Anda di halaman 1dari 8

Fotografi dan Kesadaran Tuhan

Oleh: Roby Aji Permana

Fotografi mengalami perkembangan yang sangat pesat selama abad 20. Era digital,
yang mencakup semua aspek kehidupan tak terkecuali pada dunia fotografi,
merupakan puncak ekskalasi perkembangan tersebut. Saat ini, orang sudah tidak
perlu ribet dengan gulungan roll film dan harus dicetak di dalam ruangan yang gelap
(gelap dalam makna denotasi). Fotografi sebagai salah satu sarana komunikasi
visual bahkan sudah tersedia pada piranti-piranti yang tidak bisa lepas dari
kehidupan kita, misalnya smartphone, tablet, laptop, pc, dll.

Sejarah mencatat prinsip dasar fotografi pertama kali ditemukan pada sekitar abad
ke-10 oleh ilmuwan asal Basrah, Iraq yaitu Abu ‘Ali Al-Hasan bin Al-Haytham melalui
penemuan monumentalnya yaitu camera obsucra. Al haytham atau Ibnu haytham
atau Al Hazen bersama rekannya Kamaluddin Al-Farisi meneliti fenomena gerhana
matahari dengan membuat lubang kecil pada sebuah kamar tertutup. Prinsip-prinsip
daasar fotografi tersebut tertulis dalam kitabnya yang berjudul Al-Manazhir (The
Optics).

Sekitar 5 abad setelah itu, konsep obsucra mulai dikembangkan oleh sains barat
dengan munculnya berbagai ilmuwan yang melakukan inovasi dalam bidang
fotografi. Robert Boyle (1627-1691 M), mulai menyusun kamera portabel yang
berbentuk kotak kecil pada 1665 M. Hingga foto permanen pertama yang sangat
terkenal pertama kali
diambil oleh Joseph
Nicephore Niepce di
Prancis pada 1827.
Kemajuan dunia fotografi makin
sempurna dengan temuan Richard
Leach Maddox pada tahun 1871
yang pertama kalinya menciptakan
kamera dengan desain ukuran
genggam dan dapat disimpan di
dalam tas. Setelah era Pelat, dunia
fotografi semakin menunjukkan keseriusannya sejak ditemukan film topografik oleh
George Eastman. Eastman menciptakan kotak kamera dengan film seluloid yang
bisa menampung 100 frame foto yang kita kenal saat ini dengan sebutan kodak.
Karya Eastman sangat populer hingga tahun 1960-an. Industri kamera makin ramai
sejak Jepang ikut memproduksi kamera dengan film 35 mm yang bermerk Canon
1936. Sekitar tahun 1913, Oskar Barnack menggunakan film dengan ukuran 35 mm
dan mengembangkan kamera berukuran kompak (kecil). Film ukuran 35 mm
mendominasi pemakaian film kamera hingga era kamera digital saat ini.

Prinsip kerja kamera sebenarnya cukup sederhana. Saya rasa kita sudah pernah
belajar tentang prinsip kerja optik pada bangku SMP dan SMA. Cahaya dari objek
akan difokuskan dengan bantuan pembiasan oleh lensa sehingga bayangan akan
jatuh tepat pada plat seluloid di dalam kamera. Bayangan cahaya yang jatuh pada
plat akan mengalami reaksi kimia sehingga akan “membakar” medium penangkap
cahaya yang sangat sensitif. Media yang terbakar dengan intensitas cahaya tertentu
akan menghasilkan bayangan yang identik dengan cahaya yang masuk. Intensitas
cahaya akan sangat menentukan optimal atau tidaknya objek yang ditangkap oleh
kamera. Pada keadaan intensitas cahaya terlalu rendah yang ditangkap oleh kamera
akan menghasilkan keadaan under exposure. Sebaliknya, pada keadaan intensitas
cahaya terlalu tinggi yang ditangkap oleh kamera akan menghasilkan kondisi
overexposure. Para fotografer tentunya sudah paham tentang bagaimana mengukur
ketepatan intensitas cahaya dengan memainkan peran segitiga exposure (apperture,
ISO, dan Shutter speed). Dari awal ditemukan sampai dengan kecanggihan
teknologi kamera digital saat ini, ada satu unsur yang menjadi syarat mutlak dari
keberfungsian kamera yaitu cahaya. Dan secara etimologi, fotografi berasal dari kata
Photos dan Grafo yang artinya menggambar dengan cahaya
Sejak awal dari dikembangkannya camera obsucra, Al Haytham sudah menjelaskan
bagaimana cahaya itu terbentuk dengan sifatnya. Menurutnya cahaya merupakan
partikel kecil yang bergerak dengan kecepatan tertentu. Sebuah benda yang
tersinari oleh cahaya akan mengeluarkan partikel cahaya ke segala arah. Cahaya
yang datang tegak lurus ke arah mata itulah yang membuat mata kita dapat melihat
suatu benda. Teori Al Haytham kemudian dikembangkan oleh Newton. Menurut
Newton, cahaya terdiri dari partikel halus (corpuscles) yang memancar ke semua
arah dari sumbernya. Teori ini dapat digunakan untuk menerangkan bagaimana
sebuah cahaya dapat memantul ketika jatuh pada objek tertentu.

