Anda di halaman 1dari 16

EFEKTIVITAS PENGATURAN HARGA TANDAN BUAH SEGAR (TBS) KELAPA

SAWIT DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG DALAM KAJIAN


SOSIOLOGI HUKUM

1. Latar Belakang

Indonesia sebagai Negara agraris memiliki sumber daya alam melimpah yang
terdiri dari bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Potensi tersebut
merupakan anugrah Tuhan Yang Maha Esa, yang harus digunakan sebaik-baiknya untuk
kemakmuran rakyat. Salah satu aspek yang dapat dikembangkan dari kekayaan alam
tersebut adalah aspek perkebunan.

Perkebunan memiliki peranan penting dan strategis dalam pembangunan nasional,


terutama dalam meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, penerimaan devisa
Negara, penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan
baku industri dalam negeri serta pemberdayaan pengelolaan sumber daya alam.

Perkebunan kelapa sawit merupakan salah satu aspek perkebunan andalan bagi
pendapatan nasional dan devisa Negara. Pada tahun 2015 total ekspor perkebunan
mencapai US 23,933 milyar atau setara dengan Rp 311,138 triliun (asumsi 1 US= Rp
13.000). Pertumbuhan Perkebunan Kelapa Sawit pun semakin berkembang pesat. Pada
tahun 2012 luas arela perkebunan kelapa sawit milik petani pekebun sebesar 57.268,64
hektar. Sementara luas perkebunan kelapa sawit milik perusahaan swasta sebesar
113.926,58 hektar. Ditahun 2017 perkebunan kelapa sawit masyarakat meningkat
menjadi 65.749 hektar sementara luas perkebunan kelapa sawit milik swasta menjadi
160.628 hektar.1

Usaha perkebunan kelapa sawit memiliki arti penting dalam pembangunan


perekonomian serta peningkatan pendapatan masyarakat dan daerah di Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung. Bagi masyarakat di provinsi ini, kelapa sawit telah menjadi

1
Direktorat Jenderal Perkebunan , 2017, Statistik Perkebunan Indonesia (Tree Crop Estate Statistics Of Indonesia)
2015 -2017, Sekretariat Direktorat Jenderal Perkebunan: Jakarta, hlm. iii
komoditas prioritas setelah lada dan karet yang menjadi usaha turun temurun masyarakat
sekitar.

Untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat terkait harga jual TBS


kelapa sawit, khususnya pekebun, Pemerintah melalui Kementerian Pertanian telah
menetapkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 14/Permentan/OT.140/2/2013 tentang
Pedoman Penetapan Harga Pembelian Tandan Buah Segar Kelapa Sawit Produksi
Pekebun. kemudian regulasi ini dicabut dan digantikan oleh Peraturan Menteri Pertanian
No. 1/Permentan/KB.120/1/2018 yang mengatur mengenai hal yang sama.

Akhir bulan juli 2018 terjadi kemorosotan harga TBS Kelapa Sawit di Pulau
Bangka. Pada tanggal 28 September 2018 dicapai kesepakatan antara Pemda Kepulauan
Bangka Belitung, Asosiasi Petani Sawit Indonesia (Apkasindo) dan Perusahaan
Perkebunan Kelapa Sawit di Provinis Kepulauan Bangka Belitung, yang mana inti dari
kesepakatan tersebut adalah harga TBS kelapa sawit masyarakat akan dibeli pada Rp
1028/kg.2

Namun kesepakatan ini tidak sepenuhnya efektif dilaksanakan, tercatat beberapa


perusahaan tidak menjalankan kesepakatan ini, sedangkan mayoritas perusahaan lain
hanya menjalankan kesepakatan itu sementara jika tidak ingin dikatakan setengah hati
menjalankannya

Tulisan ini mencoba memberikan deskripsi dan eksplanasi terkait permasalahan


penetapan harga TBS kelapa sawit di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dalam kajian
sosiologi hukum.

2. Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas penulis merumuskan dua rumusan masalah yaitu:

a. Bagaimana Pengaturan Penetapan Harga Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit
produksi pekebun di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung?

