Anda di halaman 1dari 43

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA

KASUS UJIAN
FAKULTAS KEDOKTERAN 13 September 2018
UNIVERSITAS ALKHAIRAAT PALU

SKIZOFRENIA PARANOID

Disusun Oleh:
Fadliah
13 17 777 14 243
Pembimbing:
dr. Nyoman Sumiati, Sp.KJ, M.Kes.

BAGIAN ILMU KESEHATAN JIWA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ALKHAIRAAT

RSUD MADANI

PALU

2018

1
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. Y
Umur : 44 tahun
Alamat : Parigi
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Pekerjaan : Penjual kelapa dan berkebun
Agama : Islam
Status Pernikahan : Menikah
Tanggal Pemeriksaan : 12 September 2018
Ruangan : Ruang Salak RSD. Madani

II. RIWAYAT PSIKIATRI


A. Keluhan Utama
Mengamuk

B. Riwayat gangguan sekarang


Pasien MRS dengan keluhan mengamuk dan gelisah sejak 3 hari SMRS. Pasien
menyatakan tidak tenang jika berada dirumah dan merasakan ada yang berbisik
dan banyak suara-suara seperti bersiul dan orang-orang membicarakan yang jelek
tentang pasien. Pasien juga sering merasa cemburu terhadap istrinya karena
istrinya tiap 2 hri sekali ke kampung sebelah untuk bekerja sebagai pedagang,
pasien juga curiga terhadap istrinya berselingkuh dengan laki-laki lain sehingga
pasien membawa parang atau pisau jika bertemu istrinya dan membuat istrinya
takut. Pasien juga merasa tetangga menyuruh polisi untuk menangkap pasien dan
sering membicarakan hal negatif tentang pasien. Pasien juga tidurnya gelisah sejak
2 bulan terakhir biasanya pasien tidur 5-10 menit lalu kaget dan terbangun.
Menurut istri pasien, pasien tidak mau makan dan minum karena pasien merasa
ada yang mau membunuh dan memukulnya sehingga pasien bersembunyi dan
takut keluar rumah. Hal ini terjadi sejak 1 bulan yl. Menurut istri pasien, pasien

2
menjadi seperti ini diakibatkan masalah ekonomi karena memikirkan utangnya di
oranglain sebanyak 9 juta serta pinjaman uang bank sebnayak 5 juta. Isri pasien
mengatakan, pasien merasa cemburu terhadap istri, curiga istri berselingkuh dan
merasa sensitif seperti ini karena pasien merasa kurang percaya diri saat
berhubungan seksual. Pasien sempat mengurung diri dikamar dan tidak mau
keluar, pasien mengurung diri bersama anaknya yang terakhir berumur 2 tahun da
hamper membunuh anaknya karena pasien mencekek dan menuup mulut anaknya
karena berteriak.
C. Hendaya Disfungsi
1. Hendaya sosial (+)
2. Hendaya pekerjaan (+)
3. Hendaya waktu senggang (+)
D. Faktor stress psikososial
Faktor ekonomi dimana pasien memiliki utang yang banyak dan susah untuk
melunasi utang-utangnya dan terdapat faktor keluarga yaitu pasien merasa kurang
percaya diri saat melakukan hubungan seksual.
E. Hubungan gangguan sekarang dengan gangguan fisik dan psikis sebelumnya
Ada hubungan
F. Riwayat gangguan sebelumnya
1. Riwayat Gangguan Psikiatri
Gangguan psikiatri sebelumnya tidak ada, pasien baru pertama kal dirawat
di RSD Madani
2. Riwayat Gangguan Medis
- Riwayat kejang : Tidak ada
- Riwayat cedera kepala : Tidak ada
- Riwayat asma : Tidak ada
- Riwayat hipertensi : Tidak ada
- Riwayat diabetes melitus : Tidak Ada
- Riwayat alergi : Tidak ada

3
- Riwayat opname : Tidak ada
3. Riwayat Penyalahgunaan Zat
- Riwayat penggunaan NAPZA: Tidak ada
- Riwayat meminum alkohol : Tidak ada
- Riwayat merokok : (+)

G. Riwayat Kehidupan pribadi


1. Riwayat perinatal dan antenatal
Pasien dilahirkan di Parigi lahir secara normal dibantu dukun dan tidak
memiliki keluhan-keluhan saat ibunya masih mengandung sampai saat dia
lahir. Kedua orang tua pasien sudah bercerai sejak pasien masih dalam
kandungan
2. Riwayat masa kanak-kanak awal (lahir sampai usia 3 tahun)
Pertumbuhan dan perkembangan sesuai umur dan tidak terdapat gejala-gejala
problem perilaku. Pasien tinggal bersama ibunya. Tidak ada riwayat kejang.
3. Riwayat masa kanak-kanak pertengahan (usia 3 sampai 11 tahun)
Pada masa ini pasien jarang bermain dan bergaul selayaknya anak seusianya.
Pasien lebih sering dirumah dan ikut berjulan dengan ibunya, pasien
bersekolah di SD selama 6 tahun. Pasien tumbuh dan berkembang seperti
anak-anak seumurnya.
4. Riwayat masa kanak-kanak akhir (pubertas hingga remaja)
Pasien hidup bersama keluarganya tetapi tidak melanjutkan sekolahnya di
tingkat SMP karena masalah ekonomi
5. Riwayat Masa dewasa
a. Riwayat pekerjaan
Berkebun dan mengupas batok kelapa
b. Riwayat hubungan dan perkawinan
Pasien sudah menikah sejak tahun 1999 dan dikaruniai 3 orang anak

4
c. Riwayat pendidikan
Pendidikan terakhir pasien adalah SD
d. Agama
Pasien beragama Islam
e. Aktivitas sosial
Pasien tidak memiliki hubungan sosial yang cukup baik terhadap orang-
orang yang ada dilingkungan karena lebih sering menyendiri
f. Situasi kehidupan terkini
Pasien tinggal bersama istri dan ketiga anaknya. Kondisi pasien saat
wawancara cukup kooperatif

H. Riwayat Kemiliteran
Pasien tidak pernah terlibat dalam kegiatan kemiliteran dan masalah hukum.

I. Riwayat Kehidupan Keluarga


Pasien merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Hubungan dengan orangtua
saat ini baik, hubungan dengan saudara-saudaranya baik. Pasien juga telah
menikah dan dikarunia 3 orang anak. Tidak ada yang mengalami hal yang sama
dalam lingkungan keluarga.

J. Riwayat Situasi Sekarang


Pasien tinggal Bersama istri dan ketiga anaknya di Parigi

K. Persepsi Tentang Diri dan Kehidupan


Pasien merasa baik-baik saja dan tidak mengetahui mengapa ia harus di bawa ke
rumah sakit. Kadang tidak nyambung saat ditanya. Tidak terdapat keinginan bunuh
diri.

5
III. STATUS MENTAL
A. Deskripsi Umum
1. Penampilan
Tampak seorang laki-laki dengan menggunakan baju coklat dan celana se
lutut. Tinggi badan sekitar 150 cm. Perawatan diri kurang, tampak kurang
rapi. Wajah tampak sesuai usia.
2. Kesadaran
Compos Mentis
3. Perilaku dan aktivitas psikomotorik
Tenang
4. Pembicaraan
Berespon secara spontan, intonasi baik.
5. Sikap terhadap pemeriksa
Kooperatif

B. Keadaan Afektif
1. Mood : Labil
2. Afek : Labil
3. Keserasian : Serasi
4. Empati : Tidak dapat di raba rasakan

C. Fungsi Intelektual atau Kognitif


1. Taraf pendidikan : Pengetahuan umum dan kecerdasan
sesuai dengan usia dan tingkat
pendidikan nya
2. Daya konsentrasi : Kurang
3. Orientasi (waktu, tempat, orang) : Baik

6
4. Daya ingat
Jangka panjang : Kurang
Jangka pendek : Baik
Segera : Baik
5. Pikiran abstrak : Terganggu
6. Bakat kreatif : Tidak ada
7. Kemampuan menolong diri sendiri :Kurang Mampu menolong diri sendiri

D. Gangguan Persepsi
1. Halusinasi : Auditorik (+) : bisikan berupa siulan dan pasien
mendengar sedang ada yang membicarakan tentang dirinya
2. Ilusi : Tidak ada
3. Depersonalisasi : Tidak ada
4. Derealisasi :Tidak ada

E. Proses Berpikir
1. Arus Pikir
a. Produktivitas : Kurang
b. Kontinuitas : Irrelevan
c. Hendaya berbahasa : Tidak terdapat hendaya berbahasa
2. Isi Pikiran
a. Preokupasi : Pasien selalu ingin pulang
b. Gangguan isi pikiran : Waham Kejar (+), dan Waham Curiga (+)

F. Pengendalian impuls
Saat diwawancara impuls baik dan tenang

7
G. Daya Nilai
1. Norma Sosial : Terganggu
2. Uji daya nilai : Terganggu
3. Penilaian Realitas : Terganggu

H. Tilikan (insight)
Derajat 1 : penyangkalan total terhadap penyakitnya

I. Taraf Dapat Dipercaya


Dapat dipercaya

IV. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK LEBIH LANJUT


A. Status Internus
1. Kesan umum : Compos mentis
2. Gizi : Baik
3. Tanda vital : Tekanan darah: 120/80 mmHg, nadi: 82 x/menit,
suhu: 36,6oC, respirasi: 20 x/menit.
4. Kepala : Dalam batas normal
5. Leher : Tidak ada pembesaran KGB
6. Thorak : Bunyi nafas vesikuler(+/+), Wh(-/-), rh(-/-)
7. Abdomen : Peristaltik(+) kesan normal
8. Ekstremitas : Tremor (-)
9.
B. Status Neurologis :
1. Fungsi kesadaran : GCS E4V5M6.
2. Fungsi luhur : Dalam batas normal.
3. Fungsi kognitif : Dalam batas normal.
4. Fungsi sensorik : Dalam batas normal.
5. Fungsi motorik : Dalam batas normal.

