TINJAUAN PUSTAKA
1. Antimikroba
Antimikroba merupakan suatu agen pengobatan yang paling luas
penggunaannya di seluruh dunia. Penggunaan istilah antimikroba cenderung
mengarah ke semua jenis mikroba dan termasuk di dalamnya adalah antibiotik, anti
jamur, anti parasit, anti protozoa dan anti virus.
Syarat antimikroba yang baik adalah:
1. memiliki toksisitas selektif yang baik
2. tidak menyebabkan reaksi hipesensitif
3. mempunyai kelarutan dan kemampuan penetrasi yang baik ke dalam jaringan
4. dimetabolisme dan diekskresi secara lambat
5. lambat dalam pengembangan resistensi
6. tidak merusak flora normal hospes
7. tidak mahal
Hal yang paling penting dan mendasari penggunaan terapi antimikroba adalah
ketepatan diagnosis penyakit, mengerti perbedaan antara terapi empiris dan terapi
definitif, mengetahui keuntungan peralihan ke agen antimikroba dengan spectrum
yang lebih sempit. Bakteri tertentu mempunyai kecenderungan untuk menyebabkan
infeksi pada tempat tertentu. Pemilihan antibiotik sebelum tersedia kultur (terapi
empiris) berdasarkan tempat infeksi dan kemungkinan organisme penyebab serta
hasil pengecatan Gram.
Antibiotika
Antibiotika adalah senyawa yang dihasilkan oleh mikroorganisme (bakteri,
jamur) yang mempunyai efek menghambat atau menghentikan suatu proses
biokimia mikroorganisme lain. Sifat antibiotika adalah harus memiliki sifat
toksisitas selektif setinggi mungkin, artinya obat tersebut harus bersifat sangat
toksik untuk mikroba tetapi relatif tidak toksik untuk hospes (Setiabudy, 2007).
Penggunaan antibiotik dalam pelayanan kesehatan sering kali tidak tepat
sehingga dapat menimbulkan pengobatan kurang efektif, peningkatan risiko
terhadap keamanan pasien, meluasnya resistensi dan tingginya biaya pengobatan.
Salah satu obat andalan untuk mengatasi masalah tersebut adalah antimikroba
antara lain antibakteri/ antibiotik, antijamur, antivirus, antiprotozoa. Antibiotik
merupakan obat yang paling banyak digunakan pada infeksi yang disebabkan oleh
bakteri.
Intensitas penggunaan antibiotik yang relatif tinggi menimbulkan berbagai
permasalahan dan merupakanan cabang lokal bagi kesehatan terutama restensi
bakteri terhadap antibiotik. Selain berdampak pada morbiditas dan mortalitas, juga
memberi dampak negatif terhadap ekonomi dan sosial yang sangat tinggi.
Faktor-Faktor yang Harus Dipertimbangkan pada Penggunaan Antibiotik
1. Resistensi Mikroorganisme Terhadap Antibiotik
Resistensi adalah kemampuan bakteri untuk menetralisir dan melemahkan daya
kerja antibiotik.
2. Faktor Farmakokinetik dan Farmakodinamik
Pemahaman mengenai sifat farmakokinetik dan farmakodinamik antibiotik
sanga tdiperlukan untuk menetapkan jenis dan dosis antibiotik secara tepat agar
dapat menunjukkan aktivitasnya sebagai bakterisida ataupun bakteriostatik,
antibiotik harus memiliki beberapa sifat berikut ini:
a. Aktivitas mikrobiologi. Antibiotik harus terikat pada tempat ikatan
spesifiknya (misalnya ribosom atau ikatan penisilin pada protein).
b. Kadar antibiotik pada tempat infeksi harus cukup tinggi. Semakin tinggi kadar
antibiotik semakin banyak tempat ikatannya pada sel bakteri.
c. Antibiotik harus tetap berada pada tempat ikatannya untuk waktu yang cukup
memadai agar diperoleh efek yang adekuat.
d. Kadar hambat minimal. Kadar ini menggambarkan jumlah minimal.
1) Dasar pemilihan jenis dan dosis antibiotik data epidemiologi dan pola resistensi
bakteri yang tersedia di komunitas atau di rumah sakit setempat.
2) Kondisi klinis pasien.
3) Ketersediaan antibiotik.
4) Kemampuan antibiotik untuk menembus kedalam jaringan/organ yang terinfeksi.
5) Untuk infeksi berat yang diduga disebabkan oleh polimikroba dapat digunakan
antibiotik kombinasi.
d. Rute pemberian: antibiotik oral seharusnya menjadi pilihan pertama untuk terapi
infeksi. Pada infeksi sedang sampai berat dapat dipertimbangkan menggunakan
antibiotik parenteral (Cunha,BA.,2010). Bersamaan dengan itu, segera dilakukan
pemeriksaan kuman, dengan pengecatan gram, biakan kuman dan uji kepekaan
kuman.
e. Lama pemberian: antibiotik empiris diberikan untuk jangka waktu 48-72 jam.