2
https://babel.antaranews.com/berita/86256/harga-tbs-sawit-disepakati-rp1028 diakses pada tanggal 20
November 2018 Pukul 09.43 WIB
b. Bagaimana Implementasi Peraturan Menteri Pertanian No.
1/PERMENTAN/KB.120/1/2018 tentang Pedoman Penetapan Harga Pembelian
Tandan Buah Segar Kelapa Sawit Produksi Pekebun di Provinsi Kepulauan Bangka
Belitung?

3. Hasil Penelitian dan Pembahasan

A. Pengaturan Penetapan Harga Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit produksi
pekebun di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung

Untuk memberikan perlindungan kepada pekebun kelapa sawit, Pemda


Kepulauan Bangka Belitung mengeluarkan Peraturan Gubernur Provinis Kepulauan
Bangka Belitung No.51 Tahun 2014 tentang Pedoman Penetapan Harga Tandan Buah
Segar (TBS) Kelapa Sawit Produksi Pekebun. Peraturan ini bertujuan untuk
memberikan perlindungan kepada pekebun dalam memperoleh harga wajar TBS dan
menghindari persaingan usaha tidak sehat diantara Perusahaan Perkebunan.

Peraturan Gubernuri ini awalnya mengacu kepada Peraturan Menteri Pertanian


Nomor 14/Permentan/OT.140/2/2013 tentang Pedoman Penetapan Harga Pembelian
Tandan Buah Segar Kelapa Sawit Produksi Pekebun. Namun pada awal tahun 2018,
Kementerian Pertanian mengeluarkan aturan baru yang mengenyampingkan
Permentan sebelumnya yaitu Peraturan Menteri Pertanian No.
1/PERMENTAN/KB.120/1/2018 tentang Pedoman Penetapan Harga Pembelian
Tandan Buah Segar Kelapa Sawit Produksi Pekebun (Permentan
No.1/PERMENTAN/KB.120/1/2018). Ruang lingkup peraturan menteri ini meliputi:

a. Penetapan harga pembelian TBS

b. Syarat penerimaan TBS di Pabrik pengolahan

c. Tata cara pembelian dan pembayaran TBS

d. Kewajiban perusahaan perkebunan dan

e. Pengawasan
Harga pembelian TBS produksi pekebun ditetapkan oleh Gubernur. Untuk
menetapkan harga tersebut gubernur dibantu oleh tim penetapan harga pembelian
TBS yang keanggotaannya berasal dari unsur:

a. Pemerintah daerah provinis dan kabupaten/kota


b. Perusahaan perkebunan dan/atau asosiasi pengusaha kelapa sawit; dan
c. Perwakilan pekebun, meliputi kelembagaan pekebun atau asosiasi
pekebun kelapa sawit

Menurut Pasal 6 ayat (4) Peraturan Menteri Pertanian No.