8
Kekuatan Tonus R. Fisiologis R. Patologis
Normal Normal + + - -
+ + - -

V. IKHTISAR PENEMUAN BERMAKNA


- Seorang laki-laki umur 44 tahun menggunakan baju coklat dan celana
pendek selutut. Tinggi badan sekitar 160 cm, perawatan diri kurang, tapak
kurang rapi, wajah tampak sesuai usianya. Kesadaran kompos mentis,
tampak tenang saat di wawancara, mood labil, afek labil, empati tidak dapat
dirabarasakan.
- Pasien MRS dengan keluhan mengamuk dan gelisah sejak 2 hari yang lalu.
Pasien merasa ada yang berbisik dan membicarakan hal negatif tentang
dirinya sejak 2 bulan yang lalu. Pasien juga merasa istrinya berselingkuh
sehingga sering membawa parang atau pisau jika ketemu istrinya karena
ada perasaan jengkel dan pasien merasa tetangganya sering
membicarakannya dan ingin melaporkan ke polisi serta memukulnya.
Pasien kurang tidur dan tidak mau makan serta menarik diri.
- Fungksi intelektual menurun, gangguan persepsi terdapat halusinasi
auditorik berupa bisiskan hal negatif tentang diri pasien dan terdapat waham
kejar dan curiga.
- Pada pemeriksaan neurologis dan status internus tidak didapatkan keluhan
yang bermakna dari pasien
- Tilikan (insight) derajat 1: penyangkalan total terhadap pernyakitnya

9
VI. EVALUASI MULTIAKSIAL
A. Axis I
1. Pada anamnesis didapatkan pasien ini mengamuk, mengganggu orang lain,
sulit tidur, mendengar bisikan yang menyebabkan timbulnya penderitaan
(distress) dan hendaya (disability) berupahendaya sosial, pekerjaan dan
penggunaan waktu senggang sehingga dapat di katakana pasien mengalami
Gangguan Jiwa
2. Dari pemeriksaan status mental didapatkan hendaya berat dalam menulai
realita, terdapat adanya halusinasi yaitu halusinasi auditorik dan waham
kejar serta curiga sehingga dikatakan Gangguan Jiwa Psikotik.
3. Pada status internus dan neurologis tidak di dapatkan kelainan yang
mengindikasikan gangguan medis umum yang menimbulkan gangguan
fungsi otak yang dapat mengakibatkan gangguna jiwa yang diderita pasien
ini sehingga diagnose gangguan mental organic dapat disingkirkan dan
didiagnosa Gangguan Jiwa Psikotik Non Organik.
4. Dari autoanamnesis dan alloanamnesis didapatkan bahwa pasien memiliki
halusinasi auditorik ,waham kejar dan curiga, gelisah, dan arus pikirnya
miskin ide dan irrelevan, gejala ini merupakan gejala yang pertama kalinya
dan sudah berlangsung selama 2 bulan sehingga memenuhi kriteria gejala
untuk menegakkan diagnosis Skizofrenia (F20).
5. Dari anamnesis dan status mental di dapatkan memenuhi kriteria untuk
skizofrenia dan didapatkan halusinasi dan waham pada kasus ini,
memenuhi kriteria untuk gejala skizofrenia paranoid karena di dapatkan
gejala skizofrenia paranoid yaitu terdapat halusinasi auditorik dan waham
yang menonjol makanya ditegakkan diagnosis Skizofrenia Paranoid
(F20.0)
B. Axis II : Diagnosis axis II tertunda
C. Axis III : tidak ditemukan adanya gangguan organik

10
D. Axis IV : Masalah ekonomi; pasien memiliki utang di bank dan pinjaman di
rentenir dan kesulitan untuk melunasi utang-utangnya, masalah dengan “family
support group” : pasien merasa kurang percaya diri saat melakukan hubungan
seksual dengan istrinya.
E. Axis V : GAF scale 60-51 gejala sedang (moderate), disabilitas sedang

VII. DAFTAR PROBLEM


A. Organobiologik
Terdapat ketidakseimbangan neurotensmitter sehingga pasien memerlukan
psikofarmaka
B. Psikologi
Ditemukan adanya masalah/ stressor psikososial sehingga pasien memerlukan
osikoterapi
C. Sosiologi
Ditemukan adanya hendaya dalam bidang sosial, pekerjaan dan penggunaan
waktu senggang sehingga pasien membutuhkan sosioterapi

VIII. PROGNOSIS
Dubia ad bonam
Prognosis baik Prognosis buruk
Faktor stress psikososial jelas Perilaku menarik diri
Onset akut Status ekonomi rendah
Keluarga mendukung kesembuhan Riwayat melakukan tindakan
penyerangan
Sudah menikah
Menunjukkan gejala positif

11
IX. RENCANA TERAPI
A. Farmakoterapi :
- Haloperidol 5 mg 1-0-1
- Alprazolam 0,5 mg 0-0-1

B. Non Psikofarmaka
Terdapat beberapa pilihan untuk psikoterapi. Psikoterapi dapat diberikan
apabila pasien sudah dapat menerima kondisinya yang sedang sakit. Adapun
berikut ini psikoterapi yang dapat diberikan pada pasien ini, yaitu:
- Ventilasi : memberikan kesempatan kepada pasien untuk menceritakan
keluhan pasien
- Konseling : memberikan penjelasan dan pengertian kepada pasien tentang
penyakitnya, agar pasien memahami kondisi dirinya, dan memahami cara
menghadapinya, serta memotivasi agar pasien dapat teratur meminum
obatnya.
- Sosioterapi : menjelaskan kepada keluarga dan orang-orang disekitar pasien
agar menciptakan suasana kondusif untuk mempercepat pemulihan serta
melakukan kunjungan berkala untuk melihat perkembangan pasien.

X. FOLLOW UP
Memantau keadaan umum pasien dan perkembangan penyakit serta menilai
efektifitas pengobatan yang diberikan dan kemungkinan munculnya efek samping obat
yang diberikan.

12
13
XI. PEMBAHASAN

A. Definisi

Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani, “shizein” yang berarti “terpisah” atau
“pecah”, dan “phren” yang artinya “jiwa”. Pada skizofrenia terjadi pecahnya atau
ketidakserasian antara afeksi, kognitif, dan perilaku. Secara umum, gejala skizofrenia
dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu gejala positif, gejala negatif, dan gangguan
dalam hubungan interpersonal.1.2

Skizofrenia adalah diagnosis kejiwaan yang menggambarkan gangguan mental


dengan karakter abnormalitas dalam persepsi atau gangguan mengenai realitas.
Abnormalitas persepsi dapat berupa gangguan komunikasi sosial yang nyata. Sering
terjadi pada dewasa muda, ditegakkan melalui pengalaman pasien dan dilakukan
observasi tingkah laku, serta tidak dibutuhkan adanya pemeriksaan laboratorium.2

Berdasarkan PPDGJ III, skizofrenia adalah suatu deskripsi sindrom dengan


variasi penyebab (banyak belum diketahui) dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat
kronis atau “deteriorating”) yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada
perimbangan pengaruh genetik, fisik, dan sosial budaya. Pada umumnya ditandai oleh
penyimpangan yang fundamental dan karakteristik dari pikiran dan persepsi, serta oleh
afek yang tidak wajar (inappropriate) atau tumpul (blunted), kesadaran yang jernih
(clear consciousness) dan kemampuan intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun
kemunduran kognitif tertentu dapat berkembang kemudian. 2

Skizofrenia merupakan suatu gangguan psikotik yang kronik, sering mereda,


namun hilang timbul dengan manifestasi klinis yang amat luas variasinya. Menurut
Eugen Bleuler, skizofrenia adalah suatu gambaran jiwa yang terpecah belah, adanya
keretakan atau disharmoni atara proses pikir, perasaan, dan perbuatan.1

B. Epidemiologi

14
John McGrath PhD dari Pusat Penelitian Kesehatan Mental Queensland,
Wacol, Australia, dalam simposium bertema Psychosis Round the World, yang
membahas data terbaru epidemiologi skizofrenia, memberikan presentasi sistematik
untuk memandang kejadian skizofrenia. Ia mengatakan, kejadian skizofrenia pada pria
lebih besar daripada wanita. Kejadian tahunan berjumlah 15,2% per 100.000
penduduk, kejadian pada imigran dibanding penduduk asli sekitar 4,7%, kejadian pada
pria 1,4% lebih besar dibandingkan wanita. Di indonesia, menurut dr.Irmasyah, hampir
70% mereka yang dirawat di bagian psikiatri karena skizofrenia. Angka di masyarakat
berkisar 1-2% dari seluruh penduduk pernah mengalami skizofrenia dalam hidup
mereka.2

