Anda di halaman 1dari 11

Pertusis Pada Balita Serta Penanganannya

Mutiara Novarinda Iskayati Putri

102016217

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Alamat Korespondensi : Jl. Arjuna Utara No. 06, Jakarta Barat 11510, Indonesia
Email : tiaranovip@gmail.com

Abstrak

Pertusis merupakan sindrom yang terjadi pada anak yang berusia 1-10 tahun. Sindrom
pertusis terbagi menjadi 3 stadium yaitu stadium kataral, paroksismal dan stadium kovalesen.
Stadium paroksismal dapat berlangsung selama 2-4 minggu merupakan stadium yang paling
khas dari pertusis. Batuk terjadi saat ekspirasi sehingga pada anak kecil tidak sempat
bernapas dan menjadi sesak. Karakteristik batuk ini terjadi untuk membebaskan sumbatan
akibat jaringan nekrotik epitel bronkial dan mucus yang kental. Tekanan inhalasi pada glottis
mengalami penyempitan setelah terjadinya batuk sehingga menghasilkan bunyi yang khas “
whop “. Setelah itu seringkali terjadi muntah pasca batuk. Hasil laboratorium yang khas juga
berupa leukositosis dan limfositosis. Dengan diagnosis banding bronkiolitis dan laryngitis.

Kata kunci: pertusis sindrom, tatalaksana pertusis, pencegahan pertusis, pernafasan akut

Abstract

Pertussis is a syndrome that occurs in children aged 1-10 years. Pertussis syndrome is
divided into 3 stages namely the catarral stage, paroxysmal and covaleent stage. Paroxysmal
stages can last for 2-4 weeks is the most characteristic stage of pertussis. Coughing occurs
during expiration so that in small children do not have time to breathe and become
congested. This coughing characteristic occurs to relieve blockage due to necrotic tissue of
bronchial epithelium and thick mucus. The inhalation pressure in the glottis narrows after the
cough to produce a distinctive "whop" sound. After that often occurs post-cough vomiting.
Typical laboratory results also include leukocytosis and lymphocytosis. With a differential
diagnosis of bronchiolitis and laryngitis.

Keywords: pertussis syndrome, pertussis management, prevention of pertussis, acute


respiration
Pendahuluan

Pertusis adalah infeksi saluran pernapasan akut yang diuraikan dengan baik pada
tahun 1500. Prevalensi di seluruh dunia sekarang berkurang hanya karena imunisasi aktif.
Sydenham yang pertama kali menggunakan istilah pertussis (batuk kuat) pada tahun 1670;
istilah ini lebih disukai dari “batuk rejan (whooping cough)”, karena kebanyakan individu
yang terinfeksi tidak berteriak (whoop=berteriak). Nama lain pertusis adalah Tussis Quinta,
Whoopping Cough, Batuk rejan, Batuk 100 hari.1

Penyebab dari pertusis adalah Bordetella pertusis. Pengobatan dapat dilakukan lewat
pemberian eritromisin atau pemberian imunisasi DPT. Disinilah sebagai dokter kita ditutut
untuk bagaimana memahami, apa penyebab utama pertussis, bagaimana cara pencegahan,
pengobatannya, komplikasi, bagaimana penyebarannya, dan apa saja gejalanya. Penulis
berharap makalah ini berguna bagi para pembaca, agar dapat menjaga kesehatan dengan baik
serta melakukan pencegahan sejak dini.

