Anda di halaman 1dari 2

I.

Awal Terbentuk dan Kemenangan di Pemilu 1971

Partai Golongan Karya (Golkar) didirikan di tahun 1964. Berdirinya partai ini ditandai
dengan berdirinya Sekretariat Bersama (Sekber) Golkar yang didirikan oleh golongan militer,
khususnya dari Angkatan Darat. Sekretariat Bersama Golkar ini menghimpun berbagai golongan
seperti dari organisasi pemuda, wanita, sarjana, buruh, tani, dan nelayan. Sekretariat Bersama
Golkar ini didirikan karena meningkatnya pengaruh dari PKI beserta ormasnya dalam kehidupan
politik baik di dalam maupun di luar Front Nasional. Ketua pertama Sekber Golkar adalah
Brigadir Jenderal (Brigjen) Djuhartono. Jumlah anggota Sekber Golkar meningkat pesat dari 61
organisasi menjadi 291 organisasi, hal ini dikarenakan bahwa perjuangan dari organisasi
fungsional Sekber Golkar adalah untuk menegakkan Pancasila dan UUD 1945. Organisasi di
Sekber Golkar ini kemudian dikelompokkan ke dalam 7 KINO (Kelompok Induk Organisasi)
yang menjadi kekuatan utama mengeluarkan keputusan bersama pada tanggal 4 Februari 1970
untuk ikut menjadi peserta Pemilu. Di pemilu 1971, Sekber Golkar sukses besar dan berhasil
mendulang sebesar 34.348.673 suara atau sekitar 62,79 % dari total perolehan suara. Kemudian
sesuai dengan ketetapan MPRS, di tanggal 17 Juli 1971, Sekber Golkar berubah menjadi Golkar.

II. Pengaruh Soeharto di Partai Golkar


Setelah kemenangan Golkar di Pemilu 1971, Presiden Soeharto masuk ke tubuh Golkar
dan menjabat sebagai ketua dewan Pembina Golkar. Saat itu Soeharto selalu berperan dalam
menentukan kebijakan-kebijakan strategis Golkar, termasuk dalam persoalan yang sangat
mendasar, antara lain penentuan DPP Golkar dan penyeleksian daftar calon legislatif. Besarnya
kewenangan yang dimiliki oleh Dewan Pembina tersebut dengan sendirinya menjadikan
Soeharto sebagai figur yang paling penting dan berkuasa di Golkar. Dengan dukungan penuh
dari Soeharto sebagai dewan pembina Golkar, Golkar melancarkan aksinya untuk melumpuhkan
kekuatan PKI dan juga kekuatan Bung Karno. Atau dapat pula disebut, Golkar dan Tentara
Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD) adalah tulang punggung berdirinya rezim Orde
Baru.
Semua politik Orde Baru diciptakan dan kemudian dilaksanakan oleh pimpinan militer
dan Golkar. Selama puluhan tahun Orde Baru berkuasa, jabatan-jabatan dalam struktur eksekutif,
legislatif dan yudikatif, hampir semuanya diduduki oleh kader-kader Golkar. Keluarga besar
Golkar sebagai jaringan konstituen, dibina sejak awal Orde Baru melalui suatu pengaturan
informal yaitu jalur untuk lingkungan militer, jalur untuk lingkungan birokrasi dan jalur untuk
lingkungan sipil di luar birokrasi

III. Pemilu di Masa Orde Baru dan Fusi Partai


Pelaksanaan Pemilu pada masa orde baru dilakukan sebanyak enam kali, yakni 1971,
1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Pada masa Orde Baru, hanya tiga partai politik yang
mengikuti pemilu. Hal ini disebabkan adanya penyederhanaan partai politik dengan dasar hukum
UU No. 3 tahun 1975. Fusi Partai Politik atau penyederhanaan (penggabungan) partai tahun
1973 merupakan kebijakan yang dibuat oleh Presiden Soeharto. Tujuan Fusi Partai Politik atau
Fusi Parpol sendiri adalah untuk menciptakan stabilitas politik kehidupan berbangsa dan
bernegara. Kebijakan Fusi Parpol dianggap sebagai syarat utama untuk mencapai pembangunan
ekonomi Indonesia. Pada Pemilu 1971, Partai Golkar unggul dengan mengantongi suara
sebanyak 62,8 persen (236 kursi DPR). Kemudian, suara terbanyak kedua diperoleh Partai
Nahdlatul Ulama (NU) dengan suara sebanyak 18, 6 persen (58 kursi). Posisi ketiga diraih oleh
PNI yang hanya meraih 6,9 persen suara (20 kursi). Sementara itu, partai-partai lain, seperti
Parkindo hanya mendapat tujuh kursi dan Partai Katolik memperoleh tiga kursi. Sedangkan
Partai Murba dan IPKI sama sekali tidak memperoleh kursi di DPR. Dari hasil tersebut, di mana
Golkar yang menguasai DPR dan MPR, maka MPR menyatakan bahwa pada Pemilu 1977 hanya
akan ada tiga peserta saja.
Meskipun tujuan Fusi Parpol adalah untuk menstabilkan politik, Fusi Parpol justru
memberikan dampak baru, yaitu konflik dalam tubuh partai politik baik secara intern maupun
ekstern. Ditambah lagi dengan adanya UU RI No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan
Golongan Karya di mana parpol tidak dapat menjalankan fungsi mereka sebagaimana mestinya.
Dalam perkembangannya, Fusi Parpol justru hanya dijadikan sebagai langkah awal Presiden
Soeharto untuk mempertahankan kekuasaannya.

Anda mungkin juga menyukai