C. Etiologi

Skizofrenia merupakan suatu bentuk psikosis yang sering dijumpai sejak dulu.
Meskipun demikian pengetahuan tentang faktor penyebab dan patogenesisnya masih
minim diketahui. Adapun beberapa faktor etiologi yang mendasari terjadinya
skizofrenia, antara lain 1.5

a. Genetik
Dapat dipastikan bahwa ada faktor genetik yang turut menentukan timbulnya
skizofrenia. Hal ini telah dibuktikan dengan penelitian tentang keluarga-keluarga
penderita skizofrenia dan terutama anak-anak kembar satu telur. Angka kesakitan bagi
saudara tiri adalah 0,9-1,8%; bagi saudara kandung 7-15%; bagi anak dengan salah satu
orang tua yang menderita skizofrenia 7-16%; bila kedua orang tua menderita
skizofrenia 40-68%; bagi kembar dua telur (heterozigot) 2-15%; bagi kembar satu
ttelur (monozigot) 61-86%.
Diperkirakan bahwa yang diturunkan adalah potensi untuk mendapatkan
skizofrenia (bukan penyakit itu sendiri) melalui gen yang resesif. Potensi ini mungkin
kuat, mungkin juga lemah, tetapi selanjutnya tergantung pada lingkungan individu itu
apakah akan terjadi manifestasi skizofrenia atau tidak.

15
b. Endokrin

Dahulu dikira bahwa skizofrenia mungkin disebabkan oleh gangguan endokrin.


Teori ini dikemukakan karena skizofrenia sering timbul pada waktu pubertas, waktu
kehamilan atau puerperium dan waktu klimakterium. Tetapi hal ini tidak dapat
dibuktikan.

c. Metabolisme

Ada orang yang menyangka bahwa skizofrenia disebabkan oleh gangguan


metabolisme, karena penderita dengan skizofrenia tampak pucat dan tidak sehat. Ujung
extremitas agak sianotik, nafsu makan berkurang dan berat menurun. Hipotesis ini
tidak dibenarkan oleh banyak sarjana. Belakangan ini teori metabolisme mendapat
perhatian lagi karena penelitian dengan memakai obat halusinogenik, seperti meskalin
dan asam lisergik diethilamide (LSD-25). Obat-obat ini dapat menimbulkan gejala-
gejala yang mirip dengan gejala-gejala skizofrenia, tetapi reversibel. Mungkin
skizofrenia disebabkan oleh suatu inborn error of metabolism, tetapi hubungan terakhir
belum ditemukan.

Teori-teori tersebut di atas ini dapat dimasukkan ke dalam kelompok teori


somatogenik, yaitu teori yang mencari penyebab skizofrenia dalam kelainan badaniah.
Kelompok teori lain adalah teori psikogenik, yaitu skizofrenia diaggap sebagai suatu
gangguan fungsional dan penyebab utama adalah konflik, stress psikologis dan
hubungan antarmanusia yang mengecewakan.

Kemudian muncil teori lain yang menganggap skizofrenia sebagai suatu


sindrom yang dapat disebabkan oleh bermacam-macam penyebab, antara lain
keturunan, pendidikan yang salah, maladaptasi, tekanan jiwa, penyakit badani seperti
lues otakm atherosclerosis otak dan penyakit lain yang belum diketahui.

Akhirnya timbul pendapat bahwa skizofrenia itu suatu gangguan psikosomatis,


gejala-gejala pada badan hanya sekunder karena gangguan dasar yang psikogenik, atau

16
merupakan manifestasi somatic dari gangguan psikogenik. Tetapi pada skizofrenia
justru kesukarannya adalah untuk menentukan mana yang primer dan mana yang
sekunder, mana yang merupakan penyebab dan mana yang hanya akibat saja.

d. Neurokimia

Hipotesis dopamin menyatakan bahwa skizofrenia disebabkan oleh


overaktivitas pada jaras dopamine mesolimbik. Hal ini didukung oleh temuan bahwa
amfetamin, yang kerjanya meningkatkan pelepasan dopamine, dapat menginduksi
psikosis yang mirip skizofrenia; dan obat antipsikotik (terutama antipsikotik generasi
pertama atau antipsikotik tipikal/klasik) bekerja dengan memblok reseptor dopamine,
terutama reseptor D2.2,3

D. Pemeriksaan Fisik
1. Status Internus
Sifat keluhan pasien penting untuk menentukan dibutuhkan atau tidaknya suatu
pemeriksaan fisik lengkap. Gejala fisik seperti nyeri kepala dan palpitasi
memerlukan pemeriksaan medis yang menyeluruh untuk menentukan bagian dari
proses somatik. Bila ada, yang berperan menyebabkan penderitaan tersebut. Hal
yang sama dapat digunakan pada gejala mental misalnya depresi, ansietas,
halusinasi, dan waham kejar, yang bisa jadi merupakan ekspresi dan proses
somatik. Terkadang keadaan menyebabkan kita perlu menunda pemeriksaan medis
lengkap. Misalnya, pasien dengan waham atau panik dapat menunjukkan
perlawanan sikap bertahan atau keduanya. Pada keadaan ini, riwayat medis harus
diperoleh dari anggota keluarga bila memungkinkan. Namun, kecauali ada alasan
mendesak untuk melanjutkan pemeriksaan fisik, hal itu sebaiknya ditunda sampai
pasien menurut. 1.2
2. Pemeriksaan Neurologis
Selama proses anamnesis pada kasus tersebut, tingkat kesadaran dan atensi
pasien terhadap detil pemeriksaan, pemahaman, ekspresi wajah, cara bicara,

17
postur, dan cara berjalan perlu diperhatikan. Pemeriksaan neurologis dilakukan
untuk dua tujuan. Tujuan pertama dicapai melalui pemeriksaan neurologis rutin,
yaitu terutama dirancang untuk mengungkap asimetri fungsi motorik, persepsi, dan
refleks pada kedua sisi tubuh yang disebabkan oleh penyakit hemisferik fokal.
Tujuan kedua tercapai dengan mencari untuk memperoleh tanda yang selama ini
dikaitkan dengan disfungsi otak difus atau penyakit lobus frontal. Tanda ini
meliputi refleks mengisap, mencucur, palmomental, dan refleks genggam serta
menetapnya respons terhadap ketukan di dahi. Sayangnya, kecuali refleks
genggam, tanda seperti itu tidak berkaitan erat dengan patologi otak yang
mendasari.2

1. Status mental 1
 Deskripsi umum
o Penampilan
Postur, pembawaan, pakaian, dan kerapihan. Penampilan pasien skizofrenia
dapat berkisar dari orang yang sangat berantakan, menjerit-jerit, dan
teragitasihingga orang yang terobsesi tampil rapi, sangat pendiam, dan
imobil.
o Perilaku dan aktivitas psikomotor yang nyata
Kategori ini merujuk pada aspek kuantitatif dan kualitatif dari perilaku
motorik pasien. Termasuk diantaranya adalah manerisme, tik, gerakan
tubuh, kedutan, perilaku streotipik, ekopraksia, hiperaktivitas, agitasi, sikap
melawan, fleksibilitas, rigiditas, gaya berjalan, dan kegesitan.
o Sikap terhadap pemeriksa
Sikap pasien terhadap pemeriksa dapat dideskripsikan sebagai kooperatif,
bersahabat, penuh perhatian, tertarik, balk-blakan, seduktif, defensif,
merendahkan, kebingungan, apatis, bermusuhan, suka melucu,
menyenangkan, suka mengelak, atau berhati-hati.

18
 Mood dan afek
Mood didefinisikan sebagai emosi menetap dan telah meresap yang mewarnai
persepsi orang tersebut terhadap dunia.
Afek didefinisikan sebagai responsivitas emosi pasien saat ini, yang tersirat dari
ekspresi wajah pasien, termasuk jumlah dan kisaran perilaku ekspresif.
 Kakteristik gaya bicara
Pasien dapat digambarkan sebagai banyak bicara, cerewet, fasihm pendiam,
tidak spontan, atau terespons normal terhadap petunjuk dari pewawancara.
Gaya bicara dapat cepat atau lambat, tertekan, tertahan, emosional, dramatis,
monoton, keras, berbisik, cadel, terputus-putus, atau bergumam. Gangguan
bicara, contohnya gagap, dimasukkan dalam bagian ini.
 Persepsi
Gangguan persepsi, seperti halusinasi dan ilusi mengenai dirinya atau
lingkungannya, dapat dialami oleh seseorang. Sistem sensorik yang terlibat
(contohnya: auditorik, visual, olfaktorik, atau taktil) dan isi ilusi atau halusinasi
tersebut harus dijelaskan.
 Halusinasi senestik
Halusinasi senestik merupakan sensasi tak berdasar akan adanya keadaan organ
tubuh yang terganggu. Contoh halusinasi senestik mencakup sensasi terbakar
pada otak, sensasi terdorong pada pembuluh darah, serta sensasi tertusuk pada
sumsum tulang.
 Ilusi
Sebagaimana dibedakan dari halusinasi, ilusi merupakan distorsi citra yang
nyata, sementara halusinasi tidak didasarkan pada citra atau sensasi yang nyata.
Ilusi dapat terjadi pada pasien skizofrenik selama fase aktif, namun dapat pula
terjadi dalam fase prodromal dan selama periode remisi.
 Isi pikir dan kecenderungan mental
o Proses pikir (bentuk pemikiran)

19
Pasien dapat memiliki ide yang sangat banyak atau justru miskin ide. Dapat
terjadi proses pikir yang cepat, yang bila berlangsung sangat ekstrim, disebut
flight of ideas. Seorang pasien juga dapat menunjukkan cara berpikir yang
lambat atau tertahan. Gangguan kontinuitas pikir meliputi pernyataan yang
bersifat tangensial, sirkumstansial, meracau, suka mengelak, atau
perseveratif.
Bloking adalah suatu interupsi pada jalan pemikiran sebelum suatu ide
selesai diungkapkan. Sirkumstansial mengisyaratkan hilangnya kemampuan
berpikir yang mengarah ke tujuan dalam mengemukakan suatu ide, pasien
menyertakan banyak detail yang tidak relevan dan komentar tambahan
namun pada akhirnya mampu ke ide semula. Tangensialitas merupakan
suatu gangguan berupa hilangnya benang merah pembicaraan pada seorang
pasien dan kemudian ia mengikuti pikiran tangensial yang dirangsang oleh
berbagai stimulus eksternal atau internal yang tidak relevan dan tidak pernah
kembali ke ide semula. Gangguan proses pikir dapat tercermin dari word
salad (hubungan antarpemikiran yang tidak dapat dipahami atau inkoheren),
clang association (asosiasi berdasarkan rima), punning (asosiasi berdasarkan
makna ganda), dan neologisme (kata-kata baru yang diciptakan oleh pasien
melalui kombinasi atau pemadatan kata-kata lain).
o Isi pikir
Gangguan isi pikir meliputi waham, preokupasi, obsesi, kompulsi, fobia,
rencana, niat, ide berulang mengenai bunuh diri atau pembunuhan, gejala
hipokondriakal, dan kecenderungan antisosial tertentu.
 Sensorium dan kognisi
Pemeriksaan ini berusaha mengkaji fungsi organik otak dan inteligensi pasien,
kemampuan berpikir abstrak, serta derajat tilikan dan daya nilai.
o Kesadaran

20
Gangguan kesadaran biasanya mengindikasikan adanya kerusakan organik
pada otak.
o Orientasi dan memori
Ganggaun orientasi biasanya dibagi berdasarkan waktu, tempat, dan orang.
o Konsentrasi dan perhatian
Konsentrasi pasien terganggu karena berbagai allasan. Gangguan kognitif,
ansietas, depresi, dan stimulus internal, seperti halusinasi auditorik,
semuanya dapat berperan menyebabkan gangguan konsentrasi.
o Membaca dan menulis
o Kemampuan visuospasial
Pasien diminta untuk menyalin suatu gambar, misalnya bagian depan jam
dinding atau segilima bertumpuk.
o Pikiran abstrak
Kemampuan untuk menangani konsep-konsep. Pasien mungkin memiliki
gangguan dalam membuat konsep atau menangani ide.
o Informasi dan inteligensi
 Impulsivitas, Kekerasan, Bunuh diri, dan Pembunuhan
Pasien mungkin tidak dapat mengendalikan impuls akibat suatu gangguan
kognitif atau psikotik atau merupakan hasil suatu defek karakter yang kronik,
seperti yang dijumpai pada gangguan kepribadian.
Perilaku kekerasan lazim dijumpai di antara pasien skizofrenik yang tidak
diobati. Waham yang bersifat kejar, episode kekerasan sebelumnya, dan defisit
neurologis merupakan faktor resiko perilaku kekerasan atau impulsif.
Kurang lebih 50 persen pasien skizofrenik mencoba bunuh diri, dan 10 sampai
15 persen pasien skizofrenia meninggal akibat bunuh diri. Mungkin faktor yang
paling tidak diperhitungkan yang terlibat dalam kasus bunuh diri pasien ini
adalah depresi yang salah diagnosis sebagai afek mendatar atau efek samping
obat. Faktor pemicu lain untuk bunuh diri mencakup perasaan kehampaan

21
absolut, kebutuhan melarikan diri dari penyiksaan mental, atau halusinasi
auditorik yang memerintahkan pasien mebunuh diri sendiri.
Saat seorang pasien skizofrenik benar-benar melakukan pembunuhan, hal itu
mungkin dilakukan dengan alasan yang aneh atau tak disangka-sangka yang
didasarkan pada halusinasi atau waham.
 Daya nilai dan tilikan
Daya nilai : aspek kemampuan pasien untuk melakukan penilaian sosial.
Dapatkah pasien meramalkan apa yang akan dilakukannya dalam situasi
imajiner. Contohnya: apa yang akan pasien lakukan ketika ia mencium asap
dalam suasana gedung bioskop yang penuh sesak?
Tilikan: tingkat kesadaran dan pemahaman pasien akan penyakitnya. Pasien
dapat menunjukkan penyangkalan total akan penyakitnya atau mungkin
menunjukkan sedikit kesadaran kalau dirinya sakit namun menyalahkan orang
lain, faktor eksternal, atau bahkan faktor organik. Mereka mungking menyadari
dirinya sakit, namun menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang asing atau
misterius dalam dirinya.
 Realiabilitas
Kesan psikiater tentang sejauh mana pasien dapat dipercaya dan kemampuan
untuk melaporkan keadaanya secara akurat. Contohnya, bila pasien terbuka
mengenai penyalahgunaan obat tertentu secara aktif mengenai keadaan yang
menurut pasien dapat berpengaruh buruk (mislnya, bermasalah dengan hukum),
psikiater dapat memperkirakan bahwa realiabilitas pasien adalah baik.2,3

2. Pemeriksaan tambahan 1.5

Tes psikologis: tes inteligensi, tes kepribadian, tes ketangkasan atau bakat, dan tes
neuropsikologis.

 Tes inteligensi

22
Dapat ditentukan HI (hasil bagi inteligensi) atau IQ (Intelligence Quotient)
sebagai suatu cara numerik untuk menyatakan taraf inteligensi. Rumusnya
sebagai berikut:

Umur mental
HI= ------------------------- x 100
Umur kalender

Umur mental didapat dari tes inteligensi. Umur kalender diambil paling tinggi
15 (biarpun sebenarnya lebih), karena tes inteligensi yang ada sekarang sukar
untuk mengukur perbedaan inteligensi di atas umur 15 tahun.

 Tes kepribadian
Tes kepribadian lebih sukar dibuat, dipakai dan dinilai sehingga reliabilitas dan
validitas kurang dari tes inteligensi. Hal ini disebabkan antara lain karena begitu
banyaknya sifat kepribadian manusia dan sukarnya mencari parameter atau
indikatro yang tepat dan dapat diukur untuk suatu sifat kepribadian tertentu.
Kepribadian adalah keseluruhan perilaku manusia atau perannya dalam
hubungan antar manusia, pribadinya dapat dibedakan dari pribadi lain. Peran
ini bukan saja perilaku yang nyata, tetapi juga sikap internal, kecenderungan
bertindak dan hambatan. Kepribadian dapat dievaluasi dengan cara observasi,
wawancara, atau melalui daftar pertanyaan, tes melengkapi kalimat atau tes
proyeksi.

 Tes neuropsikologis
Tes neuropsikologis merupakan tes yang mempelajari hubungan antara otak
dan perilaku dengan menggunakan prosedur tes yang terstandarisasi dan
objektif. Tes ini menguji kemampuan kognitif. Tujuan tes neuropsikologis

23
adalah identifikasi, kuantifikasi, dan deskripsi perubahan kognitif dan perilaku
yang disebabkan oleh disfungsi otak. Dalam hal ini, ranah (domain) yang
dievaluasi adalah kemampuan berbahasa, memori, penalaran dan pertimbangan
intelektual, fungsi visual-motor, fungsi sensori-perseptual, dan fungsi
motorik.2,3

E. Pemeriksaan Penunjang

Meskipun pemeriksaan laboratorium adalah pemeriksaan penunjang, tetapi


peranannya penting dalam menjelaskan dan menkuantifikasi disfungsi neurofisiologis,
memilih pengobatan, dan memonitor respon klinis. Hasil pemeriksaan laboratorik
harus dapat diintegrasikan dengan data riwayat penyakit, wawancara dan pemeriksaan
psikiatrik untuk memperoleh gambaran komprehensif tentang diagnosis dan
pengobatan yang diperlukan oleh pasien.1.2

Sampai saat ini belum ada konsensus mengenai tes apa saja yang digunakan
sebagai penyaring, tetapi beberapa tes berikut patut untuk dipertimbangkan:

1. Pemeriksaan darah lengkap


2. Elektrolit serum
3. Glukosa darah
4. Tes fungsi hepar
5. Tes fungsi ginjal
6. Kalsium serum
7. Uji fungsi tiroid
8. Pemeriksaan penyaring untuk sifilis (VDRL dan TPHA)
9. Tes urin untuk obat terlarang.2,3

