensorik) yang berjalan
dalam kanalis vertebralis akan menimbulkan rasa nyeri. Gerakan–gerakan yang
berubah posisi tulang belakang seperti membungkuk, bersin dan batuk akan
menambah rasa nyeri.
Pada tahap pertama robeknya annulus fibrosus itu bersifat sirkumferensial.
Oleh karena adanya gaya traumatis yang berulang. Robekan itu menjadi lebih besar
dan timbul sobekan radial. Jika hal ini telah terjadi, maka resiko herniasi nucleus
polposus hanya menunggu waktu dan trauma berikutnya saja. Gaya presipitasi itu
dapat diasumsikan seperti gaya traumatis ketika hendak menegakan badan waktu
terpeleset, mengangkat benda berat, dan sebagainya.
Kerusakan pada diskus intervertebralis ini dapat di sebabkan karena proses
dengeneratif misalnya makin berkurangnya daya lentur, menurunnya jaringan
kolagen, dan menurunnya kandungan air dengan bertambahnya usia, trauma tulang
belakang, faktor genetik, operasi tulang belakang, kelainan postur seperti kifosis,
lordorsis, karena kelainan tulang belakang lainnya seperti spondilitis, spinal stenosis.
HNP terbagi atas HNP sentral dan HNP lateral.
1. HNP sentral akan menimbulkan paraparesis flasid, parestesi, dan retensi urine.
2. HNP lateral bermanifestasi pada rasa nyeri yang terletak pada punggung bawah, di
tengah-tengah abtra bokong dan betis, belakang tumit, dan telapak kaki. Di tempat
itu juga akan terasa nyeri tekan. Kekuatan ekstensi jari ke V kaki berkurang dan
refleks achiles negatif. Pada HNP lateral L 4-5 rasa nyeri dan tekan didapatkan
dipunggung bawah, bagian lateral bokong, tungkai bawah bagian,dan di dorsum
pedis. Kekuatan ekstensi ibu jari kaki berkurang dan refleks patella negatif.
Sensibilitas pada dermatom yang sesuai dengan radiks yang terkena menurun.
6) Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Muttaqin (2008;358); Tarwoto (2007;204).
a. Rontgen Foto Lumbosakral
Tidak banyak didapatkan kelainan. Kadang-kadang didapatkan artrosis,
menunjang tanda-tanda devormutas vertebra, penyempitan diskus intervertebralis.
b. MRI
Pemeriksaan MRI dapat melokalisasi protrusi diskus kecil. Jika secara klinis
tidak didapatkan pada MRI maka pemeriksaan CT scan dan mielogram
dengan kontras dapat dilakukan untuk melihat derajat gangguan pada diskusi
vertebralis.
c. Mielografi
Mielografi merupakan pemeriksaan dengan bahan kontras melalui tindakan
lumbal pungsi dan penyinaran dengan sinar. Jika diketahui adanya
penyumbatan hambatan kanalis spinalis yang mungkin disebabkan HNP.
Mielografi menentukan adanya herniasi diskus atau derajat herniasi.
d. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan rutin dilakukan dengan laboratorium klinik untuk menilai
komplikasi terhadap organ lain dari cedera tulang belakang.
7) Penatalaksanaan Medis
Menurut Muttaqin (2008;200); Tarwoto (2007;204).
a. Terapi konservatif
a) Tirah Baring
Penderita harus tetap berbaring di tempat tidur selama beberapa hari
dengan sikap yang baik adalah sikap dalam posisi setengah duduk, yaitu tungkai
dalam sikap fleksi pada sendi panggul dan lutut tertentu. Tempat tidur tidak
boleh memakai pegas sehingga tempat tidur harus dari papan yang lurus dan
ditutup dengan lembar busa tipis. Tirah baring bermanfaat untuk nyeri
panggung bawah mekanin akut. Lama tirah baring bergantung pada berat
rintangannya gangguan yang dirasakan penderita. Pada HNP memerlukan
waktu yang lebih lama. Setelah berbaring dianggap cukup maka dilakukan
latihan/dipasang korset untuk mencegah terjadinya kontraktur dan
mengembalikan lagi fungsi-fungsi otot.
b) Medikamentosa
1) Simptomatik
- Analgesik (salisilat, paracetamol).
- Kortikosteroid (prednisone, prednisolon).
- Antiinflamasi non-steroid (AINS) seperti piroksikan.
- Antiinflamsi : phanyibutazone.
- Antidepresan trisiklik (amitriptilin).
- Obat penenang minor (diazepam, klordiasepoksid).
- Relaksan otot: metaxalone, methacarbamol, chlorzazone.
