Anda di halaman 1dari 29

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI........................................................................................................................ i

DAFTAR TABEL ............................................................................................................... ii

DAFTAR GAMBAR ......................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................... 1

A. Deskripsi Singkat ..................................................................................................... 1

B. Relavensi .................................................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN .................................................................................................... 3

A. Konsep dasar bencana dan krisis kesehatan ( pedoman kespro ppam) ........ 3

B. Konsep Dasar Kesehatan Reproduksi ................................................................. 4

C. Darurat Kesehatan dan Manajemen Risiko Bencana ........................................ 5

D. Kesehatan Reproduksi pada Krisis Kesehatan .................................................. 6

E. Paket Pelayanan Awal Minimum ........................................................................... 8

BAB III PENUTUP .......................................................................................................... 20

A. Ringkasan ............................................................................................................... 20

Contoh Kasus ................................................................................................................. 21

SOAL ................................................................................................................................ 25

DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................................iv

i
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Kesehatan Reproduksi pada Krisis Kesehatan ............................ 8
Tabel 2.Penjelasan PPAM Kesehatan Reproduksi .................................... 9
Tabel 3.Tahapan Pelaksanaan PPAM Kesehatan Reproduksi pada fase
Krisis Kesehatan ........................................................................................ 9
Tabel 4. Kegiatan dan Waktu Pelaksanaan PPAM .................................. 14
Tabel 5. Penyesuaian Kit Kesehatan Reproduksi dengan Kondisi di
Indonesia ................................................................................................. 17

ii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.Contoh Senter-Radio dengan tenaga matahari dan peluit ...... 18
Gambar 2.Contoh Penempatan Media KIE di Pengungsian .................... 19

iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Deskripsi Singkat
Bencana alam merupakan ancaman terhadap kesehatan,
keselamatan, keamanan, atau kesejahteraan masyarakat. Di sisi lain,
isu-isu manajemen dapat memperburuk konsekuensi kesehatan dari
bencana alam. Koordinasi antar mitra manajemen bencana,
mengembangkan sistem informasi manajemen, intervensi berbasis
masyarakat, kerja sama erat organisasi yang relevan, membangun
budaya pencegahan bencana, sistem manajemen logistik dan pasokan,
rencana pengelolaan bencana nasional serta pemantauan dan
penilaian intervensi manajemen bencana. keadaan darurat
kemanusiaan akibat bencana alam memiliki komplikasi kesehatan yang
penting, termasuk masalah kesehatan reproduksi. kesehatan
reproduksi secara historis telah diabaikan dalam pengaturan yang
terkena dampak bencana. Kesehatan Reproduksi didefinisikan sebagai
keadaan menyelesaikan fisik, mental, dan kesejahteraan sosial (bukan
hanya tidak adanya penyakit dan kelemahan) di semua hal yang
berkaitan dengan sistem reproduksi dan fungsi dan proses. Kesehatan
Reproduksi menyiratkan bahwa perempuan dan laki-laki mampu
memiliki kehidupan seks yang memuaskan dan aman serta memiliki
hak untuk informasi dan memiliki akses ke metode keluarga berencana
yang aman, efektif, dan terjangkau berdasarkan pilihan mereka.
Bencana dapat meningkatkan kerentanan terhadap hasil kesehatan
reproduksi miskin di antara populasi yang terkena dampak karena
berkurangnya akses ke layanan kesehatan reproduksi dan
perlengkapan, menghancurkan fasilitas kesehatan, kurangnya sumber
daya manusia, paparan kekerasan seksual, dan kemiskinan.
(Sohrabizadeh, Jahangiri, & Khani Jazani, 2018)
Kesehatan reproduksi merupakan suatu hak asasi manusia
yang, seperti semua hak asasi manusia lainnya, berlaku juga kepada
pengungsi eksternal, pengungsi internal, dan penduduk lainnya yang

1
hidup di dalam situasi darurat. Guna mewujudkan hak tersebut,
penduduk yang terkena dampak harus memiliki akses ke informasi dan
layanan kesehatan reproduksi komprehensif sehingga mereka bebas
membuat pilihan berdasarkan informasi terkait kesehatan serta
kesejahteraan mereka. Penyediaan layanan kesehatan reproduksi yang
komprehensif dan berkualitasi tinggi membutuhkan pendekatan terpadu
yang bersifat multisektoral. Personel dari berbagai sektor seperti
perlindungan, kesehatan, nutrisi, pendidikan, dan layanan masyarakat;
semua memainkan peranan penting dalam merencanakan dan
memberikan layanan kesehatan produksi. (Inter-agency Working Group
on Reproductive Health in Crises, 2010)
B. Relavensi
Kondisi dalam pengungsian belum cukup optimal untuk
memenuhi kebutuhan reproduksi, melindungi perempuan dari kejadian
kekerasan dan kondisi bilik mesra yang sangat minimal. Menurut
standar indentifikasi seharusnya dilakukan dengan koordinasi semua
pemberi pelayanan kesehatan di Dinas Kesehatan. Pada awal nya 2x
perminggu kemudian semakin berkurang seiring perbaikan kondisi
kesehatan. Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilaksanakan
di beberapa macam negara rawan bencana menunjukkan bahwa
pengamatan, pencatatan, evaluasi, dan perencanaan kembali
berdasarkan hasil evaluasi serta perbaikan sistem komunikasi dan
birokrasi pada pelayanan kesehatan khususnya di daerah rawan
bencana sehingga dapat mengurangi dan mengatasi masalah-masalah
kesehatan. Saat ini proses pelayanan kesehatan reproduksi
masyarakat korban bencana sudah dilaksanakan dengan baik namun
belum dilakukan secara mandiri khususnya untuk kesehtan reproduksi
masih tergabung dengan keseluruhan pelayanan kesehatan pada
masyarkat korban(pengungsi).

