Anda di halaman 1dari 22

A.

15 Kedudukan Shalat Dalam Islam dan Dalilnya

Shalat merupakan salah satu ibadah yang menjadi kewajiban utama umat muslim dan merupakan rukun
islam yang kedua. Allah berfirman dalam QS Al Baqarah ayat 238 “Peliharalah semua shalat mu ,
berdirilah untuk Allah dalam shalat mu yang khusyu”.

Dalam islam, shalat wajib terdiri dari 5 waktu yaitu subuh, dhuhur, ashar, maghrib, dan isya’ yang di
dalamnya memiliki berkah berkah masing masing dan kerugian bagi yang tidak melaksanakan. Shalat
menjadi jalan untuk mengingat sejenak dan berdoa kepada Allah, ketika sedang bekerja atau dalam
kesibukan yang padat, dengan shalat akan membuat hati dan pikiran menjadi tenang dan lebih segar,
yang tentunya akan membuat seseorang lebih bersemangat ketika kembali melanjutkan pekerjaan.
Shalat juga merupakan salah satu ujian bagi umat mukmin, apakan ia mampu istiqomah menjalankannya
dalam keadaan apapun.

Allah menjunjung tinggi amal ibadah shalat ini, berikut 15 kedudukan shalat dalam islam

1. Tiang Agama

“Pokok perkara adalah islam, tiangnya adalah shalat”. (HR Tirmidzi 2616). Tiang berarti dasar utama
sebuah bangunan, jika dasar tersebut rusak maka hancurlah bangunan tersebut. Begitu pula dengan
shalat, jika seorang mukmin mampu menjalankan shalat dengan khusyu’ dan istiqomah InsyaAllah akan
memiliki dasar yang kuat dalam kehidupan sehari hari, ia akan hidup sesuai syariat islam, dalam petunjuk
Allah, dan jalan yang lurus.

2. Amalan yang Pertama Kali Dihisab

Di hari kiamat nanti ketika semua makhluk dihitung amal nya, yang pertama kali dilihat adalah shalatnya,
jika shalatnya baik maka keseluruhan dari amal perbuatannya dianggap baik, sebab itu hendaklah
senantiasa menjalankan shalat wajib 5 waktu agar memiliki bekal utuk kehidupan akherat kelak, hal ini
dijelaskan secara nyataa dalam sebuah hadist, dariAbu Hurairah Rasulullah bersabda “amal hamba yang
pertama kali dihisab pada hari kiamat adalah shalatnya, apabila shalatnya baik maka dia akan mendapat
keberuntungan dan keselamatan. Apabila shalatnya rusak, dia akan menyesal dan merugi”.

3. Rukun Islam Kedua

Sebagaimana kita ketahui bahwa rukun islam yang pertama adalah membaca syahadat, yang kedua
adalah shalat seperti hadist berikut : “…rukun islam kedua yaitu mendirikan shalat…”. (HR Bukhari : 8),
jika shalat tidak dijalankan sama saja tidak menjadi umat mukmin yang sempurna sebab tidak
menjalankan kewajiban dasar (rukun) islam.

4. Diwajibkan Langsung Tanpa Perantara

Allah memberi wahyu pada nabi Muhammad SAW untuk menyampaikan perintah kepada segenap umat
muslim bahwa shalat adalah kewajiban, Allah menyampaikan perintah tersebut secara langsung kepada
Rasululllah ketika Isra’ dan Mi’raj tanpa perantara malaikat Jibril. Hal itu menunjukkan pentingnya ibadah
shalat dimana Allah langsung yang menyampaikan perintah tersebut.

5. Ciri Orang Bertaqwa

Shalat merupakan kewajiban merata bagi umat muslim, setiap manusia diperintahkan untuk
menyampaikan dan senantiasa saling mengingatkan untuk menjalankannya, dalam keluarga misalnya,
seorang suami bertanggung jawab atas ibadah shalat istri dan anak anak nya kelak, wajib bagi nya untuk
memastikan keluarga nya menjalankan ibadah shalat sebagai wujud dan cara meningkatkan iman dan
taqwa kepada Allah seperti firman Nya berikut, “dan perintahkanlah kepada keluargamu untuk
mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Dan akibat yang baik itu adalah bagi
orang yang bertaqwa”. (QS Thaha : 132).

6. Diperingan Oleh Allah

Awalnya Allah mewajibkan shalat sebanyak 50 rakaat dalam sehari, ini menunjukkan bahwa Allah amat
menyukai ibadah shalat. Kemudian Allah memberi keringanan dengan menurunkan menjadi shalat 5
waktu dalam sehari semalam, tetapi shalat tersebut tetap dihitung sebanyak pahala 50 shalat, ini
menunjukkan betapa mulianya kedudukan shalat di sisi Allah. Shalat 5 waktu tidaklah membutuhkan
waktu yang lama, hendaknya kita senantiasa bisa menjalankannya tepat waktu sebab Allah senantiasa
mengingat hamba yang mengingat Nya pula.

7. Dipuji Oleh Allah

“dan ia menyuruh keluarganya untuk shalat dan menunaikan zakat, ia adalah orang yang di ridhai di sisi
Rabb Nya”. (QS Maryam : 55). Allah menyukai orang yang teguh dalam menjalankan shalat, shalat sama
halnya dengan berdoa dimana semua bacaan di dalamnya adalah memohon perlindungan dan kebaikan
kepada Allah, Allah akan memberi ridha pada setiap urusannya.

8. Terhindar Dari Sesat

Iblis senang melihat manusia dalam kondisi sesat, sebagai umat muslim tidak selayaknya terpengaruh
oleh tipu daya iblis, umat muslim wajib memiliki landasan keimanan kuat yang tidak mudah lengah oleh
godaan, dengan shalat, seseorang akan dilindungi dari bisikan syetan dan terhindar dari jalan yang sesat,
orang yang tidak menjalankan shalat akan hidup dalam kebimbangan karena jauh dari petunjuk Nya,
Allah menjelaskan dalam firman Nya “maka datanglah sesudah mereka pengganti orang yang menyia
nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsu mereka, maka mereka kelak akan menemui kesesatan”.
(QS Maryam : 59).

