Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN TUBERCULOSIS

di Ruang 23 Infeksi RSUD Dr. Saiful Anwar Malang


Disusun untuk Memenuhi Tugas Individu Kepaniteraan Klinik Departemen Medikal

Oleh :

Kelompok 2

SOFIA SUNDARI

NIM. 0810720069

JURUSAN ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2013
LAPORAN PENDAHULUAN TUBERCULOSIS

A. Definisi
Tuberkulosis merupakan penyakit infesi menular yang disebbkan oleh
mycobacterium tuberkulosa. (Price Wilson,2005)
Tuberkulosis adalah penyakit akibat kuman Micobakterium Tuerculosis sistemis
sehingga dapat mengenai semua organ tubuh dengan lokasi terbanyak di paru-paru yang
biasanya merupakan infeksi primer. (Arif mansjoer, 2000)
Tuberkulosis adalah penyakit infeksius yang terutama menyerang parenkim paru. TB
dapat juga di tularkan kebagian tubuh lainnya, terutama meninges, ginjal, tulang, dan
nodus limfe. (Susane & Brenda, 2001)

B. Epidemiologi
Menurut WHO sekitar 8 juta penduduk dunia diserang TB dengan kematian 3 juta
orang per tahun (WHO, 1993). Di negara berkembang kematian ini merupakan 25% dari
kematian penyakit yang sebenarnya dapat diadakan pencegahan. Diperkirakan 95%
penderita TB berada di negara-negara berkembang Dengan munculnya epidemi
HIV/AIDS di dunia jumlah penderita TB akan meningkat. Kematian wanita karena TB lebih
banyak dari pada kematian karena kehamilan, persalinan serta nifas (pada tahun 1993
karena diperkirakan sepertiga penduduk dunia telah WHO). WHO mencanangkan
keadaan darurat global untuk penyakit TB terinfeksi kuman TB.
Di Indonesia TB kembali muncul sebagai penyebab kematian utama setelah penyakit
jantung dan saluran pernafasan. Penyakit TB paru, masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat. Hasil survey kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 1995 menunjukkan
bahwa tuberkulosis merupakan penyebab kematian nomor 3 setelah penyakit
kardiovaskuler dan penyakit saluran pernapasan pada semua golongan usia dan nomor I
dari golongan infeksi.

C. Etiologi dan Faktor Resiko


Agen infeksius utama , Micobacterium Tuberculosis merupakan kuman jenis berbentuk
batang berukuran panjang 1-4 mm dan tebal 0,3-0,6 mm. Sebagian besar komponen
M.Tuberculosisadalah berupa lipid sehinnga kuman mampu tahan terhadap serta sangat
tahan teradap zat kimia dan faktor fisik. Mikroorganisme ini bersifat aerobic yakni
menyukai daerah yang banyak oksigen.
Kelompok kuman Mycobacterium Tuberculosa dan Mycobacterium othetan Tuberculosa
adalah :
 M. cansalsi
 M. avum
 M. intracelulase
 M. scrofulaleum
 M. malma cerse
 M. xenopi

Faktor Resiko
 Faktor umur
Di Indonesia diperkirakan 75%bpenderita TB paru adalah kelompok usia produktif 15-
50 tahun
 Jenis kelamin
TB paru lebih banyak menyerang laki-laki dari pada wanita karena laki-laki lebih besar
mempunyai kebiasaan merokok.
 Tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap pengetahuan seseorang
diantaranya mengenai rumah yang memenuhi syarat kesehatan dan pengetahuan
penyakit TB paru.
 Pekerjaan
Jenis pekerjaan menentukan faktor resiko apa yang harus dihadapi individu. Bila
bekerja di lingkungan berdebu, partikel di daerah terpapar mempengaruhi terjadinya
gangguan pada saluran pernapasan.paparan kronis udara yang tercemar dapat
meningkatkan morbiditas, terutama terjadinya gejala penyakit saluran pernapasan.
 Kebiasaan merokok
Merokok diketahui mempinyai hubungan meningkatkan resiko untuk mendapatkan
kanker paru-paru,penyakit jantung koroner. Merokok meningkatkan resiko untuk
terkena TB paru sebanyak 2,2 kali.
 Kepadatan hunian kamar tidur
Luas lantai rumah harus disesuaikan dengan jumlah penghuninya agar tidak
menyebabkan overload. Hal ini tidak sehat karena disamping kurangnya oksigen juga
bila ada salah satu anggota keluarga terkena penyakit akan mudah menularkan pada
anggota keluarga yang lain.
 Pencahayaan
Cahaya sangat penting karena dapat membunuhbakteri patogen di dalam rumah,
misalnya basil TB.
 Ventilasi
 Kondisi rumah
 Kelembapan udara
Kuman TB dapat hidup beberapa jam paa tempat lembab dan gelap
 Status gizi
 Keadaan sosial ekonomi