Perkembangan penelitian selanjutnya justru membantah bahwa cahaya merupakan


sebuah partikel. Hipotesis Huygens menjelaskan bahwa cahaya merupakan sebuah
gelombang yang merambat melalui medium perantara. Dengan teori Huygens ini
maka dengan mudah menjelaskan gejala-gejala refleksi, refraksi, difraksi, dan
interferensi cahaya. Pada abad 19 kemudian muncul penelitian Faraday dan
Maxwell yang menyatakan bahwa cahaya muncul akibat aktivitas kelistrikan dan
dipengaruhi oleh medan magnet sehingga mereka menyimpulkan bahwa cahaya
bersifat elektromagnetis. Teori ini juga yang menjadi antitesis dari teori Huygens,
bahwa sebagai gelombang elektromagnetis, cahaya dapat merambat dengan dan
atau tanpa adanya medium perantara.
Setelah era optika klasik berakhir buntu di era Faraday dan Maxwell, era optika
modern mulai muncul pada awal abad 20. Teori yang paling diterima oleh fisikawan
saat ini adalah teori dari Max Planck yang menyimpulkan bahwa cahaya
dipancarkan dalam bentuk paket atau berkas kecil yang disebut kuanta atau foton.
Gagasan Planck ini kemudian berkembang menjadi teori baru dalam fisika yang
disebut teori Kuantum dan membuatnya meraih nobel pada tahun 1918. Pada
puncaknya adalah Albert Einstein yang kemudian menyempurnakan seluruh
hipotesis tentang cahaya dalam teorinya yang dikenal dengan teori Dualitas partikel-
gelombang. Teori ini menggabungkan teori sebelumnya dan menyatakan bahwa
cahaya memiliki dualisme sifat sebagai partikel dan gelombang. Ini adalah teori
modern yang menjelaskan sifat-sifat cahaya, dan bahkan sifat-sifat partikel secara
umum. Teori ini pertama kali dijelaskan oleh Albert Einstein pada awal abad 20
melalui peristiwa terlepasnya elektron dari suatu logam yang disinari cahaya dengan
panjang gelombang tertentu yang terkenal dengan efek fotolistrik. Dengan
penemuan inilah, Einsten menjadi ilmuwan yang paling berpengaruh pada abad ini.

Di dalam khazanah islam, pembahasan tentang cahaya juga sangat menarik jika kita
ikuti perkembangannya. Islam sendiri membuka ruang yang lebih dalam, bahwa
cahaya bukan yang kita dapat amati sebagai cahaya fisik/materi tetapi juga sebagai
suatu esensi dari sebuah misteri yang tidak bisa ditangkap oleh indrawi. Sama
seperti dalam pemahasan sains, pandangan Islam terhadap cahaya mengalami
berbagai perkembangan sebagai jalan untuk menemukan kesejatian makna cahaya.
Para ulama, mufassir, sufi, dan bahkan para filosof muslim telah melakukan
berbagai pendekatan dengan berbagai metode ilmu (kalam, filsafat, dan maupun
tasawuf) untuk mengungkap keluasan spektrum pemahaman tentang cahaya.

Sebagai pengetahuan bersama, Cahaya atau Nur (bahasa Arab) disebut dalam
Alquran sebanyak 43 kali. Bahkan, surah ke-24 juga diberi nama dengan an-Nur. Di
dalam surah tersebut dijelaskan secara tersurat bahwa Allah adalah cahaya bagi
langit dan bumi. Menurut sebagian besar Mufassir, ayat ini menjelaskan bahwa Allah
adalah sumber segala cahaya di langit dan di bumi. Dialah yang menerangi
keduanya dengan cahaya yang bersifat tidak hanya sebagai materi materi, tetapi
juga bersifat non materi (rohani) sehingga seluruh eksistensi benda dan makhluk
yang ada di alam semesta ini merupakan akibat dari pancaran cahaya yang Sejati
itu.

Dalam sejarah filsafat Islam, Para filosof sufi sudah banyak menjelaskan tentang
hakikat cahaya yang sebenarnya. Imam al-Ghazali, dalam kitabnya Misykat al-
Anwar, sangat dalam melakukan pembahasan cahaya dari sudut pandang filsafat
metafisik. Merujuk pada Ayat Al Quran bahwa “Allah adalah cahaya langit dan bumi”,
al-Ghazali mengatakan bahwa Allah-lah satu-satunya yang bisa disebut cahaya
dalam arti yang paling hakekat dan dalam hal ini Allah adalah tunggal dan tidak ada
padanannya. Adapun cahaya-cahaya yang lain bisa disebut cahaya secara alegoris
(majaz). Hanya Allah-lah yang sejatinya ada, sedangkan keberadaan yang selain
Allah adalah pseudo ada dan karena itu bukan wujud pada dirinya, tetapi wujud
karena yang lain. Secara sederhana, al-Ghazali ingin mengatakan bahwa segala
cahaya yang tampak oleh indra manusia merupakan hanya efek dari keberadaan
Sang Maha Cahaya yang sejati. Bahkan seluruh eksistensi jagad raya ini menjadi
seolah-olah ada karena adanya wujud Sang Maha Ada, yaitu Allah.

Lebih lanjut lagi, Ghazali membedakan bagaimana cahaya dimaknai dengan tiga
tingkatan. Pertama, cahaya bagi orang awam. Cahaya menurut orang awam
dipahami sebagai cahaya yang tampak oleh panca indera. Cahaya bagi mereka
dilihat sebagai sesuatu yang bersifat fisik atau materi. Padahal menurut Ghazali,
sesuatu yang bersifat materi itu tidak bisa berdiri sendiri, ia membutuhkan sandaran
terhadap pengetahuan dan sifatnya. Kedua, cahaya bagi orang khusus. Cahaya bagi
mereka bukan hanya apa yang dapat dilihat oleh mata karena panca indra begitu
terbatas dan terkadang dapat memberikan informasi yang sempit dari realitas yang
luas. Bagi kaum khusus ini, ada yang lebih bisa bersih dari kekurangan dan
kesalahan jika hendak dijadikan sandaran dibandingkan panca indera (mata). Orang
khusus ini melihat hakikat cahaya dengan ruh/jiwa atau sering kita menyebutnya
dengan mata hati (‘ayn fi qalbi al-insan). Bahkan bisa dikatakan ruh memiliki posisi
yang lebih tinggi dari pada cahaya. Sebab ia memiliki daya melihat, dan dengannya
sesuatu bisa tampak, sementara cahaya sendiri tidak memiliki “daya tangkap
penglihatan” dan juga tidak dapat menciptakannya. Ketiga, cahaya bagi orang
khusus yang khusus. Pada tingkat ketiga ini, cahaya dipahami bahwa ada cahaya
yang sangat esensial sebagai sumber segala cahaya yang ada. Cahaya ini
diposisikan sebagai first cause dari segala eksistensi alam semesta ini. Cahaya ini
adalah wujud dari segala yang maujud.

Filosof lain yang terkenal dengan gagasan tentang cahaya adalah Suhrawardi Al-
Maqtul yang mendapat gelar Syaikh Al-Isyraq melalui filsafat iluminasi. Melalui kitab
Hikmat al-Isyraq, Suhrawardi mengungkapkan pemikiran filosofis cahaya yang
memuat konsep metafisikanya. Dengan konsep al-Isyraq-nya, Suhrawardi
menyatakan bahwa seluruh alam semesta merupakan rentetan dari intensitas
cahaya. Suhrawardi berpendapat ada sebuah Cahaya murni yang merupakan suatu
hakikat, yang nyata dan aksiomatik, tidak memerlukan penjelasan dan definisi.
Cahaya adalah sesutau yang terang, gamblang, yang eksistensinya dibutuhkan oleh
benda-benda yang menyusun eksistensi alam semesta, yang eksistensinya menjadi
sebab adanya setiap eksistensi di alam semesta ini, dan eksistensinya tidak
bergantung pada eksistensi yang lain. Cahaya murni ini memiliki berbagai tingkatan
dan dimensi yang saling berangkai. Sehingga konsokuensinya aadalah adda
perbedaan antara dzat dan hakekat pada cahaya murni ini.

Cahaya murni tersebut menurut Suhrawardi bersumber dari sumber segala cahaya
oleh Suhrawardi disebut sebagai Nûr Al-Anwâr dimana tidak terdapat perbedaan
antara zat dan hakikatnya, keduanya adalah satu dan bukan unsur yang berlainan,
bahkan bertentangan (cahaya dan kegelapan). Wujud Cahaya di atas cahaya,
adalah sebuah keniscayaan dan dapat dibuktikan dengan penalaran bahwa Nur Al
Anwar marupakan sumber pertama bagi rentetan cahaya berikutnya. Tidak logis
bahwa sebuah pertalian sebab akibat tersebut tidak memiliki batas. Dan karena
ketakterhinggan itu mustahil maka sebab keberadaan cahaya murni haruslah ada
yaitu Nur Al-Anwar.

Selanjutnya, sebagai hasil pancaran cahaya substansinya terjadilah satu


pelimpahan atau emanasi pada Cahaya Murni pertama dan dibarengi dengan satu
materi alam abadi yang menjadi materi dasar pembentuk alam semesta. Cahaya
murni pertama ini, seperti Nur Al-Anwar dicirikan oleh aktivitasnya yang serupa, yaitu
menerima pancaran cahaya Nur Al-Anwar dan memancarkan CahayaNya kembali
dari substansinya.

Untuk menjelaskan rangkaian cahaya tersebut, Suhrawardi memberikan analogi


sederhana. Nur Al-Anwar digambarkan sebagai Matahari sedangkan Cahaya murni-
pertama adalah cermin, pancaran sinar matahari yang tak beraturan memancar ke
dalam sebuah cermin yang dengannya terpantul sebuah cahaya yang berbeda dari
cahaya sebelumnya. Keduanya sama-sama memancarkan cahaya, tetapi cahaya
yang dipancarkan cermin tidaklah sama dengan cahaya Matahari, karena cermin
hanyalah perantara yang menerima cahaya yang besar dan memantulkan cahaya
sesuai kemampuannya. Proses menerima dan memancarkan cahaya inilah yang
oleh Suhrawardi disebut sebagai proses penciptaan alam semesta, dan keberadaan
cahaya-cahaya murni yang mengelilinginya. Dan proses pemancaran dari setiap
Cahaya Murni, selalu disertai oleh materi-materi yang menjadi susunan dalam
tatanan kosmos kita saat ini.
Setelah mengetahui penjelasan tentang hakikat cahaya di atas, saya ingat salah
seorang fotografer senior yang berkata bahwa Islam dan fotografi memiliki
kesamaan. Islam seperti cahaya di kamar gelap saat mencetak foto. Tanpa cahaya,
foto akan rusak. Tapi, saat cahaya terlalu banyak, foto malah terbakar. Seperti itu
juga jiwa manusia. Tanpa cahaya Islam, jiwa gelap. Jiwa butuh cahaya dengan
kadar yang sesuai. Saat terlalu banyak, yang terjadi malah silau dan tidak mengenal
batas. Fotografi perlu cahaya atau terang, dan proses emanasi alam semesta inipun
berlangsung melalui aktivitas pantul-memantulkan cahaya.

Dari penjelasan ini lah, kita sadar bahwa seluruh eksistensi manusia dan alam ini
merupakan sebuah efek dari pancaran Cahaya, baik yang bersiat materi ataupun
yang bersifat rohani. Jika saya ditanya, mana yang lebih penting cahaya materi atau
rohani? Saya jawab keduanya penting. Jalan untuk menuju cahaya yang rohani
harus melalui cahaya yang materi. Tanpa kesadaran cahaya yang materi, kesadaran
kita tidak akan utuh. Namun, kita juga jangan berhenti pada cahaya yang materi.
Kita harus berjalan lebih jauh untuk mencari Cahaya yang hakiki. Aktivitas fotografi
merupakan sebuah media media kontemplasi untuk membangun kesadaran kita
tentang perjalanan cahaya sampai pada yang hakiki. Bayangkan saat kita membidik
objek tertentu, saat mencari sudut terbaik, Allah sering menghadirkan konfigurasi
tatawarna, tatacahaya, dan komposisi yang harmoni. Cahaya dalam satuan
luminitas tertentu akan memberikan makna bagi aktivitas fotografi kita.

Fotografi bukan hanya tentang seni dan penghasilan gambar dan cahaya pada film
atau permukaan yang dipekakan. Ia sejatinya juga menyangkut momentum,
keahlian, dan olah cita rasa. Fotografer yang hanya mengandalkan teknik fisik
memotret tanpa melibatkan rasa hanya akan menghasilkan foto atau gambar yang
kering makna dan miskin imaji. Jika kita memiliki kepekaan religiusitas, aktivitas
fotografi seyogyanya bisa membangkitkan kesadaran kita bahwa ada peran cahaya
di dalam setiap aktivitas hidup kita. Tinggal kita resapi, cahaya yang hadir hanya kita
anggap sebagai cahaya materi atau Wujud Entitas Ilahi.

Dirangkum dari berbagai sumber.

Anda mungkin juga menyukai