1/PERMENTAN/KB.120/1/2018, Tim penetapan harga pembelian TBS ini memiliki
tugas: (a) merumuskan dan mengusulkan besarnya indeks “K” kepada gubernur;
indeks K adalah?
(b) memastikan perhitungan besarnya indeks “k” serta komponen lainnya
yang terkait dalam rumus harga pembelian TBS produksi pekebun; (c) memantau
pelaksanaan ketentuan dan penetapan harga pembelian TBS produksi pekebun; (d)
melakukan mediasi penyelesaian permasalahan harga TBS antara perusahaan
perkebunan dan pekebun/kelembagaan pekebun dan € menyampaikan laporan
pelaksanaan tugas tim penetapan harga pembelian TBS kepada gubernur paling
kurang 1 (satu) bulan sekali.
Harga pembelian TBS produksi pekebun oleh perusahaan perkebunan
didasarkan pada rumus harga pembelian TBS. Rumus harga pembelian TBS produksi
pekebun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai berikut:
HTBS(P) = K(P-1) {(HCPO(P) x RCPO(Tab) + (HPK(P) x RPK (Tab)}
Dengan penjelasan:
HTBS (P) : Harga TBS yang diterima oleh Pekebun ditingkat
pabrik, dinyatakan dalam Rp/kg, pada periode
berjalan (P)
K(P-1) : Indeks proporsi yang menunjukkan bagian yang
diterima oleh Pekebun, dinyatakan dalam Presentase
(%) pada periode sebelumnya.
HCPO(P) : Harga rata-rata Crude Palm Oil (CPO) tertimbang realisasi
penjualan
ekspor (FOB) dan local masing-masing perusahaan
pada periode berjalan, dinyatakan dalam rupiah per
kilogram (rp/kg)
HPK(P) : harga rata-rata PK tertimbang realisasi penjualan
ekspor (FOB) dan local masingmasing perusahaan
pada periode berjalan, dinyatakan dalam rupiah per
kilogram (Rp/kg)
RCPO (Tab) : rendemen CPO table dinyatakan dalam presentae (%)
RPK (Tab) : rendemen PK table dinyatakan dalam Presentase (%)
Dalam Pasal 7 ayat (3) Peraturan Menteri Pertanian No.
1/PERMENTAN/KB.120/1/2018 kemudian dijelaskan perumusan harga tersebut hanya
berlaku untuk harga ditingkat pabrik pengolahan kelapa sawit. Sehingga masih
memungkinkan dengan Pengepul-pengepul lokal yang membeli TBS kelapa sawit
masyarakat dipelosok mendapatkan keuntungan dengan membeli di harga yang lebih
rendah dari harga ditingkat pabrik kemudian menjualnya.
Pasal 13 Permentan No.1/PERMENTAN/KB.120/1/2018. Menjelaskan, TBS
yang diterima di pabrik harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Jumlah brondolan yang dikirim ke pabrik pengolahan paling sedikit 12,5%
(dua belas koma lima persen) dari berat TBS yang diterima
b. Tandan terdiri atas buah mentah 0% (nol Persen), buah matang paling sedikit
95% (Sembilan puluh lima persen), dan buah lewat matang paling banyak 5%
(lima persen)
c. Tandan tidak bergagang lebih dari 2,5 cm (dua koma lima sentimeter)
d. Tidak terdapat tandan kosong
e. Tanda dan/atau brondolan segar dalam karung harus bebas dari sampah, tanah,
pasir atau benda lainnya; dan
f. Berat TBS lebih dari 3 kg (tiga kilogram) per tandan
.Permentan ini menerapkan sistem reward and punishment bagi pekebun.
Apabila pekebun menjual TBS yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana diatur
dalam Pasal 13 Peraturan Menteri Pertanian No. 1/PERMENTAN/KB.120/1/2018,
maka akan dikenakan pemotongan pembayaran. Pengaturan mengenai pemotongan
adalah sebagai berikut:
a. Apabila buah mentah didenda sebesar 50% x berat BM x berat TBS yang
diterima dengan pengertian:
- Angka 50% : efisiensi yang dicapai pabrik bila mengolah buah
mentah
- BM : persentase buah sangat mentah
b. Buah lewat matang didenda sebesar 25% x (BLM – 5%) x berat TBS yang
diterima, dengan pengertian:
- Angka 25% : banyaknya brondolan yang tidak terkutip karena
lewat matang
- BLM : persentase jumlah buah lewat matang
- Angka 5% : batasan BLM yang diperbolehkan
c. Tandan kosong didenda sebesar 100% x TK x berat TBS yang diterima
dengan pengertian:
- TK : persentase jumlah tandan kosong
d. Buah gagang panjang (BG) didenda sebesar 1% x BG x berat TBS yang
diterima dengan pengertian:
- Angka 1% : perkiraan berat gagang panjang dan berat TBS
- BG : persentase jumlah tandan bergagang panjang
e. Brondolan yang diterima lebih kecil dari 12,5% didenda sebesar 30% x
(12,5% - X) x berat TBS yang diterima, dengan pengertian:
- Angka 30% : kadar minyak dan inti sawit dalam brondolan
- X : Presentase jumlah brondolan yang dikirim
f. Brondolan yang diterima harus bersih, jika diterima kotor didenda sebesar 2 x
berat kotor
g. TBS yang dikirim ke pabrik beratnya minimal 3 kg per tandan, jika kurang
dari 3 kg per tanda didenda sebesar 70% x berat TBS yang diterima
Sebaliknya, apabila memenuhi ketentuan-ketentuan diatas maka akan
diberikan insentif sebesar 4% (empat persen) dari TBS yang diterima pabrik
pengolahan. Selain itu TBS yang dikirim ke pabrik perusahaan perkebunan inti/mitra
lebih dari 24 (dua puluh empat) jam setelah panen akan dikenakan denda.

B. Efektivitas Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor


01/PERMENTAN/KB.120/1/2018 tentang Pedoman Penetapan Harga Tandan Buah
Segar (TBS) Kelapa Sawit Produksi Pekebun di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
Dalam Kajian Sosiologi Hukum

1. Alur Penjualan TBS Kelapa Sawit dari Pekebun ke Perusahaan Perkebunan.

Dalam Pasal 1 angka 2 Permentan No.1/PERMENTAN/KB.120/1/2018


perusahaan perkebunan didefinisikan sebagai badan usaha yang berbadan
hukum, didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di wilayah
Indonesia, yang mengelola usaha perkebunan dengan skala tertentu.

Perusahaan menerima penjualan langsung TBS kelapa sawit secara


langsung, namun masyarakat terutama pekebun-pekebun kecil tidak menjual
langsung TBS kelapa sawit ke Pabrik, melainkan melalui pengepul-pengepul
terdekat yang di daerah mereka.

Pengepul-pengepul ini menerima dan membeli TBS kelapa sawit dari


masyarakat sekitar. Setelah mencapai jumlah yang dibutuhkan, maka TBS kelapa
sawit akan diangkut ke Pabrik Peruusahaan untuk dijual. Rantai
distribusi/ekonomi ini dapat bertambah panjang apabila pengepul ini kemudian
tidak langsung menjual ke pabrik, namun menjual ke Pengepul lainnya.

Hal ini biasanya terjadi di wilayah yang terpencil dan jauh dari pabrik.
Implikasinya, harga yang diterima pekebun ditingkat awal pun lebih rendah dari
yang ditetapkan oleh pemerintah. Tentu kondisi ini merupakan hal yang lumrah
karena para pengepul juga mengambil keuntungan dari selisih harga tersebut.

Untuk mengangkut TBS kelapa sawit dari kebun galibnya dengan dua cara
yaitu mengantar sendiri ke tempat pengepul dan meminta pengepul untuk
mengambil TBS kelapa sawit milik petani dengan potongan biaya. Alur penjualan

Pengepul
kedua (jika
ada)
TBS Kelapa Sawit dari tingkat pekebun sampai ke Pabrik perusahaan dapat
dilihat dalam bagan berikut:

Pekebun Pengepul I

Pabrik
Kelapa
Sawit

2. Penetapan Harga TBS Kelapa Sawit di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung


berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor
01/Permentan/KB.120/1/2018 dalam perspektif sosiologi hukum

Dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Menteri Pertanian Republik
Indonesia Nomor 01/Permentan/KB.120/1/2018 disebutkan bahwa peraturan ini
dimaksudkan sebagai dasar dalam pelaksanaan penetapan harga pembelian TBS
produksi pekebun dan bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada pekebun
dalam memperoleh harga wajar TBS dan menghindari persaingan tidak sehat
diantara perusahaan perkebunan.

Namun dalam implementasinya, tercapainya tujuan peraturan ini masih jauh dari
harapan. Untuk menganalisis permasalahan-permasalahan yang menjadi ganjalan
dalam mencapai tujuan peraturan ini, dapat ditempuh dengan beberapa pisau analisis,
salah satunya adalah melalui kajian sosiologi hukum.

Sosiologi hukum memiliki peran yang sangat penting untuk memberikan


pengetahuan tentang hubungan hukum dengan gejala sosial yang saling
mempengaruhi yang pada akhirnya mengetahui faktor faktor apa saja yang
menyebabkan hukum tidak dapat ditegakkan. Sosiologi hukum mengkaji obyeknya
hanya terbatas pada eksistensi dan disfungsi/fungsi hukum dalam masyarakat sera
mekanisme bekerjanya dengan sikap buta nilai.3

Telah dijelaskan sebelumnya peraturan ini memiliiki maksud dan tujuan,


yaitu:

1. dasar dalam pelaksanaan penetapan harga pembelian TBS produksi pekebun m

2. memberikan perlindungan kepada pekebun dalam memperoleh harga wajar


TBS

3. menghindari persaingan tidak sehat diantara perusahaan perkebunan.

Namun faktanya, peraturan ini belum mampu menjamin perlindungan kepada


pekebun dalam memperoleh harga TBS yang wajar. Pada bulan oktober 2018 telah
ditetapkan harga TBS kelapa sawit sebesar Rp 1.025,00/kg. Dalam pelaksanaannya
penetapan harga TBS Kelapa Sawit itu pun masih dilanggar oleh perusahaan
perkebunan. Tercatat tiga perusahaan melanggar ketetapan tersebut yaitu PT GML,
PT Sawindo, PT SNS.4

Ada juga perusahaan yang mentaati dengan mensiasati ketetapan tersebut. Salah
satunya adalah PT Putra Bangka Mandiri yang berkedudukan di Desa Kace,
Kabupaten Bangka. Perusahaan ini membeli dengan harga yang ditetapkan oleh
Pemda namun kuota pembelian dibatasi, sehingga pekebun tidak leluasa menjual
TBS kelapa sawit mereka.5 Hal ini sangat bertolak belakang dengan perusahaan
perkebunan di Pulau Belitung yang tetap mengikuti ketetapan harga dari Pemda
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.6

3
Rianto Adi, 2012, Sosiologi Hukum: Kajian Hukum Secara Sosiologis, Yayasan Pustaka Obor Indonesia: Jakarta, hlm
80-81

4
http://www.dprd-babelprov.go.id/index.php/berita/item/21-harga-tbs-ditetapkan-dprd-babel-himbau-pemprov-
tindak-tegas-perusahaan-sawit-yang-membandel diakses pada tanggal 21 November 2018 13.57 WIB

5
http://bangkanews.id/detail-news.php?n=19124&kategori=trendingnews&berita=Petani-Keluhkan-Harga-Sawit-
yang-Merosot-Tajam-ke-DPRD-Babel diakses pada tanggal 20 November 2018 pukul 11.17 WIB

6
http://bangka.tribunnews.com/2018/09/26/soal-harga-tbs-di-bangka-murah-eka-ungkap-perbedaan-harga-di-
bangka-dan-belitung diakses pada tanggal 20 November 2018 pukul 11.30 WIB
Hal ini dapat dipahami karena terdapat beberapa permasalahan yuridis dalam
aturan tersebut. Pertama, Tidak ada Pasal yang secara konkret mewajibkan
Perusahaan perkebunan membeli TBS kelapa sawit pekebun dengan harga yang
sudah ditetapkan oleh Guberur.

Pasal 6 ayat (1) Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor


01/Permentan/KB.120/1/2018 menjelaskan bahwa Harga beli TBS ditetapkan oleh
Gubernur. Selanjutnya Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Menteri Pertanian
Republik Indonesia Nomor 01/PERMENTAN/KB.120/1/2018 disebutkan kewajiban-
kewajiban perusahaan perkebunan yaitu:

a. Setiap perusahaan perkebunan wajib menyampaikan dokumen harga dan


jumlah penjualan Crude Palm Oil (CPO) dan PK, paling kurang 1 (satu) kali
setiap bulan kepada dinas provinsi untuk diklarifikasi oleh tim penetapan harga
pembelian TBS

b. Perusahaan perkebunan wajib menyampaikan laporan penerimaan dan


pemanfaatan biaya operasional tidak langsung (BOTL) paling singkat 1 (satu)
bulan sekali kepada gubernur dan tim penetapan harga pembelian TBS

Secara letterlijk Pasal 17 Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor


01/PERMENTAN/KB.120/1/2018 tidak mewajibkan Perusahaan untuk mentaati
Ketetapan Harga dari Pemerintah, namun hanya sebatas menyampaikan dokumen
harga dan jumlah penjualan Crude Palm Oil (CPO) dan PK serta laporan penerimaan
dan pemanfaatan biaya operasional tidak langsung (BOTL)

Jika kita baca peraturan ini secara sistematis, Pasal 17 seakan mengakomodir
kewajiban untuk Perusahaan yang tidak mentaati ketetapan harga oleh Gubernur,
namun apabila dicermati dengan seksama, rumusan pasal tersebut tidak mengatur
kewajiban kepatuhan perusahaan-perusahaan perkebunan terhadap ketetapan harga
oleh Gubernur.
Pertanyaan yang berikutnya muncul adalah, apakah yang dimaksud dengan
“klarifikasi” di pasal ini? Permentan tidak memberikan penafsiran resmi. Apabila kita
merujuk ke Kamus Besar Bahasa Indonesia, klarifikasi didefinisikan sebagai
penjernihan, penjelasan dan pengembalian kepada keadaan yang sebenarnya.7
Ketidakjelasan arti kata ini akan menyebabkan ketidakjelasan penafsiran dan
penegakan peraturan tersebut.

