Anda di halaman 1dari 41

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Antimikroba
Antimikroba merupakan suatu agen pengobatan yang paling luas
penggunaannya di seluruh dunia. Penggunaan istilah antimikroba cenderung
mengarah ke semua jenis mikroba dan termasuk di dalamnya adalah antibiotik, anti
jamur, anti parasit, anti protozoa dan anti virus.
Syarat antimikroba yang baik adalah:
1. memiliki toksisitas selektif yang baik
2. tidak menyebabkan reaksi hipesensitif
3. mempunyai kelarutan dan kemampuan penetrasi yang baik ke dalam jaringan
4. dimetabolisme dan diekskresi secara lambat
5. lambat dalam pengembangan resistensi
6. tidak merusak flora normal hospes
7. tidak mahal

Menurut asalnya, ada 3 golongan antimikroba:


1. Antimikroba alami (Antibiotika)
Obat yang dihasilkan secara almiah oleh mikroorganisme (bakteri atau fungi).
Contoh: penicillin, Tetrasiklin, Erythromycin.
2. Antimikroba sintetik
Obat yang dibuat secara sintetis (melalui prosedur kimiawi) di laboratorium.
Contoh: Sulfonamid, golongan Quinolon
3. Antimikroba semisintetik
Obat antimikroba ini diperoleh dengan cara menggunakan formula alamiah dan
dimodifikasi di laboratorium. Tujuannya untuk memperbaiki efek
farmakokinetik, meningkatkan aktivitas (memperluas spetrum), memperbaiki
stabilitas obat, dan menurunkan toksisitas obat. Contoh: ampisilin dan metisilin.

Hal yang paling penting dan mendasari penggunaan terapi antimikroba adalah
ketepatan diagnosis penyakit, mengerti perbedaan antara terapi empiris dan terapi
definitif, mengetahui keuntungan peralihan ke agen antimikroba dengan spectrum
yang lebih sempit. Bakteri tertentu mempunyai kecenderungan untuk menyebabkan
infeksi pada tempat tertentu. Pemilihan antibiotik sebelum tersedia kultur (terapi
empiris) berdasarkan tempat infeksi dan kemungkinan organisme penyebab serta
hasil pengecatan Gram.

Antibiotika
Antibiotika adalah senyawa yang dihasilkan oleh mikroorganisme (bakteri,
jamur) yang mempunyai efek menghambat atau menghentikan suatu proses
biokimia mikroorganisme lain. Sifat antibiotika adalah harus memiliki sifat
toksisitas selektif setinggi mungkin, artinya obat tersebut harus bersifat sangat
toksik untuk mikroba tetapi relatif tidak toksik untuk hospes (Setiabudy, 2007).
Penggunaan antibiotik dalam pelayanan kesehatan sering kali tidak tepat
sehingga dapat menimbulkan pengobatan kurang efektif, peningkatan risiko
terhadap keamanan pasien, meluasnya resistensi dan tingginya biaya pengobatan.
Salah satu obat andalan untuk mengatasi masalah tersebut adalah antimikroba
antara lain antibakteri/ antibiotik, antijamur, antivirus, antiprotozoa. Antibiotik
merupakan obat yang paling banyak digunakan pada infeksi yang disebabkan oleh
bakteri.
Intensitas penggunaan antibiotik yang relatif tinggi menimbulkan berbagai
permasalahan dan merupakanan cabang lokal bagi kesehatan terutama restensi
bakteri terhadap antibiotik. Selain berdampak pada morbiditas dan mortalitas, juga
memberi dampak negatif terhadap ekonomi dan sosial yang sangat tinggi.
Faktor-Faktor yang Harus Dipertimbangkan pada Penggunaan Antibiotik
1. Resistensi Mikroorganisme Terhadap Antibiotik
Resistensi adalah kemampuan bakteri untuk menetralisir dan melemahkan daya
kerja antibiotik.
2. Faktor Farmakokinetik dan Farmakodinamik
Pemahaman mengenai sifat farmakokinetik dan farmakodinamik antibiotik
sanga tdiperlukan untuk menetapkan jenis dan dosis antibiotik secara tepat agar
dapat menunjukkan aktivitasnya sebagai bakterisida ataupun bakteriostatik,
antibiotik harus memiliki beberapa sifat berikut ini:
a. Aktivitas mikrobiologi. Antibiotik harus terikat pada tempat ikatan
spesifiknya (misalnya ribosom atau ikatan penisilin pada protein).
b. Kadar antibiotik pada tempat infeksi harus cukup tinggi. Semakin tinggi kadar
antibiotik semakin banyak tempat ikatannya pada sel bakteri.
c. Antibiotik harus tetap berada pada tempat ikatannya untuk waktu yang cukup
memadai agar diperoleh efek yang adekuat.
d. Kadar hambat minimal. Kadar ini menggambarkan jumlah minimal.

Secara umum terdapat dua kelompok antibiotik berdasarkan sifat


farmakokinetikanya, yaitu;
a. Time dependent killing. Lamanya antibiotik berada dalam darah dalam kadar
diatas KHM sangat penting untuk memperkirakan outcome
klinik ataupun kesembuhan. Pada kelompok ini kadar antibiotik dalam darah diatas
KHM paling tidak selama 50% interval dosis. Contoh antibiotik yang tergolong
time dependent killing antara lain penisilin, sefalosporin, dan makrolida).
b. Concentration dependent. Semakin tinggi kadar antibiotika dalam darah
melampaui KHM maka semakin tinggi pula daya bunuhnya terhadap bakteri. Untuk
kelompok ini diperlukan rasio kadar/KHM sekitar 10.
Ini mengandung arti bahwa rejgimen dosis yang dipilih haruslah memiliki kadar
dalam serum atau jaringan 10 kali lebih tinggi dari KHM. Jika gagal mencapai
kadar ini di tempat infeksi atau jaringan akan mengakibatkan kegagalan terapi.
Situasi inilah yang selanjutnya menjadi salah satu penyebab timbulnya resistensi.

3. Faktor Interaksi dan Efek Samping Obat


Pemberian antibiotik secara bersamaan dengan antibiotik lain, obat lain atau
makanan dapat menimbulkan efek yang tidak diharapkan. Efek dari interaksi
yang dapat terjadi cukup beragam mulai dari yang ringan seperti penurunan
absorpsi obat atau penundaan absorpsi hingga meningkaan efek toksik obat
lainnya.

Prinsip Penggunaan Antibiotik Bijak (Prudent)


1. Penggunaan antibiotik bijak yaitu penggunaan antibiotik dengan spektrum
sempit, pada indikasi yang ketat dengan dosis yang adekuat, interval dan lama
pemberian yang tepat.
2. Kebijakan penggunaan antibiotik (antibioticpolicy) ditandai dengan pembatasan
penggunaan antibiotik dan mengutamakan penggunaan antibiotik lini pertama.
3. Pembatasan penggunaan antibiotik dapat dilakukan dengan menerapkan
pedoman penggunaan antibiotik, penerapan penggunaan antibiotik secara terbatas
(restricted), dan penerapan kewenangan dalam penggunaan antibiotik tertentu
(reservedantibiotics).
4. Indikasi ketat penggunaan antibiotik dimulai dengan menegakkan diagnosis
penyakit infeksi, menggunakan informasi klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium
seperti mikrobiologi, serologi, dan penunjang lainnya. Antibiotik tidak diberikan
pada penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus atau penyakit yang dapat sembuh
sendiri (self-limited).
5. Pemilihan jenis antibiotik harus berdasar pada:
a.Informasi tentang spektrum kuman penyebab infeksi dan pola kepekaan kuman
terhadap antibiotik.
b. Hasil pemeriksaan mikrobiologi atau perkiraan kuman penyebab infeksi.
c. Profil farmakokinetik dan farmakodinamik antibiotik.
d. Melakukan de-eskalasi setelah mempertimbangkan hasil mikrobiologi dan
keadaan klinis pasien serta ketersediaan obat.
e. Cost effective: obat dipilih atas dasar yang paling cost effective dan aman.

Prinsip Penggunaan Antibiotik untuk Terapi Empiris dan Definitif


Berdasarkan tujuan pengunaannya, antibiotik dibedakan menjadi antibiotik
terapi dan antibiotik profilaksis. Antibiotik terapi digunakan bagi penderita yang
mengalami infeksi dan penggunaannya dapat bersifat empiris atau definitif.
1. Antibiotik Terapi Empiris
a. Penggunaan antibiotik untuk terapi empiris adalah penggunaan antibiotik pada
kasus infeksi yang belum diketahui jenis bakteri penyebabnya.
b. Tujuan pemberian antibiotik untuk terapi empiris adalah eradikasi atau
penghambatan pertumbuhan bakteri yang diduga menjadi penyebab infeksi,
sebelum diperoleh hasil pemeriksaan mikrobiologi.
c. Indikasi: ditemukan sindrom klinis yang mengarah pada keterlibatan bakteri
tertentu yang paling sering menjadi penyebab infeksi.

