Anda di halaman 1dari 15

BAB 2.

KONSEP DASAR PENYAKIT

2.1 Pengertian
Anemia adalah istilah yang menunjukkan rendahnya hitung sel darah
merah dan kadar hemoglobin dan hematocrit di bawah nilai normal. Anemia
bukan merupakan penyakit, melainkan merupakan pencerminan keadaan suatu
penyakit atau gangguan fungsi tubuh.Secara fisiologis, anemia terjadi apabila
terdapat kekurangan jumlah hemoglobin untuk mengangkut oksigen ke jaringan.
Terdapat berbagai macam anemia.Sebagian akibat produksi dari sel darah
merah tidak mencukupi, dan sebagian lagi akibat sel darah merah premature atau
penghancuran sel darah merah yang berlebihan.Faktor penyebab lainnya meliputi
kehilangan darah, kekurangan nutrisi, factor keturunan, dan penyakt
kronis.Anemia kekurangan besi adalah anemia yang terbanyak di seluruh dunia.
(Brunner & Suddarth).
Seseorang dikatakan menderita anemia apabila konsentrasi hemoglobin
pada orang tersebut lebih rendah dari nilai normal hemoglobin yang sesuai dengan
jenis kelamin dan umur dari orang tersebut. Oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO:
World Health Organization) telah ditetapkan batasan anemia yaitu untuk wanita
apabila konsentrasi hemoglobinnya di bawah 12 gr/dL (7,5 mmol/L) dan untuk
pria apabila konsentrasi hemoglobinnya di bawah 13 gr /dL (8,1 mmol / L).
(Leonardo, 2002).

