Anda di halaman 1dari 136

EFEK ANTIINFLAMASI DAN ANALGESIK JUS BUAH PEPAYA

(Carica papaya L.) PADA MENCIT BETINA GALUR SWISS

SKRIPSI
Disusun untuk memenuhi salah satu syarat
memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S. Farm)
Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh :
Jeffry Ben Martin
NIM : 068114158

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2010

i
Skripsi

EFEK ANTI-INFLAMASI DAN ANALGESIK JUS BUAH PEPAYA

(Carica papaya L.) pada MENCIT BETINA GALUR SWISS

Yang diajukan oleh :

Nama : Jeffry Ben Martin

NIM : 068114158

telah disetujui oleh:

ii
HALAMAN PENGESAHAN

Pengesahan Skripsi
Berjudul

EFEK ANTIINFLAMASI DAN ANALGESIK JUS BUAH PEPAYA


(Carica papaya L.) PADA MENCIT BETINA GALUR SWISS

iii
HALAMAN PERSEMBAHAN

Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia

memberikan kekekalan dalam hati mereka.

Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang

dilakukan Allah dari awal sampai akhir.

(Pengkhotbah 3:11)

Ku persembahkan karya ini untuk:


Tuhan Yesus sumber kekuatanku
Papa dan Mamaku, kedua adikku,
dan seluruh keluarga tercinta
Teman-temanku
Almamaterku

iv
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH

UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

v
PRAKATA

Penulis memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa oleh

karena berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul

“Efek Analgesik dan Anti-Inflamasi Jus Buah Pepaya (Carica papaya L.) pada

Mencit Betina Galur Swiss” ini dengan baik.

Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Farmasi (S. Farm.) Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penyelesaian skripsi ini tentunya tidak lepas dari bantuan dari berbagai pihak,

baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Oleh karena itu, penulis hendak

mengucapkan terima kasih kepada :

1. Yosef Wijoyo, M.Si., Apt, selaku pembimbing utama skripsi ini atas segala

kesabaran untuk selalu mendukung, memotivasi, membimbing, dan memberi

masukan kepada penulis dalam menyusun skripsi ini

2. Phebe Hendra, M.Si., Ph.D., Apt. selaku penguji skripsi atas bantuan dan

masukkan kepada penulis demi kemajuan skripsi ini.

3. Ipang Djunarko, M.Sc., Apt. selaku penguji skripsi atas bantuan dan masukkan

kepada penulis demi kemajuan skripsi ini.

4. Rita Suhadi, M.Si. Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata

Dharma.

5. Agatha Budi Susiana, M.Si., Apt., selalu pembimbing akademik penulis atas

segala pendampingan, dukungan dan bimbingan selama ini.

vi
6. Yohanes Dwiatmaka, M.Si., selaku pimpinan laboratorium Farmasi yang telah

memberikan ijin penggunaan semua fasilitas laboratorium guna penelitian skripsi

ini.

7. Mas Parjiman, Mas Heru, Mas Kayat, Mas Yuwono, dan semua staf laboratorium

Farmasi yang telah bersedia membantu dan menemani selama penelitian

berlangsung, atas segala bantuan dan dinamika selama di laboratorium.

8. Mama dan Papa, atas dukungan, kasih sayang, dan doa yang terbaiki sehingga

penulis tetap bersemangat dalam penyusunan skripsi ini.

9. Kedua adikku, Boboy dan Pemi.

10. Rekan-rekan penelitian, Dewi, Tanti, Ricky, Felix, dan Gun atas bantuan,

kerjasama, perjuangan, dan suka duka yang dialami selama penelitian.

11. Ngapak Team, Anton, Aan, Jimmy, Yoki, Pungki, Jati, dan Felix atas

kebersamaan, semangat, dan keceriaannya.

12. Teman-temanku, Yacob dan Yosef, serta anak-anak Kos Flaurent Yustine, Gracia,

Dian, dan Vanni atas dukungan moral dan semangatnya.

13. Teman-teman kosku, Kos Ijo; Radit; Desta; Jojo, terima kasih untuk pinjaman

komputernya dalam penulisan skripsi ini; dan Ray, terima kasih untuk settingan

komputernya.

14. Teman-teman FKK B angkatan 2006 atas kebersamaan selama ini.

15. Komputerku yang setia menemani hari-hari ku, bahkan hingga saat yang

terakhirnya memberikan andil dalam penyusunan skripsi ini.

vii
16. Pihak-Pihak lain yang turut membantu penulis namun tidak dapat disebutkan satu

persatu.

Penulis menyadari bahwa setiap manusia tidak ada yang sempurna termasuk

penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan adanya kritik, saran, dan masukan

dari berbagai pihak demi kemajuan di masa yang akan datang.

Akhir kata, penulis berharap bahwa skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua

pihak, baik mahasiswa, lingkungan akademis, masyarakat, serta memberikan

sumbangan kecil bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang

kefarmasian. Atas perhatiannya penulis mengucapkan terima kasih.

Yogyakarta, 10 Mei 2010

Penulis

viii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

ix
INTISARI

Banyak penyakit memiliki manifestasi klinis berupa inflamasi. Salah satu gejala
inflamasi adalah nyeri. Jika inflamasi dihambat, maka akan menurunkan rasa nyeri
juga. Oleh karena itu, penelitian untuk penemuan obat baru dengan efek antiinflamasi
dan analgesik sangat berharga. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui apakah jus
buah pepaya memiliki efek antiinflamasi dan analgesik serta seberapa besar daya
antiinflamasi dan analgesik yang mungkin dimiliki jus buah pepaya (Carica papaya
L.). Metode yang digunakan adalah metode Langford yang dimodifikasi untuk uji
efek antiinflamasi dan untuk metode rangsang kimia untuk uji analgesik.
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan rancangan
acak lengkap pola satu arah. Variabel utama adalah dosis jus buah pepaya (Carica
papaya L.), sedangkan variabel tergantungnya adalah efek analgesik dan
antiinflamasi jus buah pepaya (Carica papaya L.). Variabel tergantung diukur dengan
melihat % proteksi geliat dan % daya anti-inflamasi seperti yang terdapat pada cara
kerja. Data yang diperoleh kemudian digunakan untuk mencari persentase daya
analgesik dan antiinflamasinya. Distribusi data dianalisis dengan uji Kolmogorov-
Smirnov, dilanjutkan uji ANOVA satu arah dan uji Scheffe dengan taraf kepercayaan
95%.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jus pepaya memiliki efek antiinflamasi
dan analgesik. Efek antiinflamasi yang dinyatakan oleh daya antiinflamasi jus buah
pepaya pada dosis 7,5 g/kgBB; 15,0 g/kgBB; dan 30,0 g/kgBB berturut-turut adalah
20,72%; 37,44%; dan 62,06%, sedangkan daya analgesiknya berturut-turut adalah
19,77%; 40,70%; dan 55,04%.

Kata kunci: analgesik, antiinflamasi, jus buah pepaya, Carica papaya L.

x
ABSTRACT

Many diseases have an inflammation as clinical manifestations. One of the


symptoms of inflammation is pain. If inflammation is inhibited, it will reduce pain as
well. Thus the research for new drug discovery with anti-inflammatory and analgesic
effects is very valuable. The purpose of this study is to determine if papaya juice has
anti-inflammatory and analgesic effects and how much anti-inflammatory and
analgesic potency of papaya juice (Carica papaya L.). This research used modificated
Langford method to test the anti-inflammatory effects and to chemical stimulation
method for testing analgesics.
This research was a pure experimental study of completely randomized one-
way pattern design. The main variable is the dose of papaya juice (Carica papaya L.),
whereas dependent variable is the analgesic and anti-inflammatory papaya juice
effects (Carica papaya L.). The dependent variable is measured by looking at %
twisting protection and % anti-inflammatory power as found in the procedure. The
obtained data then used to find the percentage of analgesic and antiinflammatory
power. Distribution data were analyzed with Kolmogorov-Smirnov test, followed by
one-way ANOVA and Scheffe test with 95% confidence level.
The results showed that papaya juice has anti-inflammatory and analgesic
effects. Anti-inflammatory effects are expressed by anti-inflammatory power of
papaya juice at a dose of 7.5 g/kgBW; 15.0 g/kgBW; and 30.0 g/kgBW respectively
20.72%; 37.44%; dan 62.06%, while the analgesic power respectively 19.77%;
40.70%; dan 55.04%.

Key words: analgesics, anti-inflammatory, papaya juice, Carica papaya L.

xi
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...................................................................................................... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................... ii

HALAMAN PENGESAHAN...................................................................................... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................................. iv

PRAKATA .................................................................................................................... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ...................................................................... ix

INTISARI...................................................................................................................... x

ABSTRACT ................................................................................................................... xi

DAFTAR ISI ............................................................................................................... xii

DAFTAR TABEL ...................................................................................................... xvi

DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... xviii

DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................................. xix

BAB I ............................................................................................................................ 1

PENGANTAR .............................................................................................................. 1

A. Latar Belakang ................................................................................................ 1

1. Perumusan masalah..................................................................................... 3

2. Keaslian penelitian...................................................................................... 3

3. Manfaat penelitian ...................................................................................... 4

B. Tujuan Penelitian ............................................................................................ 5

BAB II ........................................................................................................................... 6

xii
PENELAAHAN PUSTAKA ........................................................................................ 6

A. Pepaya ............................................................................................................. 6

1. Sistematika .................................................................................................. 6

2. Morfologi tanaman ..................................................................................... 6

3. Kandungan kimia ........................................................................................ 7

4. Kegunaan .................................................................................................... 7

B. Karotenoid....................................................................................................... 7

C. Vitamin E ........................................................................................................ 8

D. Inflamasi ......................................................................................................... 9

1. Definisi inflamasi ........................................................................................ 9

2. Gejala dan penyebab ................................................................................. 10

3. Mekanisme ................................................................................................ 11

E. Nyeri ............................................................................................................. 15

1. Pengertian nyeri ........................................................................................ 15

2. Terjadinya nyeri ........................................................................................ 16

3. Jenis nyeri ................................................................................................. 18

4. Mekanisme nyeri....................................................................................... 19

F. Obat Antiinflamasi Non Steroid (OAINS) ................................................... 21

G. Diklofenak..................................................................................................... 23

H. Analgesik ...................................................................................................... 24

I. Parasetamol ................................................................................................... 26

J. Metode Pengujian Efek Antiinflamasi .......................................................... 27

xiii
K. Metode Pengujian Efek Analgesik................................................................ 29

L. Landasan Teori.............................................................................................. 30

M. Hipotesis ....................................................................................................... 31

BAB III ....................................................................................................................... 32

METODE PENELITIAN ............................................................................................ 32

A. Jenis Rancangan Penelitian ........................................................................... 32

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ............................................... 32

C. Bahan Penelitian ........................................................................................... 34

D. Alat Penelitian............................................................................................... 36

E. Tata Cara Penelitian ...................................................................................... 36

F. Tata Cara Analisis Hasil ............................................................................... 45

BAB IV ....................................................................................................................... 46

HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................................... 46

A. Identifikasi Makroskopis .............................................................................. 46

B. Uji Pendahuluan ............................................................................................ 46

C. Uji Antiinflamasi Jus Buah Pepaya .............................................................. 59

D. Uji Analgesik Jus Buah Pepaya .................................................................... 66

E. Perbandingan profil parasetamol dengan jus buah pepaya ........................... 73

F. Rangkuman Pembahasan Daya Antiinflamasi dan Analgesik Jus Buah

Pepaya ........................................................................................................... 74

BAB V......................................................................................................................... 77

KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................................... 77

xiv
A. Kesimpulan ................................................................................................... 77

B. Saran ............................................................................................................. 77

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 78

LAMPIRAN ................................................................................................................ 82

BIOGRAFI PENULIS .............................................................................................. 115

xv
DAFTAR TABEL

Tabel I. Rata-rata bobot udema pada orientasi rentang waktu pemotongan kaki ....... 47

Tabel II. Hasil uji Scheffe rata-rata bobot udema ........................................................ 48

Tabel III. Rata-rata bobot udema pada orientasi dosis diklofenak.............................. 49

Tabel IV. Hasil uji Scheffe rata-rata bobot udema ...................................................... 50

Tabel V. Rata-rata bobot udema pada orientasi waktu pemberian diklofenak ........... 51

Tabel VI. Hasil uji Scheffe bobot udema .................................................................... 52

Tabel VII. Rata-rata jumlah geliat pada orientasi dosis asam asetat........................... 54

Tabel VIII. Hasil Uji Scheffe data geliat mencit ......................................................... 55

Tabel IX. Rata-rata jumlah geliat ................................................................................ 56

Tabel X. Hasil uji Scheffe jumlah geliat pada penetapan selang waktu pemberian

asam asetat. ................................................................................................. 57

Tabel XI. Rata-rata jumlah geliat pada orientasi dosis parasetamol ........................... 58

Tabel XII. Hasil uji Scheffe jumlah geliat pada penetapan dosis parasetamol............ 59

Tabel XIII. Rata-rata bobot udema pada kelompok perlakuan ................................... 60

Tabel XIV. Rata-rata persen daya antiinflamasi pada kelompok perlakuan ............... 62

Tabel XV. Uji Scheffe persen (%) daya antiinflamasi kelompok perlakuan............... 63

Tabel XVI. Rata-rata persen (%) daya antiinflamasi dan rata-rata persen (%) potensi

relatif kelompok jus buah pepaya pada 3 peringkat dosis dibandingkan

diklofenak ................................................................................................... 64

Tabel XVII. Rata-rata jumlah geliat pada kelompok perlakuan ................................. 67

Tabel XVIII. Persen penghambatan nyeri pada kelompok perlakuan ........................ 68

xvi
Tabel XIX. Hasil Uji Scheffe persen penghambatan rangsang nyeri .......................... 69

Tabel XX. Perubahan persen penghambatan nyeri pada kelompok perlakuan ........... 70

Tabel XXI. Daya Antiinflamasi dan Analgesik Jus Buah Pepaya pada Berbagai

Peringkat Dosis ........................................................................................... 74

xvii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Diagram mediator inflamasi yang terbentuk dari fosfolipid dengan skema

aksinya dan tempat bekerja obat antiinflamasi ......................................... 13

Gambar 2. Mediator yang dapat menimbulkan rangsang nyeri .................................. 17

Gambar 3. Struktur diklofenak .................................................................................... 23

Gambar 4. Struktur parasetamol ................................................................................. 26

Gambar 5. Diagram batang rata-rata bobot udema pada............................................. 48

Gambar 6. Diagram batang rata-rata bobot udema pada............................................. 50

Gambar 7. Grafik rata-rata bobot udema .................................................................... 52

Gambar 8. Diagram batang rata-rata jumlah geliat ..................................................... 54

Gambar 9. Grafik rata-rata jumlah geliat .................................................................... 56

Gambar 10. Diagram batang rata-rata jumlah geliat pada orientasi dosis parasetamol

................................................................................................................... 58

Gambar 11. Diagram batang rata-rata bobot udema kaki mencit kelompok perlakuan

................................................................................................................... 61

Gambar 12. Diagram batang persen daya antiinflamasi kelompok perlakuan............ 62

Gambar 13. Mekanisme pembentukan prostaglandin ................................................. 65

Gambar 14. Diagram batang rata-rata kumulatif jumlah geliat kelompok perlakuan. 67

Gambar 15. Diagram batang persen penghambatan nyeri kelompok perlakuan ........ 68

Gambar 16. Diagram batang perubahan persen penghambatan rangsang nyeri

kelompok uji ............................................................................................. 71

Gambar 17. Profil kelompok perlakuan jus buah pepaya dan parasetamol ................ 73

xviii
Gambar 18. Histogram Daya Antiinflamasi dan Daya Analgesik Jus Buah Pepaya

dibandingkan dengan kontrol positif pada Berbagai Peringkat Dosis ...... 75

xix
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Foto buah pepaya .................................................................................... 82

Lampiran 2. Foto jus pepaya ....................................................................................... 82

Lampiran 3. Foto geliat mencit yang memenuhi definisi operasional ........................ 83

Lampiran 4. Data bobot udema kaki mencit hasil uji pendahuluan setelah diinjeksi

karagenin 1% pada rentang waktu tertentu dan hasil analisis statistiknya

............................................................................................................... 84

Lampiran 5. Data bobot udema kaki mencit hasil uji pendahuluan waktu pemberian

diklofenak dan hasil analisis statistiknya ............................................... 86

Lampiran 6. Data bobot udema kaki mencit hasil uji pendahuluan dosis diklofenak

dan hasil analisis statistiknya ................................................................. 89

Lampiran 7. Data jumlah geliat pada penetapan dosis asam asetat dan selang waktu

pemberian asam asetat berserta hasil analisis statistiknya ..................... 91

Lampiran 8. Data jumlah geliat pada penetapan dosis parasetamol ........................... 96

Lampiran 9. Data jumlah geliat pada uji efek analgesik berserta hasil analisis

statistiknya ............................................................................................. 99

Lampiran 10. Data persen proteksi geliat pada uji efek analgesik ............................ 102

Lampiran 11. Data perubahan persen proteksi geliat terhadap kontrol positif pada uji

efek analgesik ...................................................................................... 105

Lampiran 12. Data bobot udema kaki mencit hasil uji efek antiinflamasi................ 108

Lampiran 13. Tabel % daya antiinflamasi dan potensi relatif .................................. 111

Lampiran 14. Contoh cara perhitungan % daya antiinflamasi dan potensi relatif .... 112

xx
Lampiran 15. Perhitungan penetapan peringkat dosis jus buah pepaya pada kelompok

perlakuan .............................................................................................. 113

xxi
BAB I

PENGANTAR

A. Latar Belakang

Nyeri merupakan suatu mekanisme protektif yang memberi tanda bahwa di

dalam tubuh terdapat jaringan yang mengalami gangguan atau kerusakan dan perlu

segera ditangani (Tjay dan Rahardja, 2002). Gangguan atau kerusakan pada jaringan

yang dapat menimbulkan nyeri sebagai salah satu gejalanya adalah peradangan atau

inflamasi. Peradangan merupakan suatu keadaan yang membantu netralisasi,

penghancuran jaringan nekrosis dan pembentukan keadaan yang dibutuhkan pada

proses penyembuhan jaringan yang rusak (Price dan Wilson, 1992). Walaupun

inflamasi dan nyeri merupakan pertanda penting, namun keduanya bukanlah suatu hal

yang menyenangkan bagi penderitanya.

Secara umum, pengatasan peradangan dan nyeri dilakukan dengan

penghambatan peruraian asam arakidonat menjadi prostaglandin, suatu mediator pada

inflamasi dan nyeri, yang diperantarai oleh enzim siklooksigenase (COX) (Rang,

Dale, Ritter, dan Moore, 2007). Pada daerah peradangan juga dihasilkan oksidan

reaktif seperti radikal bebas, yang memiliki kontribusi pada kerusakan jaringan

seperti pada penyakit rheumatoid arthritis (Halliwell, Hoult, and Blake, 1988).

Biosintesis prostaglandin sendiri berlangsung dengan bantuan radikal bebas

(Fessenden dan Fessenden, 1992). Jika radikal bebas tesebut tidak ditangkap, maka

prostaglandin akan terus terbentuk. Beberapa obat (seperti parasetamol) dan senyawa

1
2

antioksidan dalam tanaman (seperti flavonoid dan karotenoid) memiliki kemampuan

untuk menangkap radikal bebas tersebut (Halliwell dkk., 1988).

Buah pepaya (Carica papaya L.) merupakan salah satu buah tropis yang

banyak, murah, dan mudah didapatkan di seluruh pelosok nusantara. Pepaya banyak

mengandung zat-zat yang bermanfaat bagi tubuh seperti vitamin C, vitamin A,

vitamin E, serta berbagai mineral seperti Na, Mg, Zn, K, dan Fe (Surahman dan

Darmajana, 2004). Dalam penelitian Pekiner (2003), vitamin E terbukti memiliki

aktivitas sebagai antioksidan. Selain itu, pepaya juga memiliki kandungan senyawa

karotenoid seperti beta karoten dan lycopene (Chandrika, Jansz, Wikramasinghe, and

Warnasuriya, 2003). Beta karoten dilaporkan dapat menghambat oksidasi asam

arakidonat (Lieber and Leo, 1999). Jika oksidasi asam arakidonat dihambat,

kemungkinan prostaglandin tidak terbentuk. Dengan tidak dibentuknya prostaglandin,

maka proses inflamasi dapat teratasi. Di samping itu, rasa nyeri juga berkurang

karena reseptor nyeri tidak tersensitisasi oleh prostaglandin (Mutschler, 1999).

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

mengenai efek antiinflamasi dan analgesik pada jus buah pepaya. Untuk menguji efek

antiinflamasi digunakan metode induksi udema kaki belakang karena metode ini telah

digunakan oleh banyak peneliti. Sedangkan untuk menguji efek analgesik digunakan

metode rangsang kimia.


3

1. Perumusan masalah

Permasalahan yang akan diteliti adalah:

a. Apakah jus buah pepaya (Carica papaya L.) memiliki efek analgesik dan

antiinflamasi?

b. Seberapa besar daya analgesik-antiinflamasi dari jus buah pepaya (Carica papaya

L.) pada tiap dosis yang digunakan?

2. Keaslian penelitian

Sepanjang penelusuran penulis, penelitian tentang efek analgesik dan

antiinflamasi dari jus buah pepaya (Carica papaya L.) pada mencit betina belum

pernah dilakukan. Adapun penelitian-penelitian yang pernah dilakukan tentang buah

Pepaya adalah sebagai berikut:

a. Uji Aktivitas Penangkap Radikal Buah Pepaya (Carica papaya L.) Dengan

Metode DPPH dan Penetapan Kadar Fenolik serta Flavonoid Totalnya

(Pratimasari, 2009). Hasil penelitian menunjukkan sari buah pepaya, ekstrak etil

asetat ampas buah pepaya dan vitamin E dalam µg/ml berturut-turut 1159,12;

349,05; dan 30,33. Kadar fenolik total sari buah pepaya dan ekstrak etil asetat

ampas buah pepaya dalam mg/g sampel adalah 47,05 dan 50,09. Kadar flavonoid

total sari buah pepaya dan ekstrak etil asetat ampas buah pepaya dalam mg/g

sampel adalah 1,9 dan 8,73.

b. Bioconversion of Pro-Vitamin A Carotenoids and Antioxidant Activity of Carica

papaya Fruits (Chandrika, Jansz, Wikramasinghe, and Warnasuriya, 2003). Hasil


4

penelitian adalah beta karoten dan lycopene yang terkandung pada daging buah

papaya yang berwarna merah (red-fleshed variety) menunjukkan aktivitas

antioksidan yang cukup tinggi.

c. Pengaruh Pemberian Jus Buah Pepaya (Carica papaya) terhadap Kerusakan

Histologis Lambung Mencit yang Diinduksi Indometasin (Agustina, 2008), dan

disimpulkan bahwa jus buah pepaya mempunyai pengaruh memperbaiki

kerusakan histologis lambung mencit yang diinduksi indometasin dan

peningkatan dosis pepaya 0,1 ml menjadi 0,2 ml tidak diikuti peningkatkan efek

perbaikan gambaran histologis lambung mencit.

3. Manfaat penelitian

a. Manfaat teoritis

Melengkapi informasi yang sudah ada tentang khasiat tanaman obat terutama

buah pepaya (Carica papaya L.) yang bermanfaat bagi pengembangan ilmu

kefarmasian.

b. Manfaat praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat

mengenai dosis efektif dari jus buah papaya sebagai analgesik dan antiinflamasi.
5

B. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian yang hendak dicapai adalah :

1. Tujuan umum

Penelitian ini dapat memberikan informasi tentang khasiat tanaman obat terutama

buah papaya (Carica papaya L.).

2. Tujuan khusus

a. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan apakah jus buah pepaya

(Carica papaya L.) mempunyai efek analgesik dan antiinflamasi pada

mencit putih betina

b. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar daya analgesik

dan antiinflamasi yang dimiliki jus buah papaya (Carica papaya L.) tiap

dosis yang digunakan.


BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Pepaya

1. Sistematika

Dalam sistematika tumbuhan, tanaman pepaya (Carica papaya L.)

diklasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom : Plantae (tumbuh-tumbuhan)

Divisio : Spermatophyta (tumbuhan berbiji)

Subdivisio : Angiospermae (berbiji tertutup)

Class : dicotyledonae (biji keeping dua)

Ordo : Caricales

Familia : Caricaceae

Genus : Carica

Species : Carica papaya L. (Warisno, 2003).

2. Morfologi tanaman

Batang pepaya dapat tumbuh hingga 10 m tingginya, lurus dan berbentuk

silinder dengan daun berparut yang mencolok, serta dapat menebal 30 – 40 cm pada

keadaan basa, menipis hingga 5 – 7,5 cm pada puncaknya. Daun – daun tumbuh dari

bagian teratas batang seperti terpilin, pada petiole terdekat yang horizontal sepanjang

25 – 100 cm. Daun terbagi menjadi 5 – 9 lobus utama, dengan variasi lebar 25 – 75

6
7

cm, dan memiliki tulang daun yang mencolok berwarna kekuningan. Buah pepaya

memiliki eksokarp (kulit) yang halus dan tebal, mesokarp yang berdaging, dan dapat

bentuk globose, ovoid, obovoid, dan pyriform, panjangnya 7 – 35 cm, dan dengan

bobot 0,25 – 10 kg (Ronse Decraene and Smets, 1999).

3. Kandungan kimia

Buah pepaya mengandung vitamin A, vitamin C, dan vitamin E. Selain itu, juga

terkandung mineral- mineral seperti Na, Mg, Zn, K, dan Fe (Surahman dan

Darmajana, 2004). Pepaya juga memiliki kandungan senyawa karotenoid seperti beta

karoten dan lycopene (Chandrika, Jansz, Wikramasinghe, and Warnasuriya, 2003).

4. Kegunaan

Buah pepaya berguna memacu enzim pencernaan, serta daunnya berguna

sebagai penambah nafsu makan, peluruh haid. Buah pepaya juga berguna untuk obat

panas yang memiliki khasiat menurunkan panas. Buah pepaya matang dikonsumsi

dalam keadaan segar atau sebagai pencuci mulut (Muhlisah, 2001).

B. Karotenoid

Karotenoid merupakan golongan pigmen yang larut lipid dan tersebar luas,

terdapat dalam semua jenis tumbuhan. Pada tumbuhan, karotenoid mempunyai dua

fungsi, yaitu sebagai pigmen pembantu dalam fotosintesis dan sebagai pewarna dalam

bunga dan buah. Dalam bunga, karotenoid biasanya berwarna kuning, sedangkan

dalam buah dapat juga berwarna jingga/merah (Harborne, 1987).


8

Karotenoid yang penting untuk tubuh adalah beta karoten, karena merupakan

sumber vitamin A (setelah mengalami hidrasi dan molekulnya terpecah menjadi dua)

(Harborne, 1987). Beta karoten yang terdapat pada wortel, papaya, sayur mayor yang

berwarna kemerahan dan minyak kelapa sawit berpotensi sebagai senyawa

antioksidan. Beta karoten mempunyai dua peran, yaitu sebagai prekursor vitamin A

dan antioksidan. Dilihat dari strukturnya, beta karoten mampu menangkal radikal

bebas karena adanya ikatan rangkap konjugasi yang panjang. Beta karoten dilaporkan

dapat menghambat oksidasi asam arakidonat (Lieber and Leo, 1999).

C. Vitamin E

Vitamin E merupakan vitamin yang larut dalam lemak yang terdiri dari campuran

dan substansi tokoferol (a, b, g, dan d) dan tokotrienol (a, b, g, dan d). Vitamin E

merupakan pemutus rantai peroksida lemak pada membran dan Low Density Lipoprotein

(LDL). Menurut Hariyatmi (2004), vitamin E yang larut dalam lemak ini merupakan

antioksidan yang melindungi polyunsaturated fatty acid’s (PUFAs) dan komponen sel

serta membran sel dari oksidasi oleh radikal bebas.

Reaksi awal dari peroksidasi unsaturated fatty acid disebabkan serangan dari

beberapa spesies radikal (seperti radikal hidroksil), yang memiliki reaktivitas yang cukup

untuk menarik atom H dari karbon metilen rantai samping unsaturated fatty acid,

membentuk radikal lipid (L•) (1). Dengan keberadaan O 2 , radikal lipid yang dihasilkan

kemudian dapat bereaksi membentuk radikal peroksil lipid (LOO•) (2).

HO• + H → H2 O + L• (1)
9

L• + O2 → LOO• (2)

Radikal peroksil yang terbentuk sangat reaktif dan sangat mudah mengalami

reaksi berantai. Radikal peroksil tersebut memerlukan tambahan atom H agar menjadi

stabil. Atom H ini dapat diperoleh dari molekul asam lemak (LH) yang berada di

dekatnya, yang kemudian akan terbentuk radikal lipid yang baru (L•) dan reaksi

berantai selanjutnya akan terjadi (3).

LOO• + LH → LO2 H + L• (3)

Vitamin E dan senyawa antioksidan fenolik lainnya akan menghambat reaksi 3

dan reaksi berantai yang terjadi terputus. Atom H dari gugus OH fenolik pada vitamin

E (α-Tokoferol) dapat berikatan dengan radikal peroksil lipid, sebelum radikal

tersebut menyerang asam lemak lainnya. Tokoferol sendiri akan menjadi senyawa

radikal bebas yang relatif stabil (α − T • ) yang tidak mengalami reaksi radikal

berantai.

LOO• + α − T → LO2 H + α − T • (4)

Reaksi di atas menunjukkan aktivitas vitamin E (α-T) terhadap radikal peroksil

lipid (LOO•) (Pekimer, 2003).

D. Inflamasi

1. Definisi inflamasi

Inflamasi atau peradangan merupakan reaksi vaskular yang hasilnya merupakan

pengiriman cairan, zat-zat terlarut, dan sel-sel dari sirkulasi darah ke jaringan-

jaringan interstitial pada daerah cedera atau nekrosis (Price and Wilson, 1992).
10

Dikatakan juga bahwa inflamasi adalah usaha protektif dari suatu organisme untuk

menghilangkan stimuli yang merugikan sekaligus mengawali proses penyembuhan

suatu jaringan (Denko, 1992).

2. Gejala dan penyebab

Penyebab inflamasi banyak sekali dan beraneka ragam, dapat ditimbulkan oleh

rangsangan fisik, kimiawi, biologis (infeksi akibat mikroorganisme atau parasit), dan

kombinasi ketiga agen tersebut. Gejala pokok terjadinya inflamasi akut dikenal

meliputi rubor, calor, dolor, tumor, dan functio laesa (Mutschler, 1986).

Rubor atau kemerahan biasanya merupakan hal pertama yang terlihat di daerah

yang mengalami inflamasi. Waktu reaksi peradangan mulai timbul, maka arteriola

yang mensuplai daerah tersebut melebar sehingga lebih banyak darah yang mengalir

ke dalam mikrosirkulasi lokal. Keadaan inilah yang bertanggung jawab atas warna

merah lokal yang tampak pada peradangan akut (Kee dan Hayes, 1996).

Calor atau rasa panas, terjadi bersamaan dengan kemerahan pada reaksi radang

akut. Sebenarnya, panas hanyalah suatu sifat reaksi peradangan pada permukaan

badan, yang dalam keadaan normal lebih dingin dari 37°C, yaitu suhu di dalam tubuh.

Hal ini dapat terjadi karena darah yang disalurkan tubuh ke permukaan yang

mengalami radang lebih banyak daripada darah yang disalurkan ke daerah yang

normal (tidak mengalami radang) (Price and Wilson, 1992).

Dolor atau rasa sakit dalam reaksi peradangan dapat ditimbulkan melalui

berbagai cara. Perubahan pH lokal menjadi lebih rendah atau konsentrasi lokal ion-
11

ion tertentu dapat merangsang ujung-ujung saraf. Selain itu, pengeluaran zat kimia

tertentu seperti histamin atau zat kimia bioaktif lainnya dapat merangsang saraf.

Pembengkakan jaringan yang meradang menyebabkan peningkatan tekanan lokal,

yang tanpa dapat diragukan lagi dapat menimbulkan rasa sakit (Price and Wilson,

1992).

Gejala yang paling terlihat dari peradangan akut mungkin adalah tumor atau

pembengkakan lokal. Pembengkakan timbul akibat pengiriman cairan dan sel-sel dari

sirkulasi darah ke jaringan-jaringan interestial. Campuran cairan dan sel yang

tertimbun di daerah peradangan disebut eksudat.

Functio laesa yaitu berkurangnya fungsi dari organ yang mengalami

peradangan (Sander, 2003). Hilangnya fungsi disebabkan karena penumpukan cairan

pada tempat cedera jaringan dan karena rasa nyeri, yang mengurangi mobilitas pada

daerah yang terkena (Kee and Hayes,1996). Gerakan yang terjadi pada daerah radang,

baik yang dilakukan secara sadar ataupun secara reflek akan mengalami hambatan

oleh rasa sakit; pembengkakan yang hebat secara fisik mengakibatkan berkurangnya

gerak jaringan (Underwood, 1996).

3. Mekanisme

Mekanisme inflamasi sangat dipengaruhi oleh senyawa dan mediator yang

dihasilkan oleh asam arakidonat. Bila membran sel mengalami kerusakan oleh suatu

rangsangan kimiawi, fisik, atau mekanis, enzim fosfolipase kemudian diaktifkan

untuk mengubah fosfolipid yang terdapat di membran sel tersebut menjadi asam
12

arakidonat (Tjay dan Rahardja, 2002). Asam arakidonat tersebut dapat

dimetabolisme dalam dua jalur enzim yang berbeda, yaitu jalur enzim

siklooksigenase dan lipooksigenase (Price and Wilson,1992).

Beberapa sel dan mediator terlibat dalam respon alamiah (merupakan berbagai

sistem pertahanan tubuh) dan interaksinya sangat kompleks. Lebih detailnya,

berhubungan dengan kejadian-kejadian vaskuler dan peran sel serta mediator-

mediator dalam tubuh. Kejadian-kejadian vaskuler adalah dilatasi awal dari arteriola-

arteriola kecil yang berakibat pada peningkatan aliran darah, diikuti dengan

penurunan kemudian berhentinya aliran darah dan peningkatan permeabilitas dari

venula post kapiler, dengan eksudasi cairan. Vasodilatasi yang terjadi disebabkan

oleh beberapa mediator (histamin, prostaglandin (PG) E 2 dan I 2 , dan sebagainya)

yang dilepaskan karena adanya interaksi antara mikroorganisme dan jaringan.

Beberapa dari mediator tersebut (seperti histamin, platelet-activating factor (PAF),

dan sitokin dilepaskan oleh interaksi TRL-PAMP) juga bertanggung jawab atas fase

awal dari peningkatan permeabilitas vaskuler. Sistem kinin merupakan salah satu dari

rangkaian enzim, yang mengakibatkan produksi beberapa mediator inflamasi, pada

umumnya bradikinin. Sel yang terlibat dalam peradangan, beberapa (sel-sel

endothelial vaskular, sel mast, dan makrofag jaringan) secara normal berada dalam

jaringan, sementara dari darah platelet dan leukosit meningkatkan akses ke area

inflamasi (Rang dkk., 2007).

Radikal bebas oksigen akan terlepas secara ekstraseluler dari leukosit setelah

adanya pemaparan mikrobia, kemotaksin, dan kompleks imun, atau mengikuti


13

tantangan fagositik. Produksi radikal bebas oksigen bergantung pada aktivasi sistem

oksidase NADPH. Anion superoksida, hidrogen peroksida (H 2 O 2 ), dan radikal

hidroksil merupakan spesies utama yang diproduksi oleh sel, dan anion superoksida

dapat berinteraksi dengan NO untuk membentuk spesies nitrogen aktif (Kumar dkk.,

2010).

Gambar 1. Diagram mediator inflamasi yang terbentuk dari fosfolipid dengan


skema aksinya dan tempat bekerja obat antiinflamasi
(Rang dkk, 2007)

Eicosanoid merupakan senyawa yang dihasilkan dari fosfolipid melalui jalur de

novo. Senyawa ini terlibat dalam pengaturan banyak proses fisiologis dan termasuk di
14

antaranya yang paling penting mediator-mediator dalam reaksi inflamasi. Sumber

utama dari eicosanoid adalah asam arakidonat, yang terbentuk dari proses esterifikasi

fosfolipid. Eicosanoid utama antara lain prostaglandin, tromboksan, dan leukotrien,

meskipun derivat lain dari asam arakidonat seperti lipoksan juga dihasilkan. Langkah

awal dan batas laju sintesis eicosanoid bergantung pada pembebasan asam

arakidonat, baik dalam satu tahap (dengan bantuan fosfolipase A 2 ) maupun dua tahap

(dengan bantuan IP, inositol, fosfat, DAG, dan diasilgliserol). Jalur fosfolipase A 2

memiliki pengaruh besar dalam pembentukan asam arakidonat intraseluler.

Kerusakan sel umumnya memicu proses pembebasan asam arakidonat. Asam

arakidonat dimetabolisme melalui beberapa jalur, yaitu:

a. Melalui siklooksigenase (COX) yang terdiri dari dua bentuk, COX-1 dan COX-2.

Enzim-enzim ini mengawali biosintesis prostaglandin dan tromboksan.

b. Melalui bermacam-macam lipoksigenase yang mengawali sintesis leukotrien,

lipoksin, dan komponen lainnya (Rang dkk, 2007).

Seperti yang telah diketahui bahwa sel fagositik yang telah teraktivasi

melepaskan berbagai macam komponen, termasuk eicosanoid dan enzim proteolitik.

Neutrofil yang teraktivasi juga menghasilkan radikal superoksida (O•2 ). Superoksida

dapat menghasilkan hidrogen peroksida dengan serangkaian reaksi:

2O2• + 2H + → H2 O2 + O2 (1)

Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa O•2 dan H 2 O 2 juga dihasilkan pada

aktivasi sel fagosit lainnya, termasuk monosit, makrofag, dan eosinofil. H 2 O 2 dengan
15

mudah dapat menembus membran sel, sedangkan O•2 tidak bisa. Dengan keberadaan

ion transisi logam yang sesuai (biasanya besi), H 2 O 2 dapat berinteraksi dengan

mereduksi ion besi untuk membentuk spesies oksidasi yang lebih tinggi, yang paling

penting adalah radikal hidroksil.

Fe2+ + H2 O2 → kompleks intermediet → Fe3+ + •OH + OH − (2)

Reaksi 2 dapat berlangsung secara ekstraseluler jika medium di sekitar fagosit

yag teraktivasi tersebut mengandung ion besi. Derivat fagosit O•2 dimungkinkan

berperan dalam mengatur ion besi ke dalam bentuk tereduksi:

Fe3+ + O2• → kompleks intermediet → Fe2+ + O2 (3)

Pada tempat terjadinya inflamasi terdapat ion besi karena O•2 dapat mereduksi

ion besi dari ferritin dan H 2 O 2 menyebabkan ion besi lepas dari hemoglobin. Oleh

sebab itu, pendarahan di daerah inflamasi dapat meningkatkan produksi radikal bebas

dan memperparah kerusakan jaringan (Halliwell dkk., 1988).

E. Nyeri

1. Pengertian nyeri

Nyeri merupakan suatu perasaan sensoris dan emosional yang tidak enak serta

berkaitan dengan kerusakan jaringan (Tjay dan Rahardja, 2002). Menurut Guyton

(1986), hal tersebut merupakan suatu mekanisme protektif dari tubuh. Nyeri dapat

menimpa siapa saja, baik bayi, anak, dewasa maupun kelompok lanjut usia. Nyeri

dapat sangat bervariasi pada tiap individu, tergantung pada usia, jenis kelamin,
16

penyakit yang mendasari, hingga penyebab timbulnya nyeri seperti trauma dan proses

peradangan (Dwiprahasto, 2002). Walaupun nyeri merupakan petunjuk yang berharga

bagi tubuh, namun pasien merasakannya sebagai hal yang tidak mengenakkan,

menyiksa, dan berusaha untuk bebas darinya (Mutschler, 1986).

2. Terjadinya nyeri

Nyeri akan muncul ketika rangsang mekanik, termal, kimia, atau listrik

melampaiui ambang tertentu (nilai ambang nyeri). Ketika terjadi rangsang nyeri dan

melampaui nilai ambang nyeri, maka akan terjadi kerusakan jaringan dan pelepasan

mediator-mediator nyeri (Mutschler, 1986). Mediator nyeri ini terdapat di seluruh

jaringan dan organ tubuh, kecuali di susunan saraf pusat (SSP). Mediator-mediator

nyeri yang juga disebut autocoida ini antara lain histamin, prostaglandin, serotonin,

bradikinin, dan leukotrien. Mediator nyeri ini dapat menyebabkan terjadinya reaksi

peradangan, kejang-kejang, dan demam (Tjay dan Rahardja, 2002).

Reseptor rasa nyeri yang terdapat di kulit dan jaringan lain semuanya

merupakan ujung saraf bebas. Reseptor ini tersebar luas pada permukaan superfisial

kulit dan juga di jaringan dalam tertentu, misalnya poriosteum, dinding arteri,

permukaan sendi, dan falks serta tentorium tempurung kelapa. Rasa nyeri dapat

dirasakan melalui berbagai jenis rangsangan (Guyton, 1986).


17

Rangsangan yang merusak

Kerusakan jaringan

Pembebasan : Pembentukan kinin


H+ (pH<6) (misalnya bradikinin, prostaglandin)
K+ (<20 mmol/L)
Asetilkolin Sensibilitas reseptor
Serotonin
Histamin Nyeri lama

Nyeri pertama

Gambar 2. Mediator yang dapat menimbulkan rangsang nyeri


setelah kerusakan jaringan
(Mutschler, 1995)

Penghantaran nyeri dimulai dari adanya potensial aksi (impuls nosiseptif) yang

terbentuk pada reseptor nyeri, diteruskan melalui serabut aferen ke dalam akar dorsal

sumsum tulang belakang. Pada tempat kontak awal ini bertemu tidak hanya serabut

aferen, yang impulsnya tumpang tindih, tetapi di sini juga terjadi refleks somatik dan

vegetatif awal (misalnya menarik tangan pada waktu tersentuh benda panas, terbentuk

eritema lokal) melalui interneuron. Di samping itu, pada tempat ini juga terjadi

pengaruh terhadap serabut aferen melalui sistem penghambatan nyeri menurun.


18

3. Jenis nyeri

Berdasarkan waktu dan lama kejadian, rasa nyeri dapat dibagi menjadi dua

macam, yaitu rasa nyeri cepat dan rasa nyeri lambat. Rasa nyeri cepat juga

digambarkan sebagai rasa nyeri akut. Bila diberikan stimulus nyeri, maka rasa nyeri

cepat timbul dalam waktu kira-kira 0,1 detik. Jenis rasa nyeri ini akan terasa bila

sebuah jarum ditusukkan ke dalam kulit, bila kulit tersayat pisau, atau bila kulit

terbakar. Selain itu, nyeri ini juga terasa bila subjek mendapat syok elektrik. Rasa

nyeri ini tidak akan terasa di sebagian besar jaringan dalam dari tubuh.

Rasa nyeri lambat juga sering disebut sebagai rasa nyeri kronik. Rasa nyeri

lambat timbul setelah 1 detik atau lebih, kemudian secara perlahan bertambah selama

beberapa detik atau bahkan beberapa menit. Jenis rasa nyeri ini biasanya dikaitkan

dengan kerusakan jaringan. Rasa nyeri ini dapat berlangsung lama, menyakitkan, dan

menjadi penderitaan yang tak tertahankan. Rasa nyeri seperti ini dapat terasa di kulit

dan di hampir semua jaringan dalam atau organ (Guyton, 1986).

Menurut tempat terjadinya, nyeri dibagi atas nyeri somatik dan nyeri viseral.

Nyeri dikatakan sebagai somatik apabila rasa nyeri berasal dari kulit, otot,

persendian, tulang, atau dari jaringan ikat. Nyeri somatik kemudian dibagi lagi

menjadi nyeri permukaan dan nyeri dalam. Apabila rangsang bertempat dalam kulit,

maka rasa nyeri yang terjadi disebut nyeri permukaan. Sebaliknya, nyeri yang berasal

dari otot, persendian, tulang, dan jaringan ikat disebut nyeri dalam (Guyton, 1986).

Nyeri permukaan yang terbentuk kira-kira setelah kulit tertusuk dengan jarum,

mempunyai karakter yang ringan, dapat dilokalisasi dengan baik, dan hilang dengan
19

cepat setelah berakhirnya rangsang. Nyeri ini menyebabkan suatu reaksi menghindar

secara refleks seperti refleks menarik kaki sesaat setelah menginjak duri. Nyeri dalam

sering kali diikuti oleh reaksi afektif seperti tidak bergairah, mual, berkeringat, dan

penurunan tekanan darah. Nyeri dalam juga dirasakan sebagai tekanan, sukar

dilokalisasi, dan kebanyakan menyebar ke sekitarnya. Contoh nyeri dalam yang

umum terjadi dan dirasakan adalah sakit kepala (Guyton, 1986).

4. Mekanisme nyeri

Menurut Dipiro dkk (2008) proses penghantaran nyeri dibedakan dalam empat

tahap, yaitu:

a. Stimulasi

Sensasi nyeri diawali dengan pembebasan reseptor nyeri akibat adanya

rangsangan baik berupa mekanis, panas, dan kimia. Adanya rangsangan-

rangsangan tersebut (noxius stimuli) akan menyebabkan lepasnya mediator-

mediator seperti bradikinin, K+, prostaglandin, histamin, leukotrien, serotonin dan

substansi P. Aktivasi reseptor menimbulkan aksi potensial yang ditransmisikan

sepanjang serabut saraf aferen menuju sumsum tulang belakang.

b. Transmisi

Transmisi rangsang nyeri terjadi di serabut aferen Aδ dan C. Serabut saraf

aferen tersebut akan merangsang serabut nyeri di berbagai lamina spinal cord’s

dorsal horn melepaskan berbagai neurotransmiter termasuk glutamat, substansi

P, dan kalsitonin (Dipiro dkk, 2008).


20

c. Persepsi nyeri

Merupakan titik utama transmisi impuls nyeri. Otak akan mengartikan

sinyal nyeri dengan batas tertentu, sedangkan fungsi kognitif dan tingkah laku

akan memodifikasi nyeri sehingga tidak lebih parah. Relaksasi, pengalihan,

meditasi dan berkhayal dapat mengurangi rasa nyeri. Sebaliknya, perubahan

biokimia saraf yang terjadi pada keadaan seperti depresi dan stres dapat

memperparah rasa nyeri (Dipiro dkk, 2008).

d. Modulasi

Modulasi nyeri melalui sejumlah proses yang kompleks. Telah diketahui

bahwa sistem opiat endogen terdiri atas neurotransmiter-neurotransmiter (seperti

enkhepalin, dinorfin, dan β-endorfin dan reseptor-reseptor ( seperti μ, δ, dan κ)

yang ditemukan dalam sistem saraf pusat. Opioid endogen berikatan dengan

reseptor opioid dan mengantarkan transmisi rangsang nyeri (Dipiro dkk, 2008).

Faktor pertumbuhan neuron atau neuron growth factor (NGF) merupakan

mediator mirip sitokinin yang dihasilkan oleh jaringan di perifer terutama pada

jaringan yang mengalami peradangan dan beraksi secara spesifik pada serabut saraf

aferen serta meningkatkan kemosensitifitas dan kandungan senyawa peptida.

Senyawa peptida dilepaskan di pusat dan di perifer sebagai mediator yang berperan

penting dalam terjadinya nyeri (Rang dkk, 2007).

Menurut Mutschler (1991) untuk mempengaruhi nyeri dengan obat, terdapat

kemungkinan-kemungkinan berikut :
21

1. mencegah sensibilasi reseptor nyeri dengan cara penghambatan sintesis

prostaglandin dengan analgesik yang bekerja perifer,

2. mencegah pembentukan rangsang dalam reseptor nyeri dengan memakai

anestetika permukaan atau anestetika infiltrasi,

3. menghambat penerusan rangsang dalam serabut saraf sensorik dengan anestetika

induksi,

4. meringankan nyeri atau meniadakan nyeri melalui kerja dalam sistem saraf pusat

dengan analgesik yang bekerja pada pusat atau obat narkosis, dan

5. mempengaruhi pengalaman nyeri dengan psikofarmaka (transkuilansia,

neuroleptika, dan antidepresan).

F. Obat Antiinflamasi Non Steroid (OAINS)

Berdasarkan mekanisme kerjanya secara umum, obat antiinflamasi dibagi

dalam dua golongan, yaitu golongan steroid dan golongan nonsteroid. Obat

antiinflamasi golongan steroid memiliki daya antiinflamasi kuat, dengan mekanisme

utama menghambat pelepasan prostaglandin dari sel-sel sumbernya. Sedangkan obat

antiinflamasi golongan non steroid (OAINS) bekerja melalui mekanisme lain, seperti

inhibisi enzim siklooksigenase yang berperan dalam biosintesis prostaglandin

(Anonim, 1991).

Obat antiinflamasi golongan non steroid (OAINS) berperan sebagai

antiinflamasi dengan satu atau beberapa mekanisme, diantaranya dengan inhibisi

metabolisme asam arakidonat, inhibisi enzim siklooksigenase (COX) atau inhibisi


22

sintesis prostaglandin, inhibisi lipooksigenase, inhibisi sitokin, pelepasan hormon

steroid, stabilisasi membran lisosom, dan pelepasan fosforilasi oksidatif (Kohli, Ali,

and Raheman, 2005).

Hampir semua OAINS adalah menghambat sintesis prostaglandin dengan

inhibisi COX-1 dan COX-2. Berdasarkan pada selektifitasnya terhadap COX, OAINS

dapat diklasifikasikan menjadi beberapa golongan, yaitu:

1. Inhibitor COX nonselektif, meliputi aspirin, indometasin, diklofenak, piroksikam,

ibuprofen, naproxen, dan asam mefenamat;

2. Inhibitor selektif COX-2, meliputi nimesulid, meloksikam, nabumeton, dan

aseklofenak. Golongan OAINS ini bekerja secara selektif preferential COX-2,

dimana penghambatan pada COX-2 nya tidak sekuat golongan rofecoxib sehingga

tidak mengganggu fungsi fisiologis COX-2 yang berguna pada kardiovaskular.

Golongan OAINS ini disebut aman untuk kardiovaskular (Ignatius, Zarraga, and

Ernest, 2007).

3. Inhibitor sangat selektif COX-2, meliputi celecoxib, rofecoxib, valdecoxib,

parecoxib, etoricoxib dan lumiracoxib (Derle, Gujar, and Sagar, 2006). OAINS

sangat selektif COX-2 memiliki efek samping pada kardiovaskular, yaitu dapat

meningkatkan resiko terjadinya AMI (Acute Myocardial Infarction) karena

mempunyai penghambatan yang sangat kuat terhadap COX-2. COX-2

mempunyai fungsi fisiologis dalam mensintesis prostasiklin yang berfungsi

sebagai vasodilator pada pembuluh darah jantung (Ignatius dkk., 2007).


23

G. Diklofenak

Diklofenak adalah golongan obat nonsteroid dengan aktivitas analgesik,

antiinflamasi, dan antipiretik. Struktur kimia diklofenak ditunjukkan pada Gambar 3.

HO Cl

C N
H

Cl

Gambar 3. Struktur diklofenak


(Hanson, 2000)

Obat ini adalah penghambat cyclooxygenase yang relatif nonselektif dan kuat,

juga mengurangi bioavailabilitas arachidonic acid. Obat ini cepat diserap sesudah

pemberian secara oral, tetapi bioavailabilitas sistemiknya hanya antara 30-70%

karena metabolisme lintas pertama (Katzung, 2002). Kontraindikasi obat ini untuk

penderita yang hipersensitivitas terhadap diklofenak atau penderita asma, urtikaria

atau alergi pada pemberian aspirin atau NSAID lainnya, serta penderita tukak

lambung (Wilmana, 1995). Dosis oral diklofenak adalah 75-100 mg/hari dalam 2-3

dosis, sebaiknya setelah makan. Dosis maksimal tiap hari untuk setiap cara pemberian

adalah 150 mg (Anonim, 2000).


24

H. Analgesik

Analgesik adalah senyawa yang dalam dosis terapeutik meringankan atau

menekan rasa nyeri, tanpa memiliki kerja anestesi umum. Berdasarkan potensi kerja,

mekanisme kerja, dan efek sampingnya, analgesik dibedakan menjadi dua kelompok,

yaitu :

1. Analgesik yang berkhasiat kuat, bekerja pada pusat (hipoanalgesik)

2. Analgesik yang berkhasiat lemah (sampai sedang), bekerja terutama pada perifer

dengan sifat antipiretik dan kebanyakan juga mempunyai sifat antiinflamasi

(Mutschler,1986).

Analgesik dapat dibedakan menjadi dua golongan, yaitu:

a. Analgesik Opioid (narkotik)

Analgesik narkotik adalah golongan obat yang bekerja pada reseptor opioid

di Sistem Saraf Pusat (SSP), yang menyebabkan persepsi nyeri dan respon

emosional terhadap nyeri berubah (dikurangi) (Tjay dan Rahardja, 2002). Tetapi

semua analgesik opioid menimbulkan adiksi, maka usaha untuk mendapatkan

suatu analgesik yang ideal masih tetap diteruskan dengan tujuan mendapatkan

suatu analgesik yang sama kuat dengan morfin tanpa bahaya adiksi (Anonim,

1995).

Berdasarkan cara kerjanya, golongan ini dibagi dalam antara lain :

1. Agonis opiat, dibagi menjadi candu (seperti morfin, kodein, heroin) dan zat-

zat hasil sintesis seperti metadon dan derivatnya, juga petidin dan

derivatnya.
25

2. Antagonis opiat seperti nalokson dan nalorfin; dan

3. Kombinasi (mengikat pada reseptor opioid, tetapi tidak mengaktivasi

kerjanya dengan sempurna) (Tjay dan Rahardja, 2002).

b. Analgesik non narkotik

Obat-obatan golongan ini mampu meringankan atau menghilangkan rasa

nyeri tanpa mempengaruhi Sistem Saraf Pusat (SSP) atau menurunkan kesadaran

serta tidak menimbulkan ketagihan (adiksi). Kebanyakan juga memiliki daya

antipiretis dan atau antiradang (Tjay dan Rahardja, 2002). Beberapa obat

golongan ini terbukti mempengaruhi metabolisme atau kerja sejumlah mediator

biokimia dan sel pada proses peradangan. Mekanisme kerjanya yakni

menghambat atau menghalangi biosintesis prostaglandin dan metabolisme yang

bersangkutan yang merupakan penyebab nyeri, demam dan radang. Analgesik

non narkotik mempunyai mekanisme perifer maupun sentral dalam meredakan

nyeri (Hite, 1995).

Analgesik golongan ini diabsorbsi dengan baik dan cepat. Kebanyakan

analgesik golongan ini berdaya antipiretik dan atau antiradang. Oleh karena itu

obat ini tidak hanya digunakan sebagai obat anti nyeri saja tetapi juga pada

gangguan demam dan peradangan. Obat ini banyak digunakan pada nyeri ringan

sampai sedang, seperti sakit kepala, sakit gigi, otot, perut, haid, dll (Tjay dan

Rahardja, 2002).
26

Menurut Tjay dan Rahardja (2002), rasa nyeri dapat dilawan dengan beberapa

cara yakni :

1. merintangi terbentuknya rangsangan pada reseptor nyeri perifer dengan analgesik

perifer

2. merintangi penyaluran rangsangan di saraf–saraf sensoris, misalnya dengan

anastetika lokal.

3. blokade pusat di SSP dengan analgesik sentral (narkotika) atau dengan anastetika

umum.

I. Parasetamol

H O

HO N C CH3

Gambar 4. Struktur parasetamol


(Katzung, 2002)

Parasetamol diindikasikan sebagai penghilang nyeri ringan sampai sedang.

Kemanjurannya mirip dengan asetosal, tetapi tidak memiliki aktivitas antiinflamasi

yang berarti, parasetamol kurang mengiritasi lambung, oleh karena itu sekarang

secara umum lebih disukai daripada asetosal. Overdosis pada parasetamol khususnya

berbahaya karena dapat mengakibatkan kerusakan hati yang kadang-kadang tidak

tampak dalam 4-6 hari pertama (Anonim, 2000).

Sebagai analgesik sebaiknya tidak diberikan terlalu lama karena kemungkinan

menimbulkan nefropati analgesik (Wilmana, 1995). Gambaran umum dari nefropati


27

analgesik meliputi gagal ginjal kronis, hipertensi, anemia. Kebanyakan penderita

mengalami nefropati karena memakai kombinasi fenasetin, aspirin, asetaminofen

dalam waktu lama dan jumlah yang berlebihan (Robbins dan Kumar, 1995).

J. Metode Pengujian Efek Antiinflamasi

Secara umum, model inflamasi dibedakan menjadi dua, sesuai dengan jenis

inflamasi, yaitu model inflamasi akut dan model inflamasi kronik. Inflamasi akut

dapat dibuat dengan berbagai cara, yaitu dengan induksi udema kaki tikus,

pembentukan eritema (respon kemerahan) dan pembentukan eksudasi inflamasi,

sedangkan inflamasi kronis dibuat dengan pembentukan granuloma dan induksi

artritis (Gryglewski, 1977).

Metode yang sering digunakan dalam penelitian uji inflamasi adalah metode

induksi udema telapak kaki belakang. Pada metode ini induksi udem dilakukan pada

kaki hewan percobaan, yaitu tikus jantan atau betina, dengan cara penyuntikan

suspensi karagenin secara sublantar pada telapak kaki kiri bagian belakang. Ukuran

udema kaki diukur dengan alat plestimometer segera setelah injeksi (Khanna dan

Sharma, 2001). Aktivitas ant-inflamasi obat ditunjukkan oleh kemampuannya

mengurangi udema yang diinduksi pada kaki tikus (Vogel, 2002).

Keuntungan metode ini antara lain cepat (waktu yang dibutuhkan tidak terlalu

lama) dan pengukuran volume udema dapat dilakukan dengan lebih akurat dan

objektif, mudah dilakukan karena caranya mudah diamati atau visible. Kekurangan
28

teknik penyuntikan pada telapak kaki tikus atau jika penyuntikan karagenin secara

subplantar tersebut tidak menjamin pembentukan volume udema yang seragam pada

hewan percobaan, akan dapat mempengaruhi nilai simpangan pada masing-masing

kelompok tikus yang cukup besar (Gryglewski, 1977).

Metode uji yang digunakan pada penelitian ini yaitu metode Langford dkk

termodifikasi. Dasar metode ini adalah dengan membuat udema pada telapak kaki

belakang mencit menggunakan karagenin 1%, kemudian kaki dipotong pada sendi

torsocrural dan ditimbang. Prosentase daya antiinflamasi dapat dihitung dari

perubahan bobot kaki hewan uji.

Adapun rumus aslinya adalah sebagai berikut :


𝐔𝐔−𝐃𝐃
𝐃𝐃𝐃𝐃𝐃𝐃𝐃𝐃 𝐀𝐀𝐀𝐀𝐀𝐀𝐀𝐀𝐀𝐀𝐀𝐀𝐀𝐀𝐀𝐀𝐀𝐀𝐀𝐀𝐀𝐀𝐀𝐀 (𝐝𝐝𝐝𝐝𝐝𝐝𝐝𝐝𝐝𝐝 %) = 𝐱𝐱 𝟏𝟏𝟏𝟏𝟏𝟏%
𝐃𝐃

Keterangan :
U = harga rata-rata berat kelompok karagenin (kaki kiri) dikurangi rata-rata berat kaki
normal (kaki kanan)
D = harga rata-rata berat kaki kelompok perlakuan (kaki kiri) dikurangi rata-rata berat
kaki normal (kaki kanan)

Karena persentase daya antiinflamasi dihitung dari pengurangan bobot udema

maka rumus di atas diubah menjadi sebagai berikut:

𝐔𝐔 − 𝐃𝐃
𝐃𝐃𝐃𝐃𝐃𝐃𝐃𝐃 𝐀𝐀𝐀𝐀𝐀𝐀𝐀𝐀𝐀𝐀𝐀𝐀𝐀𝐀𝐀𝐀𝐀𝐀𝐀𝐀𝐀𝐀𝐀𝐀 (𝐝𝐝𝐝𝐝𝐝𝐝𝐝𝐝𝐝𝐝 %) = 𝐱𝐱 𝟏𝟏𝟏𝟏𝟏𝟏%
𝐔𝐔

Keterangan:
U = rata-rata bobot kaki kelompok karagenin dikurangi rata-rata bobot kaki
kelompok normal (tanpa perlakuan)
D = rata-rata bobot kaki kelompok perlakuan dikurangi rata-rata bobot kaki
kelompok normal (tanpa perlakuan)
29

Letak perbedaannya adalah bahwa pada metode Langford, persen (%) daya

antiinflamasi kelompok perlakuan merupakan hasil selisih rata-rata berat kaki

kelompok karagenin dengan rata-rata berat kaki kelompok perlakuan dibandingkan

dengan rata-rata berat kaki kelompok perlakuan, sedangkan pada cara perhitungan

yang digunakan adalah persen (%) daya antiinflamasi kelompok perlakuan

merupakan hasil perbandingan selisih rata-rata berat kaki kelompok karagenin dengan

rata-rata berat kaki kelompok perlakuan dibandingkan dengan rata-rata berat kaki

kelompok karagenin. Kedua cara perhitungan ini sama-sama dapat memberikan hasil

negatif (-) bila harga U < D.

K. Metode Pengujian Efek Analgesik

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode rangsang kimia.

Metode ini menggunakan zat kimia yang diinjeksikan pada hewan uji secara

intraperitoneal, sehingga akan menimbulkan nyeri. Beberapa zat kimia yang biasanya

digunakan antara lain asam asetat dan fenil kuinon. Metode ini sederhana,

reproducible (dapat diulang-ulang hasilnya), dan cukup peka untuk menguji senyawa

analgesik dengan daya analgesik lemah, namun mempunyai kekurangan yaitu

masalah kespesifikasinya. Oleh karena itu metode ini sering digunakan untuk

penapisan (screening). Daya analgesik dapat dievaluasi menggunakan persen

penghambatan terhadap geliat menggunakan persamaan menurut Handerson-Forsaith.


30

% proteksi rangsang nyeri = (100 – [(P/K) x 100])%

P = jumlah kumulatif geliat mencit yang diberi perlakuan.


K= jumlah kumulatif geliat mencit kelompok kontrol.

Hewan uji yang digunakan pada metode ini dapat bermacam-macam, antara

lain: anjing, marmot, tikus, merpati, dan mencit. Untuk mencit, yang sering

digunakan adalah mencit betina, dikarenakan kepekaan terhadap rangsang lebih besar

daripada yang jantan. Respon mencit yang biasa diamati adalah lompatan dan

konstraksi perut dengan disertai tarikan kaki belakang (rentangan) yang disebut geliat

(Putra, 2003 cit Soerjandari, 1991).

L. Landasan Teori

Sebelum terjadinya inflamasi, neutrofil dan makrofag akan bermigrasi ke

daerah yang mengalami kerusakan pada jaringan. Pada daerah peradangan juga

dihasilkan oksidan reaktif seperti radikal bebas, yang memiliki kontribusi pada

kerusakan jaringan seperti pada penyakit rheumatoid arthritis (Halliwell dkk., 1988).

Biosintesis prostaglandin sendiri berlangsung dengan bantuan radikal bebas

(Fessenden dan Fessenden, 1992). Jika radikal bebas tesebut tidak ditangkap, maka

prostaglandin akan terus terbentuk. Selain menyebabkan terjadinya inflamasi,

prostaglandin juga dapat mensensitisasi reseptor nyeri (nociceptor) sehingga akan

timbul rasa nyeri.

Pendekatan dari penelitian ini adalah adanya kandungan senyawa antioksidan

dalam buah pepaya, yaitu karotenoid (beta karoten) dan vitamin E memiliki
31

kemampuan dalam menangkap oksidan reaktif seperti radikal bebas (free radical

scavengers). Beta karoten dilaporkan dapat menghambat oksidasi asam arakidonat

(Lieber and Leo, 1999). Dengan demikian pembentukan prostaglandin terhambat

sehingga peradangan dapat diatasi dan rasa nyeri sebagai manifestasi klinis dari

inflamasi juga akan berkurang. Hal inilah yang mendasari dugaan sementara bahwa

jus buah pepaya dapat berkhasiat sebagai antiinflamasi dan analgesik.

Untuk menguji efek antiinflamasi digunakan metode rangsang udema karena

metode ini telah digunakan oleh banyak peneliti dan telah terbukti cocok untuk

skrining untuk evaluasi mendalam (Vogel, 2002). Sedangkan untuk menguji efek

analgesik digunakan metode geliat, karena metode ini sensitif, sederhana,

reprodusibel untuk skrining analgesik lemah (Turner, 1965).

M. Hipotesis

Jus buah pepaya (Carica papaya L.) memiliki efek analgesik dan antiinflamasi

yang ditunjukkan terhadap mencit putih betina galur Swiss.


BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Rancangan Penelitian

Penelitian efek analgesik dan antiinflamasi jus buah pepaya (Carica papaya

L.) pada mencit putih betina ini merupakan penelitian dengan rancangan

eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap pola satu arah.

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

1. Variabel utama

a. Variabel bebas

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah dosis dari jus buah pepaya (Carica

papaya L.)

b. Variabel tergantung

Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah besarnya udema pada kaki

hewan uji dan jumlah geliat yang dihasilkan setelah perlakuan dengan jus

buah pepaya.

2. Variabel pengacau

a. Variabel pengacau terkendali

Variabel pengacau terkendali dalam penelitian ini adalah berat badan, dan

umur dari hewan uji. Hewan uji yang digunakan adalah mencit putih betina

galur Swiss dengan berat badannya 20 – 30 g dan umurnya 2 – 3 bulan, asal

32
33

buah pepaya dari supermarket Superindo (Pepaya Bangkok), jalur pemberian

jus dilakukan secara peroral, jalur pemberian rangsang nyeri secaran

intraperitoneal, jalur pemberian rangsang inflamasi secara subplantar.

b. Variabel pengacau tak terkendali

Variabel pengacau tak terkendali dalam penelitian ini adalah keadaan

patologis dari hewan uji yang digunakan, kemampuan tubuh hewan uji untuk

mengabsorbsi jus buah pepaya, serta kemampuan hewan untuk beradaptasi

dengan peradangan maupun rasa nyeri.

3. Definisi Operasional

1. Jus buah pepaya adalah jus dengan konsentrasi 90% yang diperoleh dengan

cara memblender 90 g buah pepaya segar yang dipotong dengan ketebalan ± 1

cm kemudian dimasukkan dalam labu ukur 100 ml dan ditambahkan aquades

hingga tanda batas.

2. Geliat didefinisikan sebagai sebuah perenggangan, tarikan ke satu sisi,

penarikan satu kaki belakang ke arah belakang, peregangan abdomen, dan

penarikan kepala dan kaki secara ekstrim ke arah belakang (opistotonus),

sehingga dengan begitu bagian perut mencit menyentuh alas (Turner, 1965).

3. Injeksi subplantar adalah injeksi pada telapak kaki hewan uji, arah jarum

harus menuju ke jari-jari hewan uji.

4. Sendi torsocrural adalah sendi pada hewan uji yang terdapat pada

pergelangan kaki bagian bawah.


34

5. Uji antiinflamasi adalah uji dengan menggunakan mencit galur Swiss sebagai

hewan uji yang diradangkan telapak kaki kirinya, dan diukur bobot kedua kaki

belakangnya dengan menggunakan neraca analitik (Mettler Toledo),

kemudian dibandingkan dengan perlakuan per oral jus buah pepaya.

6. Uji analgesik adalah uji dengan menggunakan mencit galur Swiss sebagai

hewan uji yang diberi rangsang kimia secara intraperitoneal kemudian diamati

jumlah geliat mencit dan dibandingkan dengan perlakuan peroral jus buah

pepaya.

C. Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:

1. Uji efek antiinflamasi

a. Buah Pepaya (Carica papaya L.) yang diperoleh dari supermarket Superindo

(Pepaya Bangkok).

b. Mencit putih betina galur Swiss 30 ekor dipesan dari Lembaga Pusat

Penelitian dan Teknologi (LPPT) Universitas Gadjah Mada dengan berat

badan 20-30 gram dan umur 2-3 bulan.

c. Kalium diklofenak sebagai kontrol positif, yang diperoleh dari Laboratorium

Farmakologi Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

d. Karagenin (Sigma Chemical Co.) 1%, sebagai zat penginduksi udem, yang

diperoleh dari Laboratorium Farmakologi Fakultas Farmasi Universitas

Sanata Dharma Yogyakarta.


35

e. Aquadest sebagai kontrol negatif, diperoleh dari Laboratorium Biokimia

Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

f. NaCl fisiologis 0,9% (Otsuka) sebagai pelarut karagenin diperoleh dari

Apotek Kimia Farma.

2. Uji efek analgesik

a. Buah Pepaya (Carica papaya L.) yang diperoleh dari supermarket Superindo

(Pepaya Bangkok).

b. Mencit putih betina galur Swiss 25 ekor dipesan dari Lembaga Pusat

Penelitian dan Teknologi (LPPT) UGM dengan berat badan 20-30 gram dan

umur 2-3 bulan.

c. Parasetamol (Berlico), sebagai kontrol positif analgesik, diperoleh dari

Laboratorium Farmakologi Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta.

d. Asam asetat 1%, sebagai zat penginduksi nyeri, diperoleh dari Laboratorium

Farmakologi Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

e. Carboxymethylcellulose-Na (Dai-Ichi Seiyaku Co., Ltd), sebagai pensuspensi

parasetamol diperoleh dari Laboratorium Farmakologi Fakultas Farmasi

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

f. Aquades sebagai kontrol negatif, diperoleh dari Laboratorium Biokimia

Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.


36

D. Alat Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:

1. Neraca analitik (Mettler Toledo AB 204, Germany)

2. Spuit injeksi oral 1 ml (Terumo)

3. Spuit injeksi 1 ml (Terumo)

4. Stopwatch

5. Alat-alat gelas: gelas beker, pipet tetes, pengaduk, labu takar, labu ukur,

pipet ukur (Pyrek Iwaki Glass).

6. Kotak kaca tempat pengamatan

7. Blender Philips

E. Tata Cara Penelitian

1. Penelitian efek antiinflamasi

a. Pengumpulan bahan penelitian

Bahan uji yang berupa buah pepaya yang diperoleh dari supermarket

Superindo (Pepaya Bangkok).

b. Pembuatan larutan karagenin 1%

Larutan karagenin 1% dibuat dengan cara menimbang dengan seksama

0,1 g serbuk karegenin kemudian dilarutkan dalam sedikit aquadest. Setelah

itu, larutan dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml, ditambah aquadest hingga

tanda batas 100 ml, kemudian digojog.


37

c. Seleksi hewan uji

Hewan uji yang digunakan adalah mencit putih betina galur Swiss, yang

berumur 2-3 bulan, dengan berat badan 20-30 g. Semua hewan uji sebelum

diberi perlakuan, diadaptasikan terlebih dahulu selama satu minggu dengan

kondisi yang sama, yaitu dipelihara dengan kondisi dan perlakuan yang sama

meliputi kandang, pakan, serta minum. Sebelum hari pengujian, hewan uji

dipuasakan terlebih dahulu selama 18-24 jam dengan cara tidak diberi makan,

tetapi tetap diberikan minum. Hal tersebut bertujuan untuk mengurangi variasi

akibat adanya asupan makanan.

d. Penetapan kriteria peradangan

Respon yang diamati pada uji efek antiinflamasi ini berupa besar

peradangan. Kriteria peradangan perlu ditetapkan untuk mendapatkan

keterulangan hasil. Peradangan pada kaki hewan uji diukur menggunakan

neraca analitik (Mettler Toledo); dengan cara menimbang kaki belakang

hewan uji yang telah disuntikkan karagenin 1% secara subplantar.

e. Penetapan rentang waktu pengukuran udem setelah injeksi karagenin

1% secara subplantar

Pada penetapan ini digunakan 9 ekor mencit betina, yang terbagi dalam

3 kelompok. Masing-masing mencit diinjeksi dengan karagenin 1% dengan

dosis 25 mg/kgBB pada kaki belakang sebelah kiri secara subplantar,

sedangkan kaki belakang sebelah kanan hanya ditusuk menggunakan jarum

injeksi sebagai pembanding. Kemudian mencit dikorbankan pada jam ke 1, 2,


38

3, dan 4 setelah injeksi karagenin 1%. Berdasarkan hasil yang diperoleh akan

dipilih rentang waktu yang menghasilkan udem maksimal.

f. Penetapan dosis efektif diklofenak

Dosis diklofenak dipilih berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan

sebelumnya (Djunarko, Donatus, dan Noni, 2003). Menurut penelitian, dosis

diklofenak untuk tikus dengan berat badan 250 gram adalah 40 mg/kgBB.

Dosis diklofenak untuk tikus dengan berat badan 200 gram adalah (200

gram x 40 mg/kgBB) : 250 gram = 32 mg/kgBB. Dari tikus dengan berat

badan 200 gram kemudian dikonversikan ke mencit dengan berat badan 20

gram, perhitungannya sebagai berikut :

0,14 x 32 mg/kgBB = 4,48 mg/kgBB

Sehingga dosis diklofenak untuk mencit dengan berat badan 20 gram

adalah 4,48 mg/kgBB. Kemudian dua dosis lainnya diperoleh dengan

menaikkan dosis sebesar satu seperempatnya dan menurunkan dosis sebesar

tiga perempatnya. Dosis diklofenak yang digunakan sebagai dosis orientasi

adalah 3,36; 4,48, dan 5,6 mg/kg BB. Dari hasil orientasi diketahui bahwa

dosis yang paling efektif untuk mengurangi peradangan adalah pada dosis

4,48 mg/kg BB.

g. Penetapan waktu pemberian dosis efektif diklofenak

Dalam penetapan ini dilakukan digunakan 12 ekor yang terbagi dalam 4

kelompok. Kelompok I, II, III, dan IV secara berturut-turut diberikan injeksi

p.o. diklofenak selama 15, 30, 45, dan 60 menit sebelum injeksi karagenin 1%
39

secara subplantar. 3 jam setelah injeksi karagenin, dilakukan pengukuran

udem. Waktu efektif pemberian diklofenak merupakan rentang waktu antara

sesaat setelah pemberian diklofenak sampai saat injeksi karagenin, yang

mampu menurunkan udem secara berarti.

h. Penentuan dosis jus buah pepaya

Dalam penelitian ini, jus buah pepaya dibuat dalam tiga peringkat dosis

yaitu, 7,5; 15,0; dan 30,0 g/kg BB. Hal ini didasarkan pada hasil orientasi

konsentrasi terpekat jus yang masih dapat dihisap dan dikeluarkan dengan

lancar oleh spuit injeksi peroral. Orientasi awal dimulai dengan konsentrasi

100%, kemudian secara bertahap diturunkan hingga didapatkan konsentrasi

optimal, yaitu 90% (0,9 g/mL). Selanjutnya dilakukan perhitungan dosis jus

buah pepaya yang diuraikan sebagai berikut:

D × BB = C × V

Keterangan:
D = dosis (mg/kg)
BB = berat badan mencit (g)
C = konsentrasi (g/ml)
V = volume

C×V
D=
BB
0,9 g/mL ×1mL
D= 30g

D = 30,0 g/kg BB → Dosis III

Peringkat dosis dalam penelitian:

Dosis III : 30,0 g/kg BB


40

1
Dosis II : 2 × 30,0 g/kg = 15,0 g/kg BB

1
Dosis I : 2 × 15,0 g/kg = 7,5 g/kg BB

i. Uji efek dan daya antiinflamasi

Hewan uji yang digunakan pada penelitian ini adalah 30 ekor mencit

yang dibagi menjadi 6 kelompok secara acak, sebagai berikut:

Kelompok I : kontrol negatif (karagenin 1%)

Kelompok II : kontrol negatif (aquadest)

Kelompok III : kontrol positif (diklofenak secara peroral dengan dosis

4,48 mg/kg BB)

Kelompok IV : perlakuan jus pepaya dengan dosis 7,5 g/kg BB

Kelompok V : perlakuan jus pepaya dengan dosis 15,0 g/kg BB

Kelompok VI : perlakuan jus pepaya dengan dosis 30,0 g/kg BB

Setelah hewan uji dikelompokkan dan diberi perlakuan secara peroral,

15 menit kemudian diinjeksi dengan larutan karagenin 1% secara subplantar

pada kaki kiri sementara kaki kanan disuntik dengan spuit tanpa larutan

karagenin. 3 jam kemudian hewan uji dikorbankan, kedua kaki belakang

dipotong pada sendi torsocrural kemudian ditimbang bobot masing-masing

kaki (kanan dan kiri).


41

j. Perhitungan % daya antiinflamasi

Metode Langford dkk (1972) yang telah dimodifikasi digunakan untuk

mengetahui efek anti inflamasi, yang dihitung dalam persen (%) efek anti

inflamasi dengan rumus sebagai berikut :

U−D
% Daya Antiinflamasi = × 100%
U

Keterangan :
U = nilai rata-rata berat kelompok karagenin (kaki kiri) dikurangi rata-rata
berat kaki normal (kaki kanan)
D = nilai rata-rata berat kaki kelompok perlakuan (kaki kiri) dikurangi rata-
rata berat kaki normal (kaki kanan)

2. Penelitian efek analgesik

a. Pengumpulan bahan penelitian

Bahan uji yang berupa buah pepaya yang diperoleh dari supermarket

Superindo (Pepaya Bangkok).

b. Pembuatan asam asetat 1%

Larutan asam asetat dibuat dengan cara pengenceran dari larutan asam

asetat glasial 100% v/v dengan volume pengambilan dihitung dengan

menggunakan rumus:

volume 1 x konsentrasi 1 = volume 2 x konsentrasi 2

Sebanyak 0,25 ml asam asetat glasial 100% diencerkan dengan aquadest

hingga volume 25 ml menggunakan labu ukur 25 ml.


42

c. Pembuatan larutan CMC Na 1%

Larutan CMC Na 1% dibuat dengan dara menimbang dengan seksama 1

g serbuk CMC Na kemudian ditaburkan di atas permukaan air panas sedikit

demi sedikit sehingga seluruhnya menutupi bagian atas permukaan air secara

merata, lalu biarkan mengembang semalam. Pada hari berikutnya, larutan

yang terbentuk diaduk kemudian dimasukkan ke dlam labu ukur 100 mL dan

tambahkan aquadest hingga tanda batas 100 ml kemudian gojog.

d. Pembuatan suspensi parasetamol dalam CMC Na 1%

Parasetamol yang akan digunakan sebagai kontrol positif dibuat dengan

menimbang secara seksama sejumlah parasetamol dan disuspensikan dalam

larutan CMC Na 1 % sesuai dengan volume yang akan dibuat.

e. Seleksi hewan uji

Hewan uji yang digunakan adalah mencit putih betina galur Swiss, yang

berumur 2-3 bulan, dengan berat badan 20-30 g. Semua hewan uji sebelum

diberi perlakuan, diadaptasikan terlebih dahulu selama satu minggu dengan

kondisi yang sama, yaitu dipelihara dengan kondisi dan perlakuan yang sama

meliputi kandang, pakan dan minum. Sebelum hari pengujian, hewan uji

dipuasakan terlebih dahulu selama 18-24 jam dengan cara tidak diberi makan,

tetapi tetap diberikan minum. Hal tersebut bertujuan untuk mengurangi variasi

akibat adanya asupan makanan.


43

f. Penetapan dosis parasetamol

Dosis parasetamol yang biasa digunakan sebesar 500 mg/50kgBB. Dosis

tersebut dikonversikan ke mencit 20 g, dengan perhitungan sebagai berikut:

Dosis untuk manusia 70 kg

70 kg
Dosis = 50 kg × 0,5 g = 0,7 g/70 kg BB manusia

Konversi dosis ke mencit 20 g

Dosis = 0,7𝑔𝑔 × 0,0026 = 1,82 × 10−3 𝑔𝑔/20𝑔𝑔 BB mencit

Maka dosis parasetamol yang digunakan adalah:


1000
20
× (1,82 × 10−3 𝑔𝑔/20𝑔𝑔) =0,091 g/kg BB = 91,00 mg/kg BB.

Kemudian dibuat 3 peringkat dosis untuk diorientasi manakah yang paling

efektif dalam menghambat rasa nyeri, yaitu 68,25; 91,00; dan 113,75 mg/kg

BB. Dari hasil orientasi diketahui bahwa dosis 91,00 mg/kb BB secara

signifikan dapat menghambat rasa nyeri dibandingkan dua dosis lainnya

sehingga dosis 91,00 mg/kg BB yang kemudian dipakai dalam penelitian.

g. Penetapan rentang waktu pemberian rangsang geliat

Penetapan waktu pemberian rangsang nyeri diperlukan untuk

mengetahui rentang waktu yang paling efektif antara waktu pemberian obat

atau senyawa uji dengan waktu penyuntikan asam asetat secara intraperitoneal

pada hewan uji. Rentang waktu yang diujikan adalah 5, 10, 15, dan 30 menit.

Sebanyak 12 ekor hewan uji, yang telah dipuasakan 18 – 24 jam dibagi ke

dalam 4 kelompok. Hewan uji yang sebelumnya telah diberikan parasetamol


44

dosis 91,00 mg/kg secara peroral, kemudian setelah selang waktu tiap

kelompok (5, 10, 15, dan 30 menit) diinjeksi dengan asam asetat yang

diperoleh dari orientasi sebelumnya, yaitu 25 mg/kg BB.

h. Uji efek analgesik

Hewan uji yang digunakan pada penelitian ini adalah 25 ekor mencit

yang dibagi menjadi 5 kelompok secara acak, sebagai berikut:

Kelompok I : kontrol negatif (aquadest)

Kelompok II : kontrol positif (suspensi parasetamol secara peroral

dengan dosis 91 mg/kg BB)

Kelompok III : perlakuan jus pepaya dengan dosis 7,5 g/kg BB

Kelompok IV : perlakuan jus pepaya dengan dosis 15,0 g/kg BB

Kelompok V : perlakuan jus pepaya dengan dosis 30,0 g/kg BB

Setelah hewan uji dikelompokkan dan diberi perlakuan secara per oral,

15 menit kemudian diinjeksi dengan larutan asam asetat 1% secara

intraperitoneal. Segera setelah itu, diamati geliat yang muncul tiap 5 menit

selama total waktu pengamatan 60 menit.

i. Perhitungan % daya analgesik

Besarnya penghambatan jumlah geliat dihitung dengan persamaan

Handerson dan Forsaith yaitu :


45

P
% Daya analgesik = 100% − �� � × 100%�
K

Keterangan :
P = jumlah kumulatif geliat hewan uji setelah pemberian obat yang
ditetapkan
K = jumlah kumulatif geliat hewan uji kontrol

Perubahan persen proteksi geliat terhadap kontrol positif dihitung

menggunakan rumus :

Kp − P
% Perubahan proteksi rangsang nyeri = x 100%
Kp

Keterangan :
P = % proteksi rangsang nyeri pada tiap kelompok perlakuan
Kp = rata-rata proteksi rangsang nyeri pada kontrol positif

F. Tata Cara Analisis Hasil

Data % daya antiinflamasi dan % daya analgesik selanjutnya akan diuji secara

statistik untuk mengetahui apakah besar daya antiinflamasi dan antiinflamasi jus buah

pepaya (Carica papaya L.) tersebut berbeda bermakna atau tidak jika dibandingkan

dengan kontrol negatif dan kontrol positif. Data-data yang diperoleh tersebut

dianalisis secara statistik dengan metode Kolmogorov-Smirnov untuk melihat

distribusi data. Jika data terdistribusi normal maka dilanjutkan dengan ANOVA

dengan taraf kepercayaan 95%. Kemudian dilanjutkan dengan uji Scheffe untuk

melihat perbedaan antarkelompok bermakna (p < 0,05) atau tidak bermakna (p >

0,05). Apabila hasil ANOVA secara statistika berbeda tidak bermakna maka uji

lanjutan tidak perlu dilakukan.


BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Identifikasi Makroskopis

Buah pepaya berwarna hijau ketika masih muda dan hijau kekuningan ketika

masak. Bentuk buah bulat hingga memanjang, dengan daging buah berwarna kuning

hingga kemerahan. Bila telah masak, daging buahnya berasa manis. Buahnya

memiliki panjang antara 15 – 45 cm dan mempunyai diameter antara 10 – 30 cm.

Buah pepaya yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah pepaya Bangkok.

Perbedaannya dengan buah pepaya yang biasa adalah buah pepaya Bangkok memiliki

ukuran yang lebih besar.

B. Uji Pendahuluan

Sebelum dilakukan uji antiinflamasi dan analgesik dari jus buah pepaya, maka

dilakukan serangkaian uji pendahuluan terlebih dahulu. Uji pendahuluan dilakukan

untuk menetapkan hal-hal yang akan dilakukan pada pengujian yang sebenarnya. Uji

pendahuluan yang dilakukan dibagi menjadi dua, yaitu uji pendahuluan untuk uji

antiinflamasi dan uji pendahuluan untuk analgesik. Uji pendahuluan untuk

antiinflamasi meliputi penetapan waktu pemotongan kaki hewan uji setelah injeksi

karagenin 1% secara subplantar, penetapan dosis efektif diklofenak, dan penetapan

waktu pemberian diklofenak dosis efektif. Sedangkan uji pendahuluan pada uji

analgesik meliputi penetapan geliat mencit, orientasi dosis asam asetat, orientasi dosis

46
47

parasetamol, dan orientasi rentang waktu pemberian asam asetat. Selain itu, dilakukan

pula penetapan dosis jus buah papaya yang akan diujikan dalam penelitian ini.

1. Uji Pendahuluan Antiinflamasi

a. Orientasi penetapan waktu pemotongan kaki hewan uji setelah injeksi karagenin

1% secara subplantar

Orientasi terhadap waktu pemotongan kaki hewan uji setelah injeksi karagenin

1% secara subplantar bertujuan untuk mengetahui waktu dimana karagenin

memberikan efek yang maksimal sehingga diperoleh udema yang maksimal. Rentang

waktu pemotongan kaki yang diujikan adalah 1, 2, 3, dan 4 jam setelah injeksi

karagenin subplantar. Data bobot udema kaki mencit yang diperoleh dari hasil

orientasi dianalisis secara statistik menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov untuk

mengetahui normalitas dari distribusi data. Kemudian dilanjutkan dengan analisis

variansi satu arah, taraf kepercayaan 95% untuk mengetahui perbedaan di antara

setiap kelompok. Untuk melihat perbedaan antarkelompok, maka dilanjutkan dengan

uji Scheffe sehingga bisa diketahui kelompok mana yang berbeda dan apakah

perbedaan itu bermakna secara statistik atau tidak.

Tabel I. Rata-rata bobot udema pada orientasi rentang waktu pemotongan kaki
Kelompok Perlakuan Rata-rata bobot udema dalam
(jam) miligram (X + SE)
1 jam 124,53 ± 0,64
2 jam 113,70 ± 6,19
3 jam 154,20 ± 1,73
4 jam 113,63 ± 4,06
Keterangan :
X = Mean (Rata-rata)
SE = Standard Error (SD/√n)
48

Gambar 5. Diagram batang rata-rata bobot udema pada


orientasi rentang waktu pemotongan kaki

Dari analisis variansi satu arah, diketahui nilai probabilitasnya 0,000. Hal ini

menunjukkan bahwa bobot udema dalam tiap kelompok memiliki perbedaan yang

bermakna (p ≤ 0,05). Selanjutnya untuk mengetahui kebermaknaan perbedaan

antarkelompok, dilanjutkan uji Scheffe. Data dan analisisnya dapat dilihat pada tabel

II.

Tabel II. Hasil uji Scheffe rata-rata bobot udema


pada penetapan rentang waktu pemotongan kaki
Waktu 1 jam 2 jam 3 jam 4 jam
1 jam - TB B TB
2 jam TB - B TB
3 jam B B - B
4 jam TB TB B -
Keterangan :
TB = Berbeda tidak bermakna (p > 0,05)
B = Berbeda bermakna (p ≤ 0,05)
49

Berdasarkan hasil uji Scheffe di atas, dapat disimpulkan bahwa waktu yang

efektif untuk pemotongan kaki hewan uji adalah 3 jam setelah injeksi karagenin.

Rentang waktu pemotongan kaki 3 jam setelah mencit diinjeksikan karagenin 1%

secara subplantar berbeda secara signifikan terhadap rentang waktu pemotongan kaki

1, 2, dan 4 jam setelah mencit diinjeksi karagenin 1% secara subplantar. Di samping

itu, pada rentang waktu pemotongan kaki 3 jam menimbulkan udema yang paling

tinggi, yang artinya karagenin menginduksi secara maksimal pada jam tersebut

sehingga dipilih rentang waktu pemotongan kaki 3 jam.

b. Orientasi dosis efektif diklofenak

Tujuan orientasi dosis diklofenak adalah menetapkan dosis diklofenak yang

paling efektif sebagai antiinflamasi dalam mengurangi bobot udema pada kaki

mencit. Dosis diklofenak untuk mencit dengan BB 20 g yang digunakan dalam

orientasi ini adalah 4,48 mg/kgBB (Djunarko dan Donatus, 2003). Untuk dua dosis

lainnya diambil 25% dosis di atasnya (sebagai dosis tertinggi) dan 25% dosis di

bawahnya (sebagai dosis terendah) sehingga diperoleh dosis 3,36 dan 5,6 mg/kgBB.

Rata-rata bobot udema pada orientasi dosis diklofenak dapat dilihat dalam tabel III.

Tabel III. Rata-rata bobot udema pada orientasi dosis diklofenak


Kelompok Dosis Rata-rata bobot udema dalam
(mg/kgBB) miligram (X + SE)
3,36 77,93 ± 2,40
4,48 60,27 ± 1,38
5,6 70,50 ± 0,93
Keterangan :
X = Mean (Rata-rata)
SE = Standard Error (SD/√n)
50

Gambar 6. Diagram batang rata-rata bobot udema pada


orientasi dosis diklofenak
Dari analisis variansi satu arah diketahui nilai probabilitasnya 0,001. Hal ini

menunjukkan bahwa bobot udema dalam ketiga kelompok tersebut memiliki

perbedaan bermakna (p≤ 0,05) . Selanjutnya untuk mengetahui kebermaknaan

perbedaan antarkelompok, dilanjutkan dengan uji Scheffe. Data dan analisisnya dapat

dilihat pada tabel IV.

Tabel IV. Hasil uji Scheffe rata-rata bobot udema


pada orientasi dosis diklofenak
Kelompok Dosis 3,36 4,48 5,6
(mg/kgBB)
3,36 - B TB
4,48 B - B
5,6 TB B -
Keterangan :
TB = Berbeda tidak bermakna (p > 0,05)
B = Berbeda bermakna (p < 0,05)
51

Berdasarkan hasil uji Scheffe di atas, diketahui bahwa dosis diklofenak 4,48

mg/kgBB berbeda bermakna terhadap dosis diklofenak 3,36 mg/kgBB dan 5,6

mg/kgBB. Di samping itu, dosis diklofenak 4,48 mg/kgBB menimbulkan udema yang

paling rendah, yang berarti diklofenak berefek secara maksimal. Oleh karena itu,

dosis diklofenak yang dipilih adalah dosis 4,48 mg/kgBB.

c. Penetapan waktu pemberian diklofenak

Tujuan dari penetapan waktu pemberian diklofenak adalah menetapkan waktu

pemberian diklofenak yang paling efektif dalam mengurangi bobot udema pada kaki

mencit. Dengan kata lain, diklofenak telah diabsorbsi dan menimbulkan efek

antiinflamasi. Dosis diklofenak yang diberikan adalah 4,48 mg/kgBB, didasarkan

pada penetapan dosis yang telah dilakukan sebelumnya. Waktu pemberian diklofenak

yang diujikan didasarkan pada penelitian Widiyastuti (2008), yaitu 15, 30, 45, dan 60

menit sebelum injeksi suspensi karagenin 1% subplantar. Rata-rata bobot udema pada

orientasi waktu pemberian diklofenak dapat dilihat pada tabel V.

Tabel V. Rata-rata bobot udema pada orientasi waktu pemberian diklofenak


Kelompok Perlakuan Rata-rata bobot udema dalam
(menit) miligram (X + SE)
15 menit 55,50 ± 3,49
30 menit 74,70 ± 1,10
45 menit 69,23 ± 1,29
60 menit 67,3 ± 1,77
Keterangan :
X = Mean (Rata-rata)
SE = Standard Error (SD/√n)
52

Orientasi Waktu Pemberian Dosis Diklofenak


80 74.7
69.23 67.3
70
55.5
Bobot Udema (mg)
60
50
40
30
20
10
0
0 10 20 30 40 50 60 70
Waktu (menit)

Gambar 7. Grafik rata-rata bobot udema


pada orientasi rentang waktu pemberian diklofenak
Keterangan : waktu pemberian diklofenak adalah sebelum pemberian karagenin

Dari analisis variansi satu arah diketahui nilai probabilitasnya 0,001 (< 0,05),

hal ini menunjukkan bahwa keempat kelompok terdapat perbedaan. Selanjutnya

untuk mengetahui kebermaknaan perbedaan antarkelompok, dilanjutkan dengan uji

Scheffe. Data dan analisisnya dapat dilihat pada tabel VI.

Tabel VI. Hasil uji Scheffe bobot udema


pada orientasi rentang waktu pemberian diklofenak
Waktu (menit) 15 menit 30 menit 45 menit 60 menit
15 menit - B B B
30 menit B - TB TB
45 menit B TB - TB
60 menit B TB TB -
Keterangan :
TB = Berbeda tidak bermakna (p > 0,05)
B = Berbeda bermakna (p < 0,05)

Berdasarkan hasil uji Scheffe di atas, rentang waktu pemberian diklofenak 15

menit berbeda secara signifikan terhadap rentang waktu pemberian diklofenak 30, 45,
53

dan 60 menit sebelum mencit diinjeksi karagenin 1% secara subplantar. Sedangkan

waktu pemberian diklofenak selain 15 menit (30, 45, dan 60 menit) berbeda tidak

signifikan. Di samping itu, rentang waktu pemberian diklofenak 15 menit

menimbulkan udema yang paling rendah. Hal tersebut berarti diklofenak telah dapat

menimbulkan efek secara maksimal pada waktu tersebut sehingga dipilih waktu

pemberian diklofenak 15 menit.

2. Uji pendahuluan analgesik

a. Penetapan dosis asam asetat

Uji analgesik yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan metode induksi

rangsang kimia. Dalam metode ini, senyawa penginduksi nyeri diinjeksikan – dalam

penelitian ini adalah asam asetat – secara intraperitoneal pada mencit putih betina

dengan selang waktu tertentu.

Orientasi terhadap dosis asam asetat bertujuan untuk mendapatkan dosis asam

asetat yang memberikan jumlah geliat yang tidak terlalu banyak ataupun sedikit

sehingga pengamatan menjadi lebih mudah. Asam asetat adalah suatu iritan yang

merusak jaringan secara lokal, yang menyebabkan nyeri pada rongga perut. Hal itu

disebabkan oleh kenaikan ion H+ akibat turunnya pH di bawah 6 yang menyebabkan

membran sel luka. Luka pada membran sel ini akan mengaktifkan enzim fosfolipase

pada fosfolipid membran sel sehingga menghasilkan asam arakidonat yang akhirnya

akan membentuk prostaglandin. Terbentuknya prostaglandin ini akan meningkatkan

sensitivitas reseptor nyeri sehingga mencit akan memberikan respon dengan cara

menggeliat untuk menyesuaikan keadaan yang dirasakannya.


54

Pemilihan dosis asam asetat bertujuan untuk mendapatkan dosis asam asetat

yang memberikan respon geliat dalam jumlah yang tidak terlalu banyak ataupun

sedikit, agar mempermudah pengamatan. Konsentrasi yang digunakan didasarkan

pada penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, yaitu 1% (Putra, 2003). Dosis yang

digunakan dalam penelitian ini adalah, 25; 50; 75; dan 100 mg/kgBB. Hasil orientasi

berupa geliat pada empat peringkat dosis dapat dilihat pada tabel VII.

Tabel VII. Rata-rata jumlah geliat pada orientasi dosis asam asetat
Kelompok Perlakuan Rata-rata jumlah geliat
(mg/kgBB) (X ± SE)
25 25,00 ± 1,15
50 34,67 ± 1,20
75 49,67 ± 1,76
100 75,00 ± 2,08
Keterangan :
X = Mean (Rata-rata)
SE = Standard Error (SD/√n)

Gambar 8. Diagram batang rata-rata jumlah geliat


pada orientasi dosis asam asetat.
55

Dari analisis variansi satu arah, diketahui nilai probabilitasnya 0,000. Hal ini

menunjukkan bahwa antara keempat kelompok memiliki perbedaan bermakna ≤(p

0,05). Kemudian untuk mengetahui kebermaknaan perbedaan antarkelompok

dilanjutkan dengan uji Scheffe. Data dan analisisnya dapat dilihat pada tabel VIII.

Tabel VIII. Hasil Uji Scheffe data geliat mencit


pada uji pendahuluan penetapan dosis asam asetat
Kelompok Dosis 25 50 75 100
(mg/kgBB)
25 - B B B
50 B - B B
75 B B - B
100 B B B -
Keterangan :
B = Berbeda bermakna (p < 0,05)

Dari hasil di atas, diketahui bahwa pemberian asam asetat pada dosis 100

mg/kgBB berbeda bermakna dengan dosis 25; 50; dan 75 mg/kgBB. Demikian juga

antara dosis satu dengan lainnya, berbeda bermakna satu sama lain. Dosis 100

mg/kgBB menunjukkan jumlah geliat yang cukup banyak jika dibandingkan dengan

dosis 25; 50; dan dosis 75 mg/kgBB. Oleh karena itu, digunakan dosis 100 mg/kgBB

agar mempermudah pengamatan.

b. Orientasi selang waktu pemberian asam asetat

Yang dimaksud selang waktu pemberian asam asetat adalah jeda antara

pemberian zat uji secara peroral dengan saat pemberian injeksi asam asetat secara

intraperitoneal. Pada selang waktu tersebut, diharapkan zat uji telah diabsorbsi

sehingga dapat memberikan efek analgesiknya. Adapun selang waktu yang diujikan

adalah 5, 10, dan 15 menit dengan zat uji yang digunakan adalah parasetamol dosis
56

91 mg/kgBB. Rata-rata jumlah geliat pada berbagai selang waktu dapat dilihat pada

tabel IX.

Tabel IX. Rata-rata jumlah geliat


pada berbagai selang waktu pemberian asam asetat.
Kelompok Jumlah Geliat (X + SE)
5 menit 35 ± 1,15
10 menit 29 ± 1,2
15 menit 15 ± 0,3
Keterangan :
X = Mean (Rata-rata)
SE = Standard Error (SD/√n)

Dari tabel IX, pada selang waktu 15 menit dihasilkan jumlah geliat yang lebih

sedikit dibandingkan dengan selang waktu 5 dan 10 menit. Untuk melihat perbedaan

antar kelompok maka dilakukan analisis variansi satu arah dan uji Scheffe. Hasil

analisis dapat dilihat pada tabel X.

Orientasi Selang Waktu Pemberian Asam Asetat


40 35
35
Rata-rata jumlah geliat

29
30
25
20 15
15
10
5
0
0 5 10 15 20
Waktu (menit)

Gambar 9. Grafik rata-rata jumlah geliat


pada orientasi selang waktu pemberian asam asetat.
57

Dari analisis variansi satu arah diketahui nilai probabilitasnya 0,000 (p ≤ 0,05).

Hal ini menunjukkan bahwa ketiga kelompok terdapat perbedaan. Selanjutnya untuk

mengetahui kebermaknaan perbedaan antarkelompok dilanjutkan dengan uji Scheffe

taraf kepercayaan 95%.

Tabel X. Hasil uji Scheffe jumlah geliat pada penetapan selang waktu
pemberian asam asetat.
Kelompok 5 10 15
(menit)
5 - B B
10 B - B
15 B B -
Keterangan :
B = Berbeda bermakna (p < 0,05)

Dari hasil uji Scheffe dapat diketahui bahwa kelompok menit ke-5 berbeda

bermakna dengan kelompok menit ke-10 dan menit ke-15. Begitu pula dengan menit

lainnya memiliki perbedaan yang bermakna satu dengan yang lainnya. Namun

apabila dilihat dari grafik, kelompok menit ke-15 menunjukkan jumlah geliat paling

sedikit dibandingkan dengan menit-menit lainnya. Karena memiliki jumlah geliat

paling sedikit, maka selang waktu pemberian asam asetat yang digunakan adalah 15

menit. Pada selang waktu tersebut, parasetamol sudah menimbulkan efek.

c. Penetapan dosis parasetamol

Dalam penelitian ini, kontrol positif yang digunakan adalah parasetamol.

Parasetamol sendiri telah terbukti memiliki daya analgesik sehingga digunakan

sebagai pembanding terhadap senyawa uji. Tujuan dari orientasi ini adalah untuk

menentukan dosis parasetamol yang dapat menurunkan jumlah geliat lebih besar,
58

yang berarti paling efektif. Dosis yang digunakan adalah 68,25; 91,00; dan 113,75

mg/kgBB. Besarnya penghambatan terhadap nyeri dapat dilihat pada tabel XI.

Tabel XI. Rata-rata jumlah geliat pada orientasi dosis parasetamol


Kelompok dosis Jumlah Geliat (X + SE)
68,25 mg/kgBB 15 ± 0,9
91,00 mg/kgBB 8 ± 1,2
113,75 mg/kgBB 9 ± 1,2
Keterangan :
X = Mean (Rata-rata)
SE = Standard Error (SD/√n)

Berdasarkan tabel XI, parasetamol dosis 68,25 mg/kgBB menghasilkan jumlah

geliat yang lebih banyak dibandingkan dengan parasetamol dosis 91,00 mg/kgBB dan

dosis 113,75 mg/kgBB.

Gambar 10. Diagram batang rata-rata jumlah geliat pada orientasi dosis
parasetamol
59

Dari analisis variansi satu arah diketahui nilai probabilitasnya 0,007. Hal ini

menunjukkan bahwa antara ketiga dosis asam asetat tersebut memiliki perbedaan

yang bermakna (p ≤ 0,05). Untuk melihat perbedaan antarkelompok maka dilakukan

analisis variansi satu arah dan uji Scheffe. Hasil analisis dapat dilihat pada tabel XII.

Tabel XII. Hasil uji Scheffe jumlah geliat pada penetapan dosis parasetamol
Kelompok dosis 68,25 91,00 113,75
(mg/kgBB)
68,25 - B B
91,00 B - TB
113,75 B TB -
Keterangan :
TB = Berbeda tidak bermakna (p > 0,05)
B = Berbeda bermakna (p < 0,05)

Berdasarkan hasil uji Scheffe di atas, diketahui bahwa parasetamol dosis 68,25

mg/kgBB berbeda bermakna dengan parasetamol dosis 91,00 dan 113,75 mg/kgBB.

Sedangkan parasetamol dosis 91,00 mg/kgBB berbeda tidak bermakna dengan dosis

113,75 mg/kgBB. Dari ketiga dosis yang dujikan tersebut, dipilihlah dosis 91,00

mg/kgBB karena memiliki jumlah geliat paling sedikit, yang artinya parasetamol

sudah dapat menimbulkan efek maksimal.

C. Uji Antiinflamasi Jus Buah Pepaya

Pengujian daya antiinflamasi jus buah pepaya dilakukan sesuai dengan

ketentuan yang diperoleh pada uji pendahuluan. Dari hasil orientasi yang telah

dilakukan, diperoleh rentang waktu pemotongan kaki mencit setelah injeksi suspensi

karagenin 1% adalah 3 jam. Kontrol positifnya adalah kalium diklofenak dosis 4,48
60

mg/kgBB, yang diberikan 15 menit sebelum pemberian suspensi karagenin 1%.

Dengan menggunakan hasil orientasi, diperoleh rata-rata bobot udema kaki mencit

pada kelompok perlakuan dengan jus buah pepaya beserta kelompok kontrol negatif

dan kontrol positif. Daya antiinflamasi ditunjukkan dengan penurunan bobot udema

kaki mencit setelah pemberian suspensi karagenin 1%. Data rata-rata bobot udema

kaki mencit pada kelompok perlakuan dengan jus buah pepaya beserta kelompok

kontrol negatif dan kontrol positif dapat dilihat pada tabel XIII.

Tabel XIII. Rata-rata bobot udema pada kelompok perlakuan


Kelompok Uji Jumlah Rata-rata bobot udema
subjek uji dalam miligram (X + SE)
Karagenin 1% 5 99,88 ± 2,59
Aquadest 0,5 ml/20 g BB 5 99,48 ± 3,03
Diklofenak dosis 4,48 mg/kgBB 5 30,84 ± 3,49
Jus pepaya dosis 7,5 g/kgBB 5 79,20 ± 3,30
Jus pepaya dosis 15,0 g/kgBB 5 62,22 ± 1,64
Jus pepaya dosis 30,0 g/kgBB 5 37,92 ± 1,67
Keterangan :
X = Mean (Rata-rata)
SE = Standard Error (SD/√n)

Hasil pengujian pada kelompok perlakuan menunjukkan bahwa pada kelompok

kontrol karagenin 1% menghasilkan rata-rata bobot udema paling besar di antara

kelompok perlakuan lainnya, yaitu sebesar 99,88 mg. Kelompok kontrol negatif

(aquades) juga menghasilkan rata-rata bobot udema yang hampir sama dengan

kelompok kontrol karagenin 1%, yaitu sebesar 99,48 mg. Hal ini menunjukkan bahwa

karagenin 1% dan aquades tidak memiliki daya antiinflamasi.


61

Gambar 11. Diagram batang rata-rata bobot udema kaki mencit kelompok
perlakuan

Keterangan :
Cara membaca kode : JBP = Jus Buah Pepaya, angka yang mengikutinya merupakan
dosisnya dalam g/kgBB. Contoh : JBP 7,5 adalah jus buah pepaya dosis 7,5 g/kgBB

Pada kelompok kontrol positif (diklofenak), rata-rata bobot udema yang

dihasilkan sangat kecil dibandingkan kelompok lain, yaitu sebesar 30,84 mg. Hal ini

menunjukkan bahwa diklofenak telah terbukti memiliki daya antiinflamasi sebagai

obat antiinflamasi non steroid (OAINS). Data persen penghambatan terhadap

inflamasi dapat dilihat pada tabel XIV.


62

Tabel XIV. Rata-rata persen daya antiinflamasi pada kelompok perlakuan


Kelompok Uji Jumlah % Daya antiinflamasi
subjek uji (X + SE)
Karagenin 1% 5 0,00 ± 2,59
Aquadest dosis 0,5 ml/20 g BB 5 0,17 ± 3,71
Diklofenak dosis 4,48 mg/kgBB 5 69,17 ± 3,65
Jus pepaya dosis 7,5 g/kgBB 5 20,72 ± 4,90
Jus pepaya dosis 15,0 g/kgBB 5 37,44 ± 1,39
Jus pepaya dosis 30,0 g/kgBB 5 62,06 ± 2,47
Keterangan :
X = Mean (Rata-rata)
SE = Standard Error (SD/√n)

Persen daya antiinflamasi masing-masing kelompok uji kemudian dianalisis

menggunakan analisis variansi satu arah dengan taraf kepercayaan 95%.

Gambar 12. Diagram batang persen daya antiinflamasi kelompok perlakuan

JBP = Jus Buah Pepaya, angka yang mengikutinya merupakan dosisnya dalam
g/kgBB. Contoh : JBP 7,5 adalah jus buah pepaya dosis 7,5 g/kgBB
63

Data tabel XIV menunjukkan bahwa persen daya antiinflamasi mengalami

peningkatan seiring dengan kenaikan dosis jus buah pepaya, dari dosis 7,5 g/kgBB

hingga dosis 30,0 g/kgBB. Kemudian analisis dilanjutkan dengan melakukan uji

Scheffe untuk mengetahui perbedaan antar kelompok perlakuan bermakna atau tidak.

Data dan analisis uji Scheffe dapat dilihat pada tabel XV.

Tabel XV. Uji Scheffe persen (%) daya antiinflamasi kelompok perlakuan
Kelompok Karagenin Aquadest Diklofenak JBP JBP JBP
7,5 15,0 30,0
Karagenin - TB B B B B
Aquadest TB - B B B B
Diklofenak B B - B B TB
JBP 7,5 B B B - B B
JBP 15,0 B B B B - B
JBP 30,0 B B TB B B B
Keterangan :
TB = Berbeda tidak bermakna (p > 0,05)
B = Berbeda bermakna (p < 0,05)
JBP = Jus Buah Pepaya, angka yang mengikutinya merupakan dosisnya dalam
g/kgBB. Contoh : JBP 7,5 adalah jus buah pepaya dosis 7,5 g/kgBB

Berdasarkan hasil uji Scheffe diketahui bahwa dosis 30,0 g/kgBB memiliki

persen daya antiinflamasi yang berbeda tidak bermakna dengan kontrol positif

diklofenak dosis 4,48 mg/kgBB. Kontrol positif menghasilkan persen penghambatan

nyeri sebesar 69,17%, sedangkan pada jus pepaya dosis 30,0 g/kgBB sebesar 62,06%.

Dengan demikian, dosis yang paling optimal untuk jus buah pepaya dalam penelitian

ini adalah dosis 30,0 g/kgBB.

Dalam penelitian ini, kelompok perlakuan jus buah pepaya pada berbagai

peringkat dosis memiliki daya inflamasi, meskipun pada dosis 7,5 g/kgBB dan 15,0

g/kgBB memiliki daya yang lebih kecil dari daya antiinflamasi diklofenak. Karena
64

memiliki daya antiinflamasi, maka kelompok-kelompok tersebut dapat dibandingkan

potensi relatif daya antiinflamasinya dengan diklofenak sebagai kontrol positif. Rata-

rata persen (%) potensi relatif kelompok perlakuan dapat dilihat pada tabel XVI.

Tabel XVI. Rata-rata persen (%) daya antiinflamasi dan rata-rata persen (%)
potensi relatif kelompok jus buah pepaya pada 3 peringkat dosis dibandingkan
diklofenak
Kelompok Uji % daya % potensi relatif daya
antiinflamasi antiinflamasi
Diklofenak dosis 4,48 mg/kgBB 69,17 100
Jus pepaya dosis 7,5 g/kgBB 20,72 29,96
Jus pepaya dosis 15,0 g/kgBB 37,44 54,13
Jus pepaya dosis 30,0 g/kgBB 62,06 89,72

Potensi relatif daya antiinflamasi kelompok perlakuan jus pepaya dosis 7,5

g/kgBB; 15,0 g/kgBB dan 30,0 g/kgBB < 100%, artinya ketiga kelompok dosis

tersebut pada penelitian ini memiliki potensi yang lebih kecil daripada diklofenak

dalam menghambat peradangan pada telapak kaki mencit. Kelompok perlakuan jus

pepaya dosis 30,0 g/kgBB memang memiliki besar potensi relatif < 100%, yaitu

89,72%. Akan tetapi, hasil uji Scheffe pada penelitian ini menunjukkan bahwa potensi

relatif dari jus pepaya tersebut berbeda tidak bermakna dengan diklofenak. Dengan

kata lain, jus pepaya dosis 30,0 g/kgBB pada penelitian ini memiliki potensi yang

hampir sama dengan diklofenak dalam menghambat peradangan pada telapak kaki

mencit.

Peradangan disebabkan oleh peruraian asam arakidonat menjadi prostaglandin,

suatu mediator pada inflamasi dan nyeri, yang diperantarai oleh enzim

siklooksigenase (COX) (Rang dkk., 2007). Pada daerah peradangan juga dihasilkan
65

oksidan reaktif seperti radikal bebas, yang memiliki kontribusi pada kerusakan

jaringan seperti pada penyakit rheumatoid arthritis (Halliwell dkk., 1988).

CO2H CO2H

alilik rangkap
asam arakidonat OH

CO2H
H
HO

CO2H O CO2H
O O
H H H
O
HO H OH

[O]

O CO2H
OH
H
H OH
PGE2

Gambar 13. Mekanisme pembentukan prostaglandin


(Fessenden dan Fessenden, 1992)

Berdasarkan mekanisme di atas, diketahui bahwa prostaglandin terbentuk dari

proses oksidasi dari asam arakidonat dengan melibatkan radikal bebas (radikal

hidroksil dan superoksida) dalam prosesnya. Kemungkinan mekanisme JBP sebagai

antiinflamasi terkait dengan adanya kandungan karotenoid (beta karoten) dan vitamin

E. Beta karoten dilaporkan dapat menghambat oksidasi asam arakidonat (Lieber and

Leo, 1999 cit Halevy and Sklan, 1987). Dengan dihambatnya oksidasi asam

arakidonat, maka pembentukan prostaglandin akan menurun. Keberadaan vitamin E

juga dapat membantu menghambat pembentukan prostaglandin. Vitamin E yang telah


66

diketahui efeknya sebagai antioksidan, dapat menangkap radikal-radikal bebas yang

berperan dalam pembentukan prostaglandin. Antioksidan dapat berperan sebagai

antiinflamasi dengan beberapa cara, yaitu: (1) menghambat produksi oksidan (O2• )

oleh neutrofil, monosit, dan makrofag. Penghambatan produksi oksidan (O2• ) akan

mengurangi pembentukan H 2 O 2 yang mengakibatkan produksi HOCl dan juga •OH

ikut terhambat. (2) menghambat langsung oksidan reaktif seperti radikal hidroksil

(•OH) dan asam hipoklorid (HOCl) (Halliwell dkk., 1988). Dengan dihambatnya

oksidasi dari asam arakidonat dan pengangkapan radikal bebas yang berperan, maka

proses pembentukan prostaglandin akan terhambat. Akibat terhambatnya

prostaglandin, inflamasi pada jaringan menjadi berkurang.

D. Uji Analgesik Jus Buah Pepaya

Pengujian daya analgesik jus buah pepaya juga dilakukan sesuai dengan

ketentuan yang diperoleh pada uji pendahuluan. Dari uji pendahuluan yang telah

dilakukan, diperoleh zat penginduksi nyeri yang digunakan adalah asam asetat 1%

dengan dosis 100 mg/kgBB. Kontrol positif yang digunakan adalah parasetamol dosis

91 mg/kgBB, yang diberikan 5 menit sebelum pemberian asam asetat. Dengan

menggunakan hasil orientasi, diperoleh rata-rata kumulatif jumlah geliat pada

kelompok perlakuan dengan jus buah pepaya beserta kelompok kontrol negatif dan

kontrol positif. Hasilnya dapat dilihat pada tabel XVII.


67

Tabel XVII. Rata-rata jumlah geliat pada kelompok perlakuan


Kelompok Uji Jumlah Rata-rata jumlah geliat
subjek uji (X + SE)
Aquadest 0,5 ml/ 20 g BB 5 51,6 ± 2,71
Parasetamol 91,0 mg/kg BB 5 17,0 ± 2,17
Jus pepaya dosis 7,5 g/kgBB 5 41,4 ± 1,29
Jus pepaya dosis 15,0 g/kgBB 5 30,6 ± 1,36
Jus pepaya dosis 30,0 g/kgBB 5 23,2 ± 1,89
Keterangan :
X = Mean (Rata-rata)
SE = Standard Error (SD/√n)

Gambar 14. Diagram batang rata-rata kumulatif jumlah geliat kelompok


perlakuan
JBP = Jus Buah Pepaya, angka yang mengikutinya merupakan dosisnya dalam
g/kgBB. Contoh : JBP 7,5 adalah jus buah pepaya dosis 7,5 g/kgBB

Setelah diperoleh jumlah kumulatif geliat dari kelompok perlakuan, maka data

tersebut diolah secara statistik untuk mendapatkan persen penghambatan nyeri pada
68

kelompok perlakuan yang dibandingkan dengan kontrol negatif dan perubahan persen

daya analgesik pada kelompok perlakuan terhadap kontrol positif. Hasilnya dapat

dilihat pada tabel XVIII.

Tabel XVIII. Persen penghambatan nyeri pada kelompok perlakuan


Kelompok Uji Jumlah subjek Rata-rata % penghambatan nyeri
uji (X ± SE)
Aquadest 0,5 ml/ 20 g BB 5 0,00 ± 5,25
Parasetamol 91,0 mg/kg BB 5 67,05 ± 4,20
Jus pepaya dosis 7,5 g/kgBB 5 19,77 ± 2,50
Jus pepaya dosis 15,0 g/kgBB 5 40,70 ± 2,64
Jus pepaya dosis 30,0 g/kgBB 5 55,04 ± 3,64
Keterangan :
X = Mean (Rata-rata)
SE = Standard Error (SD/√n)

Gambar 15. Diagram batang persen penghambatan nyeri kelompok perlakuan


JBP = Jus Buah Pepaya, angka yang mengikutinya merupakan dosisnya dalam
g/kgBB. Contoh : JBP 7,5 adalah jus buah pepaya dosis 7,5 g/kgBB
69

Persen proteksi nyeri pada masing-masing kelompok uji kemudian dianalisis

menggunakan analisis variansi satu arah dengan taraf kepercayaan 95%. Dari analisis

variansi satu arah yang dilakukan, diperoleh nilai probabilitasnya 0,000 yang berarti

lebih kecil dari 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa pada kelompok uji terdapat

perbedaan. Selanjutnya untuk mengetahui perbedaan antarkelompok tersebut

bermakna atau tidak, pengujian dilanjutkan dengan uji Scheffe. Data dan analisis uji

Scheffe dapat dilihat pada tabel XIX.

Tabel XIX. Hasil Uji Scheffe persen penghambatan rangsang nyeri


pada kelompok perlakuan
Kelompok Aquadest Parasetamol JBP 7,5 JBP 15,0 JBP 30,0
Aquadest - B B TB B
Parasetamol B - B TB TB
JBP 7,5 B B - TB B
JBP 15,0 B TB TB - B
JBP 30,0 B TB B B -
Keterangan :
TB = Berbeda tidak bermakna (p > 0,05)
B = Berbeda bermakna (p < 0,05)
JBP = Jus Buah Pepaya, angka yang mengikutinya merupakan dosisnya dalam
g/kgBB. Contoh : JBP 7,5 adalah jus buah pepaya dosis 7,5 g/kgBB

Berdasarkan tabel XVIII, persen penghambatan nyeri terlihat meningkat seiring

dengan kenaikan dosis jus buah pepaya, mulai dosis 7,5 g/kgBB sampai pada dosis

30,0 g/kgBB. Persen penghambatan nyeri yang paling besar dimiliki oleh kontrol

positif, sebesar 67,05 ± 4,20%. Sedangkan yang paling mendekati pada kelompok uji

adalah pada jus pepaya dosis 30,0 g/kgBB, sebesar 55,04 ± 3,64%.

Hasil uji Scheffe menunjukkan bahwa antara kelompok jus buah pepaya dosis

15,0 g/kgBB dan 30,0 g/kgBB dengan kelompok kontrol positif berbeda tidak
70

bermakna. Hal ini artinya kelompok jus pepaya dosis 15,0 g/kgBB dan 30,0 g/kgBB

memiliki kemampuan menghambat nyeri yang hampir sama dengan parasetamol.

Dosis 30,0 g/kgBB dapat dikatakan memiliki efek analgesik sebab nilai persen

penghambatan nyerinya lebih dari 50% (Anonim, 1991). Dari keseluruhan dosis

perlakuan, dosis 30,0 g/kgBB adalah yang memenuhi syarat sebagai suatu analgesik

lemah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dosis optimum perlakuan dengan

jus buah pepaya pada penelitian ini adalah dosis 30,0 g/kgBB.

Perubahan persen penghambatan rangsang nyeri terhadap kontrol positif dapat

dilihat pada tabel XX.

Tabel XX. Perubahan persen penghambatan nyeri pada kelompok perlakuan


Kelompok Uji Jumlah Perubahan %
subjek uji penghambatan nyeri
(X ± SE)
Aquadest dosis 0,5 ml/20 g BB 5 100,00 ± 7,84
Parasetamol 91,0 mg/kg BB 5 0,00 ± 6,26
Jus pepaya dosis 7,5 g/kg BB 5 70,52 ± 3,72
Jus pepaya dosis 15,0 g/kg BB 5 39,31 ± 3,94
Jus pepaya dosis 30,0 g/kg BB 5 17,92 ± 5,44
Keterangan :
X = Mean (Rata-rata)
SE = Standard Error (SD/√n)

Berdasarkan tabel XX, kontrol negatif dengan perubahan persen penghambatan

sebesar 100,00 ± 7,84% memiliki perbedaan 100 % dengan kontrol positif. Hal ini

disebabkan tidak terjadi penghambatan rangsang nyeri dalam kontrol negatif. Dengan

kata lain, kontrol negatif tersebut dikatakan tidak memiliki efek analgesik.

Pada kelompok perlakuan jus pepaya dalam berbagai peringkat dosis, nilai

terendah dimiliki oleh kelompok dosis 30,0 g/kgBB, yaitu sebesar 17,92 ± 5,44%.
71

Hal ini menunjukkan dosis tersebut paling mendekati kontrol positif dalam

menurunkan jumlah geliat mencit. Dapat dikatakan bahwa kemampuan

penghambatan nyeri dosis tersebut mendekati kontrol positif. Sedangkan untuk dua

dosis lainnya, memiliki kemampuan untuk menghambat nyeri tetapi tidak terlalu

kuat.

Gambar 16. Diagram batang perubahan persen penghambatan rangsang nyeri


kelompok uji

JBP = Jus Buah Pepaya, angka yang mengikutinya merupakan dosisnya dalam
g/kgBB. Contoh : JBP 7,5 adalah jus buah pepaya dosis 7,5 g/kgBB

Berdasarkan data-data dari tabel XX dan gambar 16, maka dosis yang dipilih

oleh peneliti adalah dosis 30,0 mg/kgBB. Hal ini disebabkan pada dosis tersebut
72

persen penghambatan nyerinya paling besar dibandingkan dengan dosis lainnya. Di

samping itu, penurunan jumlah geliat yang terjadi juga lebih dari 50 % dibandingkan

kontrol negatif.

Mediator inflamasi seperti prostaglandin juga memiliki pengaruh terhadap

timbulnya rasa nyeri. Prostaglandin memang tidak menyebabkan nyeri secara

langsung, tetapi prostaglandin meningkatkan aktivitas agen-agen penyebab rasa nyeri

lainnya seperti bradikinin. Hal yang menarik adalah bradikinin itu sendiri juga

menyebabkan pelepasan prostaglandin. Oleh karena itu, akan dihasilkan efek ‘self-

sensitising’ yang sangat kuat pada serabut saraf nociceptive afferent (Rang dkk.,

2007).

Kemungkinan dari jus buah pepaya dalam penghambatan rasa nyeri terkait

dengan aktivitasnya dalam menghambat pembentukan prostaglandin. Adanya

kandungan karotenoid (beta karoten) dalam jus buah pepaya, akan menghambat

proses oksidasi asam arakidonat menjadi prostaglandin. Selain itu, keberadaan

vitamin E juga mampu menangkap radikal hidroksil yang turut berperan dalam proses

biosintesis prostaglandin. Dengan terhambatnya oksidasi asam arakidonat, maka

biosintesis prostaglandin terhambat. Dampaknya adalah proses inflamasi yang

terhambat, sensitisasi terhadap reseptor nyeri juga berkurang sehingga rasa nyeri yang

dirasakan juga berkurang.


73

E. Perbandingan profil parasetamol dengan jus buah pepaya

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa parasetamol dan jus buah pepaya

mempunyai efek analgesik (penghambatan terhadap rangsang nyeri) yang

ditunjukkan dengan adanya persen penghambatan nyeri, yang dihasilkan oleh

keduanya. Profil dari parasetamol sebagai kontrol positif dan jus buah pepaya dapat

dilihat pada gambar 17.

Grafik Profil Kelompok Perlakuan Uji analgesik


12
11
10
9
8
Rata-rata Geliat

7
6
5
4
3
2
1
0
0 10 20 30 40 50 60 70
Waktu (menit)

JBP 7.5 JBP 15.0 JBP 30.0 Parasetamol 91 mg/kgBB

Gambar 17. Profil kelompok perlakuan jus buah pepaya dan parasetamol
Berdasarkan grafik di atas, terlihat ada persamaan antara profil kelompok

perlakuan jus buah pepaya dengan parasetamol. Pada kelompok perlakuan jus pepaya

dan parasetamol, jumlah geliat terbanyak sama-sama berada pada menit ke-10 setelah

pemberian asam asetat, kemudian terus menurun hingga menit ke-60. Penurunan
74

jumlah geliat yang cukup drastis terjadi pada menit ke-40, baik kelompok perlakuan

jus buah pepaya maupun parasetamol.

Dari hasil tersebut dapat dikatakan bahwa senyawa karotenoid dan vitamin E

yang terkandung dalam jus buah pepaya memiliki mekanisme penghambatan yang

berbeda dengan parasetamol meskipun menghambat pada jalur atau tempat yang

sama. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh sifat fisika kimia yang berbeda dari

senyawa karotenoid, vitamin E, dan parasetamol ataupun afinitas reseptor yang

berbeda sehingga profil jus buah pepaya dengan parasetamol menjadi berbeda.

F. Rangkuman Pembahasan Daya Antiinflamasi dan Analgesik Jus Buah


Pepaya

Dari hasil penelitian telah diketahui jus buah pepaya mempunyai efek

antiinflamasi (penurunan udema pada kaki) dan analgesik (penghambatan terhadap

rangsang nyeri), yang ditunjukkan dengan adanya persen daya antiinflamasi dan

persen penghambatan nyeri. Persentase daya antiinflamasi dan pengambatan nyeri

pada tiap dosis jus buah pepaya dapat dilihat pada tabel XXI.

Tabel XXI. Daya Antiinflamasi dan Analgesik Jus Buah Pepaya pada Berbagai
Peringkat Dosis
Kelompok Uji % daya antiinflamasi % penghambatan nyeri
Jus pepaya dosis 7,5 g/kgBB 20,72 ± 4,90 19,77 ± 2,50
Jus pepaya dosis 15,0 g/kgBB 37,44 ± 1,39 40,70 ± 2,64
Jus pepaya dosis 30,0 g/kgBB 62,06 ± 2,65 55,04 ± 3,64

Berdasarkan tabel XXI di atas, diketahui bahwa jus buah pepaya pada dosis

30,0 g/kgBB memiliki daya antiinflamasi dan analgesik sekaligus. Dengan kata lain,
75

jus buah pepaya pada dosis tersebut dapat digunakan untuk pengobatan inflamasi

sekaligus meredakan rasa nyeri yang mungkin timbul pada inflamasi.

Gambar 18. Histogram Daya Antiinflamasi dan Daya Analgesik Jus Buah
Pepaya dibandingkan dengan kontrol positif pada Berbagai Peringkat Dosis
Keterangan :
Kontrol positif = Kalium diklofenak
= Parasetamol
JBP = Jus Buah Pepaya, angka yang mengikutinya merupakan dosisnya
dalam g/kgBB. Contoh : JBP 7,5 adalah jus buah pepaya dosis 7,5
g/kgBB

Dari tabel XXI dan gambar 17 dapat disimpulkan bahwa seiring dengan

meningkatnya dosis jus buah pepaya, terjadi kenaikan daya antiinflamasi dan

analgesik dari jus buah papaya tersebut dibandingkan dengan masing-masing kontrol
76

yang digunakan. Hal ini menunjukkan peringkat dosis memiliki pengaruh terhadap

daya antiinflamasi dan analgesik. Semakin besar dosis jus buah pepaya diberikan,

kemungkinan daya antiinflamasi dan analgesik yang diberikan semakin besar.

Dalam penelitian ini, konsentrasi jus buah pepaya yang digunakan sebesar 90%.

Tidak menutup kemungkinan bahwa konsentrasi jus tersebut dapat dinaikkan menjadi

100% untuk melihat apakah daya antiinflamasi dan analgesik yang dihasilkan juga

mengalami peningkatan atau tidak. Selain itu, untuk pengujian efek antiinflamasi dan

analgesik dapat dilakukan dengan menggunakan kontrol positif yang sama. Dengan

kontrol positif yang sama, diharapkan penelitian ini akan menjadi lebih bermakna

karena dapat membandingkan antara daya antiinflamasi dengan daya analgesik yang

dihasilkan. Sedang dalam penelitian ini sendiri, daya antiinflamasi dan analgesik

masing-masing dibandingkan dengan kontrol positif yang digunakan pada uji yang

dilakukan. Daya antiinflamasi dan analgesik yang dihasilkan tidak dapat

dibandingkan sebab kontrol positif yang digunakan berbeda.


BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa :

1. Jus buah pepaya pada dosis 30,0 g/kg BB memiliki efek antiinflamasi dan

analgesik.

2. Daya antiinflamasi jus buah pepaya pada dosis 7,5 g/kgBB; 15,0 g/kgBB; dan

30,0 g/kgBB yang dinyatakan oleh daya antiinflamasi berturut-turut adalah

20,72%; 37,44%; dan 62,06%. Daya analgesik jus buah pepaya pada dosis 7,5

g/kgBB; 15,0 g/kgBB; dan 30,0 g/kgBB berturut-turut adalah 19,77%;

40,70%; dan 55,04%.

B. Saran

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, perlu dilakukan penelitian tentang :

1. Penelitian mengenai efek antiinflamasi dan analgesik dari jus buah pepaya dengan

menggunakan kontrol positif yang sama.

2. Penelitian mengenai toksisitas dari jus buah pepaya dalam berbagai peringkat

dosis.

3. Penelitian mengenai pengaruh lama masa dan frekuensi pemberian jus buah

pepaya terhadap daya antiinflamasi.

77
78

DAFTAR PUSTAKA

Agustina, T., 2008, Pengaruh Pemberian Jus Buah Pepaya (Carica papaya L.)
Terhadap Kerusakan Histologis Lambung Mencit Yang Dinduksi Indometasin,
Skripsi, Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta

Anonim, 1991, Penapisan Farmakologi Pengujian Fitokimia dan Pengujian Klinik,


49, 259, Yayasan Pengembangan dan Pemanfaatan Obat Bahan Alami
Phytomedika, Jakarta.

Anonim, 2000, Informatorium Obat Nasional Indonesia, hal 273-274, 357,


Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jendral Pengawasan
Obat dn Makanan, Jakarta

Anonim, 2008, The Biology of Carica papaya L.(papaya, papaw, paw-paw), 15-17,
27, Departement of Health and Ageing Australia, Australia

Chandrika, U.G., Jansz, E.R., Wikramasinghe, S.M.D.N., and Warnasuriya, N.D.,


2003, Bioconversion of Pro-Vitamin A Carotenoids and Antioxidant Activity of
Carica papaya Fruits, J.Natn.Sci.Foundation Sri Lanka, 31(3&4), 437-444

Denko, C.W., 1992, A Role of Neuropeptide in Inflammation, In : Whicher, J. T. and


Evan S. W, Biochemistry of Inflammation, 177-181, Kluwer Pub, London

Derle, D.V., Gujar, K.N., and Sagar, B.S.H., 2006, Adverse Effect Associated with
the Use of Nonsteroidal Antiinflammatory Drugs : An overview, Indian J.
Pharmacol, 68(4), 409-414

DiPiro, J. T., Tabert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells,B.G., and Posey, M.,
2008, Pharmacotherapy: A Patophysiologic Approach, 7th ed., 989-1002,
McGraw-Hill, USA.

Djunarko, I., Donatus, I.A., dan Noni, 2003, Pengaruh Perasan Buah Mengkudu
(Morinda citrifolia L.) terhadap Daya Antiradang Diklofenak pada Mencit
Jantan, Jurnal Farmasi Sains dan Komunitas, 1, 10-17.

Dwiprahasto, I., 2002, Epidemiologi dan Masalah Penggunaan Analgesik-


Antiinflamasi Non Steroid, dalam Dwiprahasto, I., Kristin, E., At Thobari, J.,
Penggunaan Analgesik dan Antiinflamasi secara Rasional, Edisi I, 1-26,
Bagian Farmakologi dan Toksikologi Fakultas Kedokteran UGM, Yogyakarta
79

Gryglewski, R.J., 1977, Some Experimental Models for the Study of Inflammation
and Anti-Inflammatory Drugs, in I. L. Bonta, J. Thomson, and K. Brune,
Inflammation: Mechanism and Their Impact on Therapy, p 19-21,
Birkhaueser Verlag Basel, Rotterdam.

Guyton, W.F., 1986, Text-book of Medical Physiology, diterjemahkan oleh Tengadi,


K.A., Edisi 7, Bagian II, 307-312, EGC, Jakarta

Fessenden, R.J., dan Fessenden, J.S., 1992, Kimia Organik Jilid 2, Edisi Ketiga, 415 -
417, Penerbit Erlangga, Jakarta

Haila, K., 1999, Effects of Carotenoids and Carotenoid-Tocopherol Interaction on


Lipid Oxidation In Vitro. 1) Scavenging of Free Radicals. 2) Formation and
Decomposition of Hydroperoxides, Dissertation, EKT-series 1165. University
of Helsinki.

Halliwell, B., Hoult, J.R., and Blake, D.R., 1988, Oxidant, Inflammation, and Anti-
inflammatory Drugs, FASEB J., 2(13): 2867-2873

Hanson, G.R., 2000, Analgesic, Antipyretic, and Anti Inflammatory Drugs, in


Gennaro (Ed.), Remmington : The Science and Practice of Pharmacy, 20th
Edition, p 1456, Lippincott Williams and Wilkins, USA.

Harborne, J.B., 1987, Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisis


Tumbuhan, 234-245, ITB,Bandung,

Hariyatmi, 2004., Kemampuan Vitamin E Sebagai Antioksidan terhadap Radikal Bebas


Pada Lanjut Usia. Jurnal MIPA UMS Vol 14. No. 1 (52-60).

Henson, P.M., and Murphy, S.C., 1989, Mediator of Inflammatory Process, 404,
Elseiver, Amsterdam

Hite, G.J., 1995, Principal of Medicinal Chemisty, diterjemahkan oleh Rasyid R.,
Firma, K., Haryanto, Suwarno, T., dan Murasad, A., Edisi II, Gadjah Mada
Unuversity Press, Yogyakarta

Ignatius, G.E., Zarraga, M.D., and Ernest R. S., 2007, Coxibs and Heart Disease,
Journal of The American College of Cardiology, 49, 1-14.

Kee, J.L. and Hayes, E.R., 1996, Pharmacology: A Nursing Process Approach,
diterjemahkan oleh Peter Anugrah, 1st Edition, 310-321, Penerbit EGC,
Jakarta.
80

Khanna, N. and Sarma, S.B., 2001, Antiinflammatory and Analgesic Effect of Herbal
Preparation: Septilin, Indian J. Med. Sci, 55(4), 195-202.

Kohli, K., Ali, J., and Raheman, Z., 2005, Curcumin: A natural Antiinfammatory
Agent, Indian J.Pharmacol, 37(3), 141-147.

Kumar, V., Cotran, R.S., and Robbins, S.L., 1997, Basic Pathology, 6th Edition, 25-
45, W.B. Saunde Company, Philadelphia.

Kumar, V., Abbas, A.K., and Fausto, N., 2005, Robbins and Cotran Pathologic Basis
of Diseases, 7th Edition, 70, Elsevier Saunders, Philadelphia.

Langford, F.D., Holmes, P.A., and Emele, J.F., 1972, Objective Methods to
Evaluation of Analgesic/Anti Inflammatory Activity, J. Pharm. Sci., 61(1), 75-
77.

Lieber, C.S. and Leo, M.A., 1999, Alcohol, Vitamin A, and β Carotene: Adverse
Interactions, Including Hepatotoxicity and Carcinogenicity, Am. J. Clin. Nut,
69(6), 1071-1085

Muhlisah,F., 2001, Tanaman Obat Keluarga, 1 – 3, Penerbit Swadaya, Jakarta

Mutschler, E., 1986, Arzneimmitelwirkungen, diterjemahkan oleh Widianto dan


Ranti, Dinamika Obat, Edisi V, 177 – 197, ITB, Bandung

Mutschler, E., 1995, Drug Action, 5th edition, 151, CRC Press, Stuttgart

Niswati, M.C., 2008, Perbandingan Pengaruh Jus Buah Pepaya (Carica papaya L.)
dan Simetidin Terhadap Kerusakan Histologi Lambung Mencit Yang Dinduksi
Indometasin, Skripsi, Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Surakarta

Pekiner, B.G., 2003, Vitamin E As An Antioxidant, J. Fac. Pharm, Ankara, 32(4)


243-267, 2003

Price, S.A., and Wilson, L.N., 1992, Patophysiology, dierjemahkan oleh Peter
Anugerah, Edisi 4, Buku I, hal 36-57, EGC, Jakarta.

Pratimasari, D., 2009, Uji Aktivitas Penangkap Radikal Buah Carica papaya L.
Dengan Metode DPPH dan Penetapan Kadar Fenolik serta Flavonoid Totalnya,
Skripsi, Univerversitas Muhammadiyah Surakarta, Solo
81

Putra, D.AG., 2003, Efek Analgesik Air Perasan Umbi Wortel (Daucus carota L.)
pada Mencit Putih Betina, Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas Sanata
Dharma, Yogyakarta

Rang, H.P., Dale, M.M., Ritter, J.M., and Moore, P.K., 2003, Pharmacology, 5th ed .,
231-237, 244-250, 562-567, Churchill Livingstone, London.

Robbins, S.L., dan Kumar, V.N., 1995, Pathophysiology, diterjemahkan oleh Peter
Anugerah, Patofisiologi, Edisi 4, Buku I, EGC Penerbit Buku Kedokteran,
Jakarta.
Ronse Decraene, L.P., and Smets, E.F., 1999, The Floral Development an Anatomy of
Carica papaya (Caricaceae), 582 – 598, Canadian Journal of Botany 77

Sander, A., 2003, Atlas Patologi Anatomi, Jilid 1, 12-13, UMM Press, Malang

Surahman, D.N., dan Darmajana, D.A., 2004, Kajian Analisa Kandungan Vitamin
dan Mineral pada Buah-buahan Tropis dan Sayur-Sayuran Di Toyama
Perfecture Jepang,

Tjay, T.H., dan Rahardja, K., 2002, Obat-obat Penting, Edisi V, 202 – 302, PT. Elex
Media Komputindo, Jakarta

Vogel, H.G., 2002, Drug Discovery & Evaluation : Pharmacological Assays, 2nd
Edition, p 669-691, 725, 751-761, Springer, New York.

Warisno, 2003, Budi Daya Pepaya, 7, Kanisius, Jakarta.

Wibowo, S. dan Gofir, A., 2001, Farmakoterapi dalam Neurologi, Edisi I, 113-115,
Penerbit Salemba Medika, Jakarta.

Widiyastuti, S., 2008, Aktivitas Antiinflamasi Senyawa 2,5-Bis-(4’-Metoksi-


Benzilidin)-Siklopentanon pada Mencit Betina Galur Swiss dengan Metode
Langford Termodifikasi, Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas Sanata
Dharma, Yogyakarta.

Wilmana, P.F., 1995, Analgesik Anti-inflamasi Nonsteroid dan Obat Pirai, dalam
Ganiswara, S.G.(Editor), Farmakologi dan Terapi, Edisi IV, hal 207-223,
Bagian Farmakologi- Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
82

LAMPIRAN

Lampiran 1. Foto buah pepaya

Lampiran 2. Foto jus pepaya


83

Lampiran 3. Foto geliat mencit yang memenuhi definisi operasional


84

Lampiran 4. Data bobot udema kaki mencit hasil uji pendahuluan setelah
diinjeksi karagenin 1% pada rentang waktu tertentu dan hasil analisis
statistiknya
Mencit Bobot udema kaki mencit (gram) pada rentang waktu (jam) setelah
diinjeksi karagenin 1% subplantar
Waktu Waktu Waktu Waktu
pemotongan 1 pemotongan 2 pemotongan 3 pemotongan 4
jam jam jam jam
1. Kaki Kiri 330,0 313,5 360,0 289,9
Kaki Kanan 206,0 193,8 204,7 168,7
Udema (mg) 124,0 119,7 155,3 121,2
2. Kaki Kiri 325,2 307,0 381,2 276,1
Kaki Kanan 199,4 186,8 224,7 168,8
Udema (mg) 125,8 120,2 156,5 107,3
3. Kaki Kiri 324,0 290,6 335,7 292,6
Kaki Kanan 200,2 189,2 184,9 180,2
Udema (mg) 123,8 101,4 150,8 112,4
Mean udema 124,53 + 0,64 113,70 + 6,19 154,20 + 1,73 113,63 + 4,06
(mg) + SE

NPar Tests
Descriptive Statistics

N Mean Std. Deviation Minimum Maximum


udem 12 126.5333 18.20446 101.40 156.50

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test


udem
N 12
Normal Parametersa,,b Mean 126.5333
Std. Deviation 18.20446
Most Extreme Differences Absolute .266
Positive .266
Negative -.159
Kolmogorov-Smirnov Z .922
Asymp. Sig. (2-tailed) .363
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
85

Oneway
Descriptives

Udem
95% Confidence Interval for
Mean

N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum
1 jam 3 124.5333 1.10151 .63596 121.7970 127.2696 123.80 125.80

2 jam 3 113.7667 10.71276 6.18502 87.1547 140.3787 101.40 120.20

3 jam 3 154.2000 3.00500 1.73494 146.7352 161.6648 150.80 156.50

4 jam 3 113.6333 7.03160 4.05969 96.1659 131.1008 107.30 121.20

Total 12 126.5333 18.20446 5.25518 114.9668 138.0999 101.40 156.50

ANOVA
Udem
Sum of Squares Df Mean Square F Sig.
Between Groups 3296.527 3 1098.842 25.196 .000
Within Groups 348.900 8 43.612
Total 3645.427 11

Post Hoc Tests


Multiple Comparisons
Udem
Scheffe
(I) (J) 95% Confidence Interval
waktu_pe waktu_pe Mean Difference (I-
motongan motongan J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound
1 jam 2 jam 10.76667 5.39212 .331 -8.0661 29.5994
3 jam -29.66667* 5.39212 .004 -48.4994 -10.8339
4 jam 10.90000 5.39212 .322 -7.9328 29.7328
2 jam 1 jam -10.76667 5.39212 .331 -29.5994 8.0661
*
3 jam -40.43333 5.39212 .001 -59.2661 -21.6006
4 jam .13333 5.39212 1.000 -18.6994 18.9661
3 jam 1 jam 29.66667* 5.39212 .004 10.8339 48.4994
*
2 jam 40.43333 5.39212 .001 21.6006 59.2661
4 jam 40.56667* 5.39212 .001 21.7339 59.3994
4 jam 1 jam -10.90000 5.39212 .322 -29.7328 7.9328
2 jam -.13333 5.39212 1.000 -18.9661 18.6994
3 jam -40.56667* 5.39212 .001 -59.3994 -21.7339
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
86

Homogeneous Subsets
Udem
Scheffea
Subset for alpha = 0.05
waktu_pe
motongan N 1 2
4 jam 3 113.6333
2 jam 3 113.7667
1 jam 3 124.5333
3 jam 3 154.2000
Sig. .322 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are
displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.

Lampiran 5. Data bobot udema kaki mencit hasil uji pendahuluan waktu
pemberian diklofenak dan hasil analisis statistiknya
Mencit Bobot udema kaki mencit (gram) pada rentang waktu (menit) setelah
diberikan diklofenak 4,48 mg/kgBB
Waktu Waktu Waktu Waktu
pemberian 15 pemberian 30 pemberian 45 pemberian 60
menit menit menit menit
1. Kaki Kiri 251,7 242,7 246,4 253,8
Kaki Kanan 200,6 165,8 175,2 188,7
Udema (mg) 51,1 76,9 71,2 65,1
2. Kaki Kiri 259,2 218,5 235,7 250,9
Kaki Kanan 196,8 145,0 168,9 184,9
Udema (mg) 62,4 73,5 66,8 66,0
3. Kaki Kiri 253,8 249,7 254,9 228,9
Kaki Kanan 200,8 176,0 185,2 158,1
Udema (mg) 53,0 73,7 69,7 70,8
Mean udema (mg) 55,50 + 3,49 74,70 + 1,10 69,23 + 1,29 67,30 + 1,77
+ SE

NPar Tests
Descriptive Statistics

N Mean Std. Deviation Minimum Maximum


udem 12 66.6833 7.96547 51.10 76.90
87

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

udem
N 12
Normal Parametersa,,b Mean 66.6833
Std. Deviation 7.96547
Most Extreme Differences Absolute .171
Positive .124
Negative -.171
Kolmogorov-Smirnov Z .593
Asymp. Sig. (2-tailed) .873
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.

Oneway
Descriptives

Udem
95% Confidence Interval for
Mean

N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum
15 menit 3 55.5000 6.05062 3.49333 40.4694 70.5306 51.10 62.40

30 menit 3 74.7000 1.90788 1.10151 69.9606 79.4394 73.50 76.90

45 menit 3 69.2333 2.23681 1.29142 63.6768 74.7899 66.80 71.20

60 menit 3 67.3000 3.06431 1.76918 59.6878 74.9122 65.10 70.80

Total 12 66.6833 7.96547 2.29943 61.6223 71.7444 51.10 76.90

ANOVA
Udem

Sum of Squares df Mean Square F Sig.


Between Groups 588.650 3 196.217 14.363 .001
Within Groups 109.287 8 13.661

Total 697.937 11
88

Post Hoc Tests


Multiple Comparisons

Udem
Scheffe
(I) (J)
waktu_pemb waktu_pemb 95% Confidence Interval
erian_diklofe erian_diklofe Mean Difference (I-
nak nak J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound
15 menit 30 menit -19.20000* 3.01782 .002 -29.7402 -8.6598

45 menit -13.73333* 3.01782 .013 -24.2735 -3.1932


60 menit -11.80000* 3.01782 .029 -22.3402 -1.2598
*
30 menit 15 menit 19.20000 3.01782 .002 8.6598 29.7402

45 menit 5.46667 3.01782 .406 -5.0735 16.0068


60 menit 7.40000 3.01782 .192 -3.1402 17.9402
45 menit 15 menit 13.73333* 3.01782 .013 3.1932 24.2735

30 menit -5.46667 3.01782 .406 -16.0068 5.0735


60 menit 1.93333 3.01782 .935 -8.6068 12.4735
60 menit 15 menit 11.80000* 3.01782 .029 1.2598 22.3402

30 menit -7.40000 3.01782 .192 -17.9402 3.1402


45 menit -1.93333 3.01782 .935 -12.4735 8.6068
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

Homogeneous Subsets
Udem
Scheffea
Subset for alpha = 0.05
waktu_pember
ian_diklofenak N 1 2
15 menit 3 55.5000
60 menit 3 67.3000
45 menit 3 69.2333
30 menit 3 74.7000
Sig. 1.000 .192
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
89

Lampiran 6. Data bobot udema kaki mencit hasil uji pendahuluan dosis
diklofenak dan hasil analisis statistiknya

Mencit Bobot udema kaki mencit (gram) pada pemberian diklofenak 3


peringkat dosis
Dosis 3,36 mg/kgBB Dosis 4,48 mg/kgBB Dosis 5,6 mg/kgBB
1. Kaki Kiri 268,4 258,1 265,7
Kaki Kanan 191,8 198,1 193,4
Udema (mg) 76,6 60,0 72,3
2. Kaki Kiri 277,2 252,7 252,4
Kaki Kanan 194,6 194,7 183,2
Udema (mg) 82,6 58,0 69,2
3. Kaki Kiri 258,6 261,5 268,3
Kaki Kanan 184,0 198,7 198,3
Udema (mg) 74,6 62,8 70,0
Mean udema (mg) + 77,93 + 2,40 60,27 + 1,38 70.50 + 0.93
SE

NPar Tests
Descriptive Statistics

N Mean Std. Deviation Minimum Maximum


udem 9 69.5667 8.08981 58.00 82.60

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test


udem
N 9
Normal Parametersa,,b Mean 69.5667
Std. Deviation 8.08981
Most Extreme Differences Absolute .149
Positive .132
Negative -.149
Kolmogorov-Smirnov Z .446
Asymp. Sig. (2-tailed) .989
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
90

Oneway
Descriptives

Udem
95% Confidence Interval for
Mean

N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum
3.36 mg/kg BB 3 77.9333 4.16333 2.40370 67.5910 88.2756 74.60 82.60

4.48 mg/kg BB 3 60.2667 2.41109 1.39204 54.2772 66.2561 58.00 62.80

5.6 mg/kg BB 3 70.5000 1.60935 .92916 66.5022 74.4978 69.20 72.30

Total 9 69.5667 8.08981 2.69660 63.3483 75.7850 58.00 82.60

ANOVA
Udem
Sum of Squares Df Mean Square F Sig.
Between Groups 472.087 2 236.043 27.514 .001
Within Groups 51.473 6 8.579
Total 523.560 8

Post Hoc Tests


Multiple Comparisons

Udem
Scheffe

95% Confidence Interval


(I) (J) Mean Difference
dosis_diklofenak dosis_diklofenak (I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound
3.36 mg/kg BB 4.48 mg/kg BB 17.66667* 2.39150 .001 9.9965 25.3368

5.6 mg/kg BB 7.43333 2.39150 .056 -.2368 15.1035


4.48 mg/kg BB 3.36 mg/kg BB -17.66667* 2.39150 .001 -25.3368 -9.9965

5.6 mg/kg BB -10.23333* 2.39150 .015 -17.9035 -2.5632


5.6 mg/kg BB 3.36 mg/kg BB -7.43333 2.39150 .056 -15.1035 .2368

4.48 mg/kg BB 10.23333* 2.39150 .015 2.5632 17.9035


*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
91

Homogeneous Subsets
Udem
Scheffea
Subset for alpha = 0.05
dosis_diklofenak N 1 2
4.48 mg/kg BB 3 60.2667
5.6 mg/kg BB 3 70.5000
3.36 mg/kg BB 3 77.9333
Sig. 1.000 .056
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.

Lampiran 7. Data jumlah geliat pada penetapan dosis asam asetat dan selang
waktu pemberian asam asetat berserta hasil analisis statistiknya

Data jumlah geliat pada penetapan dosis asam asetat dan hasil analisis statistiknya
Menit Dosis 25 Dosis 50 Dosis 75 Dosis 100
mg/kgBB mg/kgBB mg/kgBB mg/kgBB
I II III I II III I II III I II III
5 0 0 2 0 0 0 0 1 0 2 1 1
10 0 2 7 1 9 3 9 14 9 7 14 17
15 6 5 4 7 8 8 11 13 12 18 12 15
20 10 9 7 8 4 6 11 11 11 9 8 4
25 2 6 2 9 5 4 8 7 6 11 5 5
30 1 1 1 1 7 7 4 3 4 2 5 8
35 2 1 2 1 1 2 2 2 2 8 7 8
40 1 2 0 2 1 1 1 2 0 4 4 4
45 0 0 2 2 1 0 1 0 2 4 3 5
50 1 1 0 2 1 2 1 0 1 5 5 4
55 0 0 0 0 0 0 1 0 1 5 4 4
60 0 0 0 0 0 1 0 0 0 4 2 1
∑ 23 27 25 33 37 34 49 53 47 78 71 76
92

NPar Tests
Descriptive Statistics
N Mean Std. Deviation Minimum Maximum
Geliat 12 46.0833 19.84695 23.00 78.00

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Geliat
N 12
Normal Parametersa,,b Mean 46.0833
Std. Deviation 19.84695
Most Extreme Differences Absolute .176
Positive .176
Negative -.145
Kolmogorov-Smirnov Z .611
Asymp. Sig. (2-tailed) .849
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.

Oneway
Descriptives

Geliat

95% Confidence Interval for Mean


Std.
N Mean Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Min Max
Dosis 25mg/kgBB 3 25.0000 2.00000 1.15470 20.0317 29.9683 23.00 27.00

Dosis 50mg/kgBB 3 34.6667 2.08167 1.20185 29.4955 39.8378 33.00 37.00

Dosis 75mg/kgBB 3 49.6667 3.05505 1.76383 42.0775 57.2558 47.00 53.00

Dosis 100mg/kgBB 3 75.0000 3.60555 2.08167 66.0433 83.9567 71.00 78.00

Total 12 46.0833 19.84695 5.72932 33.4732 58.6935 23.00 78.00

ANOVA
Geliat
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 4271.583 3 1423.861 185.721 .000
Within Groups 61.333 8 7.667
Total 4332.917 11
93

Post Hoc Tests


Multiple Comparisons

Geliat
Scheffe

(I) (J) Mean


95% Confidence Interval
Penetapan_dosis_Asa Penetapan_dosis_Asa Difference (I-
mAsetat mAsetat J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound
*
Dosis 25mg/kgBB Dosis 50mg/kgBB -9.66667 2.26078 .018 -17.5627 -1.7706

Dosis 75mg/kgBB -24.66667* 2.26078 .000 -32.5627 -16.7706


*
Dosis 100mg/kgBB -50.00000 2.26078 .000 -57.8961 -42.1039
Dosis 50mg/kgBB Dosis 25mg/kgBB 9.66667* 2.26078 .018 1.7706 17.5627

Dosis 75mg/kgBB -15.00000* 2.26078 .001 -22.8961 -7.1039


*
Dosis 100mg/kgBB -40.33333 2.26078 .000 -48.2294 -32.4373
Dosis 75mg/kgBB Dosis 25mg/kgBB 24.66667* 2.26078 .000 16.7706 32.5627

Dosis 50mg/kgBB 15.00000* 2.26078 .001 7.1039 22.8961


*
Dosis 100mg/kgBB -25.33333 2.26078 .000 -33.2294 -17.4373
Dosis 100mg/kgBB Dosis 25mg/kgBB 50.00000* 2.26078 .000 42.1039 57.8961

Dosis 50mg/kgBB 40.33333* 2.26078 .000 32.4373 48.2294


Dosis 75mg/kgBB 25.33333* 2.26078 .000 17.4373 33.2294
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

Homogeneous Subsets
Geliat
Scheffea
Subset for alpha = 0.05
Penetapan_dosis_AsamAs
etat N 1 2 3 4
Dosis 25mg/kgBB 3 25.0000
Dosis 50mg/kgBB 3 34.6667
Dosis 75mg/kgBB 3 49.6667
Dosis 100mg/kgBB 3 75.0000
Sig. 1.000 1.000 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
94

Data jumlah geliat pada penetapan selang waktu pemberian dan hasil analisis
statistiknya
Menit Waktu pemberian 5 Waktu pemberian 10 Waktu pemberian 15
menit menit menit
I II III I II III I II III
5 0 0 0 0 0 0 0 0 0
10 4 4 8 0 0 1 0 0 2
15 5 7 3 0 2 0 2 2 4
20 8 5 1 2 7 2 2 3 4
25 6 3 8 5 4 5 1 3 3
30 2 3 4 5 3 4 4 1 1
35 2 2 4 3 3 1 0 1 0
40 2 3 2 4 3 5 2 0 1
45 3 1 2 3 3 3 3 3 0
50 3 3 1 2 3 1 2 1 0
55 1 2 2 4 3 2 1 0 0
60 1 0 0 0 3 3 0 0 0
∑ 37 33 35 28 31 27 17 14 15

NPar Tests
Descriptive Statistics
N Mean Std. Deviation Minimum Maximum
geliat 9 26.3333 8.84590 14.00 37.00

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

geliat
N 9
Normal Parametersa,,b Mean 26.3333
Std. Deviation 8.84590
Most Extreme Differences Absolute .197
Positive .188
Negative -.197
Kolmogorov-Smirnov Z .590
Asymp. Sig. (2-tailed) .877
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
95

Oneway
Descriptives

Geliat

95% Confidence Interval for Mean


Std.
N Mean Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Min Max
5 menit 3 35.0000 2.00000 1.15470 30.0317 39.9683 33.00 37.00

10 menit 3 28.6667 2.08167 1.20185 23.4955 33.8378 27.00 31.00

15 menit 3 15.3333 1.52753 .88192 11.5388 19.1279 14.00 17.00

Total 9 26.3333 8.84590 2.94863 19.5338 33.1329 14.00 37.00

ANOVA
Geliat
Sum of Squares Df Mean Square F Sig.
Between Groups 604.667 2 302.333 85.031 .000
Within Groups 21.333 6 3.556
Total 626.000 8

Post Hoc Tests


Multiple Comparisons
Geliat
Scheffe
95% Confidence Interval
Mean Difference (I-
(I) waktu (J) waktu J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound
5 menit 10 menit 6.33333* 1.53960 .018 1.3954 11.2712
*
15 menit 19.66667 1.53960 .000 14.7288 24.6046
10 menit 5 menit -6.33333* 1.53960 .018 -11.2712 -1.3954
*
15 menit 13.33333 1.53960 .000 8.3954 18.2712
15 menit 5 menit -19.66667* 1.53960 .000 -24.6046 -14.7288
10 menit -13.33333* 1.53960 .000 -18.2712 -8.3954
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

Homogeneous Subsets
Geliat
Scheffea
Subset for alpha = 0.05
waktu N 1 2 3
15 menit 3 15.3333
10 menit 3 28.6667
5 menit 3 35.0000
Sig. 1.000 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
96

Geliat
Scheffea
Subset for alpha = 0.05
waktu N 1 2 3
15 menit 3 15.3333
10 menit 3 28.6667
5 menit 3 35.0000
Sig. 1.000 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.

Lampiran 8. Data jumlah geliat pada penetapan dosis parasetamol


dan hasil analisis statistiknya

Menit Dosis 68,26 Dosis 91 Dosis 113,75


mg/kgBB mg/kgBB mg/kgBB
I II III I II III I II III
5 0 0 1 0 0 0 0 0 0
10 5 5 8 0 1 1 3 0 0
15 4 3 3 3 1 2 2 3 2
20 0 0 2 3 2 1 2 2 2
25 1 2 3 0 1 1 0 0 1
30 3 3 0 0 1 0 0 0 1
35 0 0 0 2 0 1 1 1 0
40 1 0 0 0 0 0 0 1 0
45 0 2 0 1 0 1 2 1 0
50 0 0 0 2 2 2 0 2 0
55 0 0 0 0 0 0 1 0 0
60 0 0 0 0 0 0 0 0 0
∑ 14 15 17 10 8 6 11 10 7

NPar Tests
Descriptive Statistics
N Mean Std. Deviation Minimum Maximum
Geliat2 9 10.8889 3.75648 6.00 17.00
97

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Geliat2
N 9
Normal Parametersa,,b Mean 10.8889
Std. Deviation 3.75648
Most Extreme Differences Absolute .155
Positive .155
Negative -.130
Kolmogorov-Smirnov Z .465
Asymp. Sig. (2-tailed) .982
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.

Oneway
Descriptives

Geliat2

95% Confidence Interval for Mean


Std.
N Mean Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Min Max
Dosis 68,26mg/kgBB 3 15.3333 1.52753 .88192 11.5388 19.1279 14.00 17.00

Dosis 91mg/kgBb 3 8.0000 2.00000 1.15470 3.0317 12.9683 6.00 10.00

Dosis 113,75 mg/kgBB 3 9.3333 2.08167 1.20185 4.1622 14.5045 7.00 11.00

Total 9 10.8889 3.75648 1.25216 8.0014 13.7764 6.00 17.00

ANOVA
Geliat2
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 91.556 2 45.778 12.875 .007
Within Groups 21.333 6 3.556
Total 112.889 8
98

Post Hoc Tests


Multiple Comparisons

Geliat2
Scheffe
95% Confidence
Interval
Mean
Difference (I- Lower Upper
(I) Dosis_parasetamol (J) Dosis_parasetamol J) Std. Error Sig. Bound Bound
Dosis 68,26mg/kgBB Dosis 91mg/kgBb 7.33333* 1.53960 .009 2.3954 12.2712

Dosis 113,75 mg/kgBB 6.00000* 1.53960 .023 1.0621 10.9379


Dosis 91mg/kgBb Dosis 68,26mg/kgBB -7.33333* 1.53960 .009 -12.2712 -2.3954

Dosis 113,75 mg/kgBB -1.33333 1.53960 .702 -6.2712 3.6046


*
Dosis 113,75 mg/kgBB Dosis 68,26mg/kgBB -6.00000 1.53960 .023 -10.9379 -1.0621

Dosis 91mg/kgBb 1.33333 1.53960 .702 -3.6046 6.2712


*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

Homogeneous Subsets
Geliat2
Scheffea
Subset for alpha = 0.05
Dosis_parasetamol N 1 2
Dosis 91mg/kgBb 3 8.0000
Dosis 113,75 mg/kgBB 3 9.3333
Dosis 68,26mg/kgBB 3 15.3333
Sig. .702 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
99

Lampiran 9. Data jumlah geliat pada uji efek analgesik berserta hasil analisis statistiknya

JBP dosis 15.0 g/kg JBP dosis 30.0


JBP dosis 7.5 g/kg BB BB g/kgBB kontrol negatif kontrol positif
Menit 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
5 1 2 1 0 1 1 3 0 0 0 1 0 3 0 1 1 5 0 0 0 0 1 0 2 1
10 8 8 8 5 7 7 4 4 1 7 5 5 6 4 6 8 7 5 7 6 0 6 0 5 6
15 1 9 1 5 6 6 1 5 6 5 3 5 2 3 3 6 6 6 5 6 0 6 1 1 4
20 10 5 5 9 9 4 3 6 4 3 3 3 5 3 4 5 3 7 6 7 1 3 0 1 1
25 2 4 2 4 8 4 2 5 5 5 1 2 2 2 3 8 4 7 5 7 2 2 1 2 1
30 2 5 2 7 0 0 5 6 3 0 2 2 1 2 3 6 4 6 5 5 1 2 1 1 1
35 3 2 3 3 5 5 2 1 5 1 1 1 2 1 2 4 3 3 8 5 2 0 1 0 1
40 3 1 3 5 3 3 0 1 2 0 2 2 1 2 2 8 3 3 5 4 3 1 1 1 0
45 3 1 3 3 0 0 2 1 5 0 1 1 0 1 3 6 3 4 5 0 1 1 1 1 1
50 4 1 4 2 0 0 1 2 0 2 1 1 1 1 2 0 4 7 2 0 2 1 2 3 1
55 5 1 5 1 2 2 6 1 1 3 1 0 1 0 1 4 5 6 2 1 2 0 1 1 1
60 1 0 1 1 1 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 2 0 1 2 2 1 0 1 0 1
Total 43 39 38 45 42 33 29 32 33 26 21 22 24 19 30 59 49 55 52 43 15 23 10 18 19
100

NPar Tests
Descriptive Statistics
N Mean Std. Deviation Minimum Maximum
jumlah_geliat 25 32.7600 13.31127 10.00 59.00

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test


jumlah_geliat
N 25
Normal Parametersa,,b Mean 32.7600
Std. Deviation 13.31127
Most Extreme Differences Absolute .105
Positive .105
Negative -.076
Kolmogorov-Smirnov Z .524
Asymp. Sig. (2-tailed) .947
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.

Oneway
Descriptives
jumlah_geliat
95% Confidence Interval for
Mean

N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum
kontrol positif 5 17.0000 4.84768 2.16795 10.9808 23.0192 10.00 23.00
(parasetamol)
kontrol negatif (aquades) 5 51.6000 6.06630 2.71293 44.0677 59.1323 43.00 59.00
JBP dosis I 5 41.4000 2.88097 1.28841 37.8228 44.9772 38.00 45.00
JBP Dosis II 5 30.6000 3.04959 1.36382 26.8134 34.3866 26.00 33.00
JBP Dosis III 5 23.2000 4.20714 1.88149 17.9761 28.4239 19.00 30.00
Total 25 32.7600 13.31127 2.66225 27.2654 38.2546 10.00 59.00

ANOVA
jumlah_geliat
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 3870.160 4 967.540 50.604 .000
Within Groups 382.400 20 19.120
Total 4252.560 24
101

Post Hoc Tests


Multiple Comparisons

jumlah_geliat
Scheffe

95% Confidence Interval


Mean
(I) uji_analgesik (J) uji_analgesik Difference (I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound
*
kontrol positif kontrol negatif -34.60000 2.76550 .000 -43.9637 -25.2363
(parasetamol) (aquades)
JBP dosis I -24.40000* 2.76550 .000 -33.7637 -15.0363
JBP Dosis II -13.60000* 2.76550 .002 -22.9637 -4.2363
JBP Dosis III -6.20000 2.76550 .320 -15.5637 3.1637
kontrol negatif kontrol positif 34.60000* 2.76550 .000 25.2363 43.9637
(aquades) (parasetamol)
JBP dosis I 10.20000* 2.76550 .028 .8363 19.5637
JBP Dosis II 21.00000* 2.76550 .000 11.6363 30.3637
JBP Dosis III 28.40000* 2.76550 .000 19.0363 37.7637
*
JBP dosis I kontrol positif 24.40000 2.76550 .000 15.0363 33.7637
(parasetamol)
kontrol negatif -10.20000* 2.76550 .028 -19.5637 -.8363
(aquades)
JBP Dosis II 10.80000* 2.76550 .018 1.4363 20.1637
JBP Dosis III 18.20000* 2.76550 .000 8.8363 27.5637
*
JBP Dosis II kontrol positif 13.60000 2.76550 .002 4.2363 22.9637
(parasetamol)
kontrol negatif -21.00000* 2.76550 .000 -30.3637 -11.6363
(aquades)
JBP dosis I -10.80000* 2.76550 .018 -20.1637 -1.4363
JBP Dosis III 7.40000 2.76550 .170 -1.9637 16.7637
JBP Dosis III kontrol positif 6.20000 2.76550 .320 -3.1637 15.5637
(parasetamol)
kontrol negatif -28.40000* 2.76550 .000 -37.7637 -19.0363
(aquades)
JBP dosis I -18.20000* 2.76550 .000 -27.5637 -8.8363
JBP Dosis II -7.40000 2.76550 .170 -16.7637 1.9637
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
102

Homogeneous Subsets
jumlah_geliat
Scheffea
Subset for alpha = 0.05
uji_analgesik N 1 2 3 4
kontrol positif (parasetamol) 5 17.0000
JBP Dosis III 5 23.2000 23.2000
JBP Dosis II 5 30.6000
JBP dosis I 5 41.4000
kontrol negatif (aquades) 5 51.6000
Sig. .320 .170 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5.000.

Lampiran 10. Data persen proteksi geliat pada uji efek analgesik
berserta hasil analisis statistiknya

Replikasi Replikasi Replikasi Replikasi Replikasi


Perlakuan 1 2 3 4 5 Rata-rata
JBP 7.5 g 16.66667 24.4186 26.35659 12.7907 18.60465 19.76744186
JBP 15.0 g 36.04651 43.79845 37.9845 36.04651 49.6124 40.69767442
JBP 30.0 g 59.30233 57.36434 53.48837 63.17829 41.86047 55.03875969
Aquades -14.3411 5.03876 -6.58915 -0.77519 16.66667 0
Kontrol positif 70.93023 55.42636 80.62016 65.11628 63.17829 67.05426357

NPar Tests
Descriptive Statistics
N Mean Std. Deviation Minimum Maximum
persen_proteksi_geliat 25 36.5116 25.79704 -14.34 80.62
103

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test


persen_proteksi_geli
at
N 25
Normal Parametersa,,b Mean 36.5116
Std. Deviation 25.79704
Most Extreme Differences Absolute .105
Positive .076
Negative -.105
Kolmogorov-Smirnov Z .524
Asymp. Sig. (2-tailed) .947
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.

Oneway
Descriptives
persen_proteksi_geliat
95% Confidence Interval for
Mean
Std.
N Mean Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum
Aquades 5 .0000 11.75640 5.25762 -14.5975 14.5975 -14.34 16.67
Parasetamol dosis 5 67.0543 9.39473 4.20145 55.3892 78.7194 55.43 80.62
91.00 mg/kgBB
JBP dosis 7.5 g/kgBB 5 19.7674 5.58328 2.49692 12.8349 26.7000 12.79 26.36
JBP dosis 15.0 g/kgBB 5 40.6977 5.91006 2.64306 33.3594 48.0360 36.05 49.61
JBP dosis 30.0 g/kgBB 5 55.0388 8.15337 3.64630 44.9150 65.1625 41.86 63.18
Total 25 36.5116 25.79704 5.15941 25.8631 47.1601 -14.34 80.62

ANOVA
persen_proteksi_geliat
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 14535.485 4 3633.871 50.604 .000
Within Groups 1436.212 20 71.811
Total 15971.696 24
104

Post Hoc Tests


Multiple Comparisons
persen_proteksi_geliat
Scheffe

95% Confidence Interval


Mean
(I) kelompok_uji (J) kelompok_uji Difference (I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound
*
Aquades Parasetamol dosis 91.00 -67.05426 5.35950 .000 -85.2010 -48.9075
mg/kgBB

JBP dosis 7.5 g/kgBB -19.76744* 5.35950 .028 -37.9142 -1.6207


*
JBP dosis 15.0 g/kgBB -40.69767 5.35950 .000 -58.8444 -22.5509
*
JBP dosis 30.0 g/kgBB -55.03876 5.35950 .000 -73.1855 -36.8920
Parasetamol dosis 91.00 Aquades 67.05426* 5.35950 .000 48.9075 85.2010
mg/kgBB *
JBP dosis 7.5 g/kgBB 47.28682 5.35950 .000 29.1401 65.4336
JBP dosis 15.0 g/kgBB 26.35659* 5.35950 .002 8.2099 44.5033
JBP dosis 30.0 g/kgBB 12.01550 5.35950 .320 -6.1312 30.1622
JBP dosis 7.5 g/kgBB Aquades 19.76744* 5.35950 .028 1.6207 37.9142
*
Parasetamol dosis 91.00 -47.28682 5.35950 .000 -65.4336 -29.1401
mg/kgBB
JBP dosis 15.0 g/kgBB -20.93023* 5.35950 .018 -39.0770 -2.7835
JBP dosis 30.0 g/kgBB -35.27132* 5.35950 .000 -53.4181 -17.1246
JBP dosis 15.0 g/kgBB Aquades 40.69767* 5.35950 .000 22.5509 58.8444
*
Parasetamol dosis 91.00 -26.35659 5.35950 .002 -44.5033 -8.2099
mg/kgBB
JBP dosis 7.5 g/kgBB 20.93023* 5.35950 .018 2.7835 39.0770
JBP dosis 30.0 g/kgBB -14.34109 5.35950 .170 -32.4878 3.8056
JBP dosis 30.0 g/kgBB Aquades 55.03876* 5.35950 .000 36.8920 73.1855

Parasetamol dosis 91.00 -12.01550 5.35950 .320 -30.1622 6.1312


mg/kgBB
JBP dosis 7.5 g/kgBB 35.27132* 5.35950 .000 17.1246 53.4181
JBP dosis 15.0 g/kgBB 14.34109 5.35950 .170 -3.8056 32.4878
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

Homogeneous Subsets
persen_proteksi_geliat
Scheffea
Subset for alpha = 0.05
kelompok_uji N 1 2 3 4
Aquades 5 .0000
JBP dosis 7.5 g/kgBB 5 19.7674
JBP dosis 15.0 g/kgBB 5 40.6977
JBP dosis 30.0 g/kgBB 5 55.0388 55.0388
Parasetamol dosis 91.00 mg/kgBB 5 67.0543
Sig. 1.000 1.000 .170 .320
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
105

persen_proteksi_geliat
Scheffea
Subset for alpha = 0.05
kelompok_uji N 1 2 3 4
Aquades 5 .0000
JBP dosis 7.5 g/kgBB 5 19.7674
JBP dosis 15.0 g/kgBB 5 40.6977
JBP dosis 30.0 g/kgBB 5 55.0388 55.0388
Parasetamol dosis 91.00 mg/kgBB 5 67.0543
Sig. 1.000 1.000 .170 .320
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5.000.

Lampiran 11. Data perubahan persen proteksi geliat terhadap kontrol positif
pada uji efek analgesik
Replikasi Replikasi Replikasi Replikasi Replikasi
Perlakuan 1 2 3 4 5 Rata-rata
JBP 7.5 g 28.4801 26.8978 50.6323 34.8093 22.1467 32.59324
JBP 15.0 g 50.6323 39.5562 31.6448 36.3916 34.8093 38.60684
JBP 30.0 g 6.3222 14.2408 11.0809 3.1624 20.5731 11.07588
Aquades 113.9243 102.8482 90.1897 112.3419 80.6959 100
Kontrol
positif -3.16997 9.49468 -11.0759 1.5761 3.16235 -0.002548

NPar Tests
Descriptive Statistics
N Mean Std. Deviation Minimum Maximum
perubahan_persen_proteksi_geliat 25 45.549133 38.4718885 -20.2312 121.3873

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test


perubahan_persen_
proteksi_geliat
N 25
Normal Parametersa,,b Mean 45.549133
Std. Deviation 38.4718885
Most Extreme Differences Absolute .105
Positive .105
Negative -.076
Kolmogorov-Smirnov Z .524
Asymp. Sig. (2-tailed) .947
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
106

Oneway
Descriptives
perubahan_persen_proteksi_geliat
95% Confidence Interval for
Mean
Std. Lower
N Mean Deviation Std. Error Bound Upper Bound Minimum Maximum
Aquades 5 100.000000 17.5326600 7.8408439 78.230327 121.769673 75.1445 121.3873
Parasetamol dosis 5 .000000 14.0106354 6.2657466 -17.396502 17.396502 -20.2312 17.3410
91.00 mg/kgBB

JBP dosis 7.5 g/kgBB 5 70.520231 8.3265088 3.7237280 60.181505 80.858957 60.6936 80.9249
JBP dosis 15.0 g/kgBB 5 39.306358 8.8138443 3.9416710 28.362525 50.250192 26.0116 46.2428
JBP dosis 30.0 g/kgBB 5 17.919075 12.1593549 5.4378288 2.821242 33.016908 5.7803 37.5723
Total 25 45.549133 38.4718885 7.6943777 29.668718 61.429548 -20.2312 121.3873

ANOVA
perubahan_persen_proteksi_geliat
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 32327.843 4 8081.961 50.604 .000
Within Groups 3194.226 20 159.711
Total 35522.069 24

Post Hoc Tests


Multiple Comparisons
perubahan_persen_proteksi_geliat
Scheffe
95% Confidence Interval
Mean Difference
(I) kelompok_uji (J) kelompok_uji (I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound
Aquades Parasetamol dosis 91.00 100.0000000* 7.9927797 .000 72.937239 127.062761
mg/kgBB

JBP dosis 7.5 g/kgBB 29.4797688* 7.9927797 .028 2.417008 56.542529


*
JBP dosis 15.0 g/kgBB 60.6936416 7.9927797 .000 33.630881 87.756402
JBP dosis 30.0 g/kgBB 82.0809249* 7.9927797 .000 55.018164 109.143686
Parasetamol dosis 91.00 Aquades -1.0000000E2 7.9927797 .000 -127.062761 -72.937239
mg/kgBB *
JBP dosis 7.5 g/kgBB -70.5202312 7.9927797 .000 -97.582992 -43.457471
*
JBP dosis 15.0 g/kgBB -39.3063584 7.9927797 .002 -66.369119 -12.243598
JBP dosis 30.0 g/kgBB -17.9190751 7.9927797 .320 -44.981836 9.143686
JBP dosis 7.5 g/kgBB Aquades -29.4797688* 7.9927797 .028 -56.542529 -2.417008
Parasetamol dosis 91.00 70.5202312* 7.9927797 .000 43.457471 97.582992
mg/kgBB
JBP dosis 15.0 g/kgBB 31.2138728* 7.9927797 .018 4.151112 58.276634
JBP dosis 30.0 g/kgBB 52.6011561* 7.9927797 .000 25.538395 79.663917
107

JBP dosis 15.0 g/kgBB Aquades -60.6936416* 7.9927797 .000 -87.756402 -33.630881
*
Parasetamol dosis 91.00 39.3063584 7.9927797 .002 12.243598 66.369119
mg/kgBB
JBP dosis 7.5 g/kgBB -31.2138728* 7.9927797 .018 -58.276634 -4.151112
JBP dosis 30.0 g/kgBB 21.3872832 7.9927797 .170 -5.675477 48.450044
JBP dosis 30.0 g/kgBB Aquades -82.0809249* 7.9927797 .000 -109.143686 -55.018164
Parasetamol dosis 91.00 17.9190751 7.9927797 .320 -9.143686 44.981836
mg/kgBB
JBP dosis 7.5 g/kgBB -52.6011561* 7.9927797 .000 -79.663917 -25.538395
JBP dosis 15.0 g/kgBB -21.3872832 7.9927797 .170 -48.450044 5.675477
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

Homogeneous Subsets
perubahan_persen_proteksi_geliat
Scheffea
Subset for alpha = 0.05
kelompok_uji N 1 2 3 4
Parasetamol dosis 91.00 mg/kgBB 5 .000000
JBP dosis 30.0 g/kgBB 5 17.919075 17.919075
JBP dosis 15.0 g/kgBB 5 39.306358
JBP dosis 7.5 g/kgBB 5 70.520231
Aquades 5 100.000000
Sig. .320 .170 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5.000.
108

Lampiran 12. Data bobot udema kaki mencit hasil uji efek antiinflamasi
dan hasil analisis statistiknya
kaki kiri kaki kanan
Perlakuan replikasi (mg) (mg) Udema (mg)
1 224.6 153.5 71.1
2 228.3 149.5 78.8
JBP 7,5 3 243.4 155.2 88.2
4 241.5 168.5 73
5 261.6 176.7 84.9
Mean udema (mg) + SE 79.20 ± 3.30
5 224.5 158.2 66.3
2 214.9 156.4 58.5
JBP 15,0 4 241.5 176.4 65.1
4 238.6 175.6 63
5 214.5 154.9 59.6
Mean udema (mg) + SE 62.50 ± 1.51
1 213.6 179.5 34.1
2 204.6 165.6 39
JBN 30,0 3 225.6 184.4 41.2
4 223.1 189.3 33.8
5 218.8 177.3 41.5
Mean udema (mg) + SE 47.92 ± 2.68
1 212 173.8 38.2
2 218.3 179.5 38.8
Kontrol
positif 3 193.5 163.5 30
4 213.5 186.7 26.8
5 219.2 198.8 20.4
Mean udema (mg) + SE 30.84 ± 3.49
1 260.3 161.8 98.5
2 280.2 189.5 90.7
Kontrol
negatif 3 269.8 166.5 103.3
4 258.6 162.2 96.4
5 264.9 156.4 108.5
Mean udema (mg) + SE 99.48 ± 3.02
Kontrol 1 279 171.3 107.7
karagenin 2 259.8 166.5 93.3
109

3 264.7 168.9 95.8


4 265.9 162.5 103.4
5 261.6 162.4 99.2
Mean udema (mg) + SE 99.88 ± 2.59

NPar Tests
Descriptive Statistics

N Mean Std. Deviation Minimum Maximum


bobot_udem 30 68.3033 28.23640 20.40 108.50

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test


bobot_udem
N 30
Normal Parametersa,,b Mean 68.3033
Std. Deviation 28.23640
Most Extreme Differences Absolute .162
Positive .162
Negative -.126
Kolmogorov-Smirnov Z .888
Asymp. Sig. (2-tailed) .410
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.

Oneway
Descriptives
bobot_udem
95% Confidence Interval for
Mean
Std.
N Mean Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum
kontrol positif 5 30.8400 7.80308 3.48964 21.1512 40.5288 20.40 38.80
(diklofenak)
kontrol negatif 5 99.4800 6.77289 3.02893 91.0703 107.8897 90.70 108.50
(aquades)
kontrol karagenin 5 99.8800 5.78680 2.58793 92.6947 107.0653 93.30 107.70
JBP dosis I 5 79.2000 7.37733 3.29924 70.0398 88.3602 71.10 88.20
JBP dosis II 5 62.5000 3.38600 1.51427 58.2957 66.7043 58.50 66.30
JBP dosis III 5 37.9200 3.75193 1.67792 33.2614 42.5786 33.80 41.50
Total 30 68.3033 28.23640 5.15524 57.7597 78.8470 20.40 108.50
110

ANOVA
bobot_udem

Sum of Squares df Mean Square F Sig.


Between Groups 22240.674 5 4448.135 121.195 .000
Within Groups 880.856 24 36.702

Total 23121.530 29

Post Hoc Tests


Multiple Comparisons
bobot_udem
Scheffe

95% Confidence Interval


Mean
(I) uji_antiinflamasi (J) uji_antiinflamasi Difference (I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound
kontrol positif kontrol negatif (aquades) -68.64000* 3.83157 .000 -82.5097 -54.7703
(diklofenak) *
kontrol karagenin -69.04000 3.83157 .000 -82.9097 -55.1703
JBP dosis I -48.36000* 3.83157 .000 -62.2297 -34.4903
*
JBP dosis II -31.66000 3.83157 .000 -45.5297 -17.7903
JBP dosis III -7.08000 3.83157 .641 -20.9497 6.7897
*
kontrol negatif (aquades) kontrol positif 68.64000 3.83157 .000 54.7703 82.5097
(diklofenak)
kontrol karagenin -.40000 3.83157 1.000 -14.2697 13.4697
*
JBP dosis I 20.28000 3.83157 .001 6.4103 34.1497
JBP dosis II 36.98000* 3.83157 .000 23.1103 50.8497
JBP dosis III 61.56000* 3.83157 .000 47.6903 75.4297
kontrol karagenin kontrol positif 69.04000* 3.83157 .000 55.1703 82.9097
(diklofenak)
kontrol negatif (aquades) .40000 3.83157 1.000 -13.4697 14.2697
JBP dosis I 20.68000* 3.83157 .001 6.8103 34.5497
*
JBP dosis II 37.38000 3.83157 .000 23.5103 51.2497
JBP dosis III 61.96000* 3.83157 .000 48.0903 75.8297
JBP dosis I kontrol positif 48.36000* 3.83157 .000 34.4903 62.2297
(diklofenak)
kontrol negatif (aquades) -20.28000* 3.83157 .001 -34.1497 -6.4103
kontrol karagenin -20.68000* 3.83157 .001 -34.5497 -6.8103
JBP dosis II 16.70000* 3.83157 .011 2.8303 30.5697
JBP dosis III 41.28000* 3.83157 .000 27.4103 55.1497
JBP dosis II kontrol positif 31.66000* 3.83157 .000 17.7903 45.5297
(diklofenak)
kontrol negatif (aquades) -36.98000* 3.83157 .000 -50.8497 -23.1103
kontrol karagenin -37.38000* 3.83157 .000 -51.2497 -23.5103
JBP dosis I -16.70000* 3.83157 .011 -30.5697 -2.8303
*
JBP dosis III 24.58000 3.83157 .000 10.7103 38.4497
JBP dosis III kontrol positif 7.08000 3.83157 .641 -6.7897 20.9497
(diklofenak)
111

kontrol negatif (aquades) -61.56000* 3.83157 .000 -75.4297 -47.6903


*
kontrol karagenin -61.96000 3.83157 .000 -75.8297 -48.0903
JBP dosis I -41.28000* 3.83157 .000 -55.1497 -27.4103
JBP dosis II -24.58000* 3.83157 .000 -38.4497 -10.7103
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

Homogeneous Subsets
bobot_udem
Scheffea
Subset for alpha = 0.05
uji_antiinflamasi N 1 2 3 4
kontrol positif (diklofenak) 5 30.8400
JBP dosis III 5 37.9200
JBP dosis II 5 62.5000
JBP dosis I 5 79.2000
kontrol negatif (aquades) 5 99.4800
kontrol karagenin 5 99.8800
Sig. .641 1.000 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5.000.

Lampiran 13. Tabel % daya antiinflamasi dan potensi relatif


Kelompok Uji % daya % potensi relatif daya
antiinflamasi antiinflamasi
Karagenin 1% - -
Diklofenak* 69,17 100
Jus pepaya dosis 7,5 g/kgBB 20,72 29,96
Jus pepaya dosis 15,0 g/kgBB 37,44 54,13
Jus pepaya dosis 30,0 g/kgBB 62,06 89,72
Keterangan :
* = dosis 4,48 mg/kgBB
112

Lampiran 14. Contoh cara perhitungan % daya antiinflamasi dan potensi relatif
Contoh 1.
U − D 
Rumus : % daya antiinflamasi =  x100%
 U 
Keterangan :
U = harga rata-rata berat kelompok karagenin (kaki kiri) dikurangi rata-rata berat
kaki normal (kaki kanan)
D = harga rata-rata berat kaki kelompok perlakuan (kaki kiri) dikurangi rata-rata
berat kaki normal (kaki kanan)
Contoh perhitungan % daya antiinflamasi pada perlakuan jus buah pepaya 30,0
g/kgBB
0,0999 − 0,0379
% daya antiinflamasi = x100% = 62,06%
0,0999

Contoh 2.
 DAp 
Rumus : % potensi relatif daya antiinflamasi =  x100%
 DAd 
Keterangan : DAp = % daya antiinflamasi kelompok perlakuan
DAd = % daya antiinflamasi larutan diklofenak

Contoh perhitungan % potensi relatif daya antiinflamasi pada perlakuan jus buah
pepaya 30,0 g/kgBB
62,06
% potensi relatif daya antiinflamasi = x100% = 89,72 %
69,17
113

Lampiran 15. Perhitungan penetapan peringkat dosis jus buah pepaya pada
kelompok perlakuan
Dasar penetapan peringkat

• Bobot tertinggi mencit = 30 g

• Konsentrasi Jus buah pepaya yang dapat disedot dan dikeluarkan lewat spuit

peroral = 90 % atau 0,90 g/ml

• Pemberian cairan secara per oral maksimal 1 ml

Dengan dasar tersebut maka ditetapkan dosis tertinggi jus buah pepaya

V x C = BB x D
Volume Pemberian x Konsentrasi = Berat badan x Dosis

1 ml x 0,90 g/ml = 30g BB x Dosis

Dosis = 0,90 g/ 30 g = 0,030 g/gBB = 30,0 g/kgBB (dosis tertinggi)

Untuk dua peringkat dosis di bawahnya, dosis tertinggi ini dibagi 2 kemudian dibagi

2 lagi sehingga diperoleh 3 peringkat dosis : 30,0 g/kgBB; 15,0 g/kgBB; 7,5 g/kgBB.

Perhitungan konversi dosis dari mencit ke manusia

Faktor konversi dari mencit 20-30 gram ke manusia 70 kg = 387,9

Rata-rata berat badan manusia Indonesia = 50 kg

Dosis untuk mencit = 30,00 g/kgBB (untuk mencit 20-30 gram)

= 0,03 g/g BB mencit

= 0,9 g / 30 g BB mencit
114

Dosis untuk manusia = 387,9 x 0,9 g

= 349,11 g / 70 kgBB manusia

= 249,36 g / 50 kgBB manusia

Untuk mendapatkan dosis 249,36 g / 50 kgBB manusia membutuhkan buah pepaya

Bangkok kurang lebih 1/5 buah.


115

BIOGRAFI PENULIS

Penulis skripsi dengan judul “Efek Antiinflamasi dan

Analgesik Jus Buah Papaya pada Mencit Betina Galur

Swiss” memiliki nama lengkap Jeffry Ben Martin,

merupakan putra pertama dari tiga bersaudara dalam

keluarga Ir. Aswin Manyamai dan Ir. Dewi Erowati.

Penulis dilahirkan di Banjarmasin pada 11 September

1987. Pendidikan formal yang telah ditempuh, yaitu

mengawali masa pendidikannya di TK Tunas Rimba II Palangkaraya (1991-1993),

kemudian melanjutkan pendidikan tingkat Sekolah Dasar di SDN Langkai 12

(sekarang bernama SDN 4 Menteng) Palangkaraya (1993-1999). Pendidikan Sekolah

Lanjutan Tingkat Pertama ditempuh oleh penulis di SLTP Santo Paulus Palangkaraya

(1999-2002), kemudian melanjutkan pendidikan tingkat menengah atas di SMA

Negeri 5 Palangkaraya (2002-2005). Penulis kemudian melanjutkan pendidikan

sarjana di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta pada tahun 2006. Semasa

menempuh kuliah, penulis aktif dalam berbagai kepanitiaan baik dalam fakultas

maupun di luar fakultas. Penulis pernah menjadi asisten praktikum Kimia Dasar,

Mikrobiologi, Farmakologi Dasar, Toksikologi Dasar, Patologi Klinik (2009), dan

Biofarmasetika (2010). Penulis juga terlibat dalam kepanitian Titrasi 2007 dan 2008

sebagai anggota seksi perlengkapan.

Anda mungkin juga menyukai