PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kegiatan pembelajaran di kelas merupakan kegiatan yang paling penting
dalam proses pendidikan sekolah. Siswa yang mendapatkan pembelajaran yang
menarik dan bervariasi akan memiliki pemahaman konsep yang baik. Siswa yang
pemahaman konsepnya telah tertanam dengan baik tentunya akan mengakibatkan
hasil belajar yang baik pula (Irwandani dan Rofiah, 2015).
Pemahaman konsep diperoleh siswa dari hasil belajar yang dialami selama
proses pembelajaran. Pemahaman konsep merupakan kemampuan siswa yang
menunjukkan siswa mampu menjelaskan materi yang dipelajari baik sebagian materi
maupun materi secara keseluruhan dengan menggunakan bahasanya sendiri. Siswa
dikatakan telah memahami konsep jika siswa memiliki kemampuan untuk
menjelaskan materi dengan bahasanya sendiri tanpa terpaku pada buku. Konsep-
konsep dasar harus dipahami dengan benar sebelum memahami konsep yang lebih
kompleks (Magfiroh dkk, 2016). Pemahaman konsep benar menjadi landasan
terbentuknya pemahaman yang benar terhadap konsep-konsep lain yang lebih
kompleks (Jannah dkk, 2016). Siswa yang tidak memahami konsep dengan benar
maka akan membentuk konsep sukar, sehingga pemahaman konsep menjadi landasan
dalam pembelajaran.
Siswa seringkali mengalami konflik, ketika mendapatkan informasi baru yang
berlawanan dengan konsep yang telah ada sebelumnya pada siswa, hingga pada
akhirnya siswa mempunyai konsep yang tidak ilmiah. Konsep yang telah cukup lama
tertanam di dalam pikiran siswa, tidak mudah untuk digantikan dengan konsep baru,
sekalipun konsep baru yang diterima siswa tersebut adalah konsep yang benar.
Konsep yang dibangun siswa harus mampu diterapkan untuk menyelesaikan berbagai
masalah yang terkait, karena dalam pembelajaran kimia tidak hanya dituntut paham
mengenai konsep kimia, akan tetapi harus bisa menerapkan konsep yang dipahaminya
untuk memecahkan masalah (Suparno, 2005).
Adapun beberapa metode yang biasa digunakan untuk mengetahui
pemahaman konsep dan miskonsepsi siswa yaitu salah satunya menggunakan two-
three multiple choice diagnostic test. Tes three-tier merupakan salah satu bentuk tes
yang dapat digunakan untuk mengetahui pemahaman siswa terhadap konsep yang
telah diberikan (Kim-Cwee Daniel Tan dkk., 2005). Tes diagnostik pilihan ganda tiga
tingkat atau yang biasa disebut three-tier multiple choice diagnostic test merupakan
pengembangan dari tes diagnostik pilihan ganda dua tingkat. Tes diagnostik pilihan
ganda dua tingkat hanya terdiri atas soal pilihan ganda dan alasan dalam menjawab
soal, sedangkan tes diagnostik pilihan ganda tiga tingkat terdapat tingkat keyakinan
siswa dalam memilih jawaban dan alasan jawaban. Tingkat pertama merupakan soal
pilihan ganda dengan tiga pengecoh dan satu kunci jawaban. Tingkat ke dua
merupakan alasan siswa menjawab pertanyaan, berupa tiga alasan yang telah
disediakan dengan dua pengecoh dan satu kunci jawaban serta satu alasan terbuka
yang dapat diisi sendiri oleh siswa. Tujuan dari adanya satu alasan terbuka tersebut
adalah untuk mengidentifikasi kemungkinan adanya alasan lain yang dimiliki siswa
dalam memilih jawaban yang tidak tersedia pada ketiga pilihan yang sudah
disediakan. Tingkat ke tiga merupakan tingkat keyakinan siswa dalam memilih
jawaban dan alasan. Sesuai penelitian yang telah dilakukan oleh Caleon &
Subramaniam (2010), tingkat keyakinan dalam memilih jawaban dan alasan berada
pada rentang angka satu sampai enam. Skala 1 menunjukkan bahwa siswa “menebak”
dalam memilih jawaban dan alasan; skala 2 menunjukkan “sangat tidak yakin”; skala
3 menunjukkan “tidak yakin”, skala 4 menunjukkan “yakin”; skala 5 menunjukkan
“sangat yakin”; dan skala 6 menunjukkan “amat sangat yakin”. Three-tier multiple
choice diagnostic test memiliki keunggulan, yakni tidak diperlukan wawancara
dengan siswa untuk menentukan validitas dari tes (Pesman & Eryilmaz, 2010).
Salah satu materi yang berkaitan dengan materi asam basa dan sering
mengalami miskonsepsi adalah larutan penyangga (buffer). Banyaknya konsep pada
materi larutan penyanga sering menimbulkan miskonsepsi pada siswa (Mentari,
Suardana, & subagia, 2014). Siswa berpengetahuan bahwa garam belum bisa
terbentuk ketika mol HCl dan mol NaOH tidak seimbang. Garam baru terbentuk
ketika mol HCl dan mol NaOH seimbang yaitu pada titik ekivalen. Siswa
berpemahaman bahwa HCl dan NaOH tidak dapat bereaksi bila jumlah molnya belum
seimbang. Hal ini menunjukkan bahwa siswa tidak memahami konsep ikatan kimia,
ionisasi dan kesetimbangan kimia. Hal ini sangat berpengaruh pada materi
selanjutnya yaitu materi buffer dan hidrolisis (Indrayani, 2013).
Larutan buffer memilki keterkaitan antar konsep yang cukup rumit misalnya
penentuan pH larutan yang ditambahkan sedikit asam kuat, basa kuat atau
diencerkan. Siswa harus menguasai konsep prasayarat untuk memahami materi
larutan buffer yaitu teori asam basa, persamaan reaksi asam basa dan kesetimbangan
kimia. Apabila siswa tidak memahami konsep asam basa dan kesetimbangan, maka
kemungkinan besar siswa mengalami kesulitan pada konsep larutan buffer (Marsita
Priatmoko dan Kusuma, 2010).
Untuk dapat memberikan pelajaran yang membekas dalam diri siswa selain
dalam hal materi pelajaran, seorang guru sebaiknya juga harus mengaitkan materi
pelajaran dengan hal-hal yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari sehingga siswa
dapat lebih memahami materi pelajaran dengan mudah (Khairiah Anisatul). Proses
pembelajaran yang terjadi selama di sekolah dinilai menoton karena kurang adanya
penggunaan metode dan media pembelajaran. Selain itu, berdasarkan pengamatan
penulis saat menjalani Praktik Pengalaman Lapangan (PPL), keaktifan dan kreativitas
siswa belum terlihat secara optimal. Hal ini dikarenakan model pembelajaran yang
digunakan guru adalah model pembelajaran konvesional, yaitu suatu model
pembelajaran yang dominan menggunakan metode ceramah dan penugasan.
Sementara aktivitas yang dominan dilakukan siswa adalah mencatat dan
mendengarkan penjelasan yang disampaikan oleh guru. Kondisi pembelajaran yang
seperti ini tentu akan membuat siswa kurang termotivasi untuk lebih dan kreatif
selama mengikuti pembelajaran. Pada akhirnya siswa kurang memperlihatkan
kreativitasnya sehingga hasil belajarnya pun menjadi rendah (Risnawati & Parham
Saadi, 2016).
Oleh karena itu, diperlukan suatu usaha untuk dapat mengatasi kejenuhan
siswa dalam proses pembelajaran. Salah satu cara agar proses pembelajaran dapat
berjalan dengan efektif melalui metode pembelajaran kooperatif Jigsaw berbantuan
media kartu. Dalam penelitian ini pembelajaran kimia materi pH larutan dilakukan
dengan metode pembelajaran kooperatif Jigsaw. Berdasarkan pengertian tersebut
model pembelajaran jigsaw menekankan pada diskusi kelompok dengan jumlah
anggota relatif kecil dan bersifat heterogen. Hal utama yang membedakan jigsaw
dengan diskusi kelompok biasa adalah bahwa dalam model jigsaw masing-masing
individu mempelajari bagian masing-masing dan kemudian bertukar pengetahuan
dengan temannya, sehingga akan terjadi ketergantungan positif antara siswa yang satu
dengan yang lainnya (Arends, 2001).
Dalam pembelajaran kooperatif Jigsaw, siswa bekerja dalam tim yang
heterogen dan diberikan tugas untuk membaca beberapa yang harus menjadi fokus
perhatian masing-masing anggota tim saat mereka membaca. Setelah semua selesai
membaca, siswa dari tim yang berbeda yang mempunyai fokus topik yang sama
bertemu dalam kelompok ahli untuk mendiskusikan topik mereka. Para ahli tersebut
kemudian kembali kepada kelompok mereka dan secara bergantian mengajari teman
satu kelompoknya mengenai topik yang mereka pelajari. Yang terakhir adalah para
siswa menerima penilaian yang mencakup seluruh topik. Kunci pada metode ini
adalah inderdepedensi yaitu tiap siswa tergantung kepada teman satu timnya yang
dapat memberikan informasi yang diperlukan supaya dapat berkinerja baik pada saat
penilian (Salvin, 2008).
Menurut ken Freed “Media pembelajaran merupakan salah satu sarana yang
dapat digunakan sebagai alat bantu untuk meminimalisir kesulitan siswa dalam
pembelajaran. Selain itu, media dapat digunakan sebagai salah satu strategi efektif
lainnya untuk menanamkan dengan jelas tentang pesan atau materi yang diberikan
guru secara interaktif (Bobbi de Poter, 2005). Media pembelajaran yang digunakan
harus bersifat komunikatif, mudah digunakan, dan membangkitkan minat siswa
dalam kegiatan pembelajaran. Namun, bukan berarti media pembelajaran yang
digunakan hatus selalu bersifat canggih dan pengadaannya memerlukan pendanaan
yang cukup besar (Turyanto, 2008). Salah satu media pembelajaran yang tidak
memerlukan pendanaan yang besar namun bersifat menyenangkan serta mendidik
adalah dengan menggunakan media berupa kartu. Menurut Michael Sciven “Salah
satu alasan menggunakan media kartu sebagai bantuan mengajar dalam hal ini adalah
agar siswa dapat belajar untuk mentransfer metode sains atau kemampuan inkuiri
secara keseluruhan pada pengalaman belajar di sekolah (Depdikbud, 2001).
Berdasarkan penjelasan diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian
tentang “Pemahaman Konsep Siswa Pada Materi Larutan Penyangga Melalui
Pembelajaran Model Jigsaw Berbantuan Media Kartu”.
Keterangan :
X = Perlakuan yaitu pelaksanaan proses belajar mengajar dengan menggunakan
model jigsaw berbantuan media kartu.
O =Hasil dari pemberian perlakuan dengan menggunakan model jigsaw
berbantuan media kartu.
3.3 Populasi dan Sampel
3.3.1 Populasi
Populasi adalah semua kelas XI SMA Negeri 4 Gorontalo tahun ajaran
2019/2020
3.3.2 Sampel
Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah dengan simple
random sampling. Dikatakan simpel (sederhana) karena pengambilan anggota
sampel dari populasi dilakukan secara acak tanpa memperhatikan starata yang ada
dalam populasi itu (Sugiyono, 2016).
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI SMA Negeri 4
Gorontalo tahun ajaran 2019/2020. Data yang digunakan dalam penelitian ini dari
tes pemahaman konsep berupa 15 butir soal three-tier multiple choice diagnostik
test. Tes three-tier merupakan salah satu bentuk tes yang dapat digunakan untuk
mengetahui pemahaman siswa terhadap konsep yang telah diberikan (Kim-Cwee
Daniel Tan dkk., 2005). Tes diagnostik pilihan ganda tiga tingkat atau yang biasa
disebut three-tier multiple choice diagnostic test merupakan pengembangan dari
tes diagnostik pilihan ganda dua tingkat. Tes diagnostik pilihan ganda dua tingkat
hanya terdiri atas soal pilihan ganda dan alasan dalam menjawab soal, sedangkan
tes diagnostik pilihan ganda tiga tingkat terdapat tingkat keyakinan siswa dalam
memilih jawaban dan alasan jawaban.
Tingkat pertama merupakan soal pilihan ganda dengan tiga pengecoh dan satu
kunci jawaban. Tingkat ke dua merupakan alasan siswa menjawab pertanyaan,
berupa tiga alasan yang telah disediakan dengan dua pengecoh dan satu kunci
jawaban serta satu alasan terbuka yang dapat diisi sendiri oleh siswa. Tujuan dari
adanya satu alasan terbuka tersebut adalah untuk mengidentifikasi kemungkinan
adanya alasan lain yang dimiliki siswa dalam memilih jawaban yang tidak
tersedia pada ketiga pilihan yang sudah disediakan. Tingkat ke tiga merupakan
tingkat keyakinan siswa dalam memilih jawaban dan alasan. Sesuai penelitian
yang telah dilakukan oleh Caleon & Subramaniam (2010), tingkat keyakinan
dalam memilih jawaban dan alasan berada pada rentang angka satu sampai enam.
Skala 1 menunjukkan bahwa siswa “menebak” dalam memilih jawaban dan
alasan; skala 2 menunjukkan “sangat tidak yakin”; skala 3 menunjukkan “tidak
yakin”, skala 4 menunjukkan “yakin”; skala 5 menunjukkan “sangat yakin”; dan
skala 6 menunjukkan “amat sangat yakin”. Three-tier multiple choice diagnostic
test memiliki keunggulan, yakni tidak diperlukan wawancara dengan siswa untuk
menentukan validitas dari tes (Pesman & Eryilmaz, 2010).
3.5.1 Uji Validitas
Dalam penelitian ini, untuk mengukur kevalidan soal dilakukan uji validitas
konstruk dengan 2 dosen ahli dan 1 guru kimia.
Presentase Kriteria
0% ≤ P < 20% Sangat rendah
20% ≤ P < 40% Rendah
40% ≤ P < 60% Sedang
60% ≤ P < 80% Tinggi
80% ≤ P < 100% Sangat tinggi
Setiap kriteria tingkat pemahaman dianalisis dengan menggunakan tabel
distribusi Frekuensi Relatif Sugiyono (2006) sebagai berikut:
𝑓
P= x 100%
𝑁
Keterangan:
P: persentase
f: frekuensi siswa dengan kriteria tingkat pemahaman yang dicari
N: jumlah responden