2
BAB II PEMBAHASAN

A. Konsep dasar bencana dan krisis kesehatan ( pedoman kespro


ppam)
Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
mengancam dan mengganggu kehidupan masyarakat yang disebabkan
oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia
sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis
(UndangUndang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan
Bencana). (Ri, 2017)
Bencana menimbulkan dampak terhadap menurunnya kualitas
hidup penduduk, termasuk kesehatan. Salah satu permasalahan yang
dihadapi setelah terj adi bencana adalah pelayanan kesehatan
terhadap korban bencana. Untuk penanganan kesehatan korban
bencana, berbagai piranti legal (peraturan, standar) telah dikeluarkan.
Salah satunya adalah peraturan yang menyebutkan peran penting
Puskesmas dalam penanggulangan bencana (Departemen Kesehatan
RI, 2007; Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Departemen
Kesehatan, 2006; Pusat Penanggulangan Masalah Kesehatan
Sekretariat Jenderal Departemen Kesehatan, 2001). (Widayatun, &
Fatoni, Z. (2013). Permasalahan Kesehatan dalam Kondisi
Bencana:Peran Petugas Kesehatan dan Partisipasi Masyarakat (Health
Problems in a Disaster Situation : the Role of Health Personnels and
Community Participation). Jurnal Kependudukan Indo & Fatoni, 2013)
Pada setiap bencana dapat timbul krisis kesehatan.
Penyelenggaraan penanggulangan krisis kesehatan ditetapkan melalui
Permenkes No 64 tahun 2013 tentang Penanggulangan Krisis
Kesehatan. Penyelenggaran pananggulangan krisis kesehatan tersebut
mengikuti siklus penanggulangan bencana seperti dijelaskan di atas,
dengan penyesuaian pada tahapan bencana yang meliputi tahap
prakrisis kesehatan, tanggap darurat krisis kesehatan, dan pascakrisis

3
kesehatan dengan penekanan pada upaya mencegah kejadian krisis
kesehatan yang lebih parah atau buruk dengan memperhatikan aspek
pengurangan risiko bencana. Tahapan dalam krisis kesehatan:
1. Prakrisis kesehatan merupakan serangkaian kegiatan yang
dilakukan sebelum terjadi bencana atau pada situasi terdapat potensi
terjadinya bencana yang meliputi kegiatan perencanaan
penanggulangan krisis kesehatan, pengurangan risiko krisis
kesehatan, pendidikan dan pelatihan sumberdaya manusia dan
penetapan persyaratan standar teknis dan analisis penanggulangan
krisis kesehatan, kesiapsiagaan dan mitigasi kesehatan .
2. Tanggap darurat krisis kesehatan adalah serangkaian kegiatan yang
dilakukan dengan segera pada saat kejadian akibat bencana untuk
memperkecil risiko dan menangani dampak kesehatan yang
ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi
korban, pemenuhan kebutuhan dasar, pelindungan dan pemulihan
korban, prasarana serta fasilitas pelayanan kesehatan.
3. Paskakrisis kesehatan merupakan serangkaian kegiatan yang
dilakukan dengan segera untuk memperbaiki, memulihkan, dan/atau
membangun kembali prasarana dan fasilitas pelayanan kesehatan.
B. Konsep Dasar Kesehatan Reproduksi
Menurut UU No 36 tahun 2009 tentang kesehatan pasal 71 ayat 1,
kesehatan reproduksi adalah suatu keadaan fisik, mental dan sosial
yang utuh, bukan hanya bebas dari penyakit atau kecacatan dalam
segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi
serta prosesnya baik pada laki-laki maupun perempuan. Dengan
pengertian tersebut maka kesehatan reproduksi mempunyai ruang
lingkup yang sangat luas, yang mencakup keseluruhan siklus hidup
manusia mulai sejak konsepsi hingga lanjut usia. Laki-laki dan
perempuan memiliki hak yang sama terhadap akses dan pelayanan
kesehatan reproduksi. Oleh karena itu, untuk dapat memenuhi hak
reproduksi setiap individu, maka pelayanan kesehatan reproduksi harus

4
dilaksanakan secara berkesinambungan dan terpadu, disesuaikan
dengan usia individu dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan
gender.(Ri, 2017)

C. Darurat Kesehatan dan Manajemen Risiko Bencana


Sebuah darurat kesehatan dan manajemen risiko bencana
merupakan sistem multisektoral dan multidisiplin untuk melindungi
kesehatan masyarakat dan mengurangi morbiditas, mortalitas dan
kecacatan yang berhubungan dengan keadaan darurat melalui efektif
langkah-langkah pencegahan, kesiapsiagaan, respon dan pemulihan.
Sementara tradisional sektor kesehatan telah difokuskan pada tanggap
darurat, tantangan yang berkelanjutan adalah untuk mengambil
pendekatan yang lebih proaktif yang membangun kapasitas masyarakat
dan negara untuk mencegah keadaan darurat, di mana mungkin, serta
sedang dipersiapkan untuk keadaan darurat di muka dengan respon
dan tepat waktu dan efektif layanan pemulihan. sistem kesehatan
berdasarkan perawatan primer di tingkat masyarakat:
 mengurangi kerentanan populasi yang berisiko sebelum terjadi
keadaan darurat
 membangun kapasitas masyarakat untuk mencegah,
mempersiapkan, merespon dan pulih dari keadaan darurat,
sehingga melindungi kesehatan masyarakat, pelayanan kesehatan
dan infrastruktur
 memberikan dasar untuk skala-up langkah-langkah untuk
memenuhi wideranging kebutuhan kesehatan dalam keadaan
darurat
 mencegah morbiditas dan mortalitas dihindari, khususnya di
kalangan wanita, anak-anak dan remajamemanfaatkan peluang
dalam tahap pemulihan untuk memperkuat layanan dan
mengurangi risiko kejadian di masa depan. Langkah-langkah ini
membantu membangun ketahanan sistem kesehatan untuk
keadaan darurat dan bencana dan mendukung pelaksanaan

