Anda di halaman 1dari 7

TEORI HUKUM POSITIF DALAM KAITANNYA DENGAN POLITIK HUKUM

INDONESIA

Teori Hukum Murni


Teori ini dikemukakan oleh Hans Kelsen (1881-1973) yang dituangkan dalam karyanya yang
terkenal dengan judul Reine Rechtslehre (ajaran hukum murni), Algemeine Statslehre (Ajaran
umum tentang negara), General Theory of Law and State (teori umum tentang hukum dan
negara).

Bersih dari unsur-unsur etis berarti konsep hukum Hans Kelsen tidak memberi tempat bagi
berlakunya suatu hukum alam. Etika memberikan penilaian tentang baik dan buruk. Ajaran
Hans Kelsen menghindarkan diri dari soal penilaian ini. Bersih dari unsur sosiologis,
maksudnya ajaran hukum murni dari Hans Kelsen tidak memberi tempat bagi hukum
kebiasaan yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat.

Dengan demikian, hukum adalah sebagaimana adanya, yaitu terdapat dalam berbagai
peraturan yang ada. Oleh karena itu, yang dipermasalahkan bukanlah bagaimana hukum itu
seharusnya, melainkan apa hukumnya. Hans Kelsen berpendapat bahwa satu-satunya obyek
penyelidikan ilmu pengetahuan hukum adalah sifat normatifnya. Ini berarti hukum itu berada
dalam dunia sollen (yang seharusnya menurut hukum), bukan dalam dunia sein (kenyataan
dalam masyarakat)

Teori ini merupakan suatu pemberontakan yang ditujukan terhadap ilmu hukum yang
ideologis, yaitu yang hanya mengembangkan hukum itu sebagai alat pemerintahan dalam
negara-negara totaliter (Allen, 1958 :48). Teori ini lazim dikaitkan dengan Mazhab Wina
yang dipimpin Hans Kelsen.

Bagian dari teori ini yang bersifat dasar adalah konsepsi tentang Grundnorm, yang
merupakan Dalil Akbar dan tidak dapat ditiadakan, yang menjadi tujuan dari semua jalan
hukum, bagaimana berputar-putarnya pun jalan itu (Allen, 1958 :51). Grundnorm ini juga
berfungsi sebagai tujuan yang harus diperhatikan oleh setiap hukum atau peraturan yang ada.
Oleh karena itu Grundnorm dapat pula dilihat sebagai induk yang melahirkan peraturan-
peraturan hukum dalam suatu tatanan sistem tertentu.
Dalam Teori Hans Kelsen, sejak dimulainya dari kelahiran konsepsi “hipotesa perdana” yang
disebut sebagai proses selanjutnya pun berputarlah sudah. Yang dimaksud proses dalam hal
ini adalah proses konkretisasi setapak demi setapak, mulai dari norma dasar itu dan
penerapannya terhadap situasi tertentu. Proses ini kemudian melahirkan Stufentheorie, yaitu
melihat tata hukum sebagai suatu proses menciptakan sendiri norma-norma, mulai dari
norma-norma yang umum sampai yang lebih konrit, sampai kepada yang lebih konrit. Pada
ujung terakhir ini, sanksi hukum lalu berupa ijin yang diberikan kepada seseorang untuk
melakukan suatu tindakan atau memaksakan suatu tindakan. Dalam hal ini apa yang semula
berupa sesuatu yang “seharusnya”, kini menjadi sesuatu yang “boleh” dan “dapat” dilakukan
(Dias, 1976 : 503).

Lebih lanjut, Kelsen menyebut hukum sebagai suatu susunan berjenjang, menurun dari norma
positif tertinggi sampai kepada perwujudannya yang paling rendah, Masing-masing tindakan
deduksi dan penerapan ini merupakan suatu perbuatan kreatif dan keseluruhan tertib atau
tatanan hukum itu merupakan suatu sistem yang padu dari pendelegasian yang progresif
(Erzeugungszusammenhang). Melalui proses pengkonkritan yang demikian itu hukum
diterima sebagai sesuatu yang terus menerus mampu membuat kreatif sendiri.

Politik Hukum di Indonesia


Politik Hukum menurut Prof. Soedarto merupakan kebijakan dari badan-badan negara yang
berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki, yang diperikaran akan
digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk
mencapai apa yang dicita-citakan.

Sementara itu Padmo Wahjono mengatakan bahwa Politik Hukum adalah kebijakan
penyelenggara negara tentang apa yang dijadikan untuk menghukumkan sesuatu. Dalam hal
ini kebijakan tersebut dapat berkaitan dengan pembentukan hukum, penerapan hukum dan
penegakannya senditri.

Dari beberapa pengertian di atas, maka terdapat unsur penting dalam suatu Politik Hukum,
yaitu pencapaian tujuan suatu negara. Hal ini merupakan pengejawantahan makna bahwa
bagaimanapun politik hukum suatu negara, maka hal yang terpenting adalah sejauh apa
kebijakan pembentukan peraturan perundang-undangan dapat mengakomodasi langkah-
langkah pencapaian tujuan suatu bangsa.