9. Wasiat Rasulullah

Rasulullah dalam setiap kesempatan senantiasa mengingatkan umat nya untuk istiqomah menjalankan
shalat dengan menyampaikan pesan : “jagalah shalat kalian”. (HR Ahmad 6/290). Menjaga artinya selalu
melaksanakan, dalam kondisi sehat atau sakit, muda atau tua, di rumah atau dalam kondisi bepergian,
bahkan dalam kondisi perang pun shalat tetap wajib dijalankan.
10. Perkara yang Terakhir Hilang

Jika shalat telah hilang, maka hilang pula agama secara keseluruhan. “Tali islam akan putus seutas demi
seutas, setiap kali terputus manusia bergantung pada tali berikutnya. Yang paling awal terputus adalah
hukumnya, dan yang paling terakhir adalah shalat”. (HR Ahmad 5/251).

Penjelaan dari hadis tersebut ialah, ketika seeorang muslim terputs dari hukum islam, ia masih disebut
sebagai umat islam, tetapi ketika ia putus shalat, maka putuslah agamanya atau disebut dengan kafir.
Seseorang yang mengaku beragama muslim tetapi tidak menjalankan shalat maka tidak dianggap sebagai
umat islam.

11. Kewajiban Sejak Anak Anak

“Perintahkan anak anak kalian untuk mengerjakan shalat ketika mereka berumur 7 tahun. Pukul mereka
jika mereka berumur 10 tahun dan tidak mau menjalankan shalat”. (HR Abu Daud 495). Hadist di atas
menegaskan bahwa shalat harus dibiasakan sejak kecil, hal ini merupakan kewajiban orang tua, ketika
anak masih kecil wajib diajarkan dan diberi teladan untuk menjalankan shalat 5 waktu agar ketika
dewasa nantinya dia menjalankan dengan istiqomah dan memiliki dasar iman yang kuat. Selain itu
kewajiban muslim terhadap muslim lainnya adalah saling mengingatkan dalam hal kebaikan.

12. Tidak Bisa Digantikan

Terkadang manusia dalam kondisi lalai, misalnya dalam kondisi sangat lelah dan tertidur hingga bangun
melewati waktu subuh dan lupa menjalankan shalat subuh, maka dia tetap wajib mengganti shalat
tersebut langsung ketika dia ingat jam berapapun dia bangun, hal ini wajib seperti dalam hadist berikut
“Barang siapa yang lupa shalat atau tertidur, maka tebebusannya ialah shalat ketika ia ingat”. (HR Muslim
no 684). Allah maha pengampun, tentunya dalam kondisi yang tidak disengaja Allah memberi
keringanan, tetapi hal tersebut tidak selayaknya menjadi kebiasaan, umat muslim harus menjalankan
shalat wajib tepat waktu sebab sudah menjadi kewajiban. Sesuatu yang rutin dilaksanakan tentu akan
terasa kurang atau mengganjal jika tidak dilakukan.

13. Dalam Keadaan Apapun


“Jika kau takut ada bahaya maka shalatlah sambil berjalan kaki atau berkendaraan”. (QS Al Baqarah 238).
Shalat tetap wajib dijalankan walaupun berada dalam perjalanan atau situasi yang tidak aman, boleh
dilakukan dengan cara cara yang dijelaskan syariat islam seperti hadist di atas yaitu dijalanan dengan
berjalan kaki atau berkendara jika kondisi tidak memungkinkan untuk berhenti. Tentu akan memiliki
kedudukan yang mulia di sisi Allah arena mampu menjalankan perintah Nya dengan istiqomah.

14. Mendapat Pertolongan Allah

“Mintalah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan shalat”. (Al Baqarah : 153). Manusia senantiasa
diuji Allah baik dengan kesenangan atau kedukaan, dengan ujian tersebut akan dinilai oleh Allah siapa
hamba Nya yang memiliki amal terbaik, apapun yang kita alami baik dalam kondisi lapang atau sempit,
shalat tetaplah menjadi kewajiban utama, ketika dalam kondisi lapang kita wajib shalat sebagai bentuk
syukur kepada Allah, ketika kondisi sempit pun kita wajib shalat agar Allah memberikan ketenangan dan
pertolongan. Orang yang mengingat Allah ketika senang akan diingat dan diberi petunjuk pula oleh Allah
ketika dalam kondisi sempit.

15. Penyebab Masuk Neraka Jika Ditinggalkan

Hidup di dunia hanyalah sementara untuk mencari bekal hidup di akherat yang pasti berjalan selama
lamanya, begitu banyak diriwayatkan dalam Al Qur’an orang orang yang menyesal tidak menjalankan
shalat ketika di dunia dan memohon agar dikembalikan ke dunia agar bisa memperbaiki amal
perbuatannya, tentu tidak akan mungkin sebab ketika manusia telah kehilangan nyawa maka kehilangan
kesempatan untuk beribadah.

Sebab itu kita yang masih diberi kesempatan wajib dipergunakan sebaik mungkin untuk beribadah
sebanyak banyaknya dengan beriman kepada Allah, ada pepatah yang mengatakan “shalatlah sebelum
dishalati”, yang menjelaskan bahwa kita wajib menjalankan shalat sebelum kita di shalati ketika
meninggal dunia nanti, tentu setiap umat tidak ingin masuk neraka seperti cerita dalam ayat Al Qur’an
berikut “Apa yang menyebabkan kamu masuk ke dalam neraka saqar? Mereka menjawab dahulu kami
tidak termasuk orang yang mengerjakan shalat’. (QS Al Muddatstsir : 42-43). Sebab itu bersyukurlah
masih diberi kesempatan.
Demikian artikel kali ini, semoga menambah kecintaan anda untuk menjalankan ibadah shalat dengan
istiqomah. Terima kasih dan semoga bermanfaat ya sobat. Salam hangat dari penulis.

B. HUKUM MENINGGALKAN SHALAT

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Para pembaca yang semoga selalu dirahmati oleh Allah Ta’ala. Kita semua pasti tahu bahwa shalat adalah
perkara yang amat penting. Bahkan shalat termasuk salah satu rukun Islam yang utama yang bisa
membuat bangunan Islam tegak. Namun, realita yang ada di tengah umat ini sungguh sangat berbeda.
Kalau kita melirik sekeliling kita, ada saja orang yang dalam KTP-nya mengaku Islam, namun biasa
meninggalkan rukun Islam yang satu ini. Mungkin di antara mereka, ada yang hanya melaksanakan shalat
sekali sehari, itu pun kalau ingat. Mungkin ada pula yang hanya melaksanakan shalat sekali dalam
seminggu yaitu shalat Jum’at. Yang lebih parah lagi, tidak sedikit yang hanya ingat dan melaksanakan
shalat dalam setahun dua kali yaitu ketika Idul Fithri dan Idul Adha saja.

Memang sungguh prihatin dengan kondisi umat saat ini. Banyak yang mengaku Islam di KTP, namun
kelakuannya semacam ini. Oleh karena itu, pada tulisan yang singkat ini kami akan mengangkat
pembahasan mengenai hukum meninggalkan shalat. Semoga Allah memudahkannya dan memberi taufik
kepada setiap orang yang membaca tulisan ini.

Para Ulama Sepakat Bahwa Meninggalkan Shalat Termasuk Dosa Besar yang Lebih Besar dari Dosa Besar
Lainnya

Ibnu Qayyim Al Jauziyah –rahimahullah– mengatakan, ”Kaum muslimin bersepakat bahwa meninggalkan
shalat lima waktu dengan sengaja adalah dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa
membunuh, merampas harta orang lain, berzina, mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang
meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia
dan akhirat.” (Ash Sholah, hal. 7)

Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Al Kaba’ir, Ibnu Hazm –rahimahullah– berkata, “Tidak ada dosa setelah
kejelekan yang paling besar daripada dosa meninggalkan shalat hingga keluar waktunya dan membunuh
seorang mukmin tanpa alasan yang bisa dibenarkan.” (Al Kaba’ir, hal. 25)
Adz Dzahabi –rahimahullah– juga mengatakan, “Orang yang mengakhirkan shalat hingga keluar
waktunya termasuk pelaku dosa besar. Dan yang meninggalkan shalat secara keseluruhan -yaitu satu
shalat saja- dianggap seperti orang yang berzina dan mencuri. Karena meninggalkan shalat atau luput
darinya termasuk dosa besar. Oleh karena itu, orang yang meninggalkannya sampai berkali-kali termasuk
pelaku dosa besar sampai dia bertaubat. Sesungguhnya orang yang meninggalkan shalat termasuk orang
yang merugi, celaka dan termasuk orang mujrim (yang berbuat dosa).” (Al Kaba’ir, hal. 26-27)

Apakah Orang yang Meninggalkan Shalat Kafir Alias Bukan Muslim?

Dalam point sebelumnya telah dijelaskan, para ulama bersepakat bahwa meninggalkan shalat termasuk
dosa besar bahkan lebih besar dari dosa berzina dan mencuri. Mereka tidak berselisih pendapat dalam
masalah ini. Namun, yang menjadi masalah selanjutnya, apakah orang yang meninggalkan shalat masih
muslim ataukah telah kafir?

Asy Syaukani –rahimahullah– mengatakan bahwa tidak ada beda pendapat di antara kaum muslimin
tentang kafirnya orang yang meninggalkan shalat karena mengingkari kewajibannya. Namun apabila
meninggalkan shalat karena malas dan tetap meyakini shalat lima waktu itu wajib -sebagaimana kondisi
sebagian besar kaum muslimin saat ini-, maka dalam hal ini ada perbedaan pendapat (Lihat Nailul
Author, 1/369).

Mengenai meninggalkan shalat karena malas-malasan dan tetap meyakini shalat itu wajib, ada tiga
pendapat di antara para ulama mengenai hal ini.

Pendapat pertama mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat harus dibunuh karena dianggap
telah murtad (keluar dari Islam). Pendapat ini adalah pendapat Imam Ahmad, Sa’id bin Jubair, ‘Amir Asy
Sya’bi, Ibrohim An Nakho’i, Abu ‘Amr, Al Auza’i, Ayyub As Sakhtiyani, ‘Abdullah bin Al Mubarrok, Ishaq
bin Rohuwyah, ‘Abdul Malik bin Habib (ulama Malikiyyah), pendapat sebagian ulama Syafi’iyah,
pendapat Imam Syafi’i (sebagaimana dikatakan oleh Ath Thohawiy), pendapat Umar bin Al Khothob
(sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hazm), Mu’adz bin Jabal, ‘Abdurrahman bin ‘Auf, Abu Hurairah, dan
sahabat lainnya.
Pendapat kedua mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat dibunuh dengan hukuman had,
namun tidak dihukumi kafir. Inilah pendapat Malik, Syafi’i, dan salah salah satu pendapat Imam Ahmad.

Pendapat ketiga mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat karena malas-malasan adalah fasiq
(telah berbuat dosa besar) dan dia harus dipenjara sampai dia mau menunaikan shalat. Inilah pendapat
Hanafiyyah. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 22/186-187)

Jadi, intinya ada perbedaan pendapat dalam masalah ini di antara para ulama termasuk pula ulama
madzhab. Bagaimana hukum meninggalkan shalat menurut Al Qur’an dan As Sunnah? Silakan simak
pembahasan selanjutnya.

Pembicaraan Orang yang Meninggalkan Shalat dalam Al Qur’an

Banyak ayat yang membicarakan hal ini dalam Al Qur’an, namun yang kami bawakan adalah dua ayat
saja.

Allah Ta’ala berfirman,

“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan
memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui al ghoyya, kecuali orang yang
bertaubat, beriman dan beramal saleh.” (QS. Maryam : 59-60)

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma mengatakan bahwa ‘ghoyya’ dalam ayat tersebut adalah sungai di
Jahannam yang makanannya sangat menjijikkan, yang tempatnya sangat dalam. (Ash Sholah, hal. 31)

Dalam ayat ini, Allah menjadikan tempat ini –yaitu sungai di Jahannam- sebagai tempat bagi orang yang
menyiakan shalat dan mengikuti syahwat (hawa nafsu). Seandainya orang yang meninggalkan shalat
adalah orang yang hanya bermaksiat biasa, tentu dia akan berada di neraka paling atas, sebagaimana
tempat orang muslim yang berdosa. Tempat ini (ghoyya) yang merupakan bagian neraka paling bawah,
bukanlah tempat orang muslim, namun tempat orang-orang kafir.
Pada ayat selanjutnya juga, Allah telah mengatakan,

”kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh”. Maka seandainya orang yang menyiakan
shalat adalah mu’min, tentu dia tidak dimintai taubat untuk beriman.

Dalam ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman,

“Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-
saudaramu seagama.” (QS. At Taubah [9] : 11). Dalam ayat ini, Allah Ta’ala mengaitkan persaudaraan
seiman dengan mengerjakan shalat. Berarti jika shalat tidak dikerjakan, bukanlah saudara seiman.
Konsekuensinya orang yang meninggalkan shalat bukanlah mukmin karena orang mukmin itu bersaudara
sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara.” (QS. Al Hujurat [49] : 10)

Pembicaraan Orang yang Meninggalkan Shalat dalam Hadits

Terdapat beberapa hadits yang membicarakan masalah ini.

Dari Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“(Pembatas) antara seorang muslim dan kesyirikan serta kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (HR.
Muslim no. 257).

Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu -bekas budak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-, beliau mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Pemisah antara seorang hamba dengan kekufuran dan keimanan adalah shalat. Apabila dia
meninggalkannya, maka dia melakukan kesyirikan.” (HR. Ath Thobariy dengan sanad shohih. Syaikh Al
Albani mengatakan hadits ini shohih. Lihat Shohih At Targib wa At Tarhib no. 566).
Diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

”Inti (pokok) segala perkara adalah Islam dan tiangnya (penopangnya) adalah shalat.” (HR. Tirmidzi no.
2825. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan At Tirmidzi). Dalam hadits
ini, dikatakan bahwa shalat dalam agama Islam ini adalah seperti penopang (tiang) yang menegakkan
kemah. Kemah tersebut bisa roboh (ambruk) dengan patahnya tiangnya. Begitu juga dengan Islam, bisa
ambruk dengan hilangnya shalat.

Para Sahabat Berijma’ (Bersepakat), Meninggalkan Shalat adalah Kafir

Umar mengatakan,

”Tidaklah disebut muslim bagi orang yang meninggalkan shalat.”

Dari jalan yang lain, Umar berkata,

“Tidak ada bagian dalam Islam bagi orang yang meninggalkan shalat.” (Dikeluarkan oleh Malik. Begitu
juga diriwayatkan oleh Sa’ad di Ath Thobaqot, Ibnu Abi Syaibah dalam Al Iman. Diriwayatkan pula oleh
Ad Daruquthniy dalam sunannya, juga Ibnu ’Asakir. Hadits ini shohih, sebagaimana dikatakan oleh Syaikh
Al Albani dalam Irwa’ul Gholil no. 209). Saat Umar mengatakan perkataan di atas tatkala menjelang
sakratul maut, tidak ada satu orang sahabat pun yang mengingkarinya. Oleh karena itu, hukum bahwa
meninggalkan shalat adalah kafir termasuk ijma’ (kesepakatan) sahabat sebagaimana yang dikatakan
oleh Ibnul Qoyyim dalam kitab Ash Sholah.

Mayoritas sahabat Nabi menganggap bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja adalah
kafir sebagaimana dikatakan oleh seorang tabi’in, Abdullah bin Syaqiq. Beliau mengatakan,

“Dulu para shahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah pernah menganggap suatu amal
yang apabila ditinggalkan menyebabkan kafir kecuali shalat.” Perkataan ini diriwayatkan oleh At Tirmidzi
dari Abdullah bin Syaqiq Al ‘Aqliy seorang tabi’in dan Hakim mengatakan bahwa hadits ini bersambung
dengan menyebut Abu Hurairah di dalamnya. Dan sanad (periwayat) hadits ini adalah shohih. (Lihat Ats
Tsamar Al Mustathob fi Fiqhis Sunnah wal Kitab, hal. 52)

Dari pembahasan terakhir ini terlihat bahwasanya Al Qur’an, hadits dan perkataan sahabat bahkan ini
adalah ijma’ (kesepakatan) mereka menyatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja
adalah kafir (keluar dari Islam). Itulah pendapat yang terkuat dari pendapat para ulama yang ada.

Ibnul Qayyim mengatakan, ”Tidakkah seseorang itu malu dengan mengingkari pendapat bahwa orang
yang meninggalkan shalat adalah kafir, padahal hal ini telah dipersaksikan oleh Al Kitab (Al Qur’an), As
Sunnah dan kesepakatan sahabat. Wallahul Muwaffiq (Hanya Allah-lah yang dapat memberi taufik).”
(Ash Sholah, hal. 56)

C. Salat lima waktu merupakan salah satu dari lima Rukun Islam. Allah menurunkan perintah salat lima
waktu ini ketika peristiwa Isra' Mi'raj. Salat lima waktu tersebut adalah sebagai berikut:[1]

Subuh, terdiri dari 2 rakaat. Waktu Shubuh diawali dari munculnya fajar shaddiq, yakni cahaya putih yang
melintang di ufuk timur. Waktu shubuh berakhir ketika terbitnya matahari.

Zuhur, terdiri dari 4 rakaat. Waktu Zhuhur diawali jika matahari telah tergelincir (condong) ke arah barat,
dan berakhir ketika masuk waktu Ashar.

Asar, terdiri dari 4 rakaat. Waktu Ashar diawali jika panjang bayang-bayang benda melebihi panjang
benda itu sendiri. Khusus untuk madzab Imam Hanafi, waktu Ahsar dimulai jika panjang bayang-bayang
benda dua kali melebihi panjang benda itu sendiri. Waktu Asar berakhir dengan terbenamnya matahari.

Magrib, terdiri dari 3 rakaat. Waktu Magrib diawali dengan terbenamnya matahari, dan berakhir dengan
masuknya waktu Isya.

Isya, terdiri dari 4 rakaat. Waktu Isya diawali dengan hilangnya cahaya merah (syafaq) di langit barat, dan
berakhir hingga terbitnya fajar shaddiq keesokan harinya. Menurut Imam Syi'ah, Salat Isya boleh
dilakukan setelah mengerjakan Salat Magrib.

Khusus pada hari Jumat, laki-laki muslim wajib melaksanakan salat Jumat di masjid secara berjamaah
(bersama-sama) sebagai pengganti Salat Zhuhur. Salat Jumat tidak wajib dilakukan oleh perempuan, atau
bagi mereka yang sedang dalam perjalanan (musafir).

D. Hadits tentang waktu solat


Hadits No. 163

Dari Abdullah Ibnu Amr Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
“Waktu Dhuhur ialah jika matahari telah condong (ke barat) dan bayangan seseorang sama dengan
tingginya selama waktu Ashar belum tiba waktu Ashar masuk selama matahari belum menguning waktu
shalat Maghrib selama awan merah belum menghilang waktu shalat Isya hingga tengah malam dan
waktu shalat Shubuh semenjak terbitnya fajar hingga matahari belum terbit.” Riwayat Muslim.

‫س َوَكاََن دظظل اَلَاراجدل َك ا‬


ََ َ‫طوُلَدده َما‬ ‫ت َالَاشنم ا‬ ‫ظنهدر إدَذا َزالََ ن‬ ‫ت َالَ ظ‬ ‫َ ) َونق ا‬:‫اد صلى ا عليه وسلم َقاََل‬ ‫ي َا‬‫اا َعننهاَماَ; أَان نَبد ا‬‫ضَي َ ا‬‫اد نبدن َعنمدروو َر د‬ ‫َعنن َعنبدد َ ا‬
َ ‫ن‬ ‫ا‬
‫ف َالَلنيدل اَلنوَسدط‬
‫ص د‬ ‫ن‬
‫صَلدة اَلَدعَشاَدء إدَلَى ند ن‬ َ ‫ت‬ ‫ن‬
‫ق َوَوق ا‬ ‫ب َالَاشفَ ا‬ ‫ب َماَ لََنم يَدغ ن‬ ‫ن‬
‫صَلدة اَلََمنغدر د‬ ‫ن‬ ‫صفَار َالَاشنم ا‬
‫س َوَوق ا‬
َ ‫ت‬ ‫صدر َماَ لََنم تَ ن‬ ‫ن‬
‫ت اَلََع ن‬ ‫ن‬ ‫ن‬
‫ضنر اَلََع ن‬
‫صار َوَوق ا‬ ‫لََنم يَنح ا‬
‫ن‬
‫س(ُ َرَواها امسلدمم‬ ‫ا‬ َ ‫ن‬ ‫ا‬ ‫ن‬ َ َ ‫ن‬ َ ‫ن‬ َ
‫ح دمن طلوُعد الَفجدر َماَ لَنم تطلع الَشنم ا‬ ‫ا‬ ‫ا‬ ‫ن‬ ‫ن‬ َ َ ‫ا‬ ‫ن‬
‫صب د‬ ‫صلدة الَ ظ‬ َ ‫َوَوقت‬

Hadits No. 164

Menurut riwayat Muslim dari hadits Buraidah tentang waktu shalat Ashar. “Dan matahari masih putih
bersih.”

ََُ( ‫ضاَاء نَقدياةم‬ ‫ث باَرنيَدةَ دفي اَنلََع ن‬


‫َ ) َوالَاشنم ا‬:‫صدر‬
َ ‫س بَني‬ ‫َولََها دمنن َحددي د‬

Hadits No. 165

Dari hadits Abu Musa: “Dan matahari masih tinggi.”

‫َ ) َوالَاشنم ا‬:‫ث أَدبي اموَُسى‬


ََُ( ‫س امنرتَفدَعةم‬ ‫َودمنن َحددي د‬

Hadits No. 166

Abu Barzah al-Aslamy Radliyallaahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam pernah
setelah usai shalat Ashar kemudian salah seorang di antara kami pulang ke rumahnya di ujung kota
Madinah sedang matahari saat itu masih panas. Beliau biasanya suka mengakhirkan shalat Isya’ tidak
suka tidur sebelumnya dan bercakap-cakap setelahnya. Beliau juga suka melakukan shalat Shubuh di saat
seseorang masih dapat mengenal orang yang duduk disampingnya beliau biasanya membaca 60 hingga
100 ayat. Muttafaq Alaihi.

ََ ‫س‬ ‫صى اَنلََمددينَدة َوالَاشنم ا‬ َ ‫صَر ثاام يَنردجاع أََحادَناَ إدَلَى َرنحلدده دفي أَنق‬ ‫صليَي اَنلََع ن‬َ ‫اد صلى ا عليه وسلم يا‬ ‫َ ) َكاََن َراسوُال َ ا‬:‫َوَعنن أَدبي بَنرَزةَ انلَنسلَدميي َقاََل‬
‫ف َالَاراجال َجدليَسها‬ ‫ن‬
‫صَلدة اَلََغَدادة دحيَن يَنعدر ا‬ َ ‫ث بَنعَدَهاَ َوَكاََن يَننفَتدال دمنن‬ َ ‫ب أَنن ياَؤيخَر دمنن اَنلَدعَشاَدء َوَكاََن يَكَرها َالَنانوَُم قَنبلََهاَ َوالََحددي‬
‫ن‬ ‫ن‬ ‫َحياةم َوَكاََن يَنستَدح ظ‬
‫ق َعلَنيده‬‫َويَنقَرأا دباَلَيسيتيَن إدَلَى اَنلَدماَئَدة (ُ امتافَ م‬

Hadits No. 167

Menurut hadits Bukhari-Muslim dari Jabir: Adakalanya beliau melakukan shalat Isya’ pada awal
waktunya dan adakalanya beliau melakukannya pada akhir waktunya. Jika melihat mereka telah
berkumpul beliau segera melakukannya dan jika melihat mereka terlambat beliau mengakhirkannya
sedang mengenai shalat Shubuh biasanya Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam menunaikannya pada saat
masih gelap.

E. “Hai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak mendirikan Shalat maka basuhlah wajahmu
dan kedua tanganmu hingga siku, dan usaplah kepalamu, dan basuhlah kedua kakimu sampai mata kaki.
Dan jika kamu dalam keadaan junub maka bersucilah kamu, tetapi jika kamu sakit atau waktu bepergian,
atau salah seorang dari kamu kembali dari buang hajat, atau kamu telah menyentuh perempuan dan
kamu tidak mendapati air, maka bertayamumlah dengan debu yang suci dan usaplah wajahmu dan
kedua tanganmu itu, Allah tidak berkehendak menjadikan kesukaran atasmu, akan tetapi ia berkehendak
mensucikan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya atasmu supaya kamu bersyukur.” (Q.S. Al-
Maidah:7)

Menjaga kesucian merupakan sebuah akhlak yang perlu dijunjung secara sadar. Allah, sebagaimana yang
disampaikan pada penggalan ayat diatas, memerintahkan manusia agar menjaga kesucian diri dan
lingkungan.

Islam identik dengan kesucian. Hal ini semakin diperkuat dengan sabda Rasulullah SAW, “Sesungguhnya
Allah itu indah, dan mencintai keindahan.” (HR. Muslim, No. 91). Senada dengan itu, Rasullulah SAW juga
bersabda, “Kesucian adalah sebagian dari iman.” (HR. Muslim, No. 223). Rasulullah SAW sendiri
merupakan contoh terbaik yang paling perhatian terhadap kesucian, baik kesucian anggota badan
maupun kesucian lingkungan. Pada petikan Surah Al-Maidah: 7, Allah SWT memerintahkan hamba-Nya
untuk bersuci sebelum menghadap-Nya. Karena umat Islam wajib melaksanakan Shalat 5 kali sehari,
sudah tentu pula mereka harus bersuci sebanyak 5 kali sehari.

Adalah suatu pemikiran yang keliru apabila mengira bahwa perintah bersuci hanya berlaku sebelum
Shalat. Kebiasaan untuk bersuci sebaiknya tidak hanya dilakukan ketika sebelum beribadah, melainkan
juga pada saat ingin bertemu dengan seseorang dengan membersihkan diri dan berpakaian rapi. Ketika
tubuh jasmani manusia bersih dan terbebas dari berbagai kotoran, tubuh rohani mereka juga akan
merasakan ketenangan dan kenyamanan. Karenanya, mensucikan diri, yaitu berwudhu dan atau mandi,
merupakan tanda kesiapan manusia dalam beribadah. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW yang
berbunyi,

“Kalian akan mendatangi saudara-saudara kalian. Karenanya perbaikilah kendaraan kalian, dan pakailah
pakaian yang bagus sehingga kalian menjadi seperti tahi lalat (yang indah) di tengah-tengah umat
manusia. Sesungguhnya Allah tidak menyukai sesuatu yang buruk.” (HR. Abu Dawud dan Hakim).
Agama Islam menganjurkan air sebagai media untuk bersuci. Kotoran pada tubuh akan menghilang
dengan sempurna jika memakai air. Air yang dari atas dan yang keluar dari bumi boleh dipergunakan
karena sifatnya suci dan mensucikan. Adapun beberapa jenis air dimaksud adalah air hujan[1], air salju
dan embun[2], air sumber mata air[3], air laut[4], dan air zam-zam[5]. Namun, bukan Islam namanya jika
memberatkan. Jika dalam suatu keadaan tertentu, air tidak dapat ditemukan, atau dalam kondisi yang
tidak memungkinkan seseorang untuk terkena air, maka seorang muslim diperbolehkan bertayamum
dengan tanah. Dengan demikian, tidak ada bagi seseorang penghalang untuk bersuci.

Selain kebersihan diri, kesucian tempat Shalat pun harus dijaga. Rasulullah SAW memberikan teladan
yang sangat luar biasa kepada umatnya agar selalu menjaga kebersihan dan kesucian tempat Ibadah.
Salah satu yang utama ialah anjuran untuk melepas alas kaki saat masuk mesjid. Karena mengandung
banyak kotoran yang kasat mata dan yang tidak, alas kaki akan mengotori kebersihan dan kekudusan
Mesjid.

Tidak hanya Muslim, umat Yahudi dan Nasrani juga dianjurkan untuk menjaga kesucian diri dan tempat
ibadah. Dalam Alkitab, khususnya pada kitab Keluaran, terdapat beberapa himbauan untuk bersuci.
Sebagai contoh, pada kitab Keluaran 3: 5, Allah SAW berfirman, “Janganlah datang dekat-dekat:
tanggalkanlah kasutmu dari kakimu, sebab tempat, dimana engkau berdiri itu, adalah tanah yang
kudus.”. Lalu pada kitab Keluaran 40: 31, dikatakan bahwa, “Musa dan Harun serta anak-anaknya
membasuh tangan dan kaki mereka dengan air dari dalamnya”. Kemudian, pada kitab dan pasal yang
sama ayat 32, disampaikan bahwa, “Apabila mereka masuk ke dalam Kemah Pertemuan dan apabila
mereka mendekat kepada mezbah itu, maka mereka membasuh kaki dan tangan – seperti yang
diperintahkan Tuhan kepada Musa.”. Terakhir, pada kitab Yosua 5: 15, tertulis, “Dan panglima Balatentara
TUHAN itu berkata pada Yosua: “Tanggalkanlah kasutmu dari kakimu, sebab tempat engkau berdiri itu
kudus.” Dan Yosua berbuat demikian.”. Beberapa kutipan kitab diatas menunjukkan bahwa anjuran untuk
menjaga kesucian tempat yang kudus dan kebersihan diri juga disampaikan kepada umat nabi Musa dan
Isa.

Tempat ibadah merupakan tempat yang suci, dimana kebersihan dan kesucianya harus tetap terjaga.
Kebersihan anggota badan dan kebersihan tempat ibadah merupakan kunci kenyamanan dan
ketenangan dalam beribadah. Untuk menemukan kelezatan dalam shalat, keadaan lingkungan dan diri
haruslah bersih dan nyaman. Beruntunglah bagi umat Islam yang senantiasa mengamalkan perintah
Tuhan dan mengikuti sunah Rasulullah SAW, terutama yang senantiasa menjaga kesucian diri dan tempat
ibadah. Alhamdulillah.

—-
[1] (Ingatlah), ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu penenteraman daripada-Nya, dan
Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu dan
menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan syaitan dan untuk menguatkan hatimu dan
mesmperteguh dengannya telapak kaki(mu) (QS. Al-Anfal : 11)

[2] Sesuai dengan sabda Rasulullah SAW, “Ya Allah, bersihkanlah dosa-dosaku dengan air, salju dan
embun” (HR.Bukhari, no: 744 dan Muslim, no: 598)

[3] “Apakah kamu tidak memperhatikan, bahwa sesungguhnya Allah menurunkan air dari langit, maka
diaturnya menjadi sumber-sumber air di bumi…”. (QS. Az-zumar : 21).

[4] “Laut itu airnya suci dapat mensucikan dan halal bangkainya.” (HR. Abu Dawud no. 76 dan At-Tirmidzi
no. 69)

[5] “Rosulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam meminta setimba dari air zam-zam, kemudian beliau minum
dan berwudhu”. (Zawaid musnad, 1/76).

F. Yang dimaksud dengan rukun shalat adalah setiap perkataan atau perbuatan yang akan membentuk
hakikat shalat. Jika salah satu rukun ini tidak ada, maka shalat pun tidak teranggap secara syar’i dan juga
tidak bisa diganti dengan sujud sahwi.

Meninggalkan rukun shalat ada dua bentuk.

Pertama: Meninggalkannya dengan sengaja. Dalam kondisi seperti ini shalatnya batal dan tidak sah
dengan kesepakatan para ulama.

Kedua: Meninggalkannya karena lupa atau tidak tahu. Di sini ada tiga rincian,

Jika mampu untuk mendapati rukun tersebut lagi, maka wajib untuk melakukannya kembali. Hal ini
berdasarkan kesepakatan para ulama.

Jika tidak mampu mendapatinya lagi, maka shalatnya batal menurut ulama-ulama Hanafiyah. Sedangkan
jumhur ulama (mayoritas ulama) berpendapat bahwa raka’at yang ketinggalan rukun tadi menjadi hilang.
Jika yang ditinggalkan adalah takbiratul ihram, maka shalatnya harus diulangi dari awal lagi karena ia
tidak memasuki shalat dengan benar.

Rukun pertama: Berdiri bagi yang mampu

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ فَإ دنن لََنم تَنستَدطنع فََعَلى َجنن و‬، ‫ فَإ دنن لََنم تَنستَدطنع فََقاَدعمدا‬، َ‫صيل َقاَئدمما‬
‫ب‬ َ

“Shalatlah dalam keadaan berdiri. Jika tidak mampu, kerjakanlah dalam keadaan duduk. Jika tidak
mampu lagi, maka kerjakanlah dengan tidur menyamping.”[1]

Rukun kedua: Takbiratul ihram

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫صلَدة الَ ظ‬
‫طاهوُار َوتَنحدريامَهاَ الَتانكدبيار َوتَنحدليلاَهاَ الَتانسدليام‬ ‫دمنفَتاَاح الَ ا‬

“Pembuka shalat adalah thoharoh (bersuci). Yang mengharamkan dari hal-hal di luar shalat adalah
ucapan takbir. Sedangkan yang menghalalkannya kembali adalah ucapan salam. ”[2]

Yang dimaksud dengan rukun shalat adalah ucapan takbir “Allahu Akbar”. Ucapan takbir ini tidak bisa
digantikan dengan ucapakan selainnya walaupun semakna.

Rukun ketiga: Membaca Al Fatihah di Setiap Raka’at

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫صلَةَ لَدَمنن لََنم يَنقَرنأ بدَفاَتدَحدة انلَدكَتاَ د‬


‫ب‬ َ َ‫ل‬

“Tidak ada shalat (artinya tidak sah) orang yang tidak membaca Al Fatihah.”[3]
Rukun keempat dan kelima: Ruku’ dan thuma’ninah

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan pada orang yang jelek shalatnya (sampai ia disuruh
mengulangi shalatnya beberapa kali karena tidak memenuhi rukun),

‫ثاام انرَكنع َحاتى تَ ن‬


َ‫طَمئدان َرادكمعا‬

“Kemudian ruku’lah dan thuma’ninahlah ketika ruku’.”[4]

Keadaan minimal dalam ruku’ adalah membungkukkan badan dan tangan berada di lutut.

Sedangkan yang dimaksudkan thuma’ninah adalah keadaan tenang di mana setiap persendian juga ikut
tenang. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan pada orang yang jelek
shalatnya sehingga ia pun disuruh untuk mengulangi shalatnya, beliau bersabda,

‫صلاها َوتَنستَنردخَى‬ ‫ضاع َكفانيده َعَلى ارنكبَتَنيده َحاتى تَ ن‬


‫طَمئدان َمَفاَ د‬ َ َ‫صلَةا أََحدداكنم َحاتى يانسبدَغ … ثاام ياَكبيار فَيَنرَكاع فَي‬
َ ‫لَ تَتدظم‬

“Shalat tidaklah sempurna sampai salah seorang di antara kalian menyempurnakan wudhu, … kemudian
bertakbir, lalu melakukan ruku’ dengan meletakkan telapak tangan di lutut sampai persendian yang ada
dalam keadaan thuma’ninah dan tenang.”[5]

Ada pula ulama yang mengatakan bahwa thuma’ninah adalah sekadar membaca dzikir yang wajib dalam
ruku’.

Rukun keenam dan ketujuh: I’tidal setelah ruku’ dan thuma’ninah

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan pada orang yang jelek shalatnya,

َ‫ثاام انرفَنع َحاتى تَنعتَددَل َقاَئدمما‬


“Kemudian tegakkanlah badan (i’tidal) dan thuma’ninalah.”[6]

Rukun kedelapan dan kesembilan: Sujud dan thuma’ninah

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan pada orang yang jelek shalatnya,

‫ثاام انساجند َحاتى تَ ن‬


‫طَمئدان َساَدجمدا‬

“Kemudian sujudlah dan thuma’ninalah ketika sujud.”[7]

Hendaklah sujud dilakukan pada tujuh bagian anggota badan: [1,2] Telapak tangan kanan dan kiri, [3,4]
Lutut kanan dan kiri, [5,6] Ujung kaki kanan dan kiri, dan [7] Dahi sekaligus dengan hidung.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ف انلَقََدَمنيدن‬
‫طَرا د‬ ‫أادمنر ا‬
‫ َوالَظرنكبَتَنيدن َوأَ ن‬، ‫ت أَنن أَنساجَد َعَلى َسنبَعدة أَنعظاوم َعَلى انلََجنبهَدة – َوأََشاََر بديَددده َعَلى أَننفدده – َوانلَيََدنيدن‬

“Aku diperintahkan bersujud dengan tujuh bagian anggota badan: [1] Dahi (termasuk juga hidung, beliau
mengisyaratkan dengan tangannya), [2,3] telapak tangan kanan dan kiri, [4,5] lutut kanan dan kiri, dan
[6,7] ujung kaki kanan dan kiri. ”

Rukun kesepuluh dan kesebelas: Duduk di antara dua sujud dan thuma’ninah

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ ثاام انساجند َحاتى تَ ن‬، َ‫طَمئدان َجاَلَدمسا‬


‫طَمئدان َساَدجمدا‬ ‫ ثاام انرفَنع َحاتى تَ ن‬، ‫طَمئدان َساَدجمدا‬
‫ثاام انساجند َحاتى تَ ن‬
“Kemudian sujudlah dan thuma’ninalah ketika sujud. Lalu bangkitlah dari sujud dan thuma’ninalah ketika
duduk. Kemudian sujudlah kembali dan thuma’ninalah ketika sujud.”[8]

Rukun keduabelas dan ketigabelas: Tasyahud akhir dan duduk tasyahud

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫صلَدة فَنليَقادل الَتادحاياَ ا‬


‫ت دالد‬ ‫… فَإ دَذا قََعَد أََحاداكنم دفى الَ ا‬

“Jika salah seorang antara kalian duduk (tasyahud) dalam shalat, maka ucapkanlah “at tahiyatu lillah
…”.”[9]

Bacaan tasyahud:

‫ أَنشهَاد أَنن لَ إدلََهَ إدلا‬، ‫صاَلَددحيَن‬


‫اد الَ ا‬ ‫ك أَظيَهاَ الَنابدظى َوَرنحَمةا ا‬
‫ الَاسلَام َعلَنيَناَ َوَعَلى دعَباَدد ا‬، ‫اد َوبََرَكاَتاها‬ ‫ت َوالَطاييَباَ ا‬
َ ‫ الَاسلَام َعلَني‬، ‫ت‬ ‫ت دالد َوالَ ا‬
‫صلََوُا ا‬ ‫الَتادحاياَ ا‬
‫اا َوأَنشهَاد أَان امَحاممدا َعنبادها َوَراسوُلَاها‬ ‫ا‬

“At tahiyaatu lillah wash sholaatu wath thoyyibaat. Assalaamu ‘alaika ayyuhan nabiyyu wa rohmatullahi
wa barokaatuh. Assalaamu ‘alaina wa ‘ala ‘ibadillahish sholihiin. Asy-hadu an laa ilaha illallah, wa asy-
hadu anna muhammadan ‘abduhu wa rosuluh.” (Segala ucapan penghormatan hanyalah milik Allah,
begitu juga segala shalat dan amal shalih. Semoga kesejahteraan tercurah kepadamu, wahai Nabi, begitu
juga rahmat Allah dengan segenap karunia-Nya. Semoga kesejahteraan terlimpahkan kepada kami dan
hamba-hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah
dengan benar selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya) [10]

Apakah bacaan tasyahud “assalamu ‘alaika ayyuhan nabi” perlu diganti dengan bacaan “assalaamu ‘alan
nabi”?

Al Lajnah Ad Da-imah (Komisi Fatwa di Saudi Arabia) pernah ditanya,


“Dalam tasyahud apakah seseorang membaca bacaan “assalamu ‘alaika ayyuhan nabi” atau bacaan
“assalamu ‘alan nabi”? ‘Abdullah bin Mas’ud pernah mengatakan bahwa para sahabat dulunya sebelum
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, mereka mengucapkan “assalamu ‘alaika ayyuhan nabi”. Namun
setelah beliau wafat, para sahabat pun mengucapkan “assalamu ‘alan nabi”.

Jawab:

Yang lebih tepat, seseorang ketika tasyahud dalam shalat mengucapkan “assalamu ‘alaika ayyuhan nabi
wa rohmatullahi wa barokatuh”. Alasannya, inilah yang lebih benar yang berasal dari berbagai hadits.
Adapun riwayat Ibnu Mas’ud mengenai bacaan tasyahud yang mesti diganti setelah Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam wafat –jika memang itu benar riwayat yang shahih-, maka itu hanyalah hasil ijtihad Ibnu
Mas’ud dan tidak bertentangan dengan hadits-hadits shahih yang ada. Seandainya ada perbedaan
hukum bacaan antara sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan setelah beliau wafat, maka
pasti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri yang akan menjelaskannya pada para sahabat.

(Yang menandatangani fatwa ini adalah Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz sebagai Ketua, Syaikh ‘Abdur Rozaq
‘Afifi sebagai Wakil Ketua, Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud dan ‘Abdullah bin Ghodyan sebagai anggota)[11]

Rukun keempatbelas: Shalawat kepada Nabi setelah mengucapkan tasyahud akhir[12]

Dalilnya adalah hadits Fudholah bin ‘Ubaid Al Anshoriy. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
mendengar seseorang yang berdo’a dalam shalatnya tanpa menyanjung Allah dan bershalawat kepada
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau mengatakan, “Begitu cepatnya ini.” Kemudian Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam mendo’akan orang tadi, lalu berkata padanya dan lainnya,

‫إذا صلى أحدكم فليبدأ بتمجيد ا والَثناَء عليه ثم يصلي على الَنبي صلى ا عليه وسلم ثم يدعوُ بعد بماَ شاَء‬

“Jika salah seorang di antara kalian hendak shalat, maka mulailah dengan menyanjung dan memuji Allah,
lalu bershalawatlah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berdo’a setelah itu semau kalian.”[13]

Bacaan shalawat yang paling bagus adalah sebagai berikut.


َ ‫ َكَماَ َباََرنك‬، ‫ الَلاهاام َباَدرنك َعَلى امَحامود َوَعَلى آدل امَحامود‬، ‫ك َحدميمد َمدجيمد‬
‫ت‬ َ ‫صلاني‬
َ ‫ إدنا‬، ‫ت َعَلى آدل إدنبَرادهيَم‬ َ ‫الَلاهاام‬
َ َ‫ َكَما‬، ‫صيل َعَلى امَحامود َوَعَلى آدل امَحامود‬
‫ك َحدميمد َمدجيمد‬ ‫ا‬ َ
َ ‫ إدن‬، ‫َعلى آدل إدنبَرادهيَم‬

“Allahumma sholli ‘ala Muhammad wa ‘ala aali Muhammad kamaa shollaita ‘ala Ibroohim wa ‘ala aali
Ibrohim, innaka hamidun majiid. Allahumma baarik ‘ala Muhammad wa ‘ala aali Muhammad kamaa
barrokta ‘ala Ibrohim wa ‘ala aali Ibrohimm innaka hamidun majiid.”[14]

Rukun kelimabelas: Salam

Dalilnya hadits yang telah disebutkan di muka,

‫صلَدة الَ ظ‬
‫طاهوُار َوتَنحدريامَهاَ الَتانكدبيار َوتَنحدليلاَهاَ الَتانسدليام‬ ‫دمنفَتاَاح الَ ا‬

“Yang mengharamkan dari hal-hal di luar shalat adalah ucapan takbir. Sedangkan yang menghalalkannya
kembali adalah ucapan salam. ”[15]

Yang termasuk dalam rukun di sini adalah salam yang pertama. Inilah pendapat ulama Syafi’iyah,
Malikiyah dan mayoritas ‘ulama.

Model salam ada empat:

Salam ke kanan “Assalamu ‘alaikum wa rohmatullah”, salam ke kiri “Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah”.

Salam ke kanan “Assalamu ‘alaikum wa rohmatullah wa barokatuh”, salam ke kiri “Assalamu ‘alaikum wa
rahmatullah”.

Salam ke kanan “Assalamu ‘alaikum wa rohmatullah”, salam ke kiri “Assalamu ‘alaikum”.

Salam sekali ke kanan “Assalamu’laikum”.[16]

Rukun keenambelas: Urut dalam rukun-rukun yang ada

Alasannya karena dalam hadits orang yang jelek shalatnya, digunakan kata “tsumma“ dalam setiap
rukun. Dan “tsumma” bermakna urutan.[17]
Semoga bermanfaat.

Anda mungkin juga menyukai