Mendapatkan buah hati merupakan hal yang diidamkan oleh hampir semua pasangan.
Namun tak semua orang yang sudah menikah mendapatkan buah hati dengan mudah.
Banyak yang harus melalui berbagai proses dan metode medis sebagai usaha untuk
menghadirkan sang buah hati. Salah satu caranya dengan proses inseminasi yang kerap
dipilih oleh banyak pasangan.
Inseminasi adalah salah satu teknik untuk membantu proses reproduksi dengan cara
menyemprotkan sperma yang telah dipreparasi (diproses) ke dalam rahim menggunakan
kateter dengan tujuan membantu sperma menuju telur yang telah matang (ovulasi)
sehingga terjadi pembuahan.
Berbeda dengan bayi tabung, proses pembuahan pada teknik inseminasi terjadi di saluran
telur. Biasanya teknik ini ditujukan untuk membantu problem infertilitas seperti jumlah
sperma yang sedikit atau bentuk rahim yang susah dijangkau oleh sperma dalam
perjalanannya menuju telur.
PROSEDUR
Inseminasi dijadwalkan di sekitar waktu ovulasi, karena salah satu faktor keberhasilan
inseminasi adalah bila dilakukan sedekat mungkin dengan waktu ovulasi. Waktu ovulasi
diperkirakan berdasarkan alat deteksi ovulasi kartu SBB, atau dengan injeksi HCG (Human
Chorionic Gonadothropine) untuk maturasi akhir dan pemecahan folikel (kantung sel telur).
Inseminasi biasanya dilakukan sekali atau dua kali sebulan tergantung dari siklus
menstruasi.
Prosedur inseminasi cukup sederhana dan hanya membutuhkan waktu beberapa menit.
Wanita berbaring pada meja periksa dan dokter akan memasukkan speculum ke dalam
vagina. Semen yang telah diproses (‘dicuci’) di laboratorium akan dimasukkan ke dalam
rongga uterus dengan menggunakan kateter lembut plastic steril. Bila wanita mengalami
ovulasi yang tidak teratur, dokter akan meresepkan obat-obat untuk merangsang (induksi)
ovulasi. Inseminasi biasanya dilakukan dengan bersama-sama dengan induksi ovulasi
untuk meningkatkan kemungkinan fertilisasi.
Pelayanan ini telah tersedia di RS Medistra, beberapa Dokter ahli seperti Dr. Gede Widi
Mariada, SpOG menangani kasus-kasus ini yang berkaitan dengan infertilitas di RS
Medistra. Konsultasikan segera masalah anda dengan ahlinya.
INSEMINASI BUATAN PADA MANUSIA DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini,
Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda
pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di
dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). (QS. Al-an’am : 14)
Allah SWT menjadikan manusia kepada dua jenis: laki-laki dan perempuan.
Kedua jenis kelamin tersebut masing-masing diberi naluri saling mencintai, dan
sebagai buahnya manusia di dunia ini dapat berkembang biak.
Sebuah rumah tangga akan terasa gersang dan kurang sempurna tanpa ada anak-
anak sekalipun rumah tersebut berlimpah ruah dengan harta benda dan kekayaan.
Dari anak diharapkan keberadaannya tidak saja karena ia diharapkan dapat
memberikan kepuasan batin ataupun untuk menunjang kepentingan duniawi semata,
tetapi lebih dari itu anak dapat memberikan manfaat bagi orang tuanya kelak ketika
telah meninggal dunia. Anak merupakan salah satu dari tiga hal yang tidak terputus
pahalanya bagi kedua orang tua yang telah meninggal dunia, sebagaimana hadist Nabi
Muhammad SAW yang artinya :
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah telah bersabda : “ Apabila seseorang telah
mati, maka terputuslah segala amalnya kecuali tiga hal, yaitu; shadaqah jariyah,
ilmu yang bemanfaat dan anak shaleh yang mendoakan kedua orang tuanya” (HR.
Muslim)
Prof. Dr .Asri Rasad, MSc, PhD, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
menyatakan bahwa setidaknya ada 10 – 20 % pasangan suami isteri yang mengalami
kesulitan memperoleh keturunan. Kesulitan memperoleh keturunan bisa dikarenakan
beberapa sebab. Ada sebab yang terdapat di pihak suami dan ada pula yang terdapa
di pihak isteri. Klasifikasi penyebab perceraian yang dibuat Kantor Urusan Agama
hanya menyebut secara umum tentang sebab-sebab perceraian yaitu: 1) Meninggalkan
kewajiban, 2) Krisis akhlak, 3) Biologis, 4) Dimadu, 5) Politis.
Sebagai akibat dari ketidak hadiran anak dalm satu keluarga, setidaknya
keluarga tersebut akan mencari beberapa alternatife misalnya: 1) Menyerah kepada
nasib, 2) Adopsi, 3) Cerai, 4) Poligami, 5) Inseminasi buatan.
Mengenai alternatif terakhir (Inseminasi buatan) yang nota bene penemuan
dibidang teknologi kedokteran, masih banyak persoalan, baik ditinjau dari sisi agama,
sosial, maupun hukum. Makalah ini bertujuan untuk memberi wawasan tambahan
seputar inseminasi buatan, terutama dalam pandangan hukum islam.
2[2] Tim Yayasan Pendidikan Haster. Kamus Besar Biologi. (Bandung: Pionor Jaya, 2000), hal
138
3[3] Djamalin Dajanah, Mengenai Inseminasi Buatan, (Jakarta: Simplek, 1985), hal 7
4[4] Ali Akbar, Nasihat Perkawinan dan Keluarga (Jakarta), Th. IV, hal 8
5[5] DR. H. Chuzaimah, - Drs. HA. Hafiz Anshary AZ. Problematika Hukum Islam Kontemporer.
(Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1995), hal 4
alihkan ke endometrium rongga uterus. Teknik ini biasanya dikenal dengan “bayi
tabung” atau pembuahan di luar tubuh.
2. Tandur Alih Gamet Intra Tuba (TAGIT)
Tandur Alih Gamet Intra Tuba (Gamet Intra Fallopian Transfer) ialah usaha
mempertemukan sel benih (gamet), yaitu ovum dan sperma, dengan cara
menyemprotkan campuran sel benih itu memakai kanul tuba ke dalam ampulla.
Metode ini bukan metode bayi tabung karena pembuahan terjadi di saluran telur (tuba
fallopi) si ibu sendiri.
7[7] Soegiharto S. dan TZ Yacoeb (Ed), Program Fertilisasi in vitro Fakultas Kedokteran UI,
(Jakarta: Makmal Terpadu Imuno Endokrinologi FKUI), hal 6
8[8] Jalal al-Din Abd al-Rahman al-Suyuthy, Al-Asybah wa al-Nadhair fi Qawaid wa Furu’ Fiqh al-Syafi’iyyah, (Mesir: Dar Ihya al-
Kutub al-Arabiyyah Isa al-baby al-Halaby, TT),h.93
Berdasarkan uraian di atas dapat diambil pengertian bahwa pengambilan sel
telur (ovum) dalam pelaksanaan inseminasi buatan dihalalkan karena pertimbangan
dharurat. Disamping kondisi itu, dokter pemeriksa pun harus tetap menjaga kode etik
kedokteran.
b) Pengeluaran Sperma
Dibanding dengan pengambilan sel telur, pengeluaran dan pengambilan sperma
relative lebih mudah. Untuk memperboleh sperma dari laki-laki dapat dilakukan
antara lain dengan: (a) Istimna’ (manstrubasi, onani), (b) ‘Azl coitus interruptus
(senggama terputus), (c) Dihisap langsung dari pelir (testis), (d) Jima’ dengan
memakai kondom, (e) Sperma yang ditumpahkan ke dalam vagina yang dihisap dengan
cepat dengan spuit, dan (f) Sperma mimpi malam.9[9]
Untuk keperluan inseminasi buatan, cara yang terbaik adalah mastrubasi (onani).
Program Fertilisasi in Vitro (FIV) Fakultas Kedokteran UI juga menyaratkan agar
sperma untuk keperluan inseminasi buatan diambil atau dikeluarkan dengan cara
masturbasi dan dilakukan di Rumah Sakit. Pengeluaran sperma dengan cara ‘azl
(senggama terputus) tidak diperkenankan karena akan mengurangi jumlah sperma
yang didapat. Di dalam teknik FIV hanya diperlukan antara 50.000-100.000 sperma
motil sedang pada senggama normal diperlukan 50 juta – 200 juta sperma. 10[10]
Yang menimbulkan persoalan dalam hukum Islam adalah bagai mana hukum
onani dalam kaitan dengan pelaksanaan inseminasi tersebut.
Al-Qur’an Surat 23:5, 24:30, 31, dan 70:29 Allah SWT memerintahkan agar
manusia menjaga kemaluannya kecuali kepada yang telah dihalalkan. Secara
umum Islam memandang bahwa melakukan onani tergolong perbuatan tidak etis.
Mengenai hukum, fuqaha berbeda pendapat. Ada yang mengharamkan secara mutlak,
ada yang mengharamkan pada hal-hal tertentu, ada yang mewajibkan juga pada hal-
9[9] DR. H. Chuzaimah, - Drs. HA. Hafiz Anshary AZ. Problematika Hukum Islam Kontemporer.
(Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1995), hal 9
10[10] Soegiharto S. dan TZ Yacoeb (Ed), Program Fertilisasi in vitro Fakultas Kedokteran UI,
(Jakarta: Makmal Terpadu Imuno Endokrinologi FKUI), hal 7
hal tertentu, dan ada pula yang menghukumi makruh. Sayid Sabiq menyatakan bahwa
Malikiyah, Syafi’iyah, dan Zaidiyah menghukumi haram. Alasan yang dikemukakan
adalah bahwa Allah SWT memerintahkan menjaga kemaluan dalam segala keadaan
kecuali kepada isteri atau budak yang dimilikinya. Ahnaf berpendapat bahwa onani
memang haram, tetapi kalau karena takut zina, maka hukumnya menjadi wajib.
Kaidah ushul fiqh menyebutkan:
ب
ضرر رييجن وواَجج ب ب أووخ ف
ف اَل ض اَجيرجتكِا ر
Mengambil yang lebih ringan dari suatu kemudharatan adalah wajib
Kalau karena alasan takut zina, atau kesehatan, sedangkan tidak memiliki isteri
atau amah (budak) dan tidak mampu kawin, maka menurut Hanabilah onani
diperbolehkan. Kalau tidak ada alasan yang senada dengan itu maka hukumnya
haram.11[11]
Memperhatikan pendapat-pendapat mengenai hukum onani di atas, maka dalam
kaitan dengan pengeluaran/pengambilan sperma untuk inseminasi buatan, boleh
dilakukan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengambilan sel telur (ovum)
dan sperma untuk keperluan inseminasi buatan – dengan illat hajah tertentu – dapat
dibenarkan oleh hukum Islam.
11[11] DR. H. Chuzaimah, - Drs. HA. Hafiz Anshary AZ. Problematika Hukum Islam
Kontemporer. (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1995), hal 10
Islam di sini adalah bagaimana hukum pembuangan embrio tersebut. Apakah hal ini
dapat digolongkan kepada pembunuhan?
Patut dicatat bahwa embrio tersebut tidak berada dalam rahim wanita. Kalau
aborsi diartikan sebagai keluarnya isi rahim ibu yang telah mengandung, maka
pembicaraan ini tidak tergolong pada perbuatan aborsi, karena belum/tidak berada
pada rahim wanita.
Hukum aborsi janin yang diperselisihkan para fuqaha adalah pengguguran setelah
120 hari (4 bulan) setelah konsepsi, mereka sepakat tentang keharamannya. 12[12]
Ulama Hanafiyah memperbolehkan pengguguran janin sebelum mencapai 120 hari.
Sebagian madzhab ini berpendapat hukumnya makruh bila tanpa udzur. Ulama
Syafi’iyah berselisih pendapat. Ada yang mengatakan boleh, seperti Abu Ishaq Al-
Marwazi, Abu Bakar Ibn Sa’id Al-purati dan al-Qalyubi. Al-rumi menghukumi makruh,
sedang Al-Ghazaliy, Ibn Hajar, dan Al-kurdi menghukumi haram.
Setelah memperhatikan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pemusnahan
embrio dalam pelaksanaan inseminasi buatan tidak dapat digolongkan sebagai
pembunuhan terhadap manusia sebenarnya.13[13]
12[12] Muhammad Sa’d Ramadhan al-Buthy, Mas’alat Tahdid An-nasl: Wiqayah wa ‘Ilaja, hal
73-89
13[13] DR. H. Chuzaimah, - Drs. HA. Hafiz Anshary AZ. Problematika Hukum Islam
Kontemporer. (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1995), hal 11
Untuk inseminasi buatan pada manusia dengan sperma suami sendiri, baik
dengan cara mengambil sperma suami kemudian disuntikkan ke dalam vagina atau
uterus isteri, maupun dengan cara pembuahan dilakukan diluar rahim (bayi tabung),
maka hal ini dibolehkan asal keadaan suami istri tersebut benar-benar membutuhkan
untuk nemperoleh keturunan. Hal ini disepakati oleh para ulama’. Diantaranya,
menurut Mahmud Syaltut bahwa bila penghamilan itu menggunakan air mani si suami
untuk istrinya maka yang demikian itu masih dibenarkan oleh hukum syari’at. 14[14]
Jadi, pada prinsipnya inseminasi buatan itu dibolehkan bila keadaannya benar-
benar memaksa pasangan itu untuk melakukannya dan bila tidak dilakukan akan
mengancam keutuhan rumah tangganya. Sesuai dengan kaidah ushul fiqh : Keperluan
yang sangat penting (hajat) itu diberlakukan seperti keadaan darurat.
Adapun inseminasi buatan dengan donor, para ulama sepakat mengharamkannya
karena termasuk perbuatan zina. Seperti pendapat Yusuf el-Qardlawi bahwa islam
juga mengharamkan apa yang disebut pencangkokan sperma, apabila ternyata
pencangkokan itu bukan dari sperma suami yang sah. Demikianlah pendapat ulama
tentang inseminasi buatan dengan sperma donor yang sangat ditentang karena
termasuk zina, tidak sesuai dengan etis dan moral. Selain itu juga berpengaruh
negatif dan buruk terhadap kejiwaan orang-orang yang bersangkutan.
Mengenai hukum apabila sperma dan ovom (dari pasangan suami istri yang sah)
jika ditanamkan pada rahim orang lain, terjadi perbedaan pendapat. Ali Akbar
memberikan alasan kebolehan ksus ini karena yang ditanamkan pada rahim orang lain
itu adalah sperma dan ovum yang sudah tercampur, sehingga hanya menitipkan untuk
memperoleh kehidupan, yaitu makanan atau nutrisi untuk membesarkannya menjadi
bayi yang sempurna.15[15] Menurutnya hal ini tidak dapat dikategorikan zina. Adapun
yang mengharamkan penitipan embrio ini barangkali memahami secara harfiah firman
Allah SWT dalam QS. Al-Ahqaaf (46):15
15. Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu
bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan
14[14]
15[15] DR. H. Chuzaimah, - Drs. HA. Hafiz Anshary AZ. Problematika Hukum Islam
Kontemporer. (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1995), Op.cit hal 14
susah payah (pula). mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan,
sehingga apabila Dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia
berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah
Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat
amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi
kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan
Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang berserah diri".
Dr. Robyn Rowland (Australia) menentang inseminasi buatan model ini dengan
pertimbangan bahwa nantinya wanita dapat berubah menjadi inkubator hidup. 16[16]
Kartono Muhammad, Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI), juga masih
memerlukan jawaban tegas dari kalangan agama, hukum, dan ahli sosiologi dalam
kasus ibu titipan ini.17[17] Secara umum komentar-komentar ini tampaknya
berdasarkan efek yang akan terjadi akibat kasus (ibu titipan) ini.
Setelah memperhatikan pendapat-pendapat diatas, perlu ditegaskan bahwa
secara hakekat terjadinya manusia adalah karena pembuahan sperma dan ovum, maka
ibu titipan hanya berfungsi sebagai tempat perkembangbiakan dan kelangsungan
hidup embrio tersebut. Wanita yang dititipi itu tidak ada kaitan apa-apa dengan
embrio yang sudah berkembang. Dari sisi ini inseminasi model ini tidak lah
mencederai akad nikah, karena bibit berasal dari suami istri yang sah. Akan tetapi
dari sisi etik, khususnya yang tampak pada masyarakat umum. Inseminasi model ini
kurang etis karena menimbulkan banyak persoalan seperti kemungkinan munculnya
ibu sewaan yang bisa disewa wanita kaya yang demi karir tidak mau hamil walaupun
ingin memiliki anak.18[18]
18[18] DR. H. Chuzaimah, - Drs. HA. Hafiz Anshary AZ. Problematika Hukum Islam
Kontemporer. (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1995), hal 15
apabila sperma itu bersal dari orang lain (donor), maka dilarang oleh agama islam dan
status anak hasil inseminasi itu, sama dengan anak zina. Status anak itu dipandang
sebagai anak zina, bukan karena cara yang dilakukan sebagai suami istri, tetapi dilihat
dari segi kekaburan keturunan anak itu yang sama sekali tidak dapat diketahui siapa
bapaknya (donor) karena donor itu mesti dirahasiakan.
Kalau kita perhatikan maka nasab anak hasil inseminasi model ini (dari sperma
donor) adalah lebih kabur daripada anak zina. Sebab, anak zina walaupun bagaimana
masih dapat diketahui bapaknya, paling tidak oleh si ibu anak itu. Berbeda dengan
anak hasil inseminasi model ini, tidak dapat diketahui laki-laki (donor) itu memang
harus tetap dirahasiakan, dan hanya dokter saja yang mengetahuinya. Jadi, mengenai
status anak itu ditinjau dari hukum islam, adalah sama dengan status anak zina dalam
masalah waris mewarisi dan perwalian dalam perkawinan bagi anak perempuan. 19[19]
KESIMPULAN