5
Kerangka Kerja Aksi Hyogo 9 yang mengidentifikasi prioritas
tindakan untuk membangun ketahanan nasional dan masyarakat
terhadap bencana. (Brief, 2012)
Women Commission for Refugee women and children tahun
2006 menyatakan beberapa masalah kesehatan reproduksi yang
mungkin muncul dalam kondisi darurat adalah meningkatnya risiko
kekerasan seksual, meningkatnya penularan IMS/HIV di area dengan
kepadatan populasi tinggi, meningkatnya risiko yang berhubungan
dengan kehamilan tidak diinginkan akibat berkurangnya layanan
Keluarga Berencana, meningkatnya kekurangan gizi dan epidemi risiko
komplikasi kehamilan, kelahiran terjadi selama perpindahan populasi,
meningkatnya risiko kematian ibu karena kurangnya akses terhadap
layanan gawat darurat kebidanan komprehensif.(Nuruniyah, 2014)
D. Kesehatan Reproduksi pada Krisis Kesehatan
Kesehatan reproduksi merupakan hak asasi manusia, seperti
hak asasi manusia lainnya. Untuk mewujudkan hak tersebut, penduduk
yang terkena dampak bencana harus memiliki akses terhadap informasi
dan pelayanan kesehatan reproduksi yang memungkinkan setiap
individu dapat bebas dari masalah kesehatan reproduksi. Pelayanan
kesehatan reproduksi pada saat bencana seringkali tidak tersedia
karena tidak dianggap sebagai prioritas, padahal selalu ada ibu hamil,
ibu bersalin dan bayi baru lahir yang membutuhkan pertolongan. Pada
saat bencana, bila pemberian pelayanan kesehatan reproduksi
dilaksanakan sesegera mungkin, dapat mencegah meningkatnya
kesakitan dan kematian ibu dan bayi baru lahir, mencegah terjadinya
kekerasan seksual serta mencegah penularan infeksi HIV. Pelayanan
kesehatan reproduksi akan selalu dibutuhkan dalam setiap situasi dan
harus selalu tersedia. Dengan mengintegrasikan pelayanan kesehatan
reproduksi ke dalam setiap respon penanggulangan bencana di bidang
kesehatan, diharapkan kebutuhan pelayanan tersebut dapat terpenuhi.
(Ri, 2017)

6
Ruang lingkup kesehatan reproduksi secara luas sudah diatur
dalam kebijakan dan strategi kesehatan reproduksi yang meliputi antara
lain Kesehatan Ibu dan Bayi Baru Lahir, Keluarga Berencana,
Pencegahan dan Penanggulangan Infeksi Saluran 
Reproduksi (ISR),
termasuk IMS- HIV/AIDS, Pencegahan dan Penanggulangan
Komplikasi Aborsi, Kesehatan Reproduksi Remaja, Pencegahan dan
Penanganan Infertilitas, Penanggulangan masalah kesehatan
reproduksi pada usia lanjut (kanker, osteoporosis, dementia). Nampak
bahwa lingkup kesehatan reproduksi yang ada masih dominan
berpaham pada “normalisme” artinya semuanya didesain untuk individu
yang normal.(Rokhmah & Warsiti, 2013)
Pelayanan kesehatan reproduksi pada penanggulangan krisis
kesehatan dilaksanakan melalui Paket Awal Pelayanan Minimum
(PPAM) Kesehatan Reproduksi yang diselenggarakan sesegera
mungkin pada awal bencana yaitu pada tanggap darurat krisis
kesehatan untuk mencegah dampak lanjut krisis kesehatan. Sedangkan
pada tahap prakrisis kesehatan dan pascakrisis kesehatan, pelayanan
kesehatan reproduksi dilaksanakan melalui pelayanan kesehatan
reproduksi komprehensif pada situasi normal. Penerapan pelayanan
kesehatan reproduksi berdasarkan tahapan krisis kesehatan dapat
digambarkan seperti pada tabel di bawah ini:
Tahap Bencana Kegiatan
Prakrisis kesehatan Pembentukan tim kesehatan
reproduksi, Pelatihan PPAM,
Advokasi, Sosialisasi, Penyusunan
Kebijakan, Penyusunan Pedoman,
dll
Tanggap darurat krisis kesehatan Penerapan Paket Pelayanan Awal
Minimum Kesehatan Reproduksi
Pascakrisis kesehatan Perencanaan Kesehatan
Reproduksi Komprehensif,
Perbaikan fasilitas PONED dan
PONEK, dll

7
Tabel 1. Kesehatan Reproduksi pada Krisis Kesehatan

E. Paket Pelayanan Awal Minimum


Ketersediaan layanan kesehatan reproduksi sejak awal
bencana/krisis kesehatan dilakukan melalui pelaksanaan PPAM
kesehatan reproduksi. Sasaran PPAM adalah penduduk yang
merupakan kelompok rentan kesehatan reproduksi yaitu bayi baru
lahir, ibu hamil, ibu bersalin, ibu pascapersalinan, ibu menyusui, anak
perempuan, remaja dan wanita usia subur. PPAM merupakan
serangkaian kegiatan prioritas kesehatan reproduksi yang harus
segera dilaksanakan pada tanggap darurat krisis kesehatan dalam
rangka menyelamatkan jiwa pada kelompok rentan1 . PPAM
kesehatan reproduksi dilaksanakan pada saat fasilitas pelayanan
kesehatan tidak berfungsi atau akses terhadap pelayanan kesehatan
reproduksi sulit terjangkau oleh masyarakat terdampak. PPAM
kesehatan reproduksi diterapkan pada semua jenis bencana, baik
bencana alam maupun non alam. Kebutuhan terhadap pelayanan
kesehatan reproduksi disesuaikan dengan hasil penilaian kebutuhan
awal, yang dilakukan oleh petugas kesehatan di lapangan/anggota
sub klaster kesehatan reproduksi. (Kesehatan, 2017)
Jika PPAM kesehatan reproduksi tidak dilaksanakan, akan
memiliki konsekuensi:
1) meningkatnya kematian maternal dan neonatal,
2) meningkatnya risiko kasus kekerasan seksual dan komplikasi
lanjutan,
3) meningkatnya penularan Infeksi Menular Seksual (IMS),
4) terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan dan aborsi yang tidak
aman,
5) terjadinya penyebaran HIV.

8
Paket Kegiatan, koordinasi, perencanaan dan logistik. Paket
tidak berarti sebuah kotak tetapi mengacu pada
strategi yang mencakupkan koordinasi, perencanaan,
supplies dan kegiatan-kegiatan kesehatan seksual dan
reproduksi
Pelayanan Pelayanan kesehatan reproduksi yang diberikan
kepada penduduk terdampak
Awal Dilaksanakan sesegera mungkin dengan melihat hasil
penilaiaan kebutuhan awal.
Minimum Dasar, terbatas
Tabel 2.Penjelasan PPAM Kesehatan Reproduksi

Tahap Krisis Kegiatan


Kesehatan
Prakrisis  Pembentukan sub klaster kesehatan reproduksi
kesehatan  Advokasi dan sosialisasi PPAM
 Pelatihan dan orientasi PPAM
 Penyusunan kebijakan
 Penyusunan NSPK
 Penyediaan logistik PPAM
Tanggap darurat Penerapan Paket Pelayanan Awal Minimum (PPAM)
krisis kesehatan
Pascakrisis Perencanaan kesehatan reproduksi komprehensif
kesehatan

Tabel 3.Tahapan Pelaksanaan PPAM Kesehatan Reproduksi pada


fase Krisis Kesehatan

9
a) Komponen dan Waktu Pelaksanaan PPAM
PPAM dilaksanakan untuk menjawab kebutuhan kelompok
rentan kesehatan reproduksi yang terdampak bencana seperti ibu
hamil, bersalin, pascapersalinan, bayi baru lahir, remaja dan WUS.
Komponen PPAM kesehatan reproduksi dilaksanakan segera
setelah mendapatkan hasil penilaian dari tim kaji cepat di lapangan
(tim RHA). PPAM terdiri dari 5 komponen sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi koordinator PPAM Kesehatan Reproduksi.
2. Mencegah dan menangani kekerasan seksual
3. Mencegah penularan HIV
4. Mencegah meningkatkanya kesakitan dan kematian maternal
dan neonatal
5. Merencanakan pelayanan kesehatan reproduksi komprehensif
dan terintegrasi ke dalam pelayanan kesehatan dasar ketika
situasi stabil pascakrisis kesehatan
Selain komponen di atas, terdapat prioritas tambahan dari
komponen PPAM, yang harus disediakan adalah:
1. Memastikan suplai yang memadai untuk kelanjutan penggunaan
kontrasepsi dalam keluarga berencana (KB)
2. Melaksanakan kesehatan reproduksi remaja di semua komponen
PPAM
3. Mendistribusikan kit individu
KOMPONEN PPAM KEGIATAN WAKTU RESPON
Komponen1: a. Menunjuk a. 1 x 24 jam
Mengidentifikasi (mengaktifkan)
koordinator sub seorang koordinator
klaster Kesehatan untuk mengkoordinir
Reproduksi/PPAM Lintas P/S lembaga
lokal dan
internasional dalam
pelaksanaan PPAM
Kespro
b. Melakukan b. 1 x 24 jam
pertemuan

10
koordinasi untuk
mendukung dan
menetapkan
penanggung jawab
pelaksana di setiap
komponen
c. Melaporkan isu-isu c. 2 x 24 jam
dan data terkait
kesehatan
reproduksi,
ketersediaan sumber
daya serta logistik
pada pertemuan
koordinasi
d. Memastikan d. 1 x 24 jam
ketersediaan dan
pendistribusian RH
Kit
Komponen 2: a. Melakukan a. 1x 24 jam setelah
Mencegah dan perlindungan bagi bencana (khususnya
menangani penduduk yang pada bencana akibat
kekerasan seksua terkena dampak konflik sosial)
terutama pada
perempuan dan
anakanak.
b. Menyediakan b. Pelayanan tersedia
pelayanan medis 24 jam pertama
bagi korban setelah bencana, dan
termasuk pemberian pemberian profilaksis
profilaksis pasca diberikan dalam 72
pajanan dan jam pasca perkosaan
kontrasepsi darurat
(dalam 72 jam) dan
dukungan psikologis
awal (PFA) bagi
penyintas perkosaan
c. Memastikan c. 48 jam
masyarakat
mengetahui
informasi
tersedianya
pelayanan medis,
dukungan psikologis
awal, rujukan
perlindungan dan
bantuan hukum

11
d. Memastikan adanya d. 72 jam
jejaring untuk
pencegahan dan
penanganan
kekerasan seksual
Komponen 3: a. Memastikan a. 1x 24 jam pasca
Mencegah penularan tersedianya bencana
HIV transfusi darah yang b. 1x 24 jam pasca
aman bencana
b. Memfasilitasi dan c. Poin c dan d
menekankan dilaksanakan dalam
penerapan 1 x 24 jam pasca
kewaspadaan bencana
standar d. 72 jam,
c. Pemberian berkoordinasi
profilaksis pasca dengan tim logistik
pajanan mengenai
d. Ketersediaan obat ketersediaan alat
ARV kontrasepsi
e. Memastikan
ketersediaan
kondom
Komponen 4: a. Memastikan adanya Semua langkah-
Mencegah tempat khusus untuk langkah pada
meningkatnya bersalin di beberapa komponen 4 dilakukan
kesakitan dan tempat seperti pos pada 24 jam setelah
kematian maternal kesehatan, di lokasi bencana
dan neonatal pengungsian atau di
tempat lain yang
sesuai
b. Memastikan
tersedianya
pelayanan (tenaga
yang kompeten dan
alat serta bahan
yang sesuai standar)
persalinan normal
dan
kegawatdaruratan
maternal dan
neonatal (PONED
dan PONEK) di
fasilitas pelayanan
kesehatan dasar dan
rujukan
c. Membangun sistem

12
rujukan untuk
memfasilitasi
transportasi dan
komunikasi dari
masyarakat ke
puskesmas dan
puskesmas ke
rumah sakit
d. Memastikan
tersedianya
perlengkapan
persalinan (kit ibu
hamil, kit
pascapersalinan, kit
dukungan
persalinan) yang
diberikan pada ibu
hamil yang akan
melahirkan dalam
waktu dekat
e. Memastikan
masyarakat
mengetahui adanya
layanan pertolongan
persalinan dan
kegawatdaruratan
maternal dan
neonatal
f. Ketersediaan alat
kontrasepsi yang
mencukup
Komponen 5: a. Mengidentifikasi Peralihan masa
Merencanakan kebutuhan peralatan tanggap darurat ke
pelayanan kesehatan dan suplai masa pemulihan
reproduksi kesehatan
komprehensif dan reproduksi
terintegrasi ke dalam berdasarkan
pelayanan kesehatan estimasi sasaran
dasar ketika situasi b. Mengumpulkan data
stabil riil sasaran dan data
cakupan pelayanan
c. Mengidentifikasi
fasilitas pelayanan
kesehatan untuk
menyelenggarakan
pelayanan

13
kesehatan
reproduksi yang
komprehensif
d. Menilai kemampuan
tenaga kesehatan
untuk memberikan
pelayanan
kesehatan
reproduksi yang
komprehensif dan
merencanakan
pelatihan
Komponen Memastikan 72 jam pasca bencana
tambahan: 1. ketersediaan alat
Memastikan kontrasepsi untuk
ketersediaan untuk menjamin
keberlanjutan keberlangsungan
penggunaan penggunaan alat
kontrasepsi dalam kontrasepsi bagi para
keluarga berencana akseptor KB.
(KB)
Memastikan Sesegera mungkin,
2. Kesehatan tersedianya layanan sesuai dengan waktu
reproduksi remaja di PPAM kesehatan pelaksanaan
semua komponen reproduksi remaja komponen PPAM di
PPAM (lihat bab prioritas atas.
tambahan)
Memastikan kit individu Sesegera
3. Distribusi kit (kit ibu hamil, kit ibu mungkin,dengan
individu paska melahirkan, kit menyesuaikan
bayi baru lahir dan kit kebutuhan dari hasil
higiene) terdistribusi kaji cepat tim lapangan
dengan baik dan
sesuai sasaran yang
ada
Tabel 4. Kegiatan dan Waktu Pelaksanaan PPAM
b) Logistik PPAM
Dalam memberikan pelayanan kesehatan reproduksi yang optimal
diperlukan ketersediaan paket dan perlengkapan PPAM. Ada 3
(tiga) jenis paket (kit) yaitu: kit individu, kit persalinan di lapangan,
kit kesehatan reproduksi serta alat dan sarana penunjang. Semua
kebutuhan logistik ini harus disiapkan pada tahap prakrisis

14
kesehatan sebagai bagian dari kegiatan kesiapsiagaan bencana.
Penyediaan dan pendistribusian logistik dapat dilakukan secara
mandiri oleh pemerintah maupun pihak lainnya. Berikut adalah
uraian tentang jenis-jenis paket dan logistik PPAM:
1) Kit individu
 Berisi barang kebutuhan pribadi sesuai sasaran kesehatan
reproduksi.
 Dikemas dalam kantong/tas dengan warna tertentu yaitu: ibu
hamil (kit warna hijau), ibu pasca melahirkan/ pasca
persalinan (kit warna oranye), bayi baru lahir (kit warna
merah) dan kit hiegiene untuk WUS (kit warna biru) .
 Kit diberikan sesegera mungkin pada awal terjadi krisis
kesehatan sesuai kebutuhan dari hasil kaji cepat tim
lapangan
Penanggung jawab komponen logistik PPAM menyiapkan dan
mendistribusikan kit individu dengan cara:
1. Menghitung kebutuhan kit individu dengan menggunakan
data riil di lapangan, atau apabila data belum tersedia, dapat
menggunakan estimasi jumlah sasaran dari total jumlah
pengungsi di wilayah tersebut. Lihat Tabel 9. Penghitungan
Estimasi Jumlah Sasaran Kesehatan Reproduksi
2. Mendistribusikan kit individu sesuai dengan sasaran, yaitu:
 Kit ibu hamil untuk ibu hamil trimester ketiga
 Kit ibu pasca melahirkan/pascapersalinan untuk ibu nifas
 Kit bayi baru lahir untuk bayi sampai usia 3 bulan
 Kit higiene untuk WUS
3. Apabila kit individu belum tersedia, penanggung jawab
PPAM dapat mengkoordinasikan kebutuhan tersebut kepada
para pemberi bantuan/donatur dalam krisis kesehatan.

15
2) Kit persalinan di lapangan
 Merupakan paket alat, obat dan bahan habis pakai untuk
pertolongan persalinan. Perlu dipastikan alat dan obat
lengkap serta periksa tanggal kadaluarsa dari obat-obatan
tersebut.
 Kit di distribusikan kepada bidan yang bertugas di daerah
terdampak/di lokasi pengungsian. Pastikan tersedia
transportasi dan akses menuju lokasi terdampak.
 Kit diberikan apabila tidak tersedia peralatan pertolongan
persalinan/alat-alat kebidanan mengalami kerusakan atau
hilang saat terjadi bencana.
3) Kit kesehatan reproduksi
 Kit ini hanya dipakai pada bencana besar dimana banyak
infrastuktur kesehatan yang rusak, tidak berfungsi dan tidak
mampu melakukan pelayanan kesehatan seperti biasanya.
Merupakan paket peralatan, obat dan bahan habis pakai
yang sudah dikemas dan diberi nomor dan warna sesuai
dengan jenis tindakan medis yang akan dilakukan, untuk
memudahkan pemberian pelayanan. Ada 12 jenis kit
kesehatan reproduksi. (Lihat Tabel 5)
 Kit berisi alat kesehatan dan bahan habis pakai yang biasa
digunakan di puskesmas maupun rumah sakit. Kit kesehatan
reproduksi terdiri dari 3 (tiga) blok, masing masing blok
ditujukan bagi fasilitas pelayanan kesehatan yang berbeda.
 Kit dirancang untuk penggunaan jangka waktu 3 (tiga) bulan
untuk jumlah penduduk tertentu.
 Kit kesehatan reproduksi diadaptasi dari standar
internasional yang disesuai dengan kebijakan dan standar
pelayanan kesehatan reproduksi di Indonesia. Daftar
peralatan dan obat-obatan di dalam kit kesehatan reproduksi

16
terdapat dalam Buku Pedoman Dukungan Logistik PPAM
Kesehatan Reproduksi pada Krisis Kesehatan.
 Kebutuhan kit tergantung pada banyaknya pengungsi, jenis
pelayanan yang akan diberikan serta perkiraan lamanya
waktu mengungsi.

Tabel 5. Penyesuaian Kit Kesehatan Reproduksi dengan Kondisi di


Indonesia
c) Alat dan Sarana Penunjang lainnya
1. Tenda Kesehatan Reproduksi Apabila tidak tersedia
ruangan/tenda untuk pelayanan kesehatan reproduksi di posko
kesehatan, maka tenda kesehatan reproduksi harus disediakan.

17
Ukuran minimal tenda kesehatan reproduksi di lapangan 4 x 6
meter. Tenda ini dimanfaatkan untuk melaksanakan
pemeriksaan KIA/ANC, persalinan dan juga konseling tentang
kesehatan reproduksi serta menyusui. Tenda kesehatan
reproduksi harus bersifat privasi.

Gambar 1.Contoh Senter-Radio dengan tenaga matahari dan


peluit
2. Media Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) Kesehatan
Reproduksi Dalam situasi krisis kesehatan, pengungsi perlu
diberi informasi tentang pelayanan kesehatan reproduksi yang
tersedia di lokasi pengungsian, seperti informasi tempat, jenis,
dan jadwal pelayanan kesehatan reproduksi, pendistribusian
bantuan dan topik penyuluhan kesehatan reproduksi. Media
Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) kesehatan reproduksi
dapat berupa poster, spanduk, mobil penerangan, radio, dan
media lainnya yang bermanfaat bagi pengungsi, seperti kipas
kertas dan baju kaos. Tidak dianjurkan memberikan media KIE
dalam bentuk leaflet/brosur/flyer karena akan menimbulkan
limbah di tempat pengungsian.
3. Peralatan penunjang lain Peralatan penunjang ini digunakan
untuk mendukung pelaksanaan pelayanan kesehatan reproduksi
di situasi krisis kesehatan seperti generator, obsgyn bed, tempat
pembuangan limbah, dll.
4. Alat bantu perlindungan diri Pada situasi krisis kesehatan dan
bencana dimana keadaan menjadi tidak stabil, tindak kejahatan

18
seksual dapat terjadi bahkan meningkat terutama pada populasi
rentan, yaitu perempuan dan anak. Upaya pencegahan dan
kewaspadaan diri perlu ditingkatkan, misalnya dengan
memberikan peralatan sederhana yang dapat dimanfaatkan oleh
perempuan dan anak untuk pencegahan kekerasan seksual
seperti senter (untuk membantu penerangan), peluit (sebagai
alarm tanda bahaya), dll.

Gambar 2.Contoh Penempatan Media KIE di Pengungsian

19
BAB III PENUTUP

A. Ringkasan
Sebagai negara yang terletak di daerah rawan bencana,
Indonesia kerap disebut sebagai “Laboratorium Bencana”. Istilah ini
muncul karena kondisi geografis, geologis, serta demografis Indonesia
yang relatif mendorong lahirnya berbagai jenis bencana, baik bencana
alam, bencana non-alam, maupun bencana sosial. Tingginya Indeks
Risiko Bencana (IRB) Indonesia seharusnya mendorong pemerintah
untuk memberi perhatian ekstra terhadap upaya penanggulangan
bencana. Bencana memiliki dampak yang signifikan bagi kondisi
kesehatan reproduksi warga yang terdampak; khususnya perempuan,
anak, dan remaja. Rusaknya infrastruktur kesehatan akan menghambat
layanan kesehatan reproduksi yang komprehensif. Keterbatasan akses
kontrasepsi dalam situasi bencana dapat meningkatkan angka
kehamilan yang tidak diinginkan, serta peningkatan insiden IMS dan
HIV. Selain itu, kondisi sosial pasca bencana yang tidak stabil dapat
meningkatkan risiko kekerasan seksual.
Pada level nasional maupun internasional. The International
Conference on Population and Development yang diadakan di Kairo
pada tahun 1994 misalnya, menyepakati bahwa “Semua negara harus
berusaha untuk membuat pelayanan kesehatan reproduksi yang dapat
diakses oleh seluruh individu pada usia yang tepat, melalui pelayanan
kesehatan dasar, sesegera mungkin sebelum tahun 2015”.
Poin-poin di atas menegaskan pentingnya pelayanan kesehatan
reproduksi pada masa darurat; sekaligus menjadi basis dari program
Paket Pelayanan Awal Minimum (PPAM) untuk Kesehatan Reproduksi,
yang digalang oleh Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia
(PKBI). Pelayanan kesehatan reproduksi pada masa darurat –
khususnya bagi perempuan dan anak – menjadi penting, karena lebih
dari 50% pengungsi korban bencana adalah perempuan dan anak.

20
Contoh Kasus
Reproductive health in the recent disasters of Iran: a management
perspective
Sanaz Sohrabizadeh, Katayoun Jahangiri* and Reza Khani Jazani

Penelitian ini adalah salah satu studi lapangan pertama berfokus


pada manajemen kesehatan reproduksi di daerah yang terkena dampak
dari Iran. Temuan menunjukkan bahwa mata pelajaran mengabaikan
faktor budaya, kurangnya pelatihan, kurangnya perencanaan,
pengumpulan data tidak cukup, mengabaikan kesehatan reproduksi laki-
laki, dan kurangnya sistem pemantauan dipengaruhi manajemen
kesehatan reproduksi di daerah hancur. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa beberapa faktor budaya berdampak menerima pelayanan
kesehatan reproduksi oleh perempuan dan anak perempuan. Sebagai
contoh, wanita tidak berbicara tentang penyakit mereka menular seksual,
kehamilan, dan gangguan menstruasi untuk tenaga kesehatan laki-laki.
masalah budaya ini berakar pada keyakinan agama orang yang terkena
dampak bencana yang mengikuti Islam sebagai agama mereka. Misalnya,
aturan Islam menuntut bahwa perempuan menghindari interaksi yang
dekat dengan laki-laki dan bersikeras pada penyediaan bola terpisah
untuk pria dan wanita. Di sisi lain, mengenai struktur maledominant sistem
manajemen bencana di Iran, laki-laki keterampilan dan kemampuan yang
berfokus pada dan laki-laki lebih disukai untuk menangani urusan yang
berbeda dari masyarakat yang terkena dampak bencana termasuk
masalah kesehatan. Dengan demikian, keyakinan Islam serta lingkungan
pasca bencana yang dominan laki-laki mungkin membatasi tuntutan
perempuan untuk pelayanan kesehatan reproduksi di daerah yang
terkena. Mengenai temuan ini, Dana Kependudukan PBB (UNFPA)
mengusulkan “ lensa budaya ” alat pemrograman yang membantu para
pembuat kebijakan menganalisis dan memahami nilai-nilai budaya dan
struktur dalam proses manajemen. Demikian pula, lensa budaya dapat
diterapkan dalam pengelolaan kesehatan reproduksi dari daerah yang

21
terkena bencana. Menurut temuan, perempuan dan anak perempuan tidak
dilatih untuk menjadi peka terhadap kebutuhan kesehatan reproduksi
mereka. Di sisi lain, petugas kesehatan tidak dilatih dan dipersiapkan
untuk menangani kekerasan seksual atau kasus infeksi juga. Sejumlah
penelitian telah menyoroti efek positif dari pendidikan manajemen
kesehatan reproduksi dalam keadaan darurat kemanusiaan .
Bencana dapat memberikan kesempatan pelatihan dan mendidik
orang tentang isu-isu kesehatan reproduksi bahwa mereka tidak tahu
tentang atau alami sebelumnya bencana. Sebagai contoh, program
pelatihan untuk mencegah gangguan kesehatan reproduksi seperti
kehamilan yang tidak diinginkan, infeksi menular seksual, kekerasan
seksual, dan keluarga berencana setelah bencana dapat lebih diterima
oleh masyarakat yang terkena dampak daripada fase prabencana. Selain
itu, penting untuk merencanakan program pelatihan bagi semua orang
yang terkena dampak dan wanita di kelompok usia yang berbeda.
Penyedia layanan kesehatan yang dibutuhkan pendidikan lebih lanjut
tentang cara bersiaplah untuk mengatasi kasus-kasus kekerasan seksual
dalam tahap pemulihan karena kekerasan seksual dapat meningkat
setelah bencana, dan tidak ada yang dapat mendukung dan membantu
para korban, tetapi petugas kesehatan. Menetapkan tugas tenaga
kesehatan, serta menyediakan akses ke fasilitas dan peralatan yang
diperlukan, diperlukan rencana yang jelas. Beberapa penelitian
melaporkan pentingnya perencanaan pra-bencana untuk memberikan
pelayanan kesehatan reproduksi yang efektif di daerah-daerah yang
terkena dampak. Tampaknya bahwa peningkatan kasus infeksi genital
dan saluran kencing di daerah yang terkena dampak adalah karena
kurangnya rencana pra-bencana untuk memenuhi kebutuhan kesehatan
reproduksi masyarakat. Berdasarkan temuan, data yang tidak
dikumpulkan berdasarkan karakteristik penduduk yang terkena bencana.
Sebagai contoh, tidak ada usia atau database dipisahkan menurut jenis
kelamin untuk memberikan informasi tentang anak laki-laki puber dan

