Disusun Oleh:
Kelompok 2
Kelas A
Kelompok 2
DAFTAR ISI
Sebagian besar orang beranggapan bahwa rehabilitasi merupakan kegiatan exyramural dari
pengobatan pasien mental sehingga selalu diorentasikan pada pekerjaan dan masalah-masalah social saja,
hal tersebut tentunya kurang sesuai dengan tuntutan dan perkembangan psikiatri modern.
1.3 Tujuan
1. mengetahui konsep dasar keperawatan rehabilitasi
2.1.2 Tujuan
Arah tujuan rehabilitasi adalah refungsionalisasi dan pengembangan. Refungsionalisasi
dimaksudkan bahwa rehabilitasi lebih diarahkan pada pengembalian fungsi dari peserta didik,
sedangkan pengembangan diarahkan untuk menggali atau menemukan dan memanfaatkan
kemampuan siswa yang masih ada serta potensi yang dimiliki untuk memenuhi fungsi diri dan
fungsi sosial dimana ia berada.
Dalam undang-undang Nomor 4 tahun 1997 dijelaskan bahwa rehabilitasi diarahkan untuk
memfungsikan kembali dan mengembangkan kemampuan fisik, mental dan sosial penyandang
cacat agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar sesuai dengan bakat,kemampuan,
pendidikan dan pengalaman. Tujuan utama rehabilitasi adalah membantu mencapai kemandirian
optimal secara fisik, mental, sosial, vokasional dan ekonomi sesuai dengan kemampuannya. Jadi
tujuan rehabilitasi adalah terwujudnya anak atau peserta didik berkelainan yang berguna.
Tujuan yang hendak dicapai dalam rehabilitasi ialah menuju kemandirian setiap individu
sehingga dapat menghilangkan ketergantungan individu terhadap orang lain.
Menurut departemen social tujuan rehabilitasi adalah:
a. Memulihkan kembali rasa harga diri, percaya diri, kesadaran serta tanggung jawab terhadap
masa depan diri, keluarga maupun masyarakat atau lingkungan sosialnya.
b. Memulihkan kembali kemauan dan kemampuan untuk dapat melaksanakan fungsi social secara
wajar.
Brunner & Suddarth (2002) mengemukakan ADL atau Activity Daily Living adalah
aktivitas perawatan diri yang harus pasien lakukan setiap hari untuk memenuhi kebutuhan dan
tuntutan hidup sehari-hari. ADL adalah aktivitas yang biasanya dilakukan dalam sepanjang hari
normal; aktivitas tersebut mencakup, ambulasi, makan, berpakaian, mandi, menyikat gigi dan
berhias dengan tujuan untuk memenuhi/berhubungan dengan perannya sebagai pribadi dalam
keluarga dan masyarakat. Kondisi yang mengakibatkan kebutuhan untuk bantuan dalam ADL dapat
bersifat akut, kronis, temporer, permanen atau rehabilitative (Potter dan Perry, 2005).
Macam-macam ADL
1. ADL dasar
sering disebut ADL saja, yaitu keterampilan dasar yang harus dimiliki seseorang
untuk merawat dirinya meliputi berpakaian, makan & minum, toileting, mandi, berhias dan
mobilitas. Ada juga yang memasukkan kontinensi buang air besar dan buang air kecil
dalam kategori ADL dasar ini.
2. ADL instrumental
yaitu ADL yang berhubungan dengan penggunaan alat atau benda penunjang
kehidupan sehari-hari seperti menyiapkan makanan, menggunakan telefon, menulis,
mengetik, mengelola uang kertas.
3. ADL vokasional
yaitu ADL yang berhubungan dengan pekerjaan atau kegiatan sekolah.
4. ADL non vokasional
yaitu ADL yang bersifat rekreasional, hobi, dan mengisi waktu luang.
Model Orem’s menyebutkan ada beberapa kebutuhan self care atau yang disebut sebagai self
care requisite, yaitu
Hal yang umum bagi seluruh manusia meliputi pemenuhan kebutuhan yaitu
1) Pemenuhan kebutuhan udara, pemenuhan kebutuhan udara menurut Orem yaitu bernapas
tanpa menggunakan peralatan oksigen.
2) Pemenuhan kebutuhan air atau minum tanpa adanya gangguan, menurut Orem kebutuhan
air sesuai kebutuhan individu masing-masing atau 6-8 gelas air/hari.
