Anda di halaman 1dari 64

Negara Kesatuan Republik Indonesia telah memiliki sebuah peraturan yang mengatur dan

melindungi masyarakatnya di dalam memakai dan menggunakan teknologi informasi. Salah

satu peraturan itu adalah Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik (“UU ITE 2008”). Namun, seiring dengan kemajuan teknologi yang

semakin cepat, maka Pemerintah Republik Indonesia menyadari perlu melakukan

penyesuaian terhadap UU ITE 2008 tersebut, sehingga pada tanggal 25 November 2016,

Pemerintah Republik Indonesia menerbitkan sebuah peraturan yang berisi revisi atas UU ITE

2008, yaitu Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE 2016”). Setelah

UU ITE 2016 terbit, terdapat pro dan kontra di masyarakat terkait dengan isi dari UU ITE

2016. Walaupun UU ITE 2016 tidak menghapus seluruh isi UU ITE 2008 (hanya revisi

sebagian dan/atau penambahan beberapa ketentuan), namun UU ITE 2016 telah hangat

dibicarakan oleh para ahli dan para pemangku kepentingan, seperti pers, dosen, pengacara,

anggota DPR, dll. Kami mencatat beberapa perubahan maupun perbedaan antara UU ITE

2008 dan UU ITE 2016, namun di antara perbedaan-perbedaan tersebut, ada 5 (lima) aspek

yang perlu diperhatikan, yaitu: 1. Penurunan ancaman pidana; 2. Right to be Forgotten; 3.

Hak Pemerintah untuk menghapus informasi yang melanggar ketentuan; 4. Penyadapan; 5.

Cyber Bullying. I. PENURUNAN ANCAMAN PIDANA Jika di dalam Pasal 45 juncto Pasal

27 ayat (1), ayat (2), ayat (3) UU ITE 2008, setiap orang yang mendistribusikan dan/atau

mentransmisikan informasi dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan pencemaran

nama baik diancam pidana penjara maksimum 6 (enam) tahun dan/atau denda maksimum Rp

1 (satu) miliar. Sedangkan, di dalam UU ITE 2016, pelanggaran terhadap hal tersebut di atas

diancam pidana penjara maksimum 4 (empat) tahun dan/atau denda maksimum Rp 750 (tujuh

ratus lima puluh) juta. Implikasi dari perubahan ketentuan di atas adalah penyidik tidak dapat

langsung melakukan penahanan karena dengan merujuk kepada ketentuan pasal 21 ayat (4)
KUHAP, penahanan hanya boleh dilakukan penyidik atas tindak pidana yang diancam pidana

penjara lima tahun atau lebih. II.RIGHT TO BE FORGOTTEN Indonesia merupakan negara

asia pertama yang mengimplementasikan konsep right to be forgotten. Konsep right to be

forgotten dipraktekkan pertama kali oleh Uni Eropa dan Argentina pada tahun 2006.

Pengertian Right to be forgotten Dikutip dari http://searchcontentmanageme

nt.techtarget.com/definition/Th e-right-to-be-forgotten, the right to be forgotten is the concept

that individuals have the civil right to request that personal information be removed from the

internet. (terjemahan bebas: right to be forgotten adalah konsep dimana setiap individu

mempunyai hak untuk meminta agar informasi tentang dirinya dihapus dari internet). UU ITE

2016 tidak memberikan pengertian dari right to be forgotten, namun konsep ini diatur di

dalam Pasal 26 ayat (3) UU ITE 2016, yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut: “Setiap

Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menghapus Informasi Elektronik dan/atau Dokumen

Elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan Orang yang

bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan.” Perbedaan dengan right to be forgotten

Uni Eropa Konsep right to be forgotten di [3] Indonesia berbeda dengan konsep aslinya di

Uni Eropa. Perbedaan pertama adalah Jika di Uni Eropa, penerapan right to be forgotten

adalah penghapusan data/konten seseorang pada mesin pencari (search engine) namun konten

tersebut tetap ada pada direktori milik penyelenggara sistem eletronik. Implikasinya adalah

data tersebut hanya tidak dapat ditemukan oleh orang lain/ sulit dicari di dalam mesin pencari

(search engine). Di Indonesia konsep right to be forgotten adalah penghapusan konten itu

sendiri yang wajib dilakukan oleh penyelenggara sistem elektronik atas permintaan orang

yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan. Ini berarti yang dihapus adalah konten

sumbernya/ kontennya dihapus dan tidak ada lagi. Perbedaan kedua konsep right to be

forgotten di Indonesia dan Uni Eropa adalah jenis data/informasi elektronik yang dihapus.

