Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN KASUS MATA

Disusun Untuk Memenuhi


Salah Satu Tugas Kepanitraan Umum Stase Mata

Pembimbing : dr. Wahju Ratna Martiningsih SpM

Disusun oleh :

1. Pramudita Probosiwi H2A013006


2. Rizzanjeni Berril R H2A013012
3. Arninda Fergian S H2A013031
4. Ifta Iftati S H2A013015

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG

2017

1
BAB I
PENDAHULUAN

Kornea merupakan bagian anterior dari mata bagian dari media refraksi.
Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan jaringan transparan yang
dilalui oleh berkas cahaya menuju retina. Kornea terdiri atas lima lapisan yaitu
epitel, membran bowman, stroma, membran descement dan endotel. Kornea
dipersarafi oleh banyak saraf sensoris.1
Infiltrasi sel radang pada kornea akan menyebabkan keratitis, hal ini
menyebabkan kornea menjadi keruh. Kekeruhan ini akan menimbulkan gejala
mata merah dan tajam penglihatan menurun. Keratitis merupakan radang kornea
biasanya diklasifikasikan dalam lapis kornea yang terkena seperti keratitis
superfisialis dan interstisial atau profunda. Keratitis dapat disebabakan oleh
berbagai hal seeprti berkuranagnya air mata, keracunan obat, reaksi alergi pada
pemberian obat topikal dan reaksi terhadap konjungtivitis menahun.1
Insidensi keratitis di negara maju setiap tahun mengalami peningkatan karena
angka penggunaan lensa kontak yang tinggi yaitu 2 sampai 11 per 100.000 orang
per tahun. Insidensi dari keratitis di negara berkembang lebih tinggi dibandingkan
negara maju.2
Keratitis yang disebabkan oleh infeksi mikroba akan mengganggu lapangan
pandang mata sehingga membutuhkan diagnosis segera dan pengobatan untuk
mencegah hasil yang semakin memburuk. Gambaran klinis keratitis berbeda-beda
tergantung dari jenis penyebab dan tingkat kedalaman yang terjadi di kornea, jika
keratitis tidak ditangani dengan benar maka penyakit ini akan berkembang
menjadi suatu ulkus yang dapat merusak kornea secara permanen sehingga akan
menyebabkan gangguan penglihatan bahkan dapat sampai menyebabkan
kebutaan, sehingga pengobatan keratitis harus cepat dan tepat agar tidak
menimbulkan komplikasi yang merugikan di masa yang akan datang.2

2
BAB II
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien : Tn.I
Umur : 82 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Semarang
Agama : Islam
Pekerjaan : Pensiun
Pendidikan terakhir : Sarjana
Tanggal periksa : 08 April 2017
II. ANAMNESIS
Autoanamnesis dilakukan pada hari Sabtu tanggal 8 April 2017 pukul 13.30 di
Poli Mata RS. Roemani.
1. Keluhan utama : Penglihatan kabur

2. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke Poli Mata RS. Roemani untuk periksa pada hari Sabtu
tanggal 8 April 2017 dengan keluhan penglihatan kabur pada mata sebelah
kiri. Keluhan tersebut timbul pertama kali sejak 2016. Keluhan dirasakan
terus menerus. Keluhan sangat mengganggu aktivitas sehari-hari pasien.
Keluhan lain yang dirasakan pasien yaitu pusing, mata cekot-cekot, nerocos,
lodoken dan mata merah seperti keluar darah kotor.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat sakit serupa : disangkal
b. Riwayat Alergi obat : disangkal
c. Riwayat Hipertensi : disangkal
d. Riwayat DM : disangkal
e. Riwayat Operasi : diakui operasi katarak mata kanan
dan kiri pada tahun 2015
f. Riwayat pemakaian kacamata : disangkal
g. Riwayat penggunan obat-obatan : disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat sakit serupa : disangkal
b. Riwayat Hipertensi : disangkal
c. Riwayat DM : diakui
d. Riwayat Operasi : disangkal
e. Riwayat pemakaian kacamata : disangkal

