Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
mencantumkan dengan jelas cita-cita bangsa Indonesia yang juga merupakan tujuan
nasional bangsa Indonesia, yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Untuk mencapai dan mewujudkan tujuan nasional tersebut telah dilakukan
pembangunan yang berkesinambungan diberbagai bidang, termasuk dalam hal ini
adalah pembangunan di bidang kesehatan, dalam hal ini termasuk pemeliharaan
kesehatan dan pelayanan kesehatan oleh tenaga medis. Hak pemeliharaan kesehatan ini
tidak muncul secara tiba-tiba. Hak memperoleh pemeliharaan kesehatan (the right to
health care) dan hak menentukan nasib sendiri (the right to self-determination) tumbuh
dari mata rantai Pasal 25 The United Nations Universal Declaration of Human Rights
1948 dan Pasal 1 The United Nation International Convention Civil and Political
Rights 1966 (Bambang Poernomo, Tanpa Tahun).
Pembangunan di bidang kesehatan sebagai salah satu upaya pembangunan
nasional diarahkan guna tercapainya kesadaran, kemauan, dan kemampuan untuk
hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang
optimal. Pembangunan kesehatan pada dasarnya menyangkut semua segi kehidupan,
baik fisik, mental maupun sosial ekonomi. Dalam perkembangan pembangunan
kesehatan ini, telah terjadi perubahan orientasi, baik dalam tata nilai maupun pemikiran
terutama mengenai upaya pemecahan masalah di bidang kesehatan yang dipengaruhi
faktor-faktor politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan, serta ilmu
pengetahuan dan teknologi. Perubahan orientasi tersebut akan mempengaruhi proses
penyelenggaraan pembangunan kesehatan (Hendrojono Soewono, 2007,).
Penyelenggaraan pembangunan kesehatan meliputi upaya kesehatan dan sumber
dayanya harus dilakukan secara terpadu dan berkesinambungan guna mencapai hasil
yang optimal. Upaya kesehatan yang semula dititik beratkan pada upaya penyembuhan
bagi penderita secara berangsur-angsur, berkembang ke arah keterpaduan upaya
kesehatan yang menyeluruh. Pembangunan kesehatan yang menyangkut peningkatan
kesehatan atau promotif, pencegahan penyakit atau preventif, penyembuhan penyakit
atau kuratif, dan pemulihan kesehatan atau rehabilitatif harus dilaksanakan secara
menyeluruh, terpadu, berkesinambungan, dan dilaksanakan oleh pemerintah bersama
rakyat (Ibid, hlm 3 dan 4).
Terlebih lagi dengan diberlakukannya Undang-Undang Kesehatan, ini berarti
bahwa semua tenaga kesehatan, yaitu setiap orang yang mengabdikan dirinya di bidang
kesehatan serta memiliki pengetahuan dan ketrampilan melalui pendidikan di bidang
kesehatan untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya
kesehatan.
Pada umumnya tenaga kesehatan dalam menjalankan tugasnya mempunyai
alasan yang mulia, yaitu untuk mempertahankan tubuh orang agar tetap sehat atau
untuk menyehatkan orang sakit atau setidaknya mengurangi penderitaan orang yang
sakit.
Dalam upaya pembangunan kesehatan tersebut, sangatlah penting hubungan
antara profesi medis dan pasien, terutama dokter dan dokter gigi yang secara langsung
memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Masyarakat sepakat bahwa
perbuatan dokter dalam melaksanakan tugasnya yang mulia tersebut layak
mendapatkan perlindungan hukum sampai pada batas-batas tertentu. Dokter dalam
menjalankan tugas mediknya harus disesuaikan dengan batas-batas yang telah
ditentukan agar dokter tidak dituntut atau digugat telah bertindak yang dinilai telah
merugikan masyarakat (Ibid, hlm 6). Hubungan antara dokter dengan pasien harus
mendapat kedudukan yang sama dihadapan hukum dengan segala konsekuensinya,
karena terdapat kemungkinan ada aspek hukum dalam praktik kedokteran yang apabila
telah diputuskan oleh hakim sering disebut sebagai tindakan malpraktik (Waluyadi,
2000).
Sejak abad ke-12 sampai abad ke-16, peranan hukum dapat dipercaya menjadi
“dewa-dewa” pembawa keselamatan manusia dengan dalil kepastian, keadilan,
kedamaian, dan ketentraman. Ada dua fungsi hukum tersebut, yakni perlindungan dan
kepastian bagi mereka yang melaksanakan kewajiban dalam hubungannya dengan
pihak lain. Dokter yang telah menerapkan standar profesinya dan telah mempunyai
kelengkapan syarat administrasi untuk berpraktik (mempunyai izin praktik) berhak
memperoleh perlindungan hukum, agar merasa aman dalam menjalankan profesinya
(Anny Isfandyarie, 2005).
