Anda di halaman 1dari 7

Definisi dan Kekerapan Istilah tuli sensorineural mendadak pertama kali

dikemukakan oleh De Klevn pada tahun 1944. De Klevn memberi definisi tuli
sensorineural mendadak sebagai tuli sensorineural minimal 30 dB yang terjadi
secara mendadak dalam waktu kurang dari 72 jam, minimal terjadi pada tiga
frekuensi yang berurutan. Gangguan pendengaran yang terjadi bervariasi dalam
intensitas dan frekuensi. Tuli sensorineural mendadak merupakan suatu gejala dan
biasanya terjadi unilateral. Kerusakan terutama di koklea dan biasanya bersifat
permanen.1-4,5,9 Insiden tuli sensorineural mendadak 5-20 kasus per 100.000
orang per tahun Di Amerika setiap tahunnya terdapat 4.000 kasus baru tuli
sensorineural mendadak. Berdasarkan survei kesehatan indera penglihatan dan
pendengaran yang dilaksanakan di Indonesia pada tahun 1994-1996 menunjukkan,
bahwa prevalensi tuli sensorineural mendadak sebesar 0,2%. RSUD dr. Soetomo,
Surabaya didapatkan 127 kasus tuli sensorineural mendadak selama periode tahun
2005 hingga tahun 2009. Sedangkan di RSAL dr. Ramelan Surabaya terdapat 179
kasus tuli sensorineural mendadak selama periode tahun 2005 hingga tahun 2009.
Di RSUP Sanglah didapatkan 45 kasus tuli sensorineural mendadak selama 5
periode Maret 2008 – Maret 2012. Tuli sensorineural mendadak terjadi pada usia
puncak 50-60 tahun dengan distribusi jenis kelamin yang sama antara Modul I.X –
Injeksi Kortikosteroid Intratimpanik 13 laki-laki dan perempuan. Gejala vestibuler
yang sering menyertai adalah tinitus sebesar 85% dan vertigo tipe vesibuler perifer
sebesar 30%.3,5,6 Etiologi dan Patogenesis Etiologi tuli sensorineural mendadak
sangat bervariasi karena sistem auditori merupakan sistem yang kompleks dan
bergantung pada fungsi yang normal dari telinga tengah, koklea dan saraf pusat.
Selain itu pendengaran juga dipengaruhi oleh sistem metabolisme, vaskular dan
sistem endokrin. Beberapa penyebab tuli sensorineural mendadak diantaranya
adalah infeksi virus seperti labirinitis kokleovestibularis, meningoensefalitis virus;
neoplasma seperti pada neuroma akustik; ruptur membran koklea yang dapat terjadi
karena trauma kepala, paska stapekdektomi; oklusi vaskular yang terjadi karena
trombus atau emboli pada arteri labirin atau koklea; autoimun dan idiopatik.
Penyebab pasti tuli sensorineural mendadak hanya ditemukan pada 10-15% kasus,
sebagian besar penyebabnya tidak diketahui.5,8,10,11 Patogenesis terjadinya tuli
sensorineural mendadak didasarkan pada empat teori, yaitu: teori ruptur membran
koklea, teori infeksi virus, teori oklusi vaskular, teori autoimun. Teori ruptur membran
koklea mengatakan bahwa mekanisme gangguan fungsi koklea terjadi sebagai
akibat adanya distorsi mekanik membran koklea dan tercampurnya cairan
intrakoklea yang akan menyebabkan kerusakan jaringan dan penurunan potensial
endokoklea. Ruptur ini dapat terjadi melalui jalur eksplosif dan jalur implosif.
Sedangkan teori vaskular mengemukakan bahwa penyebab terjadinya tuli
sensorineural mendadak adalah iskemia organ ujung. Koklea merupakan organ
yang sangat sensitif terhadap anoksia, bila terjadi anoksia selama 60 detik sudah
terjadi perubahan potensial listrik endokoklear dan hilangnya cochlear microphonic.