Anamnesis

Anamnesis merupakan wawancara yang dilakukan untuk mengarahkan masalah


pasien ke diagnosis penyakit tertentu. Anamnesis dapat membantu menentukan langkah
pemeriksaan selanjutnya, termasuk pemeriksaan fisik dan penunjang. Anamnesis dapat
dilakukan terhadap pasien (auto-anamnesis) atau terhadap keluarganya / pengantarnya (alo-
1,2
anamnesis) bila keadaan pasien tidak memungkinkan untuk diwawancarai. Anamnesis
yang baik akan terdiri dari: 1).Identitas pasien; 2).Keluhan utama 3). Keluhan lain; 4).
Riwayat penyakit sekarang; 5).Riwayat penyakit dahulu; 6). Riwayat penyakit dalam
keluarga; 7). Riwayat pribadi dan sosial; 8). Riwayat pengobatan.2

Pada skenario yang didapat, seorang anak perempuan berusia 4 tahun dibawa ke
puskesmas karena batuk sejak 2 minggu yang lalu. Saat batuk anak tersebut menjadi
kesulitan bernafas akibat batuk terus menerus sehingga wajah menjadi memerah kebiruan
serta muntah. Di antara episode batuk, pasien tampak baik-baik saja. Terdapat keluhan
demam. Pada pasien balita sepeti pada scenario perlu kita tanyakan tentang riwayat
imunisasi. Dan di scenario imunisasi tidak lengkap.

Karena keluhan utama pada skenario adalah batuk, sejak kapan lama batuk dirasakkan,
kapan batuk itu muncul, bagaimana frekuensinya apakah terus-menerus atau hilang timbul.
Tanyakan apakah ada lendir atau sputum yang dihasilkan, bagaimana konsistensinya, berapa
banyak sputum yang dihasilkan apakah ada darah, lendir atau pus. Tanyakan secara khusus
mengenai gambaran sistemik penyakit seperti, demam, penurunan berat badan, dan gejala
lain yang dirasakan pasien. Tanyakan apakah sudah pernah diobati sebelumnya, apa obat
yang pernah dikonsumsi, dan bagaimana perubahan kondisi fisik pasien seteleh
mengkonsumsi obat tersebut. Tanyakan mengenai lingkungan tempat tinggalnya, makanan
sehari-hari yang dimakan. Tanyakan juga riwayat penyakit keluarga, apakah ada anggota
keluarga yang pernah menderita penyakit yang sama.

Pemeriksaan Fisik

Salah satu pemeriksaan fisik yang dilakukan adalah memeriksa tanda-tanda vital yang
terdiri dari suhu, tekanan darah, nadi, dan frekuensi pernapasan. Suhu tubuh yang normal
adalah 36-37oC. Tekanan darah diukur dengan menggunakan tensimeter dengan angka
normalnya 120/80 mmHg. Pemeriksaan nadi biasa dilakukan dengan melakukan palpasi a.
radialis. Frekuensi nadi yang normal adalah sekitar 60-80 kali permenit. Dalam keadaan
normal, frekuensi pernapasan adalah 16-24 kali per menit.2

Pemeriksaan fisik (Physical Examination) juga sering disebut sebagai diagnosis fisik.
Untuk keperluan pemeriksaan fisik, pasien diminta untuk melepas baju sehingga dada dan
perut dapat diperiksa dengan leluasa. Diperlukan sinar yang cukup untuk penerangan,
kadang-kadang diperlukan sinar dari arah samping atau tangensial. Mula-mula pasien
diperiksa dalam posisi duduk, kemudian berbaring atau berbaring setengah duduk dengan
sudut 30º-45º. Ada komponen dasar pemeriksaan fisik, yaitu inspeksi, palpasi, perkusi, dan
auskultasi. Pada pasien anak umur 4 tahun laju napas normal adalah < 40x/ menit dan laju
nadi normal < 110/ menit.3 Pada pemeriksaan fisik yang telah dilakukan dalam scenario
semua dinyatakan dalam batas normal.

Inspeksi

Pemeriksaan dengan cara melihat objek yang diperiksa disebut inspeksi. Inspeksi
merupakan fase awal pemeriksaan yang sangat penting untuk mendapatkan informasi tentang
gejala penyakit. Inspeksi yang berkaitan dengan sistem pernapasan adalah observasi dada,
bentuknya simetris atau tidak, gerak dada, pola napas, frekuensi napas, irama, apakah
terdapat ekshalasi yang panjang (sighing), apakah terdapat penggunaan otot pernapasan
tambahan, gerak paradoks, retraksi antara iga, retraksi di atas klavikula, apakah terdapat parut
luka yang kemungkinan bekas operasi. Penghitungan frekuensi napas jangan diketahui oleh
pasien karena akan mengubah pola napasnya. Lakukan penghitungan frekuensi napas seolah-
olah seperti menghitung frekuensi detak nadi.3

Palpasi

Palpasi dimulai dengan memeriksa telapak tangan dan jari, leher, dada, dan abdomen.
Tekanan vena jugularis diperlukan untuk mengetahui tekanan pada atrium kanan.
Pemeriksaan leher bertujuan untuk menentukan apakah trakea tetap di tengah atau bergeser
dari tempatnya, apakah terdapat penonjolan nodus limfa. Pemeriksaan palpasi dada akan
memberikan informasi tentang penonjolan di dinding dada, nyeri tekan, gerakan pernapasan
yang simetris atau asimetris, derajat ekspansi dada, dan untuk menentukan tactile vocal
fremitus. Pemeriksaan gerak dada dilakukan dengan cara meletakkan kedua telapak tangan
secara simetris pada punggung. Kedua ibu jari diletakkan di samping linea vertebralis dengan
jarak yang sama. Pasien diminta untuk melakukan inspirasi dalam. Jika gerak dada simetris,
jarak ibu jari kanan dan kiri terhadap linea vertebralis akan berbeda. Sisi ulnar telapak tangan
diletakkan dengan ringan pada dinding dada kemudian pasien diminta untuk mengucapkan
kata ninety nine (bukan sembilan puluh sembilan) atau tujuh puluh tujuh.3

Perkusi

Pengetukan dada (perkusi) akan menghasilkan vibrasi pada dinding dada dan organ
paru di bawahnya yang akan dipantulkan dan diterima oleh pendengaran pemeriksa. Nada
dan kerasnya bunyi tergantung pada kuatnya perkusi dan sifat organ di bawah lokasi perkusi.
Perkusi di atas organ yang padat atau organ yang berisi cairan akan menimbulkan bunyi
dengan amplitudo rendah dan frekuensi tinggi yang disebut suara pekak (dull, stony dul).
Perkusi di atas organ yang berisi udara akan menimbulkan bunyi resonansi, hiperresonansi
dan timpani.3

Auskultasi

Auskultasi adalah mendengarkan suara yang berasal dari dalam tubuh dengan cara
menempelkan telinga ke dekat sumber bunyi atau agar lebih mudah dengan menggunakan
stetoskop. Stetoskop mempunyai tiga ujung yaitu satu ujung kepala yang diletakkan di atas
kulit dada atau perut dan dua ujung yang lain ditempelkan di lubang telinga pemeriksa.
Auskultasi dilakukan mulai dari leher, dada, dan kemudian abdomen. Urutan melakukan
auskultasi sebaiknya sistemik. Untuk keperluan ini dinding dada anterior dibagi menjadi
enam (6) lobus sedangkan punggung posterior dibagi menjadi dua belas (12) lobus.3
Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat kita lakukan pada penyakit pernafasan dapat
berupa foto toraks,analisis gas darah, uji fungsi paru, pemeriksaan endoskopi, pemeriksaan
sputum dan biopsy paru. Tetapi dalam scenario ini pentingnya untuk mengambil pemeriksaan
penunjang yang lebih mengarah pada diagnosis kerja.4

Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan


radiologi.Dapat kita lakukan biakan kuman pada stadium awal penyakit dari sediaan hapusan
nasofaringeal atau sekeret hasil aspirasi. Kemudian dapat kita lakukan PCR dan deteksi asam
nukleat yang merupakan pemeriksaan sensitive dan spesifik di laboratorium. Dapat juga kita
lakukan pemeriksaan darah legkap. Dalam scenario didapat leukositosis dan limfositosis.4