Jika di Uni Eropa data/informasi yang dihapus adalah informasi/ data pribadi dari diri orang
yang bersangkutan. Sedangkan konsep right to be forgotten di Indonesia lebih luas, dimana

setiap informasi dan/atau dokumen elektronik yang tidak relevan dapat dihapus. III. HAK

PEMERINTAH UNTUK MENGHAPUS INFORMASI YANG MELANGGAR

KETENTUAN Merujuk kepada Pasal 40 ayat 2a dan 2b UU ITE 2016, 2a. “Pemerintah

wajib melakukan pencegahan penyebarluasan dan penggunaan Informasi Elektronik dan/atau

Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang dilarang sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.” 2b. “Dalam melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat

(2a), Pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan kepada

Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap Informasi

Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum.” [4]

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, Pemerintah Republik Indonesia berhak dan wajib

menghapus konten dokumen dan/atau Informasi Elektronik yang melanggar hukum. Hal ini

menimbulkan kontroversi di antara masyarakat. Namun, menurut hemat kami, sebaiknya

Pemerintah segera menerbitkan peraturan pelaksana dari ketentuan ini agar tetap menjamin

kebebasan berekspresi setiap orang tanpa melanggar hak orang lain. IV. PENYADAPAN UU

ITE 2016 mengatur bahwa Informasi dan Data Elektronik diakui sebagai alat bukti yang sah.

Hal ini tercantum di dalam penjelasan Pasal 5 ayat 1 dan 2 UU ITE 2016 yang selengkapnya

berbunyi sebagai berikut: (1) “Bahwa keberadaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen

Elektronik mengikat dan diakui sebagai alat bukti yang sah untuk memberikan kepastian

hukum terhadap Penyelenggara Sistem Elektronik dan Transaksi Elektronik, terutama dalam

pembuktian dan hal yang berkaitan dengan perbuatan hukum yang dilakukan melalui Sistem

Elektronik.” Khusus untuk Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik berupa hasil

intersepsi atau penyadapan atau perekaman yang merupakan bagian dari penyadapan harus

dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas


Internet adalah tempat yang bebas bagi publik untuk menyimpan data dan mengabarkan

peristiwa. Meskipun terdapat berbagai peraturan yang berusaha untuk mengelola dan

membatasi kebebasan tersebut, pada kenyataannya, teknologi internet berkembang relatif

lebih cepat daripada ketentuan hukum dapat mengimbanginya.

Informasi yang terdapat di internet bisa dalam bentuk data yang kita unggah sendiri atau

diunggah oleh orang lain. Foto memalukan yang kita post sendiri bisa kita hapus dengan

mudah. Namun, bagaimana jika foto tersebut di-copy oleh orang lain, atau bahkan menjadi

viral atau meme, dan sulit bagi kita untuk meminta orang-orang tersebut untuk

menghapusnya satu-persatu. Bagaimana jika foto memalukan tersebut memberikan kita

ketenaran yang tidak diinginkan atau bahkan sampai mengganggu karier? Pertanyaan yang

sama berlaku bagi jenis-jenis informasi lainnya, seperti tweet, status update, maupun laporan

berita.

Setiap orang memiliki masa lalu dan mungkin kejadian-kejadian tersebut sudah tidak relevan

dengan kehidupan kita sekarang. Internet dan teknologi cloud membuat kita sulit untuk

mengubur masa lalu itu. Maka, munculnya ‘hak untuk dilupakan’ adalah perkembangan

hukum yang wajar dalam era digital ini.

Apa itu ‘hak untuk dilupakan’?


The right to be forgotten atau hak untuk dilupakan sudah menjadi perbincangan di Uni Eropa

sejak tahun 2006. Menurut Mantelero Alessandro, profesor Hukum Perdata dari Italia, hak

untuk dilupakan berangkat dari keinginan individual untuk menentukan sendiri arah

pengembangan hidup mereka secara otonom, tanpa terus-menerus dikenai stigma sebagai

konsekuensi dari tindakan tertentu yang mereka lakukan di masa lalu.