3) Pemenuhan kebutuhan makanan tanpa gangguan, seperti dapat mengambil makanan atau
peralatan makanan tanpa bantuan.
4) Pemenuhan kebutuhan eliminasi dan kebersihan permukaan tubuh atau bagian bagian
tubuh. Penyediaan perawatan yang terkait dengan proses eliminasi, seperti kemampuan
individu dalam eliminasi membutuhkan bantuan atau melakukan secara mandiri seperti
BAK dan BAB. Menyediakan peralatan kebersihan diri dan dapat melakukan tanpa
gangguan.
5) Pemenuhan kebutuhan akifitas dan istrahat. Kebutuhan aktivitas untuk menjaga
keseimbangan gerakan fisik seperti berolah raga dan menjaga pola tidur atau istirahat,
memahami gejala-gejala yang mengganggu intensitas tidur. Menggunakan kemampuan diri
sendiri dan nilai serta norma saat istirahat maupun beraktivitas.
6) Pemenuhan kebutuhan menyendiri dan interaksi sosial. Menjalin hubungan atau
berinteraksi dengan teman sebaya atau saudara serta mampu beradaptasi dengan
lingkungan.
7) Pemenuhan pencegahan dari bahaya pada kehidupan manusia. Bahaya yang dimaksud
berdasarkan Orem adalah mengerti jenis bahaya yang mebahayakan diri sendiri,
mengambil tindakan untuk mencegah bahaya dan melindungi diri sendiri dari situasi yang
berbahaya.
8) Peningkatan perkembangan dalam kelompok sosial sesuai dengan potensi, keterbatasan
dan keinginan manusia pada umumnya. Hal-hal ini dapat mempengaruhi kondisi tubuh
yang dapat mempertahankan fungsi dan struktur tubuh manusia dan mendukung untuk
pertumbuhan serta perkembangan manusia.
Kebutuhan yang dihubungkan pada proses perkembangan dapat dipengaruhi oleh kondisi
dan kejadian tertentu sehingga dapat berupa tahapan-tahapan yang berbeda pada setiap
individu, seperti perubahan kondisi tubuh dan status sosial. Tahap perkembangan diri sesuai
tahap perkembangan yang dapat terjadi pada manusia adalah :
C. Kebutuhan Perawatan Diri Pada Kondisi Adanya Penyimpangan Kesehatan (Health Deviation
Self Care Requisite)
Kebutuhan ini dikaitkan dengan penyimpangan dalam aspek struktur dan fungsi
manusia. Seseorang yang sakit, terluka mengalami kondisi patologis tertentu, kecacatan atau
ketidakmampuan seseorang atau seseorang yang menjalani pengobatan tetap membutuhkan
perawatan diri. Adapun kebutuhan perawatan diri pada kondiri penyimpangan kesehatan atau
perubahan kesehatan antara lain :
1) Pencarian bantuan kesehatan.
2) Kesadaran akan resiko munculnya masalah akibat pengobatan atau perawatan yang
dijalani.
3) Melakukan diagnostik, terapi, dan rehabilitatif, memahami efek buruk dari perawatan.
4) Adanya modifikasi gambaran atau konsep diri.
5) Penyesuaian gaya hidup yang dapat mendukung perubahan status kesehatan.
2.1.4.3 ADAPTATION
Asumsi Dasar Model Adaptasi Callista Roy Menurut Asmadi (2008) adapun asumsi-asumsi
dasar yang dianut dalam model adaptasi Roy, Individu adalah makhluk bio-psiko-sosial yang
merupakan suatu kesatuan yang utuh. Seseorang dikatakan sehat jika ia mampu berfungsi untuk
memenuhi kebutuhan biologis, psikologis, dan sosialnya.