D. Klasifikasi Tuberkulosis
Berdasarkan patologinya tuberculosis dibagi menjadi :
1. Tuberculosis Primer
Infeksi bakteri TB dari penderita yang belum mempunyai reaksi spesifik terhadap
bakteri TB. Bila bakteri TB terhirup dari udara melalui saluran pernapasan dan
mencapai alveoli atau bagian terminal saluran pernapasan, maka bakteri akan
ditangkap dan dihancurkan oleh makrofag yang berada di alveoli.
2. Tuberkulosis Sekunder
Setelah terjadi resolusi dari infeksi primer, sejumlah kecil bakterI TB masih hidup
dalam keadaan domain dan jaringan paru. Reaktivasi penyakit TB terjadi bila daya
tahan tubuh menurun, alkoholisme, keganasan, silicosis, diabetes mellitus dan lain-
lain.
Berdasarkan letaknya tuberculosis dibagi menjadi :
1. Tuberkulosis paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk
pleura.
2. Tuberkulosis ekstra paru.
Tuberkulosis yang menyerang organ lain selain paru misal pleura, selaput otak,
selaput jantung, kelenjar limfe, tulang persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing,
alat kelamin dan lain-lain.
Tuberkulosis ekstra paru menurut keparahannya dibagi menjadi :
a) TB Ekstra Paru yang ringan
Misal TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa, tulang ( kecuali tulang belakang ), sendi
dan kelanjar adrenal.
b) TB Ekstra Paru yang berat
Misal TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kencing.
Berdasarkan terapi , WHO membagi tuberculosis menjadi :
1. Kategori I
Ditujukan terhadap kasus baru dengan sputum positif dan kasus baru dengan batuk
TB berat.
2. Kategori II
Ditujukan terhadap kasus sembuh dan kasus gagal dengan sputum BTA positif
3. Kategori III
` Ditujukan terhadap kasus BTA negative dengan kelainan paru yang tidak luas dan
kasus TB ekstra paru selain yang disebut dalam Kategori I
4. Kategori IV
Ditujukan terhadap TB Kronik
Berdasarkan Riwayat Pengobatan sebelumnya Tuberculosis dibagi menjadi :
1. Kasus Baru
Adalah penderitayang belum pernah diobati OAT sebelumnya atau pernah kurang
dari satu bulan.
2. Kambuh ( Relaps )
Adalah penderita yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan dan dinyatakan
telah sembuh, dan kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan BTA
positif
3. Lalai dan drop out
Adalah penderita yang telah mendapatkan pengobatan kurang dari 1 bulan dan
berhenti selama 2 bulan atau lebih kemudian datang berobat lagi.
4. Resistensi banyak obat
Hal ini bisa disebabkan oleh karena pasien yang lalai dan drop out yang berulang kali
menjalani pengobatan yang sama.