1) Dasar pemilihan jenis dan dosis antibiotik data epidemiologi dan pola resistensi
bakteri yang tersedia di komunitas atau di rumah sakit setempat.
2) Kondisi klinis pasien.
3) Ketersediaan antibiotik.
4) Kemampuan antibiotik untuk menembus kedalam jaringan/organ yang terinfeksi.
5) Untuk infeksi berat yang diduga disebabkan oleh polimikroba dapat digunakan
antibiotik kombinasi.
d. Rute pemberian: antibiotik oral seharusnya menjadi pilihan pertama untuk terapi
infeksi. Pada infeksi sedang sampai berat dapat dipertimbangkan menggunakan
antibiotik parenteral (Cunha,BA.,2010). Bersamaan dengan itu, segera dilakukan
pemeriksaan kuman, dengan pengecatan gram, biakan kuman dan uji kepekaan
kuman.
e. Lama pemberian: antibiotik empiris diberikan untuk jangka waktu 48-72 jam.
Selanjutnya harus dilakukan evaluasi berdasarkan data mikrobiologis dan kondisi
klinis pasien serta data penunjang lainnya (IFIC., 2010; Tim PPRA Kemenkes RI.,
2010).
f. Evaluasi penggunaan antibiotik empiris dapat dilakukan seperti pada tabel berikut
(Cunha, BA., 2010; IFIC., 2010):

2.Antibiotik untuk Terapi Definitif


a. Penggunaan antibiotik untuk terapi definitif adalah penggunaan antibiotik pada
kasus infeksi yang sudah diketahui jenis bakteri penyebab dan pola resistensinya
(LloydW., 2010).
b.Tujuan pemberian antibiotik untuk terapi definitif adalah eradikasi atau
penghambatan pertumbuhan bakteri yang menjadi penyebab infeksi, berdasarkan
hasil pemeriksaan mikrobiologi.
c. Indikasi: sesuai dengan hasil mikrobiologi yang menjadi penyebab infeksi.
Antibiotik untuk terapi definitif harus ditujukan secara spesifik untuk
mikroorganisme penginfeksi yang memiliki efektivitas tertinggi, toksisitas terendah
dan spektrum aktivitas tersempit.
d. Dasar pemilihan jenis dan dosis antibiotik:
1) Efikasi klinik dan keamanan berdasarkan hasil uji klinik.
2) Sensitivitas.
3) Biaya.
4) Kondisi klinis pasien.
5) Diutamakan antibiotik lini pertama/spektrum sempit.
6) Ketersediaan antibiotik (sesuai formularium rumah sakit).
7) Sesuai dengan Pedoman Diagnosis dan Terapi (PDT) setempat yang terkini.
8) Paling kecil memunculkan risiko terjadi bakteri resisten.
e. Rute pemberian: antibiotik oral seharusnya menjadi pilihan pertama untuk terapi
infeksi. Pada infeksi sedang sampai berat dapat dipertimbangka nmenggunakan
antibiotik parenteral (Cunha, BA., 2010). Jika kondisi pasien memungkinkan,
pemberian antibiotik parenteral harus segera diganti dengan antibiotik per oral.
f. Lama pemberian antibiotik definitif berdasarkan pada efikasi klinis untuk
eradikasi bakteri sesuai diagnosis awal yang telah dikonfirmasi. Selanjutnya harus
dilakukan evaluasi berdasarkan data mikrobiologis dan kondisi klinis pasien serta
data penunjang lainnya (IFIC., 2010; Tim PPRA Kemenkes RI., 2010).
Antibiotik profilaksis adalah antibiotik yang diberikan pada penderita yang
belum terkena infeksi, tetapi diduga mempunyai peluang besar untuk
mndapatkannya atau bila terkena infeksi dapat menimbulkan dampak buruk bagi
penderita, seperti: penggunaan antibiotika profilaksis bedah.

E. Penggunaan Antibiotik Kombinasi


1. Antibiotik kombinasi adalah pemberian antibiotik lebih dari satu jenis untuk
mengatasi infeksi.
2.Tujuan pemberian antibiotik kombinasi adalah:
a. Meningkatkan aktivitas antibiotik pada infeksi spesifik (efek sinergis).
b. Memperlambat dan mengurangi risiko timbulnya bakteri resisten.

3. Indikasi penggunaan antibotik kombinasi (Bruntonet. Al, 2008; Archer, GL.,


2008):
a. Infeksi disebabkan oleh lebih dari satu bakteri (polibakteri).
b. Abses intraabdominal, hepatik, otak dan salurangenital (infeksicampuran aerob
dan anaerob).
c. Terapi empiris pada infeksi berat.

4. Hal-hal yang perlu perhatian (Bruntonet. Al,; Cunha, BA., 2010):


a. Kombinasi antibiotik yang bekerja pada target yang berbeda dapat meningkatkan
atau mengganggu keseluruhan aktivitas antibiotik.
b. Suatu kombinasi antibiotik dapat memiliki toksisitas yang bersifat aditif atau
superaditif.
Contoh: Vankomisin secara tunggal memiliki efek nefrotoksik minimal, tetapi
pemberian bersama aminoglikosida dapat meningkatkan toksisitasnya.
c. Diperlukan pengetahuan jenis infeksi, data mikrobiologi dan antibiotik untuk
mendapatkan kombinasi rasional dengan hasil efektif.
d. Hindari penggunaan kombinasi antibiotik untuk terapi empiris jangka lama.
e. Pertimbangkan peningkatan biaya pengobatan pasien.

F. Pertimbangan Farmakokinetik Dan Farmakodinamik Antibiotik


Farmakokinetik (pharmacokinetic, PK) membahas tentang perjalanan kadar
antibiotik di dalam tubuh, sedangkan farmakodinamik (pharmacodynamic, PD)
membahas tentang hubungan antara kadar-kadar itu dan efek antibiotiknya.
Ukuran utama aktivitas antibiotik adalah Kadar Hambat Minimum (KHM).
KHM adalah kadar terendah antibiotik yang secara sempurna menghambat
pertumbuhan suatu mikroorganisme secara invitro. Walaupun KHM adalah
indikator yang baik untuk potensi suatu antibiotik, KHM tidak menunjukkan apa-
apa tentang perjalanan waktu aktivitas antibiotik.
Parameter-parameter farmakokinetik menghitung perjalanan kadar serum
antibiotik. Terdapat 3 parameter farmakokinetik yang paling penting untuk
mengevaluasi efikasi antibiotik, yaitu kadar puncak serum (Cmax), kadar minimum
(Cmin), dan area under curve (AUC) pada kurva kadar serum vs waktu.
Aktivitas antibiotik dapat dikuantifikasi dengan mengintegrasikan parameter-
parameter PK/PD dengan KHM. Parameter tersebut yaitu: rasio kadar
puncak/KHM, waktu>KHM, dan rasio AUC-24 jam/KHM.
Tiga sifat farmakodinamik antibiotik yang paling baik untuk menjelaskan
aktivitas bakterisidal adalah time-dependence, concentration-dependence, dan efek
persisten. Kecepatan bakterisidal ditentukan oleh panjang waktu yang diperlukan
untuk membunuh bakteri (time-dependence), atau efek meningkatkan kadar obat
(concentration-dependence). Efek persisten mencakup Post-Antibiotic Effect
(PAE). PAE adalah supresi pertumbuhan bakteri secara persisten sesudah paparan
antibiotik.
PolaAktivitasAntibiotikberdasarkanparameterPK/PD

PENGGOLONGAN ANTIBIOTIK
Infeksi bakteri terjadi bila bakteri mampu melewati barrie rmukosa atau kulit
dan menembus jaringan tubuh. Pada umumnya, tubuh berhasil mengeliminasi
bakteri tersebut dengan respon imun yang dimiliki, tetapi bila bakteri berkembang
biak lebih cepat daripada aktivitas respon imun tersebut maka akan terjadi penyakit
infeksi yang disertai dengan tanda-tanda inflamasi. Terapi yang tepat harus mampu
mencegah berkembangbiaknya bakteri lebih lanjut tanpa membahayakan host.
Antibiotik adalah obat yang digunakan untuk mengatasi infeksi bakteri. Antibiotik
bisa bersifat bakterisid (membunuh bakteri) atau bakteriostatik (mencegah
berkembangbiaknya bakteri). Pada kondisi immunocompromised (misalnya pada
pasien neutropenia) atau infeksi di lokasi yang terlindung (misalnya pada cairan
cerebrospinal), maka antibiotik bakterisid harus digunakan.

Berdasarkan luas aktivitasnya, antibiotika dibagi menjadi dua golongan yaitu:


1. Antibiotika yang narrow spectrum (akitvitas sempit).
Obat-obat ini terutama aktif terhadap beberapa jenis kuman saja, untuk
membunuh bakteri yang spesifik yang telah diketahui secara pasti melalui hasil
kultur dan tes sensitifitas. misalnya penisilin-G dan penisilin-V, eritromisin,
klindamisin, kanamisin, dan asam fusidat hanya bekerja terhadap kuman Gram
positif. Sedangkan streptomisin, gentamisin, polimiksin-B, dan asam nalidiksat
khusus aktif terhadap kuman Gram negatif.
2. Antibiotika broad spectrum (aktivitas luas)
Bekerja terhadap lebih banyak dan lebih luas, baik jenis kuman Gram positif
maupun Gram negatif, kerugiaanya dapat menghambat pula bakteri flora normal
dalam tubuh. Antara lain sulfonamida, ampisilin, sefalosforin, kloramfenikol,
tetrasiklin, dan rifampisin (Tan dan Rahardja, 2003).

