Anda di halaman 1dari 19

PARTAI POLITIK NASIONAL

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) adalah sebuah partai politik di Indonesia. Lahirnya PDI-P
dapat dikaitkan dengan peristiwa 27 Juli 1996. Dampak politik dari peristiwa ini adalah tampilnya Megawati
Soekarnoputri di kancah perpolitikan nasional. Walaupun sebelum peristiwa ini Megawati tercatat sebagai Ketua
Umum Partai Demokrasi Indonesia dan anggota Komisi I DPR, namun setelah peristiwa inilah, namanya dikenal
di seluruh Indonesia.[1]

Organisasi sayap

 Baitul Muslimin Indonesia


 Taruna Merah Putih
 Banteng Muda Indonesia

Susunan pengurus

Berikut merupakan susunan pengurus PDI Perjuangan untuk masa kerja 2015—2020 hasil Kongres IV di Hotel
Inna Grand Bali Beach, Bali, April 2015.[3].

 Ketua Umum: Megawati Soekarnoputri


 Sekretaris Jenderal: Hasto Kristiyanto
 Bendahara Umum: Olly Dondokambey

Partai Gerakan Indonesia Raya

Partai Gerakan Indonesia Raya atau Partai Gerindra, adalah sebuah partai politik di Indonesia yang didirikan
dan diketuai oleh Letnan Jenderal TNI (Purn) H. Prabowo Subianto. Partai Gerindra berdiri pada tanggal 6
Februari 2008. Pengurus dan aktivis partai ini dicirikan dengan pakaian safari lengan pendek dan panjang, serta
kopiah hitam. Inspirasi nama Gerindra berasal dari nama partai lama, Perindra, yang merupakan pemberian
langsung dari Presiden Soekarno.[butuh rujukan]

Pada periode 2009-2014, Partai Gerindra berada di luar kabinet pemerintahan pusat bersama Partai Demokrasi
Indonesia-Perjuangan dan Partai Hanura.

Pada Pemilu 2014, partai Gerindra mendapatkan 73 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Partai Gerindra mengusung Prabowo Subianto selaku Ketua Dewan Pembina sebagai calon presiden. Pada
periode 2014-2019, Partai Gerindra kembali berada di luar kabinet pemerintahan pusat bersama .

Kepengurusan DPP Gerindra

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Kepengurusan Partai Gerakan Indonesia Raya

Berikut adalah susunan kepengurusan utama Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Gerindra (2015–2020):
 Ketua Umum dan Ketua Dewan Pembina: H. Prabowo Subianto
 Sekretaris Jenderal: Ahmad Muzani
 Bendahara Umum: T.A. Muliatna Djiwandono

Jati Diri Partai Gerindra

Berdasarkan dokumen Manifesto Partai Gerindra[1], jati diri Partai GERINDRA adalah:

Kebangsaan = Partai Gerindra adalah partai yang berwawasan kebangsaan yang berpegang teguh pada
karakter nasionalisme yang kuat, tangguh, dan mandiri. Wawasan kebangsaan ini menjadi jiwa dalam
mewujudkan segala aspek kehidupan bernegara yang sejahtera, jaya dan sentosa .

Kerakyatan = Partai Gerindra adalah partai yang dibentuk dari, oleh, dan untuk rakyat sebagai pemilik
kedaulatan yang sah atas Republik Indonesia. Keberpihakan pada kepentingan rakyat merupakan sebuah
keniscayaan dalam arti semua pihak yakin untuk mewujudkan secara optimal hak-hak seluruh rakyat dalam
segala aspek kehidupannya utamanya di bidang kehidupan politiknya terlebih lagi kehidupan kegiatan
ekonominya.

Religius = Partai Gerindra adalah partai yang memegang teguh nilai‐nilai Ketuhanan Yang Maha Esa dengan
kebebasan menjalankan agama dan kepercayaan masing‐ masing. Nilai‐nilai religius senantiasa menjadi
landasan bagi setiap jajaran pengurus, anggota, dan kader Partai Gerindra dalam bersikap dan bertindak.

Keadilan Sosial = Partai Gerindra adalah partai yang mencita‐citakan suatu tatanan masyarakat yang
berkeadilan sosial, yakni masyarakat yang adil secara ekonomi, politik, hukum, pendidikan, dan kesetaraan
gender. Keadilan sosial harus didasari atas persamaan hak, pemerataan, dan penghargaan terhadap hak asasi
manusia.

Ikrar Kader Partai Gerindra

1. Siap sedia melanjutkan perjuangan pendiri bangsa, untuk mewujudkan cita cita Proklamasi
kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945
2. Siap sedia membela Negara Kesatuan Republik Indonesia, berdasarkan Pancasila dan Undang Undang
dasar 1945
3. Siap sedia membela kepentingan rakyat Indonesia, di atas kepentingan pribadi maupun golongan
4. Senantiasa setia kepada cita cita luhur partai
5. Tunduk dan patuh kepada ideologi dan disiplin partai, serta menjaga kehormatan, martabat, dan
kekompakan partai

Sayap-Sayap Partai Gerindra

Sayap Partai Gerindra untuk pemuda, Tunas Indonesia Raya kerap menyelenggarakan kegiatan yang menyasar
pemilih muda, misalkan kompetisi sepak bola U-15, dan diskusi politik untuk pemuda

Seperti partai politik lainnya, Partai Gerindra memiliki sayap-sayap untuk dapat mengakomodasi aspirasi dari
berbagai kalangan masyarakat. Misalkan, Tunas Indonesia Raya untuk pemuda, Perempuan Indonesia Raya
untuk perempuan, dan lain sebagainya.

Berikut ini adalah daftar lengkap organisasi sayap Partai Gerindra saat ini:

 Gerakan Rakyat Dukung Prabowo (Gardu Prabowo)


 Tunas Indonesia Raya (TIDAR)
 Perempuan Indonesia Raya (PIRA)
 Gerakan Kristiani Indonesia Raya (GEKIRA)
 Gerakan Muslim Indonesia Raya (GEMIRA)
 Sentral Gerakan Buruh Indonesia Raya (SEGARA)
 Persatuan Tionghoa Indonesia Raya (PETIR)
 Satuan Relawan Indonesia Raya (SATRIA)
 Kesehatan Indonesia Raya (KESIRA)
 Gerakan Masyarakat Sanathana Dharma Nusantara (GEMA SADHANA)
 Barisan Garuda Muda (BGM)
 Garuda Muda Indonesia (GMI)

Dukungan kepada Kepala Daerah Populer

Selama kurun waktu 2012 hingga 2013, Gerindra secara mengejutkan mampu meloloskan dua anggotanya
sebagai kepala daerah populer, yaitu Basuki Tjahaja Purnama sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta dan Ridwan
Kamil sebagai Wali kota Bandung.[2] Keduanya diberi kebebasan besar untuk menjalankan tugasnya. Basuki
Tjahaja Purnama dengan tegas menolak menjadi alat politik Gerindra karena telah diberitahu bahwa ia
diwakafkan bagi Jakarta.[3] Namun ia sempat hadir di kampanye Gelora Bung Karno.

Partai Golongan Karya

Partai Golongan Karya (Partai Golkar), sebelumnya bernama Golongan Karya (Golkar)[1] dan Sekretariat
Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar), adalah sebuah partai politik di Indonesia. Partai Golkar bermula
dengan berdirinya Sekber Golkar pada masa-masa akhir pemerintahan Presiden Soekarno, tepatnya 1964 oleh
Angkatan Darat untuk menandingi pengaruh Partai Komunis Indonesia dalam kehidupan politik. Dalam
perkembangannya, Sekber Golkar berubah wujud menjadi Golongan Karya yang menjadi salah satu organisasi
peserta Pemilu.

Dalam Pemilu 1971 (Pemilu pertama dalam pemerintahan Orde Baru Presiden Soeharto), salah satu pesertanya
adalah Golongan Karya dan mereka tampil sebagai pemenang. Kemenangan ini diulangi pada Pemilu-Pemilu
pemerintahan Orde Baru lainnya, yaitu Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Kejadian ini dapat
dimungkinkan, karena pemerintahan Soeharto membuat kebijakan-kebijakan yang sangat mendukung
kemenangan Golkar, seperti peraturan monoloyalitas PNS, dan sebagainya.

Setelah pemerintahan Soeharto selesai dan reformasi bergulir, Golkar berubah wujud menjadi Partai Golkar,
dan untuk pertama kalinya mengikuti Pemilu tanpa ada bantuan kebijakan-kebijakan yang berarti seperti
sebelumnya pada masa pemerintahan Soeharto. Pada Pemilu 1999 yang diselenggarakan Presiden Habibie,
perolehan suara Partai Golkar turun menjadi peringkat kedua setelah PDI-P.

Ketidakpuasan terhadap pemerintahan Megawati Soekarnoputri menjadi salah satu sebab para pemilih di
Pemilu legislatif 2004 untuk kembali memilih Partai Golkar, selain partai-partai lainnya seperti Partai Demokrat,
Partai Kebangkitan Bangsa, dan lain-lain. Partai Golkar menjadi pemenang Pemilihan Umum (Pemilu) Legislatif
pada tahun 2004 dengan meraih 24.480.757 suara atau 21,58% dari keseluruhan suara sah.

Kemenangan tersebut merupakan prestasi tersendiri bagi Partai Golkar karena pada Pemilu Legislatif 1999,
Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan mendominasi perolehan suara. Dalam Pemilu 1999, Partai Golkar
menduduki peringkat kedua dengan perolehan 23.741.758 suara atau 22,44% dari suara sah. Sekilas Partai
Golkar mendapat peningkatan 738.999 suara, tetapi dari prosentase turun sebanyak 0,86%.