Differential Diagnosis

Bronkiolitis

Merupakan istilah yang dipakai pada mengi ( wheezing ) yang terjadi pertama kali
akibat infeksi saluran nafas. Hal yang khas adalah didapatkan inflamasi respiratori dan
terjadinya obstruksi respiratori akibat pembengkakan pada bronkiolus.sebagian besar terjadi
pada bayi dan dapat mengancam jiwa. Gejala klinis awal berupa batuk, coryza dan rinorea.
Kemudia dilanjutkan dengan suara yang terdengar parau dan mengi diikuti oleh demam rigan
dan gelisah akibat usaha napas yang menigkat. Selama fase mengi, perkusi dada umumnya
hipersonor tetapi pada auskultasi ditemukan mengi yang merata dan ronki kasar selama siklus
nafas. Pada pemeriksaan lab didapatkan leukositosis ringan.4

Laringitis

Kelompok yang dikenal dengan istilah “croup”. Mempunyai gejala klinis “barking
cough” merupakan batuk keras dengan suara seperti “kong..kong..” ,terdpat serak karena
dekat dengan pita suara, dan terdapat stridor inpirator. Masih dibagi dalam beberapa jenis
seperti laryngitis akut biasanya menyerang anak besar, laringotrakeitis akut yang menyerang
anak usia 1-3 tahun dan bacterial trakeitis menyerang berbagai usia umumnya 1-2 tahun.
Pemeriksaan laboratorium yaitu hitung leukosit umumnya normal.4
Working Diagnosis

Pertusis merupakan infeksi saluran respiratorik akut yang disebabkan oleh Bordetella
pertusis yang dapat mengenai setiap individu yang rentan. Dengan gejala awal ditandai oleh
batu terus menerus berakhir dengan disertai suara keras (whop) dan kemudian muntah. Nama
lain yang kita kenal dari pertusis adalah batuk rejan. Pertusis harus dicurigai pada setiap
individu yang mempunyai keluhan batuk murni atau dominan, termasuk jika yang berikut ini
tidak ada: demam, malaise, atau mialgia, eksantema dan enantema, nyeri tenggorok, parau,
takipnea, mengi dan ronki. Apnea atau sianosis (sebelum adanya batuk) merupakan kunci
pada bayi sebelum 3 bulan.1,4

Manisfestasi klinis

Pertusi merupakan sindrom yang terjadi pada anak yang berusia 1-10 tahun. Sindrom
pertusis terbagi menjadi 3 stadium yaitu stadium kataral, paroksismal dan stadium kovalesen.
Stadium kataral berlangsung sekitar 1-2 minggu dengan gejala yang tidak khas seperti
demam ringan atau tidak demam, hidung tersumbat, pilek, bersin, stadium ini merupakan
stadium yang sangat infeksius. Stadium paroksismal dapat berlangsung selama 2-4 minggu
merupakan stadium yang paling khas dari pertusis. Batuk terjadi saat ekspirasi sehingga pada
anak kecil tidak sempat bernapas dan menjadi sesak. Karakteristik batuk ini terjadi untuk
membebaskan sumbatan akibat jaringan nekrotik epitel bronkial dan mucus yang kental.
Tekanan inhalasi pada glottis mengalami penyempitan setelah terjadinya batuk sehingga
menghasilkan bunyi yang khas “ whop “. Setelah itu seringkali terjadi mntah pasca batuk.1,4

Stadium konvalesen ditandai perbaikan klinis secara bertahap selama 1-2 minggu,
batuk menjadi lebih ringan, batuk paroksismal mulai hilang perlahan. Walaupun batuk telah
sembuh tetap saja batuk dapatterjadi selama berbulan-bulan, terutama bila stress fisis ataupu
iritasi pada saluran pernapasan. Pada bayi umumnya tidak terlihat gejala klasik pertusis,
tetapi tanda klinis yang umum terjadi berupa apnea. Pada bayi kecil jarag terjadi batuk whoop
tetapi dapat terjadi gangguan system saraf pusat akibat hipoksia. Sebagian remaja terjadi
pertusis karena dari gejala bronchitis yang memanjang, serta tidak ada bunyi “whoop” saat
batuk walaupun batuk paroksismal cukup berat. 1,4

Anak yang di imunisasi mengalami semua pemendekan stadium pertusis. Pada saat
serangan biasa terjadi muka merah kebiruan, sianosis, lakrimasi. Pemeriksaan fisik biasanya
tidak informatif. Tanda-tanda penyakit saluran pernapasan bawah tidak diharapkan. 1,4
Etiologi

Sindrom pertusis paling sering disebabkan oleh Bordetella pertusis dengan gambaran
klasiknya adalah whooping cough syndrome. Bordetella pertussis merupakan bakteri pendek
pleomorfik, gram negatif, kokobasil menyerupai Haemophilus influenza. Dengan pewarnaan
toluidin biru, dapat dilihat granula bipolar metakromatik, terdapat simpai. Isolasi primer
Bordetella pertussis memerlukan perbenihan yang diperkaya. Dapat digunakan perbenihan
Bordet-Gengou (agar kentag-darah-gliserol) yang mengandung penisilin G 0,5 µg/mL; tetapi
perbenihan yang mengandung arang seperti yang digunakan untuk Legionella pneumophila
lebih disukai. Lempeng dieramkan pada suhu 35-37°C selama 3-7 hari dalam tempat lembab
(misalnya dalam kantung plastik tertutup). Bakteri batang kecil sedikit gram negatif,
diidentifikasi oleh pewarnaan imunofloresensi.5

Bakteri ini aerob murni dan membentuk asam tetapi tidak membentuk gas dari
glukosa dan laktosa. Bakteri ini tidak memerlukan faktor X dan V pada biakan selanjutnya.
Hemolisis pada perbenihan yang mengandung darah dihubungkan dengan Bordetella
pertussis yang virulen. Bila diisolasi dari penderita dan dibiak pada perbenihan yang
diperkaya, Bordetella pertussis berada dalam stadium hemolisis dan stadium pertusis virulen
penghasil toksin. Terdapat dua mekanisme bagi Bordetella pertussis untuk berganti menjadi
bentuk yang nonhemolitik, dan bentuk tidak virulen yang tidak menghasilkan toksin.
Modulasi fenotipik yang reversibel terjadi bila Bordetella pertussis tumbuh dalam kondisi
lingkungan tertentu (misalnya suhu 28°C melawan suhu 37°C, adanya MgSO4, dan lain-lain).
Berbagai stadium yang reversibel mengikuti peristiwa mutasi frekwensi-rendah pada lokus
genetik yang mengendalikan ekspresi faktor-faktor virulensi. Mungkin mekanisme ini
memainkan peranan penting pada proses infeksi, tetapi hal ini belum dapat diperlihatkan
secara klinik.5

Epidemiologi

Rata-rata inkubasi kuman ini adalah 6 hari. Dengan stadium awal yang sangat
infeksius. Kejadian pertusis tiap tahunnya mencapai 100 -200 kasus per 100.000 populasi
pada era sebelum vaksinasi dilakukan dan sampai saat ini ditemukan cukup tinggi di negara
berkembang. Di Amerika dilaporkan pertusis meningkat sejak tahun 1980, sebanyak 15.000
kasus dilaporkan pada tahun 2006. Di Amerika sering terjadi pada usia < 4 bulan dimana
masih terlalu muda untuk imunisasi lengkap dan gejala kerap mengalami komplikasi. Ketika
cakupan vaksinasi rendah maka kasus pertusis akan meningkat hal ini telah dibuktikan di
Inggris pada tahun 1970-an dan Jepang pada saat vaksinasi pertama kali dilakukan.1,4

Pada Indonesia sendiri pada kasus pertusis dari 30.000 kasus ( 1990-2011 ) turun
drastis menjadi 1941 kasus ( 2013 ). Hal ini merupakan keberhasilan dari program imunisasi
di Indonesia, Tetapi, masih ada sekitar 22 juta bayi di dunia yang belum mendapat imunisasi lengkap
dan sebesar 9,5 juta adalah di wilayah Asia Tenggara atau South East Asian Region, termasuk di
dalamnya anak-anak Indonesia.6

Patogenesis

Penularan terjadi melalui droplet pada epitel tractus respiratorius. Dimulai dengan
perlekatan Bordetella pertusis pada silia kemudian akan terjadi multiplikasi dan selanjutnya
menyebar ke permukaan sel epitel tractus respiratorius. Bakteri tersebut akan membentuk
toksin ( pertusis toksin ) dan selanjutnya akan berikatan dengan reseptor sel target sehingga
terjadi hambatan migrasi pada sel imun ke daerah infeksi. Toksin tersebut akan menyebabkan
kerusakan jaringan traktus respiratorius sehingga terjadi gangguan fungsi silia atau dapat
terjadi kelumpuhan yang menyebabkan gangguan aliran secret yaitu mucus meningkat.
Mucus plug dapat menyebabkan obstruksi dan kolaps pada paru sehingga terjadi hipoksemia
dan anoksia selanjutnya menimbulkan gejala sistemik. 1,4

Penatalaksanaan

Pada pertusis dapat kita berikan eritromisin, klaritromisin, atau azitromisin dapat
diberikan pada bayi kurang dari 1 bulan . Obat alternative lain yaitu thrimethoprim –
sulfamethoxazole 6-8 mg/kgBB/hari oral, 2 dosis ( maks. 1 gram ) kontra indikasi usia < 2
bulan. Untuk dosis eritromisin 40-50 mg/kgBB/hari oral, 4 dosis ( maks. 2 gram ) selama 14
hari. Dosis Azitromisin 10mg/kgBB/ hari dosis tunggal selam 5 hari. Dosis Klaritromisin 15
mg/kgBB/hari dibagi 2 ( terbaru) selama 7 hari ( mahal ). 1,4

Terapi suportif seperti pemberian cairan, terapi oksigen ( utnuk anak dengan distres
pernapasan agar saturasi O2 dipertahankan dalam batas normal), terapi nutrisi semua
dilakukan apabila dibutuhkan. Kemudian lakukan pengobatan kontak yaitu apabila terdapat
disalah satu anggota keluarga yang mengalami pertusis dan sebagai agen penyebar. 1,4

Komplikasi dan Prognosis


Komplikasi yang sering terjadi pada bayi dan anak kecil utamanya adalah hipoksia,
apnea, pneumonia, kejang, enselopati, dan malnutrisi. Komplikasi yang paling sering terjadi
adalah pneumonia akibat Bordetella pertusis sendiri ataupun hasil dari infeksi sekunder.
Atelektasis terjadi akibat adanya sumbatan mucus. Batuk paroksismal dengan tekanan dapat
mengakibatan terjadinya pneumomediastinum, pneumotoraks atau emfisema intersritial.
Otitis media dan sinusitis juga dapat terjadi.4

Sebagian besar anak dapat membaik, ketika mengalami perbaikan epitel dan fungsi
paru normal setelah sembuh. Pada anak yang lebih muda dapat terjadi kematian akibat
pertusis oleh karena itu membutuhkan rawat inap dibandingkan anak yang lebih tua. 4

Pencegahan

Imunisasi DPT

Imunisasi DPT (diphteria, pertussis, tetanus) merupakan imunisasi yang digunakan


untuk mencegah terjadinya penyakit difteri, pertusis, dan tetanus. Vaksin DPT ini merupakan
vaksin yang mengandung racun kuman diffteri yang telah dihilangkan sifat racunnya, namun
masih dapat merangsang pembentukan zat anti (toksoid). Frekuensi pemberian imunisasi
DPT, diberikan pada usia > 6 minggu, yaitu pada bulan ke 2, 3, 4 secara terpisah atau secara
kombinasi dengan Hepatitis B atau HiB. Booster DPT diberikan pada usia 18 bulan dan 5
tahun. 4

Pemberian pertama zat anti terbentuk masih sangat sedikit (tahap pengenalan)
terhadap vaksin dan mengaktifkan organ-organ tubuh membuat zat anti. Pada pemberian
kedua dan ketiga terbentuk zat anti yang cukup. Imunisasi DPT diberikan melalui
intramuskular. Pemberian DPT dapat berefek samping ringan ataupun berat. Efek ringan
misalnya terjadi pembengkakan, nyeri pada tempat penyuntikan, dan demam. Efek berat
misalnya terjadi meningitis hebat, kesakitan kurang lebih empat jam, kesadaran menurun,
terjadi kejang, ensefalopati, dan syok. Upaya pencegahan penyakit difteri, pertusis, dan
tetanus perlu dilakukan sejak dini melalui imunisasi karena penyakit tersebut sangat cepat
serta dapat meningkatkan kematian bayi dan anak balita.7

Hasil penelitian Muchlastriningsih (2005) menunjukan bahwa jumlah kasus differi


rawat jalan di Indonesia selama 3 tahun paling banyak dari golongan usia 15-44 tahun
(47,42%). Pasien pertusis yang dirawat inap paling banyak dari kalangan bayi dan anak-anak
(60,28% dari seluruh pasien rawat inap). Hal ini mendukung pendapat bahwa bayi dan anak-
anak merupakan golongan usia yang rentan terhadap penyakit pertusis. Pasien tetanus yang
dirawat inap paling banyak dari goongan usia di atas 45 tahun (44,16%).7

Kesimpulan

Dari anamnesis, pemeriksaan fisik, gejala-gejala klinis yang disampaikan maupun


diperiksa dapat disimpulkan pasien tersebut menderita penyakit pertussis. Pertusis adalah.
Pertusis merupakan infeksi saluran respiratorik akut yang disebabkan oleh Bordetella pertusis
yang dapat mengenai setiap individu yang rentan. Prevalensi di seluruh dunia sekarang
berkurang hanya karena imunisasi aktif. Jadi imunisasi lengkap sejak dini sangatlah penting.
Daftar pustaka

1. Long Sarah S. Pertusis. Croup. Dalam: Behrman, Kliegman & Arvin, Nelson. Nelson
textbook of pediatrics. Cetakan ke-I. Ed.15. Jakarta: EGC; 2000.
2. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, penyunting. Buku ajar
ilmu penyakit dalam. Jakarta: InternaPublishing; 2009.
3. Djojodibroto Darmanto R. Manifestasi klinis dan pemeriksaan fisik. Dalam:
Respirologi (respiratory medicine). Cetakan ke-1. Jakarta: EGC; 2009
4. Marcdante KJ, Kliegman RM, Jenson HB, Behrman RE. Nelson: Ilmu keseatan anak
esensial. Edisi 6. Jakarta: SAUNDERS ELSEVIER; 2011.
5. Jawetz Ernest, Melnick Joseph, Adelberg Edward. Bordetella. Dalam: Mikrobiologi
kedokteran. Edisi 25. Jakarta: EGC; 2013.
6. Lindungi dunia anda dapatkan vaksinasi, diunduh dari
http://www.depkes.go.id/article/print/2293/lindungi-dunia-anda-dapatkan-vaksinasi-
.html pada tanggal 12 juli 2018.
7. Hidayat Alimul Aziz A. Imunisasi. Dalam: Ilmu kesehatan anak. Cetakan ke-1.
Jakarta: Salemba Medika; 2008.

Anda mungkin juga menyukai