Keberadaan hukum kesehatan membawa pengaruh yang sangat besar terhadap
pembangunan, khususnya di bidang kesehatan. Hukum kesehatan termasuk hukum lex
specialis yang melindungi secara khusus tugas profesi kesehatan (provider) dalam
program pelayanan kesehatan manusia ke arah tujuan deklarasi Health for All dan
perlindungan secara khusus terhadap pasien (receiver) untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan (Nusye Ki Jayanti, 2009).
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan Makalah
1.4 Manfaat Makalah
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Malpraktek


Malpraktik adalah suatu istilah yang mempunyai konotasi buruk, bersifat
stigmatis dan menyalahkan. Praktik buruk dari seseorang yang memegang suatu
profesi dalam arti umum. Tidak hanya profesi medis saja, sehingga ditujukan
kepada profesi lainnya. Namun di mana-mana, terutama mulai di luar negeri, istilah
malpraktik selalu pertama-tama diasosiasikan kepada profesi medis (J.Guwandi,
2005).
Malpraktik atau malpractice berasal dari kata “mal” yang berarti buruk,
sedang kata “practice” berarti suatu tindakan atau praktik. Dengan demikian secara
harfiah, malpraktik dapat diartikan sebagai suatu tindakan medik “buruk” yang
dilakukan oleh dokter dalam hubungannya dengan pasien (Hendrojono Soewono,
2006).
Menurut (Anny Isfandyarie, 2006) mengatakan bahwa antara negligence
(kelalaian) dengan malpraktik hampir tidak ada perbedaannya. Para pakar yang
menyamakan antara negligence dengan malpraktik adalah :
a. Creighton yang mengemukakan bahwa malpraktik merupakan sinonim dari
professional negligence;
b. Mason-Mac Call Smith menyebutkan bahwa “malpractice is a term which is
increasing widely used as a synonim from medical negligence”.
Menurut J. Guwandi malpraktik mempunyai arti lebih luas daripada
negligence, karena dalam malpraktik selain tindakan yang termasuk dalam
kelalaian juga ada tindakan-tindakan yang termasuk dalam kategori kesengajaan
(intentional, dolus, opzettelijk) dan melanggar undang-undang. Malpraktik yang
dilakukan dengan sengaja merupakan bentuk malpraktik murni yang termasuk di
dalam criminal malpractice (J.Guwandi, 2005).
Soerjono Soekanto mengatakan bahwa: “Apabila pengertian malpraktek dapat
dijadikan pegangan sementara, maka tolak ukur terjadinya malpraktek atau tidak, terletak
pertama-tama pada apakah pelaku seorang profesional atau bukan. Kalau sudah dapat
ditentukan bahwa yang bersangkutan profesional, maka apabila ia melakukan kesalahan
(baik dengan sengaja karena lalai), maka kejadian atau peristiwa itu disebut malpraktek.
Hal ini perlu digaris bawahi, karena selama ini di Indonesia ada kecenderungan untuk
menghubungkan malpraktek hanya dengan tenaga kesehatan khususnya dokter,
padahal seorang pengacara dan akuntan misalnya, mungkin saja melakukan malapraktek
(Soerjono Soekanto, 1987).
T. Mulya Lubis seorang ahli hukum yang pernah menjabat Ketua
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum mengatakan: “meski belakangan ini banyak yang
membicarakan mengenai malpraktek dalam dunia medis, tetapi pengertian malpraktek itu
sendiri masih belum jelas. Ada banyak salah tafsir tentang malpraktek, dan agaknya
pengertian yang baku mengenai malpraktek ini tengah dalam proses (T. Mulya Lubis,
1987).

2.2 Profesi Medis


Di dalam peraturan perundang-undangan tentang kesehatan di Indonesia,
tidak terdapat dengan jelas perumusan profesi medis/dokter. Akan tetapi, jika
dilihat dari kedudukan dokter dan dokter gigi sebagai tenaga kesehatan yang
merupakan salah satu sumber daya kesehatan yang sangat diperlukan untuk
mendukung terselenggaranya upaya kesehatan, maka dari rumusan tenaga
kesehatan di dalam Ketentuan Umum Pasal 1 butir 6 Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2009 Tentang Kesehatan, yaitu : Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang
mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau
keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu
memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
Dapat disimpulkan bahwa dokter dan dokter gigi sebagai pengemban
profesi medis adalah orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta
memiliki pengetahuan dan ketrampilan melalui pendidikan di bidang kedokteran
yang memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan (D.Veronica
Komalawati, 1999).