Hak ini mulai diberlakukan saat seorang warga Spanyol merasa pemberitaan mengenai suatu

hutang di masa lalunya sudah tidak relevan lagi untuk diberitakan, sebab ia telah melunasi

hutang tersebut. Ia menggugat Google supaya menghapus seluruh tautan pemberitaan

tersebut dari search result sebagai wujud haknya untuk dilupakan. Google membela diri dari

permintaan tersebut sebab mereka ingin menjadi platform informasi yang netral. Namun

Google kalah dan hak untuk dilupakan ini menjadi preseden yang berlaku terhadap seluruh

pengendali data di Uni Eropa.

Perlu dicatat bahwa dalam kasus ini, penghapusan tautan hanya dilakukan di search engine,

sementara tautannya sendiri masih bisa ditemukan di situs berita yang bersangkutan. Dengan

berlakunya hak untuk dilupakan secara menyeluruh di Uni Eropa, hak ini juga dapat

diberlakukan terhadap media berita dan media sosial.

Perdebatan soal hak untuk dilupakan sesungguhnya mendasar secara konsep dan filsafat

hukum. Ketika diturunkan menjadi diskursus antara hak untuk dilupakan versus hak

kebebasan berekspresi, hak asasi manusia dapat menjadi pedang bermata dua. Kedua hak
tersebut merupakan hak asasi manusia. Tidak sedikit yang mengkritik hak untuk dilupakan

sebagai suatu bentuk penyensoran dan penulisan ulang sejarah.

Hak untuk dilupakan vs hak atas informasi

Hak untuk dilupakan tidak sama dengan hak privasi. Hak privasi adalah hak atas informasi-

informasi pribadi yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi identitas seorang individu

dan berpotensi membahayakan keselamatan individu tersebut, seperti alamat, nomor telepon,

catatan kesehatan, dan lain-lain. Sedangkan hak untuk dilupakan berhubungan dengan

informasi akan seorang subyek di internet pada periode waktu tertentu.

Terlepas dari kontroversinya, hak untuk dilupakan dapat dimanfaatkan untuk hal-hal baik.

Korban dari revenge porn atau perbuatan asusila dapat menggunakan hak ini untuk

menghentikan, atau setidaknya membatasi, distribusi konten tentang dirinya di internet.

Remaja Gen Z atau bayi-bayi yang sudah punya akun Instagram sendiri karena orang tuanya,

yang menyesali keberadaan konten digital dirinya, juga dapat memanfaatkan hak yang sama

untuk menghapus konten tersebut.

Namun, bagaimana dengan seorang dokter yang pernah melakukan malpraktik atau

pengobatan yang sempat menjadi sorotan? Dokter itu bisa saja menggunakan hak untuk

dilupakan demi mengubur informasi soal malpraktiknya di masa lalu. Kerugian terbesar

tentunya adalah bagi konsumen yang perlu mengambil keputusan dengan informasi

menyeluruh.
Pada skala lebih kecil, jika kita pernah diberitakan melakukan tindakan kriminal atau

memiliki konten memalukan di akun atau situs publik, dan kita tidak mau informasi tersebut

mempersulit kita mencari kerja, pantaskah hak untuk dilupakan digunakan dalam hal ini?

Apakah pemberi kerja berhak untuk mengetahui informasi ini, meskipun kita merasa

informasi tersebut sudah tidak relevan?

Hak untuk dilupakan ini sudah dimanfaatkan oleh Dejan Lazic, pianis dari Uni Eropa, untuk

menghapus resensi jelek soal musiknya di internet. Penerapan hak untuk dilupakan sangat

nyata dalam kehidupan publik di internet dan berpengaruh langsung terhadap kebutuhan akan

informasi masyarakat.

Bagaimana pengaturan Hak Untuk Dilupakan dalam Perubahan UU ITE?

Oktober lalu, DPR telah mengesahkan perubahan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008

tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Salah satu perubahan itu adalah

penambahan ketentuan Pasal 26 soal perlindungan data pribadi di internet. Berdasarkan

pemberitaan Kominfo, penambahan Pasal 26 adalah:

(a) setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menghapus Informasi Elektronik yang tidak

relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan orang yang bersangkutan

berdasarkan penetapan pengadilan; dan

(b) setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menyediakan mekanisme penghapusan

Informasi Elektronik yang sudah tidak relevan.