Berdasarkan aktivitas dalam membunuh, antibiotik dibagai menjadi


Bactericidal dan Bacteristatic.
1. Bactericidal
Antibiotik yang mempunyai sifat bakterisidal membunuh bakteri target dan
cenderung lebih efektif serta tidak perlu menggantungkan pada sistem imun
manusia. Sangat perlu digunakan pada pasien dengan penurunan sistem imun. Yang
termasuk baterisidal adalah β-lactam, aminoglycoside, dan quinolone.
2. Bakteriostatik justru bekerja menghambat pertumbuhan bakteri dan dapat
memanfaatkan sistem imun host obat bakteriostatik yang khas adalah tetracycline,
sulfonamide, tetracycline, dan clindamycin
Antibiotik bisa diklasifikasikan berdasarkan mekanisme kerjanya, yaitu:
1. menghambat sintesis atau merusak dinding sel bakteri, seperti beta-laktam
(penisilin, sefalosporin, monobaktam, karbapenem, inhibitor beta-laktamase),
basitrasin, dan vankomisin.
2. memodifikasi atau menghambat sintesis protein, misalnya aminoglikosid,
kloramfenikol, tetrasiklin, makrolida (eritromisin, azitromisin, klaritromisin),
klindamisin, mupirosin, dan spektinomisin.
3. menghambat enzim-enzim esensial dalam metabolisme folat, misalnya
trimetoprim dan sulfonamid.
4. mempengaruhi sintesis atau metabolisme asam nukleat, misalnya kuinolon,
nitrofurantoin.
5. Mengganggu keutuhan membrane sel, mempengaruhi permeabilitas sehingga
menimbulkan kebocoran dan kehilangan cairan intraseluler. Contoh: nistatin

Penggolongan antibiotik berdasarkan mekanisme kerja:


1. Obat yang Menghambat Sintesis atau Merusak Dinding Sel Bakteri
a. Antibiotik Beta-Laktam
Antibiotik beta-laktam terdiri dari berbagai golongan obat yang mempunyai
struktur cincin beta-laktam, yaitu penisilin, sefalosporin, monobaktam,
karbapenem, dan inhibitor beta-laktamase. Obat-obat antibiotik beta-laktam
umumnya bersifat bakterisid, dan sebagian besar efektif terhadap organisme Gram-
positif dan negatif. Antibiotik beta-laktam mengganggu sintesis dinding sel bakteri,
dengan menghambat langkah terakhir dalam sintesis peptidoglikan, yaitu
heteropolimer yang memberikan stabilitas mekanik pada dinding sel bakteri.
PENGHAMBAT SINTETIS DINDING
BAKTERI

Antibiotik β-Lactam Non β-Lactam

Bacitracin
Penicillin Cephalosporin Carbapenem Monobactam

Ampicillin, Imipenem Aztreonam Vancomycin


Amoxicillin,
Azlocillin,
Carbenicillin, Generasi I Cefadroxil, Cephradrin, Cephalotin, Cephalexin, Cephapirin
Cloxacillin,
Dicloxacillin, Cefaclor, Cefamandol, Cefmetazole, Cefodoxim, Cefonicid,
Generasi II
Methicillin, Cefoxitin, Cefprozil, Cefotetan, Cefuroxime
Mezlocillin,
Nafcillin, Generasi III Cefixime, Cefotaxime, Ceftazidime, Ceftizoxime,
Oxacillin, Ceftriaxone, Dan Moxalaktam
Penicillin G,
Penicillin V, Generasi IV Cefclidine, Cefepime, Cefluprenam, Cefoselis, Cefozopran,
Piperacillin, Cefpirome, Cefquinome
Ticarcillin

1) Penisilin
Golongan penisilin diklasifikasikan berdasarkan spektrum aktivitas
antibiotiknya.
2) Sefalosporin
Sefalosporin menghambat sintesis dinding sel bakteri dengan mekanisme serupa
dengan penisilin. Sefalosporin diklasifikasikan berdasarkan generasinya.
3) Monobaktam (beta-laktammonosiklik) Contoh: aztreonam.
Aktivitas :resisten terhadap beta-laktamase yang dibawa oleh bakteri Gram-
negatif. Aktif terutama terhadap bakteri Gram-negatif. Aktivitasnya sangat baik
terhadap Enterobacteriacease, P.aeruginosa, H. Influenzae dangonokokus.
Kelemahan obat ini adalah tidak ada aktivitas terhadap bakteri gram (+) dan bekteri
anaerob. Contoh golongan ini adalah Aztreonam (azactam). Kadar dalam serum
adalah 100 μg/mL setelah pemberian 1-2 gram setiap 8 jam.
Pemberian: parenteral, terdistribusi baik keseluruh tubuh, termasuk cairan
serebrospinal.
Waktu paruh: 1,7jam. Waktu paruh 1-2 jam dan pada gagal ginjal dapat memanjang
Ekskresi: sebagian besar obat diekskresi utuh melalui urin.

4) Karbapenem
Karbapenem merupakan antibiotik lini ketiga yang mempunyai aktivitas
antibiotik yang lebih luas daripada sebagian besar beta-laktam lainnya. Yang
termasuk karbapenem adalah imipenem, meropenem dan doripenem.
Spektrum aktivitas: Menghambat sebagian besar Gram-positif, Gram-negatif,
dan anaerob. Ketiganya sangat tahan terhadap beta-laktamase.
Namun obat ini diinaktifkan di tubulus sehingga konsentrasi dalam urin menjadi
rendah. Penetrasi baik di jaringan tubuh dan cairan serebrospinal. Dosis biasanya
0,5-1 gram IV setiap 6 jam (waktu paruh 1 jam).
Efek samping: paling sering adalah mual dan muntah, dan kejang pada dosis
tinggi yang diberi pada pasien dengan lesi SSP atau dengan insufisiensi ginjal.
Meropenem dan doripenem mempunyai efikasi serupa imipenem, tetapi lebih
jarang menyebabkan kejang.

5) Inhibitor beta-laktamase
Inhibitor beta-laktamase melindungi antibiotik beta-laktam dengan cara
menginaktivasi beta-laktamase.Yang termasuk kedalam golongan ini adalah asam
klavulanat, sulbaktam, dan tazobaktam. Asam klavulanat merupakan suicide
inhibitor yang mengikat beta-laktamase dari bakteri Gram-positif dan Gram-negatif
secara ireversibel. Obat ini dikombinasi dengan amoksisilin untuk pemberian oral
dan dengan tikarsilin untuk pemberian parenteral.
Sulbaktam dikombinasi dengan ampisilin untuk penggunaan parenteral, dan
kombinasi ini aktif terhadap kokus Gram-positif, termasuk S.aureus penghasil beta-
laktamase, aerob Gram-negatif (tapi tidak terhadap Pseudomonas) dan bakteri
anaerob. Sulbaktam kurang poten dibanding klavulanat sebagai inhibitor beta-
laktamase. Tazobaktam dikombinasi dengan piperasilin untuk penggunaan
parenteral. Waktu paruhnya memanjang dengan kombinasi ini, dan ekskresinya
melalui ginjal.

Basitrasin
Basitrasin adalah kelompok yang terdiri dari antibiotik polipeptida, yang
utama adalah basitrasin A. Berbagai kokus dan basil Gram-positif, Neisseria,
H.influenzae, dan Treponema pallidum sensitif terhadap obatini. Basitrasin tersedia
dalam bentuk salep mata dan kulit, serta bedak untuk topikal. Basitrasin jarang
menyebabkan hipersensitivitas. Pada beberapa sediaan, sering dikombinasi dengan
neomisin dan/atau polimiksin. Basitrasin bersifat nefrotoksik bila memasuki
sirkulasi sistemik.
Aktivitas obat ini sama seperti vancomycin yaitu untuk gram (+) khususnya
staphylococcus. Obat ini susah diabsorpsi di usus kulit, mukosa, atau yang lain jadi
sering digunakan untuk pengobataan topical dengan dosis 500 unit/gram untuk
menekan lesi permukaan kulit, pada luka, atau pada mukosa.
Efek sampingnya adalah kerusakan ginjal secara mencolok, menyebabkan
proteinuria, hematuria, dan retensi nitrogen sehingga suah tidak digunakan. Reaksi
alergi pada penggunakan topikal jarang terjadi.

Vankomisin
Vankomisin merupakan antibiotik lini ketiga yang terutama aktif terhadap
bakteri Gram-positif.Vankomisin hanya diindikasikan untuk infeksi yang
disebabkan oleh S.aureus yang resisten terhadap metisilin (MRSA). Semua basil
Gram-negatif dan mikobakteria resisten terhadap vankomisin.Vankomisin
diberikan secara intravena, dengan waktu paruh sekitar 6 jam. Efek sampingnya
adalah reaksi hipersensitivitas, demam, flushing dan hipotensi (pada infus cepat),
serta gangguan pendengaran dan nefrotoksisitas pada dosis tinggi. Vancomycin
tidak diabsorpsi di usus. Pengobatan peroral digunakan untuk mengobati
enterokolitis. Pemberian IV dengan dosis 0,5 gram dapat mencapai kadar serum 10-
20 μg/mL (waktu paruh 1-2 jam). Ekskresi dilakukan oleh ginjal.
Indikasi Vancomycin adalah untuk sepsis atau endocarditis yang disebabkan
oleh staphylocoocus yang sudah resisten terhadap obat lain dengan dosis 0,5 gram
IV tiap 6-8 jam. Pengobatan peroral dengan dosis 0,125-0,5 gram tiap jam
digunakan untuk enterokolitis terutama Clostridium difficle.
Jarang terjadi efek samping. Flebitis pada tempat suntikan dan demam
mungkin terjadi. Gejala flushing yang luas dapat juga terjadi (red man syndrome).

