Anda di halaman 1dari 31

A.

Judul
Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif tipe Rotatting Trio Exchange (RTE)
untuk Meningkatkan Kemampuan Koneksi Matematis dan Self-efficacy Siswa SMP
B. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan sarana yang sangat berperan untuk menciptakan
manusia yang berkualitas dan berpotensi dalam arti yang seluas-luasnya, melalui
pendidikan akan terjadin proses pendewasaan diri sehinga di dalam proses
pengambilan keputusan terhadap suatu masalah yang dihadapi selalu disertai
dengan rasa tanggung jawab.
Matematika adalah salah satu mata pelajaran yang dipelajari oleh siswa yang
dimulai dari Sekolah Dasar, Sekolah Menengah bahkan sampai ke Perguruan
Tinggi. Hal ini dimaksudkan untuk membekali siswa dengan berfikir logis, analitis,
sistematis, kritis dan kreatif serta kemampuan bekerja sama (Permendiknas Nomor
22, 2006, hlm. 345). Salah satu tujuan pembelajaran matematika menurut Wardhani
(2008, hlm. 8) adalah memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami
masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model, dan menafsirkan
model yang diperoleh.
Kemampuan untuk menyelesaikan masalah dalam pembelajaran matematika
merupakan salah satu kompetensi dasar yang harus dimiliki siswa dalam
pembelajaran matematika di sekolah. Menurut National Council of Teacher of
Mathematics atau NCTM (Kurniawan dalam Siagian, 2016) menyatakan bahwa
standar matematika sekolah harus meliputi standar isi dan proses. Standar proses
meliputi : (1) Peneyelesaian masalah (Problem Solving); (2) Penalaran dan
pembuktian (reasoning and proof); (3) Komunikasi (comminucation); (4) Koneksi
(connection); dan representasi (representation).
Berdasarkan kurikulum tahun 2013 (Depdikbud, 2014), bahwa tujuan
pembelajaran matematika adalah "bahwa siswa memahami konsep matematika,
menjelaskan keterkaitan konsep dan menerapkan konsep atau algoritma secara
fleksibel, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah. ". Berdasarkan
tujuan pembelajaran di atas, satu aspek yang ditekankan pada kurikulum 2006 dan
Dewan Nasional Ajaran Matematika (Minarni, 2012) adalah kemampuan koneksi
matematis siswa dan pembelajaran matematika yang dipersiapkan agar siswa dapat
memecahkan masalah di masa depan dengan menghubungkan permasalahan
dengan konsep matematis dan bidang sains lainnya, jadi apa yang telah dipelajari
di sekolah bermanfaat dalam kehidupan.
Kemampuan koneksi matematis merupakan hal yang penting namun siswa yang
menguasai konsep matematika tidak dengan sendirinya pintar dalam
mengoneksikan matematika Kemampuan koneksi matematika perlu dilatihkan
kepada siswa di sekolah. Apabila siswa mampu mengkaitkan ide-ide matematika
maka koneksi matematikanya akan semakin dalam dan bertahan lama karena
mereka mampu melihat keterkaitan antar topik dalam matematika, dengan konteks
selain matematika, dan dengan pengalaman hidup sehari-hari (NCTM, 2000).
Melalui koneksi matematik, konsep pemikiran dan wawasan siswa akan semakin
terbuka terhadap matematika, tidak hanya berfokus pada topic tertentu yang sedang
dipelajari. Membuat koneksi merupakan standard yang jelas dalam pendidikan
matematika yang juga menjadi salah satu standard utama yang disarankan.
Menurut NCTM (National Council of Teacher of Mathematics) (2000, hlm. 64),
indikator untuk kemampuan koneksi matematika yaitu: (a) Mengenali dan
memanfaatkan hubungan-hubungan antara gagasan dalam matematika; (b)
Memahami bagaimana gagasan-gagasan dalam matematika saling berhubungan
dan mendasari satu sama lain untuk menghasilkan suatu keutuhan koheren; (c)
Mengenali dan menerapkan matematika dalam kontek-konteks di luar matematika.
Selain dari aspek kognitif, dalam diri siswa juga ada aspek psikologi, salah
satunya adalah self-efficacy. self-efficacy merupakan suatu keyakinan atau
kepercayaan diri individu mengenai kemampuannya untuk mengorganisasi,
melakukan suatu tugas, mencapai suatu tujuan, menghasilakan sesuatu dan
mengimplementasi tindakan untuk mencapai kecakapan tertentu. Menurut Bandura
(1986) self-efficacy mengacu pada kepercayaan individu akan kemampuannya
untuk sukses dalam melakukan sesuatu.
Menurut Bandura (1997), self-efficacy mencakup tiga dimensi, yaitu: (a)
Magnitude, Dimensi ini memiliki implikasi terhadap pemilihan tingkah laku yang
diras mampu dilakukannya dan menghindari tingkah laku yang berada diluar batas
kemampuan yang di rasakannya. (b) Generality (generalisasi), Dimensi ini
berkaitan dengan luas bidang tingkah laku yang mana individu merasa yakin akan
kemampuannya. Individu dapat merasa yakin terhadap kemampuan dirinya.
Apakah terbatas pada suatu aktivitas dan situasi tertentu atau pada serangkain
aktivitas dan situasi yang bervariasi. (c) Strength (kekuatan/ketahanan), Dimensi
ini berkaitan dengan tingkat kekuatan dari keyakinan atau pengharapan individu
mengenai kemampuannya. Pengharapan yang lemah mudah digoyahkan oleh
pengalaman-pengalaman yang tidak mendukung. Sebaliknya, pengharapan yang
mantap mendorong individu tetap bertahan dalam usahanya. Meskipun mungkin
ditemukan pengalaman yang kurang menunjang. Dimensi ini biasanya berkaitan
langsung dengan dimensi level, yaitu makin tinggi level taraf kesulitan tugas, makin
lemah keyakinan yang dirasakan untuk menyelesaikannya. Adanya kesenjangan
antara harapan dan kenyataan.
Menurut hasil penelitian Ruspiani (2000), yang menunjukkan nilai rata-rata
kemampuan koneksi matematis siswa sekolah menengah masih rendah yaitu kurang
dari 60 pada skor 100 (22,2% untuk koneksi matematika pada pokok bahasan lain,
44% untuk koneksi bidang studi lain, dan 67,3% untuk koneksi matematika pada
kehidupan sehari-hari). Begitu pula dengan hasil penelitian Kusuma (2003), yang
menyatakan bahwa tingkat kemampuan koneksi matematis siswa SMP masih
rendah. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa jumlah siswa yang memiliki
kemampuan koneksi tinggi masih rendah untuk setiap jenisnya.
Di samping itu, rasa percaya diri dan tingkat keyakinan siswa masih kurang jika
diminta guru untuk menyelesaikan soal-soal matematika. Seperti contoh, ketika
guru menunjuk salah satu siswa mengerjakan soal di papan tulis, siswa tersebut
tidak mau maju ke depan karena takut salah dan kurang yakin pada dirinya sendiri
apakah pekerjaannya benar. Hal ini menunjukan dugaan bahwa self-efficacy dan
kemampuan koneksi matematis siswa masih rendah.
Beberapa fakta lain adalah metode pembelajaran yang dilakukan masih
didominasi olehguru. Siswa hanya sebagai objek pembelajaran, dimana dalam
pelaksanaannya siswa hanya mendengarkan penjelasan guru ataupun mencatat apa
yang ada di papan tulis. Frekuensipemberian soal-soal matematika dari guru yang
bersifat kontekstual (berkaitan dengan realita kehidupan sehari-hari) masih sangat
kurang. Soal-soal yang diberikan guru pun masih sebatas hanya soal-soal
perhitungan rutin yang masih kurang memberikan kesempatan kepada siswa untuk
menganalisis permasalahan hidup sehari-hari.
Mengatasi kesenjangan antara harapan dan kenyataan di atas, maka diperlukan
strategi pembelajaran yang sesuai untuk meningkatkan prestasi belajar matematika,
melatih kemampuan koneksi dapat melibatkan siswa secara aktif dalam
pembelajaran. Menurut Johnson (Isjoni, 2009) di dalam model pembelajaran
kooperatif terdapat beberapa tipe atau teknik yang dapat dipilih, diantaranya yaitu :
Student Team Achievement Division (STAD), Team Assisted Individualization
(TAI), Team Games Tounament (TGT), Jigsaw, Group Investigation (GI), Rotating
Trio Exchange (RTE), Numbered Heads Together, Two Stay Two Stray.
Model pembelajaran kooperatif tipe Rotating Trio Exchange (RTE) merupakan
cara yang efektif untuk mengubah pola belajar dalam kelas. Model ini berpusat pada
siswa sehingga menuntun siswa untuk berinteraksi, berekspresi, mengeluarkan
pendapat sendiri, menemukan ilmu dan mengungkapkannya kepada teman. Cara ini
menurut Siberman (2009) dalam bukunya Active Learning sangat sesuai dengan
siswa zaman sekarang yang cenderung lebih sering bosan dengan hal-hal yang
monoton.
Pelaksanaan model pembelajaran Rotating Trio Exchange (RTE) adalah dengan
cara membagi kelas menjadi beberapa kelompok yang terdiri dari 3 siswa. Setiap
kelompok yang beranggotakan 3 orang (trio) ini akan diberikan pertanyaan yang
sama untuk didiskusikan. Kemudian setiap anggota akan diberikan nomor,
misalnya 1, 2, dan 3 untuk mempermudah dilakukannya rotasi. Instruksikan nomor
3 berpindah searah jarum jam dan nomor 1 sebaliknya, sedangkan nomor 2 tetap
ditempat. Ini akan mengakibatkan munculnya trio baru dengan anggota yang
berbeda dari kelompok pertama. Guru akan memberikan kepada trio baru tersebut
pertanyaan baru dengan tingkat kesulitan yang berbeda untuk didiskusikan dalam
menyatukan konsep.
Proses rotasi yang dilakukan oleh siswa memerlukan rasa tanggung jawab,
tekun dan ulet dalam berdiskusi dengan teman diskusi yang berbeda untuk
mendapatkan keberhasilan yang bersama, dimana dapat meningkatkan kemampuan
koneksi matematis dan self-eficacy siswa. Dalam proses pembelajaran kooperatif
Rotating Trio Exchange (RTE) menekankan pada kesuksesan kelompok, siswa
belajar bersama dan memiliki tanggung jawab bersama terhadap kemajuan
kelompoknya. Sesuai dengan pendapat Johnson dkk (Trianto, 2010) terdapat lima
unsur penting dalam pembelajaran kooperatif, yaitu : (1) saling ketergantungan
yang bersifat positif antara siswa, (2) interaksi siswa yang semakin meningkat, (3)
tanggung jawab individual, (4) keterampilan interpersonal dan kelompok kecil, (5)
proses kelompok. Partisipasi aktif menjadi tempat bagi siswa dalam
mengembangkan kemampuan koneksi matematis dan self-efficacy, sehingga proses
penerimaan atau pemahaman materi pelajaran benar-benar merupakan hasil
interaktif aktif antar siswa itu sendiri. Dengan demikian, tipe Rotating Trio
Exchange (RTE) ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan koneksi
matematis dan self-efficacy siswa.
C. Identifikasi Masalah
1. Kemampuan koneksi matematis siswa masih rendah.
Kemampuan koneksi matematis masih sangat rendah. Berdasarkan hasil
survey yang dilakukan oleh Programme Student Assesment bahwa Indonesia
menduduki peingkat 58 dari 65 negar partisipan (PISA, 2009). 69% siswa
Indonesia hanya mampu mengenali tema masalah, tetapi tidak mampu
menemukan keterkaitan antara tema masalah dengan pengetahuan yang telah di
miliki. Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh Novia (2015,
hlm. 2) mengenai kemampuan koneksi matematis siswa kelas VIII SMP dengan
ukuran sampel 40 orang, mengungkapkan bahwa nilai rata-rata kemampuan
koneksi matematis siswa sebesar 40%. Dari analisis jawaban siswa diperoleh
hasil sekitar 39% untuk kemampuan koneksi berbagai representasi konsep dan
prosedur, 48% untuk kemampuan koneksi anatar pokok bahasan matematika,
18% untuk kemampuan koneksi antara matematika dengan bidang lain dan 45%
untuk kemampuan koneksi matematika dengan kehidupan nyata. Begitu pula
dengan jurnal tentang “Peningkatan kemampuan koneksi matematis dan self-
efficacy siswa melalui model pembelajaran kooperatif tipe Rotating Trio
Exchange (RTE)” oleh Erna isfayani, Rahmah Johar, Said Munzir Hasil skor
rata-rata kemampuan koneksi matematis adalah 67,10 (dari skor ideal 100).
2. Pembelajaran yang dilakukan kurang efektif
Menurut Noor Fajriah (2015) dan Eef Asiskawati (2015) dalam jurnal
pendidikan matematika, menyatakan bahwa pembelajaran matematikanya
masih berpusat pada hasil, soal–soal yang disajikan terutama mengenai
ingatan/hafalan. Siswa tidak dituntut untuk menemukan jawaban ataupun cara
berbeda yang lain dalam menyelesaikan masalah. Pembelajaran matematika
yang hanya berpusat pada guru menyebabkan siswa hanya duduk di kursi
selama pembelajaran. Pembelajaran seperti ini mengakibatkan siswa menjadi
malas dan kurang bersemangat saat menerima pelajaran.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dan identifikasi masalah maka
permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Apakah peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa yang memperoleh
model pembelajaran kooperatif RTE lebih tinggi daripada siswa yang
memperoleh model pembelajaran konvesional?
2. Bagaimana pengaruh model pembelajaran kooperatif RTE terhadap
kemampuan koneksi matematis?
3. Bagaimana efektifitas model pembelajaran kooperatif RTE untuk peningkatan
kemampuan koneksi matematis?
E. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui peningkatan kemampuan koneksi matematis siswa yang
memperoleh model pembelajaran kooperatif RTE lebih tinggi daripada siswa
yang memperoleh model pembelajaran konvesional.
2. Untuk mengetahui seberapa kuat pengaruh model pembelajaran kooperatif
RTE terhadap kemampuan koneksi matematis siswa.
3. Untuk menjelaskan efektifitas peningkatan kemampuan koneksi matematis
dengan menggunakan model pembelajaran RTE.
F. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dalam penelitian ini adalah
1. Bagi Siswa
Dengan menumbuhkan sikap saling bekerjasama dan saling menghargai antara
siswa yang berkemampuan dan berlatar belakang berbeda serta memungkinkan
siswa lebih bersemangat belajar matematika sehingga diharapkan hasil belajar
siswa dapat meningkat.
2. Bagi Guru
Dengan diadakanya penelitian ini, guru dapat menjadikan penelitian ini sebagai
salah satu rujukan alternative model pembelajaran dalam memperbaiki dan
meningkatkan system pembelajaran di kelas sehingga permasalahan-
permasalahan yang dihadapi oleh guru, siswa dan lain sebagainya dapata
dikurangi.
3. Bagi Sekolah
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan andil yang positif, minimal
sebagai informasi dan perbaikan pengembangan pengajaran matematika
selanjutnya, khususnya dalam memenuhi metode pengajaran yang lebih efektif.
G. Definisi Operasional
Karena keterbatasan peneliti, maka masalah yang akan diteliti dan dibahas
dibatasi, sesuai dengan definisi di bawah ini :
1. Pembelajaran dengan pendekatan kooperatif
Merupakan pembelajaran yang menekankan pada interaksi social sebagai
sebuah mekanisme untuk mendukung perkembangan kognitif. Metode ini
membantu siswauntuk lebih mudah memproses informasi yang diperoleh,
karena proses encoding akan didukung dengan interaksi yang terjadi dalam
pembelajaran koopertaif.
2. Tipe Rotatting Trio Exchange (RTE)
Salah satu strategi pembelajaran yang dapat digunakan adalah Rotatting Trio
Exchange (RTE), yaitu suatu model pembelajaran dengan cara merotasi setiap
kelompok yang beranggotakan tiga orang. Mdel ini berpusat pada siswa
sehingga menuntun siswa untuk berinteraksi, berekspresi, mengeluarkan
pendapat sendiri, menemukan ilmu dan mengungkapkan kepada temannya.
3. Kemampuan Koneksi Matematis
Kemampuan koneksi matematis adalah kemampuan yang untuk mengaitkan
konsep matematika yang satu dengan konsep yang lainnya, mengaitkan konsep
matematika dengan masalah kehidupan sehari-hari dan mengaitkan konsep
matematika dengan ilmu lain.
4. Self-efficacy
Self-efficacy sebagai keyakinan akan kemampuan individu untuk dapat
mengorganisasi serangkaian tindakan yang dianggap perlu untuk mencapai
suatu hasil yang digunakan. Pikiran individu terhadap self-efficacy menentukan
seberapa besar usaha yang akan dicurahkan dan seberapa lama individu akan
tetap bertahan dalam menghadapi hambatan atau pengalaman yang tidak
menyenangkan.
5. Pembelajaran Konvesional
Model pembelajaran konvesional merupakan model pembelajaran yang biasa di
lakukan oleh guru. Pada penelitian ini, yang dimaksud model pembelajaran
konvesional adalah model pembelajaran yang menekankan kepada proses
penyampaian materi oleh guru menggunakan metode ekspositori, yaitu ceramah
yang dapat divariasikan dengan ilustri gambar-gambar tulisan tentang pokok-
pokok materi sehingga lebih menjelaskan sajian.
H. Kajian Teori
1. Model Pembelajaran
Secara umum istilah model diartikan sebagai kerangka konsteptual yang
digunakan sebagai pedoman dalam melakukan suatu kegiatan. Dalam
pengertian lain model juga diartikan sebagai barang atau benda tiruan dari
benda yang sebenarnya. Seperti globe adalah model dari bumi tempat kita
berpinjak. Sedangkan pembelajaran yang menurut Driscoll (Slavin, 2008, hlm.
179) didefinisikan sebagai perubahan dalam diri seseorang yang disebabkan
oleh pengalaman.
Keberhasilan proses pembelajaran tidak terlepas dari kemampuan guru
mengembangkan model-model pembelajaran yang berorientasipada
peningkatan intensitas keterlibatansiswa secara efektif di dalam proses
pemebalajaran. Seluruh aktivitas pembelajaran yang dirancang dan
dilaksanakan oleh guru harus bermuara pada terjadinya proses belajar siswa.
Dalam hal ini model-model pembelajaran yang dipilih dan dikembangkan guru
hendaknya dapat mendorong siswa untuk belajar dengan mendayagunakan
potensi yang mereka miliki secara optimal.
Mencermati beberapa dasar pemikiran tentang model pembelajaran yang
dikemukakan diatas, maka dapat memberikan arti yang lebih jelas tentang
model pembelajarandari beberapa ahli bidang pembelajaran.
Menurut Aunurahman (2009, hlm. 146) Model pembelajaran adalah
“Perangkat rencana atau pola yang dapat dipergunakan untuk merancang bahan-
bahan pembelajaran serta membimbing aktivitas pembelajaran di kelas atau di
tempat-tempat lain yang melaksanakan aktivitas-aktivitas pembelajaran”.
Joyce (dalam Trianto 2010, hlm. 22) model pembelajaran adalah suatu
perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam
merencanakan pembelajaran di kelas atau pembelajaran dalam tutorial dan
untuk menentukan perngkat-perengkat pembelajaran termasuk didalamnya
buku-buku, film, computer, dan lain-lain. Selanjutnya Joyce mengatakan bahwa
setiap model pembelajaran mengarahkan kita ke dalam mendesain
pembelajaran untuk membantu peserta didik sedemikian rupa sehingga tujuan
pembelajaran tercapai.
Adapun Soekamto, dkk (Trianto, 2010, hlm. 22) mengemukakanmaksud
dari model pembelajaran adalah “Kerangka konsteptual yang melukiskan
prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk
mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedomanbagi para
perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan aktivitas
belajar mengajar.
Berdasarkan berbagai pendapat diatas, maka dapat diartikan bahwa model
pemebelajaran adalah kerangka konsteptual yang melukiskan prosedur yang
sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai
tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebgai pedoman bagi para perancang
pembelajaran dan para guru untuk merencanakan dan melaknsanakan aktivitas
pembelajaran.

2. Pembelajarn Kooperatif
a. Pengertian Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif adalah konsep yang lebih luas meliputi semua jenis
kerja kelompok termasuk bentuk-bentuk yang lebih dipimpin oleh guru atau
diarahkan oleh guru (Suprijono, 2011, hlm. 54). Pembelajaran kooperatif
menurut Huda (2013, hlm. 32) adalah pembelajaran dimana siswa bekerja sama
dalam kelompok kecil dan saling membantu dalam belajar.
Lie (Isjoni, 2010, hlm. 16) menyebut pembelajaran kooperatif dengan istilah
pembelajaran gotong royong, yaitu sistem pembelajaran yang memberi
kesempatan kepada peserta didik untuk bekerjasama dengan siswa lain dalam
tugas-tugas yang terstruktur. Menurut Johnson & Johnson (Isjoni, 2010, hlm.
17) pembelajaran kooperatif adalah mengelompokkan siswa ke dalam suatu
kelompok kecil agar siswa dapat bekerja sama dengan kemampuan maksimal
yang mereka miliki dan mempelajari satu sama lain dalam kelompok tersebut.
Berdasarkan pengertian tersebut pembelajaran kooperatif adalah sistem
pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk bekerja
sama dalam kelompok kecil guna saling membantu dalam proses pembelajaran.
b. Tujuan Pembelajaran Kooperatif
Pelaksanaan model pembelajaran kooperatif membutuhkan partisipasi dan
kerja sama dalam kelompok pembelajaran. Pembelajaran kooperatif dapat
meningkatkan cara belajar siswa menuju belajar lebih baik, sikap tolong-
menolong dalam beberapa perilaku sosial. Isjoni (2010, hlm. 21)
mengemukakan tujuan utama dalam penerapan model belajar mengajar
pembelajaran kooperatif adalah agar peserta didik dapat belajar secara
berkelompok bersama teman-temannya dengan cara saling menghargai
pendapat dan memberikan kesempatan kepada orang lain untuk mengemukakan
gagasannya dengan menyampaikan pendapat mereka secara berkelompok.
Model pembelajaran ini memungkinkan siswa untuk mengembangkan
pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan secara penuh dalam suasana
belajar yang terbuka dan demokratis. Siswa bukan lagi sebagai objek
pembelajaran, namun bisa juga berperan sebagai tutor bagi teman sebayanya.
Pada dasarnya model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk
mencapai setidak-tidaknya tiga tujuan pembelajaran penting yang dirangkum
Ibrahim (Isjoni, 2010, hlm. 27-28), yaitu:
1. Hasil belajar akademik
Dalam pembelajaran kooperatif meskipun mencakup beragam tujuan sosial,
juga memperbaiki prestasi siswa atau tugas-tugas akademis penting lainnya.
Beberapa ahli berpendapat bahwa model ini unggul dalam membantu siswa
memahami konsep-konsep sulit. Para pengembang model ini telah
menunjukkan, model struktur penghargaan kooperatif telah dapat
meningkatkan nilai siswa pada belajar akademik dan perubahan norma yang
berhubungan dengan hasil belajar. Di samping mengubah norma yang
berhubungan dengan hasil belajar, pembelajaran kooperatif dapat memberi
keuntungan, baik pada siswa kelompok bawah maupun kelompok atas yang
bekerja bersama menyelesaikan tugas akademik.
2. Penerimaan terhadap perbedaan individu
Tujuan lain model pembelajaran kooperatif adalah penerimaan secara luas
dari orang-orang yang berbeda berdasarkan ras, budaya, kelas sosial,
kemampuan, dan ketidakmampuannya. Pembelajaran kooperatif memberi
peluang bagi siswa dari berbagai latar belakang dan kondisi untuk bekerja
dengan saling bergantung pada tugas-tugas akademik dan melalui struktur
penghargaan kooperatif akan belajar saling menghargai satu sam lain.
3. Pengembangan keterampilan sosial
Tujuan penting ketiga pembelajaran kooperatif adalah mengajarkan kepada
siswa keterampilan bekerja sama dan kolaborasi. Keterampilan-
keterampilan sosial penting dimiliki siswa, sebab saat ini banyak anak muda
masih kurang dalam keterampilan sosial.
c. Prinsip dan Sintak Pembelajaran Kooperatif
Rusman (Sigit, 2013, hlm. 51) mengungkapkan terdapat 4 tahap
pembelajaran kooperatif sebagai berikut.
1. Penjelasan materi yaitu tahap penyampaian pokok – pokok materi pelajaran
sebelum siswa belajar dan berinteraksi di dalam kelompok.
2. Belajar kelompok yaitu membentuk peserta didik menjadi beberapa
kelompok untuk membahas materi yang telah ditentukan.
3. Penilaian yaitu tahap yang dilakukan pada proses pembelajaran dengan
melalui tes maupun penilaian nontes.
4. Pengakuan tim yaitu tahap dimana pendidik menetapkan tim atau kelompok
yang paling menonjol dalam proses pembelajaran.
d. Keunggulan Pembelajaran Kooperatif
Adapun keunggulan dari pembelajaran kooperatif Wina Sanjaya (2006,
hlm. 249) adalah sebagai berikut:
1. Melalui pembelajaran kooperatif siswa tidak terlalu menggantungkan pada
guru, akan tetapi dapat menambah kepercayaan kemampuan diri sendiri,
menemukan informasi dari berbagai sumber, dan belajar dari siswa yang
lain.
2. Pembelajaran kooperatif dapat mengembangkan kemampuan
mengungkapkan idea atau gagasan dengan kata-kata secara verbal dan
membandingkannya dengan ide-ide orang lain.
3. Pembelajaran kooperatif dapat membantu anak untuk respek dan menyadari
akan segala keterbatasannya serta menerima segala perbedaan.
4. Pembelajaran kooperatif membantu memberdayakan setiap siswa untuk
lebih bertanggung jawab dalam belajar.
5. Pembelajaran kooperatif merupakan suatu strategi yang cukup ampuh untuk
meningkatkan prestasi akademik sekaligus kemampuan sosial, termasuk
mengembangkan rasa harga diri, kemampuan interpersonal yang positif
dengan yang lain, mengembangkan keterampilan me-manage waktu, dan
sikap positif terhadap sekolah.
6. Melalui pembelajaran kooperatif mengembangkan kemampuan siswa untuk
menguji ide dan pemahamannya sendiri, menerima umpan balik. Siswa
dapat berpraktik memecahkan masalah tanpa takut melakukan kesalahan,
karena keputusan yang dibuat adalah tanggung jawab kelompoknya.
7. Pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan kemampuan siswa
menggunakan informasi dan kemampuan belajar abstrak menjadi nyata
(riil).
8. Interaksi selama kooperatif berlangsung dapat meningkatkan motivasi dan
memberikan rangsangan untuk berfikir. Hal ini berguna untuk proses proses
pendidikan jangka panjang.
3. Model Pembelajaran Rotatting Trio Exchange
a. Pengertian model pembelajaran rotating trio exchange
Rotating Trio Exchange merupakan cara mendalam peserta didik untuk
berdiskusi tentang berbagai masalah dengan beberapa teman kelasnya,
pertukaran itu dapat dengan mudah dilengkapi dengan materi (Silberman, 2009,
hlm. 85). Pembelajaran kooperatif dapat diterapkan dalam model rotating trio
exchange dimana semua siswa dalam satu kelas dibagi dalam 3 kelompok,
untuk mengerjakan tugas secara terstruktur yang diberikan oleh guru.
Ciri utama pada model pembelajaran Rotating Trio Exchange adalah
langkah Rotating (berputar dalam kelompok), Trio (kelompok terdiri tiga
anggota),Exchange (pergantian anggota kelompok). Berdasarkan 8ocus utama
dapat disimpulkan bahwa Rotating Trio Exchange merupakan pembelajaran
berkelompok yang terdiri dari tiga anggota yang dapat bergantian pasangan
dengan kelompok lain secara memutar sesuai arah jarum jam atau berlawan arah
jarum jam.
b. Langkah-langkah model pembelajaran rotating trio exchange
Silberman (2009, hlm. 85) mengemukakan langkah-langkah model
pembelajaran rotating trio exchange adalah sebagai berikut.
1. Guru membagi kelompok menjadi tiga anggota tiap kelompok.
2. Guru meminta tiap kelompok untuk menentukan nomor 0, 1, 2 untuk
masingmasing anggota.
3. Guru mulai memberikan soal, setelah kelompok mengerjakan soal yang
diberikan guru selanjutnya anggota yang bernomor 1 memutar satu trio
searah jarum jam dan anggota 2 memutar dua trio berlawanan arah jarum
jam. Sedangkan nomor 0 untuk tetap karena mereka anggota tetap dari
tiaptiap trio. Yang nantinya akan membentuk trio baru.
4. Guru memberikan soal dengan meningkatkan kesulitan pada putaran-
putaran baru.
5. Guru melakukan perputaran sampai selesai soal yang akan disampaikan
dengan meyesuaikan waktu pembelajaran di kelas.
c. Kelebihan dan Kekurangan rotating trio exchange
Tidak ada model pembelajaran yang paling baik suatu model pembelajaran
pasti ada kelebihan dan kekurangannya. Pembelajaran kelompok akan tercapai
apabila ada tanggung jawab individu artinya setiap anggota kelompok harus
memiliki tanggung jawab guna kesuksesan kelompoknya masing-masing.
Kelemahan yang ada diharapkan dapat diminalisir dengan peran guru yang
senantiasa meningkatkan motivasi siswa yang lemah agar dapat berperan aktif,
meningkatkan tanggung jawab siswa untuk belajar bersama, dan membantu
siswa yang mengalami kesulitan.
Berdasarkan pengalaman pribadi peneliti di SMP Kristen 1 Salatiga Pada
tahun Ajaran 2013/2014, kelebihan model pembelajaran Rotating Trio
Exchange adalah mendorong siswa aktif berpikir, 9ocus9 kesempatan kepada
siswa untuk menanyakan hal-hal yang kurang dipahami sehingga guru dapat
menjelaskan kembali, perbedaan pendapat antara siswa dapat diatasi dengan
adanya diskusi yang membuat mereka akan memecahkan masalah bersama,
pertanyaan dapat menarik perhatian siswa sehingga pada saat siswa kurang
perhatian pada materi yang dihadapi maka akan kembali memperhatikan, dan
mengembangkan keberanian dan keterampilan siswa dalam menjawab dan
berpendapat.
Kelemahan model pembelajaran Rotating Trio Exchange adalah Siswa
merasa minder kepada siswa lain di dalam kelompoknya apabila tidak
memahami soal yang dikerjakan, tidak mudah membuat soal sesuai dengan
tingkat pemahaman masingmasing siswa, waktu sering banyak terbuang apabila
siswa di dalam kelompoknya tidak aktif, dan dalam jumlah siswa yang banyak,
tidak mungkin cukup waktu untuk memberikan pertanyaan kepada tiap siswa.
4. Kemampuan Koneksi Matematis
a. Pengertian Kemampuan Koneksi Matematis
Kemampuan koneksi matematika adalah kemampuan siswa dalam mencari
hubungan suatu representasi konsep dan prosedur, memahami antar topic
matematika, mengaitkan ide-ide matematika dan kemampuan siswa
mengaplikasikan konsep matematika dalam bidang lain atau dalam kehidupan
sehari-hari. Berdasarkan hal tersebut, koneksi matematika tidak hanya
menghubungkan antar topik dalam matematika, tetapi juga menghubungkan
matematika dengan berbagai ilmu lain dan dengan kehidupan. Menurut kusuma
kemampuan koneksi matematika adalah kemampuan seseorang dalam
memperlihatkan hubungan internal dan eksternal matematika, yang meliputi
koneksi antar topic matematika, koneksi dengan disiplin ilmu lain, dan koneksi
dengan kehidupan sehari-hari.
Kemampuan koneksi matematika diperlukan oleh siswa dalam mempelajari
beberapa topik matematika yang memang saling terkait satu sama lain. Menurut
Ruspiani, jika suatu topik diberikan secara tersendiri maka pembelajaran akan
kehilangan momen yang sangat berharga dalam usaha meningkatkan prestasi
belajar siswa dalam belajar matematika seacara umum. Tanpa kemampuan
koneksi matematika, siswa akan mengalami kesulitan mempelajari matematika.
Dengan demikian kemampuan koneksi matematika perlu dilatihkan kepada
siswa sekolah. Apabila siswa mampu mengkaitkan ide-ide matematika maka
pemahaman matematikanya semakin dalam dan bertahan lama karena mereka
mampu melihat keterkaitan antar topik dalam matematika, dengan konteks
selain matematika, dan dengan pengalaman hidup seharihari.
Menurut Sumarmo (dalam Lestari dan Yudhanegara, 2017, hlm. 83),
kemapuan koneksi matematis siswa dapat dilihat dari indikator-indikator
berikut:
1. Mencari hubungan berbagai representasi konsep dan prosedur
2. Memahami hubungan diantara topik matematika
3. Menerapkan matematika dalam bidang studi laian atau kehidupan sehari-
hari
4. Memahami representasi ekuivalen suatu konsep
5. Menacari hubungan satu prosedur dengan prosedur lain dalam represntasi
yang ekuivalen
6. Menerapkan hubungan antar topic matematika, dana antara topic
matematika dengan topic di luar matematika.
b. Tujuan Koneksi Matematis
Menurut NCTM, terdapat tiga tujuan koneksi matematika di sekolah, yaitu:
pertama memperluas wawasan pengetahuan siswa. Dengan koneksi
matematika, siswa diberikan suatu materi yang dapat menjangkau ke berbagai
aspek permaslahan baik di dalam maupun luar sekolah, sehingga pengetahuan
yang diperoleh siswa tidak bertumpu pada materi yang materi yang sedang
dipelajari saja. Kedua, memandang matematika sebagai suatu kesuluruhan yang
padu bukan sebagai materi yang berdiri sendiri. Ketiga, menyatakan relevansi
dan manfaat baik baik disekolah maupun luar sekolah.11 Melalui koneksi
matematika, siswa diajarkan konsep dan ketrampilan dalam memecahkan
masalah dari berbagai bidang yang relevan, baik dengan bidang matematika itu
sendiri maupun dengan bidang diluar matematika
Berdasarkan beberapa tujuan yang telah dikemukakan diatas, koneksi
matematika dapatdikelompokkan dalam tiga aspek yaitu : koneksi antra topik
matematika, koneksi matematika dengan disiplin ilmu lain, dan koneksi
matematuka dengan dunia nyata dalam kehidupan sehari-hari. Dengan
demikian, koneksi matematika diharapkan wawasan dan pemikiran siswa akan
semakin terbuka terhadap matematika, tidak hanya berfokus pada topik tertentu
yang sedang dipelajari, sehingga akan menimbulkan sikap positif terhdap
matematika itu sendiri. Untuk dapat melihat dan mengukur sejauh mana siswa
telah mampu melakuakn koneksi matematika, soal yang digunakan sebaiknya
mampu mengembangkan kreatifitas siswa dan mampu untuk menemukan
keterkaitan antar proses dalam suatu konsep matematika serta antar topik pada
matematika, dan mampu menemukan keterkaitan matematika dengan displin
ilmu lain.
5. Self-efficacy
Bandura adalah tokoh yang memperkenalkan istilah efikasi (self-efficacy).
Beliau mendefinisikan bahwa self-efficacy sebagai evaluasi seseorang megenai
kemampuan atau kompetensi dirinya untuk melakukan suatu tugas, mencapai
tujuan dan mengatasi hambatan. Wood menjelaskan bahwa self-efficacy
mengacu pada keyakina atau kemampuan individu untuk menggerakkan
motivasi, kemampuan kognitif dan tindakan yang diperlukan untuk memnuhi
tuntutan situasi.
Self-efficacy pada dasarnya adalah hasil dari proses kognitif berupa
keputusan, keyakinan atau penghargaan tentang sejauh mana individu
memperkirakan kemampuan dirinya dalam melaksanakan tugas atau tindakan
tertentu yang diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginkan. Self-efficacy
tidak berkaitan dengan kecakapan yang dimiliki, tetapi berkaitan dengan
kyakinan individu mengenai hal yang dapat dilakukan dengan kecakapan yang
dia miliki seberapun besarnya. Self-efficacy menekankan pada komponen
keyakinan diri yang dimiliki seseorang dalam menghadapi situasi yang akan
datang yang mengandung kekaburan, tidak dapat diramalkan, dan sering penuh
tekanan.
Indikator Self-efficacy mengacu pada dimensi level, Brown dkk (2005)
merumuskan beberapa indicator Self-efficacy antara lain :
1. Yakin dapat menyelesaikan tugas tertentu
Individu yakin bahwa dirinya mampu menyelesaikan tugas tertentu, yang
mana individu sendirilah yang menetapkan tugas (target) apa yang
diselesaikan.
2. Yakin dapat memotivasi diri untuk melakukan tindakan yang diperlukan
dalam menyelesaikan tugas
Individu mampu menumbuhkan motivasi pada dirinya sendiri untuk
memilih dan melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan dalam rangka
menyelesaikan tugas.
3. Yakin bahwa diri mampu berusaha dengan keras, gigih dan tekun
Adanya usaha yang keras dari individu untuk menyelesaikan tugas yang
ditetapkan dengan menggunakan segala daya yang dimiliki.
4. Yakin bahwa diri mampu bertahan menghadapi hambatan dan kesulitan
Individu mamapu bertahan saatmenghadapi kesulitan dan hambatan yang
muncul serta mampu bangkit dari kegagalan.
5. Yakin dapat menyelesaikan tugas yang memiliki range yang luas ataupun
sempit (spesifikasi)
Individu yakin bahwa dalam setiap tugas apapun dapat ia selesaikan
meskipun itu luas ataupun spesifik.
Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat disimpulakan bahwa self-
efficacy adalah perasaan, keyakinan, persepsi, kepercayaan terhadap
kemampuan dan kompetensi didi yang nantinya akan berpengaruh pada cara
individu tersebut dalam bertindak/mengatasi suatu situasi tertentu untuk dapat
berbagai tujaun dalam hidupnya.
I. Kerangka Pemikiran
Untuk meningkatkan kemampuan koneksi matematis siswa terhadap
pembelajaran matematika, guru harus menciptakan suasana belajar yang optimal
dengan menerapkan berbagai pendekatan.Dalam pembelajaran matematika, salah
satu hal yang harus diperhatikan oleh giuru dalam mengajarkan suatu pokok
bahasan adalah pemilihan model pembelajaran yang sesuai dengan materi yang
diajarkan, karena melihat kondisi siswa yang mempunyai karakteristik yang
berbeda antar satu dengan yang lainya dalam menerima materi pelajaran yang
disajikan guru dikelas, ada siswa yang mempunyai daya serap cepat dan ada pula
siswa yang mempunyai daya tanggap yang lama.
Menyingkapi kenyataan ini, penulis menilai perlu digunakanya pendekatan
Kooperatif, yaitu merupakan pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada
peserta didik untuk bekerja sama dalam kelompok kecil guna saling membantu
dalam proses pembelajaran.
J. Asumsi dan Hipotesis Penelitian
a. Asumsi Penelitian
Ruseffendi (2010, Hlm. 25) mengatakan “asumsi merupakan anggapan
dasar mengenai peristiwa yang semestinya terjadi dan atau hakekat sesuatu
yang sesuai dengan hipotesis yang dirumuskan”. Dengan demikian, aggapan
dasar dalam penelitian ini adalah :
1. Model pembelajaran Kooperatif tipe Rotatting Trio Exchange (RTE) akan
mempengaruhi kemampuan koneksi matematis siswa
2. Penyampain materi dengan menggunakan Model pembelajaran Kooperatif
tipe Rotatting Trio Exchange (RTE) akan membangkitkan self-efficacy
siswa dalam belajar dan siswa akan aktif dalam mengikuti pelajaran sebaik-
baiknya.
b. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan tinjauan pustaka dan rumusan masalah yang telah diuraikan diatas,
maka penelitian ini mengambil hipotesis sebagai berikut:
1. Kemampuan koneksi matematis siswa yang mendapatkan pembelajaran model
pembelajaran kooperatif RTE lebih baik daripada siswa yang mendapatkan
pembelajaran konvesional.
2. Terdapat pengaruh yang kuat model pembelajaran kooperatif RTE terhadap
kemampuan koneksi matematis.
3. Terdapat Efektifitas peningkatan kemampuan koneksi matematis dengan
menggunakan model pembelajaran RTE
K. Metode dan Desain Penelitian
1. Metode Penelitian
Pada penelitian ini ada dua kelompok, yaitu kelompok eksperimen dan
kelompok kontrol. Kelompok dipilih secara acak. Kelompok eksperimen
memperoleh pengajaran matematika menggunakan model pembelajaran
kooperatif RTE sebagai perlakuan. Kelompok kontrol memperoleh pengajaran
matematika menggunakan model pembelajaran biasa sebagai perlakuan.
Penelitian ini bermaksud untuk melihat hubungan sebab-akibat. Perlakuan
yang kita lakukan dalam kegiatan pembelajaran matematika (sebab), kita lihat
hasilnya pada kemampuan koneksi matematis dan self-efficacy siswa (akibat).
Berdasarkan maksud tersebut, maka metode penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah eksperimen atau percobaan. Ruseffendi (2010, hlm. 35)
mengemukakan “penelitian eksperimen adalah penelitian yang bertujuan untuk
melihat sebab akibat yang kita lakukan terhadap variabel bebas, dan kita lihat
hasilnya pada variabel terikat”. Oleh karena itu, maka metode yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metode eksperimen.
2. Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan adalah eksperimen kelompok control
pretes-postes melibatkan paling tidak dua kelompok menurut Ruseffendi (2010,
hlm. 50). Pada penelitian ini terdiri dari dua kelompok yaitu kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol. Untuk kelompok eksperimen mendapatkan
perlakuan pembelajaran matematika dengan model pembelajaran kooperatif
RTE, sedangkan kelompok kontrol mendapatkan perlakuan pembelajaran
matematika dengan pembelajaran biasa (ekspositori). Sebelum mendapatkan
perlakukan kedua kelompok kelas tersebut terlebih dahulu dilakukan tes awal
(pretes) untuk mengukur kemampuan awal koneksi matematis dan self-efficacy
siswa. Kemudian setelah itu kedua kelompok diberikan perlakuan maka
masing–masing kelompok diberi tes akhir (postes) untuk mengetahui perbedaan
kemampuan koneksi matematis dan self-efficacy siswa antara kedua kelompok.
Menurut Ruseffendi (2010, hlm. 50), desain penelitian eksperimen
kelompok kontrol pretes-postes digambarkan sebagai berikut:
A O X O
A O O
Keterangan:
A: Pengelompokan sampel secara acak kelas
O: Pretes atau postes
X:Perlakuan pembelajaran dengan menggunakan model Rottating Trio
Exchange
L. Subjek dan Objek Penelitian
1. Subjek Penelitian
Yang dimaksud subjek penelitian adalah orang, tempat, atau benda yang
diamati dalam rangak pembumbutan sebagai sasarn ( Kamus Bahasa iIndonesia,
1989, hlm. 862). Adapun subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII
SMP.
2. Obyek Penelitian
Yang dimaksud onyek penelitian adalah hal yang menjadi sasaran penelitian
( Kamus Bahasa Indonesia; 1989, Hlm 622). Menurut (Suparno 2000, Hlm 21)
obyek penelitian adalah himpunan elemen yang dapt berupa orang, organisasi
atau barang yang akan diteliti. Kemudian dipertegas (Anto Dayan 1986, Hlm
21), obyek penelitian adalah pokok persoalan yang hendak diteliti untuk
mendapatkan data secara lebih terarah. Adapun obyek penelitian dalam
penelitian ini adalah diambil dua kelas secara acak dari Kelas VIII yaitu satu
kelas sebagai kelas eksperimen kelas yang menggunakan model pembelajaran
Kooperatif tipe Rotatting Trio Exchange (RTE) dan satu kelas sebagi kelas
control kelas yang menggunakan pembelajaran konvesional.
M. Teknik Pengumpulan Data dan Instrumen Penelitian
1. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data adalah sebagai berikut :
a. Metode Tes
Metode tes digunakan untuk memperoleh data tentang peningkatan
kemampuan koneksi matematis. Teknik tes ini dilakukan sebelum dan
sesudah perlakuan diberikan kepada kelas eksperimen dan kelas kontrol
dengan tujuan mendapatkan data awal dan akhir. Tes diberikan kepada dua
kelas dengan alat tes yang sama dan hasil pengolahan data digunakan untuk
menguji kebenaran hipotesis penelitian.
a. Angket Skala Sikap
Penggunaan angket dalam penelitian ini bertujuan untuk megetahui
sikap siswa terhadap pembelajaran matematika dengan pembelajaran
kooperatif tipe Rotatting Trio Exchange (RTE). Dalam penelitian ini,
peneliti menggunakan Skala Likert. Skala Likert meminta kita sebagai
individual untuk menjawab suatu pernyataan dengan jawaban sangat setuhu
(SS), setuju (S), ragu-ragu (R), tidak setuju (TS), sangat tidak setuju(STS)
(Ruseffendi, 2005:135). Total skor merupakan penjumlaahanskor responsi
dari responden yang hasilnya ditafsirkan sebagai posisi responden.
Memberi skor terhadap lembar kerja responden. Pernyataan positif :SS =
5; S = 4; R=3; TS = 2; dan STS = 1; sedangkan pernytaan negatif diberi skor
sebaliknya, yaitu SS = 1; S = 2; R = 3; TS = 4; dan STS = 5.
2. Instrumen Penelitian
Instrumen pada penelitian ini adalah soal tes dan skala sikap. Soal tes yang
digunakan adalah soal tes awal (pretest) dan soal akhir (post test). Tes awal
diberikan untuk mengukur kemampuan koneksi matematis awal kedua
kelompok dan tes akhir diberikan untuk mengukur kemampuan koneksi
matematis setelah pembelajaran dilakukan. Instrumen non-tes yang digunakan
adalah skala sikap untuk mengukur respon siswa terhadap model pembelajaran
kooperatif tipe Rotatting Tipe Exchange (RTE).
3. Tes Kemapuan Koneksi Matematis
Tes kemampuan koneksi matematis ini berbentuk soal uraian yang
diberikan kepada kelas eksperimen dan kelas kontrol. Pemilihan berbentuk tes
uraian ini bertujuan untuk mengungkapkan kemampuan koneksi matematis
siswa secara tertulis. Instrumen tes ini digunakan pada saat pretes dan postes
dengan karakteristi setiap soal pada masing-masing tesnya adalah identik.
Tujuan dilaksanakannya pretes ini adalah untuk mengukur kemampuan
awal siswa pada kedua kelas (eksperimen dan kontrol) sama atau tidak. Selain
itu juga sebagai pembanding terhadap postes yang diperoleh merupakan
pengaruh dari pembelajaran kooperatif tipe Rotatting Trio Exchange (RTE).
a. Validitas Instrumen
Suherman (2003, hlm. 102) menyatakan bahwa suatu alat evaluasi
disebut valid apabila alat evaluasi tersebut mampu mengevaluasi apa yang
seharusnya dievaluasi. Dalam penelitian ini akan dihitung validitas tiap
butir soal.
Untuk menguji validitas tes uraian, digunakan rumus korelasi produk
moment memakai angka kasar (raw score) (Suherman, 2003, hlm. 121),
yaitu :

N  XY   X  Y 
rxy 
N  X 2

  X  N  Y 2   Y 
2 2

Keterangan:
rxy = koefisien korelasi antara X dan Y
N = banyak subjek (testi)
X = skor setiap butir soal masing-masing siswa
Y = skor total masing-masing siswa
Menurut Guilford (Suherman, 2003:113) interpretasi koefisien korelasi
(rxy) dikelompokkan ke dalam kategori-kategori berikut ini:

Validitas Interpretasi
90 ≤ rxy ≤ 1,00 Validitas sangat tinggi
0,70 ≤ rxy ≤ 0,90 Validitas tinggi
0,40 ≤ rxy ≤ 0,70 Validitas sedang
0,20 ≤ rxy ≤ 0,40 Validitas rendah
0,00 ≤ rxy ≤ 0,20 Validitas sangat rendah
rxy ≤ 0,20 Tidak valid

b. Reliabilitas Instrumen
Reliabilitas adalah ketetapan alat evaluasi dalam mengukur atau
ketetapan siswa dalam menjawab alat evaluasi (Ruseffendi, 2005, hlm.
158). Untuk menghitung reliabilitas, terlebih dahulu hitung koefisien
reliabilitasnya. Koefisien reliabilitas tes bentuk uraian dapat dihitung
dengan menggunakan rumus Alpha Crounbach (Suherman, 2003. Hlm.
154), yaitu:

 n  1   s i 
2

r11    
 n  1  s t 
2

Keterangan:

r11 = koefisien korelasi


n = banyak butir soal
∑ si 2 = jumlah varians skor setiap butir soal
st 2 = varians skor total

Koefisien reliabilitas yang telah diperoleh, selanjutnya diinterpretasikan


menggunakan tolak ukur yang dibuat Guilford (Suherman, 2003, hlm. 139),
yaitu:
Reliabilitas Interpretasi
r11 < 0,20 Reliabilitas sangat rendah
0,20 ≤ r11 ≤ 0,40 reliabilitas rendah
0,40 ≤ r11 ≤ 0,70 reliabilitas sedang
0,70 ≤ r11 ≤ 0,90 reliabilitas tinggi
0,90 ≤ r11 ≤ 1,00 reliabilitas sangat tinggi

c. Daya Indeks Kesukaran Instrumen


Suatu soal dikatakan memiliki tingkat kesukaran yang baik bila soal
tersebut tidak terlalu mudah dan juga tidak terlalu sukar. Soal yang terlalu
mudah tidak merangsang testi untuk meningkatkan usaha memecahkannya.
Sebaliknya soal yang terlalu sukar dapat membuat testi menjadi putus asa
dan enggan untuk memecahkannya. Tingkat kesukaran suatu butir soal
dinyatakan dengan bilangan yang disebut indeks kesukaran. Rumus yang
dapat digunakan untuk menghitung indeks kesukaran tipe soal uraian
adalah:

Xi
IK 
SMI
Keterangan:
IK = indeks kesukaran
Xi = rata-rata skor jawaban soal ke-i
SMI = skor maksimal ideal soal ke-i

Klasifikasi interpretasi untuk indeks kesukaran menurut Suherman


(2003:170) adalah sebagai berikut:

Indeks Kesukaran Interpretasi


IK = 0,00 Soal terlalu sukar
0,00 < IK ≤ 0,30 Soal sukar
0,30 < IK ≤ 0,70 Soal sedang
0,70 < IK ≤ 1,00 Soal mudah
IK = 1,00 Soal terlalu mudah
d. Daya Pembeda Instrumen
Daya pembeda dari satu butir soal menyatakan seberapa jauh
kemampuan butir soal tersebut membedakan antara testi yang mengetahui
jawabannya dengan benar dengan testi yang tidak dapat menjawab soal
tersebut (atau testi yang menjawab salah) (Suherman, 2003, hlm. 159).
Dengan kata lain, daya pembeda dari sebuah butir soal menyatakan seberapa
jauh kemampuan butir soal tersebut untuk membedakan antara testi yang
mengetahui jawabannya dengan benar dengan testi yang tidak dapat
menjawab soal tersebut. Daya pembeda suatu soal dapat dihitung
menggunakan rumus:
XA  XB
DP 
SMI
Keterangan:
DP = daya pembeda
XA = rata-rata skor kelompok atas
XB = rata-rata skor kelompok bawah
SMI = skor maksimum ideal

Klasifikasi interpretasi untuk daya pembeda menurut Suherman (2003,


hlm. 161) dikelompokkan ke dalam kategori-kategori berikut ini:
Daya Pembeda Interpretasi
DP ≤ 0,00 Sangat jelek
0,00 < DP ≤ 0,20 Jelek
0,20 < DP ≤ 0,40 Cukup
0,40 < DP ≤ 0,70 Baik
0,70 < DP ≤ 1,00 Sangat baik

Untuk mengetahui perbedaan hasil belajar matematika siswa dengan


penerapan pendekatan metakognitif statistik yang dipergunakan adalah Uji
Gain. Uji Gain adalah selisih antara nilai postes dan pretest, gain
menunjukkan peningkatan pemahaman atau penguasaan konsep siswa
setelah pembelajaran dilakukan guru. Untuk menghindari hasil kesimpulan
bias penelitian, karena pada nilai pretest kedua kelompok penelitian sedah
berbeda digunakan uji normalitas.
Kelebihan penggunaan model dalam meningkatkan keterampilan
berpikir kritis ditinjau berdasarkan perbandingan nilai gain yang
dinormalisasi (N-gain), antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.
Gain yang dinormalisasi (N-gain) dapat dihitung dengan persamaan: (Hake,
1999).
𝑆 𝑝𝑜𝑠𝑡𝑒𝑠𝑡−𝑆 𝑝𝑟𝑒𝑡𝑒𝑠𝑡
g=
𝑆 𝑚𝑎𝑘𝑠𝑖𝑚𝑢𝑚−𝑆 𝑝𝑟𝑒𝑡𝑒𝑠𝑡

Disini dijelaskan bahwa g adalah gain yang dinormalisasi (N-gain) dari


kedua model, Smaks adalah skor maksimum (ideal) dari tes awal dan tes
akhir, Spost adalah skor tes akhir, sedangkan Spre adalah skor tes awal.
Tinggi rendahnya gain yang dinormalisasi (N-gain) dapat diklasifikasikan
sebagai berikut: (1) jika g ≥ 0,7, maka N-gain yang dihasilkan termasuk
kategori tinggi; (2) jika 0,7 > g≥ 0,4, maka N-gain yang dihasilkan termasuk
kategori sedang, dan (3) jika g < 0,4 maka N-gain yang dihasilkan termasuk
kategori rendah.
4. Instrumen Non Tes (Angket)
Angket adalah sebuah alat evaluasi bentuk non test. Menurut Suherman
(1990, Hlm 70) Angket merupakan sebuah daftar pertanyaan atau penyataan
yang harus dijwab oleh responden. Tujuan pemeberian angket ini adalah untuk
mengetahui respon siswa mengenai pemebelajaran kooperatif tipe Rotatting
Trio Exchange (RTE).Angket dibuat dalam bentuk skala likert. Siswa diminta
menjawab pertanyaan yang tersusun dalam beberapa kategori yang bertingkat,
mulai dari Sangat Tidak Setuju (STS), Tidak Setuju (TS), Setuju (S), dan Sangat
Setuju (SS).
Angket disajikan dalam dua bentuk pertanyaan yaitu pertanyaan positif dan
pertanyaan negatif. Setiap pertanyaan diberi skor tertentu untuk
pertanyaan/pernyataan positif apabila menjawab sangat setuju (SS) maka diberi
skor 5, apabila menjawab setuju (S) maka siswa diberi skor 4, apabila menjawab
tidak setuju (TS) maka diberi skor 2, dan apabila menjawab sangat tisak setuju
(STS) maka diberi skor 1. Sebaliknya untuk pertanyaan/pernyataan negatif
apabila menjawab sangat setuju (SS) maka diberi skor 1, apabila menjawab
setuju (S) maka siswa diberi skor 2, apabila menjawab tidak setuju (TS) maka
diberi skor 4, dan apabila menjawab sangat tisak setuju (STS) maka diberi skor
5.
N. Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh dari penelitian akan dianalisis. Untuk analisi data
kuantitatif yaitu kemampuan Koneksi matematis, dianalisis dengan menggunakan
teknik statistic deskriptif denganbantuan SPSS for windowa (SPSS 16.0 for
windows). Statistik deskriptif adalah statistic yang berfungsi untuk
mendeskripsikan atau memberi gambaran terhadap karakteristik dari objek yang
diteliti yang terdiri dari skor rata-rata, median, standar deviasi, table frekuensi, nilai
minimum dan nilai maksimum yang di peroleh siswa pada setiap akhir siklus.
Sedangkan untuk data kualitatif yaitu hasil observasi saat kegiatan
pembelajaran berlangsung, dianalisis dengan menggunakan analisis kualitatif.
Adapun kriteria untuk menentukan kategori adalah berdasarkanteknik kategorisasi
standar yang ditetepkan oleh Departemen Pendidikan Nasional (Lantang, 22: 2007)
Yaitu :
Tabel 1.1 Kategorisasi Standar Berdasakan Ketetapan Depetemen Pendidikan
Nasional
Skor Kategori
0 – 34 Sangat Rendah
35 – 54 Rendah
55 – 64 Sedang
65 – 84 Tinggi
85 – 100 Sangat Tinggi

O. Prosedur Penelitian
Penelitian ini secar garis besar dilakukan dalam tiga tahap, yaitu
1. Tahap Persiapan
Beberapa langkah yang dilakukan dalam tahap ini diantaranya:
a. Identifikasi permasalahan mengenai bahan ajar, merencanakan kegiatan
pembelajaran, serta alat dan cara evaluasi yang digunakan.
b. Berdasarkan identifikasi tersebut, kemudian disusun komponen-
komponen pembelajaran yang meliputi bahan ajar, media pembelajaran,
alat pembelajaran, evaluasi dan strategi pembelajaran.
c. Selanjutnya membuat instrumen penelitian yang kemudian diuji
kualitasnya.
d. Menganalisis soal yang telah diujikan kemudian merevisi jika ada
kekurangan.
e. Pemilihan sampel penelitian
f. Perizinan ke sekolah
2. Tahap Pelaksanaan
Dalam tahap pelaksanaan dilakukan langkah-langkah sebagai berikut :
a. Melaksanakan pembelajaran dikedua kelas tersebut. dikelas control
dilakukan pembelajaran secara ceramah/diskusi
b. Memberikan post test pada kedua kelas tersebut
c. Pemeberian angket dan bahan aja kepada siswa
3. Tahap Akhir
Terakhir adalah melakukan pengkajian dan analisis terhadap temuan-
temuan ynag dialami oleh peneliti sertamelihat pengaruhnya kemampuan
yang akan diukur.
P. Jadwal Penelitian

Pelaksanaan 2018-2019
Kegiatan
12 1 2 3 4 5 6 7
Pengajuan Judul Skripsi
Pembuatan Proposal Skripsi
Seminar Skripsi
Pembuatan Perangkat Pembelajaran
dan instrument
Administrasi Perizinan Penelitian
Pengujian Instrumen dan Revisinya
Penelitian di Sekolah
Pengumpulan Data
Pengolahan Data
Pembahasan Hasil Penelitian
Penulisan dan Penyusunan

DAFTAR PUSTAKA

Aunurrahman. (2009). Belajar Dan Pembelajaran. Bandung: Alfabeta

Anto Dajan, 1986, Pengantar Metode Statistik II, Penerbit LP3ES, Jakarta.

Bandura, A. (1982). Self-efficacy mechanism in human agency. American


Psychologist,37

Bandura, (1986). Self-efficacy. New York, NY: W.H. Freeman and Company

Bandura, A. (1997). Self-Efficacy: the exercise of control. New York: W. H.


Freeman /Times Books.
Bandura, A (1997). Self-efficacy in changing societies. New York, NY: W.H. Freeman and
Company

Brown , dkk (2005) Chapter 2 Self-Efficacy Theory. University of New England. Australia

Depdikbud, (1989). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2014 Tentang Kurikulum 2013. Jakarta:
Depdiknas

Huda M. (2013). Model-model Pengajaran dan Pembelajran. Yogyakarta: Pustaka


Pejara.

Isjoni. 2009. Cooperative Learning. Bandung: Alfabeta.

Isjoni. (2010). Pembelajaran Kooperatif. Meningkatkan kecerdasan antar peserta


didik. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Johnson, dkk, (2010). Colaborative Learning: Strategi Pembelajaran untuk Sukses


Bersama. Penerjemah: Narurita Yusron. Bandung: Nusa Media

Kusuma, D. A. (2003). Meningkatkan Kemampuan Koneksi Matematika Siswa


SLTP dengan Menggunakan Metode Inkuiri. Tesis PPS UPI Bandung:
tidak diterbitkan

National Council Of Teachers Of Mathematics (NCTM). 2000. Principles And


Standards Schools Mathematics

National Council Of Teachers Of Mathematics (NCTM). 2000. Principles And


Standards Schools Mathematics. Hlm. 64

Noor dan Eef, Asiskawati. (2015). Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa Dalam
Pembelajaran Matematika Menggunakan Pendekatan Pendidikan
Matematika Realistik Di SMP. Jurnal Pendidikan Matematika
Universitas Lambung Mangkurat.

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 22 Tahun 2006 Tentang


Tujuan Pembelajaran Matematika
Ruseffendi, E. T. (2005). Dasar-dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non
Eksakta Lainnya. Bandung: Tarsito.

Russeffendi, E.T. (2010). Dasar-Dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang


NonEksakta Lainnya. Bandung: Tarsito.

Ruspiani. (2000). Kemampuan Siswa Dalam Melakukan Koneksi Matematika.


Tesis Pasca Sarjana Universitas Pendidikan Indonesia, tidak diterbitkan.
Bandung: PPs UPI.

Silberman, Melvin. 2009. Active Learning 101 Startegi Pembelajaran.Yappendis.


Yogyakarta

Slavin, (2008). Cooperative Learning: Teori, Riset dan Praktik. Bandung: Nusa
Media

Suherman, E dan Sukjaya, Y. (1990) Evaluasi Pendidikan Matematika. Bandung:


Wijaya Kusumah.

Suherman, E. (2003). Evaluasi Pembelajaran Matematika. Bandung: FPMIPA


UPI.

Suparno, P. (2000). Teori Perkembangan Kognitif Piaget. Yogyakarta : Kanisius

Suprijono A. (2011). Model-Model Pembelajaran. Jakarta: Gramedia Pustaka Jaya.

Trianto. (2010). Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif: Konsep


Landasan, dan Implementasinya Pada Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP). Jakarta: Kencana

Wardhani, 2008, Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Universitas Terbuka

Wina, S. (2006). Strategi Pembelajaran. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Anda mungkin juga menyukai