Sistem adalah suatu kesatuan yang dihubungkan karena fungsinya sebagai kesatuan untuk
beberapa tujuan dan adanya saling ketergantungan dari setiap bagian-bagiannya.Tingkat atau
kemampuan adaptasi seseorang ditentukan oleh tiga hal, yaitu Input, control dan out-put, dengan
penjelasan sebagai berikut :
1. Input
Roy mengidentifikasi bahwa input sebagi stimulus, merupakan kesatuan informasi,
bahan-bahan atau energy dari lingkungan yang dapat menimbulkan respon, dimana dibagi
dalam tiga tingkatan stimulus fokal, kontekstual dan stimulus residual (Sudarta, 2015).
a. Stimulus fokal adalah stimulus internal atau eksternal menghadapi system manusia
yang efeknya lebih segera (Alligot & Tomey, 2010).
b. Stimulus kontekstual yaitu semua stimulus lain yang dialami seseorang baik
internal maupun eksternal yang mempengaruhi situasi dan dapat diobservasi,
diukur dan secara bersamaan.(Sudarta, 2015) di mana stimulus kontekstual
merupakan semua factor lingkungan yang hadir kepada seseorang dari dalam tetapi
bukan pusat dari atensi dan energy seseorang (Alligot & Tomey, 2010).
c. Stimulus residual adalah factor lingkungan dalam tanpa system manusia yang
mempengaruhi dalam situasi arus yang tidak jelas (Alligot & Tomey, 2010).
Stimulus residual yaitu ciri-ciri tambahan yang ada dan relevan dengan situasi yang
ada tetapu sukar untuk diobservasi meliputi kepercayaan, sikap, sifat individu
berkembang sesuai pengalaman yang lalu hal ini member proses belajar untuk
toleransi (Sudarta, 2015). Contohnya adalah keyakinan, sikap dan sifat individu
yang berkembang sesuai dengan pengalaman masa lalu (Asmadi, 2008).
2. Kontrol
Proses control seseorang menurut Roy adalah bentuk mekanisme koping yang digunakan,
dibagi menjadi :
a. Subsistem regulator. Subsystem regulator merupakan renspons system kimiawi,
saraf atau endokrin, otak dan medulla spinalis yang diteruskan sebagai prilaku atau
respons (Asmadi, 2008). Subsystem regulator mempunyai komponen-komponen :
input-proses dan output. Input stimulus berupa internal atau eksternal. Transmiter
regulator system adalah kimia, neural atau endokrin. Refleks otonom adalah respon
neural atau endokrin. Refleks otonom adalah respon neural dan brain system dan
spinal cord yang diteruskan sebagai prilaku output dari regulator system. Banyak
proses fisiologis yang dapat dinilai sebagai prilaku regulator subsitem (Sudarta,
2015).
b. Subsistem kognator Mekanisme kognator berhubungan dengan fungsi otak dalam
memproses informasi, penilaian dan emosi (Asmadi, 2008). Stimulus untuk
subsistem kognator dapat ekstenal maupun internal. Prilaku output dari regulator
subsistem dapat menjadi stimulus umpan balik untuk kognator subsistem. Kognator
control proses berhubungan dengan fungsi otak dalam memproses informasi,
penilaian dan emosi. Persepsi atau proses informasi berhubungan dewngan proses
internal dalam memolih atensi, mencatat dan mengingat, belajar berkolerasi dengan
proses imitasi, reinfoecement (penguatan) dan insight (pengertian yang mendalam).
Penyelesaian masalah dan pengambilan keputusan adalah proses internal yang
berhubungan dengan penilaian atau analisa. Emosi adalah proses pertahanan untuk
mencari keringanan, mempergunakan penilaian dan kasih sayang (Sudarta, 2015).
3. Output
Output dari suatu system adaptasi adalah prilaku yang dapat diamati, diukur, atau dapat
dikemukakan secara subjektif. Output pada system ini dapat berupa respons adaptif
ataupun respons maladaptive (Asmadi, 2008). Output dari suatu system adalah prilaku
yang dapat diamati, diukur atau secara subjektif dapat dilaporkan baik berasal dari dalam
maupun diluar. Prilaku ini merupakan umpan balik untuk sitem. Roy mengkategorikan
output sebagi respon yang tidak maladaptive. Respon yang adaptif dapat meningkatkan
integritas seseorang tersebut mampu melaksanakan tujuan yang berkenaan dengan
kelangsungan hidup, perkembangan, reproduksi dan keunggulan. Sedangkan respon yang
mal adaptif perilaku yang tidak mendukung tujuan ini. Roy telah menggunakan bentuk
mekanisme koping untuk menjelaskan proses control seseorang sebagai adaptif system.
Beberapa mekanisme koping diwariskan atau diturunkan secara genetic (missal sel darah
putih) sebagai sitem pertahan terhadap bakteri yang menyerang tubuh (Sudarta, 2015).
Penyakit pada masa kecil seperti cacar, rubella, mumps, polio, dll perlu ditanyakan
dalam anamnesis. Termasuk penyakit kronis yang dialami sejak masa kecil. Selain itu,
informasi mengenai riwayat penyakit pada masa dewasa perlu didapatkan dan mencakup
empat hal yaitu sebagai berikut :
1. Riwayat medis, tanyakan mengenai adanya diabetes, hipertensi, asma, hepatitis,
HIV, dan informasi riwayat opname.
2. Riwayat operasi, tanyakan mengenai waktu, indikasi, dan jenis operasi yang
dilakukan
5. Selain keempat hal tersebut anda juga perlu memperoleh infomasi mengenai
vaksinasi yang telah dilakukan, dan hasil pemeriksaan skrining yang pernah
dijalani pasien.
B. Masa Sekarang
Anamnesis terpimpin merupakan infomasi yang lengkap, jelas, detail, dan bersifat
kronologik terkait dengan keluhan utama yang dialami pasien. Komponen ini harus
mencakupi onset keluhan, keadaan yang memicu terjadinya keluhan, manifestasinya, dan
pengobatan yang telah dilakukan. Gejala yang didapatkan harus memiliki karakteristik
yang menjelaskan (1) lokasi; (2) kualitas; (3) kuantitas atau keparahan; (4) waktu yang
mencakup onset, durasi, dan frekuensi; (5) keadaan yang memicu terjadinya keluhan; (6)
faktor lain yang memperberat atau memperingan gejala; (7) gejala lain yang terkait
dengan keluhan utama.
Ketujuh poin tersebut sangat penting diperoleh untuk memahami seluruh gejala
pasien. Penting pula untuk menelusuri keberadaan gejala lain yang akan dibahas pada
ulasan tiap sistem tubuh. Keberadaan atau absennya suatu gejala dapat membantu
memikirkan diagnosis differensial, yang merupakan beberapa diagnosis yang paling
dapat menjelaskan keadaan pasien.
Anamnesis terpimpin harus dapat mengungkap respon pasien terhadap gejala yang
ia alami atau dampak yang ditimbulkan terhadap kehidupannya. Harus diingat, informasi
mengalir secara spontan dari pasien, tetapi mengorganisir informasi tersebut merupakan
tugas dokter. Pengobatan yang telah dikonsumsi sebaiknya didokumentasi, termasuk
nama obat, dosis, cara pemberian, dan frekuensi. Catat pula mengenai vitamin, mineral,
atau suplemen herbal, dan obat KB. Meminta pasien membawa seluruh obat yang
dikonsumsi merupakan ide yang baik agar anda dapat secara langsung melihat obat apa
yang digunakan. Alergi, termasuk reaksi spesifik untuk suatu pengobatan seperti gatal
atau mual, harus ditanyakan, begitupula alergi terhadap makanan, serangga, atau faktor
lingkungan lainnya. Tanyakan pula mengenai kebiasaan merokok, termasuk jumlah dan
jenis rokok yang dikonsumsi. Jika ia telah atau pernah berhenti, tanyakan sejak kapan ia
berhenti dan seberapa lama.
C. Masa Depan
Tanyakan mengenai keberadaan penyakit atau keadaan yang dicantumkan berikut:
hipertensi, penyakit jantung koroner, dislipidemia, stroke, diabetes, gangguan thyroid
atau ginjal, kanker, arthritis, tuberkulosis, asma atau penyakit paru lainnya, sakit kepala,
kejang, gangguan mental, kecanduan obat-obatan, dan alergi, serta keluhan utama yang
dilaporkan oleh pasien.
Stroke pada saat ini bukan hanya masalah regional tetapi sudah merupakan isu global.
di dunia terdapat 80 juta orang menderita stroke, 13 juta merupakan penderita baru setiap
tahun. Terdapat sekitar 4.4 juta penderita stroke meninggal setiap tahun. Di Amerika
diperkirakan 700.000 orang setiap tahun dan menjadi penyebab kematian utama. Sedangkan
di Indonesia kejadian stroke setiap tahunya 500.000 orang. Dampak yang utama dari suatu
stroke adalah kehilangan kemandirian yang terjadi pada 30% dari orang-orang yang selamat.
Gaya hidup yang mandiri dan menyenangkan mungkin hilang dari kebanyakan kwalitasnya
setelah suatu stroke dan anggota-anggota keluarga lain akan menemukan diri mereka dalam
suatu peran baru sebagai pemberi-pemberi perawatan.
Untuk membantu pemantauan perkembangan pasein stroke maka dikembangkan
teknologi baru telehealth untuk pasien stroke yang mengalami perawatan di rumah.
Videophone memiliki keuntungan dalam memberikan layanan keperawatan pada pasien yang
terisolasi baik karena jarak atau keterbatasan fisik. Sekitar 80% dari penderita stroke
mengandalkan keperawatan untuk rehabilitasi melalui program rehabilitasi berbasis rumah.
Banyak dari keperawatan terutama pasangan hidupnya, yang sudah setengah baya atau tua.
Mempunyai keterampilan yang kurang perawatan kesehatan khusus. Keterbatasan ini dapat
membuat tantangan untuk aspek fisik dan emosional. Keperawatan merasa kesulitan dalam
memantau dan melaporkan kondisi penderita stroke yang sedang menjalani rehabilitasi rumah
akibat isolasi sosial keperawatan juga mengalami kesuliatan dalam memantau jadwal kegiatan
rehabilitasi sehari-hari, kondisi kesehatan fisik, emosional, dan hubungan keluarga kondisi-
kondisi diatas.
Beberapa peneliti telah meneliti penggunaan teknologi jarak jauh untuk membantu
dalam memenuhi kebutuhan mereka. Sebagai contoh, intervensi telepon telah berhasil
digunakan untuk membantu perawat keluarga dalam mengembangkan teknik pemecahan
masalah. Program lain dengan menggunakan dukungan kelompok berbasis web dan online
untuk menjawab pertanyaan dan memberikan informasi untuk perawatan penderita stroke.
Perawat mungkin mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan rehabilitasi
penderita stroke, menempatkan mereka pada resiko lebih besar serta berakir pada perawatan
jangka panjang. Kunjungan rumah oleh para profesional kesehatan staf secara intensif,
memakan waktu,dan mahal, dengan penggantian terbatas. keperawatan penderita stroke
menyatakan kebutuhan dan keprihatinan dalam lima bidang utama: informasi, emosi dan
perilaku, perawatan fisik, perawatan instrumental dan tanggapan pribadi untuk kasih sayang.
Keperawatan stroke menginginkan informasi lebih lanjut tentang mengenali tanda-tanda
peringatan stroke, menyediakan perawatan stroke dasar, dan mengelola komplikasi yang
mungkin timbul.
Perawatan pasien saat ini menimbulkan keprihatinan mengenai perubahan kognitif,
kesulitan komunikasi, dan hilangnya kemerdekaan pada penderita stroke yang dapat memicu
perubahan emosi dan perilaku. Selain berurusan dengan kebutuhan penderita stroke,
keperawatan diminta membantu dalam mempertahankan kebutuhan mereka sendiri fisik,
emosi dan sosial. Meskipun beberapa dari kekhawatiran ini bisa diatasi oleh perawat sebelum
pulang dari rumah sakit atau program rehabilitasi, lainnya memerlukan penilaian dan
intervensi kemudian dalam pengaturan rumah.
Namun, kunjungan rumah oleh para profesional kesehatan staf secara intensif,
memakan waktu, dan mahal, dengan penggantian terbatas. Salah satu cara mengurangi biaya
perawatan rumah sudah melalui penggunaan kemajuan teknologi komunikasi seperti
Videophone telehealth. Videophone telah digunakan oleh penyedia perawatan di rumah untuk
menilai pasien, memonitor kemajuan mereka, dan menyediakan pendidikan dan dukungan
dilingkungan rumah.
Dalam beberapa penelitian, penggunaan videophone dalam perawatan rumah
ditemukan untuk memberikan kontribusi kepada manajemen-diri orang-orang lansia dengan
diabetes, ulkus tekanan, gagal jantung kongestif (CHF), penyakit paru obstruktif kronik
(PPOK), dan kronis luka. Bentuk telehealth telah dikaitkan dengan peningkatan kualitas hidup
bagi pasien dan produktivitas bagi perawat, serta pengurangan biaya keuangan yang terkait
dengan jarak tempuh dan perjalanan videophone telah digunakan oleh penyedia perawatan di
rumah untuk menilai pasien, memonitor kemajuan mereka, menyediakan pendidikan dan
dukungan di lingkungan rumah.
Sejumlah penelitian terbatas telah dilaporkan pada penggunaan videophone untuk
menyediakan layanan terutama untuk keperawatan anggota keluarga dengan penyakit kronis
mempelajari penggunaan telehealth untuk perawat anggota keluarga lansia dengan demensia
dan berbagai gangguan fisik dan mental. Telehealth memungkinkan perawat untuk
menawarkan intervensi terapeutik, perawat membantu mengelola masalah perilaku yang
disebabkan oleh dementia, mengurangi stres perawat dan depresi, dan memobilisasi sistem
pendukung antara keluarga dan masyarakat. Para peneliti melaporkan videophone interaktif
sebagai transformasi hubungan antara perawat dan keperawatan. Mereka menyatakan
telehealth interaksi karena keperawatan yang menetap di wilayah rumah mereka sendiri,
mereka memiliki pilihan jadwal waktu yang fleksibel.
Kepuasan dengan telehealth juga telah dipelajari. Dalam sebuah studi di Tennessee
pedesaan, telehealth melalui jalur telepon standar yang digunakan untuk memberikan
intervensi dan dukungan untuk keperawatan keluarga dan pasien dengan CHF, PPOK,
diabetes, kanker, luka kronis, atau menerima terapi parenteral atau enteral. Keluarga pasien
dengan care giver melaporkan secara umum puas dengan sistem telehealth yang ada saat ini
dikarenakan oleh beberapa hal seperti:
1. Waktu yang disimpan dengan mengurangi jumlah waktu pasien diperlukan
transportasi ke pusat kesehatan
2. Penurunan kecemasan mereka dengan memiliki dukungan kesehatan tersedia
3. Diperbolehkan untuk “just–in–time” nasehat perawatan kesehatan
4. Nilai tambah laporan telepon dengan mampu memvisualisasikan masala,
5. Meningkatkan privisasi dan kenyamanan.
A. Guru
1. Berbagi informasi tentang proses penyakit yang mendasari cacat dan mengajarkan
teknik keperawatan untuk membantu klien dan keluarga mereka mengembangkan
keterampilan perawatan diri yang diperlukan untuk bergerak menuju kesejahteraan
pada kontinum penyakit-kesehatan
2. Mempersiapkan klien dan keluarga mereka untuk manajemen diri dan tanggung
jawab pengambilan keputusan di masa depan dengan mendorong kemandirian klien
dan pencapaian tujuan
3. Memperkuat pengajaran yang dilakukan oleh spesialis dalam rehabilitasi dan
disiplin kesehatan lainnya, menyediakan bahan-bahan sumber untuk kebutuhan
perubahan klien, dan memberikan pendidikan pasien yang berkelanjutan setelah
keluar dari rumah sakit.
4. Menyediakan pendidikan dalam jabatan untuk anggota tim kesehatan dan anggota
komunitas mengenai pencegahan kecacatan
B. Caregiver
1. Menilai dimensi fisik, psikologis, sosiokultural, dan spiritual klien dan keluarga
mereka, serta kebutuhan pendidikan dan debit mereka untuk merumuskan diagnosis
keperawatan
2. Rencana asuhan keperawatan sambil mengakui bahwa keperawatan rehabilitasi
dipraktekkan dalam hubungan yang dinamis, terapeutik, dan mendukung yang terus
berubah, karena perawat dan klien saling memengaruhi satu sama lain.
3. Menerapkan rencana perawatan dengan memberikan asuhan keperawatan dan
pendidikan secara langsung atau melalui personel pendukung, sesuai kebutuhan,
untuk mempertahankan dan mengembalikan fungsi dan mencegah komplikasi dan
kerugian lebih lanjut.
4. Mengevaluasi asuhan keperawatan yang disediakan dan memodifikasi rencana,
sesuai kebutuhan, untuk mencapai tujuan dan sasaran yang terukur
C. Kolaborator
1. Mengembangkan tujuan, bekerja sama dengan klien, keluarga mereka, dan tim
rehabilitasi, yang berorientasi pada perilaku kesehatan dan berdasarkan kenyataan
dan yang mendorong sosialisasi dengan orang lain, dan mempromosikan
kemandirian maksimal untuk pasien penyandang cacat atau kondisi penonaktifan
kronis
2. Berpartisipasi dalam proses tim interdisipliner di konferensi tim dan pertemuan tim
lainnya dan menawarkan masukan ke dalam pengambilan keputusan tim
3. Mengintervensi dengan anggota tim dan profesional perawatan kesehatan lainnya
untuk memastikan bahwa peluang optimal untuk pemulihan tersedia bagi klien,
anggota tim rehabilitasi yang paling signifikan
4. Berkolaborasi dengan anggota tim untuk mencapai perawatan yang hemat biaya
dengan menggunakan tindakan klinis yang tepat untuk menghadapi situasi fisik,
psikososial, dan spiritual yang muncul.
D. Klien Advokat
3.1 Kesimpulan
Rehabilitasi adalah tindakan restorasi bagi kesehatan individu yang mengalami kecacatan
menuju kemampuan yang optimal dan berguna baik segi fisik, mental, sosial, dan ekonomik,
dirumah sakit - rumah sakit, dan pusat-pusat rehabilitasi tertentu Fungsi perawat dalam program
rehabilitasi:
Menjaga komplikasi dari akibat gangguan/penyakit diderita pasien
Membatasi besarnya gangguan semaksimal mungkin
Merencanakan dan melaksanakan program rehabilitasi
Program Rehabilitasi yang dilakukan harus dapat menjamin kesinambungan tanggung
jawab atas perawatan penderita mulai dari sebelum masuk rumah sakit, selama dirumah sakit,
segera sesudahnya dan sesudah penderita kembali bekerja seperti semula.
DAFTAR PUSTAKA
Adi Sujatno, Pencerahan Dibalik Penjara dari Sangkar Menuju Sanggar Untuk Menjadi Manusia
Mandiri, Teraju, Jakarta, 2008, hlm. 123
Association of Rehabilitation Nurses (2014). ARN Position Statement – Role of the Nurse in the
Rehabilitation Team. Chicago, IL: Author.
Siegler, Eugenia L, MD and Whitney Fay W, PhD,RN.,FAAN, alih bahasa Indraty Secillia, 2000.
Kolaborasi Perawat-Dokter;Perawatan Orang Dewasa dan Lansia, EGC. Jakarta
Stuart, GW. 2008. Buku Saku Keperawatan Jiwa Terjemahan dari Pocket Guide ToPsychiatric
Nursing. Jakarta: EGC
Asmadi. ( 2008 ), Konsep Dasar Keperawatan, Jakarta : EGC.
Alligot & Tomey, 2010. Nursing Theoris and Their Works. USA:Mosby Elsevier
Brunner and Suddarth. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, edisi. 8 volume 2.
Jakarta : EGC
Hardywinoto.2007. Panduan Gerontologi. Jakarta: Gramedia Pustaka.
Potter & Perry. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep, Proses, dan. Praktik.
Edisi 4 volume 1. Jakarta : EGC.
Angermeyer, M., Holizinger, A., Maschinger, H., & Scengler. (2002). Depression and quality of
life: Result of a follow-up study. International Journal of Social Psychiatry, 48, 189-199
Nur Afni Noviarin, Mahargyantari Purwani Dewi, Hendro Prabowo.2013. HUBUNGAN
ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DENGAN KUALITAS HIDUP PADA PECANDU NARKOBA
YANG SEDANG MENJALANI REHABILITASI. Fakultas Psikologi, Universitas Gunadarma. Vol.
5 Oktober 2013 Bandung, 8-9 Oktober 2013 ISSN: 1858-2559
Jonathan, Gleadle. 2007. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Jakarta. Erlangga
Murni, Ruaida & Mulia Astuti 2015. Sosial rehabilitation for persons with mental disabilities
through unit information and sosia services rumah kita. Jakarta. Diakses di 52783-ID-
rehabilitasi-sosial-bagi-penyandang-disa.pdf
Orin Annahriyah Syukria, Stefanus Supriyanto. 2016. DIFABLE CHILDREN UTILIZATION
DETERMINANTS OF PUBLIC HEALTH CENTER. Surabaya: Fakultas Kesehatan Masyarakat,
Universitas Airlangga. Jurnal Administrasi Kesehatan Indonesia Volume 4 Nomor 1 Januari-Juni
2016