Anda di halaman 1dari 38

TELAAH ILMIAH

DRY EYE SYNDROME

Oleh

Ignatius Aldo Winardi, S.Ked

Pembimbing

dr. Petty Purwanita, Sp. M

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA

RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA

2016

i
HALAMAN PENGESAHAN

Judul Telaah Ilmiah

Dry Eye Syndrome

Oleh:
Ignatius Aldo Winardi, S.Ked
04084821618189

Referat ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti Kepaniteraan
Klinik Senior di Bagian Ilmu Kesehatan Mata RSUP Dr. Mohammad Hoesin
Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya periode 30 Mei 2016 s.d 4 Juli
2016

Palembang, Mei 2016

dr. Petty Purwanita, Sp. M

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
rahmat-Nya Telaah Ilmiah yang berjudul “Dry Eye Syndrome” ini dapat diselesaikan
tepat waktu. Telaah Ilmiah ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat ujian
kepaniteraan klinik senior di Bagian Ilmu Kesehatan Mata RSUP Dr. Mohammad
Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.

Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada dr. Petty Purwanita, Sp. M
atas bimbingannya sehingga penulisan Telaah ilmiah ini menjadi lebih baik.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kekeliruan dalam penulisan


Telaah Ilmiah ini. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat penulis
harapkan untuk penulisan yang lebih baik di masa yang akan datang.

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..............................................................................................i


HALAMAN PENGESAHAN ...............................................................................ii
KATA PENGANTAR ...........................................................................................iii
DAFTAR ISI .........................................................................................................iv
DAFTAR GAMBAR..............................................................................................v
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................................3
2.1 Anatomi dan Fisiologi Lensa………………………………………………3
2.2 Katarak……………………………………………………………………..9
2.3 Small Incision Cataract Surgery
2.3.1 Definisi………………………………………………………………12
2.3.2 Penilaian Persiapan dan Anastesia Preoperasi…………………..….13
2.3.3 Prosedur Operasi…………………………………………………….16
2.3.4 Kontrol Postoperasi………………………………………………….30
2.3.5 Komplikasi…………………………………………………………..31
2.3.6 Kelebihan dan Kekurangan Teknik SICS…………………………..33

BAB III KESIMPULAN................................................................................….34


DAFTAR PUSTAKA............................................................................................36

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Struktur Lensa……………………………………………………………3
2. Struktur Kapsul Lensa……………………………………………………3
3. Penampang Dalam Lensa………………………………………………...4
4. Metabolisme Lensa……………………………………………………….9
5. SICS………………………………………………………………………12
6. Anastesia Peribular……………………………………………………….14
7. Teknik Sayatan pada External Incision…………………………………..17
8. Grooving………………………………………………………………….18
9. Diseksi Sklerokornea……………………………………………………..19
10. Pembukaan Bilik Mata Depan……………………………………………19
11. Square Incisional Geometry………………………………………………20
12. Anatomi Insisi…………………………………………………………..…20
13. Teknik Kapsuloreksis……………………………………………………..21
14. Cara Membuat Cystotome………………………………………………...22
15. Kapsuloreksis……………………………………………………………..23
16. Pewarnaan Kapsul Anterior dengan Trypan Blue………………………..25
17. Teknik Kapsulotomi Anterior (Enelope dan Can-Oprexis)………………..26
18. Hidrodiseksi……………………………………………………………….28
19. Manajemen Nukleus………………………………………………………29

v
BAB I
PENDAHULUAN

Mata kering atau dry eye merupakan penyakit multifaktorial dari air mata dan
permukaan mata yang mengakibatkan gejala ketidaknyamanan, gangguan visual, dan
ketidakstabilan lapisan air mata dengan potensi kerusakan pada permukaan mata.
(AAO) Mata kering atau dry eye dapat terjadi pada pasien berusia diatas 40 tahun, yang
meningkat kemungkinannya dengan bertambahnya umur.

Gejala dari mata kering dapat berupa rasa perih, panas, mata lelah dan gatal,
lendir disekitar kelopak dan mata, pemberian air mata buatan membuat keluhan
berkurang, mata berair, sukar memakai lensa kontak, dan mata tidak tahan terhadap
angin dan asap rokok. Gejala mata kering dapat merupakan manifestasi dari penyakit
sistemik, maka dari itu deteksi tepat waktu dapat menuntun dalam mendiagnosis kondisi
yang mengancam jiwa. Selain itu, pasien dengan mata kering rentan terhadap infeksi
yang berpotensi membutakan, seperti keratitis bakterialis dan juga pada peningkatan
risiko komplikasi seperti operasi laser bias. (PENELITIAN DAN SIDARTA
MERAH)

Penulisan telaah ilmiah ini bertujuan untuk mengetahui definisi, etiologi,


mekanisme dan temuan klinis, diagnosis, komplikasi, serta terapi dari mata kering atau
dry eye. Diharapkan telaah ilmiah ini dapat bermanfaat untuk memberikan informasi
terkait dry eye syndrome dan menjadi salah satu sumber bacaan tentang dry eye
syndrome.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Air Mata2,7


Lapisan film air mata terdiri dari 3 lapisan yaitu (1) lapisan superfisial
merupakan film lipid monomolekuler yang berasal dari kelenjar meibom yang
berfungsi menghambat penguapan dan membentuk sawar kedap air saat palpebra
ditutup; (2) lapisan aquous yang dihasilkan kelenjar lakrimal mayor dan minor
yang mengandung substansi larut air seperti garam dan protein; dan (3) lapisan
musin terdiri dari glikoprotein dan melapisi sel-sel epitel kornea dan konjungtiva
dan bersifat hidrofobik.

Air mata membentuk lapisan tipis setebal 7-10 μm yang menutupi epitel
kornea dan konjuntiva. Fungsi lapisan tipis ini adalah (1) membuat kornea menjadi
permukaan optik yang licin dengan meniadakan ketidakteraturan minimal di permukaan
epitel; (2) membasahi dan melindungi permukaan epitel kornea dan konjungtuva yang
lembut; (3) menghambat pertumbuhan mikroorganisme dengan pembilasan mekanik
dan efek antimikroba; dan (4) menyediakan kornea berbagai substansi nutrien yang
diperlukan.

2
Gambar 1. Lapisan Air Mata

Volume air mata normal diperkirakan 7±2 μL di setiap mata. Enam puluh
persen protein total mata merupakan albumin dan sisanya merupakan globulin dan
lisozim yang berjumlah sama banyak. Pada air mata, terdapat immunoglobulin
IgA, IgG, dan IgE. Pada keadaan alergi tertentu, konsentrasi IgE akan meningkat .

2.2 Mata Kering atau Dry Eye Syndrome

2.2.1 Definisi
Mata kering atau dry eye merupakan penyakit multifaktorial dari air mata
dan permukaan mata yang mengakibatkan gejala ketidaknyamanan, gangguan
visual, dan ketidakstabilan lapisan air mata dengan potensi kerusakan pada
permukaan mata. (AAO) Mata kering atau dry eye dapat terjadi pada pasien
berusia diatas 40 tahun, yang meningkat kemungkinannya dengan bertambahnya
umur.

Mata kering merupakan gangguan dari unit fungsional lakrimal dimana


terjadi gangguan integrasi antara kelenjar lakrimal, permukaan mata, kelopak
mata, serta saraf sensoris maupun motoris yang menghubungkannya. Unit
fungsional lakrimal berfungsi mengatur komponen utama film air mata.
(VAUGHN)

2.2.2 Etiologi
Banyak penyebab sindrom mata kering yang mempengaruhi lebih dari satu
komponen film air mata atau berakibat perubahan dari permukaan air mata
menjadi tidak stabil.
Kurangnya produksi air mata dapat menyebabkan mata menjadi kering. Hal
ini terjadi pada kasus-kasus seperti radang kelenjar kelopak mata, efek samping
obat (antikolinergik, diuretik, betabloker, antihistamin, dan antidepresan),
penyakit autoimun, perempuan menopause dan defisiensi vitamin A.
Mata kering dapat terjadi akibat refleks mengedip yang tidak sempurna yang
terdapat pada penyakit parkinson dan kelumpuhan saraf kelopak mata. Selain itu

3
mata kering dapat terjadi akibat penyakit tertentu seperti herpes simpleks dan
penggunaan lensa kontak yang tidak higienis.
Tabel 1. Etiologi dan diagnosis sindrom mata-kering (VAUGHN)
I. Etiologi
A. Kondisi ditandai dengan hipofungsi kelenjar C. Kondisi ditandai defisiensi lipid
lakrimal
1. Kongenital 1. Parut tepian palpebra
a. Disautonomia familial (sindrom riley-day) 2. Blefaritis
b. Aplasia kelenjar lakrimal (alakrima kongenital)
c. Displasia ektodermal
2. Didapat D. Penyebaran film air mata yang kurang
a. Penyakit sistemik
sempurna
1. Sindrom sjogren
1. Kelainan palpebra
2. Sklerosis sistemik progresif
a. Defek, koloboma
3. Sarkoidosis
b. Ektropion atau entropion
4. Leukemia, limfoma
c. Keratinisasi tepian palpebra
5. Amilodosis
d. Kurang atau tidak adanya
6. Hemokromatosis
b. Infeksi berkedip
1. Parotitis 1. Gangguan neurologik
c. Cedera 2. Hipertiroidisme
1. Pengangkatan secara bedah atau kerusakan 3. Lensa kontak
4. Obat
kelenjar lakrimal
5. Keratitis herpes simpleks
2. Radiasi
6. Lepra
3. Luka bakar kimiawi
e. Lagoftalmos
d. Medikasi
1. Lagoftalmos nokturnal
1. Antihistamin
2. Hipertiroidisme
2. Antimuskarinik: atropin, skopolamin
3. Lepra
3. Penyekat beta-adrenergik: timolol
2. Kelainan konjungtiva
e. Neurogenik (mis.,paralisis nervus facialis)
a. Pterigium
b. Simblefaron
3. Proptosis

B. Kondisi ditandai dengan defisiensi musin II. Uji Diagnostik


1. Avitaminosis A A. Uji Schirmer tanpa anestesi
2. Sindrom stevens-johnson B. Tear break-up time
3. Pemfigoid okular C. Tes “ferning” mata
4. Konjungtivitis kronik, mis trakoma D. Sitologi impresi
5. Luka bakar kimiawi E. Pulasan fluorescein
6. Medikasi---Antihistamin, agen antimuskarinik, F. Pulasan bengal rose dan hijau lissamine
G. Lisozim air mata
agen penyekat beta-adrenergik, bahan pengawer
H. Osmolalitas film air mata
tetes mata I. laktoferin
7. Obat tradisional, mis., kermes

4
2.2.3. Mekanisme dan Temuan Klinis
Hiperosmolaritas air mata dapat menekan epitel permukaan dan
menyebabkan pelepasan mediator inflamasi, yang menghasilkan sitokin seperti
IL-1+ dan TNF-α+. Sitokin ini mempercepat pelepasan sel-sel epitel dan
apoptosis (kematian sel terprogram). Hal ini menyebabkan gangguan lebih lanjut
an peningkatan sel-sel inflamasi dan menciptakan lingkaran setan. (Gambar 2)
Sebuah skema klasifikasi diagnostik telah ditetapkan untuk memisahkan
pasien mata kering menjadi orang-orang dengan defisiensi air mata (ATD) dan
defisiensi akibat penguapan (Gambar 3). Inflamasi pada ATD dimediasi oleh T-
cell yang terjadi di kelenjar lakrimal yang menyebabkan peningkatan produksi air
mata pada awalnya diikuti penurunan produksi air mata disertai peningkatan
mediator inflamasi pada permukaan mata. Sebaliknya, kelainan utama mata kering
akibat penguapan adalah disfungsi kelenjar meibom (MGD), dimana terjadi
perubahan metabolisme lipid menyebabkan transisi dari tak jenuh menjadi jenuh,
mengubah fungsi meibom dan menghalangi kelenjar tersebut. Hal ini
menyebabkan film air mata menjadi tidak stabil, penguapan air mata, dan
hiperosmolaritas air mata. Hal ini memicu proses inflamasi secara terus menerus.
Ketidakstabilan film air mata dapat terjadi akibat kondisi lain, termasuk
xeroftalmia, alergi mata, lensa kontak, diabetes mellitus, merokok, penggunaan
komputer dalam jangka waktu lama, dan penggunaan obat jangka panjang dengan
bahan pengawet topikal seperti benzalkonium klorida.

5
Gambar 2. Mekanisme mata kering

Gambar 3. Skema klasifikasi diagnostik pada kelainan mata kering

Pada pasien dengan ATD, keluhan yang paling sering dirasakan seperti rasa
terbakar, sensasi mata kering, silau, serta pandangan kabur. Tanda-tanda pasien

6
dengan ATD disertai mata kering didapatkan injeksi konjungtiva, permukaan
kornea yang tidak rata, meniskus air mata yang menurun, dan penumpukan debris
pada film air mata.
Pada pasien dengan mata kering akibat penguapan, keluhan yang dirasakan
seperti rasa terbakar, adanya sensasi rasa mengganjal/benda asing, kemerahan
pada palpebra dan konjungtiva serta pandangan kabur yang memberat pada pagi
hari.

2.2.4. Diagnosis
Diagnosis dan penentuan derajat kondisi mata kering dapat dilakukan secara
akurat dengan berbagai metode diagnostik seperti uji schirmer, tear film break-up
time, uji ferning mata, sitologi impresi, pemulasan fluorescin, pemulasan bengal
rose dan hijau lissamine, penilaian kadar lisozim air mata, osmolalitas air mata,
dan lactoferrin.
1. Uji Schirmer
Uji ini dilakukan dengan mengeringkan film air mata dan
memasukkan strip Schirmer
2. Tear film break-up time
3. Uji ferning mata
4. Sitologi impresi
5. Pemulasan fluorescin
6. Pemulasan bengal rose dan hijjau lissamine
7. Penilaian kadar lisozim air mata
8. Osmolalitas air mata
9. Lactoferrin

2.2.5. Komplikasi
2.2.6. Penatalaksanaan

7
Berdasarkan usia katarak dapat diklasifikasikan dalam:2,3
1. Katarak kongenital, katarak yang sudah terlihat pada usia di bawah 1 tahun
Kelainan utama terjadi di nukleus lensa atau nukleus embrional
2. Katarak juvenil, katarak yang terjadi sesudah usia 1 tahun
Katarak ini biasanya merupakan kelanjutan dari katarak kongenital, biasanya
merupakan penyulit penyakit sistemik ataupun metaolik dan penyakit lainnya
seperti katarak metabolik, katarak akibat kelainan otot pada distrofi miotonik,
katarak traumatik, dan katarak komplikata.
3. Katarak senil, katarak yang terjadi setelah usia 50 tahun
Katarak senil adalah kekeruhan lensa dengan nukleus yang mengeras akibat usia
lanjut yang biasanya mulai terjadi pada usia lebih dari 50 tahun. Katarak senil
secara klinik dibedakan dalam 4 stadium yaitu insipien, imatur, matur dan
hipermatur.
Perbedaan stadium katarak senil dapat dilihat pada tabel di bawah ini:3
Insipien Imatur Matur Hipermatur
Kekeruhan Ringan Sebagian Seluruh Masif
Cairan lensa Normal Bertambah Normal Berkurang
Iris Normal Terdorong Normal Tremulans
Bilik mata depan Normal Dangkal Normal Dalam
Sudut bilik mata Normal Sempit Normal Terbuka
Shadow Test - + - Pseudopositif
(ST)
Penyulit - Glaukoma - Uveitis +
Glaukoma

2.2.3 Diagnosis
Gejala pada katarak senilis berupa distorsi penglihatan dan penglihatan
yang semakin kabur. Pada stadium insipien, pembentukan katarak penderita
mengeluh penglihatan jauh yang kabur dan penglihatan dekat mungkin sedikit
membaik, sehingga pasien dapat membaca lebih baik tanpa kacamata (“second
sight”). Terjadinya miopia ini disebabkan oleh peningkatan indeks refraksi lensa
pada stadium insipien. Sebagian besar katarak tidak dapat dilihat oleh pemeriksa
awam sampai menjadi cukup padat (matur atau hipermatur) dan menimbulkan
kebutaan. Katarak pada stadium dini, dapat diketahui melalui pupil yang dilatasi

8
maksimum dengan oftalmoskop, kaca pembesar atau slit lamp. Fundus okuli
menjadi semakin sulit dilihat seiring dengan semakin padatnya kekeruhan lensa,
hingga reaksi fundus hilang.3

2.2.4 Terapi
Operasi
Katarak senilis penanganannya harus dilakukan pembedahan atau
operasi. Tindakan bedah ini dilakukan bila telah ada indikasi bedah pada katarak
senil, seperti katarak telah mengganggu pekerjaan sehari-hari walapun katarak
belum matur, katarak matur, karena apabila telah menjadi hipermatur akan
menimbulkan penyulit (uveitis atau glaukoma) dan katarak telah telah
menimbulkan penyulit seperti katarak intumesen yang menimbulkan
glaukoma.2,3,7
Ada beberapa jenis operasi yang dapat dilakukan, yaitu:7
- ICCE ( Intra Capsular Cataract Extraction)
- ECCE (Ekstra Capsular Cataract Extraction) yang terdiri dari ECCE
konvensional, SICS (Small Incision Cataract Surgery), fekoemulsifikasi (Phaco
Emulsification.
Fekoemulsifikasi merupakan bentuk ECCE yang menggunakan getaran
ultrasonik untuk menghancurkan nukleus sehingga material nukleus dan kortek
dapat diaspirasi melalui insisi ± 3 mm. Fekoemulsifikasi merupakan teknik
ekstraksi katarak terbaik yang pernah ada saat ini. Teknik ini di tangan operator
yang berpengalaman menghasilkan rehabilitasi tajam penglihatan yang lebih
cepat, kurang menginduksi astigmatisme, memberikan prediksi refraksi pasca
operasi yang lebih tepat, rehabilitasi yang lebih cepat dan tingkat komplikasi
yang rendah. Meskipun demikian, Small Incision Cataract Surgery ( MSICS)
yang adalah modifikasi dari ekstraksi katarak ekstrakapsular merupakan salah
satu teknik pilihan yang dipakai dalam operasi katarak dengan penanaman lensa

9
intraokuler. Teknik ini lebih menjanjikan dengan insisi konvensional karena
penyembuhan luka yang lebih cepat, astigmatisme yang rendah, dan tajam
penglihatan tanpa koreksi yang lebih baik.7

2.3 Small Incision Cataract Surgery


2.3.1 Definisi

Gambar 5. SICS8

.Small Incision Cataract Surgery adalah teknik pembedahan katarak dengan


meninggalkan kapsul posterior serta pembuatan insisi yang lebih kecil yaitu ±7-8
mm yang merupakan variasi dari teknik ECCE.7

2.3.2 Penilaian, Persiapan, dan Anastesia Preoperasi

Penilaian Pasien Preoperasi MSICS8

1. Inform Consent
2. Pemeriksaan grading katarak
Grading katarak berdasarkan Buratto:
Grade 1 : Nukleus lunak, visus pasien >6/12
Grade 2 : Nukleus dengan kekerasan ringan, visus pasien 6/12
Grade 3 : Nukleus dengan kekerasan sedang, visus 6/30-3/60
Grade 4 : Nukleus keras, visus 3/60-1/60
Grade 5 : Nukleus sangat keras (black cataract), visus <1/60
3. Pemeriksaan slitlamp.
4. Pemeriksaan pupil, dimana pupil harus dalam keadaan normal dan mampu
mengadakan dilatasi sempurna demi kelancaran operasi.