2. Obat yang Memodifikasi atau Menghambat Sintesis Protein


Obat antibiotik yang termasuk golongan ini adalah aminoglikosid, tetrasiklin,
kloramfenikol, makrolida (eritromisin, azitromisin, klaritromisin), klindamisin,
mupirosin, dan spektinomisin.

PENGHAMBAT SINTETIS PROTEIN DI RIBOSOM

Tetracycline Demeclocycline, Doxycycline, Minocycline, Tetracycline

Amikacin, Gentamycin, Neomycin, Metilmicin, Streptomcin,


Aminoglycoside
Tobramycin

Macrolide Azitromycin, Clarithromycin, Erythromycin

Cholramphenicol Thiamphenicol

Lyncomycin Clindamycin

a.AminoglikosidA
Spektrum aktivitas: Obat golongan ini menghambat bakteri aerob Gram-
negatif, terutama pada bakteriemia, sepsis, atau endocarditis.
Obat ini mempunyai indeks terapi sempit, dengan toksisitas serius pada ginjal dan
pendengaran, khususnya pada pasien anak dan usia lanjut. Efek samping: Toksisitas
ginjal, otot oksisitas (auditorik maupun vestibular), blokade neuromuskular (lebih
jarang).
Baik gentamycin dan tobramycin efektif terhadap gram (+) dan gram negatif.
Spktrum aktivitas kedua obat ini sama dengan menghambat banyak strain
stafilokokus, koliform, dan bakteri gram (-) lainnya. Pemberian IM atau IV
gentamycin atau tobramycin biasanya digunakan untuk infeksi berat (sepsis)
pseudomonas, enterobacter, proteus yang telah resisten dengan obat lain. Dengan
dosis 5-7 mg/kg/hari IM atau IV obat ini dipadukan dengan cephalosporin atau
penicillin untuk pengobatan yang lebih efektif.

b.Tetrasiklin
Antibiotik yang termasuk kedalam golongan ini adalah tetrasiklin,
doksisiklin, oksitetrasiklin, minosiklin, dan klortetrasiklin. Antibiotik golongan ini
mempunyai spektrum luas dan dapat menghambat berbagai bakteri Gram-positif,
Gram-negatif, baik yang bersifat aerob maupun anaerob, serta mikroorganisme lain
seperti Ricketsia, Mikoplasma, Klamidia, dan beberapa spesies mikobakteria
protozoa misalnya amuba.
Absorpsi paling baik di usus halus bagian atas dan baiknya pada saat tidak
makan karena dapat diganggu jika ada kation bervalensi dua (Ca2+, Mg2+, Fe2+),
terutama dalam susu dan antasida. Pemberian parenteral tetracycline biasanya
diracik dengan buffer khusus
Dalam darah terjadi ikatan protein berbagai tetracycline sebesar 40-80%.
Dengan dosis oral 500 mg tiap 6 jam dapat mencapai kadar 4-6 μg/mL untuk
tetracycline hydrochlorid dan oxytetracycline. Doycycline dan minocycline agak
lebih rendah. Suntikan IV membuat kadar lebih tinggi untuk sementara waktu.
Distribusi tidak dapat mencapai cairan serebrospinal. Minosiklin khas karena
konsentrasi yang tinggi di air mata dan air liur. Tetracycline dapat melintasi
plasenta dan air susu,
Ekskresi terutama di empedu dan urin. Di empedu ekskresinya lebih banyak
dan mungkin diabsorpsi kembali di usus untuk mempertahankan kadar di serum.
Sekitar 50% jenis tetracycline diekskresi di glomerulus ginjal dan dipengaruhi oleh
keadaan gagal ginjal. Doxicycline dan minocycline diekskresi lebih lambat
sehingga di dalam serum lebih lama

Efek samping yag bisa timbul antara lain :mual, muntah dan diare, pusing,
vertigo, Hepatotoksis juga dapat diberikan jika diberikan pada dosis besar atau
telah terjadi insuficiensi hepar sebelumnya, Trombosis vena dapat terjadi pada
pemberian IV dan Hiperfotosensitif terutama demeclocycline
Kontra indikasi pemberian pada ibu hamil karena dapat menumpuk di gigi
janin yang menyeabkan kekuning-kuningan pada gigi serta penumpukan di tulang
yang menyebabkan gangguan pertumbuhan pada janin dan anak umur dibawah 8
tahun.

c.Kloramfenikol
Kloramfenikol adalah antibiotik berspektrum luas, menghambat bakteri
Gram-positif dan negatif aerob dan anaerob, Klamidia, Ricketsia, dan Mikoplasma.
Kloramfenikol mencegah sintesis protein dengan berikatan pada subunit ribosom
50S.
Efek samping: supresi sumsum tulang, grey baby syndrome, neuritis optik
pada anak, pertumbuhan kandida disaluran cerna, dan timbulnya ruam.
Obat ini sangat efektif untuk infeksi antara lain :
1. Salmonella simtomatik
2. Infeksi serius H influenza seperti meningitis,
3. Infeksi meningokokus dan pneumokokus pada SSP
4. Infeksi anaerobik pada SSP
Pemberian diberikan secara oral (2 gram/hari) maupun parenteral
(chloramphenicol suksinat 25-5 mg/kg/hari). Obat ini dapat mencapai SSP dengan
kadar yang sama dengan di dalam serum. Obat ini mudah diinaktifasikan di dalam
hati. Ekskresi terutama di tubulus ginjal dab sebagian kecil di empedu. Dosis tidak
perlu dikurangi pada gagal ginjal namun sangat dikurangi pada gagal hati.

d. Makrolida (eritromisin, azitromisin, klaritromisin, roksitromisin)


Makrolida aktif terhadap bakteri Gram-positif, tetapi juga dapat menghambat
beberapa Enterococcus dan basil Gram-positif. Sebagian besar Gram-negatif aerob
resisten terhadap makrolida, namun azitromisin dapat menghambat Salmonela.
Azitromisin dan klaritromisin dapat menghambat H. influenzae, tapi azitromisin
mempunyai aktivitas terbesar. Keduanya juga aktif terhadap H.pylori.
Makrolida mempengaruhi sintesis protein bakteri dengan cara berikatan
dengan subunit 50s ribosom bakteri, sehingga menghambat translokasi peptida.

1) Eritromisin
Eritromisin dalam bentuk basa bebas dapat diinaktivasi oleh asam, sehingga
pada pemberian oral, obat ini dibuat dalam sediaan salut enterik. Eritromisin dalam
bentuk estolat tidak boleh diberikan pada dewasa karena akan menimbulkan liver
injury.
Dosis peroral 2 g/hari mencapai kadar serum 2 μg/mL. Sejumlah besar hilang
dalam feses. Distribusi tidak dapat menembus sawar otak. Obat ini menembus
plasenta dan mencapai janin. Ekskresi dilakukan dalam empedu
Erythromycin digunakan dalam infeksi Corynebacterium (difteri, sepsis,
eritrasma), Infeksi klamedia pada saluran pernafasan, neonantus, mata, atau
genialia, Pneumonia oleh Mycoplasma dan Legionella. Dosis oral diberikan 0,25-
0,5 gram tiap 6 jam. Efek samping yang bisa muncul berupa anoreksia, mual,
muntah, dan sifat toksis terhadap hepar.

2) Azitromisin
Azitromisin lebih stabil terhadap asam jika dibanding eritromisin. Sekitar
37% dosis diabsorpsi, dan semakin menurun dengan adanya makanan. Obat ini
dapat meningkatkan kadar SGOT dan SGPT pada hati.
3) Klaritromisin.
Absorpsi per oral 55% dan meningkat jika diberikan bersama makanan. Obat
ini terdistribusi luas sampai ke paru, hati, sel fagosit, dan jaringan lunak. Metabolit
klaritromisin mempunyai aktivitas antibakteri lebih besar daripada obat induk.
Sekitar 30% obat diekskresi melalui urin, dan sisanya melalui feses.
4) Roksitromisin
Roksitromisin mempunyai waktu paruh yang lebih panjang dan aktivitas yang
lebih tinggi melawan Haemophilus influenzae. Obat ini diberikan dua kali sehari.
Roksitromisin adalah antibiotik makrolida semisintetik. Obat ini memiliki
komposisi, struktur kimia dan mekanisme kerja yang sangat mirip dengan
eritromisin, azitromisin atau klaritromisin. Roksitromisin mempunyai spektrum
antibiotik yang mirip eritromisin, namun lebih efektif melawan bakteri gram negatif
tertentu seperti Legionellapneumophila. Antibiotik ini dapat digunakan untuk
mengobati infeksi saluran nafas, saluran urin dan jaringan lunak.
Roksitromisin hanya dimetabolisme sebagian, lebih dari separuh senyawa
induk diekskresi dalam bentuk utuh. Tiga metabolit telah diidentifikasi di urin dan
feses: metabolit utama adalah deskladinosaroksitromisin, dengan N-monodan N-di-
demetilroksitromisin sebagai metabolit minor. Roksitromisin dan ketiga
metabolitnya terdapat di urin dan feses dalam persentase yang hampir sama.
Efek samping yang paling sering terjadi adalah efek pada saluran cerna: diare,
mual, nyeri abdomen dan muntah. Efek samping yang lebih jarang termasuk sakit
kepala, ruam, nilai fungsi hati yang tidak normal dangan gangguan pada indra
penciuman dan pengecap.

e.Klindamisin
Klindamisin menghambat sebagian besar kokus Gram-positif dan sebagian
besar bakteri anaerob, tetapi tidak bisa menghambat bakteri Gram-negatif aerob
seperti Haemophilus, Mycoplasma dan Chlamydia. Pemberian secara oral 0,15-0,3
gram tiap 6 jam sedangka untuk IV diberikan 600 mg tiap 8 jam. Obat ini tidak
dapat mencapai SSP. Ekskresi terutama di dalam hati, empedu dan urin.
Indikasi yang penting adalah untuk mengobati infeksi anaerob berat oleh
Bacterioid dan kuman anaerob lainnya. Penggunaan lainnya sering kali digunakan
pada infeksi yang berasal dari saluran genital wanita seperti sepsis karena
keguguran atau abses pelvis. Efek samping: diare dan enterokolitis
pseudomembranosa.

f. Mupirosin
Mupirosin merupakan obat topikal yang menghambat bakteri Gram-positif
dan beberapa Gram-negatif.
Tersedia dalam bentuk krim atau salep 2% untuk penggunaan di kulit (lesi
kulit traumatik, impetigo yang terinfeksi sekunder oleh S.aureus atau S.pyogenes)
dan salep 2% untuk intranasal.
Efek samping: iritasi kulit dan mukosa serta sensitisasi.

g. Spektinomisin
Obat ini diberikan secara intramuskular. Dapat digunakan sebagai obat
alternatif untuk infeksi gonokokus bila obat lini pertama tidak dapat digunakan.
Obat ini tidak efektif untuk infeksi Gonorefaring. Efek samping: nyeri lokal,
urtikaria, demam, pusing, mual, dan insomnia.

3. Obat Antimetabolit yang Menghambat Enzim-Enzim Esensial dalam


Metabolisme Folat
a.Sulfonamid dan Trimetoprim
Sulfonamid bersifat bakteriostatik. Trimetoprim dalam kombinasi dengan
sulfametoksazol, mampu menghambat sebagian besar patogen saluran kemih,
kecuali P.aeruginosa dan Neisseriasp.
Kombinasi ini menghambat S.aureus, Staphylococcus koagulase negatif,
Streptococcus hemoliticus, H. influenzae, Neisseriasp, bakteri Gram-negatif aerob
(E. coli dan Klebsiella sp), Enterobacter, Salmonella, Shigella, Yersinia, P.carinii.
4. Obat yang Mempengaruhi Sintesis atau Metabolisme Asam Nukleat

PENGHAMBAT SINTETIS DNA

Inhibitor Replikasi Inhibitor Polimerase Inhibitor Motabolisme


rNA Nukelotid
DNA

Quinole Rifamycin Acyclovir

Floroqunolone

Netroimidazole

Metronidazole

a. Kuinolon
Pemberian quinolone diberikan secara oral dan ekskresi terutama di ginjal.
Quinolone sering digunakan dalam infeksi saluran kemih walaupun disebabkan
karena infeksi bakteri yang kebal terhadap bermacam-macam obat. Norfloxacin 400
mg atau ciprofloxacin 500 mg diberikan peroral 2 kali sehari. Selain itu juga dapat
diberikan untuk diare infeksi, infeksi tulang, sendi, intra abdominal, serta pada
infeksi mikobakterium
1) Asam nalidiksat
Asam nalidiksat menghambat sebagian besar Enterobacteriaceae.
2) Fluorokuinolon
Golongan fluorokuinolon meliputi norfloksasin, siprofloksasin, ofloksasin,
moksifloksasin, pefloksasin, levofloksasin, dan lain-lain. Fluorokuinolon bisa
digunakan untuk infeksi yang disebabkan oleh Gonokokus, Shigella, E. coli,
Salmonella, Haemophilus, Moraxella catarrhalis serta Enterobacteriaceae dan P.
aeruginosa.

d. Nitrofuran
Nitrofuran meliputi nitrofurantoin, furazolidin, dan nitrofurazon. Absorpsi
melalui saluran cerna 94% dan tidak berubah dengan adanya makanan.
Nitrofuran bisa menghambat Gram-positif dan negatif, termasuk E. coli,
Staphylococcussp, Klebsiellasp, Enterococcussp, Neisseriasp, Salmonellasp,
Shigellasp, dan Proteussp.
METRONIDAZOLE
Metronidazole sering digunakan sebagai obat antiprotozoa untuk pengobatan
tricomoniasis, giardia lambia, B coli, serta infeksi amubiasis lainnya. Namun selain
itu metronidazole mempunyai efek antibakteri trhadap banyak kuman anaerob.
Metronidazole diberikan secara oral dan kemudian tersebar di jaringan tubuh
sampai ke serebrospinal. Ekskresi terutama di urin. Untuk pengobatan infeksi
anaerob, metronidazole sering digunakan untuk menurunkfan infeksi pasca operasi
apendektomi, bedah kolon, dll. Beberapa infeksi seperti B fragilis, klstridia kadang-
kadang masih menunjukkan respon.

RIFAMYCIN
Rifamycin masih terbukti aktif terhadap beberapa kokus gram (+) dan (-),
serta beberapa bakteri enteric, mikobakterium, klamidia, dan poxvirus. Sayangnya
banyak laporan mengenai resistensi bakteri yang cepat terhadap pengobatan tunggal
rifamycin sehingga tidak boleh diberikan sendiri. Rifamycin diabsopsi baik secara
peroral, dan diekskresikan melalui hati ke dalam empedu.
Rifamycin diberikan dengan dosis 600 mg/hari dapat diberikan untuk
pengobatan TB bersamaan dengan pemberian INH, etambutol, dll. Efek
sampingnya menimbulkan warna oranye pada urinm keringat, air mata yang
sebenarnya tidak berbahaya.

GOLONGAN PENGHAMBAT MEMBRAN SEL

PENGHAMBAT MEMBRAN
SEL

Polymyxin

Polyenes

Imidazole

Kerja golongan ini adalah mengganggu intregitas fungisonal membran


sitoplasma sehingga terjadi kematian pada bakteri. Polymyxin bekerja pada
membran bakteri gram (-) yang kaya fosfatidil dan bekerja seperti detergen.
Polyenes juga bekerja hampir sama namun melekat pada jamur karena jamur
mengandung ergosterol sehingga akan terbentuk sebuah pori.

POLYMYXIN
Polymyxin merupakan golongan polipeptida basa dan aktif terhadap bakteri
gram (-). Obat ini mempunyai efek nefrotoksis yang hebat sehingga banyak
ditinggalkan kecuali polymyxin B dan E.
Polymyxin bekerja sebagai bakterisidal dan tidak dapat diabsorpsi di dalam
usus sehingga diberikan secara parenteral. Ekskresi terutama di ginjal.
Penggunaan polymyxin sekarang dibatasi pada penggunaa topical. Lerutan
polymyxin B 1-10 mg/mL diberikan pada permukaan yang terinfeksi, atau
disuntikkan ke dalam pleura ataupun sendi. Efek samping yang ditakutkan pada
pemberian sistemik adalah efek nefrotoksisnya.

GOLONGAN INHIBITOR METABOLISME


Golongan ini mempunyai efek kerja seperti pada golongan penghambat
sintetis DNA, yaitu penghambatan dalam proses pembentukan purin. Suatu
kombinasi antara golongan sulfonamide – thrimethropim dapat mengoptimalkan
kerja golongan ini dengan contoh co-tromoxazole.

PENGHAMBAT METABOLIK

Mafenide, Silver Sulfadiazine, Succinysulfathiazole,


SULFONAMIDE
Sulfacetamide, Sulfadiazine, Sulfamethoxazole,
Sulfasalazine, Sulfisoxazole

THRIMETHROPIM Pyrimethamine, thrimethropim

Campuran Co-trimoxazole

SULFONAMIDE
Berstruktural analog dengan asam p-amino benzoat (PABA). Obat ini bekerja
secara bakteriostatik. Sulfonamide kebanyakan diberikan secara peroral dan dapat
didistribusikan ke semua jaringan termasuk ke cairan serebrospinal. Ekskresi
terutama dilakukan oleh glomerulus ginjal dengan kadar dalam urin bias mencapai
10-20 kali konsentrasi dalam darah.
Penggunaan sulfonamide sering digunakan secara peroral untuk infeksi
saluran kemih yang belum diobati sebelumnya, infeks clamidia pada mata dan
saluran genital. Efek samping adalah pengendapan sulfonamide di saluran kemih
sehingga dapat menyebabkan obstruksi, gangguan hematopoetik berupa anemia
(heolitik atau aplastik) granulositopenia, trombositopenia, dan reaksi leukomoid.

THRIMETHROPIM
Thrimethropim bekerja dengan cara penghambatan kerja enzim asam
dihidrofolat reduktase yang bertugas mengubah asam dihidrofolat menjadi asam
tetrahidrofolat. Absorpsi baik melalui usus dan distribusi luas seperti sulfonamide.
Sifatnya lebih larut dalam lipid.
Pengobatan dengan thrimethropim tunggal dapat diberikan untuk infeksi
saluran kemih akut. Selain itu karena thrimethropim dapat terakumulasi pada cairan
prostate dan cairan vagina, thrimethropim sering digunakan pada infeksi prostate
dan vagina.
Efek samping serupa dengan sulfonamide berupa gangguan hematopoetik
seperti anemia megaloblastik, leukopenia, dan granulositopenia.

CO-TRIMOXAZOLE
Gabungan kombinasi antara sulfonamide dan thrimethripim ini sering kali
digunakan. Karena thrimethropim punya kelarutan lipid yang besar, perbandingan
thrimethropi : sulfonamide = 1 : 5 untuk tiap co-trimoxazole.
Penggunaan obat ini biasanya berupa pengobatan pilihan untuk infeksi
pneumonia oleh P carinii, entriris karena Shigella dan infeksi salmonella sistemik
setelah resisten terhadap Ampicillin dan khoramphenicol. Penggunaan lain adalah
pengobatan infeksi saluran kemih dan prostate.

ANTIFUNGAL

Terapi antifungal pada perawatan kritis ditujukan terutama melawan spesies


Candida dan lebih fokus pada agen dibawah ini:

Amphotericin B
Amphotericin B (AmB) merupakan antibiotik yang secara natural memiliki
sifat fungsidial untuk fungi patogen pada manusia. Obat ini merupakan salah satu
agen antifungal yang paling efektif yang tersedia, tapi terganggu oleh reaksi toksik,
seperti respon inflamasi terkait penggunaan infus dan nefrotoksisitas. Sehingga,
AmB lebih sering digunakan sebagai cadangan, untuk pasien yang tidak toleran,
atau sukar disembuhkan oleh antifungal lain yang kurang toksik.
Pengaturan Dosis
AmB tersedia hanya untuk penggunaan intravena dan berisi pelarut (sodium
deoxycholate) untuk meningkatkan kelarutan dalam plasma. Obat ini diberikan
sekali sehari dalam dosis 0,5-1 mg/kg. Dosis ini biasanya diberikan lebih dari 4 jam
sekali, namun dapat diberikan dalam satu jam, jika dapat ditoleransi.
Infus perhari diteruskan hingga dosis kumulatif spesifik tercapai. Total dosis
AmB ditentukan oleh tipe dan keparahan dari infeksi fungal, dapat sesedikit 500
mg (untuk candidemia yang berhubungan dengan kateter) atau sebanyak 4 gram
(untuk aspergillosis yang mengancam nyawa).
Respon Peradangan terkait Infus
Infu AmB diikuti oleh demam, menggigil, muntah, dan rigor pada 70%
kejadian. Reaksi ini paling banyak diumumkan pada pemberian pertama dan sering
hilang jika diberikan berulang. Dibawah ini merupakan pengukuran untuk
mengurangi intensitas dari reaksi ini:
1. Tiga puluh menit sebelum infus, berikan asetaminofen (10-15 mg/kg oral) dan
dipenhidramine (25 mg oral atau IV). Jika rigors terjadi, premedikasi dengan
meperidin (25 mg IV).
2. Jika obat premedikasi tidak menolong sepenuhnya,tambahkan hidrokortison
pada infus AmB (0,1 mg/ml)

Kanulasi vena sentral lebih dipilih untuk pemberian infus AmB untuk
mengurangi resiko phlebitis terkait infus, yang sering ditemukan ketika AmB
diberikan melalui vena perifer.
Nefrotoksisitas
AmB mengikat kolesterol pada permukaan sel epitelial ginjal dan
menyebabkan kerusakan yang secara klinis menyerupai asidosis tubular ginjal (tipe
distal) dengan peningkatan eksresi urin dari kalium dan magnesium. Azotemia
dilaporkan pada 30-40% pasien selama infus harian AmB dan terkadang dapat
berlanjut hingga gagal ginjal akut yang membutuhkan hemodialisa. Perbaikan
ginjal dari AmB biasanya stabil ketika infus dilanjutkan dan diperkirakan terjadi
perbaikan jika AmB dihentikan. Hipovolemia memperburuk kerusakan ginjal dan
mempertahankan volume intravaskular lebih penting dibandingkan mengurangi
kerusakan. Peningkatan serum kreatinin diatas 3,0 mg/dL seharusnya dianjurkan
penghentian infus AmB untuk beberapa hari.
ABNORMALITAS
Hipokalemi dan hipomagnesemia sering ditemukan selama pengobatan AmB
dan hipokalemi sulit untuk dikoreksi hingga defisit magnesium sudah digantikan.
Magnesium oral (300-600 mg magnesium elemental perhari) direkomendasikan
selama terapi AmB, kecuali pada pasien dengan azotemia yang progresif.
Preparat lipid
Preparat lipid spesial untuk AmB telah dikembangkan untuk meningkatkan
perlekatan AmB pada sel membran fungal dan mengurangi perlekatan pada sel
mamalia (sehingga mengurangi resiko kerusakan ginjal). Terdapat 2 preparat lipid,
yakni liposomal amphotericin dan amphotericin B lipid kompleks. Dosis
rekomendasi 3-5 mg/kg perhari. Keduanya mengurangi insiden reaksi nefrotoksik
dan pengurangan lebih besar dengan preparat liposomal namun harga kedua
preparat tersebut lebih mahal.

Triazoles
Triazol adalah agen antifungal sintetik yang kurang toksik sebagai alternatif
untuk AmB untuk infeksi fungal tertentu. Terdapat 3 jenis obat dalam kelas ini
yakni fluconazol, itraconazol, dan voriconazol, namun fluconazol yang digunakan
untuk infeksi Candida.
Penggunaan Klinis
Fluconazol merupakan pilihan obat untuk infeksi yang berkaitan
denganFluconazole is the Candida albicans, C. tropicalis, dan C. parapsilosis,
tetapi tidak untuk infeksi yang berkaitan dengan C. glabrata or C. Krusei.
Pengaturan Dosis
Fluconazol dapat diberikan secara oral atau intravena. Dosis biasa 400 mg
perhari dan diberikan dalam dosis tunggal. Dosis 800 mg per hari
direkomendasikan untuk pasien dengan klinis tidak stabil. Waktu untuk mencapai
level tetap setelah 4-5 hari terapi dimulai dan ini bisa dipendekkan dengan
menggandakan dosis inisial. Penyesuaian dibutuhkan untuk pasien dengan
kerusakan ginjal. Jika bersihan kreatinin <50 ml/menit, dosis harus dikurangi 50%.
Interaksi Obat
Fluconazol, memiliki interaksi spesifik terhadap fenitoin, cisapride, dan statin
(lovastatin dan atorvastatin)
Toksisitas
Fluconazol tidak memiliki toksisitas yang serius. Peningkatan enzim hati
asimptomatik pernah dilaporkan namun jarang laporan mengenai nekrosis hepar
yang fatal dan berat selama terapi fluconazol pada pasien HIV.

Echinocandins
Echinocandins merupakan agen antifungal yang aktif melawan spesies
Candida yang lebih luas dibandingkan (kecuali C. parapsilosis). Obat dalam kelas
ini termasuk caspofungin, micagungin, dan anidulafungin. Agen ini dapat
digunakan sebagai alternatif fluconazol untuk mengobati kandidiasis invasif
termasuk C. albicans dan C. tropicalis dan merupakan agen yang lebih dipilih untuk
infeksi C. glabrata dan C. krusei. Echinocandins juga dipilih sebagai profilaksis
untuk kandidiasis invasif pada pasien yang tidak stabil atau imunokompromised

Caspofungin
Caspofungin merupakan obat perintis untuk kelas ini dan equivalen dengan
amphotericin untuk mengobati kandidiasis invasif. Obat ini diberikan secara
intravena dengan dosis inisial 70 mg dan dosis selanjutnya 50 mg. Seperti
echinocandin lainnya, tidak dibutuhkan penyesuaian dosis pada pasien dengan
insufisiensi ginjal.

Lainnya
Anidulafungin (200 mg IV pada hari pertama, kemudian 100 mg IV per hari)
dan micafungin (100 mg IV perhari) equivalen dengan caspofungin, namun
pengalaman klinis lebih sedikit pada obat-obat ini.
Toksisitas
Echinocandins relatif tidak toksis. Peningkatan enzim hati sementara dapat
timbul dan terdapat laporan disfungsi hepar yang berkaitan dengan penggunaan
obat ini.
2. Penggunaan Antimikroba pada Perawatan Intensif (ICU)
Rumah sakit dan unit perawatan intensif (ICU) merupakan breeding ground
atau tempat berkembangnya bakteri yang resisten/multiresisten antibiotik,
disebabkan penggunaan alat invasif, kontak yang sering antara staf rumah sakit
dengan pasien sehingga memudahkan terjadi transmisi infeksi, intensitas penggunaan
antibiotik yang tinggi serta penggunaan antibiotik empiris yang berlebihan. Hal
tersebut terjadi karena pasien yang dirawat di ICU pada umumnya menderita
penyakit berat dan dalam kondisi imunokompromais.
Munculnya resistensi terhadap berbagai antibiotik dipengaruhi oleh pemakaian
antibiotik itu sendiri. Semakin lama seorang pasien mendapat terapi antibiotik, akan
memudahkan timbulnya kolonisasi dengan mikroba yang resisten antibiotik. Bila
antibiotik diberikan berlebihan, tidak adekuat, monoton (satu jenis terus menerus)
maka akan mengurangi efektifitasnya sehingga menimbulkan resistensi terutama
bakteri Gram negatif.
Sumber bakteremia tersering adalah akibat pemasangan kateter pada saluran
kemih dan akses kateter vaskular intravena. Infeksi saluran kemih akibat kateterisasi
dan pneumonia berhubungan dengan ventilator associated pneumonia (VAP),
suction airway, ETT dan pemasangan NGT . infeksi nosokomial yang merupakan
penyebab infeksi tersering di ICU.
Adanya faktor-faktor penyakit yang mendasari cukup berat atau status
imunokompromais, maka pasien dengan sakit berat sangat rentan terhadap kolonisasi
yang cepat dari isolat nosokomial. Dokter dan perawat mengabaikan pentingnya
mencuci tangan dengan cara yang benar sebelum dan setelah kontak dengan pasien.
Sarung tangan sering tidak dipakai pada tindakan yang terindikasi, dan tangan tidak
dicuci setelah melepaskan sarung tangan. Kadang-kadang dokter/perawat berpindah
dari satu pasien ke pasien lain tanpa mengganti sarung tangan. tingginya jumlah
pasien di ICU, dengan jumlah perawat yang kurang.
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap infeksi bakteri Gram negatif adalah
pemberian antibiotik berhubungan dengan selective pressure pada bakteri resisten,
penyakit penyerta berat dan status imunokompromais. Pada setting ICU
dipertimbangkan beberapa faktor seperti kedekatan pasien dengan pasien lain yang
sudah terinfeksi oleh bakteri resisten dan prosedur invasif. Semuanya merupakan
faktor risiko yang signifikan meningkatkan infeksi nosokomial oleh bakteri Gram
negatif.
Golongan aminoglikosida, karbapenem dan sefalosporin generasi ke-empat
dengan molekul yang kecil, dikenal mempunyai muatan lebih positif (muatan
zwiterionik), sehingga bersifat lebih hidrofilik dan dapat melalui porin pada membran
luar bakteri Gram negatif dengan mudah. Keadaan tersebut menyebabkan penetrasi
antibiotik sangat baik dan tidak sempat dihidrolisis oleh enzim b-laktamase yang
diproduksi oleh bakteri.
Pemilihan terapi antibiotik empiris yang adekuat dan reasonable (rasional)
penting sebab akan mempengaruhi prognosis.
Aminoglycoside bersifat bakterisidal dan sensitif terhadap bakteri aerob gram
negatif basil, termasuk Pseudomonas aeruginosa. Aminoglycoside berisiko
menyebabkan nefrotoksik. Pada kasus-kasus septikemia karena infeksi bakteri Gram
negatif yang berhubungan dengan neutropenia atau syok septik, antibiotik empiris
lebih efektif digunakan jika aminoglycoside dikombinasi dengan antibiotik lain yang
bekerja melawan bakteri aerob Gram negatif basil, seperti carbapenem, cefepime,
dan piperacillini atau tazobactam. Aminoglikosida sebagai terapi empiris,
direkomendasikan pemakainannya maksimal dalam 48 jam.
Sefalosporin generasi ketiga sebaiknya tidak digunakan untuk infeksi berat
bakteri penghasil ESBL, apabila pada hasil biakan sefalosporin generasi ketiga
menunjukkan minimum inhibitory concentration (MIC) yang rendah terhadap
mikroba ini. Pilihan antibiotik lain adalah sefalosporin generasi ke-empat (misalnya
sefepim), dan kombinasi antibiotik b laktam-inhibitor b laktamase.
Karbapenem sebaiknya disimpan, dipakai sebagai drug of choice pada infeksi
yang sangat berat disebabkan bakteri penghasil ESBL. Golongan karbapenem
merupakan antibiotik yang sangat poten terhadap Enterobacteriaceae sp.
Meropenem sangat poten (sensitivitas 98,2-99,8%) terhadap Enterobacteriaceae.
Imipenem juga poten (88,8%) kecuali terhadap Proteus mirabilis.
Pada keadaan pasien dengan penyakit berat di unit perawatan intensif,
pemberian terapi empiris antimikroba secara intravena harus segera diberikan. Untuk
memulai terapi empiris antibiotik dapat diklasifikan berdasarkan kategori berikut:

kategori Interval waktu antara Contoh


diagnosis suspek infeksi dan
keputusan terapi antibiotic
1. Emergensi ≤ 1 jam Sepsis berat atau syok sepsis,
Bacterial meningitis, Sepsis
pada pasien spelenectomi,
Pasien dengan infeksi
neuropenia
2. Urgensi > 1 jam Pasien dalam keadaan stabil
dengan suspek infeksi yang
masih dapat dibuktikan
terlebih dahulu dengan
pemeriksaan lanjutan.

Antimicrobial Therapy in the Intensive Care Unit Indian Journal of Clinical Practice, Vol. 23, No. 10 March 2013

Ada 3 faktor yang harus diperhatikan ketika memutuskan untuk memulai


terapi empiris antimikroba pada pasien dengan keadaan penyakit berat, yaitu:
1. ciri khas organisme penyebab
- menetukan asal infeksi dari komunitas atau infeksi yang didapatkan akibat
perawatan di rumah sakit
- mengidentifikasi jenis dan sumber infeksi, seperti: pemeriksaan mikroskopi,
kultur, tes sensitivitas dan dapat juga dilakukan pemeriksaan radiologi jika
dibutuhkan untuk menentukan sumber lokasi infeksi
- merujuk pada data epidemiologi local. Pemilihan antimikroba dapat didasari
oleh kerentanan infeksi local dan juga perlu diketahui profil resistensi kuman di
komunitas dan rumah sakit di wilayah tersebut untuk membantu pemilihan
antimikroba yang tepat.
2. faktor pasien
- pasien dengan penyakit yang berat membutuhkan pertolongan dan terapi
antimikrobial spektrum luas sesegera mungkin
- riwayat penggunaan antimikrobial sebelumnya dan perawatan inap rumah sakit
dalam jangka waktu yang lama
- pasien dengan keadaan imunosupresi, seperti pasien dengan penyakit keganasan,
malnutrisi, pasien yang sedang menjalani pengobatan steroid atau obat
imunosupresi mungkin membutuhkan terapi antibiotik spektrum luas dan
antifungi
- pasien dengan disfungsi renal atau hepar. Perlu dilakukan pendekatab dari satu
kasus ke kasus yang lain untuk menetukan risiko untung rugi dari terapi
antimikroba. Pengaturan dosis harus disesuaikan dengan tingkat keparahan
disfungsi organ tersebut
- pasien dengan keadaan tertentu seperti hamil atau alergi obat
3. faktor antimikroba
- jalur atau rute pemberian obat
pemberian secara intravena (parenteral) harus selalu digunakan pada pasien
dengan penyakit yang berat (severe sepsis) akibat ketidakpastian adekuatnya
absorbs obat secara oral, meskipun obat tersebut memiliki bioavabilitas yang
terbaik secara peroral.
- Dosis dan interval
pada pasien dengan penyakit berat patofisiologi penyakitnya juga dapat
mengubah farmakokinetik dan farmakodinamik suatu antimikrobial.
- Konsntrasi antimikroba pada jaringan
Aminoglikosida dan glikopeptida mempunyai kemampuan yang buruk saat
penetrasi ke dalam jaringa. Β laktam dan quinolon mempunyai kemampuan
penetrasi yang baik ke dalam jaringan
- Post antibiotic effect (PAE)
Kemampuan antibiotika menekan pertumbuhan bakteri lebih lama bahkan
setelah konsentrasi antibiotika tersebut berada di bawah MIC dari organisme
target. Aminoglikosida dan fluroquinolon mempunyai kemampuan PAE
terhadap bakteri gram negative
- Adverse events
Kerugian dan keuntungan obat antimikroba dengan efek samping yang
berpotensi menimbulkan kejadian yang tidak diinginkan harus sangat
diperhatikan secara seksama setiap kasus per kasus. Jika penggunaannya tidak
dapat dihindari, level obat dalam serum harus dimonitor untuk risiko terjadinya
toksikasi (contoh: aminoglikosida)
- Ecological profile
Pembatasan penggunaan antimikroba dengan potensial obat yang telah diketahui
secara selektif untuk organisme yang resisten dan berhubungan dengan risiko
superinfeksi.

Alur Pemilihan Terapi Antimikroba di Unit Perawatan Intensif

Tentukan infeksi komunitas atau Infeksi nosokomial

Tentukan fokus infeksi dan patogen penyebab tersering

Mengetahui karakteristik peta kuman di kawasan tersebut

faktor-faktor dari kondisi pasien (riwayat alergi antibitik,


imunokompromais, penyakit ginjal dan hepar)

Terapi Empiris
Agen antimikroba (pedoman penggunaan antibiotika) Sebelum diberikan terapi
Tentukan dosis, rute, interval dan durasi empiris  ambil sampel
darah, urine, sputum dll 
pemeriksaan mikrobiologi 
J kultur kuman dan tes uji
Mengganti terapi antimikroba dalam waktu 48 jam
sensitivitas antimikroba
berdasarkan gambaran klinis pasien dan sesuai dengan
hasil pemeriksaan mikrobiologi yang telah ada

Terapi Definitif
Agen antimikroba sesuai dengan hasil kultur dan tes
sensitivitas
(dosis, rute, durasi dan interval)

Pembatasan waktu terapi berdasarkan respon klinis pasien,


diagnosis kerja, evidence base, hasil evaluasi selama 48 jam
terhadap dosis dan durasi pemberian antimikroba

Peralihan rute terapi dari intravena ke oral harus segera


dilakukan begitu keadaan pasien stabil
AIMED Antimicrobial Prescribing Model untuk menentukan ketepatan
penggunaan antibiotic dalam tatalaksana pasien diperawatan intensif (ICU)
Terapi empiris perlu dilakukan evaluasi ulang setelah 48-72 jam atau ketika
hasil kultur telah ada. Saat pathogen penyebab telah teridentifikasi, terapi
antimikroba harus diberikan dengan spektrum yang paling sempit (spesifik) sesuai
dengan hasil kultur.
Jika kondisi pasien mengalami kemajuan, direkomendasikan pemberian terapi
antimikroba selama 5 – 7 hari. Karena penggunaan antimikroba jangka panjang
akan meningkatkan risiko resistensi.
Antibiotik parenteral dapat diganti per oral,apabila setelah 24-48jam (NHS,
2009):
1) Kondisi klinis pasien membaik.
2) Tidak ada gangguan fungsi pencernaan (muntah, malabsorpsi, gangguan
menelan, diare berat).
3) Kesadaran baik.
4) Tidak demam (suhu > 36oC dan < 38oC), disertai tidak lebih dari satu kriteria
berikut:
a) Nadi > 90 kali/menit
b) Pernapasan > 20 kali/menit atau PaCO2 < 32 mmHg
c) Tekanan darah tidak stabil
d) Leukosit < 4.000 sel/dl atau > 12.000 sel/dl (tidak ada neutropeni).

Monitoring Efektivitas, Efek Samping dan Kadar Antibiotik Dalam Darah


(Depkes, 2004; Lacy, 2010)
1) Dokter, apoteker dan spesialis mikrobiologi klinik melakukan pemantauan terapi
antibiotik setiap 48-72 jam, dengan memperhatikan kondisi klinis pasien dan data
penunjang yang ada.
2) Apabila setelah pemberian antibiotik selama 72 jam tidak ada perbaikan kondisi
klinis pasien, maka perlu dilakukan evaluasi ulang tentang diagnosis klinis pasien.
Jika tidak ada respon perbaikan klinis dalam 48-72 jam, harus dipikirkan
adanya:
- Kemungkinan adanya infeksi skunder
- Adanya resistensi mikroorganisme
- Abses yang tidak terdrainase atau adanya infeksi benda asing yang tidak
tersembuhkan
- Penetrasi yang tidak adekuat dari antimikroba yang digunakan ke bagian focus
infeksi
- Tidak adekuatnya kemampuan spektrum antimikroba yang digunakan
- Tidak adekuatnya dosis dan atau interval terapi
- Penyebab non-infeksi, seperti: thrombosis vena dalam, miokard akut atau
infraksi pulmo, pancreatitis akut, hipertiroidisme, keganasan, perdarahan system
saraf pusat.

Dosis pertama aminoglikosida sebagai terapi empiris di perawatan intensif

Interval dosis pemberian aminoglikosida sebagai terapi empiris lanjutan


Antimicrobial Therapy in the Intensive Care Unit Indian Journal of Clinical Practice, Vol. 23, No. 10 March 2013

Indikasi pemberian vancomycin sebagai terapi empiris MRSA, jika:


1. Pasien dengan pemasangan kateter intravena
2. Jika pasien mendapatkan quinolone sebagai terapi profilaksis
3. Jika di RS tersebut tinggi angka kejadian infeksi MRSA
4. Jika prevalensi MRSA tinggi pada wilayah tersebut

Mengidentifikasi organisme penyebab adalah fokus utama dari efektifitas


terapi antimikrobial. Kapan saja dimungkinkan, pemeriksaan kultur harus selalu
dilakukan sebelum memulai terapi antimikroba secara definitif.
Berikut ini adalah beberapa sumber spesimen tubuh pasien yang digunakan
untuk dilakukan pemeriksaan mikrobiologi yang digunakan di unit perawatan
intensif:
Darah, ppesimen saluran respirasi (sputum atau aspirasi cairan trakeal),
spesimen urin, cairan pleura, cairan cerebrospinal, cairan peritoneal, tinja, biopsi
jaringan kulit.
Perlu juga dilakukan pemeriksaan radiologi seperti rontgen, dan Ct- scan.
Pada pasien dengan febris yang persisten, terutama pada pasien post
neurosurgical, pemeriksaan kultur darah dilakukan secara rutin setiap 48 jam sekali
untuk mendeteksi dini adanya risiko sepsis.

TERAPI ANTIFUNGAL DI ICU


Indikasi pemberian terapi empiris obat anti jamur (antifungal), adalah:
1. Pasien dengan sepsis dan neutropenia selama 5 hari atau lebih
2. Pasien yang terpasang kateter vena sentral dalam jangka waktu yang lama
3. Pasien di rawat di ICU dan mendapatkan antibiotic spectrum luas dalam jangka
waktu yang lama.
Infeksi candida invasif merupakan infeksi fungal invasif tersering. Terapi
antifungaldini diperlukan untuk mengontrol dan dapat menurunkan morbiditas
infeksi candida invasif. Diagnosis dini infeksi candida invasive masih terhambat
dan kriteria untuk memulai terapi empiris antifungal masih belum jelas. Diagnosis
infeksi candida invasif menggunakan kultur darah membutuhkan waktu lama,
sensitivitasnya rendah dan tanda radiologis sering muncul terlambat, sedangkan
untuk pemeriksaan antigen dan antibody terhadap jamur memerluan waktu dan
biaya yang banyak.
Candida Score

Skor > 2,5 menunjukkan bahwa pasien risiko tinggi terinfeksi candida invasif
dan perlu diberikan pengobatan antifungal.
Amphotericin B (Ambisome) 3mg/kg IV atau micafungin 100mg IV adalah
obat pilihan sebagai terapi empiris infeksi jamur pada pasien neutropenia dengan
demam yang persisten. Fluconazole digunakan sebagai pengobatan candida pada
pasien dengan hemodinamik yang stabil tanpa adanya keadaan imunokompromais.

VENTILATOR ASSOCIATED PNEUMONIA (VAP)


Diagnosis VAP ditegakkan jika ditemukan munculnya infitrasi baru pada
rontgen thoraks dan diikuti oleh minimal 2 keadaan, yaitu:
- Demam
- Leukositosis
- Sekret trachea yang purulen

Ada 2 klasifikasi VAP:


1. Early  jika infeksi muncul dalam waktu 5 hari setelah perawatan rumah sakit
S. aureus (MSSA), Haemophilus, and S. pneumoniae, with very low risk for
Acinetobacter or Pseudomonas
2. late  jika infeksi muncul setelah 5 hari perawatan
S. aureus (MRSA), Haemophilus, Pseudomonas, Klebsiella

Terapi empiris untuk early VAP adalah penggunaan single agent, antara lain:
Ceftriaxone
Levofloxacin/Ciprofloxacin/Moxifloxacin
Ampicillin + Sulbactam
Ertapenem

Terapi kombinasi VAP jika disertai kecurigaan patogen multidrug resistant


(MDR), yaitu:
Ceftazidime/Cefepime
Imipenem/Meropenem
Piperacillin-
Tazobactam+Aminoglycoside/Fluoroquinolone+Vancomycin/Linezolid.
Patogen MDR dipastikan akan selalu ada bahkan di ruang perawatn intensif.
Terdapat 6 jenis patogen MDR yang terkenal dengan istilah ESKAPE Enterococcus
faecium, S. aureus, Klebsiella pneumoniae, Acinetobacter species, P. aeruginosa
dan Enterobacter species.
Farmakokinetik Obat (Dosis, rute, durasi dan interval)
Antibiotic seperti β-laktam, quinolon, dan vancomisin memaksimalkan
aktivitas mikrobisidalnya pada saat durasi dalam plasma hingga tersisa sekitar
mendekati ambang batas konsentrasi hambat minimumnya. Sehingga antibiotic
jenis ini lebih baik diberikan secara kontinu melalui infus daripada pemberian
bolus.
Sedangkan golongan aminoglikosida memaksimalkan aktivitasnya saat dosis
puncak mencapai plasma, sehingga pemberian yang tepat adalah permberian dosis
tunggal perhari secara bolus intravena.
Mengoptimalisasikan durasi penggunaan terapi antimikroba dengan
mengikuti pedoman penggunaan antibiotika secara tepat dan tidak melanjutkna lagi
penggunaa antimikroba yang sama jika hasil kultur menunjukkan hasil negative
setelah 3 hari, akan membantu mencegah kejadian resistensi mikroorganisme.
Durasi pemberian terapi antimikroba yang optimal untuk mengobati infeksi di ICU
menurut IDSA adalah sebagai berikut:

Anda mungkin juga menyukai