Anda di halaman 1dari 21

REFLEKSI KASUS

HERPES ZOOSTER OFTALMICUS

Disusun Untuk Memenuhi Syarat


Mengikuti Program Pendidikan Profesi Dokter
Di Rumah Sakit Umum Daerah Tidar Kota Magelang

Diajukan Kepada :
dr. Sri Yunihartati, Sp.M

Disusun Oleh :
Redhy Satya Caesarinka
20110310186

BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TIDAR KOTA MAGELANG
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2018
DOKUMENTASI
I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. K
Usia : 57 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Permitan, Magelang
Pekerjaan : Petani
Status : Menikah
Tanggal kontrol : 02/11/2018

II. ANAMNESIS

Keluhan Utama
Kesulitan membuka mata

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke poliklinik mata RSUD Tidar Magelang pada tanggal 02 November
2018 mengeluhkan kesulitan membuka mata. Keluhan ini sudah dirasakan pasien
sejak setengah bulan yang lalu. Selain kesulitan untuk membuka mata pasien juga
mengeluhkan nyeri saat memnbuka mata. Selain nyeri pasien juga merasakan
bengkak dan gatal pada kening sebelah kanan. Pasien juga merasakan demam yang
mengganggu aktifitas pasien. Sebelumnya pasien kontrol ke dokter kulit dan sudah
mendapatkan obat dari dokter tersebut dan didiagnosis Herpes Zooster.

Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat keluhan serupa (+)
Riwayat hipertensi (+)
Riwayat DM (-)
Riwayat trauma (-)
Riwayat ginjal (-)
Riwayat operasi (-)
Riwayat alergi (-)
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat keluhan serupa (-)
Riwayat hipertensi (+) Ayah
Riwayat DM (-)
Riwayat trauma (-)
Riwayat ginjal (-)
Riwayat operasi (-)
Riwayat alergi (-)

III. KESAN
Kesadaran : Compos mentis
Keadaan Umum : Cukup

IV. PEMERIKSAAN SUBYEKTIF


Pemeriksaan Oculi Dextra (OD) Oculi Sinistra (OS)
Visus Jauh 6/60 6/12
Refraksi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Koreksi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Visus Dekat Tidak dilakukan Tidak dilakukan

V. PEMERIKSAAN OBYEKTIF
Pemeriksaan OD OS Penilaian
1. Sekitar Mata Kedudukan alis Kedudukan alis Simetris, scar (-
(Supersilia) baik, scar (-) baik, scar (-) )
2. Kelopak Mata
Pasangan N N Simetris
Gerakan Gangguan N Gangguan
membuka mata gerak membuka
(+) dan menutup (-
), spasme (-)
Lebar rima 11 mm 11 mm Normal 9-13
mm
Kulit Hiperemis (+), N Hiperemi (-),
Edema (+) edema (-),
massa (-)
Tepi kelopak N N Trikiasis (-),
entropion (-),
ekstropion (-)
3. Apparatus Lakrimalis
Sekitar glandula N N Dakriosistitis (-
lakrimalis )
Sekitar sacus N N Dakriosistitis (-
lakrimalis )
Uji flurosensi - - Tidak dilakukan
Uji regurgitasi - - Tidak dilakukan
Tes Anel - - Tidak dilakukan
4. Bola Mata
Pasangan N N Simetris
Gerakan N N Tidak ada
gangguan gerak
(saraf dan otot
penggerak bola
mata normal)
Ukuran N N Makroftalmus
(-),
mikroftalmus (-
)
5. TIO N N Palpasi
konnsistensi
kenyal, simetris
6. Konjungtiva
Palpebra superior Cobble stone (-) Cobble stone (-) Hiperemis (-),
hordeolum (-),
cobble stone (-)
Forniks Cekung, dalam Cekung, dalam Cekung, dalam
Palpebra inferior N N Hiperemis (-),
hordeolum (-),
cobble stone (-)
Bulbi Hiperemis (+), Hiperemis (-) Injeksi
Inj. Konjungtiva konjungtiva (-),
(+) injeksi
perikornea (-),
corpal (-),
hiperemis (-)
7. Sklera Ikterik (-), Ikterik (-), Ikterik (-),
perdarahan (-) perdarahan (-) perdarahan (-)
8. Kornea
Ukuran 12 mm 12 mm
Kecembungan N N Lebih cembung
dari sklera
Limbus N N Arkus senilis (-
), injeksi
perikornea (-)
Permukaan N N Licin (+), jernih
(+)
Uji flurosensi - - Tidak dilakukan
Placido - - Tidak dilakukan
9. Camera oculi anterior
Ukuran N N Dalam
Isi N N Hifema (-),
hipopion (-)
10. Iris
Warna Coklat Coklat Coklat
Pasangan Simetris Simetris Simetris
Bentuk Bulat Bulat Bulat, reguler
11. Pupil
Ukuran 4 mm 4 mm Pada ruangan
dengan cahaya
cukup, 3-5 mm.
Bentuk Bulat Bulat Isokhor
Tempat Sentral Sentral Sentral
Tepi Regular Regular DBN
Reflek direct + + DBN
Reflek indirek + + DBN
12. Lensa
Ada/tidak Ada Ada DBN
Kejernihan Keruh Jernih Jernih
Letak Sentral, Sentral, DBN
belakang iris belakang iris

VI. KESIMPULAN PEMERIKSAAN


OD OS
Pada sekitar Okuli Dextra tampak DBN
Patch Hiperpigmentasi multiple, dan
terdapat kelainan berupa kesulitan
membuka mata, terdapat edema
palpebra, tampak sekret cairan (+) dan
Inj. Konjungtiva (+)

VII. DIAGNOSIS BANDING


Herpes Zooster Facialis
Herpes simplek
Ulkus blefaritis
VIII. DIAGNOSIS KERJA
OD Herpes Zooster Oftalmicus
IX. TERAPI
Aciclofir ed 5x1 OD
Dexaton ed 4x1 OD
X. PROGNOSIS
ad Visum : bonam
ad Sanam : bonam
ad Vitam : bonam
ad Comesticam : bonam
HERPES ZOOSTER OFTALMICUS

A. Definisi
Herpes zoster merupakan infeksi umum yang disebabkan oleh Human Herpes Virus
3 (Varisela Zoster Virus), virus yang sama menyebabkan varisela (chicken pox). Virus ini
termasuk dalam famili Herpes viridae, seperti Herpes Simplex, Epstein Barr Virus, dan
Cytomegalovirus.4
Herpes Zoster Oftalmikus (HZO) adalah kelainan pada mata yang merupakan hasil
reaktivasi dari Varisela Zoster Virus (VZV) pada Nervus Trigeminal (N.V). Semua cabang
dari nervus tersebut bisa terpengaruh, dan cabang frontal divisi pertama N.V merupakan
yang paling umum terlibat. Cabang ini menginervasi hampir semua struktur okular dan
periokular.4

B. Etiologi
Herpes zoster disebabkan oleh Varisela Zoster Virus (VZV). VZV mempunyai
kapsid yang tersusun dari 162 sub unit protein dan berbentuk simetri isohedral dengan
diameter 100 nm. Virion lengkapnya berdiameter 150-200 nm, dan hanya virion yang
berselubung yang bersifat infeksius. Infeksiositas virus ini dengan cepat dapat dihancurkan
oleh bahan organik, deterjen, enzim proteolitik, panas, dan lingkungan dengan pH yang
tinggi. HZO merupakan reaktivasi dari VZV di N.V divisi oftalmik (N.V1).5

C. Epidemiologi
Lebih dari 90% dari dewasa di Amerika Serikat mempunyai bukti serologik
mengenai infeksi VZV dan merupakan resiko untuk HZ. Laporan tahunan insidens HZ
bervariasi daripada 1.5 – 3.4 kasus per 1000 orang. 6,7 Faktor resiko untuk perkembangan
HZ ini ialah kekebalan imun sistem yang rendah berasosiasi juga dengan proses penuaan
yang normal. Bagaimanapun, insidens ini terjadi pada individu berusia di atas 75 tahun rata
– ratanya iaitu 10 kasus per 1000 orang. 6,7
HZO khas mempengaruhi 10-20 % populasi. HZO biasanya berpengaruh pada usia
tua dengan meningkatnya pertambahan usia. Dari data insiden terjadinya HZO pada
populasi Caucasian adalah 131 : 100.000.9 Populasi American-Afrika mempunyai insiden
50 % dari Caucasian. Alasan untuk perbedaan ini tidak sepenuhnya dipahami. Kebanyakan
kasus HZO disebabkan reaktivasi dari virus laten.
Lebih dari 90 % dewasa di Amerika terbukti mempunyai serologi yang terinfeksi
VZV. Dari hasil tahunan, insiden dari herpes zoster bervariasi, dari 1,5 – 3, 4 kasus per
1000 orang. Faktor resiko dari perkembangan oleh herpes zoster adalah menyusutnya sel
mediated dari sistem imun yang berhubungan dengan perkembangan usia. Insiden HZO
pada usia 75 tahun ke atas melebihi 10 kasus per 1.000 orang per tahun, dan risiko seumur
hidup diperkirakan 10-20 %.10
Faktor risiko lain untuk herpes zoster diperoleh dari hambatan respon sel mediated
imun, seperti pada pasien dengan obat imunosupresif dan HIV, dan yang lebih spesifik
dengan AIDS. Pada kenyataannya, risiko relatif dari herper zoster sedikitnya 15x lebih
besar dengan HIV dibandingkan tanpa HIV. HZO terdapat 10-25 % dari semua kasus
herpes zoster. Resiko komplikasi oftalmik pada pasien herpes zoster tidak terlihat
berhubungan dengan umur, jenis kelamin, atau keganasan dari ruam kulit.10

D. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi timbulnya herpes zoster oftalmikus ini adalah :
a. Kondisi imunocompromise (penurunan imunitas sel T)
- Usia tua
- HIV
- Kanker
- Kemoterapi
b. Faktor reaktivasi
- Trauma lokal
- Demam
- Sinar UV
- Udara dingin
- Penyakit sistemik
- Menstruasi
- Stres dan emosi

E. Patogenesis
Penyebab penyakit herpes zoster oftalmika adalah virus Varicella-zoster. Periode
inkubasi Varicella-zoster sampai menimbulkan penyakit yang khas adalah 10-21 hari.
Varicella-zoster masuk ke dalam tubuh manusia melalui mukosa saluran napas bagian atas,
orofaring atau konjungtiva. Siklus replikasi virus pertama terjadi pada hari ke 2-4 yang
berlokasi pada nodus limfe regional yang kemudian diikuti penyebaran virus dalam jumlah
yang sedikit melalui darah dan kelenjar limfe yang menyebabkan terjadinya viremia primer
(biasanya terjadi pada hari ke 4-6 setelah infeksi pertama). Pada sebagian besar penderita
yang terinfeksi, replikasi virus tersebut dapat mengalahkan mekanisme pertahanan tubuh
sehingga akan berlanjut pada siklus replikasi viru kedua yang terjadi di hepar dan limpa,
yang mengakibatkan terjadinya viremia sekunder. Pada fase ini, partikel virus akan
menyebar ke seluruh tubuh dan mencapai epidermis pada hari ke 14-16, yang menyebabkan
timbul lesi kulit yang khas.11,12
Kerusakan jaringan yang terlihat pada wajah disebabkan oleh infeksi yang
menghasilkan inflamasi kronik dan iskemik pembuluh darah pada cabang N. V. Hal ini
terjadi sebagai respon langsung terhadap invasi virus pada berbagai jaringan. Walaupun
sulit dimengerti, penyebaran dermatom pada N. V dan daerah torak paling banyak
terkena.6,7
Tanda-tanda dan gejala HZO terjadi ketika N.V1 diserang virus, dan akhirnya akan
mengakibatkan ruam, vesikel pada ujung hidung (dikenal sebagai tanda Hutchinson), yang
merupakan indikasi untuk resiko lebih tinggi terkena gannguan penglihatan. Dalam suatu
studi, 76% pasien dengan tanda Hutchinson mempunyai gangguan penglihatan.
Pada herpes zoster oftalmika, patogenesisnya belum sepenuhnya diketahui. Selama
terjadinya varisela, virus varicella-zoster berpindah tempat dari lesi kulit dan permukaan
mukosa ke ujung syaraf sensorik dan ditransportasikan secara centripetal melalui serabut
syaraf sensorik ke ganglion sensoris. Pada ganglion tersebut terjadi infeksi laten (dorman),
dimana virus tersebut tidak lagi menular dan tidak bermultiplikasi, tetapi tetap mempunyai
kemampuan untuk berubah menjadi infeksius apabila terjadi reaktivasi virus. Reaktivasi
virus tersebut dapat diakibatkan oleh suatu keadaan yang menurunkan imunitas seluler
sehingga virus kembali bermultiplikasi menyebabkan peradangan dan merusak ganglion
sensoris. Kemudian virus akan menyebar ke sumsum tulang serta batang otak, jika
mengenai N.trigeminus dapat menyebar ke N. oftalmikus melalui serabut syaraf sensoris
sehingga menyebabkan timbulnya manifestasi klinis.11,12
Gambar 1. Tanda Hutchinson. Gambar dikutip dari C. Stephen Foster, MD, Massachusetts
Eye Research and Surgery Institute, Harvard Medical School.

Mekanisme dari keterlibatan okular adalah sebagai berikut :


1. Infeksi virus langsung dapat menyebabkan konjungtivitis dan keratitis epitelial
2. Infeksi sekunder dan vaskulitis oklusif dapat menyebabkan episkleritis, skleritis,
keratitis, uveitis, neuritis optik, dan kelumpuhan saraf kranial. Inflamasi dan
kerusakan nervus perifer dan ganglia sentral, atau pemrosesan sinyal yang diubah
dalam SSP mungkin bertanggung jawab untuk postherpetic neuralgia.
3. Reaktivasi menyebabkan nekrosis dan peradangan pada ganglia sensoris yang
terkena, menyebabkan anestesi kornea yang dapat mengakibatkan keratitis
neurotropik.13

F. Manifestasi Klinis
Adapun manifestasi klinis HZO ini, antara lain:
a. Prodormal (didahului ruam sampai beberapa hari)13
Gejala-gejala prodormal terjadi pada 5 % penderita, terutama pada anak-anak, dan
timbul 1 - 2 hari sebelum terjadi erupsi.
- Nyeri lateral sampai mengenai mata
- Demam
- Malaise
- Sakit kepala
- Kuduk terasa kaku
b. Dermatitis
c. Nyeri mata
d. Lakrimasi
e. Perubahan visual
f. Mata merah unilateral

Gambar 2. Defek epitel dan infeksi sekunder varicella-zoster virus. Gambar dikutip daripada
C. Stephen Foster, MD, Massachusetts Eye Research and Surgery Institute, Harvard Medical
School.
Kelainan pada mata
Kelainan mata akut :
1. Keratitis epitelia akut
Keratitis epitel akut berkembang di lebih dari 50% dari pasien dalam waktu 2 hari
dari timbulnya ruam dan biasanya sembuh secara spontan dalam beberapa hari. Hal
ini ditandai dengan lesi dendritik yang lebih kecil dan lebih halus dari herpes
simplex dendrit, multipel, lesi vocal dengan fluoresen atau rose Bengal.
Pengobatan, jika diperlukan, adalah dengan antivirus topikal.
2. Konjungtivitis
Konjungtivitis adalah salah satu komplikasi terbanyak pada HZO. Pada konjungtiva
sering terdapat injeksi konjungtiva dan edema, dan kadang disertai timbulnya
petechie. Ini biasanya terjadi 1 minggu. Infeksi sekunder akibat S. aureus bisa
berkembang di kemudian hari.
3. Episkleritis
Episkleritis terjadi pada awal ruam dan biasanya sembuh secara spontan. Steroid
anti inflamasi non ringan dapat digunakan jika diperlukan.
4. Skleritis dan sklerokeratitis
Skleritis dan sclerokeratitis jarang terjadi dan dapat berkembang pada akhir minggu
pertama. Pengobatan lesi adalah dengan flurbiprofen oral (Froben) 100mg. Kadang-
kadang, steroid oral dengan antivirus mungkin diperlukan untuk keterlibatan parah
5. Keratitis numularis
Keratitis numular biasanya berkembang di lokasi lesi epitel sekitar 10 hari setelah
onset ruam. Hal ini ditandai dengan deposit subepitel granular halus dikelilingi oleh
lingkaran stroma kabut. Lesi memudar jika diberikan steroid topikal tetapi kambuh
jika pengobatan dihentikan secara prematur
6. Keratitis stromal (intersisial)
Keratitis stroma berkembang pada sekitar 5% kasus, terjadi tiga minggu setelah
timbulnya ruam.
7. Keratitis Diciform
Keratitis disciform kurang umum daripada dengan herpes simpleks infeksi, tetapi
dapat menyebabkan dekompensasi kornea. Pengobatan dengan steroid topikal
8. Uveitis anterior
Uveitis anterior mempengaruhi setidaknya sepertiga dari pasien dan dapat dikaitkan
dengan sektoral iris iskemia dan atrofi.
9. IOP
TIO harus dipantau sebagai elevasi umum, termasuk steroid diinduksi. Sering
menyebabkan peningkatan TIO. Tanpa perawatan yang baik penyakit ini bisa
menyebabkan glaukoma dan katarak. Derivatif prostaglandin harus dihindari jika
pengobatan diperlukan.
10. Komplikasi neurologik
Komplikasi neurologis mungkin memerlukan antivirus intravena dan steroid
sistemik.
− Kelumpuhan saraf kranial yang mempengaruhi saraf ketiga (paling umum), 4
dan 6 biasanya sembuh dalam waktu 6 bulan
− Neuritis optik jarang
− Manifestasi SSP jarang terjadi tetapi termasuk ensefalitis, arteritis kranial, dan
sindrom Guillain barre.13
Gambar 3. Herpes zoster oftalmika mengenai cabang nervus oftalmikus
(http://medicalera.com/3/26866/komplikasi-mata-pada-herpes-
zoster#.Ul1zFlN3qus)

Kelainan mata kronik


1. Keratitis neurotropik
Neurotropik keratitis berkembang pada sekitar 50% kasus, meskipun biasanya
relatif ringan dan mengendap selama beberapa bulan.
2. Skleritis
Skleritis dapat menjadi kronis dan menyebabkan athropy scleral
3. Mucous plaque keratitis
Mucous plaque keratitis berkembang pada sekitar 50% pasien, paling sering antara
3 dan bulan ke-6. Hal ini ditandai dengan kemunculan tiba-tiba plak mukosa tinggi
yang diwarnai dengan Bengal Rose. Pengobatan melibatkan kombinasi steroid
topikal dan asetilsistein. Setelah diobati, plak sembuh setelah beberapa bulan,
meninggalkan kabut kornea.
4. Degenerasi lipid
Degenerasi lipid dapat berkembang pada mata dengan nummular persisten berat
atau keratitis disciform.
5. Lipid-filled granulomata
Lipid-filled granulomata dapat berkembang di bawah konjungtiva tarsal, bersama-
sama dengan jaringan parut subconjunctival.
6. Sikatrik palpebra
Jaringan parut kelopak mata dapat mengakibatkan ptosis, entropion cicatricial dan
kadang-kadang ektropion, trichiasis, lid notching dan madarosis.13

Kelainan mata relaps


Tahap lesi dapat muncul kembali beberapa tahun setelah episode akut, yang mungkin telah
sembuh, jaringan parut kelopak mata mungkin satu-satunya petunjuk diagnostik.
Reaktivasi keratitis, episkleritis, skleritis atau iritis dapat terjadi.13

G. Penegakan Diagnosis
Anamnesis
- Fase prodormal pada herpes zoster oftalmikus biasanya terdapat influenza –like illness
seperti lemah, malaise, demam derajat rendah yang mungkin berakhir sehingga 1
minggu sebelum perkembangan rash unilateral menyelubungi daerah kepala, atas
kening dan hidung (divisi dermatome pertama daripada nervus trigeminus).5,7
- Kira – kira 60% pasien mempunyai variasi derajat gejala nyeri dermatom sebelum
erupsi kemerahan. Akibatnya, makula eritematosus muncul keliatan yang lama
kelamaan akan membentuk kluster yang terdiri daripada papula dan vesikel. Lesi ini
akan membentuk pustula dan seterusnya lisis dan membentuk krusta dalam masa 5 – 7
hari.

Pemeriksaan Fisik
- Periksa struktur eksternal/superfisial dahulu secara sistematik mengikut urutan
daripada bulu mata, kunjungtiva dan pembengkakan sklera.
- Periksa keadaan integritas motorik ekstraokular dan defisiensi lapang pandang.8
- Lakukan pemeriksaan funduskopi dan coba untuk mengeradikasi fotofobia untuk
menetapkan kemungkinan terdapatnya iritis. Pengurangan sensitivitas kornea dapat
dilihat dengan apabila dicoba dengan serat cotton.
- Lesi epitel kornea dapat dilihat setelah diberikan fluorescein. Defek epitel dan ulkus
kornea akan jelas terlihat dengan pemeriksaan ini.
- Pemeriksaan slit lamp seharusnya dilakukan untuk melihat sel dalam segmen anterior
dan kewujudan infiltrat stroma
- Setelah ditetes anestesi mata, ukur tekanan intraokular (tekanan normal ialah dibawah
12 – 15 mmHg).
Pemeriksaan Laboratorium
Diagnosis laboratorium terdiri dari beberapa pemeriksaan, iaitu:6
a. Pemeriksaaan langsung secara mikroskopik
- Kerokan palpebra diwarnai dengan Giemsa, untuk melihat adanya sel-sel raksasa
berinti banyak (Tzanck) yang khas dengan badan inklusi intranukleus asidofil
b. Pemeriksaaan serologik.
- HZ dapat terjadi pada individu yang terinfeksi dengan HIV yang kadangkala
asimtomatik, pemeriksaan serologik untuk mendeteksi retrovirus sesuai untuk
pasien dengan faktor resiko untuk HZ (individu muda daripada 50 tahun yang
nonimunosupres).
c. Isolasi dan identifikasi virus dengan teknik Polymerase Chain Reaction.

H. Diagnosis Banding
a. Kondisi yang memperlihatkan penampakan luar yang sama
− Herpes simplek
− Ulkus blefaritis
b. Kondisi yang menyebabkan penyebaran nyeri
− Tic Douloureux3
− Migrain
− Pseudotumor orbita
− Selulitis orbita
− Nyeri akibat sakit gigi
c. Kondisi yang menyebabkan inflamasi stromal kornea
− Epstein-Barr Virus
− Sifilis

I. Penatalaksanaan
Sebagian besar kasus herpes zoster dapat didiagnosis dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Cara terbaru dalam mendiagnosis herpes zoster adalah dengan tes DFA
(Direct Immunofluorence with Fluorescein-tagged Antibody) dan PCR (jika ada), terbukti
lebih efektif dan spesifik dalam membedakan infeksi akibat VZV dengan HSV. Tes bisa
dilanjutkan dengan kultur virus.13
Pasien dengan herpes zoster oftalmikus dapat diterapi dengan Acyclovir (5 x 800
mg sehari) selama 7-10 hari. Penelitian menunjukkan pemakaian Acyclovir, terutama
dalam 3 hari setelah gejala muncul, dapat mengurangi nyeri pada herpes zoster oftalmikus.
Onset Acyclovir dalam 72 jam pertama menunjukkan mampu mempercepat penyembuhan
lesi kulit, menekan jumlah virus, dan mengurangi kemungkinan terjadinya dendritis,
stromal keratitis, serta uveitis anterior.13
Terapi lain dengan menggunakan Valacyclovir yang memiliki bioavaibilitas yang
lebih tinggi, menunjukkan efektivitas yang sama terhadap herpes zoster oftalmikus pada
dosis 3 x 1000 mg sehari. Pemakaian Valacyclovir dalam 7 hari menunjukkan mampu
mencegah komplikasi herpes zoster oftalmikus, seperti konjungtivitis, keratitis, dan nyeri.
Pada pasien imunocompromise dapat digunakan Valacyclovir intravena. Untuk
mengurangi nyeri akut pada pasien herpes zoster oftalmikus dapat digunakan analgetik
oral.13,14
Untuk mengobati berbagai komplikasi yang ditimbulkan oleh herpes zoster
oftalmikus disesuaikan dengan gejala yang ditimbulkan. Pada blefarokonjungtivitis, untuk
blefaritis dan konjungtivitisnya, diterapi secara paliatif, yaitu dengan kompres dingin dan
topikal lubrikasi, serta pada indikasi infeksi sekunder oleh bakteri (biasanya S. aureus).
Pada keratitis, jika hanya mengenai epitel bisa didebridemant, jika mengenai stromal dapat
digunakan topikal steroid, pada neurotropik keratitis diterapi dengan lubrikasi topikal, serta
dapat digunakan antibiotik jika terdapat infeksi sekunder bakteri.9
Untuk neuralgia pasca herpetik obat yang direkomendasikan di antaranya
Gabapentin dosisnya 1,800 mg - 2,400 mg sehari. Hari pertama dosisnya 300 mg sehari
diberikan sebelum tidur, setiap 3 hari dosis dinaikkan 300 mg sehari sehingga mencapai
1,800 mg sehari.10
Antibiotik sebaiknya digunakan jika terdapat infeksi bakterial. Antibiotik pada
kasus ini ialah ampicillin dan tetes mata gentamisin, merupakan antibakteri spektrum luas.
Isprinol yang diberikan oleh spesialis kulit pada penderita di atas termasuk obat
imunomodulator yang bekerja memperbaiki sistem imun.
Vitamin neurotropik berupa neurodex digunakan sebagai vitamin untuk saraf. Pada
umumnya direkomendasikan pemberian NSAID topikal 4 kali sehari dan ibuprofen sebagai
analgetik oral. Ahli THT memberikan obat kumur tantum verde yang berisi benzydamine
hydrochloride,8 merupakan anti inflamasi non steroid lokal pada mulut dan tengggorokan.
Penderita di atas juga mendapatkan antioksidan berupa asthin force dari ahli penyakit
dalam untuk perlindungan kesehatan kulit.
Sindrom Ramsay Hunt dapat diberikan Prednison dengan dosis 3 x 20 mg sehari,
setelah seminggu dosis diturunkan secara bertahap. Dengan dosis prednison setinggi itu
imunitas akan tertekan sehingga lebih baik digabung dengan obat antiviral. Dikatakan
kegunaannya untuk mencegah fibrosis ganglion.8

J. Follow up
Jika keterlibatan okular hadir, memeriksa pasien setiap 1 sampai 7 hari, tergantung pada
keparahan. Pasien tanpa keterlibatan okular dapat diikuti setiap 1 sampai 4 minggu. Setelah
penyembuhan episode akut, periksa pasien setiap 3 sampai 6 bulan (3 jika pada steroid)
karena angka kekambuh dapat terjadi dalam waktu bulan sampai tahun kemudian, terutama
karena steroi. Penggunaan steroid sistemik masih kontroversial dan membutuhkan
kerjasama dengan internis pasien.14

K. Komplikasi
Hampir semua pasien akan pulih sempurna dalam beberapa minggu, meskipun ada
beberapa yang mengalami komplikasi. Hal ini tidak berhubungan dengan umur dan luasnya
ruam, tetapi bergantung pada daya tahan tubuh penderita. Ini akan terjadi beberapa bulan
atau beberapa tahun setelah serangan awal.7
- Komplikasi mata terjadi pada 50 % kasus. Nyeri terjadi pada 93% dari pasien tersebut,
31% nya masih ada sampai 6 bulan berikutnya. Pengaruh itu semua, terjadi anterior
uveitis pada 92% dan keratitis 52%. Pada 6 bulan, 28% mengenai mata dengan uveitis
kronik, keratitis, dan ulkus neuropatik.
- Komplikasi mata yang jarang, termasuk optik neuritis, retinitis, dan kelumpuhan nervus
kranial okuler. Ancaman ganguan penglihatan oleh keratitis neuropatik, perforasi,
glaukoma sekunder, posterior skleritis, optik neuritis, dan nekrosis retina akut.
- Komplikasi jangka panjang, bisa berhubungan dengan lemahnya sensasi dari kornea
dan fungsi motor palpebra. Ini beresiko pada ulkus neuropati dan keratopati. Resiko
jangka panjang ini juga terjadi pada pasien yang memiliki riwayat HZO, 6-14%
rekuren.
- Infeksi permanen zoster oftalmik bisa termasuk inflamasi okuler kronik dan kehilangan
penglihatan.5

Komplikasi yang dapat terjadi, yaitu :


− Myelitis. Merupakan komplikasi di luar mata yang pernah dilaporkan oleh Gordon dan
Tucker, demikian juga encephalitis dan hemiplegi walaupun jarang ditemukan tetapi
pernah dilaporkan. Hal ini diperkirakan karena penjalaran virus ke otak.
− Konjungtiva. Pada mata komplikasi yang dapat timbul adalah kemosis yang ada
hubungannya dengan pembengkakan palpebra. Pada saat ini biasanya disertai dengan
penurunan sensibilitas kornea dan kadang-kadang oedema kornea yang ringan. Dapat
juga timbul vesikel-vesikel di conjunctiva tetapi jarang terjadi ulserasi. Pernah
dilaporkan adanya kanaliculitis yang ada hubungannya dengan zoster.
− Kornea. Bila comea terkena maka akan timbul infiltrat yang berbentuk tidak khas
dengan batas yang tidak tegas , tetapi kadang-kadang infiltratnya dapat menyerupai
herpes simplex. Proses yang terjadi pada dasamya berupa keratitis profunda yang
bersifat khronis dan dapat bertahan beberapa minggu setelah kelainan kulit sembuh.
Akibat kekeruhan kornea yang terjadi maka visus akan menurun.
− Iris. Adanya lesi diujung hidung sangat penting untuk diperhatikan karena
kemungkinan besar iris akan ikut terkena mengingat n. nasociliaris merupakan cabang
dari n.ophthalmicus yang juga menginervasi daerah iris, corpus ciliaze dan cornea.
Iritis/iridocyclitis dapat merupakan penjalaran dari keratitis ataupun berdiri sendiri.
Iritis biasanya ringan,jarang menimbulkan eksudat, pada yang berat kadang-kadang
disertai dengan hypopion atau secundair glaucoma. Akibat dari iritis ini sering timbul
sequele berupa iris atropi yang biasanya sektoral. Pada beberapa kasus dapat disertai
massive iris atropi dengan kerusakan sphincter pupillae.
− Sklera. Skleritis merupakan komplikasi yang jarang ditemukan, biasanya merupakan
lanjutan dari iridocyclitis. Pada sclera akan terlihat nodulus dengan injeksi lokal yang
dapat timbul beberapa bulan sesudah sembuhnya laesi di kulit. Nodulusnya bersifat
khronis, dapat bertahan beberapa bulan, bila sembuh akan meninggalkan sikatrik
dengan hyperpigmentasi. Skleritis ini dapat kambuh lagi.
− Ocular palsy. Dapat timbul bila mengenai N III, N IV, N V1, N III dan N IV dapat
sekaligus terkena. Pernah pula dilaporkan timbulnya ophthalmoplegi totalis dua bulan
setelah menderita herpes zoster ophthalmicus. Paralyse dari otot-otot extra-oculer ini
mungkin karena perluasan peradangan dari N Trigeminus di daerah sinus cavemosus.
Timbulnya paralyse biasanya dua sampai tiga minggu setelah gejala permulaan dari
zoster dirasakan, walaupun ada juga yang timbul sebelumnya. Prognosa otot-otot yang
pazalyse pada umumnya baik dan akan kembali normal kira-kira dua bulan kemudian.
− Retina. Kelainan retina yang ada hubungannya dengan zoster jarang ditemukan.
Kelainan tersebut berupa choroiditis dan perdazahan retina, yang umumnya disebabkan
adanya retinal vasculitis.
− Neuritis optik. Neuritis optik juga jarang ditemukan; tetapi bila ada dapat menyebabkan
kebutaan karena timbulnya atropi n. opticus. Gejalanya berupa skotoma sentral yang
dalam beberapa minggu akan terjadi penurunan visus sampai menjadi buta. 3,8,10

L. Pencegahan
Tindakan preventif yang harus dilakukan penderita ialah tidak mengusap-usap
mata, menyentuh lesi kulit, dan menggaruk luka untuk menghindari penyebaran gejala.
Bagi orang sekitar hendaknya menghindari kontak langsung dengan penderita terutama
anak-anak. Obat-obatan antiviral seperti asiklovir, valasiklovir, dan famsiklovir merupakan
terapi utama yang lebih efektif dalam mencegah keterlibatan okuler terutama jika obat
diberikan tiga hari pertama munculnya gejala. Berdasarkan rekomendasi dari National
Guidelines Clearinghouse, dosis asiklovir oral untuk dewasa ialah 800 mg 5 kali sehari
selama 7 sampai 10 hari.8 Sedangkan antiviral topikal tidak dianjurkan karena tidak efektif.
Antiviral digunakan untuk mempercepat resolusi lesi kulit, mencegah replikasi virus, dan
menurunkan insiden keratitis stroma dan uveitis anterior.

M. Prognosis
Umumnya baik, pada herpes zoster oftalmikus prognosis bergantung pada tindakan
perawatan secara dini. Prognosis dari segi visus penderita baik karena asiklovir dapat
mencegah penyakit-penyakit mata yang menurunkan visus. Kesembuhan penyakit ini
umunya baik pada dewasa dan anak-anak dengan perawatan secara dini. Prognosis ke arah
fungsi vital diperkirakan ke arah baik dengan pencegahan paralisis motorik dan
menghindari komplikasi ke mata sampai kehilangan penglihatan. Prognosis kosmetikam
pada mata penderita tersebut baik karena bengkak dan merah pada mata dapat hilang. Pada
kulit dapat menimbulkan makula hiperpigmentasi atau sikatrik.7,8
DAFTAR PUSTAKA

1. Herpes zoster from http://www.emedicine.com/oph[disc257.htm,2006

2. Herpes zoster from www.optometry.co.uk

3. Ilyas, Sidarta. Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia, 2000.

4. American Academy of Ophtalmology. External cornea and disease. Section 8. 2005-2006.

5. Vaughan. Oftamologi Umum.Edisi 17. Jakarta: EGC. 2014.

6. Suwarji H. Infeksi viral dan strategi pengobatan anti viral pada penyakit mata. Diakses

dari http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/08InfeksiViral087.pdf. Oktober 2006.

7. Moses S. Herpes zoster ophtalmicus. Diakses dari www.fpnotebook.com. January 13,

2008.

8. Gurwood AS. Herpes zoster ophthalmicus. Diakses dari www.optometry.co.uk. November

16, 2001.

9. Maria M Diaz. Herpes zoster ophthalmicus. Diakses dari

http://emedicine.medscape.com/article. Disember 10, 2009.

10. Web MD. Herpes of the eye. Diakses dari http://www.medicinenet.com/herpeseye/.

November 2009.

11. Shaikh S. Evaluation and management of herpes zoster. Diakses dari: www.aafp.org.

November 1, 2002.

12. Jawetz at all. Mikrobiologi Kedokteran. Edisi 23. Jakarta : EGC ; 2008. Hal. 458-450.

13. Kansky, Jack J. Clinical Opthalmology : a systemic approach. 7th ed. Elsevier. 2011

14. Gerstenblith, Adam T. The Wills Eye Manual. 6th ed. Lippincott Williams and Wilkins.

2012

Anda mungkin juga menyukai