Anda di halaman 1dari 23

PERBANDINGAN PENGATURAN HAK UNTUK DILUPAKAN

DI INDONESIA DAN UNI EROPA

Calvin Pradono

cleopascalvin@yahoo.com

Abstrak

Eropa.” Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbandingan antara pengaturan
hukum hak untuk dilupakan di Indonesia, dalam hal ini Undang-Undang No.19 Tahun
2016 tentang perubahan atas Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik, dan Uni Eropa yaitu The EU Proposal Directive 95/46/EC- The
Data Protection Directive dan General Data Protection Regulation (GDPR).

Hasil penelitian menunjukan bahwa, perbandingan pengaturan hak untuk dilupakan di


Indonesia dan Uni Eropa terdiri dari (a) Perbandingan Konsep dan Filosofis (di Indonesia:
keinginan untuk mengembalikan kontrol atas informasi pribadi, di Uni Eropa: kewenangan
untuk memiliki kebebasan pribadi), (b) Perbandingan Implementasi Hak untuk dilupakan (di
Indonesia: penghapusan konten berdasarkan penetapan pengadilan, di Uni Eropa:
mempersulit akses pada search engine), (c) Persetujuan penggunaan Informasi Pribadi (sama-
sama menekankan persetujuan pihak yang bersangkutan), (d) Penghapusan data yang
digunakan (sama-sama menekankan gugatan atas kerugian akibat penghapusan), (e)
Penghapusan Informasi dari Penyelenggara (di Indonesia: penyelenggara wajib menghapus
sesuai ketetapan pengadilan, di Uni Eropa: penyelenggara hanya menginformasikan kepada
pihak ketiga), (f) Mekanisme Penghapusan (sama-sama menekankan kewajiban
penyelenggara untuk menyediakan mekanisme penghapusan), (g) Campur tangan pemerintah
(sama-sama menekankan usaha pemerintah untuk melindungi kepentingan umum dan
pencegahan penyebarluasan informasi yang disalahgunakan oleh penyelenggara), (h)
Pengaturan penyebaran Informasi dan data pribadi (di Indonesia: pelarangan melakukan
penyebaran atas data pribadi milik orang lain tanpa izin, di Uni Eropa: pelarangan
penyebaran data pribadi yang menyangkut ras, etnis, pandangan politik dan riwayat
kesehatan), (i) Pengecualian penghapusan (di Indonesia: belum diatur secara jelas, di Uni
Eropa: jika data tersebut digunakan sebagai arsip Negara dan kepentingan publik), (j)
Kewenangan Hak untuk dilupakan (di Indonesia: kewenangan diberikan kepada aparat
kepolisian dan kominfo, Uni Eropa: kewenangan pelaksanaan penghapusan dan pengolahan
data dilakukan oleh pihak ketiga/penyelenggara yang diberi otoritas oleh pemerintah).

Saran Penulis berkaitan dengan hal di atas adalah (1) dilakukan perbaikan mengenai
pemahaman Hak untuk dilupakan sehingga lebih sempit, jelas, dan tidak multitafsir, (2)
diperlukan pengkategorian Informasi dan Data apa saja yang berhak dilakukan penghapusan
apakah data tersebut tergolong kategori Publik atau kategori Pribadi, (3) diperlukannya
penggolongan penyelenggara sistem elektronik baik dari provider, search engine, maupun
kewenangan kominfo dalam penghapusan Informasi.

Kata Kunci: Perbandingan Hukum, Hak untuk dilupakan, UU ITE, The Eu Directive, General
Data Protection Regulation.

A. Latar Belakang
Pada masa globalisasi ini, arus informasi yang mengalir melalui internet sangatlah

deras juga tanpa batas ke segala penjuru dunia. Bahkan dapat dikatakan segala informasi

dan pengetahuan yang ada di dunia ini dapat dengan mudah didapatkan melalui internet

dalam waktu yang singkat. Dalam konteks Indonesia, penyebaran internet memiliki

batasan-batasan tertentu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun

2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi

dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut UU ITE).

Tujuan awal diterbitkannya undang-undang ini adalah demi menjamin keamanan

setiap konsumen yang menggunakan akses internet di Indonesia dari hal-hal yang dapat

merusak serta melindungi hak-hak para pengguna Internet dari ancaman cybercrime atau

Tindak Pidana Informasi dan Transaksi Elektronik. Tetapi dalam beberapa hal, UU ITE

masih memiliki kelemahan. Salah satu kelemahan yang masih diperdebatkan hingga kini

adalah pengaturan mengenai hak untuk dilupakan yang dituangkan dalam Pasal 26 ayat (3)

dan (4).

Ayat 3: Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menghapus Informasi


Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah
kendalinya atas permintaan Orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan
pengadilan.
Ayat 4: Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menyediakan mekanisme
penghapusan Informasi dan/atau Dokumen Elektronik yang sudah tidak relevan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Melihat isi pasal tersebut, terdapat beberapa poin yang perlu diperhatikan terkait

eksekusi hak untuk dilupakan, sebagai berikut:

1. Permohonan penghapusan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik hanya

dapat dilakukan oleh orang yang bersangkutan;

2. Permohonan penghapusan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik diajukan

ke pengadilan setempat;
3. Apabila telah terdapat penetapan pengadilan yang mengabulkan permohonan

penghapusan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik, Penyelenggara

Sistem Elektronik yang memegang kendali atas informasi elektronik dan/atau

dokumen elektronik yang dimohonkan, wajib melakukan penghapusan.

4. Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menyediakan mekanisme penghapusan

informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik.

Ketentuan ini menjadi menarik untuk dicermati karena sistem yang diterapkan oleh

pemerintah Indonesia agak sedikit berbeda dengan konsep hak untuk dilupakan yang

sejauh ini sudah berjalan di beberapa negara lainnya khususnya di wilayah Uni Eropa.

Konsep yang sejauh ini berjalan di negara-negara tersebut adalah informasi elektronik

dan/atau dokumen elektronik hanya dihapuskan dari hasil pencarian search engine atau

mesin pencari, namun tidak dihapuskan dari sumber asalnya. Contohnya dapat kita lihat

dalam kasus Costeja yang menjadi awal mula dari ketentuan hak untuk dilupakan ini.

Mario Costeja Gonzales adalah seorang warga Spanyol yang merasa pemberitaan

mengenai suatu hutang di masa lalunya sudah tidak relevan lagi untuk diberitakan, sebab

ia telah menjalani keputusan hukum dengan melunasi hutang tersebut. Ia menggugat

Google supaya menghapus seluruh tautan pemberitaan tersebut dari search result sebagai

wujud haknya untuk dilupakan atau dihilangkan terutama tentang informasi pribadi masa

lalunya. Google membela diri dari permintaan tersebut sebab mereka ingin menjadi

platform informasi yang bersifat netral. Namun Google kalah dan ini menjadi preseden

yang berlaku terhadap seluruh pengendali data di Uni Eropa1.

Dalam kasus di atas, Costeja mengajukan permohonan kepada La Agencia Española

de Protección de Datos (“AEPD”, badan perlindungan data pribadi Spanyol) untuk:

1
27 December 2016,http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt586219e8e529d/mengenal-iright-to-be-
forgotten-i-oleh--mohammad-iqsan-sirie-.
1. Meminta surat kabar La Vanguardia menghapuskan berita terkait dirinya yang

terpaksa menjual asetnya karena terlilit hutang;

2. Meminta Google Spain dan Google Inc untuk menghapuskan tautan yang terkait

dengan berita tersebut. Permohonan tersebut diajukan karena berita yang dimuat

oleh La Vanguardia terjadi lebih dari satu dekade yang lalu dan sudah tidak

relevan lagi dengan kondisinya sekarang. Namun, setiap Mr. Costeja mencari

namanya melalui mesin pencari, tautan ke artikel berita tersebut selalu muncul.

AEPD (Agensi Perlindungan Data Spanyol) menolak permohonan pertama,

namun mengabulkan permintaan kedua, sehingga, berita terkait Mr. Costeja di La

Vanguardia tetap dapat diakses namun Google harus menghapuskan tautan ke berita

tersebut dari hasil mesin pencarinya. Google lalu membawa kasus ini sampai ke

European Court of Justice (“ECJ”, Pengadilan Eropa), namun ECJ dalam

pertimbangannya tetap menguatkan penetapan dari AEPD. Salah satu pertimbangan

penting dari ECJ dapat dilihat dalam putusannya, yang menyatakan “setiap individu

memiliki hak – dalam kondisi tertentu – untuk meminta mesin pencari menghapuskan

tautan yang mengandung informasi pribadi mereka. Hal ini berlaku ketika informasi

tersebut sudah tidak akurat, tidak lengkap atau berlebihan dalam tujuan pengolahan

data2”.

Meskipun masih menjadi kontroversi bukan hanya karena umur peraturannya

yang masih tergolong muda, tetapi juga hak ini dapat dimanfaatkan untuk

mengaburkan kesalahan seseorang yang melakukan kejahatan seksual maupun

kejahatan fisik di masa lalu dan secara psikologis subjek tersebut dapat mengulang

kembali, sehingga ini juga dianggap krusial jika tidak benar-benar di review lebih

lanjut subjek yang mengajukan tersebut.


2
Case C-131/12, Google Spain SL, Google Inc. v. Agencia Española de Protección de Datos (AEPD), Mario
Costeja. González (May 13, 2014), dapat diakses secara daring di http://eur-lex.europa.eu/legal-
content/EN/TXT/HTML/?uri=CELEX:62012CJ0131&rid=14.
Terlepas dari pro kontra, aturan ini digunakan untuk menghapus riwayat buruk

seseorang agar korban yang pernah menjadi tersangka suatu kasus yang diadili tetapi

tersebar luas kembali di internet, dapat dipulihkan nama baiknya. Misalnya subjek

yang menjadi korban dari revenge porn (menyebarkan file bermuatan pornografi

tentang dirinya didasarkan balas dendam, biasanya dilakukan oleh orang yang putus

hubungan setelah masa pacaran) karena direkam oleh pasangannya saaat melakukan

hubungan intim atau perbuatan asusila, dapat menggunakan hak ini untuk

menghentikan, atau setidaknya membatasi, distribusi konten tentang dirinya di

internet agar korban dapat menjalani kehidupan normal kembali. Namun, tidak semua

permintaan akan dikabulkan dan sesuai dengan prinsip hak untuk Dilupakan.

Beberapa syarat harus dipenuhi adalah: tautan yang ingin dihapus dari mesin pencari

haruslah tidak akurat, tidak relevan, atau informasi pelintiran yang dilebih-lebihkan.

Meskipun demikian, hak untuk dilupakan bukanlah jenis hak yang absolut.

Keseimbangan dan keselarasan dengan hak-hak fundamental lainnya harus tetap

dipertahankan, salah satunya adalah hak kebebasan berekspresi dan kebebasan pers3.

Peraturan mengenai atau hak untuk dilupakan di Indonesia ini memang belum

terdengar familiar bagi masyarakat awam bahkan bagi korban tindak pidana

penyebaran konten yang bersifat pribadi sekalipun, hak untuk dilupakan sendiri juga

masih tergolong baru mengingat kasusnya yang baru terjadi pada masa globalisasi ini

disbanding hak-hak lainnya, Konsep hak untuk dilupakan sendiri mirip dengan

konsep kode etik media massa cetak tetapi yang membedakan adalah perantaranya

dengan menggunakan internet sebagai akses utamanya.

Berdasarkan latar belakang Ilmiah ini penulis ingin ingin melakukan penulisan

ilmiah mengenai perbandingan pengaturan hak untuk dilupakan di Indonesia

3
Wan Ulfa Nur Zuhra,31 Oktober 2016,https://tirto.id/tak-terlupakan-dengan-hak-untuk-dilupakan-bZHi.
(berdasarkan Pasal 26 ayat (3) dan (4) UU ITE) dan hak untuk dilupakan Uni Eropa

(berdasarkan The EU Proposal EU Directive 95/46/EC - The Data Protection

Directive dan GDPR (General Data Protection Regulation).

B. Tinjauan Right to be Forgotten

Pada Era globalisasi Informasi online sudah sering dijumpai dikarenakan

fungsi praktis yang terkandung dalam memperoleh data dan informasi di dunia maya

yang mempermudah dan mempercepat arus penyebaran informasi dan berita ke

seluruh dunia hanya dalam hitungan menit, teknologi informasi (information

technology) memegang peran penting, baik di masa kini maupun di masa mendatang.

Teknologi informasi diyakini membawa keuntungan dan kepentingan yang besar bagi

negara-negara di dunia. Setidaknya ada dua hal penting dalam memacu pertumbuhan

ekonomi dunia. Pertama, teknologi informasi mendorong permintaan atas produk-

produk teknologi informasi itu sendiri, seperti komputer, modem, sarana untuk

membangun jaringan internet dan sebagainya. Kedua, adalah memudahkan transaksi

bisnis terutama bisnis keuangan disamping bisnis-bisnis lainnya.4 Dengan demikian,

teknologi informasi telah berhasil memicu dan memacu perubahan tatanan kebutuhan

hidup masyarakat di bidang sosial dan ekonomi, yang notabene sebelumnya

bertransaksi ataupun bersosialisasi secara konvensional menuju transaksi maupun

sosialisasi secara elektronik baik dalam media sosial seperti

facebook,twitter,whatsapp, dan media sosial yang serupa. Hal ini dinilai lebih efektif

dan efisien dalam memberikan informasi pada masa ini daripada melalui media koran

maupun televisi.

Sebagai akibat dari perkembangan yang demikian, maka secara lambat laun,

teknologi informasi dengan sendirinya juga telah mengubah perilaku masyarakat dan

4
Agus Rahardjo,2002,Cybercrime-Pemahaman dan upaya pencegahan kejahatan berteknologi, Bandung: Citra
Aditya Bakti, hal.1
peradaban manusia secara global. Di samping itu, perkembangan teknologi Informasi

telah menyebabkan dunia menjadi tanpa batas (borderless) dan menyebabkan

perubahan sosial secara signifikan berlangsung sedemikian cepat. Sehingga dapat

dikatakan teknologi informasi saat ini telah menjadi pedang bermata dua, karena

selain memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan, dan

peradaban manusia, sekaligus menjadi sarana efektif yang dapat menimbulkan

perbuatan melawan hukum.5 Dengan terjadinya perbuatan-perbuatan melawan hukum

tersebut, maka ruang lingkup hukum harus diperlukan untuk menjangkau perbuatan-

perbuatan tersebut sehingga membatasi informasi-informasi pribadi yang tidak

seharusnya tersebar pada dunia maya atau cyber world.

Dikarenakan banyak munculnya permasalahan yang timbul di dunia maya

maka lahirlah suatu rezim hukum baru yang dikenal dengan hukum siber (cyber law),

secara internasional digunakan untuk informasi dan komunikasi. Demikian pula

hukum telematika yang merupakan perwujudan dari konvergensi hukum

telekomunikasi, hukum media, dan hukum informatika. Istilah lain yang juga

digunakan adalah hukum teknologi informasi (law of information technology), hukum

dunia maya (virtual world law) dan hukum maya. Istilah-istilah tersebut lahir

mengingat kegiatan yang dilakukan melalui jaringan sistem komputer dan sistem

komunikasi baik dalam lingkup lokal maupun global (internet) dengan memanfaatkan

teknologi informasi berbasis sistem komputer yang merupakan sistem elektronik yang

dapat dilihat secara virtual. Permasalahan hukum yang sering kali dihadapi adalah

ketika terkait dengan penyampaian informasi dalam hal pembuktian dan hal yang

5
Ahmad Ramli, Cyber Law Dan HAKI-Dalam System Hukum Indonesia,Bandung: Rafika Aditama, 2004, hal.
1.
terkait dengan perbuatan hukum yang dilaksanakan melalui sistem elektronik.6 Suatu

misal perkembangan teknologi internet.

Perkembangan yang pesat dalam teknologi internet menyebabkan kejahatan

baru di bidang itu juga bermunculan, misalnya kejahatan manipulasi data, spionase,

menyabotase, provokasi, money laundry (pencucian uang), hacking, pencurian

software, maupun perusakan hardware (perangkat keras) dan berbagai macam

lainnya. Bahkan laju kejahatan melalui jaringan pemerintah untuk mengimbanginya

sehingga sulit untuk mengendalikanya sehingga muncul korban-korban yang sering

dilibatkan sebagai pelaku disaat infornasi pribadinya tersebar luas dan banyaknya

protes yang dilayangkan terhadap pengadilan karena meski korban tersebut sudah

menjalani masa hukuman dan rehabilitasi tetapi informasi pribadi dirinya yang sudah

tidak relevan dengan keadaannya sekarang masih tercantum jelas pada mesin

pencarian informasi seperti google maupun yahoo. Munculnya beberapa kasus

cybercrime di Indonesia telah menjadi ancaman stabilitas Kamtibmas dengan angka

eskalatif yang cukup tinggi. Pemerintah dengan perangkat hukumnya belum mampu

mengimbangi teknik kejahatan yang dilakukan dengan teknologi komputer khususnya

penyebaran internet di jaringan internet dan internet (internetwork).7

Perbuatan melawan hukum atau tindak pidana dalam dunia cyber sangat tidak

mudah diatasi dengan hanya mengandalkan hukum positif yang konvensional 8 karena

berbicara mengenai kejahatan, tidak dapat dilepaskan dari lima faktor yang saling

berkaitan satu sama lain, yaitu pelaku kejahatan, modus kejahatan, korban kejahatan,

reaksi sosial atas kejahatan dan hukum. Hukum memang menjadi instrumen penting

dalam pencegahan dan penanggulangan kejahatan, disamping instrumen-instrumen

6
Republik Indonesia, Penjelasan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik, paragraf 2.
7
Agus Rahardjo, Op.Cit., hal.213.
8
Ahmad Ramli, Op.Cit, hal.5
lain yang tidak kalah penting, akan tetapi, untuk membuat suatu ketentuan hukum

terhadap bidang hukum yang berubah sangat cepat, seperti teknologi informasi ini

bukan merupakan perkara yang mudah untuk diatasi terutama jika kerugian nya

berupa barang virtual. Disinilah sering kali hukum (peraturan) tampak cepat tertinggal

dan menjadi usang manakala mengatur bidang yang mengalami perubahan yang

sangat cepat, sehingga situasinya seperti terjadi kekosongan hukum (vaccum rechts).

Terhadap kejahatan di internet atau cybercrime ini tampaknya memang terjadi

kekosongan hukum.9

Hal ini dapat dipahami karena pembuat undang-undang saat merumuskan

redaksi undang-undang hanya membuat suatu moment opname belaka terhadap suatu

segi pergaulan sosial, maka di kemudian hari sudah pasti tentunya rumusan undang-

undang itu tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat, sehingga diperlukan

penafsiran. Logemann dengan tepat menyatakan bahwa undang-undang itu bersifat

statis.10

Sebenarnya dalam persoalan cybercrime, tidak ada kekosongan hukum, ini

terjadi jika digunakan metode penafsiran yang dikenal dalam ilmu hukum dan ini

yang mestinya dipegang oleh aparat penegak hukum dalam menghadapi perbuatan-

perbuatan berdimensi baru yang secara kusus belum diatur dalam undang-undang.

Persoalan menjadi lain jika ada keputusan politik untuk menetapkan cybercrime

dalam perundang-undangan tersendiri di luat KUHP atau Undang-undang khusus

lainnya. Sayangnya dalam persoalan mengenai penafsiran ini, para hakim belum

sepakat mengenai kategori beberapa perbuatan. Misalnya carding, ada hakim yang

menafsirkan masuk dalam kategori penipuan, ada pula yang memasukan dalam

kategori pencurian. Untuk itu sebetulnya perlu dikembangakan pemahaman kepada


9
Agung Rahardjo, Op.Cit, Hal.213
10
Pontang Moerad,2005,Pembentukan hukum melalui putusan pengadilan dalam Perkara Pidana,BandunG:
alumni, hal.87.
para hakim mengenai suatu bentuk cybercrime ke dalam pasal-pasal dalam KUHP

atau Undang-undang lain agar tidak membingungkan.11

Untuk mengatasi hal tersebut diatas, jelas diperlukan tindakan legislatif yang

cermat dengan mengingat suatu hal, yakni jangan sampai perundang-undangan

menjadi terpana pada perkembangan teknologi sehingga membuat peraturan

overlegistate, yang pada gilirannya justru akan membawa dampak negatif, baik di

bidang hukum lainnya maupun di bidang sosial ekonomi.12

Pada awalnya, terdapat dua pendapat mengenai perlu tidaknya undang-undang yang

mengenai tentang kejahat dunia siber atau cybercrime, diantaranya:13

a. Pertama, kelompok yang mengatakan bahwa sampai hari ini belum ada

perundangan yag mengatur masalah cybercrime, karena itu jika terjadi tindakan

kriminal di dunia cyber khususnya dalam perdagangan jual beli barang online dan

berita-berita hoax yang tersebar di online social media, maka sangat sulit bagi

aparat penegak hukum untuk menjerat pelakunya. Pendapat ini diperkuat dengan

banyaknya kasus cybercrime yang tak dapat dituntaskan oleh sistem peradilan

kita. Persoalannya berdasar pada sulitnya mencari pasal-pasal yang dapat dipakai

sebagai landasan tuntutan di pengadilan.

b. Kedua, mereka yang beranggapan bahwa tidak ada kevakuman hukum. Mereka

yakin, walau belum ada undang-undang yang secara khusus mengatur cybercrime

para penegak hukum dapat menggunakan ketentuan hukum yang sudah ada.

Untuk melaksanakannya diperlukan keberanian hakim menggali undang-undang

yang ada dengan membuat ketetapan hukum (yurisprudensi) sebagai landasan

keputusan pengadilan.

11
Agus Rahardjo, op.cit. hal. 96.
12
Muladi dan Barda,2007,Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung: Alumni ,hal. 40.
13
Magdalena dan Maswigrantoro Roes Setyadi,2008, Cyberlaw Tidak Perlu Takut, Yogyakarta: Andi, hal.82.
Namum akhirnya pada Maret 2008 disahkanlah Undang-undang Nomor 11

Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik oleh Pemerintah dan

mengalami perubahan pada tahun 2016 menjadi Undang-Undang No.19 Tahun 2016.

Di dalam undang-undang tersebut diatur mengenai beberapa kriminalisasi perbuatan

pidana yang sebelumnya bukanlah tindak pidana melalui beberapa terobosan dan

perluasan dalam hal asas-asasnya beserta sanksi pidananya. Selain aturan pidana

substantif, dalam undang-undang ini juga mengatur mengenai prosedur dan alat bukti

yang mengalami perluasan, yaitu dimasukkannya alat bukti baru yang berkaitan

dengan media elektronik berikut juga dengan penambahan hak untuk dilupakan bagi

pelaku maupun korban dari kasus hukum UU ITE yang berguna sebagai rehabilitasi.

Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi

elektronik ini jika ditinjau dalam perspektif kebijakan pidana, secara umum dalam

hal perumusan tindak pidana, perumusan sanksi pidana dan prosedur atau mekanisme

sistem peradilan pidana. Ada beberapa hal yang diatur dan patut mendapat perhatian,

diantaranya sebagai berikut:

1. Pertama, dalam hal perumusan tindak pidana. Secara umum undang-undang ini

dalam perumusan tindak pidana merupakan pengakomodasian tindak pidana dari

KUHP yang diperluas pada dunia maya, Di samping itu, juga terdapat tindak

pidana baru, yaitu intersepsi atau penyadapan. Selain berkenaan dengan

bermacam-macam tindak pidana terebut, dalam undang-undang ini juga mengatur

masalah yurisdiksi berbeda dengan hukum pidana konvensional (KUHP).

2. Kedua, dalam hal perumusan sanksi pidana. Secara umum dalam undang-undang

ini menggunakan sanksi pidana berupa penjara dan denda yang lebih berat

dibandingkan dengan KUHP. Sanksi pidana tersebut bersifat maksimum khusus.

Pemberatan pidana dikenakan terhadap korporasi yang menjadi pelaku, juga jika
sasaran kejahatannya merupakan lembaga/ instansi pemerintah. Demikian pula

apabila dilakukan berkenaan dengan anak sebagai korban kejahatan, maka

dikenakan pemberatan sanksi pidana, tetapi meskipun sanksi lebih berat dari

KUHP, pada perubahan UU ITE terbaru ini terdapat penurunan sanksi daripada

UU ITE sebelumnya.

3. Ketiga, dalam hal prosedur sistem peradilan pidana. Undang-undang ini mengatur

masalah prosedur penyidikan saja. Dalam hal ini terdapat beberapa hal yang

berbeda dengan hukum acara yang konvensional (KUHAP). Di antaranya:

diakuinya alat bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah di persidangan dan

diatur juga mengenai penyidikan terhadap cybercrime. Selain itu, juga terdapat

prosedur penggeledahan, penangkapan, dan penahanan yang berbeda dari

KUHAP, yaitu mengenai ketentuan penetapan kepada ketua pengadilan selama

satu kali dua puluh empat jam.

4. Keempat, hak pemerintah untuk menghapus informasi yang melanggar ketentuan

dan menyerang pribadi seseorang sehingga munculah pengaturan tentang hak

untuk dilupakan atau Right to be Forgotten pada Pasal 26 ayat (3) dan (4).

Peninjauan masalah kebijakan kriminalisasi dalam Undang-Undang Nomor 19

Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ini merupakan tahap yang

paling strategis dari keseluruhan perencanaan proses fungsionalisasi hukum pidana

atau proses penegakan hukum pidana dalam rangka penganggulangan kejahatan

cybercrime. Perencanaan atau kebijakan penanggulangan kejahatan yang dituangkan

dalam peraturan perundang-undangan, secara garis besar meliputi:

1. Perencanaan atau kebijakan tentang perbuatan-perbuatan terlarang apa yang akan

ditanggulangi karena dipandang membahayakan atau merugikan;


2. Perencanaan atau kebijakan tentang sanksi apa yang dapat dikenakan terhadap

pelaku perbuatan terlarang itu (baik berupa pidana atau tindakan) dan sistem

penerapannya;

3. Perencanaan atau kebijakan tetang prosedur atau mekanisme sistem peradilan

pidana dalam rangka proses penegakan hukum pidana.14

Dengan demikian, peninjauan kembali (review) terhadap kebijakan kriminalisasi

kejahatan teknologi informasi (cybercrime) dalam Undang-Undang ITE ini harus pula

difokuskan pada ketiga hal tersebut dalam Undang-Undang ini, diharapkan dapat

menganalisis fungsionalisasi hukum pidana dalam tahap formulasi sehingga dapat

mengetahui dasar pertimbangan pemuat undang-undang dalam menyusun kebijakan

kriminalisasi. Selain itu, juga dapat mengetahui letak kelemahan-kelamahan

kriminalisasi cybercrime dalam UU ITE yang perlu diperhatikan oleh aparat penegak

hukum yang mengimplementasikan undang-undang ini.

Right to be forgotten adalah sebuah konsep hukum yang berkembang dalam

hukum cyber konsep ini sendiri lahir dari keinginan untuk mengembalikan fungsi

kontrol atas informasi pribadi yang beredar di internet kepada pribadi masing-masing

orang.

C. Sumbangan Formulasi Right to be Forgotten di Uni Eropa terhadap pembentukan

Hukum hak untuk dilupakan di Indonesia:

A. Revisi UU ITE No.19 tahun 2016 memang mengambil Konsep Hukum hak untuk

dilupakan yang ada di Uni Eropa tepatnya berdasarkan putusan costeja (yang

bertumpu pada European Union Directive {piagam Uni Eropa} 95/46 EC mengenai

Proteksi Data) dan hak untuk dilupakan yang tercantum pada pasal 17 GDPR

(General Data Protection Regulation) mengenai Right to Erasure/ Right to be

14
Muladi dan Barda, op.cit., hal 159.
Forgotten mengenai kewenangan, mekanisme penghapusan, hak subjek pemilik

data,Intervensi Negara,dan pengecualian penghapusan merupakan bentuk Integrasi

GDPR dan EU Directive 95/46 EC.

B. Dalam Revisi UU ITE No.19 Tahun 2016 sendiri pengaturan hak untuk dilupakan

dibilang masih seadanya dan penafsirannya masih terlalu baku dimana pengecualian

terhadap penghapusan Informasi Elektronik mengenai data pribadi seseorang tidak

dijelaskan dan hal ini menimbulkan Pro kontra terutama pada dunia Jurnalistik

dimana dapat dimanfaatkan oleh elit-elit politik untuk menghapus riwayat buruk

profesinya, meskipun pada sisi baiknya penerapan hak untk dilupakan pada UU ITE

di Indonesia merupakan upaya memberikan perlindungan bagi korban fitnah agar

dihapus akses terhadap informasi elektronik pribadinya yang dianggap tidak relevan

sesuai penetapan/keputusan pengadilan.

C. Meskipun konsep hak untuk dilupakan di Indonesia masih jauh penafsirannya dengan

yang ada di Uni Eropa yang awalnya hak ntuk dilupakan pada UU ITE ini merupakan

bagian dari Rancangan Undang-Undang (RUU) perlindungan data pribadi yang

akhirnya ditetapkan dan dicantumkan dalam Revisi UU ITE No.19 tahun 2016

menjadi hak untuk dilupakan terhadap Data Pribadi.

D. Perlindungan data pribadi dengan pencemaran nama baik itu sendiri (defamation)

adalah dua hal yang jauh berbeda. Bila perlindungan data pribadi itu adalah informasi

yang betul tentang seseorang tetapi tidak boleh diekspos karena melanggar

kenyamanannya. Sedangkan, kalau defamation itu adalah informasi yang tidak benar

terkait fitnah, kebohongan, dan menurunkan reputasi15.

E. Sumbangan yang dapat diberikan kepada Indonesia adalah Konsep hak untuk

dilupakan mengenai perlindungan data meskipun penafsirannya masih luas tidak


15
Sinta,Right To Be Forgotten Lahir Prematur dalam UU ITE baru,27 Desember 2016,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt58613b6931861/iright-to-be-forgotten-i--lahir-prematur-dalam-uu-
ite-baru
seperti Right to Be forgotten milik Uni Eropa yang ditafsirkan secara sempit mengenai

pihak,pengecualian, dan juga tentang penghapusan nya dimana penghapusan data di

Uni Eropa langsung kepada mesin pencarian, sedangkan pengimplementasi right to be

forgotten di Indonesia nantinya tidak pada mesin pencari (search engine).

Penghapusan maupun perubahan konten yang dianggap tidak relevan berdasarkan

penetapan keputusan pengadilan langsung dilakukan oleh penyelenggara sistem

elektronik yang memegang kendali langsung atas suatu konten tertentu biasanya

mereka adalah provider penyelenggara sistem elektronik seperti

Telkom,Tri,XL,Mentari dan mereka hanya melakukan pemblokiran akses ke halaman

yang memuat informasi elektronik tanpa melakukan penghapusan langsung dari

sistemnya yang ditetapkan pengadilan untuk di hapus sehingga tidak benar-benar

terhapus melainkan dipersulit saja aksesnya.

F. Unsur hukum asing yang harus diadopsi hak untuk Dilupakan pada revisi UU ITE

No.19/2016 ini juga mengenai jenis data apa saja yang bisa dan tidak bisa

dimohonkan dalam putusan pengadilan, tidak terdapatnya pemahaman yang kuat

mengenai data-data yang ada apakah termasuk dalam kategori data pribadi atau data

yang bisa diakses publik, dengan adanya rumusan mengenai putusan pengadilan

penghapusan informasi elektronik hak untuk dilupakan ini, juga akan menyulitkan

publik untuk mengakses rekam jejak calon kontestan politik yang akan mereka pilih,

sebab ada potensi mereka juga akan menghilangkan sebagian rekam jejaknya

profesinya di masa lalu misalnya kasus korupsi yang pernah dilakukan pejabat atau

elit politik dalam lingkungan pemerintahan di masa lalu atau kasus perbuatan

melawan hukumnya, hal ini juga dapat membuat generasi muda yang menjadi pemilih

tidak tahu apakah calon elit yang akan dipilih benar-benar bersih atau dibersihkan dari

riwayat buruknya oleh pengadilan karena rumusan hak untuk dilupakan ini sehingga
menurut saya sebagai penulis skripsi ini pengaturan hak untuk dilupakan di Indonesia

ini masih sangat banyak kekurangan dari segi pemahaman dan pendidikan kepada

masyarakat yang masih awam terhadap rumusan hak untuk dilupakan ini.

D. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, Penulis menyimpulkan beberapa hal

sebagai berikut:

1. Perbandingan hak untuk dilupakan di Indonesia dan Uni Eropa terdiri dari:

a) Persetujuan penggunaan informasi Pribadi:

1) Uni Eropa: Subjek data menyetujui data pribadinya untuk di

gunakan/proses tanpa adanya tujuan lain atau bersifat ambigu.

2) Indonesia: Penggunaan informasi pribadi harus dilakukan atas

persetujuan orang yang bersangkutan

b) Penghapusan data yang digunakan:

1) Uni Eropa: Data yang disimpan atau digunakan harus akurat

memerlukan pembaharuan jika terdapat perbedaan data dengan

subjek pemilik data maka dapat dilakukan gugatan untuk

penghapusan;

2) Indonesia: Data pribadi yang seharusnya digunakan jika

dilanggar maka subjek data dapat melakukan gugatan atas

kerugian.

c) Penghapusan Informasi oleh provider :

1) Uni Eropa:dengan menginformasikan pihak ketiga mengenai

data yang digunakan tersebut untuk dilakukan perubahan,

penghapusan, dan pemblokiran informasi data tersebut;


2) Indonesia: Pihak ketiga wajib menghapus Informasi data atas

permintaan orang bersangkutan berdasarkan penetapan

pengadilan.

d) Mekanisme Penghapusan:

1) Uni Eropa: dilakukan pemeriksaan dan perubahan serta

penghapusan data dilakukan atas permintaan subjek pemilik

data sesuai perjanjian awal (Term of Service), dan jika terbukti

mengandung kepentingan vital maka pemenuhak kewajiban

hukum harus dilakukan oleh pengonrol sebagai pihak ketiga;

2) Indonesia: Setiap penyelenggara sistem elektronik wajib

menyediakan prosedur penghapusan Informasi elektronik atau

dokumen elektronik yang sudah tidak relevan atau tidak sesuai

dengan peraturan perundangan.

e) Campur tangan pemerintah:

1) Uni Eropa: lembaga pemerintahan yang berwenang di negara

anggota Uni Eropa harus menetapkan perlindungan yang

efektif bagi warganegara terkait data pribadi yang disimpan

oleh pihak yang berwenang, terkecuali jika data tersebut

digunakan untuk alasan kepentingan publik;

2) Indonesia: Pemerintah memfasilitasi pemanfaatan Teknologi

Informasi sesuai dengan Undang-Undang dan melindungi

kepentingan umum akibat penyalah gunaan Informasi

Elektronik serta wajib mencegah penyebarluasan data

informasi.

f) Pengaturan penyebaran Informasi dan data Pribadi:


1) Uni Eropa: Negara anggota tunduk pada ketentuan

perlindungan yang sesuai dengan menjaga data setiap subjek,

kecuali, untuk alasan kepentingan publik yang penting..

2) Indonesia: Setiap orang dilarang melakukan intersepsi atas data

pribadi dan Informasi elektronik milik orang lain.

g) Pengecualian Penghapusan:

1) Uni Eropa: Jika dalam melaksanakan hak kebebasan

berekspresi dan juga hak atas informasi publik, dan juga jika

digunakan sebagai pengarsipan atau pendataan demi

kepentingan publik baik untuk membuka sejarah negara

anggota maupun tujuan statistik;

2) Indonesia: belum diatur secara jelas pengecualian atas

masuknya informasi data.

h) Kewenangan dalam hak untuk dilupakan:

1) Uni Eropa: Pelaksanaan penghapusan dan pengolahan data

dengan memberikan otoritas yang diberikan pemerintah kepada

pengontrol atau pihak ketiga kepada siapa data tersebut

disimpan dan diungkapkan;

2) Indonesia: Kewenangan diberikan kepada aparat kepolisian

NKRI di bidang Informasi dan Transaksi Elektronik, Pejabat

pegawai negeri sipil di kominfo untuk melakukan penyelidikan

lebih lanjut.

i) Penghapusan dan pemutusan akses dokumen/informasi Elektronik:

1) Uni Eropa : Negara memberikan kuasa atau kewenangan

kepada setiap orang untuk mengambil alih kewenangan dari


pengelola agar dilakukan penghapusan maupun perubahan data

pribadi mengenai dirinya tanpa adanya halangan maupun

penundaan yang menyulitkan pemilik informasi data agar tidak

dapat diakses siapapun;

2) Indonesia: Negara melalui pemerintah yang berwenang

memerintahkan pemutusan akses kepada Penyelenggara sistem

Elektronik terhadap informasi elektronik yang melanggar

Hukum.

a) Unsur yang dilarang untuk dicantumkan:

1) Uni Eropa: melarang pemrosesan data pribadi yang

mengungkapkan asal-usul ras atau etnis, pendapat politik,

keyakinan agama atau filosofis, keanggotaan serikat dagang,

dan pemrosesan data mengenai kesehatan atau

kehidupan/aktivitas seksual

2) Indonesia: Belum diatur dalam perundangan Indonesia.

2. Revisi Undang-Undang ITE No.19 Tahun 2016 belum mengatur

kembali/mengubah mekanisme dan prosedur penghapusan secara jelas.

E. SARAN

Berdasarkan Kesimpulan yang diambil diatas, Penulis Skripsi memberikan beberapa

saran sebagai berikut:

1. Dilakukan perbaikan mengenai pemahaman hak untuk Dilupakan sehingga

lebih sempit dan tidak multitafsir karena pada dasarnya penghapusan Data

Informasi ini menghindari fitnah yang tidak relevan kepada subjek yang

terkait dalam informasi tersebut karena berdasarkan yang ada di Uni Eropa,
Pengadilan Uni Eropa secara terang-terangan mengklarifikasi bahwa hak

untuk dilupakan tidaklah absolut dan akan selalu perlu diseimbangkan dengan

hak-hak fundamental warganegara, seperti kebebasan berekspresi sehingga

perlu ada pengecualian penghapusan terhadap informasi-informasi yang akan

dihapus agar hak-hak warga negara atas informasi tetap terjamin.Sayangnya

pemberitaan dalam revisi tidak memperlihatkan pengecualian tersebut;

2. Pengkategorian Informasi dan Data saja yang berhak melakukan penghapusan

melalui putusan hak untuk Dilupakan yang ada apakah data tersebut masuk

kedalam kategori data Pribadi atau Data yang bisa diakses Publik;

3. Perbaikan Aturan hak untuk dilupakan di Indonesia agar dapat menyesuaikan

dengan pasal 17 GDPR (General Data Protection Right) di Uni Eropa yang

putusan/penetapan nya tidak hanya tertuju pada pemilik Data saja tetapi juga

memperhatikan kepentingan kedua belah pihak sehingga penerapannya lebih

berimbang dan tidak mendiskreditkan pihak lain agar aturan ini tidak semata-

mata dibuat untuk kepentingan beberapa pihak saja sehingga mengurangi

potensi penyalahgunaan hak untuk Dilupakan di Indonesia ini.

4. Perlu adanya perombakan penggolongan Penyelenggara sistem elektronik,

karena dalam definisi UU ITE penyelenggara yang dimaksud adalah yang

meliputi seluruh pengendali data dalam internet, seperti search engine dan

media digital, termasuk media sosial dan personal blog. Namun, ketentuan ini

menjadi tidak berlaku bagi search engine dan media non-Indonesia karena

perbedaan yurisdiksi. Jika pemerintah Indonesia tidak berhasil menggalakkan

kewajiban Over The Top (selanjutnya disebut OTT) agar segera membentuk

badan hukum resmi di Indonesia, hak untuk dilupakan tidak bisa diterapkan

terhadap OTT asing karena menkominfo tidak memiliki kekuatan/kuasa dan


kewenangan dalam mengatur perusahaan OTT asing yang ada meskipun

sekarang sudah ada beberapa OTT yang terdaftar tetapi banyaknya OTT

belum terdaftar yang sering digunakan oleh masyaraka,tetapi dalam undang-

undang masih belum dibahas secara rinci sehingga sering menimbulkan

kebingunan.

5. Penggunaan hak untuk dilupakan mengharuskan adanya penetapan

pengadilan, yang mana memakan waktu dan biaya sehingga harus dibuat

mekanisme yang lebih singkat tetapi tetap dengan penetapan pengadilan yang

tidak banyak memakan waktu dan biaya karena hal ini memiliki sisi positif

dimana penyelenggara elektronik tidak bisa mengelak terhadap keputusan

pengadilan yang ada dalam menghapuskan informasi elektronik yang

ditetapkan pengadilan.
DAFTAR PUSTAKA
Literatur:
Nawawi, Barda, 1990, Perbandingan Hukum Pidana, Jakarta: PT RajaGrafindo

Persada;

Maramis, Frans, 1994, Perbandingan Hukum Pidana, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan;

Magdalena, dan Setyadi.Maswigrantoro Roes. 2007. Cyberlaw Tidak Perlu Takut.

Yogyakarta: Andi.;

Menski, 2014, Perbandingan Hukum dalam konteks Global “sistem asia,eropa,dan


afrika”.Bandung: Nusa Media;
Moerad, Poentang, 2005. Pembentukan hukum melalui putusan pengadilan dalam Perkara
Pidana. Bandung: Alumni;
Muladi, Barda. 2007. Bunga Rampai Hukum Pidana. Bandung: Alumni;
Rahardjo, Agus. 2002. Cybercrime-Pemahaman dan upaya pencegahan kejahatan
berteknolog. Bandung:Citra Aditya Bakti;
Rahardjo, satjipto, 2006. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti;
Ramli. Ahmad, 2006. Cyber Law Dan HAKI-Dalam System Hukum Indonesia. Bandung:
Rafika Aditama;
Soerjowinoto, Petrus. 2014. Pedoman Metode Penulisan Hukum. Semarang : Fakultas
Hukum dan Komunikasi Unika Soegijapranata;
Peraturan:
European Union 2016/679 GDPR (General Data Protection Regulation) . https://eur-
lex.europa.eu/legal-content/EN/TXT/?uri=CELEX%3A32016R0679
European Union Directive 95/46/EC - The Data Protection Directive. https://eur-
lex.europa.eu/LexUriServ/LexUriServ.do?uri=CELEX%3A31995L0046%3Aen%3AHTML
Undang-Undang No.19 tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Informasi
dan Transaksi-Elektronik No.11 tahun 2008;
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik.
https://www.anri.go.id/assets/download/97UU-Nomor-11-Tahun-2008-Tentang-Informasi-
dan-Transaksi-Elektronik.pdf;
Jurnal:
Aswari. Aan. Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Harmonisasi
Hukum Hak untuk Dilupakan bagi Koran Digital terhadap Calon Mahasiswa Kanun Jurnal
Ilmu Hukum Aan Aswari, Andika Prawira Buana, Farah Syah Rezah Vol. 20, No. 1, . April,
2018.
www.jurnal.unsyiah.ac.id/kanun/article/view/9656;
Mario Costeja. 2014. Case C-131/12, Google Spain SL, Google Inc. v. Agencia
Española de Protección de Datos (AEPD), Mario Costeja. González. http://eur-
lex.europa.eu/legal-content/EN/TXT/HTML/?uri=CELEX:62012CJ0131&rid=14.
M M Vijfvinkel. 2016. “Technology and the Right to be Forgotten”, Master’s
Thesis, Computing Science, Radboud University
Nijmegen.https://www.ru.nl/publish/pages/769526/z_thesis_markvijfvinkel.pdf

Internet:
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt586219e8e529d/mengenal-iright-to-be-forgotten-
i-oleh--mohammad-iqsan-sirie-.
http://eur-lex.europa.eu/legal-content/EN/TXT/HTML/?uri=CELEX:62012CJ0131&rid=14.
Guestpost,” Hak Untuk Dilupakan: Manfaat Perlindungan dan Potensi Penyalahgunaan”,
https://dailysocial.id/post/hak-untuk-dilupakan.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt586219e8e529d/mengenal-iright-to-be-forgotten-
i-oleh--mohammad-iqsan-sirie-. 2016.
https://tirto.id/tak-terlupakan-dengan-hak-untuk-dilupakan-bZHi.
http://europa.eu/rapid/pressReleasesAction.do?reference=SPEECH/10/327
http://harian.analisadaily.com/opini/news/pasca-revisi-uuite/333553/2017/03/13.
https://tirto.id/jejak-digital-barang-berharga-yang-dilupakan-cCP7.
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt585783c080c40/right-to-be-forgotten-dalam-uu-
ite
https://badanpendapatan.riau.go.id/home/hukum/8495315769-doc-20170202-wa0015.pdf

Anda mungkin juga menyukai