10
5. Pemeriksaan tonometri diperlukan untuk menyingkirkan kemungkinan
hipotoni okuli agar tidak terjadi kesulitan dalam membuat insisi, karena akan
sulit membuat insisi pada mata yang hipotoni.
6. Pemeriksaan funduskopi apabila segmen posterior dapat ditembus dengan
cahaya funduskopi.
7. Pemeriksaan laboratorium berupa pemeriksaan BSS (Blood Sugar
Sometimes), BT (Bleeding Time), CT (Clotting Time), serta pemeriksaan darah
rutin, apabila terdapat kelainan pada pemeriksaan laboratorium tersebut, maka
operasi ditunda dengan koreksi keadaan pasien sampai semua hasil
pemeriksaan normal.
8. Pemeriksaan keratometri, bertujuan untuk mengukur kelengkungan dari
kornea sehingga dapat menjadi dasar penentuan kekuatan IOL.
9. Pemeriksaan USG, untuk menilai segmen posterior dari mata dan
memperkirakan prognosis dari visus pasien setelah dilakukan operasi. Selain
itu, pemeriksaan ini bertujuan untuk mengukur sumbu bola mata dan menjadi
dasar penentuan kekuatan IOL.
10. Kontraindikasi SICS  glaucoma, Fuch’s dystrophy, mikroftalmos, anomali
kongenital, zonular dialysis, uveitis anterior rekuren, sinekia posterior, dan
subluksasi lensa.

Persiapan Pasien Preoperasi MSICS dan Anastesia8,9

Anastesia topical dengan pemberian lidocaine 2% 4 kali setiap 5 menit sebelum operasi
dapat dilakukan, namun tidak direkomendasikan jika belum berpengalaman. Peribulbar
block adalah anastesia yang adekuat bagi sebagian besar pasien. Anastesia
subconjunctival dan subtenon dengan infiltrasi lignocaine juga efektif. Diamox,
mannitol, dan superpinky harus dihindari sebelum operasi untuk menghindari hipotoni
ocular, tekanan bola mata yang normal akan mempermudah proses hydroexpression dari
nucleus. Antibiotik broad spectrum tetes setiap 4 jam sehari sebelum operasi.

11
Gambar 6. Anastesia Peribulbar7

1. Mata yang akan dioperasi diteteskan pantocain 2%


2. Untuk melebarkan pupil pasien (midriasis) diberikan tetes mata cyclopentolate
1% atau tropicamide 1% bersamaan dengan phenyleprin 0,5% setiap 20 menit
mempertahankan midriasis intraoperatif, kemudian disinfeksi dengan povidon
iodine
3. Anestesi local peribulbar
Teknik yang dianjurkan adalah:
1. Xylocaine topical 4% dan proparacaine 0,5% 4-5 kali sehari
2. 3 ml xylocaine 2% + 3 ml bupivacaine 0,75% diinjeksi ditemporoinferior
peribulbar, kemudian jarum ditarik dan diarahkan ke kantus lateral untuk
mencapai cabang dari nervus facialis
Peribulbar Retrobulbar
Nyeri lebih ringan Nyeri lebih berat terutama jika

12
menembus muscle sheath
Tidak diperlukan blok nervus facial Diperlukan blok nervus facial
Komplikasi minimal Sering terjadi komplikasi
Efek analgesia postoperative Efek analgesia postoperative
bertahan lebih lama bertahan lebih singkat

4. Mata yang dioperasi dibebat tekan dengan ‘honan ball’


5. Wajah pasien dibersihkan dengan sabun pembersih
6. Mata didisinfeksi dengan povidone iodine 5% dalam bentuk tetes mata,
sedangkan daerah sekitar mata didisinfeksi dengan povidone iodeine 10%.

Komplikasi

1. Hipotensi, bradikardi, diaphoresis, henti jantung, mual muntah dapat


terjadi akibat kecemasan dan ketakutan pasien atau akibat manipulasi
saat operasi.
2. Refleks oculocardiac, dapat terjadi karena penekanan pada bola mata
dan traksi m. rectus medial sehingga harus dilakukan monitor fungsi
jantung. Gallamine dan atropine harus disiapkan untuk pencegahan.
3. Perforasi skleral
4. Penyebaran anestesia lokal ke sistem saraf pusat dapat menyebabkan
anastesia batang otak dan dapat menyebabkan komplikasi serius

2.3.3 Prosedur Operasi6,9,10

SCLEROCORNEAL POCKET TUNNEL INCISION

Insisi yang dibuat harus sangat direncanakan dan bergantung dari teknik
yang dipakai dalam pengeluaran nucleus, tingkat kepadatan nucleus, besarnya
kemungkinan terjadi astigmatisme, dan kondisi dari endotel kornea.10

Kelebihan:9

1. Kejadian astigmat minimal, terjadinya ATR (Against The Rule) astigmatism


cenderung lebih rendah
2. Penyembuhan dan stabilisasi terjadi lebih cepat
3. Pasien merasa lebih nyaman karena luka insisi tertutup oleh konjungtiva

13
4. Sekalipun diberikan jahitan, jahitan akan tertutup dengan sempurna oleh
tenon dan konjungtiva sehingga tidak terjadi iritasi

Kelemahan:9

1. Teknik sulit untuk dikuasai


2. Maneuver terbatas oleh karena panjang tunnel yang dalam

Teknik Insisi9

Konjungtiva terlebih dahulu dilepaskan pada daerah limbus dari arah jam 11
hingga jam 2 (peritomi). Jaringan episklera tidak boleh dibuang karena jaringan
ini yang akan memulai terjadinya proses penyembuhan. Apabila terjadi
perdarahan, dapat dilakukan kauterisasi, namun, kauterisasi berlebihan harus
dihindari karena dapat menyebabkan penyusutan jaringan.

Insisi terdiri dari 3 tahap:

1. Membuat scleral groove (external incision)


 Metode Straight
Goresan dibuat pada arah jam 12 berjarak sejajar dan berjarak 1,5 mm
dari limbus dengan panjang 5,5 mm – 6,5 mm.
 Metode Frown Shaped
Goresan berbentuk parabola dibuat pada arah jam 12 berbentuk cembung
dengan jarak ±2 mm terhadap limbus.
 Metode Inverted ‘V’
Titik B akan dibuat pada arah jam 12 dekat dari limbus, titik A dan C
dibuat sedemikian rupa hingga berjarak 2-2,5 mm dari limbus dan
membentuk sudut ABC 120-1300
Ujung luka insisi dari metode frown shaped dan inverted ‘V’ terletak
relatif jauh dari limbus sehingga akan memperkecil kemungkinan luka
bergeser ke bawah menuju limbus dan dapat menginduksi terjadinya
astigmatisme ATR. Berbeda dengan metode straight yang meskipun
relative lebih mudah dibuat dibandingkan metode lainnya akan tetapi tanpa

14
jahitan dapat mengakibatkan luka melebar kearah bawah sehingga akan
menyebabkan astigmat ATR.

Gambar 7. Teknik Sayatan pada External Incision9

Instrumen dan Teknik yang Dipakai

Diamond knife ukuran 0,3 mm merupakan instrument yang paling baik untuk
melakukan grooving, namun sebagai alternative dapat pula dipakai ophthalmic knife
atau Bard Parker knife no.11. kedalaman dari insisi eksternal harus sama, blade yang
digunakan harus tegak lurus dengan sklera

Grooving yang terlalu dalam menyebabkan kesulitan dalam diseksi corneal


tunnel, yangmana penembusan ke COA terjadi lebih cepat. Selain itu, grooving yang
terlalu dalam juga akan menyebabkan keadaan yang disebut dengan scleral disinsertion,
dimana sklera tidak akan terletak tepat pada tempatnya akibat perpotongan antara sklera
superior dan sklera inferior terlampau jauh, akibatnya akan dibutuhkan penjahitan untuk
mendekatkan keduanya. dapat pula dilakukan pengulangan grooving apabila grooving
yang dilakukan sebelumnya terlalu dangkal.sehingga selayaknya kedalaman dari
grooving harus cukup agar menghasilkan sclerocorneal pocket tunnel yang baik.

15
Gambar 8. Grooving9

2. Diseksi sclerocorneal pocket tunnel


Susunan dari sclerocorneal pocket tunnel sudah dipertimbangkan sedemikian
rupa agar tercapai insisi eksternal, kantong (pocket) yang lebar dan insisi
internal yang lebih lebar, sehingga susunan ini akan memudahkan nucleus
yang lebar dan besar sekalipun agar lebih mudah dikeluarkan.

Teknik
Alat yang digunakan untuk membuat tunnel adalah crescent knife 2,8 mm.
saat pisau mencapai limbus, pisau diarahkan untuk memotong kornea
sepanjang 1,5-2 mm, setelah itu, crescent knife diarahkan ke kanan dan kiri
untuk memotong kornea hingga terbentuk insisi intenal yang diinginkan,
kantong (pocket) dibuat dengan mengarahkan pisau crescent ke sudut 60-70 o
ke kanan dan ke kiri. Guna dari kantong yang dibuat adalah untuk
memudahkan keluarnya lensa yang besar dan padat.

Gambar 9. Diseksi Sklerokornea9

3. Masuk ke bilik mata depan (internal incision)

16
Untuk membuat insisi internal, dapat dipakai 2,8 mm atau 3,2 mm angled
keratome, saat dilakukan insisi, COA dipertahankan dengan viscoelastic,
keratom akan mencapai ujung dari diseksi yang telah dibuat sebelumnya dan
akan masuk ke COA, keratom lalu digeser 80-90o ke kanan dan ke kiri untuk
menyelesaikan insisi internal yang dibuat.

Gambar 10. Pembukaan Bilik Mata Depan9


Agar luka dapat sembuh sendiri, teknik insisi harus memenuhi prinsip ‘square
incisional geometry’, yang berarti untuk luka dapat sembuh sendiri tanpa
jahitan diperlukan panjang luka yang sama dengan lebar luka, dalam
kenyataan di lapangan, tidak semua luka harus persis berbentuk persegi,
namun, diusahakan akan simetris seperti teori yang ada.6

Gambar 11. Square Incisional Geometry6

17
Gambar 12. Anatomi Insisi6

CAPSULAR OPENING (PEMBUKAAN KAPSUL)9,11,12

Setelah tunnel dibuat dengan pisau crescent, selanjutnya COA dibuat hipertensif sekitar
30-35 mmHg dengan viscoelastic, lalu selanjutnya pisau MVR/V-lance 20G
dimasukkan ke COA di arah jam 10 untuk membuka kapsul anterior. Terdapat 3 teknik
untuk membuka kapsul anterior, antara lain:

 Continous Circular Capsulorhexis (CCC)


Kelebihan:
Intraoperatif
1. Batasnya dapat diubah selama berjalannya operasi
2. Robekan kapsul anterior melingkar dan kontinu mengurangi resiko
terjadinya robekan radial hingga ke kapsul posterior
3. Hidrodiseksi dapat dilakukan secara aman
4. Tekanan pada zonula zinnia selama operasi minimal
5. IOL dapat diletakkan ‘in the bag’ secara simetris
6. IOL dapat diletakkan pada bagian rhexis apabila terjadi robekan kapsul
posterior

Postoperatif

18
1. Distribusi gaya dalam kapsul posterior seimbang sehingga mencegah
bergesernya IOL karena efek-efek mekanik
2. IOL tidak mengganggu bagian dari badan siliar karena terpasang di
dalam kapsul lensa

Teknik robekan pada CCC dapat dilakukan dengan 2 cara, antara lain:

Gambar 13. Teknik Kapsuloreksis

Teknik pertama adalah dengan meregangkan bagian kapsul anterior, namun,


dengan menggunakan teknik ini, kemungkinan terjadi robekan yang tidak diinginkan
dan dapat meluas hingga ke ekuator. Teknik kedua adalah dengan robekan yang
sebenarnya, dengan teknik ini kemungkinan untuk terjadi robekan hingga ke ekuator
lebih minim dibandingkan teknik pertama, sehingga biasanya lebih sering dipakai pada
operasi SICS.

Penggunaan cystotome dan viscoelastic

19
Gambar 14. Cara Membuat Cystotome11

Ujung cystotome yang tajam diarahkan pada pusat kapsul lensa untuk membuat bukaan
kecil, cystotome dapat diarahkan searah jarum jam atau melawan arah jarum jam dan
dibuat sesuai ukuran yang kita inginkan, namun, lebar yang dianjurkan ±6 mm untuk
memudahkan pengambilan nucleus lensa. Saat merobek kapsul lensa, anterior chamber
(AC) harus dalam keadaan tegang untuk hasil yang maksimal dan untuk menghindarkan
injury pada endotel kornea. AC dipertahankan dengan menggunakan viscoelastic.

Kesulitan yang dihadapi dalam teknik CCC yaitu berupa rhexis escape, yangmana
terjadi lepasnya flap yang dijepit oleh forceps. Apabila hal ini terjadi, AC harus
dipertahankan dan flap kembali diarahkan ke bagian tengah lalu dijepit dengan forceps
dan capsulotomy dilanjutkan. Hal lain yang dapat dilakukan adalah dengan memotong
flap dan memulai robekan yang baru pada tempat tersebut. Kesulitan yang juga dapat
dihadapi adalah ukuran rhexis yang terlalu kecil, untuk menyiasati hal ini, teknik CCC
sebelumnya dapat diubah ke bentuk can-opener.

20
Gambar 15. Kapsuloreksis9

Komplikasi CCC

1. Penyusutan kapsul anterior yang dapat terjadi akibat masih terdapatnya sisa-sisa
epitel lensa. Penyusutan ini dapat mengakibatkan perubahan posisi IOL.
2. Distensi kapsular akibat berkumpulnya cairan yang terhalang oleh IOL untuk
keluar dari kapsul lensa, cairan dapat berupa viscoelastic yang tersisa, transudasi,
dan eksudasi. Komplikasi ini biasanya self-limiting.
3. Hiperploriferasi epitel lensa pada kapsul posterior akibat manipulasi yang terjadi
selama operasi.

Teknik Pewarnaan Kapsul Anterior dengan Trypan Blue

Pewarna yang sering dipakai dalam operasi katarak adalah trypan blue
0,1%, karena pewarna ini tersedia di berbagai tempat dengan harga yang
terjangkau.

Teknik pewarnaan kapsul anterior terbagi 3, antara lain:

1. Pewarnaan dibawah gelembung udara

21
Pertama, udara diinjeksi lewat side port entry, setelah itu, 0,1 mL trypan blue
diinjeksikan diantara gelembung udara. Setelah beberapa saat, pewarna
menyebar dan kita masukkan viscoelastic ke AC.

Keuntungan Kerugian
Kurang invasive Udara yang ada dalam AC
belum tentu selalu ada
Mewarnai kapsul anterior, Dapat terjadi pengenceran oleh
memungkinkan penglihatan yang aquous humor (AH)
lebih baik dari kapsul anterior

2. Injeksi subkapsular intrakamera


AC diinjeksi dengan viscoelastic, 0,05 – 0,1 mL trypan blue diinjeksikan dibawah
kapsul anterior dengan jarum 30G.

Keuntungan Kerugian
Pewarna terperangkap dalam Secara teknis, lebih invasif
ruang subkapsular
Pewarnaan bagus, lebih meresap Jika terlalu banyak
menginjeksikan pewarna, dapat
menyebabkan robeknya kapsul
anterior
Lubang tempat injeksi dapat
dijadikan titik awal robekan
CCC

3. Injeksi suprakapsular intrakamera


Teknik yang sering dipakai sekarang dalam operasi, pada teknik ini, pewarna
diinjeksi ke AC sampai semua AC terwarnai. Pewarna kemudian dibilas dengan
BSS atau ringer lactate setelah 5-10 detik. Dengan teknik ini, didapatkan
pewarnaan yang baik pada kapsul anterior.

22
Gambar 16. Pewarnaan Kapsul Anterior dengan Trypan Blue9

Reflex fundus yang dipantulkan memudahkan operator untuk memvisualisasi


korteks lensa, namun dapat dilakukan pewarnaan dari kapsul anterior untuk
melihat batas dari kapsulotomi yang dilakukan.

Teknik yang biasa dipakai dalam operasi katarak adalah sebagai berikut:

1. Lakukan insisi kornea, usahakan tidak terlalu besar agar tidak


terjadi kebocoran pada kornea. Lalu masukkan ACM
2. Masukkan viskoelastik secukupnya ke dalam BMS persis di depan
kapsul anterior
3. Ambil larutan trypan blue 0,1 mL, lalu suntikkan ke dalam BMD.
Trypan blue akan bercampur dengan materi viskoelastik. Lakukan
gerakan seperti memulas dengan bagian sisi dari jarum
4. Kemudian udara dimasukkan ke BMD, sifat udara yang selalu
mencari titik tertinggi sehingga dapat menekan visko kea rah
kapsul anterior lensa
5. Diamkan selama 10 detik, kemudian udara dikeluarkan dengan
menginjeksi viskoelastik
6. Setelah BMD terbentuk cukup dalam dan kapsul telah tewarnai,
kapsuloreksis dapat dilakukan.
 Envelope
Teknik envelope dipilih apabila sulit melakukan teknik CCC. Pada kasus
katarak morgagni, katarak intumesen, serta katarak hipermatur, teknik ini

23
cocok dipakai. Goresan dimulai diantara 1/3 atas dan 2/3 bawah. Dimulai
dengan membuat titik pada sisi medial dan lateral yang berjarak ±1 mm
dari margin, lalu titik tersebut mulai dihubungkan dengan
goresan/potongan, sehingga terbentuk robekan yang berentuk horizontal.
Setelah robekan dibuat, IOL dimasukkan, kemudian sisa kapsul anterior
yang belum terpotong sempurna dan menghalangi IOL dipotong
sedemikian rupa dengan menggunakan cystotome atau gunting Vanas.
 Can opener rhexis

Gambar 17. Teknik Kapsulotomi Anterior (Envelope dan Can-Op Rhexis)9

AC Maintainer

ACM selalu dimasukkan dari sisi temporal dengan bagian lubang menghadap
ke atas, setelah ACM masuk, jarum diputar 180o menghadap ke iris. Hal ini
bertujuan agar ACM tidak melukai bagian dari endotel kornea. ACM
dihubungkan dengan botol yang berisi BSS yang terletak 60-70 cm diatas
mata pasien.

ACM terkadang tidak bisa masuk melalui lubang yang telah kita buat, hal ini
mungkin dikarenakan bukaan yang terlalu sempit dengan pisau berukuran
kurang dari 20G, saat memasukkan ACM posisi tangan harus memegang
ACM seproksimal mungkin agar lebih mudah memfiksasi ACM.

24
Dapat terjadi komplikasi dalam pemasangan ACM ini, anatara lain, trauma
membrane descemet dan edema stroma kornea, akibatnya kornea akan tampak
berkabut (corneal haziness), sehingga hal ini akan menyulitkan pandangan
operator ke arah AC.

HIDROPROSEDUR9,11

Hidroprosedur terdiri dari 2 teknik, yaitu hidrodiseksi dan hidrodelineasi.


Hidrodiseksi adalah cara untuk memisahkan kapsul dari korteks lensa dengan
memanfaatkan tenaga dorongan air yang disemprotkan melalui kdanula,
sedangkan hidrodelineasi adalah cara untuk memisahkan nucleus (hard
nucleus) dari epinukleus (soft nucleus) dengan memanfaatkan tenaga dorongan
air yang disemprotkan melalui kanula.

Gambar 18. Hidrodiseksi9

Hidrodiseksi

Ada 3 hal yang perlu menjadi perhatian utama saat melakukan hidrodiseksi:

1. Jenis jarum yang digunakan


Jarum yang digunakan disarankan kanula 27G, namun, akan lebih ideal
lagi jika benar-benar menggunakan kanula khusus hidrodiseksi.
2. Posisi kanula

25
Penempatan kanula dibawah kapsul anterior tepat dibawah pinggiran
kapsuloreksis, letak cukup dalam, dan posisi kanul yang tegak lurus dari
equator agar tenaga dorongan air yang keluar dari kanula menjadi efektif
untuk memisahkan korteks dari kapsul lensa.
3. Tekanan yang diberikan agar air yang timbul tidak terlalu kuat, namun,
juga tidak terlalu lemah.
Bukti kesuksesan dari teknik hidrodiseksi ialah lensa dapat berputar secara
bebas di dalam kapsul lensa. Komplikasi yang dapat timbul dari prosedur ini
yaitu berupa robekan kapsul posterior. Biasanya hal ini terjadi akibat tekanan
air yang terlalu tinggi, atau bisa karena kapsuloreksis dengan ukuran yang
kecil sehingga dapat terjadi Capsular Block Syndrome (CBS), apabila
hidrodiseksi yang dilakukan kurang adekuat (ditandai dengan adanya bagian
yang lebih masuk ke dalam dibandingkan bagian lain), percobaan rotasi
nucleus akan menyebabkan dislokasi kapsul dan dehisensi sebagian dari
zonula.

Hidrodelineasi

Hidrodelineasi dilakukan dengan menancapkan ujung kanula ke massa lensa sampai


ujung jarum tertahan oleh nucleus yang keras, kemudian cairan BSS disemprotkan
dengan hati-hati pada beberapa tempat sampai tampak gambaran berupa lingkaran
cahaya (golden ring). Golden ring menunjukkan bahwa epinukleus telah terpisah dari
nucleus secara sempurna.

Teknik hidrodelineasi tidak mutlak dilakukan pada setiap operasi katarak, biasanya
teknik ini dilakukan karena hidrodiseksi tidak dapat dilakukan mengingat dapat terjadi
komplikasi berupa CBS. Pada kasus katarak Polaris posterior sangat tidak dianjurkan
untuk melakukan hidrodiseksi karena bagian posterior lensa sangat melekat pada kapsul
lensa. Tekanan hidrodiseksi tidak dapat memisahkan kapsul posterior dengan korteks,
tetapi hanya akan menyebabkan robekan pada kapsul posterior.

MANAJEMEN NUKLEUS DAN PEMASANGAN INTRAOKULAR LENS (IOL) 9

26
Gambar 19. Manajemen Nukleus9

Manajemen nucleus terdiri dari 2 hal:

1. Mengeluarkan nukleus dari kapsul lensa


Ukuran kapsuloreksis yang adekuat yaitu >6 mm dan menambahkan relaxing
cuts pada arah jarum jam 7 atau 12, serta dengan penambahan teknik
hidrodiseksi menyebabkan nucleus keluar dari kapsul lensa. setelah
menyelesaikan hidrodiseksi, nucleus dicoba untuk diputar (rotasi), apabila
nucleus dapat berputar secara sempurna tanpa tahanan, maka pengeluaran
nucleus dapat segera dilakukan. Saat mengeluarkan nucleus, AC harus
dipertahankan sepanjang waktu. Bila rotasi nucleus sudah ada, sinskey hook
dimasukkan dari insisi utama menuju ke bagian belakang nucleus untuk menarik
nucleus keluar. ACM dimasukkan ke atas dan bawah nucleus untuk memberikan
bantuan tekanan agar nucleus dapat dikeluarkan ke AC.
2. Setelah nucleus dikleuarkan dari kapsulnya, nucleus bebas dapat dikeluarkan
dari AC menuju ke dunia luar dengan bantuan tekanan dari ACM. Prinsipnya
adalah dengan memasukkan lensa ke Sclero Corneal Pocket Tunnel dengan
bantuan lens glide atau iris repository yang dipasang 1/3 bagian di belakang
nucleus lensa, lalu ditarik pelan-pelan dan dibantu dengan tekanan ACM.
Apabila hal ini sulit dilakukan, pengeluaran nucleus dapat dibantu dengan jarum
23 G. nucleus sulit masuk ke sclerocorneal pocket tunnel karena beberapa hal,
antara lain tunnel sempit, ireguler, serat-serat pada bagian tunnel masih
menyambung, AC bocor, iris menutup outlet. Masalah tersebut dapat diatasi
dengan memperbesar ukuran tunnel dengan keratom 2,3 mm.

27
3. Saat nucleus sudah dikeluarkan dari AC, korteks diirigasi dan diaspirasi dengan
kanula Simcoe.
4. ACM dicabut, AC sekarang penuh dengan viscoelastic, IOL dijepit dengan
forceps dan dimasukkan di dalam kapsul lensa yang tersisa.
5. Jahitan dapat diberikan jika diperlukan, berbentuk figure of eight dan sifatnya
hanya merekatkan saja.

2.3.4 Kontrol Postoperasi8

Setelah operasi selesai, mata yang dioperasi diinjeksikan antibiotik


subkonjungtiva disertai dengan penetesan povidon iodine, setelah itu, mata pasien
ditutup dengan menggunakan eye shield pad, yangmana pad ini bertujuan untuk
melindungi kornea mata dari erosi. Efek dari anestesi menyebabkan hilangnya reflex
berkedip pada pasien, sehingga perlindungan mata sangat diperlukan. Mata ditutup
paling tidak selama 2 minggu. Dapat pula diberikan analgesia ringan berupa
parasetamol 500 mg setiap 6 jam, jika nyeri dirasa lebih berat dapat diberikan ibuprofen
400 mg setiap 8 jam. Pasien juga dapat diberikan antibiotic tetes broadspectrum dan
diberikan artificial tears.

Hal yang harus diperhatikan pada pasien post-op adalah sebagi berikut:

1. Perbaikan visus pasien


2. Kemerahan pada mata
3. Evaluasi nyeri, fotofobia, dan ketidaknyamanan pada mata
4. Pembengkakan pada palpebral
5. Sekret
6. Evaluasi penggunaan obat tetes dan sistemik pada pasien
7. Penyembuhan atau penyatuan luka
8. Bilik mata depan, jika dangkal mungkin terjadi kebocoran cairan aquous dari
bibir luka yang dapat dibuktikan dengan seidel test
9. Kejernihan kornea
10. Posisi IOL
11.Bentuk pupil

2.3.5 Komplikasi11,12

KOMPLIKASI INTRA DAN POSTOPERATIF

28
Bedah katarak modern memberikan angka keberhasilan yang tinggi, sehingga
ekspektasi pasien terhadap hasil akhir operasi juga meningkat. Komplikasi serius dari
bedah katarak bagaimanapun juga dapat terjadi dan memiliki risiko untuk menyebabkan
kehilangan penglihatan atau bahkan pembuangan mata itu sendiri. Komplikasi tersebut
dapat dicegah dengan penilaian preoperative yang teliti, perencanaan operasi yang baik,
serta teknik perioperative dan intraoperative yang sesuai.