F. Gambaran klinis

24
Skizofrenia merupakan penyakit kronik. Sebagian kecil dari kehidupan mereka
berada dalam kondisi akut dan sebagian besar penderita berada lebih lama (bertahun-
tahun) dalam fase residual yaitu fase yang memperlihatkan gambaran penyakit yang
“ringan”. Selama periode residual, pasien lebih menarik diri atau mengisolasi diri, dan
“aneh”. Gejala-gejala penyakit biasanya terlihat lebih jelas oleh orang lain. Pasien
dapat kehilangan pekerjaan dan teman karena ia tidak berminat dan tidak mampu
berbuat sesuatu atau karena sikapnya yang aneh. Pemikiran dan pembicaraan mereka
samar-samar sehingga kadang-kadang tidak dapat dimengerti. Mereka mungkin
mempunyai keyakinan yang salah yang tidak dapat dikoreksi. Penampilan dan
kebiasaan-kebiasaan mereka mengalami kemunduran serta afek mereka terlihat
tumpul. Meskipun mereka dapat mempertahankan inteligensia yang mendekati normal,
sebagian besar performa uji kognitifnya buruk. Pasien dapat menderita anhedonia yaitu
ketidakmampuan merasakan rasa senang. Pasien juga mengalami deteorisasi yaitu
perburukan yang terjadi secara berangsur-angsur. 1

Gejala Positif dan Negatif

Gejala positif mencakup waham dan halusinasi. Gejala negatif meliputi afek
mendatar atu menumpul, miskin bicara (alogia) atau isi bicara, bloking, kurang
merawat diri, kurang motivasi, anhedonia, dan penarikan diri secara sosial.

Gangguan Pikiran

- Gangguan proses pikir


Pasien biasanya mengalami gangguan proses pikir. Pikiran mereka sering tidak
dapat dimengerti oleh orang lain dann terlihat tidak logis. Tanda-tandanya adalah:
1. Asosiasi longgar: ide pasien sering tidak menyambung. Ide tersebut seolah
dapat melompat dari satu topik ke topik lain yang tak berhubungan sehingga
membingungkan pendengar. Gangguan ini sering terjadi misalnya di
pertengahan kalimat sehingga pembicaraan sering tidak koheren.

25
2. Pemasukan berlebihan: arus pikiran pasien secara terus-menerus mengalami
gangguan karena pikirannya sering dimasuki informasi yang tidak relevan.
3. Neologisme: pasien menciptakan kata-kata baru (yang bagi mereka meungkin
mengandung arti simbolik)
4. Terhambat: pembicaraan tiba-tiba berhenti (sering pada pertengahan kalimat)
dan disambung kembali beberapa saat kemudian, biasanya dengan topik lain.
Ini dapat menunjukkan bahwa ada interupsi.
5. Klang asosiasi: pasien memilih kata-kata berikut mereka berdasarkan bunyi
kata-kata yang baru saja diucapkan dan bukan isi pikirannya.
6. Ekolalia: pasien mengulang kata-kata atau kalimat-kalimat yang baru saja
diucapkan oleh seseorang.
7. Konkritisasi: pasien dengan IQ rata-rata normal atau lebih tinggi, sangat buruk
kemampuan berpikir abstraknya.
8. Alogia: pasien berbicara sangat sedikit tetapi bukan disengaja (miskin
pembicaraan) atau dapat berbicara dalam jumlah normal tetapi sangat sedikit
ide yang disamapaikan (miskin isi pembicaraan).
- Gangguan isi pikir
1. Waham: suatu kepercayaan palsu yang menetap yang taksesuai dengan fakta
dan kepercayaan tersebut mungkin “aneh” atau bisa pula “tidak aneh” tetapi
sangat tidak mungkin dan tetap dipertahankam meskipun telah diperlihaykan
bukti-bukti yang jelas untuk mengkoreksinya. Waham sering ditemui pada
gangguan jiwa berat dan beberapa bentuk waham yang spesifik sering
ditemukan pada skizofrenia. Semakin akut skizofrenia semakin sering ditemui
waham disorganisasi atau waham tidak sistematis:
a. Waham kejar
b. Waham kebesaran
c. Waham rujukan
d. Waham penyiaran pikiran
e. Waham penyisipan pikiran

26
2. Tilikan
Kebanyakan pasien skizofrenia mengalami pengurangan tilikan yaitu pasien
tidak menyadari penyakitnya serta kebutuhannya terhaap pengobatan,
meskipun gangguan yang ada pada dirinya dapat dilihat oleh orang lain.

Gangguan Persepsi

- Halusinasi
Halusinasi paling sering ditemui, biasanya berbentuk pendengaran tetapi bisa juga
berbentuk penglihatan, penciuman, dan perabaan. Halusinasi pendengaran dapat
pula berupa komentar tentang pasien atau peristiwa-peristiwa sekitar pasien.
Komentar-komentar tersebut dapat berbentuk ancaman atau perintah-perintah
langsung ditujukan kepada pasien (halusinasi komando). Suara-suara sering
diterima pasien sebagai sesuatu yang berasal dari luar kepala pasien dan kadang-
kadang pasien dapat mendengar pikiran-pikiran mereka sendiri berbicara keras.
Suara-suara cukup nyata menurut pasien kecuali pada fase awal skizofrenia.
- Ilusi dan depersonalisasi
Pasien juga dapat mengalami ilusi atau depersonalisasi. Ilusi yaitu adanya
misinterpretasi panca indera terhadap objek. Depersonalisasi yaitu adanya
perasaan asing terhadap diri sendiri. Derealisasi yaitu adanya perasaan asing
terhadap lingkungan sekitarnya misalnya dunia terlihat tidak nyata.

Gangguan Perilaku

Salah satu gangguan aktivitas motorik pada skizofrenia adalah gejala katatonik
yang dapat berupa stupor atauh gaduh gelisah. Paien dengan stupor tidak bergerak,
tidak berbicara, dan tidak berespons, meskipun ia sepenuhnya sadar. Sedangkan pasien
dengan katatonik gaduh gelisah menunjukkan aktivitas motorik yang tidak terkendali.
Kedua keadaan ini kadang-kadang terjadi bergantian. Pada stupor katatonik juga bisa
didapati fleksibilitas serea dan katalepsi. Gejala katalepsi adalah bila suatu posisi
badan dipertahankan untuk waktu yang lama. Sedangkan fleksibilitas serea adalah bila

27
anggota badan dibengkokkan terasa suatu tahanan seperti pada lilin atau malam dan
posisi itu dipertahankan agak lama.

Gangguan perilaku lain adalah stereotipi dan manerisme. Berulang-ulang


melakukan suatu gerakan atau mengambil sikap badan tertentu disebut stereotipi.
Misalnya, menarik-narik rambutnya, atau tiap kali bila mau menyuap nasi mengetuk
piring dulu beberapa kali. Keadaan ini dapat berlangsung beberapa hari sampai
beberapa tahun. Stereotipi pembicaraan dinamakan verbigrasi, kata atau kalimat
diulang-ulangi, hal ini sering juga terdapat pada gangguan otak orgnaik. Manerisme
adalah stereotipi tertentu pada skizofrenia, yang dapat dilihat dalam bentuk grimas
pada mukanya atau keanehan berjalan dan gaya berjalan.

Gangguan Afek

Kedangkalan respons emosi, misalnya penderita menjadi acuh tak acuh


terhadap hal-hal yang penting untuk dirinya sendiri sepertti keadaan keluarganya dan
masa depannya. Perasaan halus sudah hilang. Parathimi, apa yang seharusnya
menimbulkan rasa senang dan gembira, pada penderita timbul rasa sedih atau marah.
Paramimi, penderita merasa senang dan gembira, akan tetapi ia menangis. Parathimi
dan paramimi bersama-sama dinamakan incongruity of affect dalam bahasa inggris
dan inadequat dalam bahasa belanda.

Kadang-kadang emosi dan afek serta ekspresinya tidak mempunyai kesatuan,


misalnya sesudah membunuh anaknya penderita menangis berhari-hari, tetapi
mulutnya seperti tertawa.semua ini merupakan gangguan afek dan emosi yang khas
untuk skizofrenia. Gangguan afek dan emosi lain adalah:

Emosi berlebihan, sehingga kelihatan seperti dibuat-buat, seperti pada penderita sedang
bersandiwara.