Teori infeksi virus dikemukakan para ahli karena diduga tuli sensorineural mendadak
terjadi karena adanya invasi virus pada cairan dan atau pada mukosa koklea atau
invasi terhadap persarafan koklea Diasumsikan bahwa virus mencapai telinga dalam
melalui peredaran darah. Selain 6 itu karena reaktivasi virus yang dorman pada
jaringan telinga dalam. Dan terakhir adalah teori autoimun, beberapa penelitian
menyebutkan bahwa tuli senosrineural mendadak pada pasien systemic lupus
erythematous atau SLE menunjukkan adanya fibrosis di koklea, atropi organ Corti
dan stria vaskularis serta degenerasi serabut saraf retrokoklea.1,3,4,5,9,10,12.
Modul I.X – Injeksi Kortikosteroid Intratimpanik 14 Diagnosis Diagnosis tuli
sensorineural mendadak ditegakkan berdasarkan pada anamnesis, pemeriksaan
fisik dan THT, audiometri nada murni, pemeriksaan penunjang lainnya. Pada
anamnesis didapatkan keluhan pasien penurunan pendengaran secara tiba-tiba,
dalam beberapa jam-hari, biasanya unilateral. Selain itu juga disertai dengan
keluhan tinitus dan vertigo tipe vestibuler perifer. Riwayat penyakit terdahulu perlu
ditanyakan terutama penyakit yang dapat bertindak sebagai faktor resiko serta
riwayat penggunaan obat-obatan yang bersifat ototoksik perlu diketahui.1-3 . Pada
pemeriksaan fisik dan THT untuk kasus tuli sensorineural mendadak tidak
didapatkan kelainan pada kanalis akustikus eksterna dan membran timpani. Melalui
pemeriksaan tes penala didapatkan hasil Rinne positif, Weber lateralisasi ke arah
telinga yang sehat dan Swabach memendek. Pada pemeriksaan audiometri nada
murni didapatkan kelainan tuli sensorineural derajat ringan sampai berat baik pada
frekuensi rendah, sedang, tinggi atau pada seluruh frekuensi. Pemeriksaan
penunjang perlu dikerjakan untuk dapat menyingkirkan setiap kemungkinan
penyebab tuli sensorineural mendadak. Pemeriksaan laboratorium dilakukan
berdasarkan riwayat penyakit dan kecurigaan diagnosis seperti contohnya
pemeriksaan darah lengkap, gula darah, profil lipid, faal hemostasis, Rontgen dada,
EKG atau elektrokardiografi. Pemeriksaan penunjang seperti Gadolinium-enhanced
magnetic resonance imaging pada tulang temporal dan otak dapat dikerjakan pada
tuli sensorineural mendadak untuk mendeteksi kelainan retrokoklea.3 7
Penatalaksanaan Pengobatan tuli sensorineural mendadak seharusnya diberikan
berdasarkan penyebabnya, akan tetapi karena sebagian besar kasus tuli
sensorineural mendadak idiopatik sehingga pengobatan dilakukan secara empiris.
Kortikosteroid sistemik sering digunakan dalam terapi tuli sensorineural mendadak
dan sering digunakan sebagai terapi awal. Aksi spesifik dari steroid belum diketahui
secara pasti namun bermanfaat pada kasus-kasus infeksi, Modul I.X – Injeksi
Kortikosteroid Intratimpanik 15 inflamasi dan reaksi imunologik. Pemberian
kortikosteroid sistemik disarankan diberikan segera setelah diagnosis tuli
sensorineural mendadak. Periode jendela pemberian kortikosteroid adalah 2 minggu
setelah munculnya keluhan. Kortikosteroid yang dapat digunakan adalah prednison
dengan dosis 1 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 60 mg/hari atau metilprednisolon
dengan dosis 48 mg/hari atau deksametason dengan dosis 10 mg/hari.
Kortikosteroid diberikan selama 7-14 hari kemudian dilakukan tappering-off dengan
jangka waktu yang sama. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa perbaikan
pendengaran akan nampak hingga 6 minggu setelah onset tuli sensorineural
mendadak.3 Wilson dkk13 pada tahun 1980 dalam penelitiannya mengamati dua
kelompok penderita tuli sensoerineural mendadak yang diberikan steroid dan
plasebo. Didapatkan hasil dari pengukuran audiometri pada minggu ke-4 dan bulan
ke-3 setelah onset, jumlah penderita yang mengalami perbaikan pendengaran pada
kelompok yang mendapatkan steroid lebih banyak dibandingkan kelompok yang
hanya mendapat plasebo atau 61% berbanding dengan 32%. Efek samping dari
pemberian kortikosteroid sistemik ini adalah peningkatan gula darah,peningkatan
tekanan darah, peningkatan berat badan, insomnia, nyeri ulu hati. Oleh karena efek
samping ini maka pemberian kortikosteroid sistemik ini tidak dapat diberikan pada
penderita diabetes yang tidak terkontrol atau penderita diabetes tergantung insulin,
penderita hipertensi yang tidak stabil, penderita ulkus peptik, penderita tuberkulosis.
Alexander dkk14, 2009 mengemukakan bahwa dosis tinggi steroid, prednison 30
mg/hari dapat diberikan hingga 22 minggu pada tuli sensorineural mendadak karena
autoimun. 8 Selain kortikosteroid sistemik juga digunakan obat antivirus karena
salah satu penyebab terjadinya tuli sensorineural mendadak diduga karena infeksi
virus. Oleh karena obat ini cenderung tidak memiliki efek samping yang merugikan,
banyak praktisi secara rutin mengobati pasien tuli sensorineural mendadak dengan
obat antivirus. Nechama dkk12, 2003 menyimpulkan bahwa penggunaan asiklovir
sebagai tambahan terapi pada tuli sensorineural mendadak tidak memberikan
dampak pada perbaikan pendengaran. Tucci dkk15, 2000 juga menyimpulkan
bahwa pemberian valsiklovir sebagai tambahan terapi pada tuli sensorineural
mendadak juga tidak didapatkan perbedaan perbaikan pendengaran signifikan.
Conlin dan Parnes16, 2007 dalam meta-analisanya menyimpulkan bahwa tidak
Modul I.X – Injeksi Kortikosteroid Intratimpanik 16 didapatkan perbedaan signifikan
pada penggunaan obat antivirus sebagai terapi tambahan pada tuli sensorineural
mendadak. Penggunaan karbogen disebutkan juga sebagai salah terapi tuli
sensorineural mendadak. Fisch dkk17 memperlihatkan bahwa pada penderita tuli
sensorineural mendadak terdapat penurunan tekanan oksigen perilimfe sebesar
30% dan dengan penggunaan carbogen dapat meningkatkan tekanan oksigen
perilimfe hingga 175%. Selain karbogen juga terdapat prostaglandin E1 yang
berperan dalam vasodilatasi dan sebagai inhibitor agregasi platelet. Ekstrak ginkgo
biloba yang mengandung flavones dan terpenes berfungsi sebagai anti oksidan. Dan
juga pentoksifilin yang berfungsi meningkatkan fleksibilitas eritrosit dan leukosit,
menurunkan viskositas darah terutama pada kapiler dan memberikan efek
antiedema, anti-hipoksia. Demikian pula dengan penggunaan dekstran yang mampu
memperbaiki mikrosirkulasi dengan efek anti-trombotiknya. Para ahli juga
menganjurkan untuk tirah baring sempurna selama 2 minggu untuk mengurangi
stres, diit rendah garam dan rendah kolesterol.1,3 Selain terapi medikamentosa juga
dikenal terapi oksigen hiperbarik. Terapi oksigen hiperbarik pada kasus tuli
sensorineural mendadak pertama kali digunakan pada pekerja-pekerja di Jerman
dan Perancis pada tahun 1960. Sejak saat itu banyak studi dilakukan untuk
mengamati kegunaan terapi oksigen hiperbarik pada kasus tuli sensorineural
mendadak. Plafki dkk18, 2010 melaporkan bahwa sebanyak 45% pasien yang
menjalani terapi oksigen hiperbarik mengalami keluhan penyesuaian tekanan atau
ekualisasi. Stachler dkk3 , 2012 melaporkan bahwa terdapat 91 studi yang
menggunakan terapi oksigen hiperbarik. Disimpulkan bahwa sekitar 50% penderita
mengalami perbaikan yang signifikan melalui terapi oksigen hiperbarik, rata-rata
penderita mendapatkan 5-10 sesi terapi oksigen hiperbarik. Dan perbaikan
pendengaran akan lebih baik bila terapi oksigen hiperbarik dimulai sebelum 2
minggu setelah onset. Tetapi penggunaaan terapi oksigen hiperbarik juga memiliki
efek samping dan kekurangan, yakni gangguan pada telinga, sinus paranasal, paru-
paru akibat perubahan tekanan, klaustrofobia, besarnya biaya setiap sesi terapi,
waktu yang lama yang dibutuhkan setiap sesi dan ketersediaan fasilitas oksigen
hiperbarik di setiap pusat kesehatan.3,16 Modul I.X – Injeksi Kortikosteroid
Intratimpanik 17 Kortikosteroid intratimpani Penggunaan kortikosteroid intratimpani
pada kasus tuli sensorineural mendadak pertama kali dilakukan oleh Silverstein,
1996. Silverstein melakukan injeksi kortikosteroid intratimpani pada 8 pasien dengan
deksametason sebanyak 3 kali per minggu selama 4 minggu. Dan menyimpulkan
terdapat perbaikan pendengaran rata-rata > 10 dB. Ide dasar penggunaan steroid
intratimpani yakni memberi obat dengan konsentrasi tinggi langsung menuju pada
organ target dengan mengurangi paparan secara sistemik. Penggunaan steroid
intratimpani sebagai terapi primer tanpa steroid sistemik mulanya digunakan pada
pasien yang tidak dapat menggunakan steroid sistemik seperti pasien hipertensi dan
diabetes melitus tidak terkontrol atau tergantung insulin. AAO-HNS 2012
memberikan rekomendasi pemberian kortikosteroid intratimpani pada kasus tuli
sensorineural mendadak sebagai terapi awalan maupun sebagai terapi
penyelamatan atau salvage therapy setelah terapi awalan gagal atau terdapat
perbaikan pendengaran yang tidak utuh setelah terapi awalan diberikan.2,3
Penelitian yang dilakukan Parnes dkk20, 1999 menunjukkan kadar steroid di telinga
dalam lebih tinggi pada pemberian dengan jalur intratimpani dibandingkan
pemberian kortikosteroid melalui jalur sistemik. Diperkirakan mekanisme kerja
kortikosteroid pada telinga dalam yaitu meningkatkan 10 mikrovaskularisasi koklea
dan menghalangi respon inflamasi di telinga dalam. Zernotti dkk 21, 2008 melakukan
studi kasus retrospektif pada 18 orang pasien dimana semuanya diberikan terapi
injeksi deksametason intratimpani sebanyak 1 ml atau 4 mg/ml setiap minggu
selama tiga minggu. Diperoleh hasil pemulihan pendengaran yang memuaskan pada
13 pasien atau sebesar 72 % dengan rerata perbaikan sebesar 25 dB. Raymundo
dkk 22, 2010 melakukan studi prospektif pada 14 pasien yang diberikan injeksi
metilprednisolon intratimpani setelah gagal diterapi dengan steroid sistemik.
Sebelumnya telah diberikan steroid per oral pada 64 pasien dengan metilprednisolon
1 mg/kgBB/hari selama sepuluh hari dan dilanjutkan tappering-off. Namun pada 14
pasien tidak mengalami perbaikan. Kemudian dilanjutkan dengan pemberian injeksi
metilprednisolon intratimpani 40 mg/ml sebanyak 0,3 hingga 0,5 ml. Dan didapatkan
perbaikan pendengaran pada 10 pasien atau sebesar 71,4% dengan rerata
perbaikan pendengaran sebesar 20 dB.3,20 Halpin dkk19, 2012 melakukan studi
prospektif yang membandingkan pemberian prednison oral sebesar 60 mg/hari
selama dua minggu dengan Modul I.X – Injeksi Kortikosteroid Intratimpanik 18
tappering off pada hari kelima pada 121 pasien dengan pemberian metilprednisolon
secara intratimpani sebesar 40 mg/ml selama selama dua minggu pada 129 pasien.
Setelah dua bulan terapi, perbaikan pendengaran pada frekuensi rendah diperoleh
pada kedua kelompok. Berdasarkan panduan AAO-HNS 20123 terdapat beberapa
pilihan kortikosteroid yang dapat digunakan dalam injeksi intratimpani yakni
deksametason 10 mg/ml atau metilprednisolon 30mg/ml. Dengan dosis 0,4-0,8ml
setiap 3 hingga 7 hari sebanyak 3-4 kali sesi injeksi. Membran timpani kuadran
anterosuperior dilakukan parasintesa sebagai ventilasi dan injeksi kortikosteroid
dilakukan pada kuadran posteroinferior. Penderita diminta tetap berada dalam posisi
supinasi 30-45º selama 15-30 menit paska injeksi kortikosteroid. Spears dkk, 2011
menyimpulkan bahwa injeksi kortikosteroid intratimpani sebagai terapi primer pada
tuli sensorineural mendadak memiliki efek yang sama seperti pada pemberian
kortikosteroid oral dosis tinggi. Lim Jin dkk, 2012 dalam studi mereka melaporkan
bahwa tidak didapatkan perbedaan signifikan pada pemberian kortikosteroid
sistemik tunggal, kortikosteroid intratimpani maupun gabungan keduanya. Ng dkk4
pada September 2014 melaporkan hasil meta-analisis mereka setelah menganalisa
184 studi diperoleh kesimpulan terdapat perbaikan pendengaran yang signifikan
melalui injeksi kortikosteroid intratimpani dan penggunaan deksametason memiliki
keluaran atau outcome yang lebih baik dibandingkan dengan metil prednisolon.
Terdapat beberapa keuntungan menggunakan steroid intratimpani yaitu dapat
dilakukan pada pasien rawat jalan, prosedur dapat ditoleransi dengan baik dan relatif
mudah untuk dilakukan, menggunakan anastesi lokal, relatif tidak nyeri, dapat
digunakan pada pasien yang kontraindikasi terhadap pemberian kortikosteroid
seperti pada penderita diabetes, supresi imun, TBC dan pemberian kortikosteroid
intratimpani mampu mencapai konsentrasi tinggi pada telinga yang sakit dan efek
sampingnya jarang. Meskipun komplikasi jarang ditemukan, namun dapat terjadi
perforasi membran timpani, nyeri, otitis media, vertigo temporer dan kehilan gan
pendengaran. Suzuki dkk23, 2012 dalam penelitiannya membandingkan efikasi
antara terapi oksigen hiperbarik dan injeksi kortikosteroid intratimpani pada pasien
tuli sensorineural mendadak melaporkan bahwa injeksi kortikosteroid intratimpani
memiliki tingkat pemulihan pendengaran yang lebih tinggi dibanding terapi oksigen
hiperbarik, 79,4% berbanding 68,4%. Di mana pada kelompok yang mendapat terapi
injeksi kortikosteroid intratimpani jumlah pasien yang memperoleh pemulihan tingkat
pendengaran lebih besar, 81/102 Modul I.X – Injeksi Kortikosteroid Intratimpanik 19
pasien dibandingkan pada kelompok yang mendapat terapi oksigen hiperbarik,
119/174 pasien. Suzuki dkk23, 2012 dalam penelitiannya membuat kriteria
pemulihan pendengaran dan telah disetujui oleh dewan Universitas Kesehatan
Lingkungan dan Kerja Jepang. Suzuki membagi dalam 4 kelompok yaitu kelompok
yang mengalami pemulihan komplit atau total dimana tingkat pendengaran kembali
kembali pada 20 dB di 250, 500, 1.000, 2.000 dan 4.000 Hz, atau setara dengan
telinga kontralateral yang tidak terpengaruh, kelompok berikutnya adalah kelompok
dengan pemulihan baik dimana peningkatan tingkat pendengaran ≥ 30 dB, kelompok
pemulihan sedang dimana peningkatan tingkat pendengaran antara 10 dB hingga 30
dB dan kelompok yang tidak ada perubahan atau memburuk : peningkatan tingkat
pendengaran < 10 dB. Sedangkan Kallinen dkk 25, 1997 menyarankan evaluasi
fungsi pendengaran dilakukan setiap minggu selama satu bulan. Kallinen dkk
membagi pemulihan pendengaran dalam 4 kategori dimana kategori sangat baik
terdapat perbaikan pendengaran > 30 dB pada 5 frekuensi, kategori sembuh apabila
perbaikan ambang pendengaran < 30 dB pada 4 frekuensi (250 Hz, 500 Hz, 1000
Hz, 2000 Hz) dan < 25 dB pada frekuensi 4000 Hz, kategori baik dimana didapatkan
rerata perbaikan pendengaran 10-30 dB pada 5 frekuensi dan kategori tidak ada
perbaikan dimana didapatkan perbaikan pendengaran

Anda mungkin juga menyukai