Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kegiatan pembelajaran di kelas merupakan kegiatan yang paling penting
dalam proses pendidikan sekolah. Siswa yang mendapatkan pembelajaran yang
menarik dan bervariasi akan memiliki pemahaman konsep yang baik. Siswa yang
pemahaman konsepnya telah tertanam dengan baik tentunya akan mengakibatkan
hasil belajar yang baik pula (Irwandani dan Rofiah, 2015).
Pemahaman konsep diperoleh siswa dari hasil belajar yang dialami selama
proses pembelajaran. Pemahaman konsep merupakan kemampuan siswa yang
menunjukkan siswa mampu menjelaskan materi yang dipelajari baik sebagian materi
maupun materi secara keseluruhan dengan menggunakan bahasanya sendiri. Siswa
dikatakan telah memahami konsep jika siswa memiliki kemampuan untuk
menjelaskan materi dengan bahasanya sendiri tanpa terpaku pada buku. Konsep-
konsep dasar harus dipahami dengan benar sebelum memahami konsep yang lebih
kompleks (Magfiroh dkk, 2016). Pemahaman konsep benar menjadi landasan
terbentuknya pemahaman yang benar terhadap konsep-konsep lain yang lebih
kompleks (Jannah dkk, 2016). Siswa yang tidak memahami konsep dengan benar
maka akan membentuk konsep sukar, sehingga pemahaman konsep menjadi landasan
dalam pembelajaran.
Siswa seringkali mengalami konflik, ketika mendapatkan informasi baru yang
berlawanan dengan konsep yang telah ada sebelumnya pada siswa, hingga pada
akhirnya siswa mempunyai konsep yang tidak ilmiah. Konsep yang telah cukup lama
tertanam di dalam pikiran siswa, tidak mudah untuk digantikan dengan konsep baru,
sekalipun konsep baru yang diterima siswa tersebut adalah konsep yang benar.
Konsep yang dibangun siswa harus mampu diterapkan untuk menyelesaikan berbagai
masalah yang terkait, karena dalam pembelajaran kimia tidak hanya dituntut paham
mengenai konsep kimia, akan tetapi harus bisa menerapkan konsep yang dipahaminya
untuk memecahkan masalah (Suparno, 2005).
Adapun beberapa metode yang biasa digunakan untuk mengetahui
pemahaman konsep dan miskonsepsi siswa yaitu salah satunya menggunakan two-
three multiple choice diagnostic test. Tes three-tier merupakan salah satu bentuk tes
yang dapat digunakan untuk mengetahui pemahaman siswa terhadap konsep yang
telah diberikan (Kim-Cwee Daniel Tan dkk., 2005). Tes diagnostik pilihan ganda tiga
tingkat atau yang biasa disebut three-tier multiple choice diagnostic test merupakan
pengembangan dari tes diagnostik pilihan ganda dua tingkat. Tes diagnostik pilihan
ganda dua tingkat hanya terdiri atas soal pilihan ganda dan alasan dalam menjawab
soal, sedangkan tes diagnostik pilihan ganda tiga tingkat terdapat tingkat keyakinan
siswa dalam memilih jawaban dan alasan jawaban. Tingkat pertama merupakan soal
pilihan ganda dengan tiga pengecoh dan satu kunci jawaban. Tingkat ke dua
merupakan alasan siswa menjawab pertanyaan, berupa tiga alasan yang telah
disediakan dengan dua pengecoh dan satu kunci jawaban serta satu alasan terbuka
yang dapat diisi sendiri oleh siswa. Tujuan dari adanya satu alasan terbuka tersebut
adalah untuk mengidentifikasi kemungkinan adanya alasan lain yang dimiliki siswa
dalam memilih jawaban yang tidak tersedia pada ketiga pilihan yang sudah
disediakan. Tingkat ke tiga merupakan tingkat keyakinan siswa dalam memilih
jawaban dan alasan. Sesuai penelitian yang telah dilakukan oleh Caleon &
Subramaniam (2010), tingkat keyakinan dalam memilih jawaban dan alasan berada
pada rentang angka satu sampai enam. Skala 1 menunjukkan bahwa siswa “menebak”
dalam memilih jawaban dan alasan; skala 2 menunjukkan “sangat tidak yakin”; skala
3 menunjukkan “tidak yakin”, skala 4 menunjukkan “yakin”; skala 5 menunjukkan
“sangat yakin”; dan skala 6 menunjukkan “amat sangat yakin”. Three-tier multiple
choice diagnostic test memiliki keunggulan, yakni tidak diperlukan wawancara
dengan siswa untuk menentukan validitas dari tes (Pesman & Eryilmaz, 2010).
Salah satu materi yang berkaitan dengan materi asam basa dan sering
mengalami miskonsepsi adalah larutan penyangga (buffer). Banyaknya konsep pada
materi larutan penyanga sering menimbulkan miskonsepsi pada siswa (Mentari,
Suardana, & subagia, 2014). Siswa berpengetahuan bahwa garam belum bisa
terbentuk ketika mol HCl dan mol NaOH tidak seimbang. Garam baru terbentuk
ketika mol HCl dan mol NaOH seimbang yaitu pada titik ekivalen. Siswa
berpemahaman bahwa HCl dan NaOH tidak dapat bereaksi bila jumlah molnya belum
seimbang. Hal ini menunjukkan bahwa siswa tidak memahami konsep ikatan kimia,
ionisasi dan kesetimbangan kimia. Hal ini sangat berpengaruh pada materi
selanjutnya yaitu materi buffer dan hidrolisis (Indrayani, 2013).
Larutan buffer memilki keterkaitan antar konsep yang cukup rumit misalnya
penentuan pH larutan yang ditambahkan sedikit asam kuat, basa kuat atau
diencerkan. Siswa harus menguasai konsep prasayarat untuk memahami materi
larutan buffer yaitu teori asam basa, persamaan reaksi asam basa dan kesetimbangan
kimia. Apabila siswa tidak memahami konsep asam basa dan kesetimbangan, maka
kemungkinan besar siswa mengalami kesulitan pada konsep larutan buffer (Marsita
Priatmoko dan Kusuma, 2010).
Untuk dapat memberikan pelajaran yang membekas dalam diri siswa selain
dalam hal materi pelajaran, seorang guru sebaiknya juga harus mengaitkan materi
pelajaran dengan hal-hal yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari sehingga siswa
dapat lebih memahami materi pelajaran dengan mudah (Khairiah Anisatul). Proses
pembelajaran yang terjadi selama di sekolah dinilai menoton karena kurang adanya
penggunaan metode dan media pembelajaran. Selain itu, berdasarkan pengamatan
penulis saat menjalani Praktik Pengalaman Lapangan (PPL), keaktifan dan kreativitas
siswa belum terlihat secara optimal. Hal ini dikarenakan model pembelajaran yang
digunakan guru adalah model pembelajaran konvesional, yaitu suatu model
pembelajaran yang dominan menggunakan metode ceramah dan penugasan.
Sementara aktivitas yang dominan dilakukan siswa adalah mencatat dan
mendengarkan penjelasan yang disampaikan oleh guru. Kondisi pembelajaran yang
seperti ini tentu akan membuat siswa kurang termotivasi untuk lebih dan kreatif
selama mengikuti pembelajaran. Pada akhirnya siswa kurang memperlihatkan
kreativitasnya sehingga hasil belajarnya pun menjadi rendah (Risnawati & Parham
Saadi, 2016).
Oleh karena itu, diperlukan suatu usaha untuk dapat mengatasi kejenuhan
siswa dalam proses pembelajaran. Salah satu cara agar proses pembelajaran dapat
berjalan dengan efektif melalui metode pembelajaran kooperatif Jigsaw berbantuan
media kartu. Dalam penelitian ini pembelajaran kimia materi pH larutan dilakukan
dengan metode pembelajaran kooperatif Jigsaw. Berdasarkan pengertian tersebut
model pembelajaran jigsaw menekankan pada diskusi kelompok dengan jumlah
anggota relatif kecil dan bersifat heterogen. Hal utama yang membedakan jigsaw
dengan diskusi kelompok biasa adalah bahwa dalam model jigsaw masing-masing
individu mempelajari bagian masing-masing dan kemudian bertukar pengetahuan
dengan temannya, sehingga akan terjadi ketergantungan positif antara siswa yang satu
dengan yang lainnya (Arends, 2001).
Dalam pembelajaran kooperatif Jigsaw, siswa bekerja dalam tim yang
heterogen dan diberikan tugas untuk membaca beberapa yang harus menjadi fokus
perhatian masing-masing anggota tim saat mereka membaca. Setelah semua selesai
membaca, siswa dari tim yang berbeda yang mempunyai fokus topik yang sama
bertemu dalam kelompok ahli untuk mendiskusikan topik mereka. Para ahli tersebut
kemudian kembali kepada kelompok mereka dan secara bergantian mengajari teman
satu kelompoknya mengenai topik yang mereka pelajari. Yang terakhir adalah para
siswa menerima penilaian yang mencakup seluruh topik. Kunci pada metode ini
adalah inderdepedensi yaitu tiap siswa tergantung kepada teman satu timnya yang
dapat memberikan informasi yang diperlukan supaya dapat berkinerja baik pada saat
penilian (Salvin, 2008).
Menurut ken Freed “Media pembelajaran merupakan salah satu sarana yang
dapat digunakan sebagai alat bantu untuk meminimalisir kesulitan siswa dalam
pembelajaran. Selain itu, media dapat digunakan sebagai salah satu strategi efektif
lainnya untuk menanamkan dengan jelas tentang pesan atau materi yang diberikan
guru secara interaktif (Bobbi de Poter, 2005). Media pembelajaran yang digunakan
harus bersifat komunikatif, mudah digunakan, dan membangkitkan minat siswa
dalam kegiatan pembelajaran. Namun, bukan berarti media pembelajaran yang
digunakan hatus selalu bersifat canggih dan pengadaannya memerlukan pendanaan
yang cukup besar (Turyanto, 2008). Salah satu media pembelajaran yang tidak
memerlukan pendanaan yang besar namun bersifat menyenangkan serta mendidik
adalah dengan menggunakan media berupa kartu. Menurut Michael Sciven “Salah
satu alasan menggunakan media kartu sebagai bantuan mengajar dalam hal ini adalah
agar siswa dapat belajar untuk mentransfer metode sains atau kemampuan inkuiri
secara keseluruhan pada pengalaman belajar di sekolah (Depdikbud, 2001).
Berdasarkan penjelasan diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian
tentang “Pemahaman Konsep Siswa Pada Materi Larutan Penyangga Melalui
Pembelajaran Model Jigsaw Berbantuan Media Kartu”.

1.2 Identifikasi Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan diatas, maka dapat
diindentifikasi masalah yang timbul dilihat dari berbagai aspek diantaranya:
1. Kurangnya keaktifan siswa dalam kegiatan pembelajaran
2. Belum adanya pengintegrasian nilai-nilai dalam pembelajaran
3. Kurangnya penggunaan media pembelajaran dalam kegiatan belajar
mengajar.

1.3 Rumusan Masalah


Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana pemahaman konsep
siswa pada materi larutan penyangga melalui pembelajaran model jigsaw berbantuan
media kartu?

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pemahaman konsep siswa pada
materi larutan penyangga melalui pembelajaran model jigsaw berbantuan media
kartu.
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini sebagai berikut:
1. Bagi guru
Sebagai bahan masukan sekaligus informasi mengenai media kartu dalam
pengajaran kimia dan menjadikannya salah satu alternatif media pembelajaran
untuk mengetahui pemahaman konsep kimia siswa.
2. Bagi siswa
Memperoleh pengalaman langsung dalam belajar, sehingga proses belajar
mengajar lebih menarik dalam materi larutan penyangga sehingga dapat
meningkatkan pemahaman konsep kimia siswa dan dapat mengurangi
miskonsepsi materi larutan penyangga yang diajarkan pada siswa.
3. Bagi peneliti
Menambah wawasan, kemampuan, pengalaman dalam meningkatkan kompetensi
sebagai calon guru.
BAB II
KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS
2.1 Kajian Teoritis
2.1.1 Pemahaman Konsep
Pemahaman merupakan terjemahan dari istilah understanding yang diartikan
sebagai penyerapan arti suatu materi yang dipelajari. Dalam kamus besar Indonesia,
pemahaman berasal dari kata “paham” yang berarti menjadi benar. Jika seseorang
mengerti dan mampu menjelaskan sesuatu dengan benar, maka orang tersebut dapat
dikatakan paham atau memahami. Bloom dalam Yunus (2009) menjelaskan bahwa
pemahaman adalah suatu kemampuan untuk menyerap arti dari materi atau bahan
yang dipelajari. Pemahaman merupakan jenjang kognitif C2 yang dalam bahasa
disebut Comprehension. Kemudian istilah ini mengalami perluasan makna menjadi
understanding (Bloom, 1979 dalam Herdian 2010). Sedangkan menurut Aksela
(2005) pemahaman kimia merupakan kemampuan untuk membangun pengertian dari
pesan-pesan dalam mempelajari kimia, yang mencakup lisan, tulisan dan komunikasi
grafis.
Berdasarkan penjelasan diatas, pemahaman adalah hasil proses belajar
mengajar yang ditandai kemampuan menjelaskan atau mendefiniskan suatu informasi
dengan kata-kata sendiri. Pemahaman bukan sekedar mengetahui, yang biasanya
hanya sebatas mengingat kembali pengalaman apa yang pernah dipelajari.
Pemahaman lebih dari sekedar mengetahui, karena pemahaman melibatkan proses
mental dan merupakan suatu proses bertahap yang mempunyai kemampuan tersendiri
seperti menerjemahkan, menginterpretasi, eksplorasi, aplikasi, analisis, sintesis dan
evaluasi.
Sejalan dengan pendapat diatas, Suke Sulversius (1991: 43-44) dalam Arifin
(2010) menyatakan bahwa pemahaman dapat dijabarkan menjadi tiga, yaitu: (1)
menerjemahkan (Translation), pengertian menerjemahkan disini bukan saja
pengalihan (translation), arti bahasa yang satu kedalam bahasa yang lain, dapat juga
dari konsepsi abstrak menjadi suatu model, yaitu model simbolik untuk
mempermudah orang mempelajarinya. Pengalihan konsep yang dirumuskan dengan
kata-kata kedalam grafik dapat dimasukan dalam kategori menerjemahkan, (2)
menginterpretasikan (Interpretation), kemampuan ini lebih luas daripada
menerjemahkan yaitu kemampuan untuk mengenal dan memahami ide utama suatu
komunikasi, (3) mengekstrapolasi (Extrapolation), agak lain dari menerjemahkan dan
menafsirkan dan menafsirkan lebih tinggi sifatnya.
Menurut Novak & gowin pemahaman konsep dapat juga dievaluasi melalui
peta konsep, guru dapat mengetahui konsep-konsep yang telah dimiliki siswanya
untuk mengaitkan informasi baru dengan informasi yang telah ada dalam struktur
kognitif siswa (Sutarno, 2012)
Ada beberapa manfaat yang diperoleh dari pemahaman konsep, yaitu:
1. Konsep membantu proses mengingat dan membuatnya menjadi lebih efisien.
2. Konsep membantu kita menyederhanakan dan meringkas informasi,
komunikasi dan waktu yang digunakan untuk memahami informasi tersebut.
3. Konsep yang merupakan dasar untuk proses mental yang lebih tinggi.
4. Konsep sangat diperlukan untuk problem solving.
5. Konsep menentukan apa yang diketahui atau diyakini seseorang.
Menurut Rosser pemahaman konsep adalah suatu konsep abstraksi yang
mewakili suatu kelas objek-objek, kejadian-kejadian, atau hubungan-hubungan yang
mempunyai atribut yang sama (Roni, 2012).
Dari paparan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa pemahaman konsep
merupakan suatu kemampuan untuk menelaah dari suatu kejadian atau pelajaran
(materi) yang disajikan oleh pengajar agar dalam memahami sebuah konsep atau
materi menjadi lebih mudah.
2.1.2 Model Jigsaw
Jigsaw pertama kali dikembangkan dan diujicobakan oleh Elliot Aronson dan
rekan-rekannya (1978) dan kemudian diadaptasi oleh Slavin dan teman-temannya di
Universitas John Hopkins (Arends, 2001: 137). Model pembelajaran kooperatif tipe
jigsaw merupakan model pembelajaran kooperatif, dengan siswa belajar dalam
kelompok kecil yang terdiri dari 4-6 orang secara heterogen dan bekerja sama saling
ketergantungan yang positif dan bertanggung jawab atas ketuntasan bagian materi
pelajaran yang harus dipelajari dan menyampaikan materi tersebut kepada anggota
kelompok yang lain (Arends, 1997: 120).
Berdasarkan pengertian tersebut model pembelajaran jigsaw menekankan
pada diskusi kelompok dengan jumlah anggota relatif kecil dan bersifat heterogen.
Hal utama yang membedakan jigsaw dengan diskusi kelompok biasa adalah bahwa
dalam model jigsaw masing-masing individu mempelajari bagian masing-masing dan
kemudian bertukar pengetahuan dengan temannya, sehingga akan terjadi
ketergantungan positif antara siswa yang satu dengan yang lainnya.
Menurut Roland, (1997) “Jigsaw merupakan teknik yang terbaik dalam proses
pembelajaran. Hal ini disebabkan dalam metode kooperatif tipe jigsaw secara individual
siswa berkembang dan berbagi kemampuan dalam bermacam aspek kerja yang berbeda”.
Dalam pembelajaran jigsaw, sistem belajar diibaratkan sebagai permainan jigsaw puzzle,
yaitu dimana masing-masing siswa memegang satu potongan puzzle yang berbeda. Tugas
siswa adalah menggabungkan potongan-potongan puzzle tersebut hingga tersusun suatu
bentuk yang utuh.
Jigsaw pada hakikatnya melibatkan tugas yang memungkinkan siswa saling
membantu dan mendukung satu sama lain dalam menyelesaikan tugas. Dalam model
pembelajaran ini siswa akan memiliki persepsi yang sama, mempunyai tanggung
jawab individual dan kelompok dalam mempelajari materi yang diberikan, saling
membagi tugas dan tanggung jawab yang sama besarnya dalam kelompok, serta dapat
belajar kepemimpinan.
Di dalam pelaksanaan pembelajaran kooperatif tipe jigsaw, kelas dibagi ke
dalam beberapa kelompok yang terdiri dari kelompok asal dan kelompok ahli.
Kelompok asal adalah kelompok induk siswa yang beranggotakan siswa dengan
kemampuan asal yang berbeda. Kelompok ahli adalah kelompok siswa yang terdiri
dari anggota kelompok asal yang berbeda yang ditugaskan untuk mempelajari dan
mendalami topik tertentu dan menyelesaikan tugas-tugas yang berhubungan dengan
topik untuk kemudian dijelaskan kepada kelompok asal. Arends menggambarkan
hubungan antara kelompok ahli dengan kelompok asal sebagai berikut:

Gambar 1.Ilustrasi Kelompok Jigsaw


Berdasarkan bagan tersebut dapat dijelaskan bahwa anggota dari kelompok
asal berbeda bertemu dengan topik yang sama dalam kelompok ahli untuk berdiskusi
dan membahas materi yang ditugaskan pada masing-masing anggota kelompok serta
membantu satu sama lain untuk mempelajarai topik tersebut. Setelah pembahasan
selesai, para anggota kelompok kemudian kembali pada kelompok asal dan
mengajarkan pada teman sekelompoknya apa yang telah mereka dapatkan pada saat
di kelompok ahli.
Untuk lebih jelasnya, desain jigsaw dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2. Ilustrasi Desain Jigsaw


Pada gambar pertama menunjukkan bahwa ada sejumlah kelompok asal
(misalnya 5) dan setiap kelompok masing-masing membawa hal yang harus
diselesaikan, kemudian masing-masing mengelompokkan diri sesuai dengan
masalahnya (ke dalam kelompok ahli), seperti pada gambar kedua. Maslah tersebut
dikaitkan dengan kelompok, setelah mereka menemukan jawaban kemudian mereka
bergabung seperti pada kelompok pertama (kembali ke kelompok asal), seperti
gambar di atas. Kemudian dalam kelompok asal, masing-masing anggota kelompok
mengemukakan masalah dan hasil penyelesaiannya, atau materi yang telah dipelajari
di kelompok ahli. Dengan demikian setiap orang memperoleh informasi yang sama
dari berbagai masalah yang dipecahkan.
Pelaksanaan jigsaw menurut Gomleksis, M.N. (2007: 2) “Jigsaw is a
cooperative learning model that involves small groups of 5-6 students teaching each
other subject matter with success dependent upon student cooperation. The students
were randomly assigned into two groups: an experimental group and a control
group.”
Pelaksanaan pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dilakukan melalui langkah-
langkah sebagai berikut dirangkum dari Aronson (2000): 1) membentuk kelompok
jigsaw yang terdiri atas 5 atau 6 siswa. Anggota kelompok hendaknya berbeda secara
kelamin, budaya, ras, dan kemampuan; 2) menunjuk salah satu siswa sebagai ketua
kelompok. Ketua kelompok hendaknya dipilih yang paling dewasa diantara yang lain;
3) membagi materi menjadi 5 atau 6 bagian; 4) meminta siswa untuk mempelajari
satu bagian. Yakinkan bahwa siswa hanya mendapat satu bagian dan mempelajari
bagian mereka sendiri; 5) memberi waktu pada siswa untuk membaca bagiannya agar
mereka tahu apa yang harus mereka lakukan. Dalam langkah ini siswa tidak perlu
menghafal materinya; 6) membentuk kelompok sesaat (kelompok ini disebut
kelompok ahli. Siswa yang memiliki bagian yang sama membentuk satu kelompok
dan mendiskusikan agar mereka benar-benar paham); 7) mengembalikan siswa dalam
kelompok asalnya (kelompok jigsaw) masing-masing; 8) memberi waktu kepada
setiap siswa untuk menjelaskan apa yang mereka peroleh dalam kelompok ahli dan
siswa diberi kesempatan untuk bertanya dan meminta penjelasan; 9) guru dapat
berkeliling dari kelompok satu ke kelompok untuk mengawasi prosesnya. Guru dapat
memberikan bantuan penjelasan atau mengintervensi secara tidak langsung; 10) pada
akhir pelajaran siswa diminta untuk mengerjakan tes atau kuis agar mereka sadar
bahwa pelajaran berlangsung serius, bukan hanya bermain.
Berbeda dengan pendapat diatas Anita Lie (2005: 69-70) menjelaskan cara
penggunaan jigsaw, sebagai berikut: 1) pengajar membagi bahan pelajaran yang akan
diberikan menjadi empat bagian; 2) sebelum bahan pelajaran diberikan, pengajar
memberikan pengenalan mengenai topik yang akan di bahas dalam pelajaran hari itu.
Pengajar bisa melukiskan topik di papan tulis dan menanyakan apa yang siswa
ketahui mengenai topik tersebut. Kegiatan brainstorming ini dimaksudkan untuk
mengaktifkan skemata siswa agar lebih siap menghadapi bahan pelajaran yang baru;
3) siswa dibagi dalam kelompok berempat; 4) bagian pertama bahan diberikan kepada
siswa yang pertama, sedangkan siswa yang kedua menerima bagian yang kedua.
demikian seterusnya; 5) kemudian, siswa disuruh membaca/mengerjakan bagian
mereka masing-masing; 6) setelah selesai siswa saling berbagi mengenai bagian yang
dibaca/dikerjakan masing-masing. Dalam kegiatan ini, siswa bisa saling melengkapi
dan berinteraksi antara satu dengan yang lainnya; 7) khusus untuk kegiatan membaca,
kemudian pengajar memberikan bagian cerita yang belum terbaca kepada masing-
masing siswa. Siswa membaca bagian tersebut; 8) kegiatan ini bisa diakhiri dengan
diskusi mengenai topik dalam bahan pelajaran hari itu. Diskusi bisa dilakukan antara
pasangan atau dengan seluruh kelas. Variasi: jika tugas yang diberikan cukup sulit,
siswa bisa membentuk kelompok para ahli. Siswa berkumpul dengan siswa lain yang
mendapatkan bagian yang sama dari kelompok lain. Mereka bekerja sama
mempelajari/mengerjakan bagian tersebut. Kemudian, masing-masing siswa kembali
ke kelompoknya sendiri dan membagikan apa yang telah dipelajarinya kepada rekan-
rekan dalam kelompoknya.
Kedua langkah di atas pada dasarnya hampir sama, akan tetapi terdapat sedikit
perbedaan, yaitu pada langkah-langkah yang diungkapkan Anita Lie, kelompok ahli
hanya dibentuk ketika materi yang diberikan dirasa sangat sulit, sehingga perlu
adanya diskusi kelompok ahli untuk membahas bagian yang sulit tersebut
Pemaparan di atas menunjukkan bahwa tipe jigsaw didesain untuk
meningkatkan rasa tanggung jawab, yaitu bertanggung jawab terhadap anggota
kelompok dan bertanggung jawab terhadap diri sendiri. Siswa juga dituntut saling
ketergantungan positif terhadap kelompoknya. Dalam hal ini kunci tipe jigsaw adalah
interdependensi setiap siswa terhadap anggota tim yang lain. Jadi guru merupakan
fasilitator kagiatan belajar, bukan sebagai pusat atau sumber segala informasi, dengan
demikian siswa akan memiliki kesempatan untuk berkembang dalam berbagai
kemampuan dan juga akan meningkatkan kreativitas siswa.
Jigsaw, sebagaimana metode mengajar yang lain, memiliki kelebihan dan
kekurangan. Aronson (2000), mengungkapkan sejumlah keuntungan penggunaan
model pengajaran jigsaw. Menurutnya ada beberapa keuntungan kelas jigsaw.
Pertama dan yang paling penting, kelas jigsaw merupakan cara pembelajaran materi
yang efisien, selanjutnya proses pembelajaran pada kelas jigsaw melatih kemampuan
pendengaran (audio), dedikasi dan empati dengan cara memberikan peran penting
kepada setiap anggota kelompok dalam aktifitas akademik.
Isjoni (2011) kelebihan dan kekurangan pembelajaran kooperatif Jigsaw
adalah:
1. Dalam kelas kooperatif siswa dapat berinteraksi dengan teman sebayanya dan
juga dengan gurunya sebagai pembimbing.
2. Motivasi teman sebaya dapat digunakan secara efektif untuk meningkatkan,
baik pembelajaran kognitif siswa maupun pertumbuhan efektif siswa.
3. Menumbuhkan tanggung jawab siswa.
4. Mendorong siswa aktif dan saling membantu dalam menguasai materi
pelajaran.
5. Untuk mengoptimalkan manfaat belajar kelompok.
Kekurangan pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw di antaranya:
1. Siswa dengan bebas memilih kuis dan diberikan nilai induvidu.
2. Secara efektif di tiap level siswa telah mendapatkan keterampilan akademis
dari pemahaman.

2.3 Kerangka Berpikir


Kerangka berpikir dalam penelitian ini mengacu pada Pemahaman Konsep
Melalui Pembelajaran Model Jigsaw Berbantuan Media Kartu.
Kegiatan pembelajaran yang direncanakan oleh seorang guru berkaitan
dengan pemahaman konsep siswa karena perencanaan pembelajaran berpengaruh
terhadap pemahaman konsep siswa dalam pencapaian tujuan pembelajaran yang telah
ditemukan. Salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan pencapaian tujuan
pembelajaran yang telah ditentukan adalah dengan model serta media yang digunakan
oleh siswa. Pemilihan model yang sesuai dapat mendorong siswa aktif dan saling
membantu dalam menguasai materi pelajaran, di sertakan dengan media
pembelajaran yang menyangut pembahasan sub-materi agar supaya lebih mudah
siswa dalam memahami konsep yang akan dipelajari.
Sebagian besar konsep kimia yang bersifat abstrak dan tidak dapat dilihat
dalam kehidupan sehari-hari, menyebabkan ilmu kimia menjadi salah satu pelajaran
tersulit bagi kebanyakan siswa. Hal ini disebabkan buku yang biasa digunakan di
sekolah tidak dapat menjelaskan konsep abstrak pada kimia dengan jelas sehingga
siswa sulit memahami konsep kimia yang bersifat abstrak tersebut. Untuk lebih
memahami konsep kimia dibutuhkan bantuan media pembelajaran yang mampu
menjelaskan konsep kimia dengan jelas. Salah satu sumber belajar yang dapat
meningkatkan pemahaman konsep siswa adalah dengan berbantuan media
pembelajaran.
Media juga harus bersifat “komunikatif” artinya media tersebut mudah
dimengerti maksdunya dengan kata lain apa yang ditampilkan melalui media tersebut
mudah untuk dipahami siswa. Penggunaan media secara kreatif dapat memungkinkan
siswa untuk belajar lebih baik dan meningkatkan performance siswa sesuai dengan
tujuan yang ingin dicapai. Jadi, media dalam pembelajaran adalah segala bentuk alat
komunikasi yang dapat digunakan menyampaikan informasi dari sumber kepada
siswa yang bertujuan untuk merangsang pikiran, perasaan, dan kemauan siswa dalam
mengikuti kegiatan pembelajaran.
Berdasarkan uraian diatas, dengan diterapkannya pembelajaran menggunakan
model jigsaw berbantuan media kartu pada materi larutan penyangga terhadap
pemahaman konsep siswa.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Penetapan lokasi dan waktu penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di SMA Negeri 4 Gorontalo. Penelitian ini
dilaksanakan pada semester genap tahun ajaran 2019/2020.
3.2 Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian Pre-Experimental dengan menggunakan
bentuk desain One-shot Case Studi dengan melibatkan satu kelompok objek
(Sugiyono, 2016).
Tabel 3.2.1 Desain One-shot Case Studi.
X→O

Keterangan :
X = Perlakuan yaitu pelaksanaan proses belajar mengajar dengan menggunakan
model jigsaw berbantuan media kartu.
O =Hasil dari pemberian perlakuan dengan menggunakan model jigsaw
berbantuan media kartu.
3.3 Populasi dan Sampel
3.3.1 Populasi
Populasi adalah semua kelas XI SMA Negeri 4 Gorontalo tahun ajaran
2019/2020
3.3.2 Sampel
Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah dengan simple
random sampling. Dikatakan simpel (sederhana) karena pengambilan anggota
sampel dari populasi dilakukan secara acak tanpa memperhatikan starata yang ada
dalam populasi itu (Sugiyono, 2016).
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI SMA Negeri 4
Gorontalo tahun ajaran 2019/2020. Data yang digunakan dalam penelitian ini dari
tes pemahaman konsep berupa 15 butir soal three-tier multiple choice diagnostik
test. Tes three-tier merupakan salah satu bentuk tes yang dapat digunakan untuk
mengetahui pemahaman siswa terhadap konsep yang telah diberikan (Kim-Cwee
Daniel Tan dkk., 2005). Tes diagnostik pilihan ganda tiga tingkat atau yang biasa
disebut three-tier multiple choice diagnostic test merupakan pengembangan dari
tes diagnostik pilihan ganda dua tingkat. Tes diagnostik pilihan ganda dua tingkat
hanya terdiri atas soal pilihan ganda dan alasan dalam menjawab soal, sedangkan
tes diagnostik pilihan ganda tiga tingkat terdapat tingkat keyakinan siswa dalam
memilih jawaban dan alasan jawaban.
Tingkat pertama merupakan soal pilihan ganda dengan tiga pengecoh dan satu
kunci jawaban. Tingkat ke dua merupakan alasan siswa menjawab pertanyaan,
berupa tiga alasan yang telah disediakan dengan dua pengecoh dan satu kunci
jawaban serta satu alasan terbuka yang dapat diisi sendiri oleh siswa. Tujuan dari
adanya satu alasan terbuka tersebut adalah untuk mengidentifikasi kemungkinan
adanya alasan lain yang dimiliki siswa dalam memilih jawaban yang tidak
tersedia pada ketiga pilihan yang sudah disediakan. Tingkat ke tiga merupakan
tingkat keyakinan siswa dalam memilih jawaban dan alasan. Sesuai penelitian
yang telah dilakukan oleh Caleon & Subramaniam (2010), tingkat keyakinan
dalam memilih jawaban dan alasan berada pada rentang angka satu sampai enam.
Skala 1 menunjukkan bahwa siswa “menebak” dalam memilih jawaban dan
alasan; skala 2 menunjukkan “sangat tidak yakin”; skala 3 menunjukkan “tidak
yakin”, skala 4 menunjukkan “yakin”; skala 5 menunjukkan “sangat yakin”; dan
skala 6 menunjukkan “amat sangat yakin”. Three-tier multiple choice diagnostic
test memiliki keunggulan, yakni tidak diperlukan wawancara dengan siswa untuk
menentukan validitas dari tes (Pesman & Eryilmaz, 2010).
3.5.1 Uji Validitas
Dalam penelitian ini, untuk mengukur kevalidan soal dilakukan uji validitas
konstruk dengan 2 dosen ahli dan 1 guru kimia.

3.5.2 Uji Reliabilitas


Uji reliabilitas adalah uji untuk memastikan apakah instrument penelitian
yang akan digunakan untuk mengumpulkan data variabel penelitian reliable atau
tidak. Instrument dikatakan reliable jika instrument tersebut dilakukan
pengukuran ulang, maka akan mendapatkan hasil yang sama.

3.5 Teknik Analisis Data


Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data dari tes objektif materi
larutan penyangga. Data ini dikumpulkan melalui instrument tes Three-tier multiple
choice pada materi larutan penyangga yang soal – soalnya berkaitan dengan larutan
penyangga diberikan kepada siswa. jawaban siswa kemudian diolah dengan beberapa
tahap.
1. Tes pemahaman konsep siswa dianalisis berdasarkan kategori tingkat
pemahaman konsep. Ditujukan pada tabel berikut:
Tabel 3.5.1 Kategori Tingkat Pemahaman Siswa
Jawaban Alasan Keyakinan Deskripsi
Benar Benar Yakin Paham
Benar Benar Tidak Yakin Kurang Paham
Benar Salah Yakin Miskonsepsi
Benar Salah Tidak Yakin Kurang Paham
Salah Benar Yakin Miskonsepsi
Salah Benar Tidak Yakin Kurang Paham
Salah Salah Yakin Miskonsepsi
Salah Salah Tidak Yakin Tidak Paham
2. Hasil analisis jawaban siswa. Disajikan pada tabel berikut:
Tabel 3.5.2 Kriteria Presentase Indikator Pemahaman Konsep

Presentase Kriteria
0% ≤ P < 20% Sangat rendah
20% ≤ P < 40% Rendah
40% ≤ P < 60% Sedang
60% ≤ P < 80% Tinggi
80% ≤ P < 100% Sangat tinggi
Setiap kriteria tingkat pemahaman dianalisis dengan menggunakan tabel
distribusi Frekuensi Relatif Sugiyono (2006) sebagai berikut:

𝑓
P= x 100%
𝑁

Keterangan:
P: persentase
f: frekuensi siswa dengan kriteria tingkat pemahaman yang dicari
N: jumlah responden

Gambar 3. Presentase Indikato Pemahaman Konsep


Data yang dihasilkan kemudian dilakukan beberapa uji yaitu : (1) Uji
Normalitas, dan (2) Uji Homogenitas.
a. Uji Normalitas
Uji normalitas sebaran data dimaksudkan untuk meyakinkan bahwa sampel
benar – benar berasal dari populasi yang berdistribusi normal sehingga uji
hipotesis dapat dilakukan (Pambudi, 2018)
b. Uji Homogenitas
Uji homogenitas dilakukan untuk meyakinkan bahwa sampel memiliki varians
yang homogen (Pambudi, 2018).
Daftar Pustaka

Anita Lie. 2005. Cooperative Learning: Mempraktikkan Cooperative Learning di


ruang-Ruang Kelas. Jakarta: Grasindo.
Aronson. 2000. Jigsaw in 10 steps. www.jigsaw.org. Diakses pada 08 Januari 2019
Pukul 15:15 WITA.
Arends, Richard. 2001. Classroom Instruction and Management. New York:
McGraw Hill Compains.
Bobbi de Poter. 2005. Quantum Teaching, cet. XVI. Bandung: Kaifa.
Depdikbud. 2001. “Kamus Besar Bahasa Indonesia”. Jakarta: Balai Pustaka.
Gomleksis, M.N. 2007. “Effectiveness of Cooperative Learning (Jigsaw II) Method in
Teaching English as a Foreign Language to Engineering Students (Case of
Firat University, Turkey)”. European Journal of Engineering Education, v32
n5 p613-625 Oct 2007. http:www.eric.ed.gov. Diakses pada 08 Januari 2019
Pukul 15:20 WITA.
Indrayani, P. (2013). Analisis pemahaman makroskopik, mikroskopik, dan simbolik
titrasi asam basa siswa kelas XI IPA SMA serta upaya perbaikannya dengan
pendekatan mikroskopik. Jurnal Pendidikan Sains, 1(2), 109–120
Irwandani dan Rofiah, S., 2015. Pengaruh Model Pembelajaran generatif Terhadap
Pemahaman Konsep Fisika Pokok Bahasan Bunyi Peserta Didik MTs AL-
Hikmah Bandar Lampung. Jurnal Ilmiah Pendidikan Fisika AL-Biruni, Vol 4,
No 2, Hal 165-177.
Isjoni. 2011. Pembelajaran Kooperatif. Yogyakarta; Pustaka Pelajar.
Jannah, M., Ningsih, P., dan Ratman. 2016. Analisis Miskonsepsi Siswa Kelas XI
SMA Negeri 1 Banawa Tengah Pada Pembelajaran Larutan Penyangga
Dengan CRI (Certainty of Response Index). Jurnal Akademika, Vol 5, No 2,
Hal 85-90.
Ken Feed. Media an Education, dari: http/www.media-vision.com/ededmedia.html.
Kim-Cwee Daniel Tan, Keith S. Taberb, Ngoh-Khang Goha, dan Lian-sai Chiaa.
(2005). The Ionization Energy Diagnostic Instrument: A Two-Tier Multiple-
Choice Diagnostic Instrument to Determine High School students’
Understanding of Ionisation Energy. Chemistry Education Research and
Practice,6(4),hlm.180197. Dalam http://www.rsc.org/images/Tanpaper_tcm
18-41069.pdf.
Magfoiroh, L., Santosa, dan Suryadharma, I. B., 2016. Identifikasi Tingkat
Pemahaman Konsep Stoikiometri Pada Pereaksi Pembatas Dalam Jenis-Jenis
Reaksi Kimia Siswa Kelas X MIA Negeri 4 Malang. Jurnal Pembelajaran
Kimia (J-PEK), Vol 1, No 2, Hal 32-37.
Marsita, R. A., Priatmoko, S., & Kusuma, E. (2010). Analisis kesulitan belajar kimia
siswa SMA dalam memahami materi larutan penyangga dengan
menggunakan two-tier multiple choice diagnostic instrumen. Jurnal Inovasi
Pendidikan Kimia, 4(1), 512–520.
Risnawati & Parham Saadi. 2016. Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif Dan
Hasil Belajar Melalui Model Pembelajaran Creative Problem Solving (CPS)
Pada Materi Larutan Penyangga. Jurnal Inovasi Pendidikan Sains, Vol.7, No
2, Hal 127-134.
Roland. 1997. http://www.fsu.wou.edu/. Diakses pada 08 Januari 2019 Pukul 15:09
WITA.
Salvin, Robert E., 2008. Cooperative Learning dalam Pembelajaran (Teori, Riset dan
Praktek). Bandung: Nusa Media.
Suparno. (2005). Miskonsepsi dan Perubahan Konsep Dalam Pendidikan Fisika.
Jakarta:Grasindo.
Pesman, H., & A. Erylimaz. 2010. Development of a Three-tier to Assess
Misconceptionsabout Simple Electric Circuits. The Journal of Educational
Reseacrh. 103 (1): 208-222.

Anda mungkin juga menyukai