Dalam konteks keIndonesiaan, tujuan bangsa Indonesia adalah membentuk masyarakat yang
adil, makmur berdasarkan Pancasila. Secara eksplisit hal ini tertuang di dalam alinea keempat
Pembukaan UUD NRI 1945 yang meliputi :

1. Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia;


2. Memajukan kesejahteraan umum;
3. Mencerdaskan kehidupan bangsa;
4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia, berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial.
Penyelenggaraan tujuan negara tersebut tentunya haruslah didasarkan pada Pancasila sebagai
dasar negara Republik Indonesia. Sementara Hukum sebagai alat untuk mencapai tujuan
tersebut, selain berpijak pada lima dasar (sila Pancasila) untuk mencapai tujuan negara, juga
harus berfungsi dan selalu berpijak pada empat prinsip cita hukum (recthsidee) ;

1. Melindungi semua unsur bangsa (nation) dan keutuhan (integrasi)


2. Mewujudkan keadilan sosial dalam bidang ekonomi dan kemayarakatan
3. Mewujudkan kedaulatan rakyat (demokrasi) dan negara hukum (nomokrasi)
4. Menciptakan toleransi atas dasar kemanusiaan dan berkeadaban dalam hidup
beragama.

Sekali lagi bahwa tujuan Bangsa Indonesia seperti diterangkan di atas, mengacu pada
Pancasila yang dalam teori Stufenbau dapat dikatakan sebagai Grundnorm. Bahwa Pancasila
dijadikan sebagai induk yang melahirkan peraturan-peraturan hukum dalam tatanan sistem
hukum Indonesia.

Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan-Perundang-Undangan


membatasi bahwa jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan terdiri dari :

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
4. Peraturan Pemerintah
5. Peraturan Presiden
6. Peraturan Daerah Provinsi dan
7. Pengaturan Daerah Kabupaten/Kota

Lalu bagaimana dengan Putusan Hakim? Apakah Putusan Hakim termasuk di dalam
Politik Hukum Indonesia dilihat dari Teori Hukum Murni (Stufenbau Theorie) ?
Secara pribadi, saya menilai bahwa Putusan Hakim juga merupakan bagian dari Politik
Hukum Indonesia. Hal ini dapat dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut :

1. Bahwa Putusan Hakim dapat dipandang sebagai konretisasi dan mengacu pada hirarki
peraturan perundang-undangan di Indonesia, mulai dari UUD NRI 1945, KUH
Pidana/KUH Perdata, Undang-Undang lain yang tekait.
2. Bahwa hukum dapat dilihat sebagai suatu produk dalam ranah in abstractodan in
concreto. Hukum yang dilihat dari ranah in abstracto sebagaimana dipahami
mayoritas orang berupa peraturan perundang-undanganan tertulis. Ketika hukum in
abstracto itu diterapkan oleh hakim, maka hukum di sini telah beralih pada hukum in
concreto. Pemahaman ini berarti bahwa Putusan Hakim adalah Hukum juga yang
berlaku pada objek putusan itu sendiri dan dapat pula menjadi yurisprudensi untuk
objek putusan lain dalam jenis kasus yang sama.
3. Putusan Hakim dikatakan merupakan bagian dari Politik Hukum tercermin pula pada
irah-irah Putusan : DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG
MAHA ESA. Sebagaimana kita ketahui, masalah ini merupakan bagian pemaknaan
dari Sila Pertama Pancasila. Oleh karena itu, suatu keniscayaan bahwa Putusan
Hakim dalam penyusunan pertimbangannya mengacu pada Pancasila.
4. Meskipun dalam UU No. 12 Tahun 2011, Putusan Hakim tidak dicantumkan sebagai
bagian dari jenjang peraturan hukum di Indonesia, saya melihat hal ini sebagai suatu
hal yang berkaitan dengan pembagian kewenangan legislasi di Negara Indonesia.
Artinya, pemahaman tentang Putusan Hakim adalah suatu produk hukum dapat
dimaknai secara filosofis. Sama halnya dengan prinsip bahwa Hakim harus dapat
melakukan penemuan hukum. Penemuan Hukum yang dimaksud tidak lain adalah
dasar hukum yang diabstraksikan dari pemikiran dan perenungan Hakim tatkala
peraturan yang ada tidak mampu menjawab permasahan yang dihadapi (dalam
konteks masalah hukum di pengadilan).
5. Bahwa Putusan Hakim tidak lain berorientasi pula pada upaya melindungi seganap
bangsa dan tumpah darah Indonesia serta mewujudkan keadilan sosial yang
merupakan tujuan dan cita hukum di Indonesia.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka saya menyimpulkan bahwa Putusan Hakim merupakan
bagian dari Poltik Hukum Indonesia yang dilihat secara filosofis dan dipandang
sebagai hukum in concreto.
TUGAS
TEORI HUKUM POSITIF DALAM KAITANNYA DENGAN
POLITIK HUKUM

OLEH
RICKY APRIANTO
D. 102 18 045

FAKULTAS HUKUM PASCASARJANA


UNIVERSITAS TADULAKO
2018

Anda mungkin juga menyukai