Hingga saat ini, saya belum berhasil mendapatkan teks asli Perubahan UU ITE, sehingga

saya hanya mengandalkan pemberitaan Kominfo. Ada beberapa hal yang dapat ditanggapi:

(a) Definisi ‘tidak relevan’ terlalu rancu. Informasi apa yang masih relevan dan tidak relevan?

Apakah Perubahan UU ITE akan menjelaskan ukuran dari ‘tidak relevan’? Belajar dari

perkembangannya di Uni Eropa, perlu ada pengecualian terhadap informasi yang diunggah

sehubungan dengan kegiatan jurnalistik dan resensi karya seni, supaya hak-hak warganegara

akan informasi tetap terjamin. Pengadilan Uni Eropa secara eksplisit mengklarifikasi bahwa

hak untuk dilupakan tidaklah absolut dan akan selalu perlu diseimbangkan dengan hak-hak

fundamental warganegara, seperti kebebasan berekspresi. Pemberitaan Kominfo tidak

memperlihatkan pengecualian tersebut.

(b) Siapa yang dimaksud dengan ‘Penyelenggara Sistem Elektronik’? Berdasarkan

definisinya di UU ITE, penyelenggara yang dimaksud akan meliputi seluruh pengendali data

di internet, seperti search engine dan media digital, termasuk media sosial dan blog pribadi.

Namun, ketentuan ini menjadi tidak berlaku bagi search engine dan media non-Indonesia

karena perbedaan yurisdiksi. Jika pemerintah Indonesia tidak berhasil menggalakkan

kewajiban OTT untuk memiliki badan hukum di Indonesia, hak untuk dilupakan tidak bisa

diterapkan terhadap OTT asing.

(c) Apa yang dimaksud dengan ‘menghapus’? Apakah menghapus berarti meniadakan

tautannya saja, atau menghapus laman yang bersangkutan sekaligus?


(d) Penggunaan hak untuk dilupakan mengharuskan adanya penetapan pengadilan, yang

mana memakan waktu dan biaya. Sisi positifnya adalah Penyelenggara Sistem Elektronik

tidak bisa mengelak. Penetapan pengadilan juga memastikan hak untuk dilupakan tidak dapat

digunakan begitu saja. Di sisi lain, jika Penyelenggara Sistem Elektronik keberatan untuk

menghapus data, mereka harus melakukan upaya hukum kasasi di Mahkamah Agung. Hakim

sebagai penentu apa yang ‘relevan’ jadi memiliki beban baru untuk memahami internet,

termasuk soal integritas dan distribusi informasi di internet, serta hubungannya dengan

konteks sosial dari informasi tersebut. Ketiadaan preseden juga berpotensi mengakibatkan

penetapan hakim berbeda dari kasus ke kasus, sehingga dapat mengakibatkan ketidakpastian

hukum.

(e) Penyelenggara Sistem Elektronik wajib mengatur mekanisme penghapusan Informasi

Elektronik yang sudah tidak relevan. Akan tetapi belum jelas apakah Perubahan UU ITE akan

menentukan standar mekanisme itu. Mungkinkah hal tersebut akan diserahkan sepenuhnya ke

Penyelenggara Sistem Elektronik?

(f) Bagaimana jika Penyelenggara Sistem Elektronik menolak untuk menghapuskan

Informasi Elektronik yang bersangkutan? Apakah mereka dapat dikenakan denda atau upaya

hukum lainnya? Pemberitaan Kominfo tidak menggambarkan sanksi tersebut.

Saya turut menekankan perlu ada mekanisme tambahan supaya hak untuk dilupakan tidak

disalahgunakan oleh pemangku kepentingan. Pasal 27 ayat (3) soal penghinaan dan
pencemaran nama baik di internet cenderung dapat disalahgunakan oleh pejabat dalam

melawan kritik terhadap pemerintah. Ketentuan hak untuk dilupakan berpotensi untuk

disalahgunakan dalam konteks yang serupa.

Beberapa media nasional telah menyampaikan kekhawatiran mereka soal ‘penyensoran’ ini.