Sejarah

Pada tahun 1964 untuk menghadapi kekuatan PKI (dan Bung Karno), golongan militer, khususnya perwira
Angkatan Darat ( seperti Letkol Suhardiman dari SOKSI) menghimpun berpuluh-puluh organisasi pemuda,
wanita, sarjana, buruh, tani, dan nelayan dalam Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar).

Sekber Golkar didirikan pada tanggal 20 Oktober 1964. Sekber Golkar ini lahir karena rongrongan dari PKI
beserta ormasnya dalam kehidupan politik baik di dalam maupun di luar Front Nasional yang makin meningkat.
Sekber Golkar ini merupakan wadah dari golongan fungsional/golongan karya murni yang tidak berada di bawah
pengaruh politik tertentu. Jumlah anggota Sekber Golkar ini bertambah dengan pesat, karena golongan
fungsional lain yang menjadi anggota Sekber Golkar dalam Front Nasional menyadari bahwa perjuangan dari
organisasi fungsional Sekber Golkar adalah untuk menegakkan Pancasila dan UUD 1945. Semula anggotanya
berjumlah 61 organisasi yang kemudian berkembang hingga mencapai 291 organisasi.

Dengan adanya pengakuan tentang kehadiran dan legalitas golongan fungsional di MPRS dan Front Nasional
maka atas dorongan TNI dibentuklah Sekretariat Bersama Golongan Karya, disingkat Sekber Golkar, pada
tanggal 20 Oktober 1964. Terpilih sebagai Ketua Pertama, Brigadir Jenderal (Brigjen) Djuhartono sebelum
digantikan Mayor Jenderal (Mayjen) Suprapto Sukowati lewat Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) I,
Desember 1965.

Pada awal pertumbuhannya, Sekber Golkar beranggotakan 61 organisasi fungsional yang kemudian
berkembang menjadi 291 organisasi fungsional. Ini terjadi karena adanya kesamaan visi di antara masing-
masing anggota. Organisasi-organisasi yang terhimpun ke dalam Sekber Golkar ini kemudian dikelompokkan
berdasarkan kekaryaannya ke dalam 7 (tujuh) Kelompok Induk Organisasi (KINO), yaitu:

1. Koperasi Serbaguna Gotong Royong (KOSGORO)


2. Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI)
3. Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR)
4. Organisasi Profesi
5. Ormas Pertahanan Keamanan (HANKAM)
6. Gerakan Karya Rakyat Indonesia (GAKARI)
7. Gerakan Pembangunan

Untuk menghadapi Pemilu 1971, 7 KINO yang merupakan kekuatan inti dari Sekber Golkar tersebut,
mengeluarkan keputusan bersama pada tanggal 4 Februari 1970 untuk ikut menjadi peserta Pemilu melalui satu
nama dan tanda gambar yaitu Golongan Karya (Golkar). Logo dan nama ini, sejak Pemilu 1971, tetap
dipertahankan sampai sekarang.

Pada Pemilu 1971 ini, Sekber Golkar ikut serta menjadi salah satu konsestan. Pihak parpol memandang remeh
keikutsertaan Golkar sebagai kontestan Pemilu. Mereka meragukan kemampuan komunikasi politik Golkar
kepada grassroot level. NU, PNI dan Parmusi yang mewakili kebesaran dan kejayaan masa lampau sangat
yakin keluar sebagai pemenang. Mereka tidak menyadari kalau perpecahan dan kericuhan internal mereka telah
membuat tokoh-tokohnya berpindah ke Golkar.

Hasilnya di luar dugaan. Golkar sukses besar dan berhasil menang dengan 34.348.673 suara atau 62,79 % dari
total perolehan suara. Perolehan suaranya pun cukup merata di seluruh provinsi, berbeda dengan parpol yang
berpegang kepada basis tradisional. NU hanya menang di Jawa Timur dan Kalimantan Selatan, Partai Katholik
di Nusa Tenggara Timur, PNI di Jawa Tengah, Parmusi di Sumatera Barat dan Aceh. Sedangkan Murba tidak
memperoleh suara signifikan sehingga tidak memperoleh kursi DPR.

Kemudian, sesuai ketentuan dalam ketetapan MPRS mengenai perlunya penataan kembali kehidupan politik
Indonesia, pada tanggal 17 Juli 1971 Sekber GOLKAR mengubah dirinya menjadi Golkar. Golkar menyatakan
diri bukan parpol karena terminologi ini mengandung pengertian dan pengutamaan politik dengan
mengesampingkan pembangunan dan karya.

September 1973, Golkar menyelenggarakan Musyawarah Nasional (Munas) I di Surabaya. Mayjen Amir
Murtono terpilih sebagai Ketua Umum. Konsolidasi Golkar pun mulai berjalan seiring dibentuknya wadah-wadah
profesi, seperti Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) dan
Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI).

Setelah Peristiwa G30S maka Sekber Golkar, dengan dukungan sepenuhnya dari Soeharto sebagai pimpinan
militer, melancarkan aksi-aksinya untuk melumpuhkan mula-mula kekuatan PKI, kemudian juga kekuatan Bung
Karno.

Pada dasarnya Golkar dan TNI-AD merupakan tulang punggung rezim militer Orde Baru. Semua politik Orde
Baru diciptakan dan kemudian dilaksanakan oleh pimpinan militer dan Golkar. Selama puluhan tahun Orde Baru
berkuasa, jabatan-jabatan dalam struktur eksekutif, legislatif dan yudikatif, hampir semuanya diduduki oleh
kader-kader Golkar.

Keluarga besar Golongan Karya sebagai jaringan konstituen, dibina sejak awal Orde Baru melalui suatu
pengaturan informal yaitu jalur A untuk lingkungan militer, jalur B untuk lingkungan birokrasi dan jalur G untuk
lingkungan sipil di luar birokrasi. Pemuka ketiga jalur terebut melakukan fungsi pengendalian terhadap Golkar
lewat Dewan Pembina yang mempunyai peran strategis.

Setelah Soeharto mengundurkan diri pada 1998, keberadaan Golkar mulai ditentang oleh para aktivis dan
mahasiswa.

Peraturan Monoloyalitas

Peraturan Monoloyalitas merupakan kebijakan pemerintahan Orde Baru yang mewajibkan semua pegawai
negeri sipil (PNS) untuk menyalurkan aspirasi politiknya kepada Golongan Karya. Setelah Suharto
mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998, kebijakan ini dicabut. Sekarang pegawai negeri sipil bebas
menentukan wadah aspirasi politiknya.

Kontroversi

Politisasi Sepak bola

Golkar mengklaim penurunan harga tiket pertandingan final Piala AFF 2010 berkat jasa Golkar.[2] Selain itu,
pada deklarasi calon gubernur Sulawesi Tenggara dari Partai Golkar, Nurdin Halid—ketua umum PSSI
sekaligus kader Partai Golkar—mengklaim 'sukses' Tim Nasional di kancah Piala AFF adalah karya Partai
Golkar.[3]

Dualisme kepemimpinan

Pada akhir tahun 2014 terjadi dualisme kepengurusan dalam tubuh Golkar, yang dipimpin oleh Aburizal Bakrie
hasil munas Bali dan Agung Laksono hasil munas Jakarta. Pada awal Maret 2015, Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia Republik Indonesia mengeluarkan surat keputusan yang mensahkan Golkar yang dipimpin oleh
Agung Laksono. Pada bulan April 2015, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta mengeluarkan putusan
sela menunda pelaksanaan surat keputusan yang dikeluarkan oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly
yang mengesahkan kepengurusan Partai Golkar kubu Agung Laksono. Pada tanggal 10 Juli 2015, empat hakim
yang mengadili kasus tersebut, yaitu Arif Nurdu'a, Didik Andy Prastowo, Nurnaeni Manurung dan Diah Yulidar
memutuskan untuk menolak gugatan yang diajukan oleh Ketua Umum Partai Golkar hasil Munas Bali Aburizal
Bakrie terkait dualisme kepengurusan partai. Putusan itu diambil dalam rapat permusyawaratan majelis hakim
PTTUN Jakarta. Dengan dibacakannya putusan PTUN itu, kepengurusan Golkar yang kemudian diakui oleh
pengadilan adalah hasil Munas Bali yang dipimpin oleh Agung Laksono sebagai ketua umum dan Zainudin
Amali sebagai sekjen[4][5]. Namun, pada Oktober 2015, Mahkamah Agung mengabulkan kasasi yang diajukan
oleh Golkar hasil Munas Bali pimpinan Aburizal Bakrie. Dualisme kepemimpinan ini mulai berakhir sejak
tercapainya kesepakatan untuk rekonsiliasi yang dipimpin oleh mantan Ketua Umum Partai Golkar yang juga
Wakil Presiden Jusuf Kalla pada awal tahun 2016. Kedua kubu juga sepakat untuk menyelenggarakan
musyawarah nasional luar biasa (Munaslub) pada pertengahan tahun 2016. Dualisme kepemimpinan ini resmi
berakhir pada 17 Mei 2016 dimana Setya Novanto terpilih sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar [1] yang baru
dalam penyelenggaraan Munaslub Golkar di Nusa Dua, Bali.