2.2 Etiologi

Anemia disebabkan oleh berbagai jenis penyakit, namun semua kerusakan


tersebut secara signifikan akan mengurangi banyaknya oksigen yang tersedia
untuk jaringan. Menurut Brunner dan Suddart (2001), beberapa penyebab anemia
secara umum antara lain :
a. Secara fisiologis anemia terjadi bila terdapat kekurangan jumlah
hemoglobin untuk mengangkut oksigen ke jaringan.
b. Akibat dari sel darah merah yang prematur atau penghancuran sel darah
merah yang berlebihan.
c. Produksi sel darah merah yang tidak mencukupi.
d. Faktor lain meliputi kehilangan darah, kekurangan nutrisi, faktor
keturunan, penyakit kronis dan kekurangan zat besi.
Menurut burton (1990) Penyebab anemia adalah kurangnya memiliki cukup
tenaga atau energi karena sel-sel darah merah tidak mampu membawa oksigen ke
seluruh tubuh. Sel-sel darah merah ini mungkin tidak memiliki cukup
hemoglobin, yakni protein yang memberikan warna merah pada darah Anda.
Selain itu pula yang menjadi penyebab anemia lainnya adalah:
a. Defisiensi Zat Besi
Makanan yang rendah zat besi dapat menyebabkan anemia. Zat besi yang
berasal dari sayuran dan suplemen tidak diserap baik seperti halnya zat
besi dalam daging merah. Masalah pencernaan seperti penyakit Crohn,
Celiac, atau bahkan akibat menjalani operasi bypass pada lambung juga
dapat mengganggu penyerapan zat besi.
b. Defisiensi Vitamin B12 dan asam folat
Mengkonsumsi makanan yang mengandung vitamin B12 dan asam folat
diperlukan untuk pembentukan sel darah merah. Sekitar 20% wanita,
50% wanita hamil dan 3% pria mengalami kekurangan zat besi.
Seseorang yang tidak mengkonsumsi daging (vegetarian) dapat
menyebabkan kekurangan vitamin B12, jenis vitamin yang hanya ditemui
pada makanan hewani (daging, ikan, telur, susu). Di kalangan non
vegetarian, hampir tidak ada yang kekurangan vitamin ini karena
cadangannya cukup untuk produksi sel darah sampai lima tahun. Asam
folat tersedia pada banyak makanan, namun terutama terdapat di hati dan
sayuran hijau mentah. Seorang vegetarian tentu akan menghindari untuk
mengkonsumsi daging. Hal ini yang menyebabkan mereka kekurangan
vitamin B12, seperti yang diketahui bahwa vitamin B12 merupakan salah
satu komponen pembentuk sel darah merah yang hanya ditemui dalam
bahan makanan hewani seperti daging, ayam dan ikan. Pada orang non
vegetarian tidak ditemui yang mengalami kekurangan vitamin B12,
karena di dalam tubuh seseorang non vegetarian terdapat cukup cadangan
vitamin B12 untuk 5 tahun mendatang.
c. Penyakit Kronis
Penyakit kronis atau infeksi dapat menyebabkan tubuh memproduksi lebih
sedikit sel-sel darah merah. Hal ini dapat mengakibatkan penurunan ringan
dalam hemoglobin. Jika mengalami kehilangan darah, maka dapat
mengalami anemia.
d. Kehilangan Banyak Darah
Kehilangan banyak darah ini biasanya diakibatkan menstruasi berat, bisul,
luka, atau operasi. Menstruasi yang berlebihan juga merupakan salah satu
penyebab terjadinya anemia pada kaum wanita. Wanita yang sedang
menstruasi rawan terkena anemia karena kekurangan zat besi bila darah
menstruasinya banyak dan tidak memiliki cukup persediaan zat besi. Pada
saat mentruasi, wanita dianjurkan mengkonsumsi makanan yang
mengandung zat besi dan kadar gizi tinggi seperti bayam dan susu agar
asupan gisinya terpenuhi.
e. Kelainan Darah
Kelainan darah ini dipicu karena adanya kelainan bawaan seperti
Thalassemia yang dapat mempengaruhi produksi sel darah merah dalam
tubuh, sickle cell anemia (anemia sel sabit) merupakan kelainan bawaan di
mana tubuh menghasilkan bentuk abnormal hemoglobin yang
menyebabkan sel-sel darah merah berubah bentuk dari bulat berbentuk
sabit dan terjebak bersama-sama. Kelainan-kelainan bawaan ini
menyebabkan sel darah merah sulit melewati pembuluh darah, sehingga
menyebabkan rasa sakit dan kerusakan jaringan pada tubuh.
f. Kehamilan
Ibu hami juga bisa menjadi penyebab anemia karena janin ikut menyerap
zat gizi dari makanan yang dikonsumsi ibu. Sehingga ibu mengalami
kekurangan darah pada tubuhnya.

g. Obat
Obat-obatan tertensu seperti aspirin, pil KB, Anti Inflamasi dapat
menghambat penyerapan zat besi dalam lambung sehingga menyebabkan
timbulnya penyakit anemia.

2.3 Epidemiologi
Perkiraan prevalensi anemia di Indonesia menurut Husaini,dkk.
Kelompok Populasi Angka Prevalensi
1. Anak prasekolah 30-40%
2. Anak Usia Sekolah 25-35%
3. Dewasa Tidak Hamil 30-40%
4. Hamil 50-70%
5. Laki-laki dewasa 20-30%
6. Pekerja berpenghasilan 30-40%
rendah
Tabel Prevalensi Anemia di Indonesia
Catatan : Untuk angka prevalensi anemia di dunia sangat bervariasi,
bergantung pada geografi dan taraf sosial ekonomi masyarakat.