Rumusan tenaga kesehatan menurut dalam Penjelasan Umum Undang-
Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran disebutkan :
a. Dokter dan dokter gigi sebagai salah satu komponen utama pemberi pelayanan
kesehatan kepada masyarakat mempunyai peranan yang sangat penting karena
terkait langsung dengan pemberian pelayanan kesehatan dan mutu pelayanan
yang diberikan.
b. Landasan utama bagi dokter dan dokter gigi untuk dapat melakukan tindakan
medis terhadap orang lain adalah ilmu pengetahuan, teknologi, dan kompetensi
yang dimiliki, yang diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan. Pengetahuan
yang dimilikinya harus terus menerus dipertahankan dan ditingkatkan sesuai
dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri.
c. Dokter dan dokter gigi dengan perangkat keilmuan yang dimilikinya
mempunyai karakteristik yang khas. Kekhasannya ini terlihat dari pembenaran
yang diberikan oleh hukum yaitu diperkenankannya melakukan tindakan medis
terhadap tubuh manusia dalam upaya memelihara dan meningkatkan derajat
kesehatan. Tindakan medis terhadap tubuh manusia yang dilakukan bukan oleh
dokter atau dokter gigi dapat digolongkan sebagai tindak pidana.
Sehubungan dengan pengertian profesi, Pound mengemukakan bahwa :
“The word profession refers to a group of men pursuing a learned art as a common
calling in the spirit of a publik service no less a public service because it may
incidentally be a means of livehood” (Ibid., hlm. 18).
Pada hakekatnya, profesi adalah merupakan panggilan hidup yang
mengabdikan diri pada kemanusiaan didasarkan pada pendidikan yang harus
dilaksanakan dengan kesungguhan niat, kesunggugan kerja, kerendahan hati, dan
integritas ilmiah dan sosial serta penuh tanggung jawab (Hendrojono Soewono,
2006).
Dalam Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 butir 11 Undang-Undang Nomor
29 Tahun 2004 disebutkan pengertian profesi kedokteran sebagai berikut : Profesi
kedokteran atau kedokteran gigi adalah suatu pekerjaan kedokteran atau kedokteran
gigi yang dilaksanakan berdasarkan suatu keilmuan, kompetensi yang diperoleh
melalui pendidikan yang berjenjang, dan kode etik yang bersifat melayani
masyarakat. Berkaitan dengan profesi dokter, yang dalam mengamalkan profesinya
akan selalu berhubungan dengan manusia yang sedang mengharapkan pertolongan,
sudah selayaknya dalam melaksanakan profesinya harus selalu menghormati hak-
hak pasien yang didasari pada nilai-nilai luhur, keluhuran budi, dan kemuliaan demi
kepentingan pasien (Hendrojono Soewono, 2007).

2.3 Kode Etik Kedokteran Indonesia


Salah satu persyaratan untuk dapat mengetahui bahwa dokter telah
melakukan tindakan atau proses perawatan yang benar adalah dengan mengukur
pada standar profesi medis, stau standar minimal pelayanan kedokteran yang
dipergunakan sebagai pedoman didalam pelaksanaan profesinya. Adapun yang
dimaksud dengan standar profesi menurut Lacnen adalah berbuat secara teliti dan
seksama menurut standar medis sebagai seorang dokter yang memiliki kemampuan
rata-rata dibanding dengan dokter-dokter dari kaegori keahlian medis yang sama,
dalam situasi dan kondisi yang sama dengan sarana upaya, (middelen) yang
sebanding atau profesional dengan tujuan konkrit yang merupakan tindakan atau
perbuatan medis tersebut.
Sedangkan sumber lain mengatakan bahwa standar profesi medis
merupakan sesuatu yang harus dilakukan (Commisio) atau tidak harus dilakukan
(Omissio) oleh katakata dokter dari kategori tertentu (dokter umum, spesialis, super
spesialis) dalam kondisi dan situasi yang sama. Apabila diperinci lebih lanjut, maka
standar profesi medis (dokter) ini terbagi ke dalam 6 (enam) unsur yaitu:
1. Berbuatnya secara teliti atau seksama (Zorg Vulding Handele)
2. Sesuai standar medis (Volgens de Medische Standard)
3. Kemampuan rata-rata (average) dibanding kategori keahlian medik yang
sama (Gemeddel de Van gelijke Medische categoric)
4. Situasi dan kondisi yang sama (gelijke omstagding haiden)
5. Sarana upaya (midelen) yang sebanding atau profesional (asas
profesionalitas) (met meddelendei in redelijke vet hauding stramm)
6. Dengan tujuan konkrit tindakan atau perbuatan medik tersebut atau tujuan
medik (tot the concriet handelings doel) (Fred Ameln, 1987).
Uraian di atas menunjukkan betapa pentingnya unsur standar medik di
dalam standar profesi kedokteran karena tiap pelaksanaan pengobatan harus selalu
berlandaskan pada standar medik yang berlaku. Pengertian medik menurut Leenen
adalah suatu cara untuk melakukan tindakan tuduhan medik yang didasarkan
kepada ilmu medik dan pengalaman. Penyusunan standar medis ini ditujukan agar
pelanan kesehatan yang diberikan oleh dokter mempunyai tolak ukur yang jelas
agar masyarakat mengetahui dengan pasti berapa jauh tindakan medis yang
ditetapkan terhadap dirinya apakah sudah tepat atau belum.

2.4 Faktor yang Menyebabkan Malpraktek Seorang Dokter


Beberapa waktu yang lalu kalangan hukum dan kalangan kedokteran sibuk
membicarakan masalah mengenai seperangkat ketentuan hukum yang mengatur
hak, kewajiban perlindungan dan wewenangan bagi tenaga kesehatan dalam
melaksanakan profesinya maupun individu, serta masyarakat penerima jasa
kesehatan dalam aspekaspeknya (Tim Pengkajian Hukum Kesehatan BPHN, 1985). Salah
satu kegiatannya yaitu pada bulan Juni 1983 diadakan Simposium Hukum
Kedokteran yang diselenggarakan oleh Departemen Kehakiman yang bekerjasama
dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Dilakukan penelitian ini oleh suatu Tim
Penelitian Hukum Badan Pembinaan Hukum Nasional tentang Aspek Pengaturan
dan Penerapan Hukum Dalam Usaha Pembinaan Hukum Kedokteran pada tahun
1985. Kemudian pada tahun 1986 tepatnya pada bulan Juni di Jakarta diadakan
Panel Diskusi wilayah Jakarta dengan tema Hukum Disiplin Tenaga Kesehatan.
Seorang dokter dalam melaksanakan profesinya pasti selalu berhubungan
dengan tubuh dan jiwa pasiennya. Oleh karena itu terdapat kemungkinan jiwa
pasiennya tidak dapat diselamatkan atau kemungkinan lainnya adalah tubuh pasien
mengalami luka berat, cacat. Dalam keadaan seperti ini dapat terjadi karena
beberapa faktor, yaitu sebagai berikut:
a. Faktor ketahanan tubuh dan jiwa pasien.
b. Faktor adanya unsur kesalahan pada tindakan seorang dokter (Ratna Soeprapti
Samil, 1985).

Pemberian pelayanan medis yang dilakukan oleh seorang dokter terhadap


si pasien adalah berdasarkan pada transaksi theurapeutik yang dijalankan dalam
suasana konfidensi dan diketahui senantiasa diliputi oleh segala emosi harapan serta
kekhawatiran makhluk insani. Adapun yang dimaksud dengan transaksi
theurapeutik yaitu transaksi yang menentukan atau mencari terapi yang paling tepat
bagi pasien dan dokter. Dokter sebagai manusia biasa mungkin saja dalam
melaksanakan profesinya melakukan tindakan terapi yang kurang tepat, sehingga
mengakibatkan cacat pada anggota badan atau lebih fatal lagi bagi si pasien
meninggal dunia.
Perlu mendapat perhatian juga bahwa pasien sebagaimana penerima jasa
pelayanan kesehatan pada praktik kedokteran, mempunyai hak dan mendapat
perlindungan hukum, seperti termuat dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 29
tahun 2004, sebagai berikut:
a. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3);
b. Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;
c. Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan;
d. Menolak tindakan medis;
e. Mendapatkan isi rekaman medis.
Di samping itu peningkatan kesadaran hukum masyarakat, khususnya
kesadaran hukum pasien sudah sedemikian maju, perkembangan ilmu dan teknologi
yang semakin canggih di bidang kedokteran. Kesemuanya ini memungkinkan si
pasien ataupun keluarganya melakukan penuntutan terhadap dokter, sehingga akhir-
akhir ini banyak timbul permasalahan yang menjurus pada tuduhan malpraktek
kepada profesi kedokteran. Apabila dilakukan pengkajian pada pengertian tersebut,
maka terlihat bahwa malpraktek terjadi dalam hal adanya:
a. Kesalahan dalam praktek dokter, atau dilakukan tidak tepat.
b. Terjadi dalam hal praktek dokter telah menyalahi undang-undang.
c. Termasuk juga di dalamnya apabila dokter telah melakukan pelanggaran
kode etik.