Pemerintah dan penegak hukum perlu mengimbangi kekhawatiran tersebut dengan

menentukan koridor-koridor yang jelas dalam penggunaan hak untuk dilupakan. Jika tidak,

hak untuk dilupakan hanya akan menambah pekerjaan rumah, bukannya memberikan solusi

keamanan dan kenyamanan berinternet.

Disclosure: Fallissa Putri, S.H. adalah konsultan hukum dan advokat dari Klikonsul,

konsultan hukum dan bisnis di bidang ekonomi kreatif, termasuk teknologi informasi.

Informasi lebih lanjut dapat dibaca di http://klikonsul.com


MAKALAH INDIVIDU

ANALISA UU ITE

BAIHAQI MUHAMMAD

1416100077

DOSEN:

NIKEN PRASETYAWATI, SH., MH.

WAWASAN KEBANGSAAN 22
INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER

BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau yang biasa disingkat UU ITE

merupakan Undang-Undang (UU) yang didalamnya mengatur segala hal tentang teknologi

informasi yang berlaku di Indonesia. UU ini mulai dirancang pada tahun 2003 oleh

Kementrian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) yang saat itu dijabat oleh Syamsul

Mu’arif. Kemudian UU ITE terus digodog hingga akhirnya lahirlah Undang-undang

Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang

diresmikan secara langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Panjang sekali

perjalanan UU ITE hingga akhirnya dapat bergulir sebagai konstitusi yang mengatur arus

internet yang ada di Indonesia ini.

Awal mula dirumuskan undang-undang ini adalah demi menjaga stabilitas arus

internet Indonesia dari hal-hal yang dapat merusak serta melindungi hak-hak para pengguna

Internet. Namun dalam berbagai kajian yang membahas UU ITE secara mendalam, telah

ditemukan beberapa kejanggalan yang ada dalam UU ITE serta dirasa perlu dilakukan sebuah

revisi. Banyak sekali kasus-kasus yang terjadi akibat imbas dari UU ITE yang banyak

dipertanyakan oleh para ahli. Sehingga akhirnya terjadilah revisi UU ITE pada bulan oktober

2016 dengan terdapat setidaknya 4 hal yang berubah. Namun dari revisi tersebut pun dirasa

para ahli masih belum dapat menjaga stabilitas internet Indonesia serta perlu diadakan kajian
lebih lanjut. Oleh karena itu sebagai rakyat Indonesia hendaknya ikut aktif mengawal

jalannya konstitusi yang ada ini sehingga tidak terjadi yang namanya kesewenang-wenangan

dari para pemangku jabatan.

1.2 Perumusan Masalah

Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

a) Apa yang dimaksud dengan UU ITE

b) Bagaimanakah sejarah ternemtuknya UU ITE

c) Bagaimanakah UU ITE dapat berjalan di Negara Indonesia

d) Analisa dampak UU ITE terhadap arus cyber di Indonesia

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka tujuan dari penilitian ini adalah :

a) Mengetahui UU ITE secara komperhensif

b) Mengetahui berjalannya UU ITE di Indonesia

c) Mengetahui dampak yang ditimbulkan oleh UU ITE terhadap internet di Indonesia

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :

a) Menambah wawasan akan konstitusi yang ada di Indonesia


b) Mengetahui sikap yang harus diambil dalam menghadapi UU ITE

c) Mengawal pemerintahan dalam menjalankan konstitusi yang ada

BAB II. ISI

2.1. Sejarah UU ITE

UU ITE mulai dirancang pada bulan maret 2003 oleh kementerian Negara komunikasi

dan informasi (Kominfo), pada mulanya RUU ITE diberi nama Undang-Undang Informasi

Komunikasi Dan Transaksi Elektronik oleh Departemen Perhubungan, Departemen

Perindustrian, Departemen Perdagangan, serta bekerja sama dengan Tim dari universitas

yang ada di Indonesia yaitu Universitas Padjajaran (Unpad), Institut Teknologi Bandung

(ITB) dan Universitas Indonesia (UI). Pada tanggal 5 september 2005 secara resmi Presiden

Susilo Bamgbang Yudhoyono menyampaikan RUU ITE kepada DPR melalui surat

No.R/70/Pres/9/2005. Dan menunjuk Dr.Sofyan A Djalil (Menteri Komunikasi dan

Informatika) dan Mohammad Andi Mattalata (Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia)

sebagai wakil pemerintah dalam pembahasan bersama dengan DPR RI. Dalam rangka

pembahasan RUU ITE Departerment Komunikasi dan Informasi membentuk Tim Antar

Departemen (TAD). Melalui Keputusan Menteri Komunikasi dan Informatika No.

83/KEP/M.KOMINFO/10/2005 tanggal 24 Oktober 2005 yang kemudian disempurnakan

dengan Keputusan Menteri No.: 10/KEP/M.Kominfo/01/2007 tanggal 23 Januari 2007. Bank

Indonesia masuk dalam Tim Antar Departemen (TAD) sebagai Pengarah (Gubernur Bank

Indonesia), Nara Sumber (Deputi Gubernur yang membidangi Sistem Pembayaran), sekaligus

merangkap sebagai anggota bersama-sama dengan instansi/departemen terkait. Tugas Tim

Antar Departemen antara lain adalah menyiapkan bahan, referensi, dan tanggapan dalam
pelaksanaan pembahasan RUU ITE, dan mengikuti pembahasan RUU ITE di DPR RI.

Dewan Perwakilam Rakyat (DPR) merespon surat Presiden No.R/70/Pres/9/2005. Dan

membentuk Panitia Khusus (Pansus) RUU ITE yang beranggotakan 50 orang dari 10

(sepuluh) Fraksi di DPR RI.

Dalam rangka menyusun Daftar Inventaris Masalah (DIM) atas draft RUU ITE yang

disampaikan Pemerintah tersebut, Pansus RUU ITE menyelenggarakan 13 kali Rapat Dengar

Pendapat Umum (RDPU) dengan berbagai pihak, antara lain perbankan,Lembaga Sandi

Negara, operator telekomunikasi,aparat penegak hukum dan kalangan akademisi.Akhirnya

pada bulan Desember 2006 Pansus DPR RI menetapkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)

sebanyak 287 DIM RUU ITE yang berasal dari 10 Fraksi yang tergabung dalam Pansus RUU

ITE DPR RI. Tanggal 24 Januari 2007 sampai dengan 6 Juni 2007 pansus DPR RI dengan

pemerintah yang diwakili oleh Dr.Sofyan A Djalil (Menteri Komunikasi dan Informatika)

dan Mohammad Andi Mattalata (Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia) membahas DIM

RUU ITE.Tanggal 29 Juni 2007 sampai dengan 31 Januari 2008 pembahasan RUU ITE

dalam tahapan pembentukan dunia kerja (panja). Sedangkan pembahasan RUU ITE tahap

Tim Perumus (Timus) dan Tim Sinkronisasi (Timsin) yang berlangsung sejak tanggal 13

Februari 2008 sampai dengan 13 Maret 2008. 18 Maret 2008 merupakan naskah akhir UU

ITE dibawa ke tingkat II sebagai pengambilan keputusan.25 Maret 2008, 10 Fraksi

menyetujui RUU ITE ditetapkan menjadi Undang-Undang. Selanjutnya Presiden Susilo

Bambang Yudhoyono menandatangani naskah UU ITE menjadi Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan dimuat

dalam Lembaran Negara Nomor 58 Tahun 2008. UU ITE atau Undang-Undang Informasi

dan Transaksi Elektronik akhirnya resmi dilakukan revisi pada tanggal 27 oktober 2016 serta

langsung berlaku 30 hari setelah kesepakatan tersebut, yaitu pada tanggal 28 November 2016.

Hal ini sendiri disebabkan karena seluruh fraksi di Komisi I DPR telah menyatakan
persetujuannya untuk membahas revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tersebut. Dari

persetujuan ini nantinya DPR akan membentuk Panitia Kerja untuk membahas secara rinci isi

revisi tersebut.

2.2. Konten UU ITE

Secara umum, materi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dibagi

menjadi dua bagian besar, yaitu pengaturan mengenai informasi dan transaksi elektronik dan

pengaturan mengenai perbuatan yang dilarang. Pengaturan mengenai informasi dan transaksi

elektronik mengacu pada beberapa instrumen internasional, seperti UNCITRAL Model Law

on eCommerce dan UNCITRAL Model Law on eSignature. Bagian ini dimaksudkan untuk

mengakomodir kebutuhan para pelaku bisnis di internet dan masyarakat umumnya guna

mendapatkan kepastian hukum dalam melakukan transaksi elektronik. Berikut beberapa

materi yang diatur, antara lain:

1. Pengakuan informasi/dokumen elektronik sebagai alat bukti hukum yang sah (Pasal 5

dan Pasal 6 UU ITE);

2. Tanda tangan elektronik (Pasal 11 dan Pasal 12 UU ITE);

3. Penyelenggaraan sertifikasi elektronik (certification authority, Pasal 13 dan Pasal 14

UU ITE); dan

4. Penyelenggaraan sistem elektronik (Pasal 15 dan Pasal 16 UU ITE)

5. Perbuatan yang dilarang (cybercrimes). Beberapa cybercrimes yang diatur dalam UU

ITE, antara lain:


a. Konten ilegal, yang terdiri dari, antara lain: kesusilaan, perjudian,

penghinaan/pencemaran nama baik, pengancaman dan pemerasan (Pasal 27, Pasal 28, dan

Pasal 29 UU ITE);

b. Akses ilegal (Pasal 30);

c. Intersepsi ilegal (Pasal 31);

d. Gangguan terhadap data (data interference, Pasal 32 UU ITE);

e. Gangguan terhadap sistem (system interference, Pasal 33 UU ITE);

f. Penyalahgunaan alat dan perangkat (misuse of device, Pasal 34 UU ITE)

Penyusunan materi UU ITE tidak terlepas dari dua naskah akademis yang disusun oleh dua

institusi pendidikan yakni Universitas Padjadjaran (Unpad) dan Universitas Indonesia (UI).

Tim Unpad ditunjuk oleh Departemen Komunikasi dan Informasi sedangkan Tim UI oleh

Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Pada penyusunannya, Tim Unpad bekerjasama

dengan para pakar di Institut Teknologi Bandung yang kemudian menamai naskah

akademisnya dengan RUU Pemanfaatan Teknologi Informasi (RUU PTI). Sedangkan tim UI

menamai naskah akademisnya dengan RUU Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik.

Kedua naskah akademis tersebut pada akhirnya digabung dan disesuaikan kembali oleh tim

yang dipimpin Prof. Ahmad M Ramli SH (atas nama pemerintah Susilo Bambang

Yudhoyono), sehingga namanya menjadi Undang-Undang Informasi dan Transaksi

Elektronik sebagaimana disahkan oleh DPR di tahun 2008.

Seiring dengan berjalannya waktu banyak sekali kasus-kasus yang terjadi akibat imbas UU

ITE yang dirasa para ahli perlu banyak perbaikan. Sehingga akhirnya pada tanggal 27

Oktober 2016 yang lalu, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyepakati

revisi terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (UU ITE). Revisi tersebut pun langsung berlaku tiga puluh hari setelah

kesepakatan tersebut, yaitu pada tanggal 28 November 2016 kemari. Setidaknya ada 4

perubahan yang terjadi pada revisi UU ITE kali ini, yaitu :

1. Penambahan pasal hak untuk dilupakan, yakni pasal 26. Pasal itu menjelaskan

seseorang boleh mengajukan penghapusan berita terkait dirinya pada masa lalu yang sudah

selesai, namun diangkat kembali. Salah satunya seorang tersangka yang terbukti tidak

bersalah di pengadilan, maka dia berhak mengajukan ke pengadilan agar pemberitaan

tersangka dirinya agar dihapus.

2. Durasi hukuman penjara terkait pencemaran nama baik, penghinaan dan sebagainya

dikurangi menjadi di bawah lima tahun. Dengan demikian, berdasarkan Pasal 21 KUHAP,

tersangka selama masa penyidikan tak boleh ditahan karena hanya disangka melakukan

tindak pidana ringan yang ancaman hukumannya penjara di bawah lima tahun.

3. Tafsir atas Pasal 5 terkait dokumen elektronik sebagai bukti hukum yang sah di

pengadilan. UU ITE yang baru mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan

dokumen elektronik yang diperoleh melalui penyadapan (intersepsi) tanpa seizin pengadilan

tidak sah sebagai bukti.