Tingginya prevalensi penyakit menular di seluruh dunia dan prevalensi


tinggi.gangguan inflamasi dan ganas di negara-negara industri menunjukkan
bahwa Anemia Penyakit Kronis (ACD) adalah bentuk paling umum kedua atau
ketiga anemia setelah anemia defisiensi besi (ADB) dan thalassemia. Meskipun
prevalensi defisiensi zat besi di negara-negara industri yang cepat menurun, ACD
diperkirakan akan meningkat, sebagai proporsi dari orang tua dalam
meningkatkan populasi.
2.4 Klasifikasi
Menurut Smeltzer (2001), Anemia dapat diklasifikasikan menjadi 2
klasifikasi berdasarkan pendekatan fisiologis, yaitu:
1. Anemia Hipoprolifertif
Anemia Hipoproliferatif disebabkan oleh defek produksi sel darah merah. Pada
anemia ini sel darah merah biasanya bertahan dalam jangka waktu yang panjang
atau normal tetapi sumsum tulang tidak mampu menghasilkan jumlah sel yang
adekuat sehingga menyebabkan jumah retikulosit yang menurun. Hal ini dapat
diakibatkan oleh kerusakan sumsum tulang akibat obat, kurangnya hemopoetin,
atau zat yang membantu meningkatkan produksi sel darah merah. Berikut ini
adalah jenis dari anemia hipproliferatif:
a. Anemia Aplastik, disebabkan oleh penurunan sel perkusor dalam sumsum
tulang dan penggantian sumsum tulang dengan lemak, dapat terjadi secara
kongenital, didapat maupun idiopatik. Infeksi saat kehamilan juga dapat
menyebabkan anemia ini, selain itu obat-obatan seperti antimikrobial,
antikejang, antitiroid, OHO, antihistamin, analgetik, sedative,
phenotiazine, insektisida, dan logam berat juga dapat menyebabkan
anmeia ini
b. Anemia pada penyakit ginjal, disebabkan oleh menurunnya ketahanan
hidup sel darah merah maupun defisiensi eritropoetin. Pada pasien dengan
hemodialisis jangka panjang juga dapat terjadi anemia ini karena defisiensi
besi dan folat yang terbuang saat dialisat
c. Anemia penyakit kronis, disebabkan oleh beberapa penyakit inflamasi
kronis seperti artritis reumatoid, abses paru, osteomielitis, TBC, dan
berbagai keganasan yang menyebankan anemia jenis normositik
normokromik, yang mana sel darah merah dengan ukuran dan warna yang
normal. Anemia yang terjadi bersifat ringan dan tidak progresif
d. Anemia defisiensi besi, keadaan dimana kandungan besi tubuh total turun
dibawah tingkat normal, yang mana besi dbutuhkan untuk sintesa
eritropoetin. Defisiens besi dapat disebabkan oleh perdarahan, dan
malabsorbsi dari zat besi.
e. Anemia Megaloblastik, disebabkan oleh defisiensi vitamin B12 dan asam
folat menunjukan perubahan yang sama pada sumsum tulang dan darah
tepi karena kedua vitamin tersebut esensial bagi sintesis DNA normal.
Pada berbagai kasus terjadi hiperplasia sumsum tulang, dan perkusor
eritroid dan mieloid besar, beberapa mengalami multineukleasi, tetapi
beberapa sel mati dalam sumsum tulang, sehingga jumlah sel matang yang
meninggalkan sumsum tulang menjadi sediit sehingga terjadi pansitopenia
atau defisiensi semua elemen darah.
2. Anemia hemolitika
pada hemofilia hemolitika, eritrosit memiki rentang usia yang memendek.
Sumsum tulang biasanyamampu mengkompensasi sebagian dengan memproduksi
sel darah merah baru tiga kali atau ebih dibanding kecepatan normal. Padahasil
pemeriksaan labolatorium biasanya akan ditemukan jumlah retikulosit meningkat,
fraksi bilirubin indirek meningkat, hepatoglobin (protein yang mengikat
hemoglobin bebas) biasanya rendah. Anemia hemolitika dibagi menjadi 2 yaitu:
1) Anemia hemolitika turunan
a) Sferositosis turunan
Sferositosis turunan merupakan suatu anemia hemolitika ditandai
dengan sel darah merah kecil berbentuk sferis dan pembesaran limpa
(splenomegali).
b) Anemia sel sabit
Anemia sel sabit adalah anemia hemolitika berat akibat adanya defek
pada molekul hemoglobin dan disertai dengan serangan nyeri.
hemoglobin sabit mempunyai sifat baru karena mempunyai bentuk
seperti kristal bila terpajan tekanan oksigen rendah. apabila sel yang
terpajan dengan hemoglobin S (sel sabit) akan rusak, kaku, dan
berbentuk sabit saat bersikulasi di dalam vena. hal tersebut akan
menyebabkan perlambatan aliran darah balik dandapat terjadi
hemolisis dan trombosis. apabila terjadi iskemia, pasien dapat
mengalami nyeri, demam, dan pembengkakan. pada pasien biasanya
terdapat ikterik pada sklera, sumsum tulang membesar, dan diikuti
pembesaan tulang wajah dan kepala.
c) Hemoglobinopati
(1) Hemoglobin C
Pasien dengan hemoglobin C tidak bergejala dan penyakit C
homozigot merupakan anemia hemolitik ringan dengan
splenomegai tanpa disertai komplikasi serius.
(2) Talasemia
Talasemia merupakansekelompok kelainan turunan yang
berhubungan dengna defek sintesis rantai hemoglobin. Talasemia
ditandai dengan penurunan kadar hemoglobin abnormal dalam
eritrosit (hipokromia), eritrosit dengan ukuran lebih kecil dari
nrmal (mikrositosis), kerusakan elemen darah (hemolisis)
danbermacamtingkat anemia.
(3) Defisiensi gluosa 6 fosfat dehidrogenase
Abnormalitas kelainan ini terdapat pada G 6 PD, suatu enzim di
dalam sel darah merah yang esensial untuk stabilitas membaran.
Beberapa pasien mendapat enzim herediter yang abnormal
sehingga mengalami anemia hemolitika kronik, yaitu hemolisis
terjadi apabila sel draah merah mengalami stres akibat demam atau
pemberian obat tertentu.
2) Anemia hemolitika didapat
Terdapat berbagai macam anemia hemolitik didapat, termasuk
hemogobinuria nokturnal paroksismal, anemia hemolitik imun, anemia
hemolitika mikroangiopati hemolisis katup jantung, dan anemia sel spur.
Sedangkan, menurut Oehadian, 2012, berdasarkan pendekatan morfologi, anemia
diklasifikasikan menjadi 3 yaitu:
1. Anemia mikrositik
Anemia mikrositik merupakan anemia dengan karakteristik sel darah
merah yang kecil (MCV kurang dari 80 fL). Anemia mikrositik biasanya disertai
penurunan hemoglobin dalam eritrosit. Dengan penurunan MCH (Mean
Concentration Hemoglobin) dan MCV, akan didapatkan gambaran mikrositik
hipokrom pada apusan darah tepi. Penyebab anemia mikrositik hipokrom adalah
berkurangnya Fe: anemia defisiensi Fe, anemia penyakit kronis/anemia infl amasi,
defisiensi tembaga, berkurangnya sintesis hemoglobin akibat keracunan logam,
anemia sideroblastik kongenital dan didapat. Berkurangnya sintesis globin akibat
talasemia dan hemoglobinopati.

Gambar 1.1 Anemia Mikrositik

2. Anemia makrositik
Anemia makrositik merupakan anemia dengan karakteristik MCV di atas
100 fL. Anemia makrositik dapat disebabkan oleh peningkatan retikulosit,
peningkatan MCV merupakan karakteristik normal retikulosit. Semua keadaan
yang menyebabkan peningkatan retikulosit akan memberikan gambaran
peningkatan MCV, metabolisme abnormal asam nukleat pada prekursor sel darah
merah (defisiensi folat atau cobalamin, obat-obat yang mengganggu sintesa asam
nukleat: zidovudine, hidroksiurea), gangguan maturasi sel darah merah (sindrom
mielodisplasia, leukemia akut), penggunaan alkohol, penyakit hati,
hipotiroidisme.
Gambar 1.2 Anemia makrositik

3. Anemia normositik
Anemia normositik adalah anemia dengan MCV normal (antara 80-100
fL). Keadaan ini dapat disebabkan oleh anemia pada penyakit ginjal kronik,
sindrom anemia kardiorenal akibat anemia, gagal jantung, dan penyakit ginjal
kronik, anemia hemolitik, anemia hemolitik karena kelainan intrinsik sel darah
merah, kelainan membran (sferositosis herediter), kelainan enzim (defisiensi
G6PD), kelainan hemoglobin (penyakit sickle cell), anemia hemolitik karena
kelainan ekstrinsik sel darah merah ( imun, autoimun (obat, virus, berhubungan
dengan kelainan limfoid, idiopatik), alloimun (reaksi transfusi akut dan lambat,
anemia hemolitik neonatal), mikroangiopati (purpura trombositopenia trombotik,
sindrom hemolitik uremik), infeksi (malaria), dan zat kimia (bisa ular).

Gambar 1.2 Anemia Normositik

2.5 Tanda dan Gejala


1. Gejala Umum
Gejala umum anemia disebut juga sebagai sindrom anemia. Gejala ini timbul
pada semua jenis anemia pada kadar hemoglobin yang sudah turun pada titik
tertentu, gejala ini muncul karena anoksia organ target dan mekanisme
kompensasi tubuh terhadap penurunan hemoglobin. Gejala tersebut dapat
diklasifikasikan menurut organ yang terkena sebagai berikut (Handayani,):
a. Sistem kardiovaskuler: lesu, cepat lelah, palpitasi, takikardi, sesak napas
saat beraktivitas, angina pektoris, dan gagal jantung
b. Sistem saraf: sakit kepala, pusing, telinga mendenging, mata berkunang-
kunang, kelemahan otot, iritabilitas, lesu, dan perasaan dingin pada
ekstremitas
c. Sistem urogenital: gangguan haid dan libido menurun
d. Epitel: warna pucat pada kulit dan mukosa, elastisitas kulit menurun, serta
rambut tipis dan halus
2. Gejala khas masing-masing anemia
Gejala khas yang dapat muncul berdasarkan jenis anemia adalah:
a. Anemia defisiensi besi: disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis angularis
b. Anemia defisisensi asam folat: lidah merah (buffy tongue)
c. Anemia hemolitik: ikterus dan hepatosplenomegali
d. Anemia aplastik: Perdarahan kulit atau mukosa dan tanda-tanda infeksi
(Handayani,2008 )
3. Gejala akibat penyakit dasar
Gejala yang muncul adalah gejala yang diakibatkan oleh penyakit yang
mendasari penyakit anemia tersebut. Menurut Oehadian (2012) Gejala klinis
anemia dapat disebabkan oleh 2 faktor yaitu :
a. Berkurangnya pasokan oksigen ke jaringan, gejala yang dapat muncul
merupakan gejala umum dari anemia atau sindrom anemia.
b. Adanya hipovolemia (pada penderita dengan perdarahan akut dan masif).
Anemia yang disebabkan perdarahan akut berhubungan dengan
komplikasi berkurangnya volume intraseluler dan ekstraseluler. Keadaan
ini menimbulkan gejala mudah lelah, lassitude (tidak bertenaga), dan kram
otot. Gejala dapat berlanjut menjadi postural dizzines, letargi, sinkop; pada
keadaan berat, dapat terjadi hipotensi persisten, syok, dan kematian.
2.6 Patofisiologi
Anemia merupakan kondisi yang kebanyakan dicetuskan oleh kelainan
susmsum tulang atau kehilangan sel darah merah yang berlebihan. Kelainan
sumsum tulang dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti agen neoplastik,
radiasi, infeksi virus, penyakit sistem imun dan gagal ginjal. Agen neoplastik,
radiasi dan infeksi virus akan mengaktifkan respon humoral/ selular. Namun, jika
terjadi hambatan pada respon tersebut akan mengakibatkan gangguan sel induk di
sumsum tulang. Akibatnya produksi eritrosit tidak menurun dan mengakibatkan
pansitopenia. Kondisi inilah yang selanjutnya disebut sebagai anemia aplastik.
Sedangkan beberapa penyakit seperti gagal ginjal dan gangguan sistem fagositik
juga berpengaruh pada terjadinya anemia. Gagal ginjal mengakibatkan defisiensi
eritropoetin sehingga sel darah merah berusia pendek. Akibatnya, produksi
eritrosit semakin menurun. Sedangkan gangguan sistem fagositik mengakibatkan
penghancuran eritrosit terlalu dini, eritrosit tidak sempurna dan mudah pecah,
akibatnya terjadilah anemia karena banyak pecahnya eritrosit (hemolisis). Satu
penyebab anemia yang satu lagi adalah perdaraan massif. Hal ini mengakibatkan
banyak hilangnya komponen darah, termasuk eritsotit sehingga pasien menjadi
anemia.
Anemia yang telah terjadi akan berimplikasi pada banyak hal. Pada awal
terjadinya anemia, akan sangat terlihat penurunan jumlah eritrosit. Dimana dalam
eritrost terhadap hemoglobin yang mengikat oksigen (okshemoglbin). Sehingga
dengan menurunnya jumlah eritrosit, otomatis jumlah O2 ke sel dan jaringan pun
menjadi turun. Hal ini mengakibatkan tubuh harus mengkompensasi kekurangan
tersebut dengan memompa jantung lebih keras. Dengan demikian, lama-kelamaan
beban jantung semakin meningkat. Hal ini akan mengakibatkan jantung
kepayahan dan berefek pada penurunan volume darah yang di pompanya (COP).
Sedangkan kurangnya O2 ke jaringan juga menyebabkan hipoksia pada jaringan
tersebut dan merangsang saraf sipatik. Akibatnya terjadilah beberapa mekanisme
kompensasi yang antara lain:
a. Aliran darah ke gastrointestinal menurun: hal ini mengakibatkan
menurunnya gerakan peristaltic. Lalu terjadilah regurgitasi dan
menyebabkan mual mntah pada psaien. Akibat haltersebut paien akan
mengalami penurunan nafsu makan.
b. Suplai O2 ke jaringan inadekuat: hal ini mengakibatkan tidak efektifnya
perfusidarah ke jaringan. Selain itu, kurangnya suplai O2 juga
mengakibatkan terjadinya penumpukan asam laktat yang menyebabkan
kelmahan atau nyeri pada jaingan yang terkena, misalnya otot dan otak.
c. Turunnya vaskularisasi darah ke otak: hal ini mengakibatkan penurunan
daya konsentrasi dan lemahnya daya berpikir. Jika hal ini terus diabaikan
maka apasien akan beresiko mengalami kerusakan kognitif yang
permanen.
d. Depresi medulla oblongata: medulla oblongata merupakan pusat pengatur
pernapasan. Apabila bagian ini terdepresi akibat kurangnya vaskularisasi
otak, terjadilah hiperventlasi dan mengakibatkan prubahan pola napas.
e. Menurunnya vaskularisasi ke optikal: hal ini mengakibatkan penurunan
daya lihat. Sehingga pasien lebih beresiko mengalami jauh atau injury.

2.7 Komplikasi dan Prognosis


Komplikasi umum pada anak anemia meliputi gagal jantung, parestesia dan
kejang. Pada setiap tingkat anemia, pasien dengan penyakit jantung cenderung
lebih besar kemungkinannya mengalami angina atau gejala gagal jantung
kongestif daripada anak yang tidak memiliki penyakit jantung. Pada anak, infeksi
sering terjadi dan dapat berlangsung fatal. Kematian mendadak dapat terjadi
karena krisis sekuestrasi dimana terjadi pooling sel darah merah ke RES dan
kompartemen vaskular sehingga hematokrit mendadak menurun. Pada orang
dewasa menurunnya faal paru dan ginjal dapat berlangsung progresif.

2.8 Pengobatan
Secara umum, pengobatan anemia disesuaikan dengan jenis dan penyebab
anemia itu sendiri. Adapun pengobatan berdasarkan jenis anemia yang dapat
dilakukan adalah sebagai berikut:
a. Anemia aplastik
Berikan transfusi darah “Packed cell”, bila diberikan trombosit berikan darah
segar / platelet concentrate. Jika terdapay komplikasi infeksi berikan antibiotik
dan jaga hygiene yang baik. Untuk anemia yang disebabkan logam berat dapat
diberikan BAC (Britis Antilewisite Dimercaprol). Prednison (2-5 mg/kg BB/hari
per oral) dan testoteron (1-2 mg/kg BB/hari secara parenteral). Jika terdapat
kerusakan sumsum tulang, pertimbangkan perlunya dilakukan transplantasi
sumsusm tulang.
b. Anemia defisisiensi zat besi
Berikan garam-garam sederhana per oral (misal: sulfat, glukonat, fumarat). Jika
anak sangat anemis dengan Hb di bawah 4 gm/dl diberi 2-3 ml/kg packed cell,
jika terjadi gagal jantung kongestif maka pemberian modifikasi transfusi tukar
packed eritrosis yang segar, dapat pula diberi furosemid.
c. Anemia hemolitik
Pengobatan tergantung dari penyakit dasarnya, splenoktomi merupakan tindakan
yang harus dilakukan terjadi sferositosis konginital, hipersplenisme. Berikan
kortikosteroid pada anemia hemolisis autoimum, transfusi darah dapat diberikan
jika keadaan berat.

2.9 Pencegahan
Sayuran berwarna hijau gelap seperti bayam dan kangkung, buncis,
Mencegah penyakit ini dapat mengkonsumsi beberapa asupan penting yang
mudah didapat diantaranya, zat besi juga dapat ditemukan pada kacang polong,
serta kacang-kacangan. Dilanjutkan dengan mengonsumsi makanan bergizi
seimbang dengan asupan zat besi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh.
Zat besi dapat diperoleh dengan cara mengonsumsi daging (terutama daging
merah) seperti sapi. Perlu kita perhatikan bahwa zat besi yang terdapat pada
daging lebih mudah diserap tubuh daripada zat besi pada sayuran atau pada
makanan olahan seperti sereal yang diperkuat dengan zat besi.
2.10 Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik pada anemia adalah:
1. Jumlah darah lengkap (JDL) di bawah normal (hemoglobin, hematokrit
dan SDM).
2. Feritin dan kadar besi serum rendah pada anemia defisiensi besi.
3. Kadar B12 serum rendah pada anemia pernisiosa.
4. Tes Comb direk positif menandakan anemia hemolitik autoimun.
5. Hemoglobin elektroforesis mengidentifikasi tipe hemoglobin abnormal
pada penyakit sel sabit.
6. Tes schilling digunakan untuk mendiagnosa defisiensi vitamin B12
(Engram, 1999:430)

2.11 Hubungan Pajanan Pestisida dengan Kadar Hemoglobin


Kandungan sulfur yang tinggi dalam pestisida menimbulkan ikatan
sulfhemoglobin, hal ini menyebabkan hemoglobin menjadi tidak normal dan
tidak dapat menjalankan fungsinya dalam menghantarkan oksigen.
Sulfhemoglobin merupakan bentuk hemoglobin yang berikatan dengan atom
sulfur didalamnya. Kejadian anemia dapat terjadi pada penderita keracunan
organofosfat dan karbamat karena terbentuknya sulfhemoglobin dan
methemoglobin di dalam sel darah merah yang menyebabkan penurunan
kadar hemoglobin sehingga terjadi hemolitik anemia. Hemolitik anemia yang
terjadi akibat kontak dengan pestisida disebabkan karena terjadinya kecacatan
enzimatik pada sel darah merah dan jumlah zat toksik yang masuk ke dalam
tubuh.
Penelitian di Desa Sumber Rejo Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang
dari 68 responden 88,24% petani yang menggunakan dosis pestisida tidak
sesuai anjuran, 64,71% melakukan praktik pencampuran pestisida. Pada saat
penyemprotan petani yang tidak memperhatikan arah angin sebanyak 72%.
Hasil pemeriksaan kholinesterase darah petani di dapat 76,47% tergolong
keracunan pestisida serta 60,29% petani mengalami anemia yang ditunjukkan
dengan hasil pengukuran kadar Hb darah kurang dari 13gr/%.
Dapus : Runia, Y.2008. Faktor Faktor Yang Berhubungan Dengan
Keracunan Pestisida Organofosfat, Karbamat dan Kejadian Anemia Pada
Petani Hortikultura Di Desa Tejosari Kecamatan Ngablak Kabupaten
Magelang.Universitas Diponegoro Semarang
https://core.ac.uk/download/pdf/11717243.pdf

Anda mungkin juga menyukai