Jelaslah setiap peristiwa yang termasuk dalam tiga hal tersebut, maka dapat
dinyatakan telah terjadi malpraktek. Dan kaitan malpraktek dengan standar profesi
kedokteran adalah terdapat enam unsur standar profesi kedokteran dan dengan
keenam unsur tersebutlah diadakan pengujian untuk menentukan salah tidaknya
pengobatan yang dilakukan dokter. Keenam unsur standar profesi kedokteran
tersebut adalah sebagai berikut:
a. Berbuat Secara Teliti atau Seksama
Dalam melakukan tindakan pengobatan diisyaratkan seorang dokter harus
seteliti dan secermat mungkin dalam pengertian tidak semberono atau lalai.
b. Sesuai Standar Medik
Sesuai dengan standar medik merupakan suatu unsur yang paling penting,
karena setiap tindakan medik seorang dokter harus sesuai dengan standar
medik yang berlaku.
c. Kemampuan Rata-rata Dibanding Kategori Keahlian Yang Sama
Seorang dokter dalam melakukan tindakan pengobatan harus memiliki
kemampuan yang diukur berdasarkan kemampuan rata-rata yang dimiliki
para dokter menurut keahlian medik yang dibandinginya.
d. Situasi dan Kondisi Yang Sama
Situasi dan kondisi pada saat dokter melakukan pengobatan harus sama,
artinya kesesuaian dokter dalam melakukan pengobatan dengan standar
medik dilihat pada situasi dan kondisi yang sama.
e. Sarana Upaya Yang Sebanding atau Proposional
Dokter harus menjaga adanya suatu keseimbangan antara tindakan-
tindakannya dan tujuan yang akan ia capai dengan tindakan-tindakannya itu.
f. Dengan Tujuan Konkrit Tindakan atau Perbuatan Medik Tindakan medik
tidak saja harus pula ditujukan pada suatu tujuan medik, akan tetapi harus
pula ditujukan pada suatu tujuan medik, artinya bagi kepentingan perbaikan
kondisi pasien (M. Nurdin, 2015).

2.5 Penanggulangan Malpraktek


Setiap tindak pidana selalu terdapat unsur sifat melawan hukum. Pada
sebagian kecil tindak pidana sifat melawan hukum dicantumkan secara tegas dalam
rumusan, tetapi pada sebagian larangan berbuat, maka setiap tindak pidana
mengandung unsur sifat melawan hukum. Bagi tindak pidana yang tidak
mencantumkan unsur sifat melawan hukum dalam rumusannya, unsur tersebut
terdapat secara terselubung pada unsur-unsur yang lain. Bisa melekat pada unsur
perbuatan, objek perbuatan, akibat perbuatan atau unsur keadaan yang
menyertainya (Komariah, Emong Sapadjaja, 2002,).
Kasus-kasus malpraktek seperti gunung es hanya sedikit yang muncul
dipermukaan. Ada banyak tindakan dan pelayanan medik yang dilakukan dokter
atau tenaga medis lainnya yang berpotensi merupakan malpraktek yang dilaporkan
masyarakat tapi tidak diselesaikan secara hukum. Bagi masyarakat hal ini
sepertinya menunjukkan bahwa para penegak hukum tidak berpihak pada pasien
terutama masyarakat kecil yang kedudukannya tentu tidak setara dengan tenaga
medis. Secara umum letak sifat melawan hukum malpraktek dibidang kesehatan
terletak pada dilangarnya kepercayaan atau amanah pasien dalam kontrak
terapeutik. Kepercayaan atau amanah tersebut adalah kewajiban tenaga kesehatan
untuk berbuat sesuatu dengan sebaik-baiknya, secermatcermatnya, penuh kehati-
hatian, tidak berbuat ceroboh, berbuat yang seharusnya diperbuat dan tidak berbuat
apa yang seharusnya tidak diperbuat.
Secara khusus latak sifat melawan hukum perbuatan malpraktek tidak
selalu sama, bergantung pada kasus, terutama syarat yang menjadi penyebab
timbulnya malpraktek. Faktor sebab dalam kasus malpraktek selalu ada, yaitu
timbulnya akibat yang merugikan kesehatan atau nyawa pasien (Adami, Chazawi,
2010).
Undang-undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan juga
membahas tentang ketentuan pidana untuk kasus malpraktek yaitu:
Pasal 83 “setiap orang yang bukan Tenaga Kesehatan melakukan praktik seolah-
olah sebagai Tenaga Kesehatan yang telah memiiki izin sebagaimana dimaksud
dalam pasal 64 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.
Pasal 84 ayat (1) “Setiap Tenaga Kesehatan yang melakukan kelalaian berat yang
mengakibatkan Penerima Pelayan Kesehatan luka berat dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun”.
Pasal 84 ayat (2) “Jika kelalaian berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan kematian, setiap Tenaga Kesehatan dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun”
Undang-undang kesehatan diwujudkan dalam rangka memberikan
kapastian hukum dan perlindungan hukum untuk meningkatkan, mengarahkan dan
memberika dasar bagi pembangunan kesehatan. Seorang dokter yang
mengakibatkan kerugian bagi pasien akibat kelalaian dokter tersebut dalam
melakukan perawatan baik langsung maupun tidak langsung dapat dimintakan
pertangggungjawaban pidana. Dalam Pasal 58 ayat (1) Undang-undang Nomor 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan mengatur tentang hak korban yaitu: “ Setiap orang
berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau
penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau
kelalaian dalam pelayanan kesehtan yang diterimanya”.
Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik,
pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi
kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminal.
Dengan kata lain, dilihat dari sudut politik kriminal, maka politik hukum pidana
identik dengan pengertian kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum
pidana. Di samping itu, usaha penanggulangan kejahatan lewat pembuatan undang-
undang (hukum) pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari usaha
perlindungan masyarakat (social welfare). Oleh karena itu, kebijakan atau politik
hukum pidana juga merupakan bagian integral dari kebijakan atau politik sosial
(social policy).
Perbuatan malpraktek yang dilakukan oleh Tenaga Kesehatan dalam hal ini
dapat dikategorikan termasuk kejahatan, karena sudah memiliki unsur merugikan,
terutama merugikan pasien. Berbicara mengenai malpraktek, menurut M. Fakih
yang pada umumnya melakukan malpaktek itu ialah dokter dan dokter gigi selaku
tenaga medis. Tenaga medis juga termasuk ke dalam kategori tenaga kesehatan.
Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga
Kesehatan menyatakan pegertian tenaga kesehatan yaitu: “setiap orang yang
mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau
keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu
memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan” Penanggulangan
malpraktek dapat dilakukan melalui 2 upaya yaitu:
1. Upaya Penal
Upaya penal merupakan penanggulangan suatu kejahatan dengan
menggunakan hukum pidana yang didalamnya terdapat dua masalah
sentral, yaitu perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana dan
sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan pada pelanggar (Barda
Nawawi Arif, 2008).
Berdsarkan pendapat Devi Puspa Sari maka diketahui upaya penal
yang dilakukan oleh Polda Lampung dalam menanggulangi dugaan
malpraktek dilakukan secara represif (penegakan hukum) berdasarkan
tugas di bidang penyelidikan dan penyidikan tindak pidana. Polda Lampung
memiliki unit khusus untuk melakukan upaya ini, yaitu Reskrimsus bagian
Kasubdit IV yang bertugas melakukan penindakan dan penyidikan terhadap
kasus dugaan malpraktek dalam rangka penegakan hukum. Berdasarkan
wawancara dengan Devi Puspa Sari menerangkan penyelidikan yang
dilakukan terkait kasus dugaan malpraktek diawali dengan pemberitaan
melalui broadcast adanya dugaan malpraktek, karena sebagian besar dalam
kasus dugaan malpraktek tidak adanya laporan dari keluarga korban.
Seperti yang terjadi dalam kasus dugaan malpraktek di salah satu rumah
sakit wilayah lampung yang saat ini sudah SP3 (Surat Penghentian
Penyidikan Perkara). Alasan mengapa kasus tersebut dijatuhan SP3 yaitu
dikarenakan kurangnya bukti yang mendukung sehingga penyidik Polda
Lampung menghentikan proses penyidikan tersebut. Setiap korban
(keluarga korban) mempunyai hak untuk melakukan Praperadilan, karena
dengan dikeluarganya SP3 tidak menutup kemungkinan kasus ini akan
ditindak lanjuti kembali setelah dilakukannya Praperadilan. Apabila
penyidik mengetahui adanya dugaan malpraktek maka pihak reskimsus
segera melakukan penyelidikan dengan meminta bantuan para ahli yang
berasal dari IDI, MKEK, dan PUSDOKKES Polri.
Upaya penal dalam dugaan malpraktek melibatkan banyak pihak
yang ikut serta dalam pembuktiannya baik dari pihak kepolisian maupun
dari pihak kesehatan. Penyelesaian sengketa medik diatur dalam Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik
Kedokteran. Apabila tindakan dokter bertentangan dengan etika dan moral
serta kode etik kedokteran Indonesia (Kodeki) yang telah dibuktikan oleh
Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK), maka bisa dikatakan malpraktik
dan dapat diajukan gugatan hukum. Majelis Kehormatan Etik Kedokteran
(MKEK) merupakan salah satu organisasi yang turut serta dalam prosedur
penanganan dugaan malpraktek. Menurut Fatah.W. berikut ini adalah
prosedur yang dilakukan MKEK:
1. Menerima Pengaduan Melalui IDI Cabang/Wilayah/Pusat atau
langsung ke MKEK Cabang/Wilayah/Pusat, sesuai tempat kejadian
perkara kasus aduan tersebut. Apabila menerima aduan secara tertulis
maka harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Identitas pengadu
b. Nama dan alamat tempat praktik dokter dan waktu tindakan
dilakukan
c. Alasan sah pengadu
d. Bukti-bukti dan keterangan saksi atau petunjuk yang menunjang
dugaan pelanggaran etika tersebut Apabila pengaduan tersebut tidak
lengkap atau tidak atau berisi keterangan yang dipandang tidak
dapat dipertanggungjawabkan untuk pembinaan pengabdian
profesi, maka ketua MKEK dapat menolak atau meminta pengaduan
memperbaiki atau melengkapinya.