Ketua Umum DPP Golkar

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Daftar Ketua Umum Partai Golkar
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Kepengurusan Partai Golongan Karya

 Djuhartono (1964–1969)
 Suprapto Sukowati (1969–1973)
 Amir Moertono (1973–1983)
 Sudharmono (1983–1988)
 Wahono (1988–1993)
 Harmoko (1993–1998)
 Akbar Tandjung (1998–2004)
 Jusuf Kalla (2004–2009)
 Aburizal Bakrie (2009–2014 & Januari-Mei 2016)[6]
 Aburizal Bakrie & Agung Laksono (dualisme kepemimpinan) (2014–2016)
 Setya Novanto[7] (2016–2017)
 Airlangga Hartarto (2017–2019)

Partai Demokrat

Partai Demokrat adalah sebuah partai politik Indonesia. Partai ini didirikan pada 9 September 2001 dan
disahkan pada 27 Agustus 2003. Pendirian partai ini erat kaitannya dengan niat untuk membawa Susilo
Bambang Yudhoyono, yang kala itu menjadi Menteri Koordinator bidang Politik dan Keamanan di bawah
Presiden Megawati, menjadi presiden. Karena hal inilah, Partai Demokrat terkait kuat dengan figur Yudhoyono.

Pada Kongres IV Partai Demokrat yang diadakan di Hotel Shangri-La, Surabaya, 12 Mei 2015, Susilo Bambang
Yudhoyono kembali terpilih menjadi Ketua Umum untuk periode 2015-2020[1].

Ketua Umum

No. Ketua Umum Mulai Menjabat Akhir Jabatan Periode

1 Subur Budhisantoso 10 September 2001 23 Mei 2005 1

2 Hadi Utomo 23 Mei 2005 23 Mei 2010 2

3 Anas Urbaningrum 23 Mei 2010 23 Februari 2013 3


30 Maret 2013[2] 12 Mei 2015
4 Susilo Bambang Yudhoyono
12 Mei 2015[3] 12 Mei 2020 4

SBY terpilih sebagai Ketua Umum

Pada Kongres Luar Biasa Partai Demokrat yang diadakan di Bali tanggal 30 Maret 2013, Susilo Bambang
Yudhoyono ditetapkan sebagai ketua umum Partai Demokrat, menggantikan Anas Urbaningrum[4]. Susilo
Bambang Yudhoyono juga memilih Syarief Hasan sebagai Ketua Harian DPP Demokrat. Syarief Hasan di
Kabinet Indonesia Bersatu II juga menjabat sebagai Menteri Koperasi dan UKM [5]. Sementara, Marzuki Alie
ditunjuk sebagai Wakil Ketua Majelis Tinggi yang sebelumnya dijabat Anas Urbaningrum. Adapun Ketua Harian
Dewan Pembina dijabat oleh E.E. Mangindaan (Menteri Perhubungan)[6].

#ShameOnYouSBY

Kemunculan tagar ShameOnYouSBY dan beberapa tagar lainnya di Twitter yang menyerang Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono dan Partai Demokrat terjadi akibat keluarnya (walk out) sebagian besar anggota Fraksi
Partai Demokrat pada saat sidang paripurna pengesahan UU Pilkada yang berakibat pada dipilihnya kepala
daerah seperti gubernur, bupati, dan walikota oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daera

Partai Hati Nurani Rakyat

Partai Hati Nurani Rakyat, atau Partai Hanura, adalah sebuah partai politik di Indonesia. Dalam Pemilu 2009,
partai ini bernomor urut 1.[1]

Hanura kembali lolos dalam Pemilu 2014, dan mendapat nomor urut 10.[2]

Ketua Umum

# Nama Tahun Menjabat


1 Wiranto 2006–2016
2 Oesman Sapta Odang 2016–

Sejarah

Partai Hanura dirintis oleh Wiranto bersama para tokoh nasional yang menggelar pertemuan di Jakarta pada
tanggal 13 November-2006. Para tokoh tersebut adalah:

 Jend. TNI (Purn) Wiranto


 Yus Usman Sumanegara
 Dr. Fuad Bawazier
 Dr. Tuti Alawiyah AS
 Jend. TNI (Purn) Fachrul Razi
 Laksamana TNI (Purn) Bernard Kent Sondakh
 Prof. Dr. Achmad Sutarmadi
 Prof. Dr. Max Wullur
 Prof. Dr. Azzam Sam Yasin
 Jend. TNI (Purn) Subagyo Hadi Siswoyo
 Jend. Pol (Purn) Chaeruddin Ismail
 Samuel Koto
 Letjen. TNI (Purn) Suaidi Marasabessy
 Marsdya TNI (Purn) Budhy Santoso
 Djafar Badjeber
 Letjen. TNI (Purn) Ary Mardjono
 Elza Syarief
 Nicolaus Daryanto
 Anwar Fuadi
 Dr. Teguh Samudra

Pemilu 2014

Persiapan Hanura menuju kontestasi Pemilihan Umum 2014 agak terganggu, setelah Akbar Faisal, yang dikenal
sebagai vokalis Hanura di Senayan, mengundurkan diri.[3] Akbar mengaku ingin cari suasana politik baru dan
merasa jenuh dengan tugas kedewanan yang diembannya. Namun pada akhirnya dia diumumkan sebagai
Ketua DPP Bidang Politik Partai Nasdem[4] oleh Ketua Umum Nasdem, Surya Paloh.

Meskipun demikian, pada 17 Februari 2013, Hanura mendapat tambahan kekuatan partai menyusul
bergabungnya pengusaha sekaligus Bos MNC Group, Hary Tanoe.[5] Mantan politisi Nasdem itu dianggap
mampu untuk membangun citra Partai Hanura[6] lewat kekuatan media[7] yang dimilikinya.

Partai Nasional Demokrat

Partai NasDem adalah sebuah partai politik di Indonesia yang baru diresmikan di Hotel Mercure Ancol, Jakarta
Utara pada tanggal 26 Juli 2011[1]. Partai ini didukung oleh Surya Paloh yang merupakan pendiri organisasi
bernama sama yaitu Nasional Demokrat[2].

Pada Januari 2013, KPU menetapkan 10 partai politik yang lolos tahapan verifikasi administrasi dan faktual, dan
menjadikan Partai NasDem sebagai satu-satunya partai baru yang lolos sebagai peserta Pemilu 2014.[3] Pada
bulan yang sama, partai ini diramaikan oleh isu terjadinya konflik di tataran para elit partai. Ketua Majelis Tinggi
Partai Nasional Demokrat, Surya Paloh, kabarnya akan dicalonkan sebagai Ketua Umum Partai NasDem pada
Kongres Partai NasDem yang akan diadakan pada 25 Januari 2013 di Jakarta.[4] Pada bulan tersebut juga
terjadi aksi pemecatan terhadap Sekjen DPW DKI Garda Pemuda Nasdem, Saiful Haq, sekaligus pembekuan
kepengurusan DPW tersebut.[5] Pada kongres perdana partai ini, yang diadakan pada Januari 2013, seluruh
peserta kongres Partai NasDem yang berasal dari seluruh Indonesia secara aklamasi sepakat mengangkat
Surya Paloh sebagai Ketua Umum Partai NasDem yang baru, menggantikan Patrice Rio Capella.[6]

Susunan Dewan Pimpinan Pusat

Berikut ini adalah daftar kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat Partai NasDem [7]

 Ketua Umum : Surya Paloh


 Sekretaris Jenderal: Johnny G. Plate
 Bendahara Umum: Ahmad Hi. Ali

Organisasi Sayap

Partai NasDem memiliki beberapa organisasi sayap, di antaranya:[8][9][10]

 Badan Advokasi Hukum (BAHU) NasDem, diketuai oleh Taufik Basari -Pelaksana Tugas
 Gerakan Massa Buruh (Gemuruh), diketuai oleh Irma Chaniago[11]
 Liga Mahasiswa NasDem, diketuai oleh Willy Aditya
 Persatuan Petani Nasional Demokrat (Petani NasDem)[12]
 Garda Pemuda NasDem, diketuai oleh Martin Manurung

Partai Amanat Nasional


Partai Amanat Nasional (PAN) adalah sebuah partai politik di Indonesia. Asas partai ini adalah Akhlak Politik
Berlandaskan Agama yang Membawa Rahmat bagi Sekalian Alam (AD Bab II, Pasal 3 [2]). PAN didirikan pada
tanggal 23 Agustus 1998 berdasarkan pengesahan Depkeh HAM No. M-20.UM.06.08 tgl. 27 Agustus 2003.
Ketua Umum saat ini adalah Zulkifli Hasan[1]. Ketua Majelis Pertimbangan Partai dijabat oleh Soetrisno Bachir.[2]
Ketua Dewan Kehormatan Partai dijabat oleh Amien Rais.

Sejarah

Kelahiran Partai Amanat Nasional (PAN) dibidani oleh Majelis Amanat Rakyat (MARA), salah satu organ
gerakan reformasi pada era pemerintahan Soeharto, PPSK Muhamadiyah, dan Kelompok Tebet.

PAN dideklarasasikan di Jakarta pada 23 Agustus 1998 oleh 50 tokoh nasional, di antaranya mantan Ketua
umum Muhammadiyah Prof. Dr. H. Amien Rais, , Goenawan Mohammad, Abdillah Toha, Dr. Rizal Ramli, Dr.
Albert Hasibuan, Toety Heraty, Prof. Dr. Emil Salim, Drs. Faisal Basri, M.A., A.M. Fatwa, Zoemrotin, Alvin Lie
Ling Piao, dan lainnya.

Sebelumnya pada pertemuan tanggal 5–6 Agustus 1998 di Bogor, mereka sepakat membentuk Partai Amanat
Bangsa (PAB) yang kemudian berubah nama menjadi Partai Amanat Nasional (PAN).