Komplikasi Intraoperatif

1. Gerakan mata pasien akibat pemilihan teknik anastesi yang kurang sesuai,
2. Perdarahan retrobulbar akibat anastesi yang dilakukan terhadap pasien,
3. Kesalahan dalam insisi
4. Lepasnya membrane descemet
5. Masalah yang berkaitan dengan iris, yaitu prolapse iris, terlepasnya pangkal iris
(iridodialisis)
6. Kegagalan kapsuloreksis, dimana robekan kapsul melebar dan berisfat tidak
kontinu, hingga dapat meluas kearah posterior,
7. Rupture kapsul posterior, dengan atau tanpa prolapse vitreous,
8. Dropped nucleus, yaitu masuknya nucleus ke segmen posterior akibat rupture
kapsul posterior,
9. Perdarahan intraocular dapat terjadi akibat trauma pada iris ataupun kegagalam
kauterisasi
10. Zonular dialysis
11. Kesulitan dalam pemasangan IOL

Komplikasi Postoperatif

1. Luka tidak menutup sempurna


2. Edema kornea
3. Inflamasi berupa uveitis
4. Atonia pupil
5. Pupillary captured dimana sebagian IOL telah masuk ke BMB, namun sebagian
masih berada di BMD
6. Kekeruhan kapsul posterior
7. TASS (Toxic Anterior Segment Syndrome), ditandai dengan adanaya edema
kornea difus, dilatasi dan atonia pupil.

29
8. CBDS (Capsular Bag Distention Syndrome)
9. Sisa massa lensa atau korteks
10. Cystoid Macular Edema
11. Choroidal detachment
12. Ablasio retina
13. Endoftalmitis dan panoftalmitis

2.3.6 Kelebihan dan Kekurangan Teknik Small Incision Cataract Surgery6,9,12


No. Fakoemulsifikasi SICS
1. Memerlukan instrument-instrumen Hanya memerlukan sedikit
mahal yang mungkin tidak tersedia tambahan dari instrument-instrumen
di semua tempat yang biasa dipakai dalam operasi
katarak biasa
2. Durasi operasi bervariasi, sesuai Durasi operasi cenderung konstan
dengan tingkat kepadatan lensa
3. Teknik kapsulotomi dengan Dapat memakai teknik apa saja
memakai teknik CCC
4. Sering terjadi rupture kapsul Jarang
posterior
5. Sering menyebabkan injuri pada Jarang
endotel kornea
6. Membutuhkan SDM yang sangat Teknik lebih mudah dikuasai
mahir, teknik sulit dikuasai
7. Lensa foldable lebih mahal IOL biasa lebih terjangkau
harganya

Kekurangan teknik ini yaitu tingginya kejadian PCO (Posterior Capsular


Opacification). Teknik ini juga tidak dapat digunakan pada katarak-katarak dengan
nukleus yang sangat besar dan keras.

BAB III
KESIMPULAN

30
1. Lensa terdiri dari kapsul anterior dan posterior, epitel yang terus menerus
membelah dan memadat dibagian tengah, korteks, epinukleus, nucleus.
2. Katarak adalah setiap keadaan kekeruhan pada lensa yang dapat terjadi akibat
hidrasi (penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa atau terjadi akibat
kedua-duanya
3. Katarak senilis penanganannya harus dilakukan pembedahan atau operasi.
Tindakan bedah ini dilakukan bila telah ada indikasi bedah pada katarak senil,
seperti katarak telah mengganggu pekerjaan sehari-hari walapun katarak belum
matur, katarak matur, karena apabila telah menjadi hipermatur akan
menimbulkan penyulit (uveitis atau glaukoma) dan katarak telah telah
menimbulkan penyulit seperti katarak intumesen yang menimbulkan glaukoma.
4. Tahapan dari SICS:
1. Anastesia topical dan peribulbar
2. Peritomi konjungtiva
3. Kauterisasi sklera
4. Insisi tipe frown atau straight dengan panjang ±5,5-6,5 mm, 1.5-2mm dari
limbus.
5. Diseksi sclero corneal pocket tunnel dengan crescent knife lebih dari 2 mm
dari kornea, insisi interna harus lebih lebar dibandingkan insisi eksternal.
6. Rhexis
7. Fiksasi AC
8. AC dibuat dalam dan AC ditembus dengan ophthalmic knife
9. Hidroprosedur, rotasi nucleus
10. Nucleus keluar dari AC dibantu dengan aliran viscoelastic
11. Nucleus dikeluarkan dengan lens glide, bisa dengan bantuan kanula ukuran
23G
12. Pembersihan epinukleus dan korteks oleh aliran ACM
13. Tarik ACM, dan sedot sisa-sisa dengan kanula simcoet
14. Isi kantong kapsul dan AC lalu dilakukan pemasangan IOL
15. Hidrasi dari kapsul dan AC
16. Jahitan jika diperlukan

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Manalu R. Mass Cataract Surgery Among Barabai Community At Damanhuri


Hospital, South Kalimantan. IOA The 11th Congress In Jakarta. 2006: 127-131
2. Vaughan DG, Asbury T, Riordan-Eva P. Oftalmologi umum. Jakarta: Widya
Medika, 2000: 175-183
3. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2006: 200-211
4. Yorston D. Monitoring Cataract Surgical Outcomes: Computerised
Systems.http://www. Journal of Community Eye Health.com [diakses 20
September 2010]

32
5. Tanto C. Liwang F, Hanifati S, Pradipta EA. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI. 2014: 388-390
6. Anonim. Small Incision Cataract Surgery. http://www.rajswasthya.nic.in
[diakses 3 Mei 2016]
7. American Academy of Ophthalmology. Basic and Clinical Science Course
Section: Lens and Cataract. 2014-2015.
8. Malthora R. Eye Essentials Cataract Assesment, Classification, and
Management. China: Elsevier. 2008:18-21, 126-130
9. Malik KPS, Goel R. Manual Small Incision Cataract Surgery. All India
Ophthalmological Society, 2009, 1-31
10. Haldipurkar SS, Shikari HT, Gokhale V. Wound Construction in Small Incision
Cataract Surgery. Indian Journal Ophthalmology. 2009 (57): 9-13
11. Istiantoro, Hutauruk JA, Gondowiardjo TD. Transisi Menuju Fakoemulsifikasi.
Jakarta: Granit. 2004:73-100
12. Budiman. Teknik, Komplikasi, dan Penatalaksanaan Bedah Katarak. Jakarta:
Perpustakaan Nasional RI. 2013:19-32

33

Anda mungkin juga menyukai