2. Pemanggilan pengadu dan teradu Pemanggilan ini dapat dilakukan
sampai 3 kali berturut-turut dan jika setelah 3 kali pengadu tetap tidak
dating tanpa alasan yang sah, maka pengaduan tersebut dinyatakan
batal, dan jika pada pemanggilan ke 3 teradu tidak dating dengan alasan
yang sah maka pananganan kasus dilanjutkan tanpa kehadiran teradu
dan putusan yang ditetapkan dinyatakan sah dan tidak dapat dilakukan
banding.
3. Penelaahan Kasus Penelaahan kasus dugaan malpraktek dilakukan
dengan cara sebagai berikut:
a. Mempelajari keabsahan surat pengaduan
b. Bila perlu mengundang pasien atau keuarga pangadu untuk
klarifikasi awal pengaduan yang disampaikan
c. Bila perlu mengundang dokter teradu untuk klarifikasi awal yang
diperlukan
d. Bila diperlakukan melakukan kunjungan ketempat kejadian/perkara
e. Diakhir penelaahan, ketua MKEK menetapkan pengaduan tersebut
layak atau tidak layak untuk disidangkan oleh majelis pemeriksa.
Pada saat penelaahan dilaksanakan maupun pada saat persidangan,
dokter teradu berhak didampingi oleh pembela.
4. Sidang Majelis Pemeriksaan Divisi Kemahkamahan MKEK Sidang ini
dilakukan apabila perkara tersebut sudah memenuhi syarat dan benar
adanya. Dalam siding ini pengadu,teradu, dan saksi tidak diambil
sumpah melainka diminta kesediaan untuk menandatangani pernyataan
tertulis di depan MKEK bahwa semua keterangan yang diberikan adalah
benar. Para pihak dapat mengajukan saksi namun keputusan penerimaan
kesaksian atau kesaksian ahli ditentukan oleh Ketua Majelis Pemeriksa.
5. Keputusan Majelis Pemeriksa Divisi Kemahkamahan MKEK
Keputusan Majelis Pemeriksa diambil ketentuan sebagai berikut :
a. Diambil atas dasar musyawarah dan mufakat atau atas dasar suara
terbanyak dari Majelis Pemeriksa, dengan tetap mencatat perbedaan
pendapat
b. Bersifat rahasia, kecuali dinyatakan lain
c. Berupa dinyatakan melanggar atau tidak melanggar Kode Etik
Kedokteran Indonesia
d. Dapat dilakukan banding paling lambat 2 minggu setelah putusan
ditetapkan.
Selain upaya yang dilakukan di atas menurut Fatah.W, MKEK selalu
mengupayakan mediasi setelah menerima pengaduan dan mendapatkan
klarifikas dalam penanganan malpraktek.
2. Upaya Non penal
Kebijakan penanggulangan kejahatan dengan sarana non penal hanya
meliputi penggunaan sarana sosial untuk memperbaiki kondisi-kondisi
sosial tertentu, namun secara tidak langsung mempengaruhi upaya
pencegahan terjadinya kejahatan (Barda Nawawi Arif, 2008). Upaya non penal
dalam menanggulangi kasus malpraktek dapat dilaksanakan dengan cara
preventif (pencegahan terjadi tindak pidana), yaitu dengan cara melakukan
penyuluhan atau pun sosialisasi kepada tenaga kesehatan. Agar setiap
tenaga kesehatan lebih berhati-hati lagi dalam melakukan tugasnya sebagai
tenaga medis.
Upaya penanggulangan terhadap kasus dugaan malpraktek
sebenarnya yang lebih berwenang adalah Tim dari kesehatan itu sendiri
karena merekalah yang lebih paham terhadap apa yang mereka lakukan,
apakah sudah sesuai dengan ilmu yang mereka pelajari atau tidak.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Fatah.W menyatakan upaya nonpenal
yang dilakukan oleh IDI dan MKEK adalah dengan cara melakukan
pemberian pembekalan baik secara etik maupun disiplin kepada setiap
anggota (tenaga kesehatan). Pembekalan dilakukan dengan cara
mewajibkan mengikuti setiap kegiatan ilmiah, seminar, simposium yang
dalam kegiatan tersebut akan ada penetapan SKP (Satuan Kredit Partisipasi)
sebagai penilaian dalam kegiatan seminar atau simposium tersebut. Dalam
setiap kegiatan ilmiah, seminar dan simposium yang dilakaukan selalu
disisipkan penyampaian tentang pelanggaran etik dan disiplin dalam
tindakan medis sebagai cara untuk mengingatkan setiap tenaga medis agar
bertindak hati-hati dalam tugasnya.