3
5. Riwayat pribadi
Pasien menyangkal mempunyai kebiasaan merokok, minum kopi dan
minum alkohol.
6. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien seorang kepala rumah tangga sebagai pensiunan, biaya perawatan
ditanggung oleh BPJS.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan Fisik: Tanggal: 08 April 2017 Jam: 14.00
Status Generalis
 Keadaan umum : Baik
 Kesadaran : Compos mentis
Vital Sign
- TD : tidak dilakukan
- Nadi : tidak dilakukan
- RR : tidak dilakukan
- Suhu : tidak dilakukan
 Status gizi : Kesan cukup
 Status generalisata : Tidak dilakukan

 Status Ophtalmologi :

OD OS
20/60 n.c. Visus 1/300
- Koreksi -
Tidak dilakukan Sensus Coloris Tidak dilakukan
Orthofori Bulbus Oculi Orthofori
Bola mata bebas bergerak Bola mata bebas bergerak
Parase/paralyse
segala arah segala arah
Tumbuh teratur, madarosis (-), Tumbuh teratur, madarosis (-),
Supersilia
trikiasis (-), distikiasis (-) trikiasis (-), distikiasis (-)

4
Tanda radang (-), oedem (-), Tanda radang (-), oedem (-),
spasme (-), margo palperbra Palpebra spasme (-),margo palpebra
ektropion(-), margo palpebra Superior ektropion(-), margo palpebra
entropion (-) entropion (-)
Tanda radang (-), oedem (-), Tanda radang (-), oedem (-),
spasme (-), margo palpebra Palpebra spasme (-), margo palpebra
ektropion(-), margo palpebra Inferior ektropion(-), margo palpebra
entropion (-) entropion (-)
hiperemis (-), kemosis (-), hiperemis (-), kemosis (-),
Konjungtiva
sekret (-), corpal (-),cobble sekret (-), corpal (-), cobble
Palpebralis
stone (-), giant papil (-) stone (-), giant papil (-)
hiperemis (-), edema (-), sekret Konjungtiva hiperemis (-), edema (-), sekret
(-), corpal (-) Forniks (-), corpal (-)
Injeksi konjungtiva (-), injeksi Injeksi konjungtiva (-), injeksi
Konjungtiva
silier (-), ikterik (-), anemis (-), silier (+), ikterik (-), anemis (-),
Bulbi
sekret (-) sekret (-)
Hiperemis (-), ikterik (-), Hiperemis (-), ikterik (-),
Sklera
anemis (-) anemis (-)
Jernih, edema kornea (-),
Jernih, edema kornea (-), neovaskularisasi (-), defek (-),
neovaskularisasi (-), defek (-), Kornea leukoma(+), infiltrat (+) pada
sikatrik (-), infiltrat (-) pemeriksaan fluoresein:
pungtata menyeluruh(+)
Kedalaman cukup, jernih, Kedalaman cukup, jernih,
tyndal effect (-), hifema (-), COA tyndal effect (-), hifema (-),
hipopion (-) hipopion (-)
Kripta baik, iris bombe (-), Kripta baik, iris bombe (-),
Iris
neovaskular (-), sinekia (-) neovaskular (-), sinekia (-)
Sentral, bulat, reguler, isokor, Sentral, bulat, reguler,
d= 3mm, reflek direk (+), Pupil isokor,d= 3mm, reflek direk
reflek indirek (+). (+), reflek indirek (+).
Kekeruhan (-), iris shadow (-) Lensa Kekeruhan (-), iris shadow (-)
Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Funduskopi
T dig N TIO T dig N

5
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan slitlamp

6
V. RESUME
Pasien laki-laki 82 tahun mengeluh penglihatan kabur pada mata kiri sejak
1 tahun yang lalu. Keluhan terjadi perlahan-lahan dan dirasakan terus menerus.
Gejala ini disertai dengan mata nrocos, cekot-cekot dan merah. Dari
pemeriksaan Visus didapatkan visus OD 20/60 n.c. dan OS 1/300. Pemeriksaan
segmen anterior didapatkan konjungtiva bulbi OS terdapat injeksi silier (+),
kornea OS didapatkan leukoma(+). Pemeriksaan fluoresein menyatakan
terdapat sisa fluoresein dengan gambaran pungtata menyeluruh

Dalam pemeriksaan ophtalmology didapatkan :


OD OS
20/60 n.c. Visus 1/300
Injeksi konjungtiva (-), Injeksi konjungtiva (-),
Konjungtiva
injeksi silier (-), ikterik (-), injeksi silier (+), ikterik (-),
bulbi
anemis (-), sekret (-) anemis (-), sekret (-)
Jernih, edema kornea (-), Jernih, edema kornea (-),
neovaskularisasi (-), defek Kornea neovaskularisasi (-), defek
(-), sikatrik (-), infiltrat (-) (-), leukoma(+), infiltrat (+)

VI. DAFTAR MASALAH


No Masalah aktif Masalah pasif
1. Mata kabur -
2. Mata merah (injeksi silier) -
3. Leukoma pada kornea -

VII. RENCANA PENGELOLAAN


 Diagnosis : OS keratitis superfisial dengan leukoma kornea
 Diferensial Diagnosis : OS ulkus kornea
OS uveitis anterior
 Terapi : Tetes mata artifisial 0,1% 15 ml
Asam mefenamat 3 X 500mg (prn)
Tobramisin 0,3% ED per jam
 Monitoring : Kontrol rutin
 Edukasi :
- Menjelaskan tentang penyakit pasien (etiologi, faktor risiko,
penatalaksanaan)
- Hindari mengucek mata

7
- Jangan sering mata terkena debu, asap, atau bahan kimia selain obat dari
dokter.
- Obat digunakan dengan teratur.
- Penatalaksanaan leukoma akan dikonsulkan dokter spesialis mata.
- Kontrol kembali bila kondisi belum membaik.

VIII. PROGNOSIS
OD OS
Quo ad Visam : Dubia ad bonam Dubia ad bonam
Quo ad Sanam : Dubia ad bonam Dubia ad bonam
Quo ad Vitam : bonam bonam
Quo ad Kosmetikam : Dubia ad bonam Dubia ad bonam

8
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Kornea
I. Anatomi
Kornea merupakan jaringan yang avaskular, bersifat transparan,
berukuran 11- 12 mm horizontal dan 10-11 mm vertikal, serta memiliki
indeks refraksi 1,37. Kornea memberikan kontribusi 74 % atau setara
dengan 43,25 dioptri (D) dari total 58,60 kekuatan dioptri mata manusia.
Dalam nutrisinya, kornea bergantung pada difusi glukosa dari aqueus humor
dan oksigen yang berdifusi melalui lapisan air mata.1
Kornea adalah salah satu organ tubuh yang memiliki densitas ujung-
ujung saraf terbanyak dan sensitifitasnya adalah 100 kali jika dibandingkan
dengan konjungtiva. Kornea dewasa rata-rata mempunyai tebal 550 µm,
diameter horizontalnya sekitar 11,75 mm dan vertikalnya 10,6 mm.1

Gambar : Anatomi Mata


Sumber : Sumber: http://www.aao.org/eyecare/anatomy/

II. Fisiologi
Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan “jendela” yang
dilalui berkas cahaya menuju retina. Sifat tembus cahayanya disebabkan
oleh strukturnya yang uniform, avaskuler dan deturgesensi. Deturgesensi

9
atau keadaan dehidrasi relatif jaringan kornea, dipertahankan oleh “pompa”
bikarbonat aktif pada endotel dan oleh fungsi sawar epitel dan endotel.
Dalam mekanisme dehidrasi ini, endotel jauh lebih penting daripada epitel.
Kerusakan kimiawi atau fisis pada endotel berdampak jauh lebih parah
daripada kerusakan pada epitel.2
Kerusakan sel-sel endotel menyebabkan edema kornea dan hilangnya
sifat transparan. Sebaliknya, kerusakan pada epitel hanya menyebabkan
edema stroma kornea lokal sesaat yang 6 akan meghilang bila sel-sel epitel
telah beregenerasi. Penguapan air dari lapisan air mata prekorneal
menghasilkan hipertonisitas ringan pada lapisan air mata tersebut. Hal ini
mungkin merupakan faktor lain dalam menarik air dari stroma kornea
superfisial dan membantu mempertahankan keadaan dehidrasi.2
Penetrasi kornea utuh oleh obat bersifat bifasik. Substansi larut-lemak
dapat melalui epitel utuh dan substansi larut-air dapat melalui stroma yang
utuh. Agar dapat melalui kornea, obat harus larut-lemak dan larut-air
sekaligus. Epitel adalah sawar yang efisien terhadap masuknya
mikroorganisme kedalam kornea. Namun sekali kornea ini cedera, stroma
yang avaskular dan membran Bowman mudah terkena infeksi oleh berbagai
macam organisme, seperti bakteri, virus, amuba, dan jamur.2
Adapun faktor-faktor yang sering menyebabkan kelainan pada kornea
adalah:
a. Dry eye
Kelainan ini muncul ketika lapisan air mata mengalami defisiensi
sehingga tidak dapat memenuhi batas-batas kecukupan, baik secara
kuantitatif maupun kualitatif, yang kemudian diikuti dengan keluhan
subjektif. Kekurangan cairan lubrikasi fisiologis merupakan faktor yang
dapat menyebabkan terjadinya infeksi mikroba pada mata.3
b. Defisiensi vitamin A
Kelainan kornea oleh karena defisiensi vitamin A dapat
menyebabkan kekeringan yang menggambarkan bercak Bitot yang
warnanya seperti mutiara yang berbentuk segitiga dengan pangkal di
daerah limbus. Bercak Bitot seperti ada busa di atasnya. Bercak ini tidak

10
dibasahi oleh air mata dan akan terbentuk kembali bila dilakukan
debridement.
Terdapat dugaan bahwa bentuk busa ini merupakan akibat kuman
Corynebacterium xerosis. Hipovitamin A ini juga dapat menyebabkan
keratomalasia dan tukak kornea dimana akan terlihat kornea nekrosis
dengan vaskularisasi ke dalamnya.4
c. Abnormalitas ukuran dan bentuk kornea
Abnormalitas ukuran dan bentuk kornea yang terjadi adalah
mikrokornea dan megalokornea. Mikrokornea adalah suatu kondisi yang
tidak diketahui penyebabnya, bisa berhubungan dengan gangguan
pertumbuhan kornea fetal pada bulan ke-5. Selain itu bisa juga
berhubungan dengan pertumbuhan yang berlebihan dari puncak anterior
optic cup yang meninggalkan sedikit ruang bagi kornea untuk
berkembang.
Mikrokornea bisa berhubungan dengan autosomal dominan atau
resesif dengan prediksi seks yang sama, walaupun transmisi dominan
lebih sering ditemukan. Megalokornea adalah suatu pembesaran segmen
anterior bola mata. Penyebabnya bisa berhubungan dengan kegagalan
optic cup untuk tumbuh dan anterior tip menutup yang meninggalkan
ruangan besar bagi kornea untuk untuk diisi.3
d. Distrofi kornea
Deposit abnormal yang disertai oleh perubahan arsitektur kornea,
bilateral simetrik dan herediter, tanpa sebab yang diketahui. Proses
dimulai pada usia bayi 1-2 tahun dapat menetap atau berkembang lambat
dan bermanisfestasi pada usia 10-20 tahun. Pada kelainan ini tajam
penglihatan biasanya terganggu dan dapat disertai dengan erosi kornea.5
e. Trauma kornea
Trauma kornea bisa disebabkan oleh trauma tumpul, luka penetrasi
atau perforasi benda asing. Kemungkinan kontaminasi jamur atau bakteri
harus diingat dengan kultur untuk bakteri dan jamur diambil pada saat
pemeriksaan pertama jika memungkinkan. Trauma tumpul kornea dapat
menimbulkan aberasi, edema, robeknya membran Descemet dan laserasi
korneoskleral di limbus.3
B. Keratitis

11
I. Definisi
Keratitis merupakan kelainan akibat terjadinya infiltrasi sel radang pada
kornea yang akan mengakibatkan kornea menjadi keruh. Akibat terjadinya
kekeruhan pada media kornea ini, maka tajam penglihatan akan menurun.
Mata merah pada keratitis terjadi akibat injeksi pembuluh darah perikorneal
yang dalam atau injeksi siliar. Keratitis biasanya diklasifikasikan dalam
lapis yang terkena seperti keratitis superfisial dan profunda atau interstisial.6
II. Etiologi
Keratitis dapat disebabkan oleh banyak faktor diantaranya:6
a. Virus
b. Bakteri
c. Jamur
d. Paparan sinar ultraviolet seperti sinar matahari
e. Iritasi dari penggunaan berlebihan lensa kontak
f. Mata kering yang disebabkan oleh kelopak mata robek atau tidak
cukupnya pembentukan air mata
g. Adanya benda asing di mata
h. Reaksi terhadap obat seperti neomisin, tobramisin, polusi, atau partikel
udara seperti debu, serbuk sari.
III. Klasifikasi
Keratitis dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal diantaranya :7
a. Berdasarkan lapisan yang terkena
1. Keratitis Pungtata (Keratitis Pungtata Superfisial dan Keratitis
Pungtata Subepitel)
a) Definisi
Keratitis pungtata adalah keratitis dengan infiltrat halus pada
kornea yang dapat terletak superfisial dan subepitel.
b) Etiologi
Keratitis Pungtata ini disebabkan oleh hal yang tidak spesifik
dan dapat terjadi pada Moluskum kontangiosum, Akne rosasea,
Herpes simpleks, Herpes zoster, Blefaritis neuroparalitik, infeksi
virus, vaksinisia, trakoma, trauma radiasi, dry eye, keratitis
lagoftalmos, keracunan obat seperti neomisin, tobramisin dan
bahaya pengawet lainnya.

12
Keratitis Pungtata
Sumber: Thygeson (1950)

c) Gejala klinis
Dapat berupa rasa sakit, silau, mata merah, dan merasa
kelilipan.
d) Pemeriksaan laboratorium
Ditandai kekerutan epitel yang meninggi berbentuk lonjong
dan jelas yang menampakkan bintik-bintik pada pemulasan dengan
fluoresein, terutama di daerah pupil. Uji fluoresein merupakan
sebuah tes untuk mengetahui terdapatnya kerusakan epitel kornea.
Dasar dari uji ini adalah bahwa zat warna fluoresein akan berubah
berwarna hijau pada media alkali.
Zat warna fluoresein bila menempel pada epitel kornea maka
bagian yang terdapat defek akan memberikan warna hijau karena
jaringan epitel yang rusak bersifat lebih basa. Kekeruhan
subepitelial dibawah lesi epitel sering terlihat semasa penyembuhan
epitel ini, uji sensibilitas kornea juga diperiksa untuk mengetahui
fungsi dari saraf trigeminus dan fasial. Pada umumnya sensibilitas
kornea juga akan menurun.6
e) Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada keratitis pungtata superfisial pada
prinsipnya adalah diberikan sesuai dengan etiologi. Untuk virus
dapat diberikan idoxuridin, trifluridin atau asiklovir. Untuk bakteri
gram positif pilihan pertama adalah cafazolin, penisilin G atau
vancomisin dan bakteri gram negatif dapat diberikan tobramisin,
gentamisin atau polimixin B.

13
Pemberian antibiotik juga diindikasikan jika terdapat sekret
mukopurulen yang menunjukkan adanya infeksi campuran dengan
bakteri. Untuk jamur pilihan terapi yaitu natamisin, amfoterisin
atau fluconazol. Selain terapi berdasarkan etiologi, pada keratitis
pungtata superfisial ini sebaiknya juga diberikan terapi
simptomatisnya agar dapat memberikan rasa nyaman seperti air
mata buatan, sikloplegik dan kortikosteroid.6
2. Keratitis Marginal
a) Definisi
Merupakan infiltrat yang tertimbun pada tepi kornea sejajar
dengan limbus. Penyakit infeksi lokal konjungtiva dapat
menyebabkan keratitis kataral atau keratitis marginal ini. Keratitis
marginal kataral biasanya terdapat pada pasien setengah umur
dengan adanya blefarokonjungtivitis.6
b) Etiologi
Strepcoccus pneumonie, Hemophilus aegepty, Moraxella
lacunata dan Esrichia.
c) Gejala klinis
Penderita akan mengeluhkan sakit, seperti kelilipan, lakrimasi,
disertai fotofobia berat. Pada mata akan terlihat blefarospasme pada
satu mata, injeksi konjungtiva, infiltrat atau ulkus yang
memanjang, dangkal unilateral dapat tunggal ataupun multipel,
sering disertai neovaskularisasi dari arah limbus.
d) Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan kerokan kornea yang dipulas dengan pewarnaan
Gram maupun Giemsa dapat mengidentifikasi organisme,
khususnya bakteri.2
e) Penatalaksanaan
Pengobatan yang diberikan adalah antibiotika yang sesuai
dengan penyebab infeksi lokalnya dan steroid dosis ringan. Pada
pasien dapat diberikan vitamin B dan C dosis tinggi.6
3. Keratitis Interstisial
a) Definisi
Keratitis interstitial adalah kondisi serius dimana masuknya
pembuluh darah ke dalam kornea dan dapat menyebabkan
hilangnya transparansi kornea. Keratitis interstitial dapat berlanjut

14
menjadi kebutaan. Sifilis adalah penyebab paling sering dari
keratitis interstitial.8
b) Etiologi
Dapat terjadi akibat alergi atau infeksi spiroket ke dalam
stroma kornea dan akibat tuberkulosis.6
c) Gejala klinis
Biasanya akan memberikan gejala fotofobia, lakrimasi, dan
menurunnya visus. Keratitis yang disebabkan oleh sifilis kongenital
biasanya ditemukan trias Hutchinson (mata: keratitis interstisial,
telinga: tuli labirin, gigi: gigi seri berbentuk obeng), sadlenose, dan
pemeriksaan serologis yang positif terhadap sifilis. Pada keratitis
yang disebabkan oleh tuberkulosis terdapat gejala tuberkulosis
lainnya.6
d) Pemeriksan laboratorium
Pemeriksaan kerokan kornea yang dipulas dengan pewarnaan
gram maupun Giemsa dapat mengidentifikasi organisme,
khususnya bakteri.2
e) Penatalaksanaan
Dapat diberikan kortikosteroid tetes mata jangka lama secara
intensif setiap jam dikombinasi dengan tetes mata atropin dua kali
sehari dan salep mata pada malam hari.8
b. Berdasarkan penyebabnya
1. Keratitis Bakteri
a) Etiologi

b) Gejala klinis
Pasien keratitis biasanya mengeluh mata merah, berair, nyeri
pada mata yang terinfeksi, penglihatan silau, adanya sekret dan
penglihatan menjadi kabur. Pada pemeriksaan bola mata eksternal

15
ditemukan hiperemis perikornea, blefarospasme, edema kornea,
infiltrasi kornea.
c) Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan kultur bakteri dilakukan dengan menggores ulkus
kornea dan bagian tepinya dengan menggunakan spatula steril
kemudian ditanam di media cokelat (untuk Neisseria,
Haemophillus dan Moraxella sp), agar darah (untuk kebanyakan
jamur, dan bakteri kecuali Neisseria) dan agar Sabouraud (untuk
jamur, media ini diinkubasi pada suhu kamar). Kemudian
dilakukan pewarnaan Gram.2
d) Penatalaksanaan
Diberikan antibiotik spektrum luas sambil menunggu hasil
kultur bakteri. Berikut tabel pengobatan inisial antibiotik yang
dapat diberikan.

2. Keratitis jamur
a) Etiologi
 Jamur berfilamen (filamentous fungi) : bersifat multiseluler
dengan cabang-cabang hifa.
 Jamur bersepta : Furasium sp, Acremonium sp, Aspergillus sp,
Cladosporium sp, Penicillium sp, Paecilomyces sp, Phialophora
sp, Curvularia sp, Altenaria sp.
 Jamur tidak bersepta : Mucor sp, Rhizopus sp, Absidia sp.
 Jamur ragi (yeast) yaitu jamur uniseluler dengan pseudohifa dan
tunas : Candida albicans, Cryptococcus sp, Rodotolura sp.

16
 Jamur difasik. Pada jaringan hidup membentuk ragi sedang
media pembiakan membentuk miselium : Blastomices sp,
Coccidiodidies sp, Histoplastoma sp, Sporothrix sp.9
b) Gejala klinis
 Riwayat trauma terutama tumbuhan, pemakaian steroid topikal
lama.
 Lesi satelit.
 Tepi ulkus sedikit menonjol dan kering, tepi yang ireguler dan
tonjolan seperti hifa di bawah endotel utuh.
 Plak endotel.
 Hipopion, kadang-kadang rekuren.
 Formasi cincin sekeliling ulkus.
 Lesi kornea yang indolen.9
c) Pemeriksaan laboratorium
Diagnosis laboratorik sangat membantu diagnosis pasti,
walaupun negatif belum dapat menyingkirkan diagnosis
keratomikosis. Hal yang utama adalah melakukan pemeriksaan
kerokan kornea (sebaiknya dengan spatula Kimura) yaitu dari dasar
dan tepi ulkus dengan biomikroskop. Kemudian dapat dilakukan
pewarnaan KOH, Gram, Giemsa atau KOH + Tinta India, dengan
angka keberhasilan masing-masing ± 20-30%, 50-60%, 60-75%
dan 80%. Sebaiknya melakukan biopsi jaringan kornea dan
diwarnai dengan Periodic Acid Schiff atau Methenamine Silver,
tetapi memerlukan biaya yang besar.9
Akhir-akhir ini dikembangkan Nomarski differential
interference contrast microscope untuk melihat morfologi jamur
dari kerokan kornea (metode Nomarski) yang dilaporkan cukup
memuaskan. Selanjutnya dilakukan kultur dengan agar Sabouraud
atau agar ekstrak maltosa.9
d) Penatalaksanaan
 Belum diidentifikasi jenis jamur penyebabnya. Topikal
amphotericin B 1,02,5 mg/ml, thiomerosal (10 mg/ml),
natamycin > 10 mg/ml, golongan imidazole.
 Jamur berfilamen.

17
Untuk golongan II : Topikal amphotericin B, thiomerosal,
natamycin (obat terpilih), imidazole (obat terpilih).
 Ragi (yeast). Amphoterisin B, natamycin, imidazole
 Golongan Actinomyces yang sebenarnya bukan jamur sejati.
Golongan sulfa, berbagai jenis antibiotik.9
3. Keratitis virus
a) Etiologi
Herpes simpleks virus (HSV) merupakan salah satu infeksi
virus tersering pada kornea. Virus herpes simpleks menempati
manusia sebagai host, merupakan parasit intraselular obligat yang
dapat ditemukan pada mukosa, rongga hidung, rongga mulut,
vagina dan mata. Penularan dapat terjadi melalui kontak dengan
cairan dan jaringan mata, rongga hidung, mulut, alat kelamin yang
mengandung virus.6
b) Gejala klinis
Pasien dengan HSV keratitis mengeluh nyeri pada mata,
fotofobia, penglihatan kabur, mata berair, mata merah, tajam
penglihatan turun terutama jika bagian pusat yang terkena. Infeksi
primer Herpes simpleks pada mata biasanya berupa konjungtivitis
folikularis akut disertai blefaritis vesikuler yang ulseratif, serta
pembengkakan kelenjar limfe regional. Kebanyakan penderita juga
disertai keratitis epitelial dan dapat mengenai stroma tetapi jarang.
Pada dasarnya infeksi primer ini dapat 17 sembuh sendiri, akan
tetapi pada keadaan tertentu dimana daya tahan tubuh sangat lemah
akan menjadi parah dan menyerang stroma.6
c) Pemeriksaan laboratorium
 Debridement
Cara efektif mengobati keratitis dendritik adalah
debridement epithelial, karena virus berlokasi didalam epitel.
Debridement juga mengurangi beban antigenik virus pada
stroma kornea. Epitel sehat melekat erat pada kornea namun
epitel yang terinfeksi mudah dilepaskan. Debridement dilakukan
dengan aplikator berujung kapas khusus.

18
Obat siklopegik seperti atropin 1% atau homatropin 5%
diteteskan kedalam sakus konjungtiva, dan ditutup dengan
sedikit tekanan. Pasien harus diperiksa setiap hari dan diganti
penutupnya sampai defek korneanya sembuh umumnya dalam
72 jam.2
 Terapi obat
- IDU (Idoxuridine) analog pirimidin (terdapat dalam larutan
1% dan diberikan setiap jam, salep 0,5% diberikan setiap 4
jam).
- Vibrabin: sama dengan IDU tetapi hanya terdapat dalam
bentuk salep.
- Trifluorotimetidin (TFT): sama dengan IDU, diberikan 1%
setiap 4 jam.
- Asiklovir (salep 3%), diberikan setiap 4 jam.
- Asiklovir oral dapat bermanfaat untuk herpes mata berat,
khususnya pada orang atopi yang rentan terhadap penyakit
herpes mata dan kulit agresif.2
 Terapi bedah
Keratoplasti penetrans mungkin diindikasikan untuk
rehabilitasi penglihatan pasien yang mempunyai parut kornea
yang berat, namun hendaknya dilakukan beberapa bulan setelah
penyakit herpes nonaktif.2

19
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien laki-laki 82 tahun mengeluh penglihatan kabur pada mata kiri sejak
1 tahun yang lalu. Keluhan terjadi perlahan-lahan dan dirasakan terus menerus.
Gejala ini disertai dengan mata nrocos, cekot-cekot dan merah. Gejala-gejala
yang dialami pasien ini sesuai dengan kepustakaan yang menuju kearah
keratitis. Keratitis merupakan peradangan pada kornea yang merupakan media
refrakta. Keratitis dapat disebabkan oleh mata kering yang mengakibatkan
kornea mudah mengalami kelainan. Dry eye sendiri di pengaruhi oleh 3 hal
yaitu jaringan lemak, musin, dan aquos humor. Dengan bertambahnya usia
terjadi perubahan juga terhadap tiga hal tersebut. Sehingga mengakibatkan Dry
eye yang akan memberikan respon mata nrocos. Dry eye akan menyebabkan
kornea mudah terpapar oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur) dan
menyebabkan peradangan kornea (keratitis) yang akan menyebabkan tajam
penglihatan menurun karena kornea merupakan salah satu media refrakta.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan visus OD 20/60 n.c. dan OS 1/300
konjungtiva bulbi OS terdapat injeksi silier (+) yang merupakan tanda adanya
peradangan pada kornea. Pada kornea OS didapatkan leukoma(+), leukoma
merupakan salahsatu jenis sikatrik yang memungkinkan pada pasien keratitis
sudah sampai mengakibatkan ulcus kornea yang menyebabkan timbulnya
jaringan fibrotik. Pemeriksaan fluoresein menyatakan terdapat sisa fluoresein
dengan gambaran pungtata menyeluruh menggambarkan keratitis terjadi
superficial yang diakibatkan oleh bakteri.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas, sidharta. 2013. Ilmu penyakit mata. Jakarta : FKUI


2. Upadhyay, M.P., P.C. Karmacharya, S. Koirala, N.R. Tuladhar, L.E. Bryan, G.
Smolin and J.P. Whitcher. 1991. Epidemiological characteristics, predisposing
factors and etiologic diagnosis of corneal ulceration in Nepal. Am J
Ophyhalmol. 111:92-99
3. Riordan-Eva, P., 2010. Anatomi & Embriologi Mata. In: Vaughan, Asbury.
Oftalmologi Umum Edisi 17. Jakarta: EGC.
4. Biswell, R., 2010. Kornea. In: Vaughan, Asbury. Oftalmologi Umum Edisi 17.
Jakarta: EGC.
5. Bangun, C.Y.Y., 2009. Prevalensi Kebutaan Akibat Kelainan Kornea di
Kabupaten Langkat. Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara RSUP. H. Adam Malik. Tesis. Availablefrom:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6385/1/10E00176.pdf (diakses
pada 8 april 2017)
6. Ilyas, S., 2009. Kedaruratan Dalam Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.
7. Ilyas, S., Mailangkay, H.H.B., Taim, H., Saman, R.R., Simarmata, M., Widodo,
P.S., 2002. Ilmu Penyakit Mata untuk Dokter Umum dan Mahasiswa
Kedokteran Edisi ke-2. Jakarta: CV. Sagung Seto.
8. Ilyas, S., 2004. Ilmu Penyakit Mata Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
9. Biswell, R., 2010. Kornea. In: Vaughan, Asbury. Oftalmologi Umum Edisi 17.
Jakarta: EGC.
10. Hollwich, F., 1993. Oftalmologi Edisi Kedua. Jakarta: Binarupa Aksara
11. Susetio, B., 1993. Penatalaksaan Infeksi Jamur pada Mata. In: Cermin Dunia
Kedokteran No 87. Available from:
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/11InfeksiJamur087.pdf/11InfeksiJamu
r087.pdf (diakses pada 8 april 2017).

21

Anda mungkin juga menyukai