1. Latar Belakang
Indonesia sebagai Negara agraris memiliki sumber daya alam melimpah yang
terdiri dari bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Potensi tersebut
merupakan anugrah Tuhan Yang Maha Esa, yang harus digunakan sebaik-baiknya untuk
kemakmuran rakyat. Salah satu aspek yang dapat dikembangkan dari kekayaan alam
tersebut adalah aspek perkebunan.
Perkebunan kelapa sawit merupakan salah satu aspek perkebunan andalan bagi
pendapatan nasional dan devisa Negara. Pada tahun 2015 total ekspor perkebunan
mencapai US 23,933 milyar atau setara dengan Rp 311,138 triliun (asumsi 1 US= Rp
13.000). Pertumbuhan Perkebunan Kelapa Sawit pun semakin berkembang pesat. Pada
tahun 2012 luas arela perkebunan kelapa sawit milik petani pekebun sebesar 57.268,64
hektar. Sementara luas perkebunan kelapa sawit milik perusahaan swasta sebesar
113.926,58 hektar. Ditahun 2017 perkebunan kelapa sawit masyarakat meningkat
menjadi 65.749 hektar sementara luas perkebunan kelapa sawit milik swasta menjadi
160.628 hektar.1
1
Direktorat Jenderal Perkebunan , 2017, Statistik Perkebunan Indonesia (Tree Crop Estate Statistics Of Indonesia)
2015 -2017, Sekretariat Direktorat Jenderal Perkebunan: Jakarta, hlm. iii
komoditas prioritas setelah lada dan karet yang menjadi usaha turun temurun masyarakat
sekitar.
Akhir bulan juli 2018 terjadi kemorosotan harga TBS Kelapa Sawit di Pulau
Bangka. Pada tanggal 28 September 2018 dicapai kesepakatan antara Pemda Kepulauan
Bangka Belitung, Asosiasi Petani Sawit Indonesia (Apkasindo) dan Perusahaan
Perkebunan Kelapa Sawit di Provinis Kepulauan Bangka Belitung, yang mana inti dari
kesepakatan tersebut adalah harga TBS kelapa sawit masyarakat akan dibeli pada Rp
1028/kg.2
2. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas penulis merumuskan dua rumusan masalah yaitu:
a. Bagaimana Pengaturan Penetapan Harga Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit
produksi pekebun di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung?
2
https://babel.antaranews.com/berita/86256/harga-tbs-sawit-disepakati-rp1028 diakses pada tanggal 20
November 2018 Pukul 09.43 WIB
b. Bagaimana Implementasi Peraturan Menteri Pertanian No.
1/PERMENTAN/KB.120/1/2018 tentang Pedoman Penetapan Harga Pembelian
Tandan Buah Segar Kelapa Sawit Produksi Pekebun di Provinsi Kepulauan Bangka
Belitung?
A. Pengaturan Penetapan Harga Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit produksi
pekebun di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
e. Pengawasan
Harga pembelian TBS produksi pekebun ditetapkan oleh Gubernur. Untuk
menetapkan harga tersebut gubernur dibantu oleh tim penetapan harga pembelian
TBS yang keanggotaannya berasal dari unsur:
Hal ini biasanya terjadi di wilayah yang terpencil dan jauh dari pabrik.
Implikasinya, harga yang diterima pekebun ditingkat awal pun lebih rendah dari
yang ditetapkan oleh pemerintah. Tentu kondisi ini merupakan hal yang lumrah
karena para pengepul juga mengambil keuntungan dari selisih harga tersebut.
Untuk mengangkut TBS kelapa sawit dari kebun galibnya dengan dua cara
yaitu mengantar sendiri ke tempat pengepul dan meminta pengepul untuk
mengambil TBS kelapa sawit milik petani dengan potongan biaya. Alur penjualan
Pengepul
kedua (jika
ada)
TBS Kelapa Sawit dari tingkat pekebun sampai ke Pabrik perusahaan dapat
dilihat dalam bagan berikut:
Pekebun Pengepul I
Pabrik
Kelapa
Sawit
Dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Menteri Pertanian Republik
Indonesia Nomor 01/Permentan/KB.120/1/2018 disebutkan bahwa peraturan ini
dimaksudkan sebagai dasar dalam pelaksanaan penetapan harga pembelian TBS
produksi pekebun dan bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada pekebun
dalam memperoleh harga wajar TBS dan menghindari persaingan tidak sehat
diantara perusahaan perkebunan.
Namun dalam implementasinya, tercapainya tujuan peraturan ini masih jauh dari
harapan. Untuk menganalisis permasalahan-permasalahan yang menjadi ganjalan
dalam mencapai tujuan peraturan ini, dapat ditempuh dengan beberapa pisau analisis,
salah satunya adalah melalui kajian sosiologi hukum.