2.6 Faktor Penghambat dalam Penanggulangan Malpraktek yang dilakukan
Oleh Tenaga Kesehatan
1. Faktor Perundang-undangan (substansi hukum)
Praktek menyelenggaraan penegakan hukum di lapangan seringkali
terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Hal ini dikarenakan
konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak sedangkan
kepastian hukum merupakan prosedur yang telah ditentukan secara normatif.
Oleh karena itu suatu tindakan atau kebijakan atau kebijakan yang tidak
sepenuhnya berdasarkan hukum merupakan suatu yang dapat dibenarkan
sepanjang kebijakan atau tindakan tersebut tidak bertentangan dengan hukum.
Hakekatnya penyelenggaraan hukum bukan hanya mencangkup law
enforcement, akan tetapi juga peace maintenance, karena penyelengaraan
hukum sesungguhnya merupakan proses penyerasian antara nilai-nilai dan
kaidah-kaidah serta pola perilaku nyata yang bertujuan untuk mencapai
kedamaian.
Devi Puspa Sari dalam hasil wawancara juga menambahkan bahwa
tidak ada aturan undang-undang lain yang bertentangan, tetapi dalam mengkaji
lebih dalam kasus dugaan malprakteklah yang menjadi penghambat karena
kurang pengetahuan mengenai perbuatan malpraktek yang dapat diproses
sesuai dengan prosedur yang ada dalam undang-undang.
2. Faktor penegak Hukum
Salah satu kunci dari keberhasilan dalam penegakan hukum adalah
mentalitas atau kepribadian dari penegak hukumnya sendiri. Dalam kerangka
penegakan hukum dan implementasi penegakan hukum bahwa penegakan
keadilan tanpa kebenaran adalah suatu kebejatan. Penegakan kebenaran tanpa
kejujuran adalah suatu kemunafikan.
Aparat penegak hukum mencakup pengertian mengenai institusi
penegak hukum dan aparat (orangnya) sebagai penegak hukum. Dalam arti
sempit, aparat penegak hukum yang terlibat dalam proses tegaknya hukum
tersebut dimulai dari saksi, polisi, penasehat hukum, jaksa, hakim, dan petugas
sipir pemasyarakatan. Setiap aparat dan aparatur terkait mencakup pula
pihakpihak yang bersangkutan dengan tugas atau perannya yaitu terkait dengan
kegiatan pelaporan atau pengaduan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan,
pembuktian, penjatuhan vonis dan pemberian sanksi, serta upaya
pemasyarakatan kembali terpidana.
Devi puspa Sari mengatakan bahwa kualitas para penyidik masih
banyak yang kurang memahami jenis-jenis kejahatan yang terkait dalam
kesehatan, sehingga sulit untuk mengusut kejahatan-kejahatan yang di indikasi
dalam kesehatan terutama malpraktek yang menyebabkan kurang efektif
melaksanakan kewajibannya serta kurangnya pemahaman dan kualitas
penyidik dalam mengatasi kejahatan terkait bidang kesehatan khususnya
malpraktek. Sehingga perlunya pemberian pembinaan mengenai pengenalan-
pengenalan kejahatan terutama dibidang kesehatan kepada penyidik. Karena
apabila terjadi kasus dugaan malpraktek maka para penyidik khususnya
penyidik Reskrimsus Polda Lampung memerlukan batuan dari pusat dalam hal
penyidikan terhadap kasus dugaan malpraktek karena kurangnya pemahaman.
3. Faktor masyarakat
Masyarakat mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pelaksanaan
penegakan hukum. Sebab penegakan hukum berasal dari masyarakat dan
bertujuan untuk mencapai tujuan dalam masyarakat. Bagian yang terpenting
dalam menentukan penegak hukum adalah kesadaran hukum masyarakat.
Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka akan semakin
memungkinkan penegakan hukum yang baik. Sebaliknya semakin rendah
tingkat kesadaran hukum masyarakat, maka akan semakin sukar untuk
melaksanakan penegakan hukum yang baik. Seperti halnya kasus dugaan
malpraaktek.
Devi Puspa Sari mengatakan bahwa penghambat dalam penyidikan
seringkali terjadi khususnya dalam kasus dugaan malpraktek yang seringkali
para keluarga korban tidak ingin melakukan otopsi terhadap pasien yang
menjadi korban dalam kasus dugaan malpraktek. Yang mengakibatkan
terhambatnya proses penyidikan karena bukti yang kurang cukup. Selain itu
keluarga korban juga seringkali tidak langsung melaporkan dugaan malpraktek
ke pihak yang berwajib tetapi membeberkan adanya kasus dugaan malpraktek
ke media, seolah-olah adanya keraguan terhadap penegak hukum.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai