Calvin Pradono
cleopascalvin@yahoo.com
Abstrak
Eropa.” Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbandingan antara pengaturan
hukum hak untuk dilupakan di Indonesia, dalam hal ini Undang-Undang No.19 Tahun
2016 tentang perubahan atas Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik, dan Uni Eropa yaitu The EU Proposal Directive 95/46/EC- The
Data Protection Directive dan General Data Protection Regulation (GDPR).
Saran Penulis berkaitan dengan hal di atas adalah (1) dilakukan perbaikan mengenai
pemahaman Hak untuk dilupakan sehingga lebih sempit, jelas, dan tidak multitafsir, (2)
diperlukan pengkategorian Informasi dan Data apa saja yang berhak dilakukan penghapusan
apakah data tersebut tergolong kategori Publik atau kategori Pribadi, (3) diperlukannya
penggolongan penyelenggara sistem elektronik baik dari provider, search engine, maupun
kewenangan kominfo dalam penghapusan Informasi.
Kata Kunci: Perbandingan Hukum, Hak untuk dilupakan, UU ITE, The Eu Directive, General
Data Protection Regulation.
A. Latar Belakang
Pada masa globalisasi ini, arus informasi yang mengalir melalui internet sangatlah
deras juga tanpa batas ke segala penjuru dunia. Bahkan dapat dikatakan segala informasi
dan pengetahuan yang ada di dunia ini dapat dengan mudah didapatkan melalui internet
dalam waktu yang singkat. Dalam konteks Indonesia, penyebaran internet memiliki
2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
setiap konsumen yang menggunakan akses internet di Indonesia dari hal-hal yang dapat
merusak serta melindungi hak-hak para pengguna Internet dari ancaman cybercrime atau
Tindak Pidana Informasi dan Transaksi Elektronik. Tetapi dalam beberapa hal, UU ITE
masih memiliki kelemahan. Salah satu kelemahan yang masih diperdebatkan hingga kini
adalah pengaturan mengenai hak untuk dilupakan yang dituangkan dalam Pasal 26 ayat (3)
dan (4).
Melihat isi pasal tersebut, terdapat beberapa poin yang perlu diperhatikan terkait
ke pengadilan setempat;
3. Apabila telah terdapat penetapan pengadilan yang mengabulkan permohonan
Ketentuan ini menjadi menarik untuk dicermati karena sistem yang diterapkan oleh
pemerintah Indonesia agak sedikit berbeda dengan konsep hak untuk dilupakan yang
sejauh ini sudah berjalan di beberapa negara lainnya khususnya di wilayah Uni Eropa.
Konsep yang sejauh ini berjalan di negara-negara tersebut adalah informasi elektronik
dan/atau dokumen elektronik hanya dihapuskan dari hasil pencarian search engine atau
mesin pencari, namun tidak dihapuskan dari sumber asalnya. Contohnya dapat kita lihat
dalam kasus Costeja yang menjadi awal mula dari ketentuan hak untuk dilupakan ini.
Mario Costeja Gonzales adalah seorang warga Spanyol yang merasa pemberitaan
mengenai suatu hutang di masa lalunya sudah tidak relevan lagi untuk diberitakan, sebab
Google supaya menghapus seluruh tautan pemberitaan tersebut dari search result sebagai
wujud haknya untuk dilupakan atau dihilangkan terutama tentang informasi pribadi masa
lalunya. Google membela diri dari permintaan tersebut sebab mereka ingin menjadi
platform informasi yang bersifat netral. Namun Google kalah dan ini menjadi preseden
1
27 December 2016,http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt586219e8e529d/mengenal-iright-to-be-
forgotten-i-oleh--mohammad-iqsan-sirie-.
1. Meminta surat kabar La Vanguardia menghapuskan berita terkait dirinya yang
2. Meminta Google Spain dan Google Inc untuk menghapuskan tautan yang terkait
dengan berita tersebut. Permohonan tersebut diajukan karena berita yang dimuat
oleh La Vanguardia terjadi lebih dari satu dekade yang lalu dan sudah tidak
relevan lagi dengan kondisinya sekarang. Namun, setiap Mr. Costeja mencari
namanya melalui mesin pencari, tautan ke artikel berita tersebut selalu muncul.
Vanguardia tetap dapat diakses namun Google harus menghapuskan tautan ke berita
tersebut dari hasil mesin pencarinya. Google lalu membawa kasus ini sampai ke
penting dari ECJ dapat dilihat dalam putusannya, yang menyatakan “setiap individu
memiliki hak – dalam kondisi tertentu – untuk meminta mesin pencari menghapuskan
tautan yang mengandung informasi pribadi mereka. Hal ini berlaku ketika informasi
tersebut sudah tidak akurat, tidak lengkap atau berlebihan dalam tujuan pengolahan
data2”.
yang masih tergolong muda, tetapi juga hak ini dapat dimanfaatkan untuk
kejahatan fisik di masa lalu dan secara psikologis subjek tersebut dapat mengulang
kembali, sehingga ini juga dianggap krusial jika tidak benar-benar di review lebih
seseorang agar korban yang pernah menjadi tersangka suatu kasus yang diadili tetapi
tersebar luas kembali di internet, dapat dipulihkan nama baiknya. Misalnya subjek
yang menjadi korban dari revenge porn (menyebarkan file bermuatan pornografi
tentang dirinya didasarkan balas dendam, biasanya dilakukan oleh orang yang putus
hubungan setelah masa pacaran) karena direkam oleh pasangannya saaat melakukan
hubungan intim atau perbuatan asusila, dapat menggunakan hak ini untuk
internet agar korban dapat menjalani kehidupan normal kembali. Namun, tidak semua
permintaan akan dikabulkan dan sesuai dengan prinsip hak untuk Dilupakan.
Beberapa syarat harus dipenuhi adalah: tautan yang ingin dihapus dari mesin pencari
haruslah tidak akurat, tidak relevan, atau informasi pelintiran yang dilebih-lebihkan.
Meskipun demikian, hak untuk dilupakan bukanlah jenis hak yang absolut.
dipertahankan, salah satunya adalah hak kebebasan berekspresi dan kebebasan pers3.
Peraturan mengenai atau hak untuk dilupakan di Indonesia ini memang belum
terdengar familiar bagi masyarakat awam bahkan bagi korban tindak pidana
penyebaran konten yang bersifat pribadi sekalipun, hak untuk dilupakan sendiri juga
masih tergolong baru mengingat kasusnya yang baru terjadi pada masa globalisasi ini
disbanding hak-hak lainnya, Konsep hak untuk dilupakan sendiri mirip dengan
konsep kode etik media massa cetak tetapi yang membedakan adalah perantaranya
Berdasarkan latar belakang Ilmiah ini penulis ingin ingin melakukan penulisan
3
Wan Ulfa Nur Zuhra,31 Oktober 2016,https://tirto.id/tak-terlupakan-dengan-hak-untuk-dilupakan-bZHi.
(berdasarkan Pasal 26 ayat (3) dan (4) UU ITE) dan hak untuk dilupakan Uni Eropa
fungsi praktis yang terkandung dalam memperoleh data dan informasi di dunia maya
technology) memegang peran penting, baik di masa kini maupun di masa mendatang.
Teknologi informasi diyakini membawa keuntungan dan kepentingan yang besar bagi
negara-negara di dunia. Setidaknya ada dua hal penting dalam memacu pertumbuhan
produk teknologi informasi itu sendiri, seperti komputer, modem, sarana untuk
teknologi informasi telah berhasil memicu dan memacu perubahan tatanan kebutuhan
facebook,twitter,whatsapp, dan media sosial yang serupa. Hal ini dinilai lebih efektif
dan efisien dalam memberikan informasi pada masa ini daripada melalui media koran
maupun televisi.
Sebagai akibat dari perkembangan yang demikian, maka secara lambat laun,
teknologi informasi dengan sendirinya juga telah mengubah perilaku masyarakat dan
4
Agus Rahardjo,2002,Cybercrime-Pemahaman dan upaya pencegahan kejahatan berteknologi, Bandung: Citra
Aditya Bakti, hal.1
peradaban manusia secara global. Di samping itu, perkembangan teknologi Informasi
dikatakan teknologi informasi saat ini telah menjadi pedang bermata dua, karena
tersebut, maka ruang lingkup hukum harus diperlukan untuk menjangkau perbuatan-
maka lahirlah suatu rezim hukum baru yang dikenal dengan hukum siber (cyber law),
telekomunikasi, hukum media, dan hukum informatika. Istilah lain yang juga
dunia maya (virtual world law) dan hukum maya. Istilah-istilah tersebut lahir
mengingat kegiatan yang dilakukan melalui jaringan sistem komputer dan sistem
komunikasi baik dalam lingkup lokal maupun global (internet) dengan memanfaatkan
teknologi informasi berbasis sistem komputer yang merupakan sistem elektronik yang
dapat dilihat secara virtual. Permasalahan hukum yang sering kali dihadapi adalah
ketika terkait dengan penyampaian informasi dalam hal pembuktian dan hal yang
5
Ahmad Ramli, Cyber Law Dan HAKI-Dalam System Hukum Indonesia,Bandung: Rafika Aditama, 2004, hal.
1.
terkait dengan perbuatan hukum yang dilaksanakan melalui sistem elektronik.6 Suatu
baru di bidang itu juga bermunculan, misalnya kejahatan manipulasi data, spionase,
dilibatkan sebagai pelaku disaat infornasi pribadinya tersebar luas dan banyaknya
protes yang dilayangkan terhadap pengadilan karena meski korban tersebut sudah
menjalani masa hukuman dan rehabilitasi tetapi informasi pribadi dirinya yang sudah
tidak relevan dengan keadaannya sekarang masih tercantum jelas pada mesin
eskalatif yang cukup tinggi. Pemerintah dengan perangkat hukumnya belum mampu
Perbuatan melawan hukum atau tindak pidana dalam dunia cyber sangat tidak
mudah diatasi dengan hanya mengandalkan hukum positif yang konvensional 8 karena
berbicara mengenai kejahatan, tidak dapat dilepaskan dari lima faktor yang saling
berkaitan satu sama lain, yaitu pelaku kejahatan, modus kejahatan, korban kejahatan,
reaksi sosial atas kejahatan dan hukum. Hukum memang menjadi instrumen penting
6
Republik Indonesia, Penjelasan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik, paragraf 2.
7
Agus Rahardjo, Op.Cit., hal.213.
8
Ahmad Ramli, Op.Cit, hal.5
lain yang tidak kalah penting, akan tetapi, untuk membuat suatu ketentuan hukum
terhadap bidang hukum yang berubah sangat cepat, seperti teknologi informasi ini
bukan merupakan perkara yang mudah untuk diatasi terutama jika kerugian nya
berupa barang virtual. Disinilah sering kali hukum (peraturan) tampak cepat tertinggal
dan menjadi usang manakala mengatur bidang yang mengalami perubahan yang
sangat cepat, sehingga situasinya seperti terjadi kekosongan hukum (vaccum rechts).
kekosongan hukum.9
redaksi undang-undang hanya membuat suatu moment opname belaka terhadap suatu
segi pergaulan sosial, maka di kemudian hari sudah pasti tentunya rumusan undang-
statis.10
terjadi jika digunakan metode penafsiran yang dikenal dalam ilmu hukum dan ini
yang mestinya dipegang oleh aparat penegak hukum dalam menghadapi perbuatan-
perbuatan berdimensi baru yang secara kusus belum diatur dalam undang-undang.
Persoalan menjadi lain jika ada keputusan politik untuk menetapkan cybercrime
lainnya. Sayangnya dalam persoalan mengenai penafsiran ini, para hakim belum
sepakat mengenai kategori beberapa perbuatan. Misalnya carding, ada hakim yang
menafsirkan masuk dalam kategori penipuan, ada pula yang memasukan dalam
Untuk mengatasi hal tersebut diatas, jelas diperlukan tindakan legislatif yang
overlegistate, yang pada gilirannya justru akan membawa dampak negatif, baik di
Pada awalnya, terdapat dua pendapat mengenai perlu tidaknya undang-undang yang
a. Pertama, kelompok yang mengatakan bahwa sampai hari ini belum ada
perundangan yag mengatur masalah cybercrime, karena itu jika terjadi tindakan
kriminal di dunia cyber khususnya dalam perdagangan jual beli barang online dan
berita-berita hoax yang tersebar di online social media, maka sangat sulit bagi
aparat penegak hukum untuk menjerat pelakunya. Pendapat ini diperkuat dengan
banyaknya kasus cybercrime yang tak dapat dituntaskan oleh sistem peradilan
kita. Persoalannya berdasar pada sulitnya mencari pasal-pasal yang dapat dipakai
b. Kedua, mereka yang beranggapan bahwa tidak ada kevakuman hukum. Mereka
yakin, walau belum ada undang-undang yang secara khusus mengatur cybercrime
para penegak hukum dapat menggunakan ketentuan hukum yang sudah ada.
keputusan pengadilan.
11
Agus Rahardjo, op.cit. hal. 96.
12
Muladi dan Barda,2007,Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung: Alumni ,hal. 40.
13
Magdalena dan Maswigrantoro Roes Setyadi,2008, Cyberlaw Tidak Perlu Takut, Yogyakarta: Andi, hal.82.
Namum akhirnya pada Maret 2008 disahkanlah Undang-undang Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik oleh Pemerintah dan
mengalami perubahan pada tahun 2016 menjadi Undang-Undang No.19 Tahun 2016.
pidana yang sebelumnya bukanlah tindak pidana melalui beberapa terobosan dan
perluasan dalam hal asas-asasnya beserta sanksi pidananya. Selain aturan pidana
substantif, dalam undang-undang ini juga mengatur mengenai prosedur dan alat bukti
yang mengalami perluasan, yaitu dimasukkannya alat bukti baru yang berkaitan
dengan media elektronik berikut juga dengan penambahan hak untuk dilupakan bagi
pelaku maupun korban dari kasus hukum UU ITE yang berguna sebagai rehabilitasi.
elektronik ini jika ditinjau dalam perspektif kebijakan pidana, secara umum dalam
hal perumusan tindak pidana, perumusan sanksi pidana dan prosedur atau mekanisme
sistem peradilan pidana. Ada beberapa hal yang diatur dan patut mendapat perhatian,
1. Pertama, dalam hal perumusan tindak pidana. Secara umum undang-undang ini
KUHP yang diperluas pada dunia maya, Di samping itu, juga terdapat tindak
2. Kedua, dalam hal perumusan sanksi pidana. Secara umum dalam undang-undang
ini menggunakan sanksi pidana berupa penjara dan denda yang lebih berat
Pemberatan pidana dikenakan terhadap korporasi yang menjadi pelaku, juga jika
sasaran kejahatannya merupakan lembaga/ instansi pemerintah. Demikian pula
dikenakan pemberatan sanksi pidana, tetapi meskipun sanksi lebih berat dari
KUHP, pada perubahan UU ITE terbaru ini terdapat penurunan sanksi daripada
UU ITE sebelumnya.
3. Ketiga, dalam hal prosedur sistem peradilan pidana. Undang-undang ini mengatur
masalah prosedur penyidikan saja. Dalam hal ini terdapat beberapa hal yang
diakuinya alat bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah di persidangan dan
diatur juga mengenai penyidikan terhadap cybercrime. Selain itu, juga terdapat
untuk dilupakan atau Right to be Forgotten pada Pasal 26 ayat (3) dan (4).
Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ini merupakan tahap yang
pelaku perbuatan terlarang itu (baik berupa pidana atau tindakan) dan sistem
penerapannya;
kejahatan teknologi informasi (cybercrime) dalam Undang-Undang ITE ini harus pula
difokuskan pada ketiga hal tersebut dalam Undang-Undang ini, diharapkan dapat
kriminalisasi cybercrime dalam UU ITE yang perlu diperhatikan oleh aparat penegak
hukum cyber konsep ini sendiri lahir dari keinginan untuk mengembalikan fungsi
kontrol atas informasi pribadi yang beredar di internet kepada pribadi masing-masing
orang.
A. Revisi UU ITE No.19 tahun 2016 memang mengambil Konsep Hukum hak untuk
dilupakan yang ada di Uni Eropa tepatnya berdasarkan putusan costeja (yang
bertumpu pada European Union Directive {piagam Uni Eropa} 95/46 EC mengenai
Proteksi Data) dan hak untuk dilupakan yang tercantum pada pasal 17 GDPR
14
Muladi dan Barda, op.cit., hal 159.
Forgotten mengenai kewenangan, mekanisme penghapusan, hak subjek pemilik
B. Dalam Revisi UU ITE No.19 Tahun 2016 sendiri pengaturan hak untuk dilupakan
dibilang masih seadanya dan penafsirannya masih terlalu baku dimana pengecualian
dijelaskan dan hal ini menimbulkan Pro kontra terutama pada dunia Jurnalistik
dimana dapat dimanfaatkan oleh elit-elit politik untuk menghapus riwayat buruk
profesinya, meskipun pada sisi baiknya penerapan hak untk dilupakan pada UU ITE
dihapus akses terhadap informasi elektronik pribadinya yang dianggap tidak relevan
C. Meskipun konsep hak untuk dilupakan di Indonesia masih jauh penafsirannya dengan
yang ada di Uni Eropa yang awalnya hak ntuk dilupakan pada UU ITE ini merupakan
akhirnya ditetapkan dan dicantumkan dalam Revisi UU ITE No.19 tahun 2016
D. Perlindungan data pribadi dengan pencemaran nama baik itu sendiri (defamation)
adalah dua hal yang jauh berbeda. Bila perlindungan data pribadi itu adalah informasi
yang betul tentang seseorang tetapi tidak boleh diekspos karena melanggar
kenyamanannya. Sedangkan, kalau defamation itu adalah informasi yang tidak benar
E. Sumbangan yang dapat diberikan kepada Indonesia adalah Konsep hak untuk
elektronik yang memegang kendali langsung atas suatu konten tertentu biasanya
F. Unsur hukum asing yang harus diadopsi hak untuk Dilupakan pada revisi UU ITE
No.19/2016 ini juga mengenai jenis data apa saja yang bisa dan tidak bisa
mengenai data-data yang ada apakah termasuk dalam kategori data pribadi atau data
yang bisa diakses publik, dengan adanya rumusan mengenai putusan pengadilan
penghapusan informasi elektronik hak untuk dilupakan ini, juga akan menyulitkan
publik untuk mengakses rekam jejak calon kontestan politik yang akan mereka pilih,
sebab ada potensi mereka juga akan menghilangkan sebagian rekam jejaknya
profesinya di masa lalu misalnya kasus korupsi yang pernah dilakukan pejabat atau
elit politik dalam lingkungan pemerintahan di masa lalu atau kasus perbuatan
melawan hukumnya, hal ini juga dapat membuat generasi muda yang menjadi pemilih
tidak tahu apakah calon elit yang akan dipilih benar-benar bersih atau dibersihkan dari
riwayat buruknya oleh pengadilan karena rumusan hak untuk dilupakan ini sehingga
menurut saya sebagai penulis skripsi ini pengaturan hak untuk dilupakan di Indonesia
ini masih sangat banyak kekurangan dari segi pemahaman dan pendidikan kepada
masyarakat yang masih awam terhadap rumusan hak untuk dilupakan ini.
D. Kesimpulan
sebagai berikut:
1. Perbandingan hak untuk dilupakan di Indonesia dan Uni Eropa terdiri dari:
penghapusan;
kerugian.
pengadilan.
d) Mekanisme Penghapusan:
informasi.
g) Pengecualian Penghapusan:
berekspresi dan juga hak atas informasi publik, dan juga jika
lebih lanjut.
Hukum.
kehidupan/aktivitas seksual
E. SARAN
lebih sempit dan tidak multitafsir karena pada dasarnya penghapusan Data
Informasi ini menghindari fitnah yang tidak relevan kepada subjek yang
terkait dalam informasi tersebut karena berdasarkan yang ada di Uni Eropa,
Pengadilan Uni Eropa secara terang-terangan mengklarifikasi bahwa hak
untuk dilupakan tidaklah absolut dan akan selalu perlu diseimbangkan dengan
melalui putusan hak untuk Dilupakan yang ada apakah data tersebut masuk
kedalam kategori data Pribadi atau Data yang bisa diakses Publik;
dengan pasal 17 GDPR (General Data Protection Right) di Uni Eropa yang
putusan/penetapan nya tidak hanya tertuju pada pemilik Data saja tetapi juga
berimbang dan tidak mendiskreditkan pihak lain agar aturan ini tidak semata-
meliputi seluruh pengendali data dalam internet, seperti search engine dan
media digital, termasuk media sosial dan personal blog. Namun, ketentuan ini
menjadi tidak berlaku bagi search engine dan media non-Indonesia karena
kewajiban Over The Top (selanjutnya disebut OTT) agar segera membentuk
badan hukum resmi di Indonesia, hak untuk dilupakan tidak bisa diterapkan
sekarang sudah ada beberapa OTT yang terdaftar tetapi banyaknya OTT
kebingunan.
pengadilan, yang mana memakan waktu dan biaya sehingga harus dibuat
mekanisme yang lebih singkat tetapi tetap dengan penetapan pengadilan yang
tidak banyak memakan waktu dan biaya karena hal ini memiliki sisi positif
ditetapkan pengadilan.
DAFTAR PUSTAKA
Literatur:
Nawawi, Barda, 1990, Perbandingan Hukum Pidana, Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada;
Maramis, Frans, 1994, Perbandingan Hukum Pidana, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan;
Yogyakarta: Andi.;
Internet:
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt586219e8e529d/mengenal-iright-to-be-forgotten-
i-oleh--mohammad-iqsan-sirie-.
http://eur-lex.europa.eu/legal-content/EN/TXT/HTML/?uri=CELEX:62012CJ0131&rid=14.
Guestpost,” Hak Untuk Dilupakan: Manfaat Perlindungan dan Potensi Penyalahgunaan”,
https://dailysocial.id/post/hak-untuk-dilupakan.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt586219e8e529d/mengenal-iright-to-be-forgotten-
i-oleh--mohammad-iqsan-sirie-. 2016.
https://tirto.id/tak-terlupakan-dengan-hak-untuk-dilupakan-bZHi.
http://europa.eu/rapid/pressReleasesAction.do?reference=SPEECH/10/327
http://harian.analisadaily.com/opini/news/pasca-revisi-uuite/333553/2017/03/13.
https://tirto.id/jejak-digital-barang-berharga-yang-dilupakan-cCP7.
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt585783c080c40/right-to-be-forgotten-dalam-uu-
ite
https://badanpendapatan.riau.go.id/home/hukum/8495315769-doc-20170202-wa0015.pdf