Yang penting juga pada skizofrenia adalah hilangnya kemampuan untuk


mengadakan hubungan emosi yang baik (emotional rapport). Karena itu sering kita

28
tidak dapat merasakan perasaan penderita. Karena terpecah-belahnya kepribadian,
maka dual hal yang berlawanan mungkin timbul bersama-sama, misalnya mencintai
dan membenci satu orang yang sama; menangis dan tertawa tentang satu hal yang sama.
Ini dinamakan ambivalensi afektif.1-3

G. Diagnosis

Adanya halusinasi atau waham tidak mutlak untuk diagnosis skizofrenia;


gangguan pada pasien didiagnosis sebagai skizofrenia apabila pasien menunjukkan dua
gejala yang terdaftar sebagai gejala 3 sampai 5 pada kriteria A (1.waham 2. Halusinasi
3. Bicara kacau 4. Perilaku yang sangat kacau/katatonik 5. Gejala negatif, yaitu: afek
medatar, alogia, atau anhedonia). Hanya dibutuhkan satu gejala kriteria A bila
wahamnya bizare atau halusinasinya terdiri atas suara yang terus-menerus memberi
komentar terhadap perilaku atau pikiran pasien, atau dua atau lebih suara yang saling
bercakap-cakap. Kriteria B membutuhkan adanya hendaya fungsi, meski tidak
memburuk, yang tampak selama fase aktif penyakit. Gejala harus berlangsung selama
paling tidak 6 bulan dan diagnosis gangguan skizoafektif atau gangguan mood harus
disingkirkan. Setidaknya salah satu hal ini harus ada 1.2.5:

1. Gema pikiran (thought echo)

2. Waham kendali, pengaruh, atau pasivitas

3. Suara-suara halusinasi yang terus-menerus mengomentari perilaku pasien atau saling


mendiskusikan pasien, atau suara halusinasi lain yang berasal dari bagian tubuh
tertentu; dan

4. Waham persisten jenis lain yang secara budaya tidak sesuai dan sangat tidak masuk
akal.

Diagnosis juga dapat ditegakkan bila setidaknya dua hal berikut ada:

29
1. Halusinasi persisten dalam modalitas apapun, bila terjadi setiap hari selama
sekurangnya 1 bulan, atau bila disertai waham

2. Neologisme, kata baru yang diciptakan oleh pasien, seringkali dengan


menggabungkan suku kata atau dari kata-kata lain.

3. Perilaku katatonik, seperti eksitasi, postur atau fleksibilitas serea, negativisme,


mutisme, dan stupor

4. Gejala negatif, seperti apatis yang nyata, miskin isi pembicaraan, dan respons
emosional tumpul serta ganjil (harus ditegaskan bahwa hal ini bukan disebabkan
depresi atau pengobatan antipsikotik).

H. Jenis – Jenis Skizofrenia


a. Tipe paranoid 1
Skizofrenia tipe ini ditandai dengan preokupasi terhadap satu atau lebih waham
atau halusinasi auditorik yang sering serta tidak adanya perilaku spesifik yang
sugestif untuk tipe hebrefrenik atau katatonik. Secara klasik, skizofrenia tipe
paranoid terutama ditandai dengan adanya waham kejar atau kebesaran. Pasien
skizofrenia paranoid biasanya mengalami episode pertama penyakit pada usia
yang lebih tua dibanding pasien skizofrenia hebefrenik dan katatonik. Pasien yang
skizofrenianya terjadi pada akhir usia 20-an atau 30-an biasanya telah memiliki
kehidupan sosial yang mapan yang dapat membantu mengatasi penyakitnya, dan
sumber ego pasien paranoid cenderung lebih besar dibanding pasien skizofrenia
hebefrenik atau katatonik. Pasien skizofrenia paranoid menunjukkna regresi
kemampuan mental, respons emosional, dan perilaku yang lebih ringan
dibandingkan pasien skizofrenia tipe lain. Pasien skizofrenia paranoid biasanya
tegang, mudah curiga, berjaga-jaga, berhati-hati, dan terkadang bersikap
bermusuhan atau agresif, namun mereka kadang-kadang dapat mengendalikan diri
mereka secara adekuat pada situasi sosial. Inteligensi mereka dalam area yang
tidak dipengaruhi psikosisnya cenderung tetap utuh.

30
b. Tipe disorganized
Skizofrenia tipe disorganized (sebelumnya disebut hebefrenik) ditandai dengan
regresi nyata ke perilaku primitif, tak terinhibisi, dan kacau serta dengan tidak
adanya gejala yang memenuhi kriteria tipe katatonik. Onset subtipe ini biasanya
dini, sebelum usia 25 tahun. Pasien hebefrenik biasanya aktif namun dalam sikap
yang nonkonstruktif dan tak bertujuan. Gangguan pikir menonjol dan kontal
dengan realitas buruk. Penampilan pribadi dan perilaku sosial berantakan, respons
emosional mereka tidak sesuai dan tawa mereka sering meledak tanpa alasan jelas.
Seringai atau meringis yang tak pantas lazim dijumpai pada pasien inim yang
perilakunya paling baik dideskripsikan sebagai konyol atau tolol.
c. Tipe katatonik
Pasien mempunyai paling sedikit satu dari beberapa bentuk katatonia:
- Stupor katatonik atau mutisme yaitu pasien tidak berespons terhadap
lingkungan atau orang. Pasien menyadari hal-hal yang sedang berlangsung di
sekitarnya.
- Negativsme katatonik yaitu pasien melawan semua perintah-perintah atau
usaha-usaha untuk menggerakkan fisiknya.
- Rigiditas katatonik yaitu pasien secara fisik sangat kaku atau rigid.
- Postur katatonik yaitu pasein mempertahankan posisi yang tak biasa atau aneh.
- Kegembiraan katatonik yaitu pasien sangat aktif dan gembira. Mungkin dapat
mengancam jiwanya (misalnya, karena kelelahan).
d. Tipe tak terinci
Pasien mempunyai halusinasi, waham, dan gejala-gejala psikosis aktif yang
menonjol (misalnya: kebingungan, inkoheren) atau memenuhi kriteria skizofrenia
tetapi tidak dapat digolongkan pada tipe paranoid, katatonik, hebefrenik, residual,
dan depresi pasca skizofrenia.
e. Tipe residual

31
Pasien dalam keadaan remmsi dari keadaan akut tetapi masih memperlihatkan
gejala-gejala residual (penarikan diri secara sosial, afek datar atau tak serasi,
perilaku eksentrik, asosiasi melonggar, atau pikiran tak logis).
f. Skizofrenia simpleks
Skizofrenia simpleks adalah sulatu diagnosis yang sulit dibuat secara meyakinka
karena bergantung pada pemastian perkembangan yang berlangsung perlahan,
progresif dari gejala “negatif” yang khas dari skizofrenia residual tanpa adanya
riwayat halusinasi, waham atau manifestasi lain tentang adanya suatu episode
psikotik sebelumnya, dan disertai degan perubahan-perubahan yang bermakna
pada perilaku perorangan, yang bermanifestasi sebagai kehilangan minat yang
mencolok, kemalasan, dan penarikan diri secara sosial.1,3

I. Patofisiologi

Neurobiologi

Terdapat peningkatan jumlah penelitian yang mengindikasikan adanya peran


patofisiologis area otak tertentu, termasuk sistem limbik, korteks frontal, serebelum,
dan ganglia basalis. Keempat area ini saling terhubung sehingga disfungsi satu area
dapat melibatkan proses patologi primer di tempat lain. Pencitraan otak manusia hidup
dan pemeriksaan neuropatologi jaringan otak postmortem menyatakan sistem limbik
sebagai lokasi potensial proses patologi primer pada setidaknya beberapa, bahkan
mungkin sebagian besar, pasien skizofrenia. 1

Dua area yang menjadi subjek penelitian aktif adalh waktu ketika suatu lesi
neuropatologi terlihat di otak serta interaksi lesi tersebut dengan stresor sosial dan
lingkungan. Dasar penampakan abnormalitas otak mungkin terletak pada pembentukan
abnormal atau pada degenerasi neuron setelah pembentukan. Namun, fakta bahwa
kembar monozigotik memiliki angka kejadian bersama sebesar 50% menyiratkan
adanya interaksi yang masih sangat sedikit diketahui antara lingkungan dan timbulnya

32
skizofrenia. Di lainppihak, faktor yang mengatur ekspresi gen baru mulai dipahami.
Meski kembar monozigotik mempunyai informasi genetik yang sama, regulasi gen
yang berbeda sepanjang hidup mungkin menyebabkan salah satu kembar monozigotik
mengalami skizofrenia, sementara kembarannya tidak. 1

Neuroanatomik, Neurofungsional, dan Neurokognitif

CT-scan dan MRI secara konsisten menunjukkan peningkatan volume ventrikel


lateral dan ketiga pada pasien skizofrenia. Studi ini umumnya juga menunjukkan
pengurangan volume otak secara keseluruhan pasien skizofrenia dan pengurangan
tertentu dalam ukuran dari struktur lobus temporal medial, seperti amigdala dan
hipokampus. Selain itu, penelitian telah melaporkan penurunan ukuran dari thalamus
dan kelainan pada garis tengah daerah perkembangan. Tak satu pun dari perubahan ini
spesifik untuk skizofrenia, meskipun beberapa telah terbukti ada pada pasien dengan
episode penyakit pertama dan tidak menggunakan obat sebelumnya. 1

Teknik fungsional neuroimaging, seperti tomografi emisi positron (PET),


menunjukkan secara in vivo pengukuran metabolisme glukosa regional atau aliran
darah otak, dimana keduanya mencerminkan aktivitas neuron regional. Sebagian besar
penelitian telah mendeteksi perubahan aktivitas di korteks prefrontal, struktur ganglia
basalis, daerah temporo-limbik, dan thalamus, menunjukkan fungsi sirkuit cortico-
striato-thalamo-kortikal yang terganggu. Penurunan aktivitas dalam korteks prefrontal
pada pasien skizofrenia sering diamati selama tugas aktivasi kognitif dan memori kerja.
Selama halusinasi pendengaran aktif, aktivasi abnormal thalamus, striatum, limbik, dan
daerah paralimbik telah terdeteksi. Pasien skizofrenia yang menampilkan kelainan
pada bagian prefrontal, thalamic, dan cerebellar, menunjukkan gangguan dalam sirkuit
pontine-cerebellar-thalamic-frontal. 1

Neurokimia

33
Penemuan menunjukkan bahwa disregulasi dopamin yang kompleks terjadi
dengan aktivitas hiperdopaminergik dalam proyeksi mesencephalic ke striatum limbik
dan aktivitas hipodopaminergik di neokorteks. Bukti dari kegiatan hiperdopaminergik
termasuk hubungan antara efektivitas dopamin reseptor yang mengikat obat dan
pengurangan gejala positif serta peningkatan reseptor D2 dalam studi postmortem dan
PET. 1

Penelitian terbaru menunjukkan bahwa berbagai gejala positif berhubungan


dengan kelainan dalam penyimpanan dopamin presynaptic, pelepasan, transportasi,
dan reuptake dalam sistem mesolimbik. Hipo-aktivitas dari sistem dopamin
ditunjukkan dari penemuan penurunan onset dopamin pada pasien dengan gejala
negatif, dan dalam beberapa penelitian agonis dopamin telah terbukti memperbaiki
gejala negatif. Pencitraan fungsional juga menunjukkan bahwa hipo-frontalitas akan
lebih parah pada pasien dengan gejala negatif. 1

Serotonergik, glutamatergic, dan sistem neurotransmitter lainnya (misalnya,


gamma-aminobutyric acid [GABA]) telah diselidiki pada skizofrenia, terutama
mengacu pada interaksi dengan sistem dopaminergik.. Dalam studi tentang sistem
GABAergic, penurunan dekarboksilase asam glutamat, enzim GABA-sintesis, telah
diamati dalam korteks prefrontal pada pasien skizofrenia, dan perubahan dalam subtipe
neuron GABAergic telah dilaporkan. 1

Sistem opioid juga telah dianggap sebagai kandidat yang berpotensial yang
terlibat dalam skizofrenia, didasarkan terutama pada kesamaan antara efek
farmakologis dari terjadinya tanda opioid dan kejiwaan. Hipotesis telah diusulkan pada
peningkatan maupun penurunan level dari berbagai peptide opioid sebagai faktor yang
mendasari sebagai penyebab gejala skizofrenia. Namun, penelitian klinis berdasarkan
hipotesis sering menghasilkan hasil variable atau bermacam-macam.1

J. Penatalaksanaan

34
Pengobatan harus secepat mungkin, karena keadaan psikotik yang lama
menimbulkan kemungkinan lebih besar penderita menuju ke kemunduran mental. 6.7

Farmakoterapi

Indikasi pemberian obat antipsikotik pada skizofrenia adalah untuk


mengendalikan gejala aktif dan mencegah kekambuhan. Obat antipsikotik mencakup
dua kelas utama: antagonis reseptor dopamin, dan antagonis serotonin-dopamin.

Antagonis Reseptor Dopamin

Antagonis reseptor dopamin efektif dalam penanganan skizofrenia, terutama


terhadap gejala positif. Obat-obatan ini memiliki dua kekurangan utama. Pertama,
hanya presentase kecil pasien yang cukup terbantu untuk dapat memulihkan fungsi
mental normal secara bermakna. Kedua, antagonis reseptor dopamin dikaitkan dengan
efek samping yang mengganggu dan serius. Efek yang paling sering mengganggu
aalah akatisia adan gejala lir-parkinsonian berupa rigiditas dan tremor. Efek potensial
serius mencakup diskinesia tarda dan sindrom neuroleptik maligna.

Antagonis Serotonin-Dopamin

SDA menimbulkan gejala ekstrapiramidal ayng minimal atau tidak ada,


berinteraksi dengan subtipe reseptor dopamin yang berbeda di banding antipsikotik
standar, dan mempengaruhi baik reseptor serotonin maupun glutamat. Obat ini juga
menghasilkan efek samping neurologis dan endokrinologis yang lebih sedikit serta
lebih efektif dalam menangani gejala negatif skizofrenia. Obat yang juga disebut
sebagai obat antipsikotik atipikal ini tampaknya efektif untuk pasien skizofrenia dalam
kisaran yang lebih luas dibanding agen antipsikotik antagonis reseptor dopamin yang
tipikal. Golongan ini setidaknya sama efektifnya dengan haloperidol untuk gejala
positif skizofrenia, secara unik efektif untuk gejala negatif, dan lebih sedikit, bila ada,
menyebabkan gejala ekstrapiramidal. Beberapa SDA yang telah disetujui di antaranya
adalah klozapin, risperidon, olanzapin, sertindol, kuetiapin, dan ziprasidon. Obat-obat

35
ini tampaknya akan menggantikan antagonis reseptor dopamin, sebagai obat lini
pertama untuk penanganan skizofrenia.

Pada kasus sukar disembuhkan, klozapin digunakan sebagai agen antipsikotik,


pada subtipe manik, kombinasi untuk menstabilkan mood ditambah penggunaan
antipsikotik. Pada banyak pengobatan, kombinasi ini digunakan mengobati keadaan
skizofrenia. 6

Kategori obat: Antipsikotik – memperbaiki psikosis dan kelakuan agresif.6

Nama Obat
Haloperidol Untuk manajemen psikosis. Juga untuk saraf motor dan suara
(Haldol) pada anak dan orang dewasa. Mekanisme tidak secara jelas
ditentukan, tetapi diseleksi oleh competively blocking
postsynaptic dopamine (D2) reseptor dalam sistem mesolimbic
dopaminergic; meningkatnya dopamine turnover untuk efek
tranquilizing. Dengan terapi subkronik, depolarization dan D2
postsynaptic dapat memblokir aksi antipsikotik.
Risperidone Monoaminergic selective mengikat lawan reseptor D2
(Risperdal) dopamine selama 20 menit, lebih rendah afinitasnya
dibandingkan reseptor 5-HT2. Juga mengikat reseptor alpha1-
adrenergic dengan afinitas lebih rendah dari H1-histaminergic
dan reseptor alpha2-adrenergic. Memperbaiki gejala negatif
pada psikosis dan menurunkan kejadian pada efek
ekstrpiramidal.
Olanzapine Antipsikotik atipikal dengan profil farmakologis yang melintasi
(Zyprexa) sistem reseptor (seperti serotonin, dopamine, kolinergik,
muskarinik, alpha adrenergik, histamine). Efek antipsikotik
dari perlawanan dopamine dan reseptor serotonin tipe-2.

36
Diindikasikan untuk pengobatan psikosis dan gangguan
bipolar.
Clozapine Reseptor D2 dan reseptor D1 memblokir aktifitas, tetapi
(Clozaril) nonadrenolitik, antikolinergik, antihistamin, dan reaksi arousal
menghambat efek signifikan. Tepatnya antiserotonin. Resiko
terbatasnya penggunaan agranulositosis pada pasien
nonresponsive atau agen neuroleptik klasik tidak bertoleransi.
Quetiapine Antipsikotik terbaru untuk penyembuhan jangka panjang.
(Seroquel) Mampu melawan efek dopamine dan serotonin. Perbaikan lebih
awal antipsikotik termasuk efek antikolinergik dan kurangnya
distonia, parkinsonism, dan tardive diskinesia.
Aripiprazole Memperbaiki gejala positif dan negatif skizofrenia. Mekanisme
(Abilify) kerjanya belum diketahui, tetapi hipotesisnya berbeda dari
antipsikotik lainnya. Aripiprazole menimbulkan partial
dopamine (D2) dan serotonin (5HT1A) agonis, dan antagonis
serotonin (5HT2A).

37
Nama Obat Sediaan Dosis Anjuran
Haloperidol (Haldol) Tab. 2 – 5 mg 5 – 15 mg/hari
Risperidone Tab. 1 – 2 – 3
2 – 6 mg/hari
(Risperdal) mg
Olanzapine
Tab. 5 – 10 mg 10 – 20 mg/hari
(Zyprexa)
Clozapine (Clozaril) Tab. 25 – 100
25 – 100 mg/hari
mg
Quetiapine Tab. 25 – 100
(Seroquel) mg 50 – 400 mg/hari
200 mg
Aripiprazole (Abilify) Tab. 10 – 15 mg 10 – 15 mg/hari

Profil Efek Samping

Efek samping obat anti-psikosis dapat berupa 7:

 Sedasi dan inhibisi psikomotor (rasa mengantuk, kewaspadaan berkurang, kinerja


psikomotor menurun, kemampuan kognitif menurun).
 Gangguan otonomik (hipotensi, antikolinergik/parasimpatolitik: mulut kering,
kesulitan miksi&defekasi, hidung tersumbat, mata kabur, tekanan intraokuler
meninggi, gangguan irama jantung).
 Gangguan ekstrapiramidal (distonia akut,akathisia, sindrom parkinson: tremor,
bradikinesia, rigiditas).
 Gangguan endokrin (amenorrhoe, gynaecomastia), metabolik (jaundice),
hematologik (agranulocytosis), biasanya pada pemakaian panjang.