PAN bertujuan menjunjung tinggi dan menegakkan kedaulatan rakyat, keadilan, kemajuan material, dan
spiritual. Cita-cita partai berakar pada moral agama, kemanusiaan, dan kemajemukan. Selebihnya PAN
menganut prinsip non-sektarian dan non-diskriminatif. Untuk terwujudnya Indonesia Baru, PAN pernah
melontarkan gagasan wacana dialog bentuk negara federasi sebagai jawaban atas ancaman disintegrasi. Titik
sentral dialog adalah keadilan dalam mengelola sumber daya sehingga rakyat seluruh Indonesia dapat benar-
benar merasakan sebagai warga bangsa.

Pada Pemilu 2004, PAN mencalonkan pasangan Amien Rais dan Siswono Yudo Husodo sebagai calon
presiden dan wakil presiden untuk dipilih secara langsung. Pasangan ini meraih hampir 15% suara nasional.

Pada 11 Desember 2011 Partai Amanat Nasional (PAN) dalam Rapat Kerja Nasional PAN 2011 di Jakarta
secara resmi mendukung Ketua Umum PAN Hatta Rajasa sebagai bakal calon presiden dalam Pemilu 2014[3].

Kegiatan

Tanggal 5–7 Juli 1998, dilaksanakan Tanwir Muhammadiyah di Semarang yang dihadiri oleh seluruh jajaran
Pimpinan Pusat Muhammadiyah serta utusan dari tingkat Wilayah (provinsi). Dalam sidang komisi, mayoritas
peserta menginginkan agar warga Muhammadiyah membangun partai yang baru. Namun dalam keputusan
resmi dinyatakan, bahwa Muhammadiyah tidak akan pernah berubah menjadi parpol, juga tidak akan
membidani lahirnya sebuah parpol. Tetapi warga Muhammadiyah diberi keleluasaan untuk terlibat dalam parpol
sesuai dengan minat dan potensinya.

Tanggal 22 Juli 1998, Amien Rais menghadiri pertemuan MARA di hotel Borobudur. Hadir dalam acara
membahas situasi politik terahir ini, antara lain: Goenawan Mohammad, Fikri Jufri, Dawan Raharjo, Ratna
Sarumpaet, Zumrotin, dan Ismet Hadad. Dari hasil diskusi dan evaluasi kinerja MARA, Goenawan kemudian
menyimpulkan bahwa disepakati perlunya MARA memersiapkan pembentukan partai, disamping fungsinya
semula sebagai gerakan moral. Tim kecil yang diharapkan akan membidani lahirnya sebuah parpol kemudian
dibentuk.

Ketua Umum PAN

No. Ketua Umum Mulai Menjabat Akhir Jabatan Periode

1 Amien Rais 23 Juni 1998 23 Agustus 2004 1

2 Soetrisno Bachir 2005 2010 2


3 Hatta Rajasa 2010 2015 3

4 Zulkifli Hasan 2015 Petahana (2020) 4

Sayap-Sayap

 Barisan Muda Penegak Amanat Nasional (BM PAN)


 PAN Muda Untuk Indonesia (Pandu Indonesia)
 Perempuan Amanat Nasional (PUAN)
 Penegak Amanat Reformasi Rakyat Indonesia (PARRA Indonesia)
 Garda Muda Nasional (GMN)

Partai Berkarya

Partai Berkarya, adalah sebuah partai politik yang merupakan fusi dari 2 partai politik, yaitu Partai Beringin
Karya dan Partai Nasional Republik. Partai ini didirikan pada tanggal 15 Juli 2016, dan mendapatkan legitimasi
hukum dan sah sebagai partai politik di Indonesia pada tanggal 17 Oktober 2016 setelah Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly mengeluarkan surat keputusan.[2] Partai Berkarya dipimpin oleh Hutomo
Mandala Putra atau Tommy Soeharto, dan posisi Sekretaris Jenderal dijabat oleh Priyo Budi Santoso. Tommy
sebelumnya menjabat sebagai Ketua Majelis Tinggi dan Dewan Pembina Partai. [3]

Partai Berkarya pada umumnya membuat program yang nyaris sama dengan partai lainnya, seperti memberikan
bantuan kepada petani, nelayan, hingga usaha kecil dan menengah.[4] Mereka juga menargetkan untuk bisa
mengikuti Pemilu 2019 dan menempati peringkat 3 besar.[5]

Sejarah

Pada tahun 2009, Tommy Soeharto ikut bertarung memperebutkan kepemimpinan Partai Golkar, bekas
kendaraan politik ayahnya, namun gagal meraih suara. [6] Pada tahun 2016, sebuah laporan menyatakan bahwa
Tommy akan kembali mengikuti pemilihan ketua umum Golkar, namun dirinya tidak berpartisipasi. [7] Sebagai
gantinya, ia bergabung dengan Partai Berkarya yang baru terbentuk.

Berkarya adalah hasil penggabungan dari Partai Beringin Karya dan Partai Nasional Republik (Nasrep).[8] Partai
ini didirikan pada tanggal 15 Juli 2016 bertepatan dengan ulang tahun Tommy, dan diakui oleh pemerintah
sebagai partai politik yang sah pada tanggal 17 Oktober 2016. Pada tanggal 13 Oktober 2017, partai ini terdaftar
di Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk bersaing di pemilihan umum tahun 2019.[9]

Secara kontroversial, Partai Berkarya menggunakan logo pohon beringin dan warna kuning yang telah menjadi
ciri khas Golkar. Ketua Umum Berkarya Neneng A. Tuty mengatakan bahwa ini hanya kesamaan semata-mata
dan bukan upaya untuk meniru Golkar.[10]

Pada tahun 2017, Berkarya mengumumkan bahwa mereka akan mengusung Tommy sebagai calon presiden
untuk masa jabatan 2019 hingga 2024 "untuk memulihkan kejayaan Indonesia, seperti swasembada pangan,
pembangunan dan menciptakan keadilan".[11] Di sisi lain, pengacara Tommy kemudian membantah bahwa
kliennya akan berpartisipasi untuk jabatan tersebut.

Kebijakan dan rencana

Situs web Berkarya menyatakan bahwa mereka bertujuan untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingan
rakyat dalam setiap keputusan dan kebijakan politik dan pemerintahan.[12]
Pada tahun pertama eksistensinya, Berkarya mendirikan kepengurusan daerah di 34 provinsi di Indonesia dan
di 514 kabupaten dan kota, sesuai dengan persyaratan verifikasi dari KPU bagi partai-partai yang ingin
mengikuti pemilihan umum 2019.[13] Partai ini berharap bisa masuk dalam tiga partai teratas pada pemilu 2019
dengan memanfaatkan rasa nostalgia masyarakat terhadap era Soeharto. [14] Neneng menyatakan dirinya yakin
bahwa Berkarya bisa menempati posisi dua besar, karena banyaknya tokoh dan politikus ternama yang
bergabung dalam partai tersebut. Ia juga meyakini bahwa masih banyak orang yang merindukan kemakmuran
era Soeharto.[15]

Pada tanggal 23 Januari 2017, Dewan Pimpinan Daerah (DPD) II Partai Berkarya Kota Makassar secara resmi
membentuk Srikandi Partai Berkarya, untuk merekrut anggota-anggota baru dan mensosialisasikan Partai
Berkarya di tengah-tengah masyarakat Kota Makassar.[16]

Pada bulan Agustus 2017, Berkarya meresmikan sayap partai yang disebut Perisai (yang merupakan akronim
dari Patriot Organisasi Pagar Negeri). Ketua Umum Perisai, Tri Joko Susilo, mengatakan bahwa organisasi ini
bertujuan untuk melindungi agenda politik Tommy beserta partai, dan melindungi Indonesia dari masalah
kemiskinan, disintegrasi dan tantangan global. Organisasi ini menyatakan bahwa mereka akan berusaha
memperbaiki rantai distribusi komoditas untuk memperbaiki ketidakseimbangan yang saat ini menguntungkan
para tengkulak petani. Perisai berencana untuk secara bertahap membangun gudang atau titik transit untuk
produk pertanian, perkebunan dan hasil perikanan, sehingga perantara tidak lagi dapat mengeksploitasi
produsen. Tri Joko mengatakan bahwa Perisai akan membantu mengembalikan kejayaan pangan Indonesia
dengan mempromosikan penggunaan pupuk organik untuk meningkatkan kualitas tanah dan hasilnya.[17]

Calon presiden

Untuk mengajukan kandidat pada pemilihan presiden 2019, setiap partai politik memerlukan sedikitnya 20%
kursi di parlemen, atau setidaknya 25% suara rakyat, atau mereka harus membentuk koalisi untuk mencapai
angka yang diperlukan.[18]

Pada bulan September 2017, ketika ditanya apakah dia akan mencalonkan diri sebagai presiden, Tommy
mengatakan bahwa dia belum memikirkan sampai sejauh itu, karena dia memilih fokus pada verifikasi
partainya.[19] Pada tanggal 5 Oktober 2017, pengacara Tommy Erwin Kallo membantah bahwa kliennya akan
mengikuti pemilihan presiden tahun 2019. Dia mengatakan Tommy tidak ingin terlibat aktif dalam politik praktis,
dan menambahkan bahwa beberapa "akun palsu" di media sosial mengklaim bahwa organisasi massa telah
bertemu dengan Tommy dan mendukungnya untuk mencalonkan diri.[20]

Organisasi

Tommy adalah ketua Dewan Pembina Partai dan Majelis Tinggi Partai. Ketua Umum partai dijabat oleh Neneng
A. Tuty, mantan promotor tinju yang juga memimpin Partai Nasrep dan kelompok nasionalis sayap kanan Laskar
Merah Putih.[21][22] Mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Laksamana TNI (Purn.) Tedjo Edi
Purdijatno, adalah Ketua Dewan Pertimbangan di partai ini.[23][24] Mantan Komandan Jenderal Kopassus dan
mantan wakil kepala Badan Intelijen Negara, Mayor Jenderal TNI (Purn.) Muchdi Purwoprandjono, menjabat
sebagai Wakil Ketua Dewan Pembina Partai.[25] Mantan Komandan Polisi Militer TNI dan mantan kepala bidang
intelijen Kejaksaan Agung, Mayor Jenderal TNI (Purn.) Syamsu Djalal, menjabat sebagai Ketua Dewan
Penasehat.

Berkarya mengalami konflik internal pada bulan Juli 2017 ketika salah satu pengurus Dewan Pimpinan Pusat,
Nurul Candrasari yang juga mantan anggota Golkar, dipecat dari posisinya. [26] Dia menanggapi dengan
melaporkan Neneng dan Badaruddin ke polisi atas pemecatan yang dianggapnya "ilegal". [27]

Dewan Pimpinan Pusat

 Ketua Dewan Pembina Partai: Hutomo Mandala Putra


 Ketua Dewan Pertimbangan: Siti Hediati Hariyadi
 Ketua Dewan Kehormatan: Syamsu Djalal
 Ketua Majelis Tinggi: Hutomo Mandala Putra
 Ketua Dewan Pakar: Laode Kamaluddin

Dewan Eksekutif

 Ketua Umum: Hutomo Mandala Putra


 Wakil Ketua: Sonny Puji Sasono, Tintin Hendrayani, Ourida Seskania, Hari Saputra Yusuf [28]
 Ketua Harian Partai: Arsyad Kasmar
 Sekretaris Jenderal: Priyo Budi Santoso
 Bendahara Umum: Raden Mas Hendryanto Joyoningrat

Partai Kebangkitan Bangsa


Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), adalah sebuah partai politik berideologi Konservatisme di Indonesia. Partai
ini didirikan di Jakarta pada tanggal 23 Juli 1998 (29 Rabi'ul Awal 1419 Hijriyah) yang dideklarasikan oleh para
kiai-kiai Nahdlatul Ulama, seperti Munasir Ali, Ilyas Ruchiyat, Abdurrahman Wahid, A. Mustofa Bisri, dan A.
Muhith Muzadi).

Tokoh-Tokoh penting PKB

 Abdurahman Wahid
 Ma'ruf Amin
 Mustofa Bisri
 Cholil Bisri
 Alwi Shihab
 Yenny Wahid
 Khofifah Indar Parawansa

Daftar Ketua Umum PKB

No. Ketua Umum Mulai Menjabat Akhir Jabatan Periode

1 Matori Abdul Djalil 23 Juli 1998 15 Agustus 2001


1

Pjs 15 Agustus 2001 17 Januari 2002

Alwi Shihab
2 17 Januari 2002 25 Mei 2005 2

25 Mei 2005 23 Juli 2010 3


23 Juli 2010 1 September 2014 4
3 Muhaimin Iskandar
1 September 2014 Petahana (2019) 5

Partai Persatuan Pembangunan

Partai Persatuan Pembangunan (disingkat PPP atau P tiga) adalah sebuah partai politik di Indonesia. Pada
saat pendeklarasiannya pada tanggal 5 Januari 1973 partai ini merupakan hasil gabungan dari empat partai
keagamaan yaitu Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Serikat Islam Indonesia (PSII), Persatuan Tarbiyah
Islamiyah (Perti) dan Parmusi. Ketua sementara saat itu adalah Mohammad Syafa'at Mintaredja. Penggabungan
keempat partai keagamaan tersebut bertujuan untuk penyederhanaan sistem kepartaian di Indonesia dalam
menghadapi Pemilihan Umum pertama pada masa Orde Baru tahun 1973.

Ketua umum

Jabatan ketua umum pada awalnya berbentuk presidium yang terdiri dari KH Idham Chalid sebagai Presiden
Partai serta Mohammad Syafa'at Mintaredja, Thayeb Mohammad Gobel, Rusli Halil, dan Masykur sebagai wakil
presiden partai.
Berikut ini daftar ketua umum dengan masa jabatannya:

Ketua umum Periode


Mohammad Syafa'at Mintaredja 1973–1978
Djaelani Naro 1978–1989
Ismail Hassan Metareum 1989–1998
Hamzah Haz 1998–2007
Suryadharma Ali 2007–2014
Muhammad Romahurmuziy 2016–

Partai Keadilan Sejahtera

Partai Keadilan Sejahtera (PKS), sebelumnya bernama Partai Keadilan (PK), adalah sebuah partai politik
berbasis Islam di Indonesia.

Sejarah

Gerakan dakwah kampus

Asal usul PKS dapat ditelusuri dari gerakan dakwah kampus yang menyebar di universitas-universitas Indonesia
pada 1980-an. Gerakan ini dapat dikatakan dipelopori oleh Muhammad Natsir, mantan Perdana Menteri
Indonesia dari Masyumi (dibubarkan pada 1960) yang mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII)
pada 1967. Lembaga ini awalnya fokus kepada usaha mencegah kegiatan misionari Kristen di Indonesia.[2]
Peran DDII yang paling krusial adalah kelahiran Lembaga Mujahid Dakwah yang berafiliasi dengan DDII,
dipimpin Imaduddin Abdulrahim yang aktif melakukan pelatihan keagamaan di Masjid Salman, Institut Teknologi
Bandung.[3]

Pada 1985, rezim Orde Baru mewajibkan seluruh organisasi massa menjadikan Pancasila sebagai asasnya. Ini
membuat sejumlah tokoh Islamis berang dan menyebut rezim Soeharto telah memperlakukan politik Islam
sebagai kutjing kurap.[3] Pada saat yang sama, Jamaah Tarbiyah meraih momentumnya di kalangan mahasiswa
kader Rohis dan aktivis dakwah di kampus-kampus.[4] Pada tahun 1993, Mustafa Kamal, seorang kader Jamaah
Tarbiyah, memenangi pemilihan mahasiswa untuk Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia,
kader Jamaah pertama yang memegang kekuasaan di level universitas. Setahun kemudian, Zulkieflimansyah,
juga kader Jamaah Tarbiyah, menjadi Ketua Senat Mahasiswa di universitas yang sama. [4]

Para anggota Jamaah Tarbiyah kemudian mendirikan Lembaga Dakwah Kampus, yang kemudian menjadi unit-
unit kegiatan mahasiswa yang resmi di berbagai kampus sekuler di Indonesia, seperti di Universitas Indonesia,
terutama oleh para aktivis Forum Studi Islam.

Saat itu, kata usrah yang sering dipakai untuk menyebut kelompok-kelompok kecil pengajian di LDK mulai
diasosiasikan, dengan menggunakan sistem sel ala Ikhwanul Muslimin untuk merekrut kader.[5]

Meskipun adanya berbagai faksi dan kubu di dalam tubuh LDK, semuanya sepakat membentuk Forum
Silaturahmi Lembaga Dakwah Kampus (FSLDK) pada 1986.[6]. Pertemuan tahunan ke-10 FSLDK di Malang
pada 1998 dimanfaatkan untuk deklarasi Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI).[7]

Partai Keadilan

KAMMI muncul sebagai salah satu organisasi yang paling vokal menyuarakan tuntutan reformasi melawan
Soeharto, dipimpin oleh Fahri Hamzah.[4] Sejurus setelah mundurnya Soeharto pada 21 Mei 1998, para tokoh
KAMMI telah mempertimbangkan berdirinya sebuah partai Islam. Partai tersebut kemudian diberi nama Partai
Keadilan (disingkat PK). Kendati tokoh elit KAMMI memiliki kontribusi dalam pembentukan PK, KAMMI dan PK
secara tegas menyatakan bahwa tidak memiliki hubungan formal.
Partai Keadilan dideklarasikan di Masjid Al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta, pada 20 Juli 1998, dan mengangkat
Nurmahmudi Isma'il sebagai presiden pertamanya. Di pemilihan umum legislatif Indonesia 1999, PK mendapat
1,436,565 suara, sekitar 1,36% dari total perolehan suara nasional dan mendapat tujuh kursi di Dewan
Perwakilan Rakyat.[8] Meskipun demikian, PK gagal memenuhi ambang batas parlemen sebesar dua persen,
sehingga memaksa partai ini melakukan stembus accord dengan delapan partai politik berbasis Islam lainnya
pada Mei 1999.[3][9]

Nurmahmudi kemudian, ditawarkan jabatan Menteri Kehutanan di Kabinet Persatuan Nasional bentukan
presiden Abdurrahman Wahid pada Oktober 1999. Ia menyetujui tawaran tersebut dan menyerahkan jabatan
presiden partai kepada Hidayat Nur Wahid, seorang doktor lulusan Universitas Islam Madinah, sejak 21 Mei
2000.[3]

Karena kegagalan PK memenuhi ambang batas parlemen di pemilihan umum selanjutnya, menurut regulasi
pemerintah, mereka harus mengganti nama. Pada 2 Juli 2003, Partai Keadilan Sejahtera menyelesaikan seluruh
proses verifikasi Departemen Hukum dan HAM di tingkat Dewan Pimpinan Wilayah (setingkat provinsi) dan
Dewan Pimpinan Daerah (setingkat kabupaten dan kota). Sehari kemudian, PK resmi berubah nama menjadi
Partai Keadilan Sejahtera.[10]

Partai Keadilan Sejahtera

Dengan bergantinya PK menjadi PKS, partai ini kembali bertanding di pemilihan umum legislatif Indonesia 2004.
PKS meraih total 8,325,020 suara, sekitar 7.34% dari total perolehan suara nasional. PKS berhak mendudukkan
45 wakilnya di DPR dan menduduki peringkat keenam partai dengan suara terbanyak, setelah Partai
Demokrat.[11] Presiden partai, Hidayat Nur Wahid, terpilih sebagai ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat
dengan 326 suara, mengalahkan Sutjipto dari PDIP dengan 324 suara.[12] Hidayat menyerahkan jabatan
presiden kepada Tifatul Sembiring, juga seorang mantan aktivis kampus dan pendiri PKS.[4]

Jaringan

PKS, lewat bidang Kepanduan dan Olahraga yang berada sejajar dengan bidang teritorial dan badan-badan
lainnya di bawah presiden, telah mengembangkan berbagai organisasi kepanduan yang berfungsi sebagai
"sayap partai" yang berafiliasi secara formal dengan partai, seperti Garda Keadilan,[13] organisasi pemuda Gema
Keadilan, Yayasan Pemuda dan Pelajar Asia Pasifik (YPPAP), serta Gugus Tugas Dakwah Sekolah (GTDS).[3]

Bidang Kebijakan Publik mengurusi teritorial politik dan berhubungan dengan kelompok pemikir yang berafiliasi
formal atau tidak formal dengan PKS, antara lain Serikat Pekerja Keadilan (SPK)[13] Perhimpunan Petani
Nelayan Sejahtera Indonesia (PPNSI),[13] Central for Indonesian Reform (CIR), Pusat Advokasi Hukum dan Hak
Asasi Manusia (PAHAM), Institute for Economics Studies (INFES), Institute of Students and Youth for
Democracy (INSYD) dan Yayasan Pengembangan Sumber Daya Pemuda (CYFIS).[3]

Kepengurusan DPP PKS

Berikut susunan DPP PKS Hasil masa khidmat 2015-2020

 Ketua Majelis Syuro : Dr. Salim Segaf Al-Jufri


 Wakil Ketua Majelis Syuro : Dr. Hidayat Nur Wahid
 Sekretaris Majelis Syuro : Ir. H. Untung Wahono M.Si
 Ketua Majelis Pertimbangan Pusat : Suharna Surapranata MT
 Ketua Dewan Syariah Pusat : Dr. KH. Surahman Hidayat
 Presiden : Sohibul Iman Ph.D
 Sekretaris Jenderal : Mustafa Kamal S.S
 Wakil Sekretaris Jenderal : KH. Ir. Abdul Hakim MM
 Bendahara Umum : Mahfudz Abdurrahman S.Sos
 Wakil Bendahara Umum : Dr. Abdul Kharis Al Masyhari

Kontroversi

PKS Watch

Pada tahun 2010, muncul sebuah situs blog bernama PKSWatch yang mengkritik kebijakan-kebijakan PKS dan
menuai reaksi keras dari simpatisan PKS, yang kemudian mendorong terbentuknya blog PKSWatch Watch.
Situs ini bukanlah situs resmi PKS. Namun belakangan situs ini tidak kembali muncul ke publik karena merasa
adanya perbedaan pandangan dengan PKS.[34]
Forum Kader Peduli

Forum Kader Peduli, berdiri pada September 2008 dan berpusat di Masjid Al Hikmah Mampang Prapatan,
tempat PKS pertama kali dideklarasikan. Tokoh penting yang jadi pentolan di forum ini antara lain Yusuf
Supendi, salah satu deklarator Partai Keadilan. Namun di balik Yusuf, ada lagi tokoh yang lebih berpengaruh
yakni Syamsul Balda, mantan wakil presiden Partai Keadilan. Forum ini ditujukan untuk "membeberkan" "borok"
para petinggi PKS saat itu.[35]

Ilusi Negara Islam

Pada 16 Mei 2009, sebuah buku bertajuk Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di
Indonesia diterbitkan oleh The Wahid Institute, Gerakan Bhinneka Tunggal Ika, Maarif Institute, dan Libforall
Foundation.[36] Peluncuran buku ini dihadiri oleh mantan presiden, Abdurrahman Wahid, mantan Ketua Umum
PP Muhammadiyah, Ahmad Syafii Maarif dan tokoh Nahdlatul Ulama, Mustofa Bisri.

Buku ini menuai kontroversi baik di dalam maupun luar negeri[37] karena melukiskan PKS dan Hizbut Tahrir
Indonesia[38] sebagal kelompok garis keras Islam transnasional. Dalam buku ini, PKS dilukiskan melakukan
infiltrasi ke sekolah dan perguruan tinggi negeri dan berbagai institusi yang mencakup pemerintahan dan
organisasi kemasyarakatan Islam, antara lain Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.[39] Buku ini diklaim telah
melanggar kode etik penelitian dan beberapa informasi yang sulit dipercaya, seperti dicantumkannya Gus Dur
sebagai editor, padahal saat itu dia sedang mengalami gangguan penglihatan,[40] sampai gugatan tiga orang
dosen IAIN Sunan Kalijaga karena merasa namanya dicatut sebagai tim peneliti.[41]

Keterbukaan

PKS menggelar musyawarah kerja nasional 2008 mereka di Hotel Inna Grand Beach, Sanur, Denpasar, Bali,
pada 1 Februari 2008.[42] Sebagian elite partai mendeklarasikan PKS sebagai partai terbuka, yang berarti PKS
akan menerima calon non-Muslim bertanding atas tiket partai tersebut.[43][44] Namun, pernyataan tersebut
memicu konflik internal antara kalangan petinggi partai. Ketua Dewan Syariah Pusat, Surahman Hidayat
menyatakan mendukung langkah tersebut.[45]

Keputusan ini ditentang habis-habisan oleh salah satu pendiri PK, Yusuf Supendi. Ia menuding Ketua Majelis
Syura, Hilmi Aminuddin, dan sekretaris jenderal saat itu, Anis Matta (sekarang presiden) sebagai kalangan yang
menginginkan PKS sebagai sebuah partai terbuka.[3][46]

Dalam Mukernas ke-2 di Hotel Ritz Carlton, Jakarta, pada 16 Juni 2010, dibahas pula kemungkinan non-Muslim
duduk di kepengurusan partai.[47] Namun, sampai saat ini masih belum ada realisasi dari kemungkinan tersebut,
selain adanya beberapa calon legislatif non-Muslim yang bertanding menggunakan tiket PKS untuk pemilihan
umum legislatif Indonesia 2014 di daerah pemilihan Indonesia Timur, seperti Nusa Tenggara Timur[48] Sulawesi
Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Papua, dan Papua Barat.[49]

Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia

Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), sebelumnya bernama Partai Keadilan dan Persatuan
(PKP), adalah sebuah partai politik di Indonesia. Partai ini dideklarasikan di Jakarta tanggal 15 Januari 1999.
PKPI pertama kali ikut serta dalam Pemilu 1999. PKPI bermula dengan dibentuknya Gerakan Keadilan, dan
Persatuan Bangsa (GKPB) pada tahun 1998 yang dikoordinasikan oleh Siswono Yudhohusodo, Sarwono
Kusumaatmadja, David Napitupulu dan Tatto S. Pradjamanggala.

Ketua Umum PKPI saat ini dijabat oleh Diaz Faisal Malik Hendropriyono, sejak 19 Mei 2018.[1]

Sejarah

Logo PKP pada Pemilu 1999


Partai ini didirikan dengan nama Partai Keadilan dan Persatuan pada bulan Desember 1998 sebagai partai
pecahan Golkar. Menurut para pemimpin PKP, terutama Jenderal (Purn) Edi Sudrajat, pemimpin PKP, Golkar
kurang kooperatif dengan gerakan reformasi yang saat itu aktif. PKP juga berpendapat bahwa sikap Golkar
terhadap Pancasila dan UUD 1945 serta mengancam kesatuan Indonesia.[2]

Partai ini menentang International Monetary Fund dan privatisasi. Dukungan utama terhadap PKPI berasal dari
Sumatera Utara, Jawa Barat dan Jawa Tengah.[6]

Kepengurusan

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Kepengurusan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia

Pada 27 Agustus 2016, dalam Kongres Luar Biasa (KLB) PKPI di Hotel Millenium, Jakarta, Jenderal TNI (Purn)
AM Hendropriyono terpilih secara aklamasi menjadi Ketua Umum PKPI. KLB ini dihadiri oleh 33 DPD dan 498
Dewan Pimpinan Kabupaten (DPK) se-Indonesia.[1]

Daftar Ketua
No. Ketua Umum Dari Sampai Periode Ref
15 Januari 1999 2 Juni 2005 1 [7][8]
1 Edi Sudradjat
2 Juni 2005 1 Desember 2006
2 [9]
2 Meutia Hatta 14 Januari 2008 13 April 2010
3 Sutiyoso 13 April 2010 15 Juni 2015 [10][11]
3 [12]
Plt. Isran Noor 23 Juni 2015 27 Agustus 2016
4 AM Hendropriyono 27 Agustus 2016 13 April 2018
4 [13]
5 Diaz Hendropriyono 19 Mei 2018 Petahana (2024)

Partai Persatuan Indonesia

Partai Persatuan Indonesia atau biasa disingkat Partai Perindo adalah sebuah partai politik di Indonesia.
Partai ini didirikan oleh Hary Tanoesoedibjo, pengusaha dan pemilik MNC Group, sebuah perusahaan yang
bergerak dalam bidang media. Perindo di deklarasikan pada 7 Februari 2015 di Jakarta International Expo,
Kemayoran, Jakarta[1]. Pada acara deklarasi tersebut, dihadiri oleh beberapa petinggi Koalisi Merah Putih
(KMP), seperti Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie, Ketua Umum Partai Amanat Nasional Hatta Rajasa,
Presiden Partai Keadilan Sejahtera Anis Matta, dan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Djan Faridz.
Selain itu juga hadir Wiranto, Ketua Umum Hanura[2]. Awalnya Perindo adalah ormas yang baru dideklarasikan
pada 24 Februari 2013 di Istora Senayan, Jakarta[3][4].

