Anda di halaman 1dari 18

BUDAYA PERILAKU KELUARGA BANYAK ANAK

DI SIDODADI KIJANG

MAKALAH

oleh

Kelompok 8

Refina Nur Astrityawati NIM 142310101010

Puspita Wati S. NIM 142310101028

Della Annisa Widayu P. NIM 142310101098

Wasi’ Putri Maghfiroh NIM 142310101128

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

UNIVERSITAS JEMBER

2016
BUDAYA PERILAKU KELUARGA BANYAK ANAK

DI SIDODADI KIJANG

MAKALAH

diajukansebagaipemenuhantugasterstruktur Transkultural

dengan dosen : Ns. LatifaAini S., M. Kep, Sp. Kom

oleh

Refina Nur Astrityawati NIM 142310101010

Puspita Wati S. NIM 142310101028

Della Annisa Widayu P. NIM 142310101098

Wasi’ Putri Maghfiroh NIM 142310101128

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

UNIVERSITAS JEMBER

2016
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Anak merupakan anugerah paling berharga yang diberikan Allah SWT


kepada setiap pasang suami-istri. Sebuah titipan dan amanah yang bisa menambah
sebuah keharmonisan serta kebahagiaan dalam keluarga. Setiap pasangan muda
yang baru menikah tentu mengharapkan akan hadirnya seorang anak, bahkan tidak
sedikit pasangan yang dengan sabar menanti kehadiran seorang anak hingga
bertahun-tahun walaupun juga sudah disertai dengan segala rupa usaha sampai
maksimal. Entah itu berobat ke dokter kandungan ataupun juga dengan
pengobatan alternatif. Bahkan bagi kalangan berduit, mereka sampai melakukan
pengobatan hingga ke luar negeri.

Dalam sebuah pernikahan, anak adalah pelengkap kebahagiaan dan


kesempurnaan. Terkecuali ada sebuah komitmen khusus dalam pernikahan untuk
tidak menginginkan anak karena alasan tertentu, namun hal tersebut sudah amat
jarang terjadi.

Ada sebuah pepatah kuno “Banyak Anak Banyak Rejeki”. Kalau dinalar
dengan logika, justru pengeluaran akan banyak seiring dengan jumlah anak yang
lebih banyak. Namun para tetua selalu percaya bahwa setiap anak itu memiliki
rejekinya masing-masing. Dengan harapan, nantinya semua anaknya akan menjadi
orang sukses, minimal punya pendapatan tetap dan mumpuni. Hidup mandiri,
syukur-syukur bisa membantu meringankan beban orang tua.
BAB 2. PEMBAHASAN

2.1 Pendahuluan

Transkultural Nursing adalah suatu area/wilayah keilmuwan budaya pada


proses belajar dan praktek keperawatan yang fokus memandang perbedaan dan
kesamaan diantara budaya dengan menghargai asuhan, sehat dan sakit didasarkan
pada nilai budaya manusia, kepercayaan dan tindakan, dan ilmu ini digunakan
untuk memberikan asuhan keperawatan khususnya budaya atau keutuhan budaya
kepada manusia (Leininger, 2002).

Teori ini menjabarkan konsep keperawatan yang didasari oleh pemahaman


tentang adanya perbedaan nilai-nilai kultural yang melekat dalam masyarakat.
Leininger beranggapan bahwa sangatlah penting memperhatikan keanekaragaman
budaya dan nilai-nilai dalam penerapan asuhan keperawatan kepada klien. Bila hal
tersebut diabaikan oleh perawat, makaakan mengakibatkan terjadinya cultural
shock yang akan menyebabkan munculnya rasa ketidaknyamanan,
ketidakberdayaan dan beberapa mengalami disorientasi.

Model konseptual yang dikembangkan oleh Leininger dalam menjelaskan


asuhan keperawatan dalam konteks budaya digambarkan dalam bentuk matahari
terbit (Sunrise Model) seperti yang terdapat pada gambar menyatakan bahwa
proses keperawatan ini digunakan oleh perawat sebagai landasan berfikir dan
memberikan solusi terhadap masalah klien (Andrew and Boyle, 1995).
Pengelolaan asuhan keperawatan dilaksanakan dari mulai tahap pengkajian,
diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.

2.2 Implikasi Asuhan Keperawatan

A. Pengkajian

Pengkajian dirancang berdasarkan 7 komponen yang ada pada “Sunrise Model”


yaitu :

 Pendidikan

Minimnya pendidikan formal yang mereka miliki, seperti tidak bersekolah.


Pendidikan non formal seperti pengetahuan dari lingkungan sekitar pun juga tidak
mereka temukan. Masyarakat yang berbudaya, diwariskan satu pengetahuan yang
menjadi landasan hidup mereka. Diyakini dan di jalankan serta diwariskan kepada
keturunan mereka, yaitu banyak anak banyak rezeki. Ada nilai-nilai dari budaya
mereka yang masih mereka yakini sebagi sesuatu yang mereka anggap benar.
Irasional merupakan gambaran serta fenomena yang terjadi pada masyarakat. Hal
ini juga berkaitan dengan pendidikan. Jika masyarakat berpendidikan dan
memiliki ilmu pengetahuan tentu pola pikir lama yang masih mempercayai tradisi
dan mitos sudah diketepikan.

 Falsafah Hidup dan Faktor Agama

Pada masyarakat suku Tionghoa, dalam hidup berkeluarga mereka


memang diharuskan untuk memiliki banyak anak karena menurut kepercayaan
budaya dan tradisi suku mereka, banyak anak akan membawa kebaikan dan
keberuntungan bagi keluarga mereka. Khususnya keluarga besar suku Tionghoa.
Dalam suku sunda, banyak anak akan membuat mereka tertolong dalam
kehidupannya, maksudnya adalah kelak jika anak sudah besar dan sudah bekerja
akan memberikan keuntungan dalam hidup orang tuanya. Pada suku jawa dan
bawean memang menyenangi banyak anak. Baik mereka dalam kehidupan kaya
maupun miskin. Karena menurut tradisi jawa banyak anak bisa terus menjaga
budaya dan tradisi suku mereka. Sedangkan suku padang alasan mereka memiliki
anak banyak adalah untuk status sosial. Masyarakat akan terus melahirkan anak-
anak mereka jika belum melahirkan seorang anak perempuan. Karena status sosial
tertinggi dalam masyarakat padang dipegang oleh perempuan (matrilineal). Inti
dari kepemilikan banyak anak merupakan trasidi dari orang tua. Pada masyarakat
suku Tionghoa, dalam hidup berkeluarga mereka memang diharuskan untuk
memiliki banyak anak karena menurut kepercayaan budaya dan tradisi suku
mereka, banyak anak akan membawa kebaikan dan keberuntungan bagi keluarga
mereka. Khususnya keluarga besar suku Tionghoa. Dalam suku sunda, banyak
anak akan membuat mereka tertolong dalam kehidupannya, maksudnya adalah
kelak jika anak sudah besar dan sudah bekerja akan memberikan keuntungan
dalam hidup orang tuanya.

 Faktor Nilai Budaya dan Gaya Hidup

Budaya dan tradisi telah membentuk pola pikir masyarakat sedemikian


rupa, sehingga sistem pengetahuan mereka lebih kepada menjalankan tradisi yang
sudah ada. Budaya dan tradisi telah membentuk pola pikir masyarakat sedemikian
rupa, sehingga sistem pengetahuan mereka lebih kepada menjalankan tradisi yang
sudah ada. Diyakini dan di jalankan serta diwariskan kepada keturunan mereka,
yaitu banyak anak banyak rezeki. Ada nilai-nilai dari budaya mereka yang masih
mereka yakini sebagi sesuatu yang mereka anggap benar.

 Faktor Kebijakan dan Peraturan yang berlaku

Ketika pemerintah masuk dengan membawa sebuah program yang


mengajak masyarakatnya untuk mengikuti Keluarga Berencana, dengan tujuan
mensejahterakan masyarakat dengan dua anak cukup. Ternyata masyarakat
sebelum itu sudah memiliki pengetahuan yang bertolak belakang dengan
pemerintah. Mereka meyakini bahwa perkataan orang tua mereka jauh lebih baik
jika dibandingkan dengan ajakan pemerintah yaitu mengenai program Keluarga
Berencana. Di sini ada nilai nilai budaya dan tradisi yang masih kental. Padahal
ajakan pemerintah untuk mengikuti program Keluarga Berencana merupakan
salah satu cara untuk mensejahterakan masyarakat Indonesia, namun mereka
masih tetap bertahan pada pendapat leluhur dan orang tua mereka.

 Faktor Ekonomi

Fenomena yang terjadi saat ini adalah masyarakat begitu menyakini bahwa
kepemilikan anak yang banyak akan berpengaruh pada perekonomian mereka.
Dengan kata lain banyak anak, banyak rezeki. Selain itu alasan tidak memiliki
kendaraan untuk menempuh jarak rumah sakit puskesmas atau praktek bidan juga
menjadi penghambat Keluarga Berencana bagi mereka. Mereka juga menyatakan
anak sudah banyak jadi tidak perlu mengikuti program Keluarga Berencana, biar
saja anak tetap lahir. Dan ada juga yang menyatakan bahwa orang tua mereka
menyarankan untuk memiliki banyak anak tanpa memberikan alasan yang cukup
jelas dikarenakan tradisi turun temurun keluarga. Namun banyak masyarakat yang
menjadikan ekonomi sebagai alasan utama terhadap ketidakikutsertaan mereka
terhadap Keluarga Berencana.

 Faktor Sosial dan Keterikatan Keluarga

Warga kampung Sidodadi adalah masyarakat yang hidup berkelompok


dengan stuktur sosial yang telah terbentuk dari budaya dan tradisi yang telah
mereka yakini sejak zaman orang tua mereka dulu. Masyarakat kampung Sidodadi
merupakan masyarakat yang majemuk. Terdiri dari beberapa macam suku
diantaranya adalah suku Jawa, Padang, Bawean, Tionghoa, Sunda, Melayu, dan
lain sebagainya. Namun suku yang paling dominan dikampung Sidodadi ini
adalah Jawa, Bawean, Padang dan Tionghoa. Hal ini dapat dilihat dari adanya
klompok-kelompok suku yang ada di sidodadi, seperti paguyuban suku Jawa,
Bawean, Padang atau Minang dan juga Tionghoa.

 Faktor Teknologi

Dalam hal ini sudah berperan untuk menggalakkan program Keluarga


Berencana untuk meminimalisir perilaku pola pikir masyarakat mengenai banyak
anak banyak rejeki,namun tidak serta merta merubah perilaku masyarakat yang
memang sudah menjadi budaya dan tradisi jika memiliki banyak anak maka akan
banyak rejeki.

B.Diagnosa

Terdapat tiga diagnosa keperawatan yang sering ditegakkan dalam asuhan


keperawatan transkultural yaitu :
1. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan perbedaan kultur
2. Gangguan interaksi sosial berhubungan disorientasi sosiokultural
3. Ketidakpatuhan dalam pengobatan berhubungan dengan sistem nilai yang
diyakini.

C. Intervensi dan Implementasi

Perencanaan dan pelaksanaan dalam keperawatan trnaskultural adalah


suatu proses keperawatan yang tidak dapat dipisahkan. Perencanaan adalah suatu
proses memilih strategi yang tepat dan pelaksanaan adalah melaksanakan tindakan
yang sesuai denganlatar belakang budaya klien (Giger and Davidhizar, 1995). Ada
tiga pedoman yang ditawarkan dalam keperawatan transkultural (Andrew and
Boyle, 1995) yaitu :
 Mempertahankan budaya yang dimiliki klien bila budaya klien tidak
bertentangan dengan kesehatan.
 Mengakomodasi budaya klien bila budaya klien kurang menguntungkan
kesehatan
 Merubah budaya klien bila budaya yang dimiliki klien bertentangan
dengan kesehatan.
Cultural care preservation/maintenance
1) Identifikasi perbedaan konsep antara klien dan perawat tentang perilaku
memiliki banyak anak yang dapat merugikan bagi individu itu sendiri.
2) Bersikap tenang dan tidak terburu-buru saat berinteraksi dengan klien.
Disini perawat dilarang melakukan judge terhadap perilaku pasien tentang
budayanya yang bebas.
3) Mendiskusikan kesenjangan budaya yang dimiliki klien dan perawat

Cultural care accomodation/negotiation


1) Gunakan bahasa yang mudah dipahami oleh klien
2) Libatkan keluarga dalam perencanaan perawatan. Keluarga bisa mengetahui
bahwa dampak dari memiliki banyak anak.
3) Apabila konflik tidak terselesaikan, lakukan negosiasi dimana kesepakatan
berdasarkan pengetahuan biomedis, pandangan klien dan standar etik

Cultural care repartening/reconstruction


1) Beri kesempatan pada klien untuk memahami informasi yang diberikan dan
melaksanakannya. Disini tentang dampak perilaku memiliki banyak anak
,tentang pendidikan kesehatan terhadap orang tua.
2) Tentukan tingkat perbedaan pasien melihat dirinya dari budaya kelompok
3) Gunakan pihak ketiga bila perlu
4) Terjemahkan terminologi gejala pasien ke dalam bahasa kesehatan yang
dapat dipahami oleh klien .
5) Berikan informasi pada klien tentang sistem pelayanan kesehatan.

D.Evaluasi
Evaluasi asuhan keperawatan transkultural dilakukan terhadap
keberhasilan klien tentang mempertahankan budaya yang sesuai dengan
kesehatan, mengurangi budaya klien yang tidak sesuai dengan kesehatan atau
beradaptasi dengan budaya baru yang mungkin sangat bertentangan dengan
budaya yang dimiliki klien. Melalui evaluasi dapat diketahui asuhan keperawatan
yang sesuai dengan latar belakang budaya klien.
Dari kasus tersebut masyarakat mampu mengubah presepsi tentang
dampak yang dapat ditimbulkan dari memiliki banyak anak terutama dampaknya
bagi kesehatan.

2.3 Hubungan Budaya dengan Kesehatan


Setelah melahirkan anak-anak, orang tua memiliki tanggung jawab moril
yang jauh lebih besar. Setiap orang tua harus paham betul bahwa anak dididik
sejak dari dalam kandungan sampai mencapai batas dewasa. Ada pula yang
mendefinisikan tanggung jawab terhadap anak terlepas dari orang tua setelah anak
tersebut membina keluarga. Masalah yang dihadapi seorang anak itu sangat
kompleks. Banyak anak tentu banyak masalah. Karena banyak kepala yang
menerima gunjingan maupun cemoohan dari lingkungan. Banyak kepala tentu
pula berbeda isinya. Satu anak terbuka. Anak lain mungkin akan tertutup. Satu
dua anak lebih mudah dipahami karena bisa diperhatikan dengan baik. Lebih dari
dua anak sudah sedikit kalut memahami apalagi saat tumbuh menjadi remaja
dalam pergaulan masa kini. Ada anak yang patuh saat diminta pulang sebelum
jam sepuluh malam. Ada pula anak yang menulikan telinga mereka.

Penelitian yang dilakukan oleh Centre for Strategic and International


Studies (CSIS) tahun 2014 menegaskan bahwa 85% remaja tinggal pada negara
dengan indeks kesejahteraan yang relatif rendah. Dengan indeks proyeksi jumlah
penduduk Indonesia tahun 2015 berada di angka 255,5 juta jiwa (Bappenas,
2013), Indonesia termasuk ke dalam penelitian dari CSIS tersebut.Pertumbuhan
penduduk Indonesia tidak bisa dibendung. Hari ini meninggal seorang saja, bisa
jadi pada menit yang sama lahir sepuluh yang lain. Belum lagi kasus seperti
problema keluarga, di mana seorang ibu menyembunyikan kehamilan karena
terlalu “banyak” anak atau berdekatan umur antara satu anak dengan anak lain.
Pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat karena kurangnya perencanaan
dalam keluarga membuat daya dukung tidak memadai. Saat usia produktif
melebihi usia tidak produktif maka lapangan kerja semakin menipis. Lapangan
kerja menipis maka taraf ekonomi dalam sebuah keluarga tidak meningkat
sedangkan anak terus dilahirkan dalam waktu tertentu.

Ukuran kebahagiaan dan kesejahteraan memang bukan pada banyak atau


sedikit uang. Namun uang sangat memengaruhi isi perut tiga kali sehari. Perut
kosong, pikiran sama sekali tak bisa diajak berpikir objektif dan konsentrasi
dalam belajar maupun bekerja. Kesejahteraan yang dimaksud CSIS secara
universal mencakup ranah pendidikan maupun kesehatan. Kesejahteraan itu hadir
dalam sebuah keluarga saat canda dan tawa membahana bahkan sampai
menganggu tetangga. Keluarga yang ramai tentu susah sekali mengatur sebuah
kata sejahtera. Sejahtera pada si sulung belum tentu dirasa oleh si bungsu. Setiap
anak mendefinisikan sejahtera sesuai keinginan mereka masing-masing.
Kesejahteraan paling utama adalah terhindar dari gizi buruk yang kian mencekam.
Lebih dari 17 ribu anak meninggal setiap hari akibat kekurangan gizi (Unicef,
2014). Di Indonesia, kekurangan gizi ini menjadi persoalan tersendiri. Dikutip
dari laman RRI, Deputi Koordinasi Peningkatan Kesehatan Kementerian
Koordinasi Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Rachmat Sentika
menjabarkan bahwa nyaris 24% balita di Indonesia mengalami kekurangan gizi
(5,4% di antaranya adalah penderita gizi buruk). Masalah gizi sangat erat
kaitannya dengan pemerataan kebutuhan pokok dalam keluarga. Keluarga yang
memiliki penghasilan tetap di atas rata-rata tentu tidak masalah dengan hal ini.
Keluarga yang tidak memiliki gaji tetap seperti jabaran keluarga di atas, kesulitan
demi kesulitan akan dirasa .Faktor utama kekurangan gizi, antara lain adalah
kesehatan, pangan, pendidikan, air bersih, dan kurangnya sosialisasi keluarga
berencana. Gizi buruk terjadi karena masyarakat masih bertahan dalam garis
kemiskinan. Tahun 2013, Bank Dunia mengkalkulasikan jumlah anak yang berada
di bawah garis kemiskinan mencapai angka 400 juta jiwa. Kemiskinan dengan
gizi buruk ialah dua hal yang saling berkaitan satu sama lain. Kemiskinan
mengakibatkan masyarakatnya kurang peka terhadap pengetahuan baru, kemudian
mudah melahirkan anak karena kehamilan tidak direncanakan.

Maka dari itu, dari permasalahan yang ada kita sebagai perawat harus
memberikan suatu pendekatan dan membantu sebuah keluarga agar mempunyai
rencana yang matang. Perencanaan yang dilakukan mencakup segala
aspek.Kehamilan yang direncanakan akan berimbas kepada pendidikan dan
kesehatan anak. Asupan gizi anak pun bisa dijaga jika selang waktu hamil dan
melahirkan berjarak minimal dua tahun.Orang tua harus mengetahui bahwa jarak
kelahiran kurang dari dua tahun, perhatian dan pengasuhan orang tua terhadap
anak tertua akan berkurang.Hal ini akan mempengaruhi kesehatan psikologis
seorang anak.Memang, sebagai orang tua kasih sayang langsung terbagi pada
anak yang baru lahir. Biasanya mengatur pola makan si kakak, setelah adiknya
lahir rutinitas ini akan sedikit demi sedikit berkurang. Kasih sayang pun demikian,
jika semula menimang-nimang si kakak tiap saat, begitu si adik lahir perhatian ini
perlahan-lahan terkurangi dengan sendirianya. Banyak persoalan muncul sehingga
sebuah keluarga dianjurkan untuk mengikuti program keluarga berencana. Orang
tua tidak hanya memperhatikan tumbuh-kembang seorang anak secara fisik
namun juga batin. Fisik anak bisa saja dilihat perkembangannya secara detail.
Batin anak belum tentu bisa dipahami dengan mudah. Pendidikan yang diberikan
orang tua kepada anaknya tidak membeda-bedakan antara si sulung dengan si
bungsu. Orang tua bersikap tegas pada perilaku semua anak. Orang tua
menenangkan dan mendukung maupun memotivasi anak dalam setiap kegiatan
mereka.
BAB 3. PENUTUP

Masyarakat merupakan makhluk yang memiliki keinginan untuk menyatu


dengan sesamanya serta alam lingkungan di sekitarnya. Dalam masyarakat akan
terbentuk struktur sosial yang terbentuk dalam kelompok-kelompok masyarakat.
Struktur Sosial adalah tatanan atau susunan sosial yang membentuk kelompok
kelompok social dalam suatu masyarakat.

Kebijakan ini dikeluarkan pemerintah bermaksud untuk mensejahterakan


masyarakatnya dengan opini dua anak lebih baik. Ada perbedaan pendapat dan
aturan di dalamnya. Banyak masyarakat yang tidak paham namun terus mengikuti
dan ada juga masyarakat yang paham namun sama sekali tidak mau mengikuti.
Hal ini dikarenakan budaya tradisi yang dibawa secara turun temurun oleh nenek
moyang jaman dahulu. Untuk itu diperlukan adanya bantuan dari tenaga
kesehatan untuk merubah cara pandang masyarakat agar tidak berdampak buruk
untuk kesejahteraan khususnya di bidang kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA

Andrew . M & Boyle. J.S, (1995), Transcultural Concepts in Nursing Care, 2nd
Ed,
Philadelphia:JB Lippincot Company.

Giger. J.J & Davidhizar. R.E, (1995), Transcultural Nursing : Assessment and
Intervention, 2nd Ed, Missouri :Mosby Year Book Inc.

Iyer. P.W, Taptich. B.J, & Bernochi-Losey. D, (1996), Nursing Process and
Nursing
Diagnosis, W.B Saunders Company, Philadelphia.

Leininger. M & McFarland. M.R, (2002), Transcultural Nursing : Concepts,


Theories, Research and Practice, 3rd Ed, USA:Mc-Graw Hill Companies.

Swasono. M.F, (1997), Kehamilan, kelahiran, Perawatan Ibu dan Bayi dalam
Konteks Budaya, Jakarta:UI Press.

Wilis, Sofyan S. 2008. “Remaja Dan Masalahnya”. Bandung: alfabeta

Jones,pip, 2010, Pengantar Teori-teori Sosial dari Teori Fungsionalisme hingga


Post-Modern, Jakarta, Yayasan Pustaka Obor Indonesia

Khairruddin,H.SS, 2008, Sosiologi Keluarga, Yogyakarta: Liberty,Yogyakarta

Kuntowijoyo, 2006, Budaya dan Masyarakat, Yogyakarta: Tiara Wacana


CONTOH SOAL

1. Ny dan Tn.Y tinggal di sebuah desa terpencil yang kumuh dengan lima
orang anak. Tn.Y adalah seorang pemulung,sedangkan sang istri adalah
seorang ibu rumah tangga. Keluarga Tn.Y merasa kebutuhan pokok
mereka sehari-hari belum tercukupi,akibatnya kelima anak mereka terlihat
kurus.Setelah dikaji,ternyata Tn dan Ny,Y tidak pernah sekolah dan
mereka sehingga mereka tidak mengetahui apa itu program Keluarga
Berencana.Menurut kasus diatas, faktor Leininger yang berperan adalah..
a. Faktor Agama
b. Pendidikan
c. Falsafah hidup
d. Kebijakan
e. Ekonomi
2. Bapak A adalah warga asli Betawi.Iya merupakan anak ke 4 dari 12
bersaudara.Saat ini Bapak A telah memiliki 9 orang anak. Menurut
keyakinan suku Betawi, semakin banyak anak akan menambah rejeki
mereka. Dari kasus diatas faktor Leininger yang berperan adalah..
a. Pendidikan
b. Faktor Teknologi
c. Faktor Sosial dan Keterikatan Keluarga
d. Faktor Kebijakan dan Peraturan yang berlaku
e. Faktor Nilai Budaya dan Gaya Hidup
3. Masyarakat suku Tionghoa, dalam hidup berkeluarga mereka memang
diharuskan untuk memiliki banyak anak karena menurut kepercayaan
budaya dan tradisi suku mereka, banyak anak akan membawa kebaikan
dan keberuntungan bagi keluarga mereka. Khususnya keluarga besar suku
Tionghoa.Dari kasus diatas faktor Leininger yang berperan adalah..
a. Falsafah Hidup dan Faktor Agama
b. Pendidikan
c. Teknologi
d. Ekonomi
e. Kebijakan dan peraturan yang berlaku
4. Budaya “banyak anak banyak rejeki” merupakan budaya yang masih
dipertahankan oleh masyarakat Indonesia. Padahal banyak dampak dari
perilaku tersebut.Salah satu dampak negatif dari perilaku tersebut adalah..
a. Asupan gizi cukup
b. Kasih sayang orang tua akan adil diberikan kepada anak-anak mereka
c. Terjadinya gizi buruk
d. Pemerataan tenaga kerja dan lapangan pekerjaan
e. Status ekonomi meningkat
5. Masyarakat begitu menyakini bahwa kepemilikan anak yang banyak akan
berpengaruh pada perekonomian mereka. Selain itu alasan tidak memiliki
kendaraan untuk menempuh jarak rumah sakit puskesmas atau praktek
bidan juga menjadi penghambat Keluarga Berencana bagi mereka. Mereka
juga menyatakan anak sudah banyak jadi tidak perlu mengikuti program
Keluarga Berencana, biar saja anak tetap lahir. Dan ada juga yang
menyatakan bahwa orang tua mereka menyarankan untuk memiliki banyak
anak tanpa memberikan alasan yang cukup jelas dikarenakan tradisi turun
temurun keluarga. Diagnosa yang cocok dengan kasus diatas adalah ...
a. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan perbedaan kultur
b. Gangguan interaksi sosial berhubungan disorientasi sosiokultural
c. Ketidakpatuhan dalam pengobatan berhubungan dengan sistem
nilai yang diyakini.
d. Gangguan pengambilan keputusan berhubungan dengan usia
e. Kurangnya pengetahuan tentang KB dikarenakan minimnya
pendidikan
6. Saat ini pemerintah masuk dengan membawa sebuah program yang
mengajak masyarakatnya untuk mengikuti Keluarga Berencana, dengan
tujuan mensejahterakan masyarakat dengan dua anak cukup. Ternyata
masyarakat sebelum itu sudah memiliki pengetahuan yang bertolak
belakang dengan pemerintah. Mereka meyakini bahwa perkataan orang tua
mereka jauh lebih baik jika dibandingkan dengan ajakan pemerintah yaitu
mengenai program Keluarga Berencana. Berdasarkan hal tersebut yang
berperan dalam teori Leininger adalah ...
a. Teknologi
b. Komunikasi antar keluarga yang kurang
c. Gaya hidup
d. Ekonomi
e. Kebijakan yang berlaku
7. Dalam hal intervensi keperawatan transkultural yaitu Cultural care
preservation/maintenance, hal apa yang dapat dilakukan oleh perawat
kepada klien yang memiliki pandangan berbeda dengan kita mengenai
perilaku memiliki anak banyak..
a. Menjudge klien bahwa perilaku yang dilakukan itu sangat salah
dan bertentangan dengan agama
b. Menyuruh klien untuk tetap ada pada pendiriannya mengenai
perilaku tersebut karena hal itu merupakan urusan pribadi
c. Bersikap tenang dan tidak terburu-buru saat berinteraksi
dengan klien. Disini perawat dilarang melakukan judge
terhadap perilaku pasien tentang budayanya
d. Menyalahkan klien bahwa budaya yang dianut itu salah dan
berdampak negatif
e. Menyarankan klien untuk mengakomodasi perilaku dari budaya
lain saja
8. Dalam intervensi keperawatan transkultural Cultural care
repartening/reconstruction, hal yang menyatakan bahwa saat perawat
memberikan intervensi diharapkan dibantu oleh keluarga klien adalah...
a. Jangan menjudge klien karena perilaku memiliki anak banyak dan
tidak mau mengikuti KB
b. Menyalahkan klien karena perilakunya itu berdampak negatif
terhadap dirinya dan orangtuanya
c. Gunakan pihak ketiga untuk membantu intervensi
d. Berikan informasi tentang dampak perilaku tersebut terhadap
kesehatan.
e. Tentukan tingkat perbedaan pasien melihat dirinya dari budaya
kelompok
9. Mencari tau penyebab-penyebab dari terjadinya perilaku memiliki anak
banyak adalah salah satu cara untuk membantu orang tua tersebut
melakukan perubahan. Dari pernyataan tersebut, hal apa yang perlu
dilakukan perawat...
a. Pengkajian
b. Diagnosa
c. Intervensi
d. Implementasi
e. Evaluasi
10. Suku Sunda memiliki keyakinan bahwa semakin banyak anak akan
menambah rejeki mereka. Dari kasus diatas faktor Leininger yang
berperan adalah..
a. Pendidikan
b. Faktor Teknologi
c. Faktor Sosial dan Keterikatan Keluarga
d. Faktor Kebijakan dan Peraturan yang berlaku
e. Faktor Nilai Budaya dan Gaya Hidup

Anda mungkin juga menyukai