Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mencantumkan dengan jelas cita-cita bangsa Indonesia yang juga merupakan tujuan nasional bangsa Indonesia, yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Untuk mencapai dan mewujudkan tujuan nasional tersebut telah dilakukan pembangunan yang berkesinambungan diberbagai bidang, termasuk dalam hal ini adalah pembangunan di bidang kesehatan, dalam hal ini termasuk pemeliharaan kesehatan dan pelayanan kesehatan oleh tenaga medis. Hak pemeliharaan kesehatan ini tidak muncul secara tiba-tiba. Hak memperoleh pemeliharaan kesehatan (the right to health care) dan hak menentukan nasib sendiri (the right to self-determination) tumbuh dari mata rantai Pasal 25 The United Nations Universal Declaration of Human Rights 1948 dan Pasal 1 The United Nation International Convention Civil and Political Rights 1966 (Bambang Poernomo, Tanpa Tahun). Pembangunan di bidang kesehatan sebagai salah satu upaya pembangunan nasional diarahkan guna tercapainya kesadaran, kemauan, dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Pembangunan kesehatan pada dasarnya menyangkut semua segi kehidupan, baik fisik, mental maupun sosial ekonomi. Dalam perkembangan pembangunan kesehatan ini, telah terjadi perubahan orientasi, baik dalam tata nilai maupun pemikiran terutama mengenai upaya pemecahan masalah di bidang kesehatan yang dipengaruhi faktor-faktor politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan, serta ilmu pengetahuan dan teknologi. Perubahan orientasi tersebut akan mempengaruhi proses penyelenggaraan pembangunan kesehatan (Hendrojono Soewono, 2007,). Penyelenggaraan pembangunan kesehatan meliputi upaya kesehatan dan sumber dayanya harus dilakukan secara terpadu dan berkesinambungan guna mencapai hasil yang optimal. Upaya kesehatan yang semula dititik beratkan pada upaya penyembuhan bagi penderita secara berangsur-angsur, berkembang ke arah keterpaduan upaya kesehatan yang menyeluruh. Pembangunan kesehatan yang menyangkut peningkatan kesehatan atau promotif, pencegahan penyakit atau preventif, penyembuhan penyakit atau kuratif, dan pemulihan kesehatan atau rehabilitatif harus dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu, berkesinambungan, dan dilaksanakan oleh pemerintah bersama rakyat (Ibid, hlm 3 dan 4). Terlebih lagi dengan diberlakukannya Undang-Undang Kesehatan, ini berarti bahwa semua tenaga kesehatan, yaitu setiap orang yang mengabdikan dirinya di bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan ketrampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Pada umumnya tenaga kesehatan dalam menjalankan tugasnya mempunyai alasan yang mulia, yaitu untuk mempertahankan tubuh orang agar tetap sehat atau untuk menyehatkan orang sakit atau setidaknya mengurangi penderitaan orang yang sakit. Dalam upaya pembangunan kesehatan tersebut, sangatlah penting hubungan antara profesi medis dan pasien, terutama dokter dan dokter gigi yang secara langsung memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Masyarakat sepakat bahwa perbuatan dokter dalam melaksanakan tugasnya yang mulia tersebut layak mendapatkan perlindungan hukum sampai pada batas-batas tertentu. Dokter dalam menjalankan tugas mediknya harus disesuaikan dengan batas-batas yang telah ditentukan agar dokter tidak dituntut atau digugat telah bertindak yang dinilai telah merugikan masyarakat (Ibid, hlm 6). Hubungan antara dokter dengan pasien harus mendapat kedudukan yang sama dihadapan hukum dengan segala konsekuensinya, karena terdapat kemungkinan ada aspek hukum dalam praktik kedokteran yang apabila telah diputuskan oleh hakim sering disebut sebagai tindakan malpraktik (Waluyadi, 2000). Sejak abad ke-12 sampai abad ke-16, peranan hukum dapat dipercaya menjadi “dewa-dewa” pembawa keselamatan manusia dengan dalil kepastian, keadilan, kedamaian, dan ketentraman. Ada dua fungsi hukum tersebut, yakni perlindungan dan kepastian bagi mereka yang melaksanakan kewajiban dalam hubungannya dengan pihak lain. Dokter yang telah menerapkan standar profesinya dan telah mempunyai kelengkapan syarat administrasi untuk berpraktik (mempunyai izin praktik) berhak memperoleh perlindungan hukum, agar merasa aman dalam menjalankan profesinya (Anny Isfandyarie, 2005). Keberadaan hukum kesehatan membawa pengaruh yang sangat besar terhadap pembangunan, khususnya di bidang kesehatan. Hukum kesehatan termasuk hukum lex specialis yang melindungi secara khusus tugas profesi kesehatan (provider) dalam program pelayanan kesehatan manusia ke arah tujuan deklarasi Health for All dan perlindungan secara khusus terhadap pasien (receiver) untuk mendapatkan pelayanan kesehatan (Nusye Ki Jayanti, 2009). 1.2 Rumusan Masalah 1.3 Tujuan Makalah 1.4 Manfaat Makalah BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Malpraktek
Malpraktik adalah suatu istilah yang mempunyai konotasi buruk, bersifat stigmatis dan menyalahkan. Praktik buruk dari seseorang yang memegang suatu profesi dalam arti umum. Tidak hanya profesi medis saja, sehingga ditujukan kepada profesi lainnya. Namun di mana-mana, terutama mulai di luar negeri, istilah malpraktik selalu pertama-tama diasosiasikan kepada profesi medis (J.Guwandi, 2005). Malpraktik atau malpractice berasal dari kata “mal” yang berarti buruk, sedang kata “practice” berarti suatu tindakan atau praktik. Dengan demikian secara harfiah, malpraktik dapat diartikan sebagai suatu tindakan medik “buruk” yang dilakukan oleh dokter dalam hubungannya dengan pasien (Hendrojono Soewono, 2006). Menurut (Anny Isfandyarie, 2006) mengatakan bahwa antara negligence (kelalaian) dengan malpraktik hampir tidak ada perbedaannya. Para pakar yang menyamakan antara negligence dengan malpraktik adalah : a. Creighton yang mengemukakan bahwa malpraktik merupakan sinonim dari professional negligence; b. Mason-Mac Call Smith menyebutkan bahwa “malpractice is a term which is increasing widely used as a synonim from medical negligence”. Menurut J. Guwandi malpraktik mempunyai arti lebih luas daripada negligence, karena dalam malpraktik selain tindakan yang termasuk dalam kelalaian juga ada tindakan-tindakan yang termasuk dalam kategori kesengajaan (intentional, dolus, opzettelijk) dan melanggar undang-undang. Malpraktik yang dilakukan dengan sengaja merupakan bentuk malpraktik murni yang termasuk di dalam criminal malpractice (J.Guwandi, 2005). Soerjono Soekanto mengatakan bahwa: “Apabila pengertian malpraktek dapat dijadikan pegangan sementara, maka tolak ukur terjadinya malpraktek atau tidak, terletak pertama-tama pada apakah pelaku seorang profesional atau bukan. Kalau sudah dapat ditentukan bahwa yang bersangkutan profesional, maka apabila ia melakukan kesalahan (baik dengan sengaja karena lalai), maka kejadian atau peristiwa itu disebut malpraktek. Hal ini perlu digaris bawahi, karena selama ini di Indonesia ada kecenderungan untuk menghubungkan malpraktek hanya dengan tenaga kesehatan khususnya dokter, padahal seorang pengacara dan akuntan misalnya, mungkin saja melakukan malapraktek (Soerjono Soekanto, 1987). T. Mulya Lubis seorang ahli hukum yang pernah menjabat Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum mengatakan: “meski belakangan ini banyak yang membicarakan mengenai malpraktek dalam dunia medis, tetapi pengertian malpraktek itu sendiri masih belum jelas. Ada banyak salah tafsir tentang malpraktek, dan agaknya pengertian yang baku mengenai malpraktek ini tengah dalam proses (T. Mulya Lubis, 1987).
2.2 Profesi Medis
Di dalam peraturan perundang-undangan tentang kesehatan di Indonesia, tidak terdapat dengan jelas perumusan profesi medis/dokter. Akan tetapi, jika dilihat dari kedudukan dokter dan dokter gigi sebagai tenaga kesehatan yang merupakan salah satu sumber daya kesehatan yang sangat diperlukan untuk mendukung terselenggaranya upaya kesehatan, maka dari rumusan tenaga kesehatan di dalam Ketentuan Umum Pasal 1 butir 6 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, yaitu : Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Dapat disimpulkan bahwa dokter dan dokter gigi sebagai pengemban profesi medis adalah orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan ketrampilan melalui pendidikan di bidang kedokteran yang memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan (D.Veronica Komalawati, 1999). Rumusan tenaga kesehatan menurut dalam Penjelasan Umum Undang- Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran disebutkan : a. Dokter dan dokter gigi sebagai salah satu komponen utama pemberi pelayanan kesehatan kepada masyarakat mempunyai peranan yang sangat penting karena terkait langsung dengan pemberian pelayanan kesehatan dan mutu pelayanan yang diberikan. b. Landasan utama bagi dokter dan dokter gigi untuk dapat melakukan tindakan medis terhadap orang lain adalah ilmu pengetahuan, teknologi, dan kompetensi yang dimiliki, yang diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan. Pengetahuan yang dimilikinya harus terus menerus dipertahankan dan ditingkatkan sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri. c. Dokter dan dokter gigi dengan perangkat keilmuan yang dimilikinya mempunyai karakteristik yang khas. Kekhasannya ini terlihat dari pembenaran yang diberikan oleh hukum yaitu diperkenankannya melakukan tindakan medis terhadap tubuh manusia dalam upaya memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan. Tindakan medis terhadap tubuh manusia yang dilakukan bukan oleh dokter atau dokter gigi dapat digolongkan sebagai tindak pidana. Sehubungan dengan pengertian profesi, Pound mengemukakan bahwa : “The word profession refers to a group of men pursuing a learned art as a common calling in the spirit of a publik service no less a public service because it may incidentally be a means of livehood” (Ibid., hlm. 18). Pada hakekatnya, profesi adalah merupakan panggilan hidup yang mengabdikan diri pada kemanusiaan didasarkan pada pendidikan yang harus dilaksanakan dengan kesungguhan niat, kesunggugan kerja, kerendahan hati, dan integritas ilmiah dan sosial serta penuh tanggung jawab (Hendrojono Soewono, 2006). Dalam Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 butir 11 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 disebutkan pengertian profesi kedokteran sebagai berikut : Profesi kedokteran atau kedokteran gigi adalah suatu pekerjaan kedokteran atau kedokteran gigi yang dilaksanakan berdasarkan suatu keilmuan, kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan yang berjenjang, dan kode etik yang bersifat melayani masyarakat. Berkaitan dengan profesi dokter, yang dalam mengamalkan profesinya akan selalu berhubungan dengan manusia yang sedang mengharapkan pertolongan, sudah selayaknya dalam melaksanakan profesinya harus selalu menghormati hak- hak pasien yang didasari pada nilai-nilai luhur, keluhuran budi, dan kemuliaan demi kepentingan pasien (Hendrojono Soewono, 2007).
2.3 Kode Etik Kedokteran Indonesia
Salah satu persyaratan untuk dapat mengetahui bahwa dokter telah melakukan tindakan atau proses perawatan yang benar adalah dengan mengukur pada standar profesi medis, stau standar minimal pelayanan kedokteran yang dipergunakan sebagai pedoman didalam pelaksanaan profesinya. Adapun yang dimaksud dengan standar profesi menurut Lacnen adalah berbuat secara teliti dan seksama menurut standar medis sebagai seorang dokter yang memiliki kemampuan rata-rata dibanding dengan dokter-dokter dari kaegori keahlian medis yang sama, dalam situasi dan kondisi yang sama dengan sarana upaya, (middelen) yang sebanding atau profesional dengan tujuan konkrit yang merupakan tindakan atau perbuatan medis tersebut. Sedangkan sumber lain mengatakan bahwa standar profesi medis merupakan sesuatu yang harus dilakukan (Commisio) atau tidak harus dilakukan (Omissio) oleh katakata dokter dari kategori tertentu (dokter umum, spesialis, super spesialis) dalam kondisi dan situasi yang sama. Apabila diperinci lebih lanjut, maka standar profesi medis (dokter) ini terbagi ke dalam 6 (enam) unsur yaitu: 1. Berbuatnya secara teliti atau seksama (Zorg Vulding Handele) 2. Sesuai standar medis (Volgens de Medische Standard) 3. Kemampuan rata-rata (average) dibanding kategori keahlian medik yang sama (Gemeddel de Van gelijke Medische categoric) 4. Situasi dan kondisi yang sama (gelijke omstagding haiden) 5. Sarana upaya (midelen) yang sebanding atau profesional (asas profesionalitas) (met meddelendei in redelijke vet hauding stramm) 6. Dengan tujuan konkrit tindakan atau perbuatan medik tersebut atau tujuan medik (tot the concriet handelings doel) (Fred Ameln, 1987). Uraian di atas menunjukkan betapa pentingnya unsur standar medik di dalam standar profesi kedokteran karena tiap pelaksanaan pengobatan harus selalu berlandaskan pada standar medik yang berlaku. Pengertian medik menurut Leenen adalah suatu cara untuk melakukan tindakan tuduhan medik yang didasarkan kepada ilmu medik dan pengalaman. Penyusunan standar medis ini ditujukan agar pelanan kesehatan yang diberikan oleh dokter mempunyai tolak ukur yang jelas agar masyarakat mengetahui dengan pasti berapa jauh tindakan medis yang ditetapkan terhadap dirinya apakah sudah tepat atau belum.
2.4 Faktor yang Menyebabkan Malpraktek Seorang Dokter
Beberapa waktu yang lalu kalangan hukum dan kalangan kedokteran sibuk membicarakan masalah mengenai seperangkat ketentuan hukum yang mengatur hak, kewajiban perlindungan dan wewenangan bagi tenaga kesehatan dalam melaksanakan profesinya maupun individu, serta masyarakat penerima jasa kesehatan dalam aspekaspeknya (Tim Pengkajian Hukum Kesehatan BPHN, 1985). Salah satu kegiatannya yaitu pada bulan Juni 1983 diadakan Simposium Hukum Kedokteran yang diselenggarakan oleh Departemen Kehakiman yang bekerjasama dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Dilakukan penelitian ini oleh suatu Tim Penelitian Hukum Badan Pembinaan Hukum Nasional tentang Aspek Pengaturan dan Penerapan Hukum Dalam Usaha Pembinaan Hukum Kedokteran pada tahun 1985. Kemudian pada tahun 1986 tepatnya pada bulan Juni di Jakarta diadakan Panel Diskusi wilayah Jakarta dengan tema Hukum Disiplin Tenaga Kesehatan. Seorang dokter dalam melaksanakan profesinya pasti selalu berhubungan dengan tubuh dan jiwa pasiennya. Oleh karena itu terdapat kemungkinan jiwa pasiennya tidak dapat diselamatkan atau kemungkinan lainnya adalah tubuh pasien mengalami luka berat, cacat. Dalam keadaan seperti ini dapat terjadi karena beberapa faktor, yaitu sebagai berikut: a. Faktor ketahanan tubuh dan jiwa pasien. b. Faktor adanya unsur kesalahan pada tindakan seorang dokter (Ratna Soeprapti Samil, 1985).
Pemberian pelayanan medis yang dilakukan oleh seorang dokter terhadap
si pasien adalah berdasarkan pada transaksi theurapeutik yang dijalankan dalam suasana konfidensi dan diketahui senantiasa diliputi oleh segala emosi harapan serta kekhawatiran makhluk insani. Adapun yang dimaksud dengan transaksi theurapeutik yaitu transaksi yang menentukan atau mencari terapi yang paling tepat bagi pasien dan dokter. Dokter sebagai manusia biasa mungkin saja dalam melaksanakan profesinya melakukan tindakan terapi yang kurang tepat, sehingga mengakibatkan cacat pada anggota badan atau lebih fatal lagi bagi si pasien meninggal dunia. Perlu mendapat perhatian juga bahwa pasien sebagaimana penerima jasa pelayanan kesehatan pada praktik kedokteran, mempunyai hak dan mendapat perlindungan hukum, seperti termuat dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004, sebagai berikut: a. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3); b. Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain; c. Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan; d. Menolak tindakan medis; e. Mendapatkan isi rekaman medis. Di samping itu peningkatan kesadaran hukum masyarakat, khususnya kesadaran hukum pasien sudah sedemikian maju, perkembangan ilmu dan teknologi yang semakin canggih di bidang kedokteran. Kesemuanya ini memungkinkan si pasien ataupun keluarganya melakukan penuntutan terhadap dokter, sehingga akhir- akhir ini banyak timbul permasalahan yang menjurus pada tuduhan malpraktek kepada profesi kedokteran. Apabila dilakukan pengkajian pada pengertian tersebut, maka terlihat bahwa malpraktek terjadi dalam hal adanya: a. Kesalahan dalam praktek dokter, atau dilakukan tidak tepat. b. Terjadi dalam hal praktek dokter telah menyalahi undang-undang. c. Termasuk juga di dalamnya apabila dokter telah melakukan pelanggaran kode etik. Jelaslah setiap peristiwa yang termasuk dalam tiga hal tersebut, maka dapat dinyatakan telah terjadi malpraktek. Dan kaitan malpraktek dengan standar profesi kedokteran adalah terdapat enam unsur standar profesi kedokteran dan dengan keenam unsur tersebutlah diadakan pengujian untuk menentukan salah tidaknya pengobatan yang dilakukan dokter. Keenam unsur standar profesi kedokteran tersebut adalah sebagai berikut: a. Berbuat Secara Teliti atau Seksama Dalam melakukan tindakan pengobatan diisyaratkan seorang dokter harus seteliti dan secermat mungkin dalam pengertian tidak semberono atau lalai. b. Sesuai Standar Medik Sesuai dengan standar medik merupakan suatu unsur yang paling penting, karena setiap tindakan medik seorang dokter harus sesuai dengan standar medik yang berlaku. c. Kemampuan Rata-rata Dibanding Kategori Keahlian Yang Sama Seorang dokter dalam melakukan tindakan pengobatan harus memiliki kemampuan yang diukur berdasarkan kemampuan rata-rata yang dimiliki para dokter menurut keahlian medik yang dibandinginya. d. Situasi dan Kondisi Yang Sama Situasi dan kondisi pada saat dokter melakukan pengobatan harus sama, artinya kesesuaian dokter dalam melakukan pengobatan dengan standar medik dilihat pada situasi dan kondisi yang sama. e. Sarana Upaya Yang Sebanding atau Proposional Dokter harus menjaga adanya suatu keseimbangan antara tindakan- tindakannya dan tujuan yang akan ia capai dengan tindakan-tindakannya itu. f. Dengan Tujuan Konkrit Tindakan atau Perbuatan Medik Tindakan medik tidak saja harus pula ditujukan pada suatu tujuan medik, akan tetapi harus pula ditujukan pada suatu tujuan medik, artinya bagi kepentingan perbaikan kondisi pasien (M. Nurdin, 2015).
2.5 Penanggulangan Malpraktek
Setiap tindak pidana selalu terdapat unsur sifat melawan hukum. Pada sebagian kecil tindak pidana sifat melawan hukum dicantumkan secara tegas dalam rumusan, tetapi pada sebagian larangan berbuat, maka setiap tindak pidana mengandung unsur sifat melawan hukum. Bagi tindak pidana yang tidak mencantumkan unsur sifat melawan hukum dalam rumusannya, unsur tersebut terdapat secara terselubung pada unsur-unsur yang lain. Bisa melekat pada unsur perbuatan, objek perbuatan, akibat perbuatan atau unsur keadaan yang menyertainya (Komariah, Emong Sapadjaja, 2002,). Kasus-kasus malpraktek seperti gunung es hanya sedikit yang muncul dipermukaan. Ada banyak tindakan dan pelayanan medik yang dilakukan dokter atau tenaga medis lainnya yang berpotensi merupakan malpraktek yang dilaporkan masyarakat tapi tidak diselesaikan secara hukum. Bagi masyarakat hal ini sepertinya menunjukkan bahwa para penegak hukum tidak berpihak pada pasien terutama masyarakat kecil yang kedudukannya tentu tidak setara dengan tenaga medis. Secara umum letak sifat melawan hukum malpraktek dibidang kesehatan terletak pada dilangarnya kepercayaan atau amanah pasien dalam kontrak terapeutik. Kepercayaan atau amanah tersebut adalah kewajiban tenaga kesehatan untuk berbuat sesuatu dengan sebaik-baiknya, secermatcermatnya, penuh kehati- hatian, tidak berbuat ceroboh, berbuat yang seharusnya diperbuat dan tidak berbuat apa yang seharusnya tidak diperbuat. Secara khusus latak sifat melawan hukum perbuatan malpraktek tidak selalu sama, bergantung pada kasus, terutama syarat yang menjadi penyebab timbulnya malpraktek. Faktor sebab dalam kasus malpraktek selalu ada, yaitu timbulnya akibat yang merugikan kesehatan atau nyawa pasien (Adami, Chazawi, 2010). Undang-undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan juga membahas tentang ketentuan pidana untuk kasus malpraktek yaitu: Pasal 83 “setiap orang yang bukan Tenaga Kesehatan melakukan praktik seolah- olah sebagai Tenaga Kesehatan yang telah memiiki izin sebagaimana dimaksud dalam pasal 64 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun. Pasal 84 ayat (1) “Setiap Tenaga Kesehatan yang melakukan kelalaian berat yang mengakibatkan Penerima Pelayan Kesehatan luka berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun”. Pasal 84 ayat (2) “Jika kelalaian berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian, setiap Tenaga Kesehatan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun” Undang-undang kesehatan diwujudkan dalam rangka memberikan kapastian hukum dan perlindungan hukum untuk meningkatkan, mengarahkan dan memberika dasar bagi pembangunan kesehatan. Seorang dokter yang mengakibatkan kerugian bagi pasien akibat kelalaian dokter tersebut dalam melakukan perawatan baik langsung maupun tidak langsung dapat dimintakan pertangggungjawaban pidana. Dalam Pasal 58 ayat (1) Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan mengatur tentang hak korban yaitu: “ Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehtan yang diterimanya”. Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik, pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminal. Dengan kata lain, dilihat dari sudut politik kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan pengertian kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana. Di samping itu, usaha penanggulangan kejahatan lewat pembuatan undang- undang (hukum) pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat (social welfare). Oleh karena itu, kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian integral dari kebijakan atau politik sosial (social policy). Perbuatan malpraktek yang dilakukan oleh Tenaga Kesehatan dalam hal ini dapat dikategorikan termasuk kejahatan, karena sudah memiliki unsur merugikan, terutama merugikan pasien. Berbicara mengenai malpraktek, menurut M. Fakih yang pada umumnya melakukan malpaktek itu ialah dokter dan dokter gigi selaku tenaga medis. Tenaga medis juga termasuk ke dalam kategori tenaga kesehatan. Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan menyatakan pegertian tenaga kesehatan yaitu: “setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan” Penanggulangan malpraktek dapat dilakukan melalui 2 upaya yaitu: 1. Upaya Penal Upaya penal merupakan penanggulangan suatu kejahatan dengan menggunakan hukum pidana yang didalamnya terdapat dua masalah sentral, yaitu perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana dan sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan pada pelanggar (Barda Nawawi Arif, 2008). Berdsarkan pendapat Devi Puspa Sari maka diketahui upaya penal yang dilakukan oleh Polda Lampung dalam menanggulangi dugaan malpraktek dilakukan secara represif (penegakan hukum) berdasarkan tugas di bidang penyelidikan dan penyidikan tindak pidana. Polda Lampung memiliki unit khusus untuk melakukan upaya ini, yaitu Reskrimsus bagian Kasubdit IV yang bertugas melakukan penindakan dan penyidikan terhadap kasus dugaan malpraktek dalam rangka penegakan hukum. Berdasarkan wawancara dengan Devi Puspa Sari menerangkan penyelidikan yang dilakukan terkait kasus dugaan malpraktek diawali dengan pemberitaan melalui broadcast adanya dugaan malpraktek, karena sebagian besar dalam kasus dugaan malpraktek tidak adanya laporan dari keluarga korban. Seperti yang terjadi dalam kasus dugaan malpraktek di salah satu rumah sakit wilayah lampung yang saat ini sudah SP3 (Surat Penghentian Penyidikan Perkara). Alasan mengapa kasus tersebut dijatuhan SP3 yaitu dikarenakan kurangnya bukti yang mendukung sehingga penyidik Polda Lampung menghentikan proses penyidikan tersebut. Setiap korban (keluarga korban) mempunyai hak untuk melakukan Praperadilan, karena dengan dikeluarganya SP3 tidak menutup kemungkinan kasus ini akan ditindak lanjuti kembali setelah dilakukannya Praperadilan. Apabila penyidik mengetahui adanya dugaan malpraktek maka pihak reskimsus segera melakukan penyelidikan dengan meminta bantuan para ahli yang berasal dari IDI, MKEK, dan PUSDOKKES Polri. Upaya penal dalam dugaan malpraktek melibatkan banyak pihak yang ikut serta dalam pembuktiannya baik dari pihak kepolisian maupun dari pihak kesehatan. Penyelesaian sengketa medik diatur dalam Undang- undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran. Apabila tindakan dokter bertentangan dengan etika dan moral serta kode etik kedokteran Indonesia (Kodeki) yang telah dibuktikan oleh Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK), maka bisa dikatakan malpraktik dan dapat diajukan gugatan hukum. Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) merupakan salah satu organisasi yang turut serta dalam prosedur penanganan dugaan malpraktek. Menurut Fatah.W. berikut ini adalah prosedur yang dilakukan MKEK: 1. Menerima Pengaduan Melalui IDI Cabang/Wilayah/Pusat atau langsung ke MKEK Cabang/Wilayah/Pusat, sesuai tempat kejadian perkara kasus aduan tersebut. Apabila menerima aduan secara tertulis maka harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. Identitas pengadu b. Nama dan alamat tempat praktik dokter dan waktu tindakan dilakukan c. Alasan sah pengadu d. Bukti-bukti dan keterangan saksi atau petunjuk yang menunjang dugaan pelanggaran etika tersebut Apabila pengaduan tersebut tidak lengkap atau tidak atau berisi keterangan yang dipandang tidak dapat dipertanggungjawabkan untuk pembinaan pengabdian profesi, maka ketua MKEK dapat menolak atau meminta pengaduan memperbaiki atau melengkapinya. 2. Pemanggilan pengadu dan teradu Pemanggilan ini dapat dilakukan sampai 3 kali berturut-turut dan jika setelah 3 kali pengadu tetap tidak dating tanpa alasan yang sah, maka pengaduan tersebut dinyatakan batal, dan jika pada pemanggilan ke 3 teradu tidak dating dengan alasan yang sah maka pananganan kasus dilanjutkan tanpa kehadiran teradu dan putusan yang ditetapkan dinyatakan sah dan tidak dapat dilakukan banding. 3. Penelaahan Kasus Penelaahan kasus dugaan malpraktek dilakukan dengan cara sebagai berikut: a. Mempelajari keabsahan surat pengaduan b. Bila perlu mengundang pasien atau keuarga pangadu untuk klarifikasi awal pengaduan yang disampaikan c. Bila perlu mengundang dokter teradu untuk klarifikasi awal yang diperlukan d. Bila diperlakukan melakukan kunjungan ketempat kejadian/perkara e. Diakhir penelaahan, ketua MKEK menetapkan pengaduan tersebut layak atau tidak layak untuk disidangkan oleh majelis pemeriksa. Pada saat penelaahan dilaksanakan maupun pada saat persidangan, dokter teradu berhak didampingi oleh pembela. 4. Sidang Majelis Pemeriksaan Divisi Kemahkamahan MKEK Sidang ini dilakukan apabila perkara tersebut sudah memenuhi syarat dan benar adanya. Dalam siding ini pengadu,teradu, dan saksi tidak diambil sumpah melainka diminta kesediaan untuk menandatangani pernyataan tertulis di depan MKEK bahwa semua keterangan yang diberikan adalah benar. Para pihak dapat mengajukan saksi namun keputusan penerimaan kesaksian atau kesaksian ahli ditentukan oleh Ketua Majelis Pemeriksa. 5. Keputusan Majelis Pemeriksa Divisi Kemahkamahan MKEK Keputusan Majelis Pemeriksa diambil ketentuan sebagai berikut : a. Diambil atas dasar musyawarah dan mufakat atau atas dasar suara terbanyak dari Majelis Pemeriksa, dengan tetap mencatat perbedaan pendapat b. Bersifat rahasia, kecuali dinyatakan lain c. Berupa dinyatakan melanggar atau tidak melanggar Kode Etik Kedokteran Indonesia d. Dapat dilakukan banding paling lambat 2 minggu setelah putusan ditetapkan. Selain upaya yang dilakukan di atas menurut Fatah.W, MKEK selalu mengupayakan mediasi setelah menerima pengaduan dan mendapatkan klarifikas dalam penanganan malpraktek. 2. Upaya Non penal Kebijakan penanggulangan kejahatan dengan sarana non penal hanya meliputi penggunaan sarana sosial untuk memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu, namun secara tidak langsung mempengaruhi upaya pencegahan terjadinya kejahatan (Barda Nawawi Arif, 2008). Upaya non penal dalam menanggulangi kasus malpraktek dapat dilaksanakan dengan cara preventif (pencegahan terjadi tindak pidana), yaitu dengan cara melakukan penyuluhan atau pun sosialisasi kepada tenaga kesehatan. Agar setiap tenaga kesehatan lebih berhati-hati lagi dalam melakukan tugasnya sebagai tenaga medis. Upaya penanggulangan terhadap kasus dugaan malpraktek sebenarnya yang lebih berwenang adalah Tim dari kesehatan itu sendiri karena merekalah yang lebih paham terhadap apa yang mereka lakukan, apakah sudah sesuai dengan ilmu yang mereka pelajari atau tidak. Berdasarkan hasil wawancara dengan Fatah.W menyatakan upaya nonpenal yang dilakukan oleh IDI dan MKEK adalah dengan cara melakukan pemberian pembekalan baik secara etik maupun disiplin kepada setiap anggota (tenaga kesehatan). Pembekalan dilakukan dengan cara mewajibkan mengikuti setiap kegiatan ilmiah, seminar, simposium yang dalam kegiatan tersebut akan ada penetapan SKP (Satuan Kredit Partisipasi) sebagai penilaian dalam kegiatan seminar atau simposium tersebut. Dalam setiap kegiatan ilmiah, seminar dan simposium yang dilakaukan selalu disisipkan penyampaian tentang pelanggaran etik dan disiplin dalam tindakan medis sebagai cara untuk mengingatkan setiap tenaga medis agar bertindak hati-hati dalam tugasnya. 2.6 Faktor Penghambat dalam Penanggulangan Malpraktek yang dilakukan Oleh Tenaga Kesehatan 1. Faktor Perundang-undangan (substansi hukum) Praktek menyelenggaraan penegakan hukum di lapangan seringkali terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Hal ini dikarenakan konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak sedangkan kepastian hukum merupakan prosedur yang telah ditentukan secara normatif. Oleh karena itu suatu tindakan atau kebijakan atau kebijakan yang tidak sepenuhnya berdasarkan hukum merupakan suatu yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan tersebut tidak bertentangan dengan hukum. Hakekatnya penyelenggaraan hukum bukan hanya mencangkup law enforcement, akan tetapi juga peace maintenance, karena penyelengaraan hukum sesungguhnya merupakan proses penyerasian antara nilai-nilai dan kaidah-kaidah serta pola perilaku nyata yang bertujuan untuk mencapai kedamaian. Devi Puspa Sari dalam hasil wawancara juga menambahkan bahwa tidak ada aturan undang-undang lain yang bertentangan, tetapi dalam mengkaji lebih dalam kasus dugaan malprakteklah yang menjadi penghambat karena kurang pengetahuan mengenai perbuatan malpraktek yang dapat diproses sesuai dengan prosedur yang ada dalam undang-undang. 2. Faktor penegak Hukum Salah satu kunci dari keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian dari penegak hukumnya sendiri. Dalam kerangka penegakan hukum dan implementasi penegakan hukum bahwa penegakan keadilan tanpa kebenaran adalah suatu kebejatan. Penegakan kebenaran tanpa kejujuran adalah suatu kemunafikan. Aparat penegak hukum mencakup pengertian mengenai institusi penegak hukum dan aparat (orangnya) sebagai penegak hukum. Dalam arti sempit, aparat penegak hukum yang terlibat dalam proses tegaknya hukum tersebut dimulai dari saksi, polisi, penasehat hukum, jaksa, hakim, dan petugas sipir pemasyarakatan. Setiap aparat dan aparatur terkait mencakup pula pihakpihak yang bersangkutan dengan tugas atau perannya yaitu terkait dengan kegiatan pelaporan atau pengaduan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pembuktian, penjatuhan vonis dan pemberian sanksi, serta upaya pemasyarakatan kembali terpidana. Devi puspa Sari mengatakan bahwa kualitas para penyidik masih banyak yang kurang memahami jenis-jenis kejahatan yang terkait dalam kesehatan, sehingga sulit untuk mengusut kejahatan-kejahatan yang di indikasi dalam kesehatan terutama malpraktek yang menyebabkan kurang efektif melaksanakan kewajibannya serta kurangnya pemahaman dan kualitas penyidik dalam mengatasi kejahatan terkait bidang kesehatan khususnya malpraktek. Sehingga perlunya pemberian pembinaan mengenai pengenalan- pengenalan kejahatan terutama dibidang kesehatan kepada penyidik. Karena apabila terjadi kasus dugaan malpraktek maka para penyidik khususnya penyidik Reskrimsus Polda Lampung memerlukan batuan dari pusat dalam hal penyidikan terhadap kasus dugaan malpraktek karena kurangnya pemahaman. 3. Faktor masyarakat Masyarakat mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pelaksanaan penegakan hukum. Sebab penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai tujuan dalam masyarakat. Bagian yang terpenting dalam menentukan penegak hukum adalah kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka akan semakin memungkinkan penegakan hukum yang baik. Sebaliknya semakin rendah tingkat kesadaran hukum masyarakat, maka akan semakin sukar untuk melaksanakan penegakan hukum yang baik. Seperti halnya kasus dugaan malpraaktek. Devi Puspa Sari mengatakan bahwa penghambat dalam penyidikan seringkali terjadi khususnya dalam kasus dugaan malpraktek yang seringkali para keluarga korban tidak ingin melakukan otopsi terhadap pasien yang menjadi korban dalam kasus dugaan malpraktek. Yang mengakibatkan terhambatnya proses penyidikan karena bukti yang kurang cukup. Selain itu keluarga korban juga seringkali tidak langsung melaporkan dugaan malpraktek ke pihak yang berwajib tetapi membeberkan adanya kasus dugaan malpraktek ke media, seolah-olah adanya keraguan terhadap penegak hukum. DAFTAR PUSTAKA