Selanjutnya harus dilakukan evaluasi berdasarkan data mikrobiologis dan kondisi
klinis pasien serta data penunjang lainnya (IFIC., 2010; Tim PPRA Kemenkes RI.,
2010).
f. Evaluasi penggunaan antibiotik empiris dapat dilakukan seperti pada tabel berikut
(Cunha, BA., 2010; IFIC., 2010):
PENGGOLONGAN ANTIBIOTIK
Infeksi bakteri terjadi bila bakteri mampu melewati barrie rmukosa atau kulit
dan menembus jaringan tubuh. Pada umumnya, tubuh berhasil mengeliminasi
bakteri tersebut dengan respon imun yang dimiliki, tetapi bila bakteri berkembang
biak lebih cepat daripada aktivitas respon imun tersebut maka akan terjadi penyakit
infeksi yang disertai dengan tanda-tanda inflamasi. Terapi yang tepat harus mampu
mencegah berkembangbiaknya bakteri lebih lanjut tanpa membahayakan host.
Antibiotik adalah obat yang digunakan untuk mengatasi infeksi bakteri. Antibiotik
bisa bersifat bakterisid (membunuh bakteri) atau bakteriostatik (mencegah
berkembangbiaknya bakteri). Pada kondisi immunocompromised (misalnya pada
pasien neutropenia) atau infeksi di lokasi yang terlindung (misalnya pada cairan
cerebrospinal), maka antibiotik bakterisid harus digunakan.
Bacitracin
Penicillin Cephalosporin Carbapenem Monobactam
1) Penisilin
Golongan penisilin diklasifikasikan berdasarkan spektrum aktivitas
antibiotiknya.
2) Sefalosporin
Sefalosporin menghambat sintesis dinding sel bakteri dengan mekanisme serupa
dengan penisilin. Sefalosporin diklasifikasikan berdasarkan generasinya.
3) Monobaktam (beta-laktammonosiklik) Contoh: aztreonam.
Aktivitas :resisten terhadap beta-laktamase yang dibawa oleh bakteri Gram-
negatif. Aktif terutama terhadap bakteri Gram-negatif. Aktivitasnya sangat baik
terhadap Enterobacteriacease, P.aeruginosa, H. Influenzae dangonokokus.
Kelemahan obat ini adalah tidak ada aktivitas terhadap bakteri gram (+) dan bekteri
anaerob. Contoh golongan ini adalah Aztreonam (azactam). Kadar dalam serum
adalah 100 μg/mL setelah pemberian 1-2 gram setiap 8 jam.
Pemberian: parenteral, terdistribusi baik keseluruh tubuh, termasuk cairan
serebrospinal.
Waktu paruh: 1,7jam. Waktu paruh 1-2 jam dan pada gagal ginjal dapat memanjang
Ekskresi: sebagian besar obat diekskresi utuh melalui urin.
4) Karbapenem
Karbapenem merupakan antibiotik lini ketiga yang mempunyai aktivitas
antibiotik yang lebih luas daripada sebagian besar beta-laktam lainnya. Yang
termasuk karbapenem adalah imipenem, meropenem dan doripenem.
Spektrum aktivitas: Menghambat sebagian besar Gram-positif, Gram-negatif,
dan anaerob. Ketiganya sangat tahan terhadap beta-laktamase.
Namun obat ini diinaktifkan di tubulus sehingga konsentrasi dalam urin menjadi
rendah. Penetrasi baik di jaringan tubuh dan cairan serebrospinal. Dosis biasanya
0,5-1 gram IV setiap 6 jam (waktu paruh 1 jam).
Efek samping: paling sering adalah mual dan muntah, dan kejang pada dosis
tinggi yang diberi pada pasien dengan lesi SSP atau dengan insufisiensi ginjal.
Meropenem dan doripenem mempunyai efikasi serupa imipenem, tetapi lebih
jarang menyebabkan kejang.
5) Inhibitor beta-laktamase
Inhibitor beta-laktamase melindungi antibiotik beta-laktam dengan cara
menginaktivasi beta-laktamase.Yang termasuk kedalam golongan ini adalah asam
klavulanat, sulbaktam, dan tazobaktam. Asam klavulanat merupakan suicide
inhibitor yang mengikat beta-laktamase dari bakteri Gram-positif dan Gram-negatif
secara ireversibel. Obat ini dikombinasi dengan amoksisilin untuk pemberian oral
dan dengan tikarsilin untuk pemberian parenteral.
Sulbaktam dikombinasi dengan ampisilin untuk penggunaan parenteral, dan
kombinasi ini aktif terhadap kokus Gram-positif, termasuk S.aureus penghasil beta-
laktamase, aerob Gram-negatif (tapi tidak terhadap Pseudomonas) dan bakteri
anaerob. Sulbaktam kurang poten dibanding klavulanat sebagai inhibitor beta-
laktamase. Tazobaktam dikombinasi dengan piperasilin untuk penggunaan
parenteral. Waktu paruhnya memanjang dengan kombinasi ini, dan ekskresinya
melalui ginjal.
Basitrasin
Basitrasin adalah kelompok yang terdiri dari antibiotik polipeptida, yang
utama adalah basitrasin A. Berbagai kokus dan basil Gram-positif, Neisseria,
H.influenzae, dan Treponema pallidum sensitif terhadap obatini. Basitrasin tersedia
dalam bentuk salep mata dan kulit, serta bedak untuk topikal. Basitrasin jarang
menyebabkan hipersensitivitas. Pada beberapa sediaan, sering dikombinasi dengan
neomisin dan/atau polimiksin. Basitrasin bersifat nefrotoksik bila memasuki
sirkulasi sistemik.