Efek samping ini ada yang dapat di tolerir pasien, ada yang lambat, ada yang sampai
membutuhkan obat simptomatik untuk meringankan penderitaan pasien.

38
Efek samping dapat juga irreversible : Tardive dyskinesia (gerakan berulang
involunter pada: lidah, wajah, mulut/rahang, dan anggota gerak, dimana pada waktu
tidur gejala tersebut menghilang). Biasanya terjadi pada pemakaian jangka panjang
(terapi pemeliharaan) dan pada pasien usia lanjut. Efek samping ini tidak berkaitan
dengan dosis obat anti-psikosis.

Pada penggunaan obat anti-psikosis jangka panjang, secara periodik harus dilakukan
pemeriksaan laboratorium: darah rutin, urin lengkap, fungsi hati, fungsi ginjal, untuk
deteksi dini perubahan akibat efek samping obat.

Obat anti-psikosis hampir tidak pernah menimbulkan kematian sebagai akibat


overdosis atau untuk bunuh diri. Namun demikian untuk menghindari akibat yang
kurang menguntungkan sebaiknya dilakukan “lacage lambung” bila obat belum lama
dimakan.

Interaksi Obat 7

 Antipsikosis + antidepresan trisiklik = efek samping antikolinergik meningkat


(hati-hati pada pasien dengan hipertrofi prostat, glaukoma, ileus, penyakit
jantung).
 Antipsikosis + antianxietas = efek sedasi meningkat, bermanfaat untuk kasus
dengan gejala dan gaduh gelisah yang sangat hebat.
 Antipsikosis + antikonvulsan = ambang konvulsi menurun, kemungkinan serangan
kejang meningkat, oleh karena itu dosis antikonvulsan harus lebih besar. Yang
paling minimal menurunkan ambang kejang adalah antipsikosis Haloperidol.
 Antipsikosis + antasida = efektivitas obat antipsikosis menurn disebabkan
gangguan absorpsi.

Terapi Psikososial 1

39
- Pelatihan keterampilan sosial
Peatihan keterampilan sosial kadang-kadang disebut sebagai terapi
keterampilan perilaku. Terapi ini secara langsung dapat mendukung dan berguna
untuk pasien bersama dengan terapi farmakologis. Selain gejala yang biasa tampak
pada pasien skizofrenia, beberapa gejala yang paling jelas terlihat melibatkan
hubungan orang tersebut dengan orang lain, termasuk kontak mata yang buruk,
keterlambatan respons yang tidak lazim, ekspresi wajah yang aneh, kurangnya
spontanitas dalam situasi sosial, serta persepsi yang tidak akurat atau kurangnya
persepsi emosi pada orang lain. Pelatihan keterampilan perilaku diarahkan ke
perilaku ini melalui penggunaan video tape berisi orang lain dan si pasien, bermain
drama dalam terapi, dan tugas pekerjaan rumah untuk keterampilan khusus yang
dipraktekkan.

- Terapi kelompok
Terapi kelompok untuk oragn dengan skizofrenia umumnya berfokus pada
rencana, masalah, dan hubungan dalam kehidupan nyata. Kelompok dapat
berorientasi perilaku, psikodinamis atau berorientasi tilikan, atau suportif.

- Terapi perilaku kognitif


Terapi perilaku kognitif telah digunakan pada pasien skizofrenia untuk
memperbaiki distorsi kognitif, mengurangi distraktibilitas, serta mengoreksi
kesalahan daya nilai. Terdapat laporan adanya waham dan halusinasi yang
membaik pada sejumlah pasien yang menggunakan metode ini. Pasien yang
mungkin memperoleh manfaat dari terapi ini umumnya aalah yang memiliki
tilikan terhadap penyakitnya.
- Psikoterapi individual
Pada psikoterapi pada pasien skizofrenia, amat penting untuk membangun
hubungan terapeutik sehingga pasien merasa aman. Reliabilitas terapis, jarak
emosional antaraterapis dengan pasien, serta ketulusan terapis sebagaimana yang

40
diartikan oleh pasien, semuanya mempengaruhi pengalaman terapeutik.
Psikoterapi untuk pasien skizofrenia sebaiknya dipertimbangkan untuk dilakukan
dalamm jangka waktu dekade, dan bukannya beberapa sesi, bulan, atau bahakan
tahun. Beberapa klinisi dan peneliti menekankan bahwa kemampuan pasien
skizofrenia utnuk membentuk aliansi terapeutik dengan terapis dapat meramalkan
hasil akhir. Pasien skizofrenia yang mampu membentuk aliansi terapeutik yang
baik cenderung bertahan dalam psikoterapi, terapi patuh pada pengobatan, serta
memiliki hasil akhir yang baik pada evaluasi tindak lanjut 2 tahun. Tipe
psikoterapi fleksibel yang disebut terapi personal merupakan bentuk penanganan
individual untuk pasien skizofrenia yang baru-baru ini terbentuk. Tujuannya
adalah meningkatkan penyesuaian personal dan sosial serta mencegah terjadinya
relaps. Terapi ini merupakan metode pilihan menggunakan keterampilan sosial
dan latihan relaksasi, psikoedukasi, refleksi diri, kesadaran diri, serta eksplorasi
kerentanan individu terhadap stress. 1.2,3

K. Komplikasi

Beberapa individu yang mengalami skizofrenia dapat terkena stroke dan


mengalami kerusakan otak, yang tidak disadarinya. Kurangnya kesadaran tentang
skizofrenia dan penyakit manik-depresi merupakan keadaan biasa dialami penderita
yang tidak memperhatikan pengobatannya. Terdapat pula komplikasi sosial, dimana
penderita dikucilkan oleh masyarakat. Setelah itu dapat juga menjadi korban kekerasan
dan melukai diri sendiri. Pada komplikasi depresi, penderita dapat melakukan tindakan
bunuh diri. Disamping bunuh diri karena depresi dan halusinasi, penderita skizofrenia
yang tadinya tidak merokok, banyak menjadi perokok berat ini diperkirakan karena
faktor obat, yang memblok satu reseptor dalam otak (nikotin). Reseptor nikotin yang
menimbulkan rasa senang, pikiran jernih, mudah menangkap sesuatu. Akibatnya
penderita skizofrenia mencari kompensasi dengan mengambil nikotin dari luar, dari

41
rokok. Dan resiko dari perokok memperpendek usia, karena adanya penyakit saluran
pernapasan, kanker, jantung, dan penyakit fisik lainnya.

Kemudian, dengan penggunaan antipsikotik, ada tekanan terhadap hormon


estrogen, testosteron, dan hormon-hormon tersebut memproteksi tulang sehingga dapat
terjadi osteoporosis.1.4

L. Prognosis

Sejumlah studi menunjukkan bahwa selama periode 5 sampai 10 tahun setelah


rawat inap psikiatrik yang pertama untuk skizofrenia, hanya sekitar 10-20% persen
yang dapat dideskripsikan memiliki hasil akhir yang baik. Lebih dari 50% pasien dapat
digambarkan memiliki hasil akhir yang buruk, dengan rawat inap berulang, eksaserbasi
gejala, episode gangguan mood mayor, dan percobaan bunuh diri. Namun, skizofrenia
tidak selalu memiliki perjalanan penyakit yang memburuk dan sejumlah faktor
dikaitkan dengan prognosis yang baik. Angka pemulihan yang dilaporkan berkisar dari
10-60%, dan taksiran yang masuk akal adalah bahwa 20-30% pasien terus mengalami
gejala sedang, dan 40-60% pasien tetap mengalami hendaya secara signifikan akibat
gangguan tersebut selama hidup mereka.3

M. Pencegahan

Mengingat belum bisa diketahui penyebab pastinya, jadi skizofrenia tidak bisa
dicegah. Lantaran pencegahannya sulit, maka deteksi dan pengendalian dini penting,
terutama bila sudah ditemukan adanya gejala. Dengan pengobatan dini, bila telah
didiagnosis dapat membuat penderita normal kembali, serta mencegah terjadinya
gejala skizofrenia berkelanjutan.2

DAFTAR PUSTAKA

42
1. Sadock BJ, Sadock VA, 2010, Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis Ed.2,
EGC, Jakarta.
2. Elvira SD, Hadisukanto G, 2010. Buku Ajar Psikiatri, Badan Penerbit FKUI,
Jakarta.
3. Maslim R, 2013, Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari
PPDGJ-III, FK Unika Atma Jaya, Jakarta.
4. Maslim, R. 2014. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik. Edisi
ketiga.Nuh Jaya : Jakarta.
5. Maramis WF. Catatan ilmu kedokteran jiwa. Edisi ke-2. Surabaya: Airlangga
University Press; 2009.h.195-277.
6. Safitri A, penyunting. Obat antipsikosis. Dalam: Neal MJ. Medical pharmacology
at a glance. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2006.h.60-1.
7. Amir N. Skizofrenia. Semijurnal farmasi & kedokteran Feb 2006;24:31-40.

43

Anda mungkin juga menyukai