Kepengurusan DPP Perindo

 Ketua Umum : Hary Tanoesoedibjo


 Ketua Umum : Hary Tanoe
 Sekretaris Jenderal : Ahmad Rofiq
 Bendahara Umum : Henry Suparman
Partai Solidaritas Indonesia

Partai Solidaritas Indonesia (disingkat PSI) adalah partai politik di Indonesia yang baru didirikan pasca Pemilu
tahun 2014. Partai ini diketuai oleh mantan presenter berita Grace Natalie. Partai ini cenderung mengambil
target partisipan kalangan anak muda, perempuan dan lintas agama.[1]

Tokoh-tokoh partai ini banyak mengajak warga negara muda untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan politik.
Sebagai contoh adalah dalam perayaan HUT Republik Indonesia yang ke-70 (pada Agustus 2015) dan Pemilu
Kepala Daerah serentak (pada Desember 2015). Tokoh-tokoh partai ini menggunakan media sosial Twitter dan
Facebook secara aktif untuk mengajak warga muda dalam berpartisipasi dalam kegiatan politik. Sebagai contoh
adalah dengan menciptakan hash tag pada jejaring sosial seperti #Merdeka100Persen saat HUT RI ke 70 dan
#KepoinPilkada saat Pilkada serentak pada Desember 2015 yang lalu. [2][3]

Partai ini telah menyelenggarakan Kopi Darat Nasional (KopDarNas) yang bertempat di Jakarta pada tanggal 16
November 2015.

Partai ini membawa platform tentang solidaritas, pluralitas beragama, suku, dan bangsa. Partai ini mengklaim
akan mengisi tokoh-tokoh partai dengan anak muda dan tidak ingin adanya "bekas" politisi partai lain yang
memasuki partai ini. Ada aturan bahwa pengurus partai dibatasi maksimal 45 tahun, dan saat ini pengurus
daerah rata-rata berumur 20-30 tahun. Selain itu Partai ini tidak mau bertumpu kepada seorang tokoh untuk
mengangkat nama partai, seperti partai politik lain kebanyakan. Partai ini juga mengklaim transparansi
sumbangan finansial, khususnya memisahkan pengaruh bisnis dari operasional partai.[4]

Partai ini resmi menjadi Badan Hukum setelah melalui verifikasi Kementerian Hukum dan HAM pada tanggal 7
Oktober 2016. Partai ini jadi satu-satunya Partai baru yang lolos seleksi badan hukum pasca Pilpres 2014. [5].

Tokoh-Tokoh Partai

 Grace Natalie (Mantan Presenter), Ketua Umum


 Raja Juli Antoni (Mantan Ketua PP Ikatan Pelajar Muhammadiyah, Mantan Direktur Maarif Institute),
Sekretaris Jenderal
 Isyana Bagoes Oka (Mantan Presenter)[6]
 Tsamara Amany [7]
 Hendri Arnis (Wali kota Padangpanjang 2013-2018)[8]
 Giring Ganesha (Vokalis Nidji)[9]
 Mohamad Guntur Romli (Aktivis NU) [10]
 Hariyanto Arbi (Atlet Bulutangkis)[11][12]
 Rian Ernest (Pengacara, Politikus)
 Patriot Muslim (Aktivis)

Partai Garuda

Partai Gerakan Perubahan Indonesia atau Partai Garuda (bahasa Inggris: Garuda Party), adalah sebuah
partai politik di Indonesia. Partai Garuda dideklarasikan pada tanggal 16 April 2015. Ahmad Ridha Sabana
menjabat sebagai Ketua Umum partai. Pada tahun 2015, melalui surat keputusan dari Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia Yasonna Laoly, Partai Garuda mendapatkan ketetapan hukum dan resmi menjadi partai politik.

Sejarah
Pendirian partai

Partai Gerakan Perubahan Indonesia (Partai Garuda) ini merupakan perubahan nama partai yang didirikan oleh
seorang menteri dan ketua MPR/DPR periode 1997-1999 di zaman Orde Baru, Harmoko yakni Partai
Kerakyatan Nasional. Partai Kerakyatan Nasional didirikan di Jakarta pada tanggal 30 November 2007, lalu
pada 5 April 2008 disahkan oleh Menteri Hukum dan HAM RI melalui Surat Keputusan No. M. HH-25.AH.11.01
tahun 2008. Deklarasi Partai Kerakyatan Nasional dilaksanakan pada tanggal 19 April 2008 di Gedung Joang,
Jakarta.[1][2][3][4]

Di partai berlambang beringin hijau itu Harmoko menjadi Ketua Parampara/penasehat partai (pembina).
Sementara Ketua Umum DPP Partai Kerakyatan Nasional (PKN) dijabat oleh Soebiantoro Soemantoro dan
Sekretaris Jenderal dijabat oleh Jemmy Setiawan. Tak banyak pesohor atau figur publik yang menjadi pengurus
partai ini. Satu-satunya figur pengurus yang dikenal luas oleh publik adalah artis Jamal Mirdad[5], yang duduk
sebagai Deputi I Bidang Internal. Partai ini digaungkan akan mengikuti Pemilu 2009. Namun pada tanggal 30
Mei 2008 Partai Kerakyatan Nasional (PKN) yang diusung mantan Ketua Umum Golkar itu tidak lolos verifikasi
administrasi yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU). PKN bersama 12 partai politik baru lainnya,
diumumkan KPU tidak memenuhi syarat administrasi. [6] Partai ini kemudian tak lagi terdengar suaranya.

Delapan tahun kemudian tepatnya tanggal 3 April 2015, Partai Kerakyatan Nasional menggelar kongres perdana
di Hotel Gren Alia, Cikini, Jakarta. Salah satu keputusan dalam kongres itu mengubah nama partai menjadi
Partai Gerakan Perubahan Indonesia, disingkat Partai Garuda. Dengan cara tersebut, Partai Garuda tidak butuh
verifikasi dari Kemenkum HAM, cukup laporan perubahan. Harmoko absen dalam kongres tersebut. Anggaran
dasar dan anggaran rumah tangga partai dirombak. Kepemimpinan partai diserahkan secara simbolik dari
Soebiantoro Soemantoro kepada Ahmad Ridha Sabana. Dilansir dari tirto.id, Sekjen Partai Garuda Abdullah
Mansuri mengatakan Partai PKN sudah tidak aktif dan Pak Harmoko sudah tidak mau berpolitik [7]. Mansuri
mengatakan nyaris tak ada seorang pengurus PKN yang terlibat dalam Partai Garuda. [1]

Pada 2 September 2015, Partai Garuda mendapat Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI No. M.HH-
16.AH.11.01 tahun 2015 tentang Pengesahan Perubahan Susunan Kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat dari
Kemenkum HAM. Sedangkan untuk perubahan AD/ART dari Partai PKN ke Partai Garuda (diajukan oleh DPP
PKN pada 17 September 2015) disahkan oleh Kemenkum HAM pada 2 Desember 2015 melalui Surat
Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI No. M.HH-21.AH.11.01 tahun 2015.[3] Pada tanggal 23 Maret 2017,
Partai Garuda kembali merombak kepengurusan. Kepengurusan Partai Garuda yang baru itu disahkan melalui
Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI No. M.HH-07.AH.11.01 tahun 2017 pada 27 April 2017.[8]

Pemilu 2019

Partai Garuda mendaftarkan diri sebagai peserta pemilihan umum 2019 pada tanggal 15 Oktober 2017.[9]
Garuda merupakan partai politik ke-13 yang mendaftar di KPU untuk pemilu 2019.[10][11] Ahmad Ridha Sabana
mengklaim bahwa Garuda sudah mencapai angka 98 persen kepengurusan di tingkat kabupaten dan kota. Ia
memperhitungkan terdapat sekitar 400 ribu anggota partai di seluruh daerah. [12] Ahmad menambahkan bahwa
Garuda dibentuk sebagai salah satu partai politik yang mengakomodasi anak muda, dengan memberikan wadah
kepada para pemuda Indonesia yang memiliki minat untuk berpolitik untuk memenuhinya melalui mekanisme
bergabung dengan partai politik, dalam hal ini Partai Garuda. [13][14][15] Pada 14 Desember 2017, KPU
menyampaikan hasil penelitian administrasi perbaikan parpol calon peserta Pemilu 2019. Dalam pengumuman
hasil tersebut di kantor KPU, Jl. Imam Bonjol, Jakarta Pusat, sebanyak dua belas parpol lolos ke tahap
berikutnya, yakni tahap verifikasi faktual. Partai Garuda bersama Partai Berkarya dinyatakan tidak lolos dalam
tahap persyaratan administrasi.[16][17] Komisioner KPU Hasyim Azhari mengatakan, Partai Berkarya dan Partai
Garuda dinyatakan tidak lanjut karena tidak bisa memenuhi syarat dokumen berupa daftar keanggotaan di
kabupaten/kota yang tidak bisa memenuhi batas minimal.[18]