Aktivitas obat ini sama seperti vancomycin yaitu untuk gram (+) khususnya
staphylococcus. Obat ini susah diabsorpsi di usus kulit, mukosa, atau yang lain jadi
sering digunakan untuk pengobataan topical dengan dosis 500 unit/gram untuk
menekan lesi permukaan kulit, pada luka, atau pada mukosa.
Efek sampingnya adalah kerusakan ginjal secara mencolok, menyebabkan
proteinuria, hematuria, dan retensi nitrogen sehingga suah tidak digunakan. Reaksi
alergi pada penggunakan topikal jarang terjadi.
Vankomisin
Vankomisin merupakan antibiotik lini ketiga yang terutama aktif terhadap
bakteri Gram-positif.Vankomisin hanya diindikasikan untuk infeksi yang
disebabkan oleh S.aureus yang resisten terhadap metisilin (MRSA). Semua basil
Gram-negatif dan mikobakteria resisten terhadap vankomisin.Vankomisin
diberikan secara intravena, dengan waktu paruh sekitar 6 jam. Efek sampingnya
adalah reaksi hipersensitivitas, demam, flushing dan hipotensi (pada infus cepat),
serta gangguan pendengaran dan nefrotoksisitas pada dosis tinggi. Vancomycin
tidak diabsorpsi di usus. Pengobatan peroral digunakan untuk mengobati
enterokolitis. Pemberian IV dengan dosis 0,5 gram dapat mencapai kadar serum 10-
20 μg/mL (waktu paruh 1-2 jam). Ekskresi dilakukan oleh ginjal.
Indikasi Vancomycin adalah untuk sepsis atau endocarditis yang disebabkan
oleh staphylocoocus yang sudah resisten terhadap obat lain dengan dosis 0,5 gram
IV tiap 6-8 jam. Pengobatan peroral dengan dosis 0,125-0,5 gram tiap jam
digunakan untuk enterokolitis terutama Clostridium difficle.
Jarang terjadi efek samping. Flebitis pada tempat suntikan dan demam
mungkin terjadi. Gejala flushing yang luas dapat juga terjadi (red man syndrome).
Cholramphenicol Thiamphenicol
Lyncomycin Clindamycin
a.AminoglikosidA
Spektrum aktivitas: Obat golongan ini menghambat bakteri aerob Gram-
negatif, terutama pada bakteriemia, sepsis, atau endocarditis.
Obat ini mempunyai indeks terapi sempit, dengan toksisitas serius pada ginjal dan
pendengaran, khususnya pada pasien anak dan usia lanjut. Efek samping: Toksisitas
ginjal, otot oksisitas (auditorik maupun vestibular), blokade neuromuskular (lebih
jarang).
Baik gentamycin dan tobramycin efektif terhadap gram (+) dan gram negatif.
Spktrum aktivitas kedua obat ini sama dengan menghambat banyak strain
stafilokokus, koliform, dan bakteri gram (-) lainnya. Pemberian IM atau IV
gentamycin atau tobramycin biasanya digunakan untuk infeksi berat (sepsis)
pseudomonas, enterobacter, proteus yang telah resisten dengan obat lain. Dengan
dosis 5-7 mg/kg/hari IM atau IV obat ini dipadukan dengan cephalosporin atau
penicillin untuk pengobatan yang lebih efektif.
b.Tetrasiklin
Antibiotik yang termasuk kedalam golongan ini adalah tetrasiklin,
doksisiklin, oksitetrasiklin, minosiklin, dan klortetrasiklin. Antibiotik golongan ini
mempunyai spektrum luas dan dapat menghambat berbagai bakteri Gram-positif,
Gram-negatif, baik yang bersifat aerob maupun anaerob, serta mikroorganisme lain
seperti Ricketsia, Mikoplasma, Klamidia, dan beberapa spesies mikobakteria
protozoa misalnya amuba.
Absorpsi paling baik di usus halus bagian atas dan baiknya pada saat tidak
makan karena dapat diganggu jika ada kation bervalensi dua (Ca2+, Mg2+, Fe2+),
terutama dalam susu dan antasida. Pemberian parenteral tetracycline biasanya
diracik dengan buffer khusus
Dalam darah terjadi ikatan protein berbagai tetracycline sebesar 40-80%.
Dengan dosis oral 500 mg tiap 6 jam dapat mencapai kadar 4-6 μg/mL untuk
tetracycline hydrochlorid dan oxytetracycline. Doycycline dan minocycline agak
lebih rendah. Suntikan IV membuat kadar lebih tinggi untuk sementara waktu.
Distribusi tidak dapat mencapai cairan serebrospinal. Minosiklin khas karena
konsentrasi yang tinggi di air mata dan air liur. Tetracycline dapat melintasi
plasenta dan air susu,
Ekskresi terutama di empedu dan urin. Di empedu ekskresinya lebih banyak
dan mungkin diabsorpsi kembali di usus untuk mempertahankan kadar di serum.
Sekitar 50% jenis tetracycline diekskresi di glomerulus ginjal dan dipengaruhi oleh
keadaan gagal ginjal. Doxicycline dan minocycline diekskresi lebih lambat
sehingga di dalam serum lebih lama
Efek samping yag bisa timbul antara lain :mual, muntah dan diare, pusing,
vertigo, Hepatotoksis juga dapat diberikan jika diberikan pada dosis besar atau
telah terjadi insuficiensi hepar sebelumnya, Trombosis vena dapat terjadi pada
pemberian IV dan Hiperfotosensitif terutama demeclocycline
Kontra indikasi pemberian pada ibu hamil karena dapat menumpuk di gigi
janin yang menyeabkan kekuning-kuningan pada gigi serta penumpukan di tulang
yang menyebabkan gangguan pertumbuhan pada janin dan anak umur dibawah 8
tahun.
c.Kloramfenikol
Kloramfenikol adalah antibiotik berspektrum luas, menghambat bakteri
Gram-positif dan negatif aerob dan anaerob, Klamidia, Ricketsia, dan Mikoplasma.
Kloramfenikol mencegah sintesis protein dengan berikatan pada subunit ribosom
50S.
Efek samping: supresi sumsum tulang, grey baby syndrome, neuritis optik
pada anak, pertumbuhan kandida disaluran cerna, dan timbulnya ruam.
Obat ini sangat efektif untuk infeksi antara lain :
1. Salmonella simtomatik
2. Infeksi serius H influenza seperti meningitis,
3. Infeksi meningokokus dan pneumokokus pada SSP
4. Infeksi anaerobik pada SSP
Pemberian diberikan secara oral (2 gram/hari) maupun parenteral
(chloramphenicol suksinat 25-5 mg/kg/hari). Obat ini dapat mencapai SSP dengan
kadar yang sama dengan di dalam serum. Obat ini mudah diinaktifasikan di dalam
hati. Ekskresi terutama di tubulus ginjal dab sebagian kecil di empedu. Dosis tidak
perlu dikurangi pada gagal ginjal namun sangat dikurangi pada gagal hati.
1) Eritromisin
Eritromisin dalam bentuk basa bebas dapat diinaktivasi oleh asam, sehingga
pada pemberian oral, obat ini dibuat dalam sediaan salut enterik. Eritromisin dalam
bentuk estolat tidak boleh diberikan pada dewasa karena akan menimbulkan liver
injury.
Dosis peroral 2 g/hari mencapai kadar serum 2 μg/mL. Sejumlah besar hilang
dalam feses. Distribusi tidak dapat menembus sawar otak. Obat ini menembus
plasenta dan mencapai janin. Ekskresi dilakukan dalam empedu
Erythromycin digunakan dalam infeksi Corynebacterium (difteri, sepsis,
eritrasma), Infeksi klamedia pada saluran pernafasan, neonantus, mata, atau
genialia, Pneumonia oleh Mycoplasma dan Legionella. Dosis oral diberikan 0,25-
0,5 gram tiap 6 jam. Efek samping yang bisa muncul berupa anoreksia, mual,
muntah, dan sifat toksis terhadap hepar.
2) Azitromisin
Azitromisin lebih stabil terhadap asam jika dibanding eritromisin. Sekitar
37% dosis diabsorpsi, dan semakin menurun dengan adanya makanan. Obat ini
dapat meningkatkan kadar SGOT dan SGPT pada hati.
3) Klaritromisin.
Absorpsi per oral 55% dan meningkat jika diberikan bersama makanan. Obat
ini terdistribusi luas sampai ke paru, hati, sel fagosit, dan jaringan lunak. Metabolit
klaritromisin mempunyai aktivitas antibakteri lebih besar daripada obat induk.
Sekitar 30% obat diekskresi melalui urin, dan sisanya melalui feses.
4) Roksitromisin
Roksitromisin mempunyai waktu paruh yang lebih panjang dan aktivitas yang
lebih tinggi melawan Haemophilus influenzae. Obat ini diberikan dua kali sehari.
Roksitromisin adalah antibiotik makrolida semisintetik. Obat ini memiliki
komposisi, struktur kimia dan mekanisme kerja yang sangat mirip dengan
eritromisin, azitromisin atau klaritromisin. Roksitromisin mempunyai spektrum
antibiotik yang mirip eritromisin, namun lebih efektif melawan bakteri gram negatif
tertentu seperti Legionellapneumophila. Antibiotik ini dapat digunakan untuk
mengobati infeksi saluran nafas, saluran urin dan jaringan lunak.
Roksitromisin hanya dimetabolisme sebagian, lebih dari separuh senyawa
induk diekskresi dalam bentuk utuh. Tiga metabolit telah diidentifikasi di urin dan
feses: metabolit utama adalah deskladinosaroksitromisin, dengan N-monodan N-di-
demetilroksitromisin sebagai metabolit minor. Roksitromisin dan ketiga
metabolitnya terdapat di urin dan feses dalam persentase yang hampir sama.
Efek samping yang paling sering terjadi adalah efek pada saluran cerna: diare,
mual, nyeri abdomen dan muntah. Efek samping yang lebih jarang termasuk sakit
kepala, ruam, nilai fungsi hati yang tidak normal dangan gangguan pada indra
penciuman dan pengecap.
e.Klindamisin
Klindamisin menghambat sebagian besar kokus Gram-positif dan sebagian
besar bakteri anaerob, tetapi tidak bisa menghambat bakteri Gram-negatif aerob
seperti Haemophilus, Mycoplasma dan Chlamydia. Pemberian secara oral 0,15-0,3
gram tiap 6 jam sedangka untuk IV diberikan 600 mg tiap 8 jam. Obat ini tidak
dapat mencapai SSP. Ekskresi terutama di dalam hati, empedu dan urin.