Ada juga perusahaan yang mentaati dengan mensiasati ketetapan tersebut. Salah
satunya adalah PT Putra Bangka Mandiri yang berkedudukan di Desa Kace,
Kabupaten Bangka. Perusahaan ini membeli dengan harga yang ditetapkan oleh
Pemda namun kuota pembelian dibatasi, sehingga pekebun tidak leluasa menjual
TBS kelapa sawit mereka.5 Hal ini sangat bertolak belakang dengan perusahaan
perkebunan di Pulau Belitung yang tetap mengikuti ketetapan harga dari Pemda
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.6
3
Rianto Adi, 2012, Sosiologi Hukum: Kajian Hukum Secara Sosiologis, Yayasan Pustaka Obor Indonesia: Jakarta, hlm
80-81
4
http://www.dprd-babelprov.go.id/index.php/berita/item/21-harga-tbs-ditetapkan-dprd-babel-himbau-pemprov-
tindak-tegas-perusahaan-sawit-yang-membandel diakses pada tanggal 21 November 2018 13.57 WIB
5
http://bangkanews.id/detail-news.php?n=19124&kategori=trendingnews&berita=Petani-Keluhkan-Harga-Sawit-
yang-Merosot-Tajam-ke-DPRD-Babel diakses pada tanggal 20 November 2018 pukul 11.17 WIB
6
http://bangka.tribunnews.com/2018/09/26/soal-harga-tbs-di-bangka-murah-eka-ungkap-perbedaan-harga-di-
bangka-dan-belitung diakses pada tanggal 20 November 2018 pukul 11.30 WIB
Hal ini dapat dipahami karena terdapat beberapa permasalahan yuridis dalam
aturan tersebut. Pertama, Tidak ada Pasal yang secara konkret mewajibkan
Perusahaan perkebunan membeli TBS kelapa sawit pekebun dengan harga yang
sudah ditetapkan oleh Guberur.
Jika kita baca peraturan ini secara sistematis, Pasal 17 seakan mengakomodir
kewajiban untuk Perusahaan yang tidak mentaati ketetapan harga oleh Gubernur,
namun apabila dicermati dengan seksama, rumusan pasal tersebut tidak mengatur
kewajiban kepatuhan perusahaan-perusahaan perkebunan terhadap ketetapan harga
oleh Gubernur.
Pertanyaan yang berikutnya muncul adalah, apakah yang dimaksud dengan
“klarifikasi” di pasal ini? Permentan tidak memberikan penafsiran resmi. Apabila kita
merujuk ke Kamus Besar Bahasa Indonesia, klarifikasi didefinisikan sebagai
penjernihan, penjelasan dan pengembalian kepada keadaan yang sebenarnya.7
Ketidakjelasan arti kata ini akan menyebabkan ketidakjelasan penafsiran dan
penegakan peraturan tersebut.
Hal ini setali tiga uang dengan pendapat soerjono soekanto bahwa hambatan
penegakan hukum terkait permasalahan peraturan perundang-undangan disebabkan 3
(tiga) hal yaitu:8
Kedua, sanksi yang tidak memiliki detteren effect. Pasal 19 ayat (1), (2), dan (3)
Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor
01/PERMENTAN/KB.120/1/2018 menyebutkan:
b. Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan 2 (dua) kali
dalam tenggang waktu 1 (satu) bulan
7
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/klarifikasi diakses tanggal 20 November 2018 Pukul 11.06 WIB
8
Soekanto, soerjono. Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum. Jakarta: Rajawali Pers. 2014
Sanksi yang diberikan kepada perusahaan pelanggar Pasal 17 hanya berupa sanksi
peringatan tertulis. Apakah sanksi ini efektif? Secara umum, sanksi terbagi menjadi
dua jenis yaitu sanksi positif yang berupa imbalan dan sanksi negatif yang berupa
hukuman. Setiap hukuman mempunyai arti sosial tertentu karena kekuatan suatu
sanksi tergantung pada persepsi mengenai sanksi tersebut. Menurut Soerjono
Soekanto, apabila suatu ancaman hukuman hanya tercantum di kertas saja, maka hal
itu tidak ada artinya. Efek sanksi negatif yang bersifat formal sangat minim.9
Selain itu, seperti yang telah dijelaskan diatas. Pasal 17 bukanlah mengatur
mengenai kewajiban mentaati penetapan Harga TBS Kelapa Sawit dari gubernur,
dengan demikian sanksi yang dirumuskan dalam Pasal 19 tidak memberikan sanksi
bagi perusahaan yang melanggar penetapan tersebut. Sehingga kewajiban perusahaan
untuk mentaati penetapan harga TBS Kelapa Sawit dari gubernur hanyalah sebuah lex
imperfecta (kaedah hukum tanpa sanksi).11
9
Soekanto, soerjono. Efektivitasi hukum dan peranan sanksi, bandung: remadja karya cv;1985 hlm 82-90
10
Rahardjo, satjipt. Membangun dan merombak hukum di Indonesia: sebuah pendekatan lintas disiplin,
Yogyakarta: Genta Publishing. 2009 hlm.103
11
Mertokosumo, Sudikno. Mengenal Hukum:Suatu Pengantar, Liberty: Yogyakarta:2005 hlm. 19
Penegakan hukum Pelaksanaan harga TBS kelapa sawit pun tidak dapat
berjalan maksimal karena substansi peraturan perundang-undangan yang mengatur
hal ini memiliki celah yuridis yang cukup fatal. Padahal penegakan hukum itu sudah
dimulai pada saat peraturan itu dibuat atau diciptakan. Rumusan pikiran para pembuat
hukum yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan tersebut akan
menentukan bagaimana penegakan hukum itu dijalankan.12
4. Kesimpulan
Regulasi mengenai penetapan harga beli TBS Kelapa Sawit pekebun oleh
perusahaan perkebunan kelapa sawit telah diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian
Republik Indonesia Nomor 01/PERMENTAN/KB.120/1/2018 tentang Pedoman
Penetapan Harga Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit Produksi Pekebun. Namun
dalam implementasinya masih terdapat beberapa masalah karena terdapat celah-celah
yuridis.
12
Rahardjo, Satjipto. Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis. Yogyakarta: Genta Publishing. 2009 hlm. 24
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku
Adi, Rianto. 2012. Sosiologi Hukum: Kajian Hukum Secara Sosiologis. Jakarta:
Yayasan Pusataka Obor.
Peraturan Perundang-undangan
Peraturan Gubernur Provinsi Kepulauan Bangka Belitung No.51 Tahun 2014 tentang
Pedoman Penetapan Harga Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit Produksi
Pekebun
PT GML 770
PT GPL 670