Kemudian pada 19 Desember 2017 Partai Garuda bersama Partai Berkarya mengajukan gugatan kepada KPU
lewat Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu).[19] Lalu pada 23 Desember 2017, Partai Garuda
memenangkan gugatan melawan KPU berdasarkan amar putusan sidang Bawaslu. [20][21] Atas hasil gugatan
tersebut, Partai Garuda berhasil untuk lanjut dalam tahapan selanjutnya (tahap verifikasi faktual). Dalam hasil
tahap verifikasi faktual yang diumumkan pada 17 Februari 2018, Partai Garuda menjadi salah satu partai dari
empat belas partai yang dinyatakan lolos dan berhak ikut menjadi peserta Pemilu 2019. Hasil verifikasi tersebut
disampaikan di Hotel Grand Mercure, Harmoni, Jakarta Pusat. [22][23] Esoknya pada 18 Februari 2018, jam 19.00
WIB; keempat belas partai politik yang telah ditetapkan sebagai peserta Pemilu 2019 mengikuti pengundian dan
penetapan nomor urut partai politik. Pelaksanaan pengundian dan penetapan nomor urut partai politik peserta
Pemilu 2019 ini bertempat di Kantor KPU, Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat. [24] Partai Garuda dalam
pengundian dan penetapan nomor urut partai tersebut mendapat nomor urut enam.[25][26] Dalam pengundian dan
penetapan nomor urut partai peserta Pemilu 2019 itu, Partai Garuda diwakili oleh Ketua Umum Partai Garuda
Ahmad Ridha Sabana didampingi Sekjen Partai Garuda Abdullah Mansyuri.

Di luar politik, Ahmad Ridha Sabana adalah Presiden Direktur PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (TPI)
sejak 2014. Pada Februari 2018, Ridha mengatakan kepada wartawan bahwa dia bukan lagi Presiden Direktur
TPI.[27] Di sisi lain, Abdullah Mansuri merupakan Ketua Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI). [28] Selain
diisukan dekat dengan keluarga Cendana terkait dengan Siti Hardijanti Rukmana (sebagai pemilik TPI), partai ini
juga diisukan sebagai sempalan ataupun berafiliasi dengan Partai Gerindra. Isu miring mengenai hubungan
Partai Garuda dengan Partai Gerindra ini terkait dengan hubungan keluarga dan politik Ketua Umum Partai
Garuda Ahmad Ridha Sabana. Ahmad Ridha Sabana merupakan adik dari Ketua Bidang Kajian Kebijakan
Politik Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Gerakan Indonesia Raya, Ahmad Riza Patria. Patria merupakan
kader Partai Gerindra yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI
periode 2014-2019. Selain itu, Ahmad Ridha Sabana juga pernah mencalonkan diri sebagai anggota legislatif
DPRD DKI Jakarta pada Pemilu 2014 dari Partai Gerindra. Mengantongi nomor urut 2 dari Dapil DKI Jakarta V,
Sabana hanya mendapatkan 3.691 suara dan ia tidak lolos.[29][30][31]

Tuduhan lain yang menerpa Partai Garuda adalah terkait lambang dan warna partai. Masih seperti isu
sebelumnya, yakni dikaitkan dengan Partai Gerindra karena kesamaan lambang dan warna partai. Isu
termutakhir, Partai Garuda disebut-sebut sebagai reinkarnasi Partai Komunis Indonesia. Semua isu-isu tersebut
langsung tegas dibantah oleh Ketua Umum Partai Garuda, Ahmad Ridha Sabana. [32][33][34] Dilansir dari
Tribunnews.com, Ahmad Ridha Sabana mengatakan: "Kami adalah partai baru yang sebagian besar kader
adalah anak muda yang berkomitmen berjuang secara politik demi mewujudkan Indonesia yang lebih baik

Partai politik lokal Aceh

Partai Aceh

Partai Aceh adalah salah satu partai politik lokal di provinsi Aceh, Indonesia. Partai ini ikut dalam Pemilihan
Umum Legislatif Indonesia 2009 dan pemilihan anggota parlemen daerah Provinsi Aceh.[1]

Partai Aceh dahulu bernama Partai Gerakan Aceh Merdeka (GAM), kemudian pernah berubah menjadi Partai
Gerakan Aceh Mandiri.[2]

Dalam Pemilu 2009, Partai Aceh meraih suara mayoritas di Provinsi Aceh dengan menguasai 47% kursi yang
tersedia namun pada pemilu 2014 hanya mampu merebut 26 kursi dari 81 kursi.[3]

Sejarah

Perang 30 tahun yang disusul oleh gempa bumi dan tsunami, Aceh mengalami banyak kesulitan pada masa itu
dengan kehilangan segala-galanya. Semuanya dimulai dengan MOU Helsinki yang ditanda-tangani pada hari
Senin tanggal 15 Agustus 2005 atas nama Pemerintah Republik Indonesia Hamid Awaluddin Menteri Hukum
dan HAM, dan juga atas nama Pimpinan Gerakan Aceh Merdeka Malik Mahmud.

Setelah MoU Helsinki ditandatangani, dengan serta merta keadaan aman dan damai terwujud di Aceh.
Berdasarkan point 1.2.1 MoU Helsinki yaitu: “Sesegera mungkin tidak lebih dari satu tahun sejak
penandatanganan Nota Kesepahaman ini, Pemerintah RI menyepakati dan akan memfasilitasi pembentukkan
partai-partai politik yang berbasis di Aceh yang memenuhi persyaratan nasional”.

Atas dasar inilah masyarakat Aceh tidak mau kehilangan masa depan mereka yang demokratis, adil dan
bermartabat di bawah payung kepastian hukum dengan perumusan ekonomi yang memihak kepada rakyat
Aceh secara khusus dan seluruh tanah air secara umum. Para pihak bertekat untuk menciptakan kondisi
sehingga pemerintah rakyat Aceh dapat diwujudkan melalui suatu proses yang demokratis dan adil dalam
negara kesatuan dan konstitusi Republik Indonesia.

Untuk menjamin perdamaian yang hakiki dan bermartabat serta dapat membangun masa depan Aceh dan
mengukuhkan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah melalui proses demokrasi dengan partai politik lokal
berdasarkan perjanjian Memorendum of Understanding (MoU) Helsinki.

Pimpinan Politik Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Malik Mahmud memberikan surat mandat kepada Tgk Yahya
Mu’ad, SH atau disebut juga Muhammad Yahya Mu’ad, SH untuk terbentuknya partai politik lokal (Partai GAM)
pada tanggal 19 Februari 2007. Partai GAM berdiri dengan akta notaris H. Nasrullah, SH akta notaris 07 pada
tanggal 7 Juni 2007 dengan pendaftaran Kanwilkum dan HAM dengan nomor : WI.UM. 08 06-01.[4]

Kantor sekretariat pertama Dewan Pimpinan Aceh Partai GAM berada pada jalan Tgk. Imuem Lueng Bata No.
48 Banda Aceh. Walaupun secara undang-undang peraturan pemerintah secara masalah bintang bulan tidak
bertentangan, pemerintah pusat melihat tidak sesuai dengan kebijakan pemerintah. Bersamaan dengan itu,
maka lahirlah Peraturan Pemerintah nomor 77 tahun 2007 tentang lambang Partai yang seharusnya ada.

Pada surat KANWILDEPKUM dan HAM Aceh menyatakan bahwa untuk Partai GAM harus ada kepanjangan
atau akronim dan dipindahkan bulan bintang. Jika tidak diubah, maka tidak boleh diverifikasi untuk sah sebagai
badan hukum oleh Kakanwil Hukum dan HAM Provinsi Aceh. Sebab itulah Partai GAM berubah dan mempunyai
kepanjangan Partai Gerakan Aceh Mandiri (GAM), dan juga diverifikasikan oleh Kakanwil Hukum dan HAM pada
tanggal 3 sampai dengan 24 April 2008.

Kemudian atas dasar persyaratan nasional tertulis dalam poin 1.2.1 MoU Helsinki, dengan kebijakan Pemerintah
agar tidak menggunakan nama GAM. Sebab itulah pihak Kanwilkum dan HAM menyurati Partai Gerakan Aceh
Mandiri untuk mengubah lagi namanya.

Pada tanggal 6 dan 7 April 2008 diadakan rapat antara Republik Indonesia (RI) dan Gerakan Aceh Merdeka
(GAM) serta CMI yang difasilitasi oleh IPI Interpeace di Jakarta. Kemudian pada tanggal 8 April 2008, Wakil
Presiden Muhammad Jusuf Kalla dengan Meuntroe Malik Mahmud membuat kepastian hukum untuk berdirinya
Partai Aceh. Setelah itu rekrutmen calon legislatif dari Partai Aceh terus dilakukan dalam reformasi demokrasi di
Aceh.

Seterusnya Partai Aceh mengadakan kampanye dengan mengutamakan implementasi MoU Helsinki dan
Pimpinan Partai Aceh tidak ada yang mencalonkan dirinya sebagai calon legislatif. Dengan itu Partai Aceh
berkomitmen untuk membangun Aceh secara khusus dan membangun Indonesia secara umum serta menjaga
kesatuan dan persatuan seluruh tanah air [5].

Susunan Pengurus Partai

Berikut susunan pengurus DPA-PA periode 2018–2023:

Ketua Umum :

 Ketua Harian : Sarjani Abdullah


 Wakil Ketua Umum : Dahlan Jamalud

Sekretaris Jenderal : Kamaruddin Abubakar

Bendahara Umum : Tgk. Hasanuddin

Kepala Sekretariat : Lukman Hakim

Anda mungkin juga menyukai