Indikasi yang penting adalah untuk mengobati infeksi anaerob berat oleh
Bacterioid dan kuman anaerob lainnya. Penggunaan lainnya sering kali digunakan
pada infeksi yang berasal dari saluran genital wanita seperti sepsis karena
keguguran atau abses pelvis. Efek samping: diare dan enterokolitis
pseudomembranosa.
f. Mupirosin
Mupirosin merupakan obat topikal yang menghambat bakteri Gram-positif
dan beberapa Gram-negatif.
Tersedia dalam bentuk krim atau salep 2% untuk penggunaan di kulit (lesi
kulit traumatik, impetigo yang terinfeksi sekunder oleh S.aureus atau S.pyogenes)
dan salep 2% untuk intranasal.
Efek samping: iritasi kulit dan mukosa serta sensitisasi.
g. Spektinomisin
Obat ini diberikan secara intramuskular. Dapat digunakan sebagai obat
alternatif untuk infeksi gonokokus bila obat lini pertama tidak dapat digunakan.
Obat ini tidak efektif untuk infeksi Gonorefaring. Efek samping: nyeri lokal,
urtikaria, demam, pusing, mual, dan insomnia.
Floroqunolone
Netroimidazole
Metronidazole
a. Kuinolon
Pemberian quinolone diberikan secara oral dan ekskresi terutama di ginjal.
Quinolone sering digunakan dalam infeksi saluran kemih walaupun disebabkan
karena infeksi bakteri yang kebal terhadap bermacam-macam obat. Norfloxacin 400
mg atau ciprofloxacin 500 mg diberikan peroral 2 kali sehari. Selain itu juga dapat
diberikan untuk diare infeksi, infeksi tulang, sendi, intra abdominal, serta pada
infeksi mikobakterium
1) Asam nalidiksat
Asam nalidiksat menghambat sebagian besar Enterobacteriaceae.
2) Fluorokuinolon
Golongan fluorokuinolon meliputi norfloksasin, siprofloksasin, ofloksasin,
moksifloksasin, pefloksasin, levofloksasin, dan lain-lain. Fluorokuinolon bisa
digunakan untuk infeksi yang disebabkan oleh Gonokokus, Shigella, E. coli,
Salmonella, Haemophilus, Moraxella catarrhalis serta Enterobacteriaceae dan P.
aeruginosa.
d. Nitrofuran
Nitrofuran meliputi nitrofurantoin, furazolidin, dan nitrofurazon. Absorpsi
melalui saluran cerna 94% dan tidak berubah dengan adanya makanan.
Nitrofuran bisa menghambat Gram-positif dan negatif, termasuk E. coli,
Staphylococcussp, Klebsiellasp, Enterococcussp, Neisseriasp, Salmonellasp,
Shigellasp, dan Proteussp.
METRONIDAZOLE
Metronidazole sering digunakan sebagai obat antiprotozoa untuk pengobatan
tricomoniasis, giardia lambia, B coli, serta infeksi amubiasis lainnya. Namun selain
itu metronidazole mempunyai efek antibakteri trhadap banyak kuman anaerob.
Metronidazole diberikan secara oral dan kemudian tersebar di jaringan tubuh
sampai ke serebrospinal. Ekskresi terutama di urin. Untuk pengobatan infeksi
anaerob, metronidazole sering digunakan untuk menurunkfan infeksi pasca operasi
apendektomi, bedah kolon, dll. Beberapa infeksi seperti B fragilis, klstridia kadang-
kadang masih menunjukkan respon.
RIFAMYCIN
Rifamycin masih terbukti aktif terhadap beberapa kokus gram (+) dan (-),
serta beberapa bakteri enteric, mikobakterium, klamidia, dan poxvirus. Sayangnya
banyak laporan mengenai resistensi bakteri yang cepat terhadap pengobatan tunggal
rifamycin sehingga tidak boleh diberikan sendiri. Rifamycin diabsopsi baik secara
peroral, dan diekskresikan melalui hati ke dalam empedu.
Rifamycin diberikan dengan dosis 600 mg/hari dapat diberikan untuk
pengobatan TB bersamaan dengan pemberian INH, etambutol, dll. Efek
sampingnya menimbulkan warna oranye pada urinm keringat, air mata yang
sebenarnya tidak berbahaya.
PENGHAMBAT MEMBRAN
SEL
Polymyxin
Polyenes
Imidazole
POLYMYXIN
Polymyxin merupakan golongan polipeptida basa dan aktif terhadap bakteri
gram (-). Obat ini mempunyai efek nefrotoksis yang hebat sehingga banyak
ditinggalkan kecuali polymyxin B dan E.
Polymyxin bekerja sebagai bakterisidal dan tidak dapat diabsorpsi di dalam
usus sehingga diberikan secara parenteral. Ekskresi terutama di ginjal.
Penggunaan polymyxin sekarang dibatasi pada penggunaa topical. Lerutan
polymyxin B 1-10 mg/mL diberikan pada permukaan yang terinfeksi, atau
disuntikkan ke dalam pleura ataupun sendi. Efek samping yang ditakutkan pada
pemberian sistemik adalah efek nefrotoksisnya.
PENGHAMBAT METABOLIK
Campuran Co-trimoxazole
SULFONAMIDE
Berstruktural analog dengan asam p-amino benzoat (PABA). Obat ini bekerja
secara bakteriostatik. Sulfonamide kebanyakan diberikan secara peroral dan dapat
didistribusikan ke semua jaringan termasuk ke cairan serebrospinal. Ekskresi
terutama dilakukan oleh glomerulus ginjal dengan kadar dalam urin bias mencapai
10-20 kali konsentrasi dalam darah.
Penggunaan sulfonamide sering digunakan secara peroral untuk infeksi
saluran kemih yang belum diobati sebelumnya, infeks clamidia pada mata dan
saluran genital. Efek samping adalah pengendapan sulfonamide di saluran kemih
sehingga dapat menyebabkan obstruksi, gangguan hematopoetik berupa anemia
(heolitik atau aplastik) granulositopenia, trombositopenia, dan reaksi leukomoid.
THRIMETHROPIM
Thrimethropim bekerja dengan cara penghambatan kerja enzim asam
dihidrofolat reduktase yang bertugas mengubah asam dihidrofolat menjadi asam
tetrahidrofolat. Absorpsi baik melalui usus dan distribusi luas seperti sulfonamide.
Sifatnya lebih larut dalam lipid.
Pengobatan dengan thrimethropim tunggal dapat diberikan untuk infeksi
saluran kemih akut. Selain itu karena thrimethropim dapat terakumulasi pada cairan
prostate dan cairan vagina, thrimethropim sering digunakan pada infeksi prostate
dan vagina.
Efek samping serupa dengan sulfonamide berupa gangguan hematopoetik
seperti anemia megaloblastik, leukopenia, dan granulositopenia.
CO-TRIMOXAZOLE
Gabungan kombinasi antara sulfonamide dan thrimethripim ini sering kali
digunakan. Karena thrimethropim punya kelarutan lipid yang besar, perbandingan
thrimethropi : sulfonamide = 1 : 5 untuk tiap co-trimoxazole.
Penggunaan obat ini biasanya berupa pengobatan pilihan untuk infeksi
pneumonia oleh P carinii, entriris karena Shigella dan infeksi salmonella sistemik
setelah resisten terhadap Ampicillin dan khoramphenicol. Penggunaan lain adalah
pengobatan infeksi saluran kemih dan prostate.
ANTIFUNGAL
Amphotericin B
Amphotericin B (AmB) merupakan antibiotik yang secara natural memiliki
sifat fungsidial untuk fungi patogen pada manusia. Obat ini merupakan salah satu
agen antifungal yang paling efektif yang tersedia, tapi terganggu oleh reaksi toksik,
seperti respon inflamasi terkait penggunaan infus dan nefrotoksisitas. Sehingga,
AmB lebih sering digunakan sebagai cadangan, untuk pasien yang tidak toleran,
atau sukar disembuhkan oleh antifungal lain yang kurang toksik.
Pengaturan Dosis
AmB tersedia hanya untuk penggunaan intravena dan berisi pelarut (sodium
deoxycholate) untuk meningkatkan kelarutan dalam plasma. Obat ini diberikan
sekali sehari dalam dosis 0,5-1 mg/kg. Dosis ini biasanya diberikan lebih dari 4 jam
sekali, namun dapat diberikan dalam satu jam, jika dapat ditoleransi.
Infus perhari diteruskan hingga dosis kumulatif spesifik tercapai. Total dosis
AmB ditentukan oleh tipe dan keparahan dari infeksi fungal, dapat sesedikit 500
mg (untuk candidemia yang berhubungan dengan kateter) atau sebanyak 4 gram
(untuk aspergillosis yang mengancam nyawa).
Respon Peradangan terkait Infus
Infu AmB diikuti oleh demam, menggigil, muntah, dan rigor pada 70%
kejadian. Reaksi ini paling banyak diumumkan pada pemberian pertama dan sering
hilang jika diberikan berulang. Dibawah ini merupakan pengukuran untuk
mengurangi intensitas dari reaksi ini:
1. Tiga puluh menit sebelum infus, berikan asetaminofen (10-15 mg/kg oral) dan
dipenhidramine (25 mg oral atau IV). Jika rigors terjadi, premedikasi dengan
meperidin (25 mg IV).
2. Jika obat premedikasi tidak menolong sepenuhnya,tambahkan hidrokortison
pada infus AmB (0,1 mg/ml)
Kanulasi vena sentral lebih dipilih untuk pemberian infus AmB untuk
mengurangi resiko phlebitis terkait infus, yang sering ditemukan ketika AmB
diberikan melalui vena perifer.
Nefrotoksisitas
AmB mengikat kolesterol pada permukaan sel epitelial ginjal dan
menyebabkan kerusakan yang secara klinis menyerupai asidosis tubular ginjal (tipe
distal) dengan peningkatan eksresi urin dari kalium dan magnesium. Azotemia
dilaporkan pada 30-40% pasien selama infus harian AmB dan terkadang dapat
berlanjut hingga gagal ginjal akut yang membutuhkan hemodialisa. Perbaikan
ginjal dari AmB biasanya stabil ketika infus dilanjutkan dan diperkirakan terjadi
perbaikan jika AmB dihentikan. Hipovolemia memperburuk kerusakan ginjal dan
mempertahankan volume intravaskular lebih penting dibandingkan mengurangi
kerusakan. Peningkatan serum kreatinin diatas 3,0 mg/dL seharusnya dianjurkan
penghentian infus AmB untuk beberapa hari.
ABNORMALITAS
Hipokalemi dan hipomagnesemia sering ditemukan selama pengobatan AmB
dan hipokalemi sulit untuk dikoreksi hingga defisit magnesium sudah digantikan.
Magnesium oral (300-600 mg magnesium elemental perhari) direkomendasikan
selama terapi AmB, kecuali pada pasien dengan azotemia yang progresif.
Preparat lipid
Preparat lipid spesial untuk AmB telah dikembangkan untuk meningkatkan
perlekatan AmB pada sel membran fungal dan mengurangi perlekatan pada sel
mamalia (sehingga mengurangi resiko kerusakan ginjal). Terdapat 2 preparat lipid,
yakni liposomal amphotericin dan amphotericin B lipid kompleks. Dosis
rekomendasi 3-5 mg/kg perhari. Keduanya mengurangi insiden reaksi nefrotoksik
dan pengurangan lebih besar dengan preparat liposomal namun harga kedua
preparat tersebut lebih mahal.
Triazoles
Triazol adalah agen antifungal sintetik yang kurang toksik sebagai alternatif
untuk AmB untuk infeksi fungal tertentu. Terdapat 3 jenis obat dalam kelas ini
yakni fluconazol, itraconazol, dan voriconazol, namun fluconazol yang digunakan
untuk infeksi Candida.
Penggunaan Klinis
Fluconazol merupakan pilihan obat untuk infeksi yang berkaitan
denganFluconazole is the Candida albicans, C. tropicalis, dan C. parapsilosis,
tetapi tidak untuk infeksi yang berkaitan dengan C. glabrata or C. Krusei.
Pengaturan Dosis
Fluconazol dapat diberikan secara oral atau intravena. Dosis biasa 400 mg
perhari dan diberikan dalam dosis tunggal. Dosis 800 mg per hari
direkomendasikan untuk pasien dengan klinis tidak stabil. Waktu untuk mencapai
level tetap setelah 4-5 hari terapi dimulai dan ini bisa dipendekkan dengan
menggandakan dosis inisial. Penyesuaian dibutuhkan untuk pasien dengan
kerusakan ginjal. Jika bersihan kreatinin <50 ml/menit, dosis harus dikurangi 50%.
Interaksi Obat
Fluconazol, memiliki interaksi spesifik terhadap fenitoin, cisapride, dan statin
(lovastatin dan atorvastatin)
Toksisitas
Fluconazol tidak memiliki toksisitas yang serius. Peningkatan enzim hati
asimptomatik pernah dilaporkan namun jarang laporan mengenai nekrosis hepar
yang fatal dan berat selama terapi fluconazol pada pasien HIV.
Echinocandins
Echinocandins merupakan agen antifungal yang aktif melawan spesies
Candida yang lebih luas dibandingkan (kecuali C. parapsilosis). Obat dalam kelas
ini termasuk caspofungin, micagungin, dan anidulafungin. Agen ini dapat
digunakan sebagai alternatif fluconazol untuk mengobati kandidiasis invasif
termasuk C. albicans dan C. tropicalis dan merupakan agen yang lebih dipilih untuk
infeksi C. glabrata dan C. krusei. Echinocandins juga dipilih sebagai profilaksis
untuk kandidiasis invasif pada pasien yang tidak stabil atau imunokompromised
Caspofungin
Caspofungin merupakan obat perintis untuk kelas ini dan equivalen dengan
amphotericin untuk mengobati kandidiasis invasif. Obat ini diberikan secara
intravena dengan dosis inisial 70 mg dan dosis selanjutnya 50 mg. Seperti
echinocandin lainnya, tidak dibutuhkan penyesuaian dosis pada pasien dengan
insufisiensi ginjal.
Lainnya
Anidulafungin (200 mg IV pada hari pertama, kemudian 100 mg IV per hari)
dan micafungin (100 mg IV perhari) equivalen dengan caspofungin, namun
pengalaman klinis lebih sedikit pada obat-obat ini.
Toksisitas
Echinocandins relatif tidak toksis. Peningkatan enzim hati sementara dapat
timbul dan terdapat laporan disfungsi hepar yang berkaitan dengan penggunaan
obat ini.
2. Penggunaan Antimikroba pada Perawatan Intensif (ICU)
Rumah sakit dan unit perawatan intensif (ICU) merupakan breeding ground
atau tempat berkembangnya bakteri yang resisten/multiresisten antibiotik,
disebabkan penggunaan alat invasif, kontak yang sering antara staf rumah sakit
dengan pasien sehingga memudahkan terjadi transmisi infeksi, intensitas penggunaan
antibiotik yang tinggi serta penggunaan antibiotik empiris yang berlebihan. Hal
tersebut terjadi karena pasien yang dirawat di ICU pada umumnya menderita
penyakit berat dan dalam kondisi imunokompromais.
Munculnya resistensi terhadap berbagai antibiotik dipengaruhi oleh pemakaian
antibiotik itu sendiri. Semakin lama seorang pasien mendapat terapi antibiotik, akan
memudahkan timbulnya kolonisasi dengan mikroba yang resisten antibiotik. Bila
antibiotik diberikan berlebihan, tidak adekuat, monoton (satu jenis terus menerus)
maka akan mengurangi efektifitasnya sehingga menimbulkan resistensi terutama
bakteri Gram negatif.
Sumber bakteremia tersering adalah akibat pemasangan kateter pada saluran
kemih dan akses kateter vaskular intravena. Infeksi saluran kemih akibat kateterisasi
dan pneumonia berhubungan dengan ventilator associated pneumonia (VAP),
suction airway, ETT dan pemasangan NGT . infeksi nosokomial yang merupakan
penyebab infeksi tersering di ICU.
Adanya faktor-faktor penyakit yang mendasari cukup berat atau status
imunokompromais, maka pasien dengan sakit berat sangat rentan terhadap kolonisasi
yang cepat dari isolat nosokomial. Dokter dan perawat mengabaikan pentingnya
mencuci tangan dengan cara yang benar sebelum dan setelah kontak dengan pasien.
Sarung tangan sering tidak dipakai pada tindakan yang terindikasi, dan tangan tidak
dicuci setelah melepaskan sarung tangan. Kadang-kadang dokter/perawat berpindah
dari satu pasien ke pasien lain tanpa mengganti sarung tangan. tingginya jumlah
pasien di ICU, dengan jumlah perawat yang kurang.
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap infeksi bakteri Gram negatif adalah
pemberian antibiotik berhubungan dengan selective pressure pada bakteri resisten,
penyakit penyerta berat dan status imunokompromais. Pada setting ICU
dipertimbangkan beberapa faktor seperti kedekatan pasien dengan pasien lain yang
sudah terinfeksi oleh bakteri resisten dan prosedur invasif. Semuanya merupakan
faktor risiko yang signifikan meningkatkan infeksi nosokomial oleh bakteri Gram
negatif.
Golongan aminoglikosida, karbapenem dan sefalosporin generasi ke-empat
dengan molekul yang kecil, dikenal mempunyai muatan lebih positif (muatan
zwiterionik), sehingga bersifat lebih hidrofilik dan dapat melalui porin pada membran
luar bakteri Gram negatif dengan mudah. Keadaan tersebut menyebabkan penetrasi
antibiotik sangat baik dan tidak sempat dihidrolisis oleh enzim b-laktamase yang
diproduksi oleh bakteri.
Pemilihan terapi antibiotik empiris yang adekuat dan reasonable (rasional)
penting sebab akan mempengaruhi prognosis.
Aminoglycoside bersifat bakterisidal dan sensitif terhadap bakteri aerob gram
negatif basil, termasuk Pseudomonas aeruginosa. Aminoglycoside berisiko
menyebabkan nefrotoksik. Pada kasus-kasus septikemia karena infeksi bakteri Gram
negatif yang berhubungan dengan neutropenia atau syok septik, antibiotik empiris
lebih efektif digunakan jika aminoglycoside dikombinasi dengan antibiotik lain yang
bekerja melawan bakteri aerob Gram negatif basil, seperti carbapenem, cefepime,
dan piperacillini atau tazobactam. Aminoglikosida sebagai terapi empiris,
direkomendasikan pemakainannya maksimal dalam 48 jam.
Sefalosporin generasi ketiga sebaiknya tidak digunakan untuk infeksi berat
bakteri penghasil ESBL, apabila pada hasil biakan sefalosporin generasi ketiga
menunjukkan minimum inhibitory concentration (MIC) yang rendah terhadap
mikroba ini. Pilihan antibiotik lain adalah sefalosporin generasi ke-empat (misalnya
sefepim), dan kombinasi antibiotik b laktam-inhibitor b laktamase.
Karbapenem sebaiknya disimpan, dipakai sebagai drug of choice pada infeksi
yang sangat berat disebabkan bakteri penghasil ESBL. Golongan karbapenem
merupakan antibiotik yang sangat poten terhadap Enterobacteriaceae sp.
Meropenem sangat poten (sensitivitas 98,2-99,8%) terhadap Enterobacteriaceae.
Imipenem juga poten (88,8%) kecuali terhadap Proteus mirabilis.
Pada keadaan pasien dengan penyakit berat di unit perawatan intensif,
pemberian terapi empiris antimikroba secara intravena harus segera diberikan. Untuk
memulai terapi empiris antibiotik dapat diklasifikan berdasarkan kategori berikut:
Antimicrobial Therapy in the Intensive Care Unit Indian Journal of Clinical Practice, Vol. 23, No. 10 March 2013
Terapi Empiris
Agen antimikroba (pedoman penggunaan antibiotika) Sebelum diberikan terapi
Tentukan dosis, rute, interval dan durasi empiris ambil sampel
darah, urine, sputum dll
pemeriksaan mikrobiologi
J kultur kuman dan tes uji
Mengganti terapi antimikroba dalam waktu 48 jam
sensitivitas antimikroba
berdasarkan gambaran klinis pasien dan sesuai dengan
hasil pemeriksaan mikrobiologi yang telah ada
Terapi Definitif
Agen antimikroba sesuai dengan hasil kultur dan tes
sensitivitas
(dosis, rute, durasi dan interval)
Skor > 2,5 menunjukkan bahwa pasien risiko tinggi terinfeksi candida invasif
dan perlu diberikan pengobatan antifungal.
Amphotericin B (Ambisome) 3mg/kg IV atau micafungin 100mg IV adalah
obat pilihan sebagai terapi empiris infeksi jamur pada pasien neutropenia dengan
demam yang persisten. Fluconazole digunakan sebagai pengobatan candida pada
pasien dengan hemodinamik yang stabil tanpa adanya keadaan imunokompromais.
Terapi empiris untuk early VAP adalah penggunaan single agent, antara lain:
Ceftriaxone
Levofloxacin/Ciprofloxacin/Moxifloxacin
Ampicillin + Sulbactam
Ertapenem