22
perempuan, ibu hamil dan menyusui, dan orang tua. Pasca bencana data
terpilah dan informasi analisis gender dapat digunakan sebagai masukan
utama untuk tepat reproduksi manajemen kesehatan.
Sejumlah studi melaporkan bahwa kurangnya database kesehatan
reproduksi, terutama yang data terpilah, telah berdampak buruk
menyediakan layanan kesehatan reproduksi di daerah yang terkena
dampak bencana. Misalnya, tidak ada database atau pengawasan sistem
untuk melaporkan kekerasan gender di Iran. Dengan demikian, hal itu
mungkin tidak mungkin untuk membuat keputusan yang sesuai pada
pengurangan kekerasan seksual selama pra dan pasca bencana fase.
Tampaknya bahwa Database akses terbuka elektronik perlu
dikembangkan untuk menyimpan data kesehatan reproduksi setiap hari
sebelum dan sesudah bencana. Database ini dapat memberikan informasi
bagi manajer kesehatan reproduksi dan para pengambil keputusan di
setiap waktu dan tempat, dan membantu tingginya cakupan pelayanan
kesehatan reproduksi di daerah yang terkena dampak bencana. Temuan
menunjukkan bahwa pelayanan kesehatan reproduksi disediakan untuk
perempuan hanya di daerah yang terkena dampak. Meskipun laki-laki
memainkan peran penting dalam keluarga berencana, metode
kontrasepsi, penyakit menular seksual, dan kekerasan seksual, kebutuhan
kesehatan reproduksi mereka tidak dipertimbangkan oleh penyedia
layanan kesehatan. Artinya, pelayanan kesehatan reproduksi telah
terorganisir berdasarkan wanita kebutuhan. Beberapa studi menyoroti
peran kunci dari laki-laki dalam mencapai tujuan kesehatan reproduksi di
seluruh dunia. Di sisi lain, di samping tantangan kesehatan reproduksi,
pria menghadapi masalah kesehatan yang serius mental dan fisik akibat
efek buruk dari bencana . Sejumlah studi kasus membahas masalah
kesehatan pasca bencana pria di daerah yang terkena dampak. Namun,
pasca bencana tantangan kesehatan reproduksi laki-laki belum
terdokumentasi dengan baik. Pria mungkin membuat keputusan untuk
manajemen kesehatan reproduksi di tingkat lokal dan nasional, tetapi

23
mereka menyangkal kesehatan reproduksi mereka sendiri. Berdasarkan
temuan, orang-orang dengan kebutuhan kesehatan reproduksi di daerah
yang terkena dampak tidak diidentifikasi dan dipantau. Misalnya,
pelayanan kesehatan reproduksi tidak diberikan untuk beberapa wanita
yang tidak bisa meninggalkan anak-anak mereka atau sendirian tua di
pemukiman. Sejumlah studi melaporkan bahwa pelayanan kesehatan
reproduksi tidak tersedia dan dapat diakses bagi masyarakat yang terkena
dampak, termasuk kelompok-kelompok dengan mobilitas yang kurang,
seperti janda, lansia, dan penyandang cacat. Mengembangkan sistem
pemantauan aktif mengikuti status kesehatan reproduksi dari semua
orang yang terkena dampak di daerah hancur dapat meningkatkan
efektivitas dan cakupan pelayanan kesehatan reproduksi dan
meningkatkan orang kesejahteraan setelah bencana. Selain itu, semua
intervensi kesehatan reproduksi harus dipantau oleh sistem pemantauan
tersebut. kesulitan transportasi di daerah bencana adalah salah satu
keterbatasan selama pengumpulan data. Pengalaman tenaga kesehatan
dengan pelayanan kesehatan reproduksi di daerah yang terkena mungkin
tidak mewakili isu-isu manajemen kesehatan reproduksi di semua daerah
yang terkena bencana. (Sohrabizadeh et al., 2018)

24
SOAL

1. Suatu keadaan fisik, mental dan social secara utuh, tidak semata-
mata bebas dari penyakit atau kecacatan dlm semua hal yang berkaitan
dengan system reproduksi, serta fungsi dan prosesnya, merupakan
pengertian dari…
a. Ruang lingkup kespro d. Area permasalahan kespro
b. Kespro e. Semua diatas salah
c. Hak-hak reproduksi
2. berwarna apa kit untuk ibu hamil...
a. warna hijau d.warna biru
b. warna kuning e.warna merah
c. warna ungu

25
DAFTAR PUSTAKA
Brief, P. (2012). WHO_Integrating, (October).
Inter-agency Working Group on Reproductive Health in Crises. (2010).
Buku pedoman lapangan antar-lembaga kesehatan reproduksi dalam
situasi darurat bencana 2010 revisi untuk peninjauan lapangan.
Retrieved from http://iawg.net/wp-content/uploads/2016/07/IAFM-
Bahasa-version.pdf
Kesehatan, K. (2017). Pedoman pelaksanaan paket pelayanan awal
minimum ( PPAM ) kesehatan reproduksi remaja Kementrian
kesehatan tahun 2017.
Nuruniyah, S. (2014). Evaluasi Pelayanan Kesehatan Reproduksi Bagi
Pengungsi Rawan Bencana Erupsi Merapi Evaluation of Health
Reproduction for Refugee. Ners Dan Kebidanan Indonesia, 2(2), 57–
61.
Ri, K. K. (2017). Ind b.
Rokhmah, I., & Warsiti. (2013). Identifikasi kebutuhan reproduksi bagi
remaja perempuan difabel (tuna grahita), 3, 10–12.
Sohrabizadeh, S., Jahangiri, K., & Khani Jazani, R. (2018). Reproductive
health in the recent disasters of Iran: A management perspective.
BMC Public Health, 18(1), 1–8. https://doi.org/10.1186/s12889-018-
5311-2
Widayatun, & Fatoni, Z. (2013). Permasalahan Kesehatan dalam Kondisi
Bencana:Peran Petugas Kesehatan dan Partisipasi Masyarakat
(Health Problems in a Disaster Situation : the Role of Health
Personnels and Community Participation). Jurnal Kependudukan
Indo, 37–52. https://doi.org/ArticleWidayatun, & Fatoni, Z. (2013).
Permasalahan Kesehatan dalam Kondisi Bencana:Peran Petugas
Kesehatan dan Partisipasi Masyarakat (Health Problems in a Disaster
Situation : the Role of Health Personnels and Community
Participation). Jurnal Kependudukan Indonesia, 8(1), 37–52.
https://doi.org/Article

iv

Anda mungkin juga menyukai