E. Manifestasi Klinis
1. Gejala sistemik/umum
a. demam yang tidak terlalu tinggi dan berlangsung lama, biasanya dirasakan
malam hari disertai keringat malam. Kadang – kadang serangan demam
seperti influenza dan bersifat hilang timbulpenurunan nafsu makan dan berat
badan
b. batuk selama lebih dari 3 minggu ( dapat disertai dengan darah atau darah
saja jika tahap lanjut)
c. perasaan tidak enak ( malaise : mual, muntah, sakit kepala, dan nyeri otot )
2. Gejala Khusus
a. tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan
sebagian bronkus akibat penekanan kelenjar getah bening yang membesar,
akan menimbulkan suara mengi, suara napas melemah yang disertai sesak
b. kalau ada cairan dirongga pleura, dapat disertai dengan keluhan sakit/nyeri
dada
F. Patofisiologi
G. Pemeriksaa Diagnostik
1. Pemeriksaan sputum (S-P-S)
Pemeriksaan sputum penting untuk dilakukan karena dengan pemeriksaan tersebut
akan ditemukan kuman BTA. Di samping itu pemeriksaan sputum juga dapat
memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang sudah diberikan. Kriteria sputum
BTA positif adalah bila sekurang-kurangnya ditemukan 3 batang kuman BTA pada
satu sediaan. Hasil kultur memerlukan waktu tidak kurang dan 6 - 8 minggu dengan
angka sensitiviti 18-30%.
Rekomendasi WHO skala IUATLD :
1) Tidak ditemuukan BTA dalam 100 lapang pandangan :negative
2) Ditemukan 1-9 BTA : tulis jumlah kuman
3) Ditemukan 10-99 BTA : 1+
4) Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandangan : 2+
5) Ditemukan > 10 BTA dalam 1 lapang pandangan : 3+
2. Pemeriksaan tuberculin
Pada anak, uji tuberkulin merupakan pemeriksaan paling bermanfaat untuk
menunjukkan sedang/pernah terinfeksi Mikobakterium tuberkulosa dan sering
digunakan dalam "Screening TBC". Efektifitas dalam menemukan infeksi TBC
dengan uji tuberkulin adalah lebih dari 90%. Ada beberapa cara melakukan uji
tuberkulin, namun sampai sekarang cara mantoux lebih sering digunakan. Lokasi
penyuntikan uji mantoux umumnya pada ½ bagian atas lengan bawah kiri bagian
depan, disuntikkan intrakutan (ke dalam kulit). Penilaian uji tuberkulin dilakukan 48–
72 jam setelah penyuntikan dan diukur diameter dari pembengkakan (indurasi) yang
terjadi.
3. Pemeriksaan Rontgen Thoraks
Pada hasil pemeriksaan rontgen thoraks, sering didapatkan adanya suatu lesi
sebelum ditemukan adanya gejala subjektif awal dan sebelum pemeriksaan fisik
menemukan kelainan pada paru. Pemeriksaan rontgen thoraks sangat berguna untuk
mengevaluasi hasil pengobatan dan ini bergantung pada tipe keterlibatan dan
kerentanan bakteri tuberkel terhadap obat antituberkulosis, apakah sama baiknya
dengan respons dari klien.
4. Pemeriksaan CT Scan
Pemeriksaan CT Scan dilakukan untuk menemukan hubungan kasus TB inaktif/stabil
yang ditunjukkan dengan adanya gambaran garis-garis fibrotik ireguler, pita
parenkimal, kalsifikasi nodul dan adenopati, perubahan kelengkungan beras
bronkhovaskuler, bronkhiektasis, dan emifesema perisikatriksial. Pemeriksaan CT
scan sangat bermanfaat untuk mendeteksi adanya pembentukan kavasitas dan lebih
dapat diandalkan daripada pemeriksaan Rontgen thoraks bisaa.
5. Radiologis TB Paru Milier
TB paru milier terbagi menjadi dua tipe, yaitu TB paru milier akut dan TB paru milier
subakut (kronis). Penyebaran milier terjadi setelah infeksi primer. TB milier akut
diikuti oleh invasi pembuluh darah secara masif/menyeluruh serta mengakibatkan
penyakit akut yang berat dan sering disertai akibat yang fatal sebelum penggunaan
OAT. Hasil pemeriksaan rontgen thoraks bergantung pada ukuran dan jumlah
tuberkel milier. Nodul-nodul dapat terlihat pada rontgen akibat tumpang tindih dengan
lesi parenkim sehingga cukup terlihat sebagai nodul-nodul kecil.
6. Pemeriksaan Laboratorium
Diagnosis terbaik dari penyakit diperoleh dengan pemeriksaan mikrobiologi melalui
isolasi bakteri. Untuk membedakan spesies Mycobacterium antara yang satu dengan
yang lainnya harus dilihat sifat koloni, waktu pertumbuhan, sifat biokimia pada
berbagai media, perbedaan kepekaan terhadap OAT dan kemoterapeutik, perbedaan
kepekaan tehadap binatang percobaan, dan percobaan kepekaan kulit terhadap
berbagai jenis antigen Mycobacterium. Pemeriksaan darah yang dapat menunjang
diagnosis TB paru walaupun kurang sensitif adalah pemeriksaan laju endap darah
(LED). Adanya peningkatan LED biasanya disebabkan peningkatan imunoglobulin
terutama IgG dan IgA.

H. Penatalaksanaan
A. Penatalaksanaan Non Farmako (KIE)
1. Penyuluhan
Penyuluhan TB perlu dilakukan karena masalah TB banyak berkaitan dengan
masalah pengetahuan dan perilaku masyarakat. Tujuan penyuluhn adalah untuk
meningkatkan kesadaran , kemauan dan peran serta masyarakat dalam
penaggulangan penyakit TB.
2. Mensosialisasikan BCG di masyarakat
B. Penatalaksanaan Farmako
Pengobatan TB terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase
lanjutan (4-7 bulan). Jenis obat utama yang digunakan sesuai rekomendasi WHO
adalah Rifampisin (R), isoniazid(INH), Pirazinamid (Z), Streptomisin (S), Ethambutol
(E).

Mekanisme Kerja Obat Anti Tuberkulosis (OAT)


 Aktivitas bakterisidal untuk bakteri yang membelah cepat
- Ekstraseluler, jenis obat yang digunakan adalah Rifampisin dan Streptomisin (S)
- Intraseluler, jenis obat yang digunakan adalah Rifampisin dan Isoniazid.
 Aktivitas sterilisasi terhadap the persisiter (bakteri semi dorman)
- Ekstraseluler , jenis obat yang digunakan adalah Rifampisin dan Isoniazid.
- Intraseluler, untuk slowly growing bacilli digunakan Rifampisin dan isoniazid.
Untuk very slowly growing bacilli digunakan Pirasinamid (Z)
 Aktivitas bakteriostatis , obat-obatan yang mempunyai aktivitas bakteriostatis
terhadapa bakteri tahan asam
- Ekstraseluler, jenis obat yang digunakan adalah Etambutol (E), asam pra amino
salisilik (PAS), dan sikloserine.
- Intraseluler, kemungkinan masih dapat dimusnahkan oleh Isoniaid dalam
keadaan telah terjadi resistensi sekunder.
Program nasional penanggulangan TB di Indonesia digunakan panduan OAT yang
direkomendasikan WHO sebagai berikut:
 Kategori 1 (2HRZE/4H3R3)
Obat ini diberikan untuk pasien baru :
- Pasien baru TB paru BTA positif
- Pasien TB paru BTA negative rontgen positif
- Pasien TB ekstra paru
Tahap intensif terdiri dari Isoniazid, Rifampisin, Pirazinamid, dan Etambutol. Obat-
obat tersebut diberikan selama 2 bulan (2 HRZE). Kemudian diteruskan dengan
tahap lanjutan yang terdiri dari Isoniazid , Rifampisin , diberikan dalam 3 kali
seminggu selama 4 bulan.

 Kategori 2 (2HRZES/ HRZE/ 5 H3R3E3)


OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya :
- Pasien kambuh
- Pasien gagal
- Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat
Tahap intensif diberikan selama 3 bulan, terrdiri dari 2 bulan Isoniazid, rifampisin,
pirazinamid, dan etambutol dan suntikan streptomisin setiap hari. Dilanjutkan
dengan 1 bulan dengan isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol setiap
hari. Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE
yang diberikan 3 kali dalam seminggu. Suntikan streptomisin harus diberikan
setelah penderita selesai menelan obat.

 Kategori 3 (2HRZ/4H3R3)
Obat ini diberikan untuk pasien baru :
- Pasien baru BTA negative rontgen positif sakit ringan
- Pasien ekstra paru ringan
Tahap intensif terdiri dari HRZ dibeika setiap hari selama 2 bulan (2HRZ),
diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan diberikan 3 kali
seminggu(4H3R3).

 Kategori sisipan (HRZE)


Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori
1 atau penderita BTA positif pengobatab ulang dengan kategori 2, hail pemeriksaan
dahak masih BTA positif diberikan obat sisipan (HRZE) setiap hari selama 1 bulan.
Satu paket obat sisipan berisi 30 blister yang dikemas dalam 1 dos kecil

I. Komplikasi
1. Hemoptitis adalah peredaran dari saluran nafas yang dapat mengakibatkan
kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan nafas
2. Kolaps dari lobu akibat retraksi bronchial, sehingga terjadi ketidak mampuan
menampung atau menyimpan oksigen dari lobus.
3. Pneumotorak adalah adanya udara dalam rongga pleura. Penyebabnya adalah
tekanan pneumotorak udara dalam membran berada dalam tekanan yang lebih
tinggi dari udara dalam paru-paru yang berdampingan dan pembuluh darah,
sehingga kapasitas oksigen yang dihirup hanya sebagian.
4. Efusi Pleura adalah adanya cairan abnormal dslsm rongga pleura yang
disebabkan oleh tekanan yang tidak seimbang pada kapiler yang utuh dan
menyebabkan kapasitas paru-paru tidak berkembang.
5. Bronkietctaksis adalah endapan nanah ada bronkus setempat karena terdapat
infeksi pada bronkus. Penyebabnya yaitu kerusaka yang berulang pada dinding
bronchial dan keadaan abnormal dari jaringan penghail mucus mengakibatkan
rusaknya jaringan pendukung menuju saluran nafas.
6. Fibrosis adalah pembentukan jaringan ikat pada roses pemulihan atau
pnyembuhan.
7. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti Otak,tulang, persendian, ginjal, dan yang
lain.
8. Insufisiensi kardio pulmonal atau penurunan fungsi jantung dan paru-paru
sehingga kadar oksigen dalam darah rendah.
ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN TUBERCULOSIS

I. Pengkajian
Data Yang dikaji
a. Aktifitas/istirahat
- Kelelahan
- Nafas pendek karena kerja
- Kesultan tidur pada malam hari, menggigil atau berkeringat
- Mimpi buruk
- Takhikardi, takipnea/dispnea pada kerja
- Kelelahan otot, nyeri , dan sesak
b. Integritas Ego
- Adanya / factor stress yang lama
- Masalah keuangan, rumah
- Perasaan tidak berdaya / tak ada harapan
- Menyangkal
- Ansetas, ketakutan, mudah terangsang
c. Makanan / Cairan
- Kehilangan nafsu makan
- Tak dapat mencerna
- Penurunan berat badan
- Turgor kult buruk, kering/kulit bersisik
- Kehilangan otot/hilang lemak sub kutan
d. Kenyamanan
- Nyeri dada
- Berhati-hati pada daerah yang sakit
- Gelisah
e. Pernafasan
- Nafas Pendek
- Batuk
- Peningkatan frekuensi pernafasan
- Pengembangn pernafasan tak simetris
- Perkusi pekak dan penuruna fremitus
- Defiasi trakeal
- Bunyi nafas menurun/tak ada secara bilateral atau unilateral
- Karakteristik : Hijau /kurulen, Kuning atua bercak darah
f. Keamanan
- Adanya kondisi penekanan imun
- Test HIV Positif
- Demam atau sakit panas akut
g. Interaksi Sosial
- Perasaan Isolasi atau penolakan
- Perubahan pola biasa dalam tanggung jawab

Pemeriksaan Diagnostik

1. Kultur Sputum
2. Zeihl-Neelsen
3. Tes Kulit
4. Foto Thorak
5. Histologi
6. Biopsi jarum pada jaringan paru
7. Elektrosit
8. GDA
9. Pemeriksaan fungsi Paru

II. Diagnosa Keperawatan


1. Bersihan jalan nafas tak efektif b.d adanya secret, kelemahan , upaya batuk buruk,
edema tracheal
Kriteria Evaluasi : Pasien menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan
adekuat
Intervensi :
a. Kaji fungsi pernafasan , kecepatan , irama , dan kedalaman serta
penggunaan otot asesoris
b. Catat kemampuan unttuk mengeluarkan mukosa / batuk efekttif
c. Beri posisi semi/fowler
d. Bersihkan sekret dari mulut dan trakhea
e. Pertahankan masukan cairan sedikitnya 2500 ml per hari
f. Kolaborasi pemberian oksigen dan obat – obatan sesuai dengan indikasi

2. Gangguan pertukaran gas b.d penurunan permukaan efektif paru , atelektasis


kerusakan membran alveolar – kapiler, sekret kental , tebal, edema bronchial
Kriteria Evaluasi : Pasien menunjukkan perbaikan venilasi dan oksigenasi jaringan
adekuat dengan GDA dalam rentang normal dan bebas gejala distress pernapasan
Intervensi :
a. Kaji Dipsnea,Takhipnea, menurunnya bunyi nafas ,peningkatan upaya
pernafasan , terbatasnya ekspansi dinding dada , dan kelemahan
b. Evaluasi perubahan tingkat kesadaran , catat sianosis dan atau perubahan
pada warna kulit
c. Anjurkan bernafas bibr selama ekshalasi
d. Tingkatkan tirah baring / batasi aktivitas dan atau Bantu aktivitas perawatan
diri sesuai kebutuhan
e. Kolaborasi oksigen

3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d kelemahan, sering batuk / produksi
sputum, anorexia, ketidakcukupan sumber keuangan
Kriteria hasil : Menunjukkan peningkatan BB, menunjukkan perubahan perilaku / pola
hidup untuk meningkatkan / mempertahankan BB yang tepat
Intervensi :
a. Catat status nutrisi pasien pada penerimaan , catat turgor kulit , BB, Integrtas
mukosa oral , kemampuan menelan , riwayat mual / muntah atau diare
b. Pastikan pola diet biasa pasien
c. Awasi masukan dan pengeluaran dan BB secara periodik
d. Dorong dan berikan periode istirahat sering.
e. Berikan perwatan mulut sebelum dan sesudah tindakan pernafasan.
f. Dorong makan sedikit dan sering dengan makanan tinggi protein dan
karbohodrat.
g. Kolaborasi ahli diet untuk menentukan komposisi diet.
h. Konsul dengan terapi pernafasan untuk jadual pengobatan 1-2 jam sebelum
dan sesudah makan.
i. Awasi pemeriksaan laboratorium
j. Kolaborasi antipiretik

4. Kurang pengetahuan mengenai kondisi, aturan tindakan, dan pencegahan b.d


keterbatasan kognitif tidak akurat/lengkap informasi yang ada salah interpretasi
informasi.
Kriteria hasil : Menyatakan pemahaman kondisi / proses penyakit dan pengobatan
serta melakukan perubahan pola hidupdan berpartispasi dalam program pengobatan
Intervensi :
a. Kaji kemampuan psen untuk belajar
b. Identifikasi gejala yang harus dilaporkan ke perawat
c. Tekankan pentingnya mempertahankan proten tinggi dan det karbohidrat dan
pemasukan cairan adekuat.
d. Berikan interuksi dan informasi tertuls khusus pada pasien untuk rujukan.
e. Jelaskan dosis obat, frekuensi pemberian, kerja yang diharapkan dan alasan
pengobatan lama.
f. Kaji potensial efek samping pengobatan dan pemecahan masalah
g. Tekankan kebutuhan untuk tidak minum alcohol sementara minum INH
h. Rujuk untuk pemeriksaan mata setelah memula dan kemudian tiap bulan
selama minum etambutol
i. Dorongan pasien/ atau orang terdekat untuk menyatakan takut / masalah.
Jawab pertanyaan dengan benar.

5. Resiko tinggi infeksi ( penyebaran / aktivasi ulang ) b.d pertahanan primer tak
adekuat , penurunan kerja silia, kerusakan jaringan, penurunan ketahanan,
malnutrisi, terpapar lngkungan
Kriteria hasil :
- Pasien menyatakan pemahaman penyebab / faktor resiko individu
- mengidentifkasi untuk mencegah / menurunkan resiko infeksi
- Menunjukkan teknik , perubahan pola hidup untuk peningkatan lingkungan yang
aman
Intervensi :
a. Kaji patologi penyakit dan potensial penyebaran infeksi
b. Identifikasi orang lain yang beresiko
c. Anjurkan pasien untuk batuk /bersin dan mengeluarkan pada tissue dan
menghindari meludah
d. Kaji tindakan kontrol infeksi sementara
e. Awasi suhu sesuai indikasi
f. Identifikasi faktor resiko individu terhadap pengaktifan berulang
g. Tekankan pentingnya tidak menghentikan terapi obat
h. Kolaborasi pemberian antibiotik
DAFTAR PUSTAKA

Doengoes Marilynn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC

Lynda Juall Carpenito. 1999. Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan , edisi 2.
Jakarta : EGC

Mansjoer dkk. 1999. Kapita Selekta Kedokteran ,edisi 3. Jakarta: FKUI

Price,Sylvia Anderson . 1999. Patofisologi: Konsep Klinis Proses – Proses penyakit , alih
bahasa Peter Anugrah, edisi 4. Jakarta : EGC

Tucker dkk. 1998. Standart Perawatan Pasien. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai