Anda di halaman 1dari 11

ILMU KEPERAWATAN KLINIK IIIA (IKK IIIA)

APENDIKSITIS

MAKALAH

Oleh :
Kurnia Juliarthi NIM 132310101012
Chairun Nisak NIM 132310101014
Chrisdiannita R NIM 132310101016
Lutfiasih Rahmawati NIM 132310101024
Aulia Bella M NIM 132310101030
Yeni Dwi A NIM 132310101045
Nuzulul Kholifatul F NIM 132310101048
Sintya Ayu P NIM 132310101049
Devi Maharani H NIM 132310101056

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


UNIVERSITAS JEMBER
2015
TINJAUAN TEORI

2.1 Pengertian
Appendiks adalah ujung seperti jari yang kecil panjangnya kira-kira 10 cm
(94 inci), melekat pada sekum tepat di bawah katup ileosekal. Appendiks berisi
makanan dan mengosongkan diri secara teratur ke dalam sekum. Karena
pengosongannya tidak efektif dan lumennya kecil, appendiks cenderung menjadi
tersumbat dan rentan terhadap infeksi. (Brunner dan Sudarth, 2002). Apendisitis
adalah peradangan dari apendiks vermivormis, dan merupakan penyebab abdomen
akut yang paling sering. Penyakit ini dapat mengenai semua umur baik laki-laki
maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia antara 10
sampai 30 tahun (Mansjoer, Arief,dkk, 2007).

Gambar 1. Appendik
Gambar 2. Apendiktomi

2.2 Epidemiologi
Apendiks merupakan suatu emergensi bedah abdomen yang umumnya terjadi
dan mengenai tujuh sampai dua belas persen dari populasi. Kelompok usia
umumnya mengalami apendiks yaitu antara 20 sampai 30 tahu, namun penyakit
ini juga terjadi pada segala usia. Apendiks merupakan penyakit urutan ke empat
terbanyak di Indonesia pada tahun 2006. Jumlah pasien rawat inap karena
penyakit apendiks pada tahun tersebut mencapai 38.949 pasien, berada di urutan
keempat setelah dyspepsia (34.029 pasien rawat inap), gastritis dan duodenitis
(33.035 pasien rawat inap), dan penyakit sistem cerna lain (31.450 pasien rawat
inap). Pada rawat jalan, kasus apendiks menduduki urutan kelima (34.386 pasien
rawat jalan), setelah penyakit sistem cerna lain (434.917 pasien rawat jalan),
dyspepsia (136.296 pasien rawat jalan), gastriti, dan duodenitis (127.918 pasien
rawat jalan), serta karies gigi ( 86.006 pasien rawat jalan. Satu orang dari 15 orang
pernah menderita apendiksitis dalam hidupnya. Insidens tertinggi terdapat pada
laki-laki usia 10 sampai 14 tahun, dan wanita yang berusia 15 sampai 19 tahun.
Laki-laki lebih banyak menderita apendisitis daripada wanita pada usia pubertas
dan pada usia 25 tahun. Apendiksitis ini jarang terjadi pada bayi dan anak-anak
dibawah 2 tahun.

2.3 Etiologi
Apendisitis belum ada penyebab yang pasti atau spesifik tetapi ada factor
prediposisi yaitu:
1. Faktor yang tersering adalah obstruksi lumen. Pada umumnya obstruksi ini
terjadi karena:
a. Hiperplasia dari folikel limfoid, ini merupakan penyebab terbanyak.
b. Adanya faekolit dalam lumen appendiks
c. Adanya benda asing seperti biji-bijian
d. Striktura lumen karena fibrosa akibat peradangan sebelumnya.
2. Infeksi kuman dari colon yang paling sering adalah E. Coli dan Streptococcus
3. Laki-laki lebih banyak dari wanita. Yang terbanyak pada umur 15-30 tahun
(remaja dewasa). Ini disebabkan oleh karena peningkatan jaringan limpoid
pada masa tersebut.
4. Tergantung pada bentuk apendiks:
a. Appendik yang terlalu panjang
b. Massa appendiks yang pendek
c. Penonjolan jaringan limpoid dalam lumen appendiks
d. Kelainan katup di pangkal appendiks
(Nuzulul, 2009)

2.4 Patofisiologi
Apendisitis ini terjadi disebabkan karena adanya obstruksi yang terjadi pada
lumen apendiks oleh hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur, atau
neoplasma. Apendiks pada keadaan normal akan mengeluarkan mukus 1-2 ml per
hari. Namun apabila seseorang mengalami apendisitis ini, mukus dari apendiks ini
akan terbendung. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi
mukosa mengalami bendungan. Lama-kelamaan apendiks ini semakin banyak
menampung mukus, sedangkan elastisitas dinding apendiks memiliki
keterbatasan. Keterbatasan ini menyebabkan peningkatan tekanan intralumen di
apendiks. Tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang
mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah
terjadi apendisitis akut lokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Bila sekresi
mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan
menyebkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus
dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat
sehingga menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah. Keadaan ini disebut
apendisitis supuratif akut. Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi
infark dinding apendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan
apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi
apendisitis perforasi. Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus
yang berdekatan akan bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu massa lokal
yang disebut infiltrate apendikularis. Peradangan pada apendiks tersebut dapat
menjadi abses atau menghilang. Pada anak-anak, kerena omentum lebih pendek
dan apendiks lebih panjang, maka dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut
ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang sehingga memudahkan
terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang dewasa, perforasi mudah terjadi
karena telah ada gangguan pembuluh darah.

2.5 Manifestasi Klinis


Gejala awal yang khas, yang merupakan gejala klasik apendisitis adalah nyeri
samar (nyeri tumpul) di daerah epigastrium di sekitar umbilikus atau
periumbilikus. Keluhan ini biasanya disertai dengan rasa mual, bahkan terkadang
muntah, dan pada umumnya nafsu makan menurun. Kemudian dalam beberapa
jam, nyeri akan beralih ke kuadran kanan bawah.
Klasifikasi apendisitis terbagi menjadi empat yaitu, apendisitis akut,
kronik, perforata, dan apendisitis rekurens.
1. Apendisitis akut.
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang
mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak
disertai rangsang peritonieum lokal.
Gajala apendisitis akut talah nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan
nyeri viseral didaerah epigastrium disekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai
mual dan kadang muntah. Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam
nyeri akan berpindah ketitik mcBurney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan
lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat
2. Apendisitis kronik.
Diagnosis apendisitis kronis baru dapat ditegakkan jika ditemukan adanya
riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik apendiks
secara makroskopik dan mikroskopik. Kriteria mikroskopik apendisitis kronik
adalah fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen
apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama dimukosa, dan adanya sel
inflamasi kronik. Insiden apendisitis kronik antara 1-5%.
3. Apendisitis Perforata
Perforasi apendiks mengakibatkan peritonitis yang ditandai dengan demam
tinggi, nyeri semakin hebat yang meliputi seluruh perut dan perut menjadi tegang
dan kembung.
4. Apendisitis Rekurens
Diagnosis apendisitis dapat ditegakkan jika ada riwayat serangan nyeri
berulang di perut kanan bawah yang mendorong dilakukannya apendiktomi dan
hasil patologi menunjukkan peradangan akut. Kelainan ini terjadi bila serangan
apendektomi akut pertama kali sembuh spontan. Namun, apendiks tidak pernah
kembali ke bentuk aslinya karena fibrosis dan jaringan parut pertama.

2.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pasien dengan apendisitis akut meliputi terapi medis dan
terapi bedah. Terapi medis terutama diberikan pada pasien yang tidak mempunyai
akses ke pelayanan bedah, dimana pada pasien diberikan antibiotik. Namun
sebuah penelitian prospektif menemukan bahwa dapat terjadi apendisitis rekuren
dalam beberapa bulan kemudian pada pasien yang diberi terapi medis saja. Selain
itu terapi medis juga berguna pada pasien apendisitis yang mempunyai risiko
operasi yang tinggi. Namun pada kasus apendisitis perforasi, terapi medis
diberikan sebagai terapi awal berupa antibiotik dan drainase melalui CT-scan pada
absesnya. The Surgical Infection Society menganjurkan pemberian antibiotik
profilaks sebelum pembedahan dengan menggunakan antibiotik spektrum luas
kurang dari 24 jam untuk apendisitis non perforasi dan kurang dari 5 jam untuk
apendisitis perforasi. Penggantian cairan dan elektrolit, mengontrol sepsis,
antibiotik sistemik adalah pengobatan pertama yang utama pada peritonitis difus
termasuk akibat apendisitis dengan perforasi.
1. Cairan intravena
Cairan yang secara massive ke rongga peritonium harus di ganti segera
dengan cairan intravena, jika terbukti terjadi toxix sistemik, atau pasien tua atau
kesehatan yang buruk harus dipasang pengukur tekanan vena central. Balance
cairan harus diperhatikan. Cairan atau berupa ringer laktat harus di infus secara
cepat untuk mengkoreksi hipovolemia dan mengembalikan tekanan darah serta
pengeluaran urin pada level yang baik. Darah di berikan bila mengalami anemia
dan atau dengan perdarahan secara bersamaan.
2. Antibiotik
Pemberian antibiotik intraven diberikan untuk antisipasi bakteri patogen,
antibiotik initial diberikan termasuk generasi ke 3 cephalosporins, ampicillin-
sulbaktam dan metronidazol atau klindanisin untuk kuman anaerob. Pemberian
antibiotik postops harus di ubah berdasarkan kulture dan sensitivitas. Antibiotik
tetap diberikan sampai pasien tidak demam dengan normal leukosit. Setelah
memperbaiki keadaan umum dengan infus, antibiotik serta pemasangan pipa
nasogastrik perlu di lakukan pembedahan sebagai terapi definitif dari appendisitis
perforasi.
Perlu dilakukan insisi yang panjang supaya mudah dilakukan pencucian
rongga peritonium untuk mengangkat material seperti darah, fibrin serta dilusi
dari bakteria. Pencucian cukup dengan larutan kristaloid isotonis yang hangat,
penambahan antiseptik dan antibiotik untuk irigasi cenderung tidak berguna
bahkan malah berbahaya karena menimbulkan adhesive (misal tetrasiklin atau
provine iodine), anti biotik yang diberikan secara parenteral dapat mencapai
rongga peritonium dalam kadar bakterisid.
Para ahli berpendapat bahwa dengan penambahan tetrasiklin 1 mg dalam 1
ml larutan garam dapat mengendalikan sepsis dan bisul residual, pada kadar ini
antibiotik bersifat bakterisid terhadap kebanyakan organisme. Walaupun sedikit
membuat kerusakan pada permungkaan peritonial tapi tidak ada bukti bahwa
menimbulkan resiko perlengketan. Setelah pencucian seluruh cairan di rongga
peritonium seluruh cairan harus diaspirasi.
Terapi bedah meliputi apendiktomi dan laparoskopik apendiktomi.
Apendiktomi terbuka merupakan operasi klasik pengangkatan apendiks.
Mencakup Mc Burney, Rocke-Davis atau Fowler-Weir insisi. Dilakukan diseksi
melalui oblique eksterna, oblique interna dan transversal untuk membuat suatu
muscle spreading atau muscle splitting, setelah masuk ke peritoneum apendiks
dikeluarkan ke lapangan operasi, diklem, diligasi dan dipotong. Mukosa yang
terkena dicauter untuk mengurangi perdarahan, beberapa orang melakukan inversi
pada ujungnya, kemudian sekum dikembalikan ke dalam perut dan insisi ditutup.
Prosedurnya, port placement terdiri dari pertama menempatkan port
kamera di daerah umbilikus, kemudian melihat langsung ke dalam melalui 2 buah
port yang berukuran 5 mm. Ada beberapa pilihan operasi, pertama apakah 1 port
diletakkan di kuadran kanan bawah dan yang lainnya di kuadran kiri bawah atau
keduanya diletakkan di kuadran kiri bawah. Sekum dan apendiks kemudian
dipindahkan dari lateral ke medial. Berbagai macam metode tersedia untuk
pengangkatan apendiks, seperti dectrocauter, endoloops, stapling devices.
Mengenai pemilihan metode tergantung pada ahli bedahnya. Apendiks kemudian
diangkat dari abdomen menggunakan sebuah endobag. Laparoskopik apendiktomi
mempunyai beberapa keuntungan antara lain bekas operasinya lebih bagus dari
segi kosmetik dan mengurangi infeksi pascabedah.
2.7 Komplikasi
Pada kebanyakan kasus, peradangan dan infeksi apendiks mungkin
didahului oleh adanya penyumbatan di dalam apendiks. Bila peradangan berlanjut
tanpa pengobatan, apendiks bisa pecah. Apendiks yang pecah bisa menyebabkan:
1. Perforasi dengan pembentukan abses.
2. Peritonitis generalisata, masuknya kuman usus ke dalam perut, menyebabkan
peritonitis, yang bisa berakibat fatal.
3. Masuknya kuman ke dalam pembuluh darah (septikemia), yang bisa berakibat
fatal.
4. Pada wanita, indung telur dan salurannya bisa terinfeksi dan menyebabkan
penyumbatan pada saluran indung telur yang bisa menyebabkan kemandulan.
5. Pieloflebitis dan abses hati, tapi jarang terjadi.

2.8 Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi, pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal
swelling, sehingga pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi
perut.
b. Palpasi, pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa nyeri.
Dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan perut kanan
bawah merupakan kunci diagnosis dari apendisitis. Pada penekanan perut
kiri bawah akan dirasakan nyeri pada perut kanan bawah. Ini disebut
tanda Rovsing (Rovsing Sign). Dan apabila tekanan di perut kiri bawah
dilepaskan juga akan terasa nyeri pada perut kanan bawah.Ini disebut
tanda Blumberg (Blumberg Sign).
c. Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator, pemeriksaan ini juga dilakukan
untuk mengetahui letak apendiks yang meradang. Uji psoas dilakukan
dengan rangsangan otot psoas lewat hiperektensi sendi panggul kanan
atau fleksi aktif sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila
appendiks yang meradang menempel di m. psoas mayor, maka tindakan
tersebut akan menimbulkan nyeri. Sedangkan pada uji obturator dilakukan
gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang. Bila
apendiks yang meradang kontak dengan m.obturator internus yang
merupakan dinding panggul kecil, maka tindakan ini akan menimbulkan
nyeri. Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis pelvika.
d. Pemeriksaan colok dubur, pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis,
untuk menentukan letak apendiks, apabila letaknya sulit diketahui. Jika
saat dilakukan pemeriksaan ini dan terasa nyeri, maka kemungkinan
apendiks yang meradang terletak didaerah pelvis. Pemeriksaan ini
merupakan kunci diagnosis pada apendisitis pelvika.
2. Pemeriksaan Laboratorium
a. Laboratorium, terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan test protein
reaktif (CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah
leukosit antara 10.000-20.000/ml (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%,
sedangkan pada CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat.
b. Radiologi, terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi dan CT-scan. Pada
pemeriksaan ultrasonografi ditemukan bagian memanjang pada tempat
yang terjadi inflamasi pada apendiks. Sedangkan pada pemeriksaan CT-
scan ditemukan bagian yang menyilang dengan apendikalit serta
perluasan dari apendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran
sekum.

2.9 Prognosis
Mortalitas adalah 0.1% jika appendicitis akut tidak pecah dan 15% jika
pecah pada atau emboli paru orangtua. Kematian biasanya berasal dari sepsis
aspirasi; prognosis membaik dengan diagnosis dini sebelum rupture dan antibiotic
yang lebih baik.
Morbiditas meningkat dengan rupture dan usia tua. Komplikasi dini adalah
sepsis. Infeksi luka membutuhkan pembukaan kembali insisi kulit yang
merupakan predisposisi terjadinya robekan. Abses intraabdomen dapat terjadi dari
kontaminasi peritonealis setelah gangren dan perforasi. Fistula fekalis timbul dari
nekrosis suatu bagian dari seccum oleh abses atau kontriksi dari jahitan kantong.
Obstruksi usus dapat terjadi dengan abses lokulasi dan pembentukan adhesi.
Komplikasi lanjut meliputi pembentukan adhesi dengan obstruksi mekanis dan
hernia. Dengan diagnosis yang akurat serta pembedahan, tingkat mortalitas dan
morbiditas penyakit ini sangat kecil. Keterlambatan diagnosis akan meningkatkan
morbiditas dan mortalitas bila terjadi komplikasi. Serangan berulang dapat terjadi
bila apendiks tidak diangkat. Terminologi apendisitis kronis sebenarnya tidak ada

Anda mungkin juga menyukai