Hal ini setali tiga uang dengan pendapat soerjono soekanto bahwa hambatan
penegakan hukum terkait permasalahan peraturan perundang-undangan disebabkan 3
(tiga) hal yaitu:8

a. Tidak diikutinya asas-asas berlakunya undang-undang

b. Belum adanya peraturan pelaksanaan yang sangat dibutuhkan untuk menerapkan


undang-undag

c. Ketidakjelasan arti kata-kata di dalam undang-undang yang mengakibatkan


kesimpangsiuran di dalam penafsiran serta penerapannya

Kedua, sanksi yang tidak memiliki detteren effect. Pasal 19 ayat (1), (2), dan (3)
Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor
01/PERMENTAN/KB.120/1/2018 menyebutkan:

a. Perusahaan perkebunan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 17 dikenai sanksi peringatan tertulis.

b. Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan 2 (dua) kali
dalam tenggang waktu 1 (satu) bulan

c. Apabila peringatan tertulis sebagaimana dimaksud ppada ayat (2) tidak


dilaksanakan, Kepala Dinas provinsi mengusulkan kepada gubernur
untuk dilakukan pencabutan izin usaha.

7
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/klarifikasi diakses tanggal 20 November 2018 Pukul 11.06 WIB

8
Soekanto, soerjono. Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum. Jakarta: Rajawali Pers. 2014
Sanksi yang diberikan kepada perusahaan pelanggar Pasal 17 hanya berupa sanksi
peringatan tertulis. Apakah sanksi ini efektif? Secara umum, sanksi terbagi menjadi
dua jenis yaitu sanksi positif yang berupa imbalan dan sanksi negatif yang berupa
hukuman. Setiap hukuman mempunyai arti sosial tertentu karena kekuatan suatu
sanksi tergantung pada persepsi mengenai sanksi tersebut. Menurut Soerjono
Soekanto, apabila suatu ancaman hukuman hanya tercantum di kertas saja, maka hal
itu tidak ada artinya. Efek sanksi negatif yang bersifat formal sangat minim.9

Kemudian apabila peringatan tersebut tidak dilaksanakan, Kepala Dinas


Provinis yang membidangi masalah perkebunan hanya bisa memberikan usulan
kepada Gubernur agar mencabut izin usaha perusahaan yang bersangkutan.
Bagaimana pelaksanaan hukuman pencabutan izin usaha tersebut? Tentu mutlak
sangat dependen dengan political will gubernur. Sehingga gubernur memegang
peranan yang sangat penting terhadap penerapan sanksi ini.

Jika setelah diusulkan oleh Kepala Dinas Provinsi di bidang perkebunan,


gubernur tetap tidak mencabut izin usaha perusahaan yang bersangkutan, hal itu dapat
dipahami sebagai dominannya aspek politik terhadap hukum. Seperti yang dijelaskan
Satjipto Rahardjo bahwa subsistem politik memiliki energi yang lebih besar
dibandingkan hukum. Implikasinya apabila hukum harus berhadapan dengan politik
maka hukum berada di posisi yang lebih lemah.10

Selain itu, seperti yang telah dijelaskan diatas. Pasal 17 bukanlah mengatur
mengenai kewajiban mentaati penetapan Harga TBS Kelapa Sawit dari gubernur,
dengan demikian sanksi yang dirumuskan dalam Pasal 19 tidak memberikan sanksi
bagi perusahaan yang melanggar penetapan tersebut. Sehingga kewajiban perusahaan
untuk mentaati penetapan harga TBS Kelapa Sawit dari gubernur hanyalah sebuah lex
imperfecta (kaedah hukum tanpa sanksi).11

9
Soekanto, soerjono. Efektivitasi hukum dan peranan sanksi, bandung: remadja karya cv;1985 hlm 82-90

10
Rahardjo, satjipt. Membangun dan merombak hukum di Indonesia: sebuah pendekatan lintas disiplin,
Yogyakarta: Genta Publishing. 2009 hlm.103

11
Mertokosumo, Sudikno. Mengenal Hukum:Suatu Pengantar, Liberty: Yogyakarta:2005 hlm. 19
Penegakan hukum Pelaksanaan harga TBS kelapa sawit pun tidak dapat
berjalan maksimal karena substansi peraturan perundang-undangan yang mengatur
hal ini memiliki celah yuridis yang cukup fatal. Padahal penegakan hukum itu sudah
dimulai pada saat peraturan itu dibuat atau diciptakan. Rumusan pikiran para pembuat
hukum yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan tersebut akan
menentukan bagaimana penegakan hukum itu dijalankan.12

4. Kesimpulan

Regulasi mengenai penetapan harga beli TBS Kelapa Sawit pekebun oleh
perusahaan perkebunan kelapa sawit telah diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian
Republik Indonesia Nomor 01/PERMENTAN/KB.120/1/2018 tentang Pedoman
Penetapan Harga Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit Produksi Pekebun. Namun
dalam implementasinya masih terdapat beberapa masalah karena terdapat celah-celah
yuridis.

Pertama, tidak ada ketentuan yang secara tegas mewajibkan perusahaan


perkebunan untuk mengikuti penetapan harga dari gubernur. Kewajiban perusahaan
perkebunan hanya sebatas menyampaikan dokumen harga dan jumlah penjualan Crude
Palm Oil (CPO) dan PK serta laporan penerimaan dan pemanfaatan biaya operasional
tidak langsung (BOTL). Kedua, sanksi terhadap pelanggaran kewajiban tersebut tidak
memberikan detteren effect karena hanya berbentuk peringatan tertulis dan usulan agar
dicabut izin usahanya oleh gubernur di daerah yang bersangkutan, dimana usulan
pencabutan itu diusulkan oleh Kepala Dinas Provinsi yang membidangi perkebunan
kepada Gubernur. Pelaksanaan pencabutan izin usaha tersebut sangat bergantung pada
political will gubernur tersebut.

12
Rahardjo, Satjipto. Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis. Yogyakarta: Genta Publishing. 2009 hlm. 24
DAFTAR PUSTAKA

Buku-Buku

Adi, Rianto. 2012. Sosiologi Hukum: Kajian Hukum Secara Sosiologis. Jakarta:
Yayasan Pusataka Obor.

Direktorat Jenderal Perkebunan . 2017. Statistik Perkebunan Indonesia (Tree Crop


Estate Statistics Of Indonesia) 2015 -2017. Jakarta: Sekretariat Direktorat Jenderal
Perkebunan

Mertokusumo, Sudikno. 2005. Mengenal Hukum: Suatu Pengantar.Yogyakarta:


Liberty Yogyakarta,
Rahardjo, Satjipto. 2005. Membangun dan Merombak Hukum Indonesia: Sebuah
Pendekatan Lintas Disiplin. Yogyakarta: Genta Publishing

------------------------. 2009 Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis.


Yogyakarta: Genta Publisihing

Soekanto, Soerjono. 1985. Efektivitasi Hukum dan Peranan Sanksi. Bandung: CV


Remadja Karya

------------------------. 2014. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum.


Jakarta: Rajawali Press

Peraturan Perundang-undangan

Peraturan Gubernur Provinsi Kepulauan Bangka Belitung No.51 Tahun 2014 tentang
Pedoman Penetapan Harga Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit Produksi
Pekebun

Peraturan Menteri Pertanian Nomor 14/Permentan/OT.140/2/2013 tentang Pedoman


Penetapan Harga Pembelian Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit Produksi
Pekebun

Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor


01/PERMENTAN/KB.120/1/2018 tentang Pedoman Penetapan Harga Tandan Buah
Segar (TBS) Kelapa Sawit Produksi Pekebun
PT THEP 780

PT GML 770

PT GPL 670

Perumusannya pun cenderung tidak menggunakan rumusan yang ada di Peraturan


Gubernur.

Anda mungkin juga menyukai