2) Kausal kolagenese.
c) Fisioterapi
Biasanya dalam bentuk diatermi (pemanasan dengan jangkauan permukaan
yang lebih dalam ) untuk relaksasi otot dan mengurangi lordisis.
b. Terapi operatif
Terapi operatif dikerjakan jika dengan tindakan konsevatif tidak memberikan
hasil yang nyata, kambuh berulang atau terjadi defisit neurologis.
a. Laminektomi : pegangkatan lamina vertebral dan dengenerasi diskus, untuk
membebaskan tekanan pada akar saraf
b. Lumbal/Cervikal mikrodisrektomi : pegangkatan diskus yang mengalami
degenerasi dengan menggunakan teknik pembedahan mikro
c. Spinal fusi : menempatkan tulang baru pada kedua vertebra (bone graf) untuk
memfiksasi vertebra.
c. Rehabilitasi
Mengupayakan penderita segera bekerja seperti semula agar tidak
mengantungkan diri pada orang lain dalam melakukan kegiatan sehari-hari
(activity of daily living) serta klien tidak mengalami komplikasi pneumonia, infeksi
saluran kemih, dan sebagainya.
8) Komplikasi
Menurut Tarwoto (2007;203).
a. Kelemahan motorik.
b. Hilangnya sensori.
c. Gangguan fungsi seksual.
d. Inkontinensia bowel dan bladder.
2. Keluhan utama
Sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan kesehatan adalah
nyeri pada punggung bawah. Untuk lebih lengkap pengkajian nyeri dengan
pendekatan PQRST.
a. Provocking Accident. Adanya riwayat trauma (mengangkat atau mendorong
benda berat).
b. Quality and Quantity. Sifat nyeri seperti di tusuk-tusuk atau seperti di sayat,
mendenyut, seperti kena api, nyeri tumpul dan kemeng yang terus- menerus.
Penyebaran nyeri apakah bersifat nyeri radikuler atau nyeri alih (referred
pain). Nyeri bersifat menetap, atau hilang timbul, semakin lama semakin
nyeri. Nyeri bertambah hebat karena pencetus seperti gerakan-gerakan
pinggang batuk atau mengejan, berdiri atau duduk untuk jangka waktu yang
lama dan nyeri berkurang jika istirahat berbaring. Sifat nyeri khas dari posisi
berbaring ke duduk, nyeri bertambah jika ditekan area L5-S1 (garis antardua
Krista liraka).
c. Region, Radiating, and Relief. Letak atau lokasi nyeri menunjukkan nyeri
dengan tepat sehingga letak dapat diketahui dengan cermat.
d. Scale of Pain. Pengaruh posisi tubuh atau anggota tubuh berkaitan dengan
aktivitas tubuh, posisi yang dapat meredakan rasa nyeri dan memperberat
nyeri. Pengaruh pada aktivitas yang menimbulkan rasa nyeri dan memperberat
nyeri. Obat-obatan yang sedang diminum seperti analgetik, berapa lama
diminumkan.
e. Time. Sifatnya akut, subakut, perlahan-lahan atau bertahap, bersifat menetap,
hilang timbul, makin lama makin nyeri. Nyeri pinggang bawah yang
intermiten (dalam beberapa minggu sampai beberapa tahun).
6. Pengkajian psikososiospiritual
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien berguna untuk menilai
respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran
klien dalam keluarga dan masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam
kehidupan sehari-harinya, baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat.
Apakah ada dampak yang timbul pada klien yaitu timbul seperti ketakutan akan
kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara
optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan citra tubuh).
Adanya perubahan berupa paralisis anggota gerak bawah memberikan
manifestasi yang berbeda pada setiap klien yang mengalami gangguan tulang
belakan dari HNP. Semakin lama klien menderita paraparese tersebut
bermanisfestasi pada koping yang tidak efektif.
b. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum
Pada keadaan HNP umumnya tidak mengalami penurunan kesadaran. Adanya
perubahan pada tanda-tanda vital, contohnya bradikardi yang menyebabkan
hipotensi yang berhubungan dengan penurunan aktivitas karena adanya parapase.
2. B1(Breathing)
Jika tidak menggangu sistem pernapasan biasanya didapatka: pada infeksi,
ditemukan tidak ada batuk, tidak ada sesak napas, dan frekuensi pernapasan
normal. Palpasi, taktil fremitus seimbang kanan dan kiri. Pada perkusi, terdapat
suara resonan pada seluruh lapang paru. Auskultasi tidak terdengar bunyi napas
tambahan.
3. B2 (Blood)
Jika tidak ada gangguan pada sistem kardiovaskular, biasanya nadi kualitas
dan frekuensi nadi normal, tekanan darah normal, dan nada auskultasi tidak
ditemukan bunyi jantung tambahan.
4. B3 (Brain)
Pengkajian B3 merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap
dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya.
a. Keadaan umum. Kurvatura yang berlebihan, pendataran arkus lumbal,
adanya angulus, pelvis yang miring/asimetris, muskulatur paravertebral atau
pantat yang asimetris, postur tungkai yang abnormal. Hambatan pada
pergerakan punggung, pelvis, dan tungkai selama bergerak.
b. Tingkat kesadaran. Tingkat keterjagaan klien biasanya compos mentris.
c. Pengkajian fungsi serebral. Status mental: observasi penampilan, tingkah
laku, nilai gaya bicara, ekspresi wajah, dan aktivitas motorik klien. Pada
klien yang telah lama menderita HNP biasanya status mental klien
mengalami perubahan.
d. Pengkajian saraf kranial. Pengkajian ini meliputi pengkajian saraf cranial
I-XII.
- Saraf I. Biasanya pada klien HNP tidak ada kelainan dan fungsi
penciuman.
- Saraf II. Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal.
- Saraf III, IV, dan VI. Biasanya tidak mengalami gangguan mengangkat
kelopak mata, pupil isokor.
- Saraf V. Pada klien HNP umunya tidak didapatkan paralisis pada otot
wajah dan refleks kornea biasanya tidak ada kelainan.
- Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah simetris.
- Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
- Saraf IX dan X. Kemampuan menelan baik.
- Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapesius.
- Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada
fasikultasi. Indra pengecapan normal.
e. Pengkajian Sistem Motorik. Kekuatan fleksi dan ekstensi tungkai atas,
tungkai bawah, kaki, ibu jari, dan jari lainnya dengan menyeruh klien untuk
melakukan gerak fleksi dan ekstensi dengan menahan gerakan. Atrofi otot
pada maleolus atau kaput fibula dengan membandingkan anggota tubuh
kanan-kiri. Fakulasi (kontraksi involunter yang bersifat halus) pada otot-otot
tertentu.
f. Pengkajian Refleks. Refleks achiles pada HNP lateral L 4-5 negatif,
sedangkan refleks lutut/patela pada HNP lateral di L4-5 negatif.
g. Pengkajian Sistem Sensorik. Pemeriksaan sensasi raba, nyeri, suhu,
profunda, dan sensasi getar (vibrasi) untuk menentukan dermantom yang
tertanggu sehingga dapat ditentukan pula radiks mana yang terganggu.
Palpasi dan perkusi harus dikerjakan dengan hati-hati atau cermat sehingga
tidak membingungkan klien. Palpasi dimulai dari area nyeri yang ringan ke
arah yang paling terasa nyeri. Nyeri pinggang bawah yang intermiten (dalam
beberapa minggi sampai beberapa tahun) nyeri menjalar sesuai dengan
distribusi saraf skhiatik. Sifat nyeri khas dari posisi berbaring ke duduk,
nyeri mulai dari bokong dan terus menjalar ke bagian belakang lutut,
kemudian ke tungkai bawah. Nyeri bertambah hebat karena pencetus seperti
gerakan-gerakan pinggang, batuk atau mengejan, berdiri atau duduk untuk
jangka waktu yang lama dan nyeri berkurang jika berbaring. Penderita sering
mengeluh kesemutan (parestesia) atau baal bahkan kekuatan otot menurun
sesuai dengan distribusi persarafan yang terlibat. Nyeri bertambah jika
ditekan daerah L5-S1 (garis antardua krista liraka ). Pada percobaan laseque
tes atau tes mengangkat tungkai yang lurus (straight leg raising), yaitu
mengangkat tungkat secara lurus dengan fleksi di sendi panggul, akan
rasakan nyeri di sepanjang bagian belakang (tanda laseque positif).
5. B4 (Bladder)
Kaji keadaan urine meliputi warna, jumlah, dan karakteristik urine, termasuk
berat jenis urine. Penurunan jumlah urine dan peningkatan retensi cairan dapat
terjadi akibat menurunnya perfusi pada ginjal.
6. B5 (Bowel)
Pemenuhan nutrisi berkurang karena adanya mual dan asupan nutrisi yang
kurang. Pemeriksaan rongga mulut dengan melakukan penilaian ada tidaknya lesi
pada mulut atau perubahan pada lidah dapat menunjukan adanya dehidrasi.
7. B6 (Bone)
Adanya kesulitan untuk beraktivitas dan menggerakan badan karena adanya
nyeri, kelemahan, kehilangan sensori, serta mudah lelah menyebabkan masalah
pada pola aktivitas dan istirahat.
1) Look. Kurvatura yang berlebihan, pendataran arkus lumbal, adanya angulus,
pelvis yang miring/ asimetris , muskulatur paravertebral atau pantat yang
asimetris, dan postur tungkai yang abnormal.
2) Feel. Ketiak meraba kolumna vertebralis dicari kemungkinan adanya deviasi
kelateral atau antero-posterior. Palpasi dari area dengan rasa nyeri ringan ke
arah yang paling terasa nyeri.
3) Move. Adanya kesulitan atau hambatan dalam melakukan pergerakan
punggung, pelvis, dan tungkai selama bergerak.
2) Diagnosis Keperawatan
1. Nyeri yang berhubungan dengan penjepitan saraf pada diskus intervertebralis,
tekanan di daerah distribusi ujung saraf.
2. Risiko tinggi trauma yang berhubungan dengan hambatan mobilitas fisik, kesulitan
atau hambatan dalam melakukan pergerakan punggung, pelvils, dan tungkai.
3. Risiko gangguan integritas kulit yang berhubungan dengan imobilisasi, tidak
adekuatnya sirkulasi perifer, tirah baring lama.
4. Defisit perawatan diri yang berhubungan dengan kelemahan neuromuskular,
menurunnya kekuatan dan kesadaran, kehilangan kontrol/koordinasi otot.
5. Koping individu tidak efektif yang berhubungan dengan ketidakberdayaan dan
merasa tidak ada harapan, kehilangan/perubahan dalam pekerjaan.
6. Cemas yang berhubungan dengan ancaman, kondisi sakit, dan perubahan
kesehatan.
3) Intervensi Keperawatan
1. Nyeri yang berhubungan dengan penjepitan saraf pada diskus intervertebralis,
tekanan di daerah distribusi ujung saraf.
Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam, nyeri berkurang atau dapat diadaptasi oleh klien.
KH : Secara subjektif melaporkan nyeri berkurang atau dapat diadaptasi, dapat
mengidentifikasi aktivitas yang meningkatkan atau menurunkan nyeri, klien
tidak gelisah, skala nyeri 0-1.
Intervensi Rasional
Kaji terhadap nyeri dengan skala 0-4 Nyeri merupakan respons subjektif ynag
bisa dikaji dengan menggunakan skala
nyeri. Klien melaporkan skala nyeri
biasanya di atas tingkat cedera.
Bantu klien dalam identifikasi faktor Nyeri dipengaruhi oleh kecemasan,
pencetus ketegangan, suhu, distensi kandung kemih,
dan berbaring lama.
Jelaska dan bantu klien dengan tindakan Pendekatan dengan menggunakan
pereda nyeri non-farmakologi dan non- relaksasi dan non-farmakologi lainnya
invasif. telah menunjukkan keefektifan dalam
mengurangi nyeri.
Ajarkan relaksasi :
Teknik-teknik untuk menurunkan Akan melancarkan peredaran darah,
ketegangan otot rangka, yang dapatt sehingga kebutuhan oksigenoleh jaringan
menurunkan intensitas nyeri dan juga akan terpenuhi, sehingga akan mengurangi
tingkatan relaksasi masase. nyerinya.
Ajarkan metode distraksi selama nyeri Mengalihkan perhatian nyeri ke hal-hal
akut. yang menyenangkan.
Berikan kesempatan waktu istirahat bila Istirahat akan merelaksasi semua jaringan
terasa nyeri dan berikan posisi yang sehingga akan meningkatkan kenyamanan.
nyaman misalnya saat klien tidur,
sangga punggung klien dengan bantal
kecil.
Tingkatkan pengetahuan tentang Pengetahuan akan dirasakan membntu
penyebabnyeri dan munghubungkan mengurangi nyeri, dan dapat membantu
berapa lama nyeri akan berlangsung. mengembangkan kepatuhan klien terhadap
rencana terapeutik.
Observasi tingkat nyeridan respons Pengkajian yang optimal akan memberika
motorik klien 30menit setelah perawat data yang objektif untuk
pemberian obat analgesik untuk mencegah kemungkinan komplikasi dan
mengkaji efektivitasnya. Setiap 1-2 jam melakukan intervensi yang tepat.
setelah tindakan perawatan selama 1-2
hari.
Kolaborasi dengan dokter, pemberian Analgasik memblok lintasan nyeri
analgesik. sehingga nyeri akan berkurang.
Berikan privasi untuk klien dan orang Memberi waktu untuk mengekspresikan
terdekat. perasaan, menghilangkan cemas, dan
perilaku adaptasi. Adanya keluarga dan
teman-teman yang dipilih klien untuk
melayani aktivitas dan pengalihan
(misalnya membaca) akan menurunkan
perasaan terisolasi.
DAFTAR PUSTAKA
Muttaqin, Arif. 2008. Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta : Salemba Medika.
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta : Salemba Medika.
Tarwoto, Wartonah, dan Eros Siti Suryati. 2007. Keperawatan Medikal Bedah : gangguan
Sistem Persarafan. Jakarta : Sagung Seto.