4. Penambahan ayat baru dalam Pasal 40. Pada ayat tersebut, pemerintah berhak

menghapus dokumen elektronik yang terbukti menyebarkan informasi yang melanggar

undang-undang. Informasi yang dimaksud terkait pornografi, SARA, terorisme, pencemaran

nama baik, dan lainnya. Jika situs yang menyediakan informasi melanggar undang-undang

merupakan perusahaan media, maka akan mengikuti mekanisme di Dewan Pers. Namun, bila

situs yang menyediakan informasi tersebut tak berbadan hukum dan tak terdaftar sebagai

perusahaan media (nonpers), pemerintah dapat langsung memblokirnya.


BAB III. ANALISA

3.1. Analisa Dampak UU ITE

Dalam era globalisasi ini arus informasi yang mengalir melalui internet sangatlah deras.

Bahkan dapat dibilang segala hal yang ada di dunia ini dapat dengan mudah didapatkan

melalui internet. Begitupun dengan maraknya gadget yang sekarang menjadi barang yang

lumrah dibawa khalayak umum. Orang-orang pun menjadi melek informasi berkat gadget,

bahkan terkadang dengan gadget seseorang dapat terlihat sangat pintar. Melalui gadget

seseorang dapat dengen mudah menyalurkan aspirasi mereka ke khalayak umum. Namun

tentu ada batasan-batasan yang harus dipatuhi sesuai dengan UU ITE yang berlaku di Negara

Indonesia ini apalagi setelah terjadi revisi terbaru.

Revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE, yang akan mulai

berlaku pada Senin 28 November 2016, tampaknya masih mengundang kontroversi terutama

pasal pencemaran nama baik. Juru bicara Kementerian Komunikasi dan Informasi, Noor Iza,

menegaskan bahwa revisi UU ITE bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dan

perlakuan yang adil bagi para pengguna internet. Setidaknya ada beberapa analisa singkat

atas revisi UU ITE, yaitu :

1. Pasal Pencemaran Nama Baik

Salah satu revisi adalah mengatur pasal pencemaran nama baik menjadi delik aduan, yang

berarti hanya dapat diproses secara hukum jika dilaporkan oleh korban atau sesorang yang

merasa menjadi sasaran. Apabila ditilik lebih dalam dapat diambil contoh bahwa ketika ada

oarng lain diluar yang bersangkutan hendak melaporkan delik aduan, maka hal tersebut

secara UU tidak dibenarkan. Padahal dalam menyampaikan/mengadukan tindak pidana


cybercrime tentu semua orang memiliki hal yang sama, tidak melulu harus orang yang

bersangkutan atau disebut sebagai korban. Oleh karena itu pada pasal pencemaran nama baik

ini masih banyak diperdebatkan oleh para ahli hokum, banyak yang menyangkal bahwa revisi

UU tersebut masih terbilang belum matang. Akan tetapi apabila dilihat dari contoh kasus

diatas sepertinya masih butuh kajian yang lebih mendalam terkait pencemaran nama baik.

Hal terpenting yang harus dipatuhi adalah tetap berpedoman pada KUHP yang telah

dirancang sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan hal yang kontradiktif terhadap

konstitusi yang telah ada sejak awal.

2. Hukuman diringankan

Perubahan lain adalah ancaman hukuman pencemaran nama baik diturunkan dari maksimal

enam tahun menjadi empat tahun sehingga tersangka pelaku pencemaran nama baik tidak

akan ditahan. Alasannya dalam KUHP disebutkan bahwa penahanan perlu dilakukan jika

ancaman penjara di atas lima tahun.

UU ITE yang mulai diberlakukan pada 2008 telah mengundang banyak kecaman karena

dianggap membatasi publik untuk memberikan kritik. Salah satu yang menjadi korban adalah

Prita Mulyasari, yang mengkritik salah satu rumah sakit swasta melalui email pribadi yang

kemudian tersebar di dunia maya. Prita kemudian ditahan walau Pengadilan Tangerang

akhirnya membebaskannya dari pencemaran nama baik.

3. Blokir pemerintah

Lewat revisi ini, pemerintah juga diberikan kewenangan untuk memutus akses informasi

elektronik yang dianggap melanggar hukum. Berbagai ahli berpendapat bahwa ketentuan

tersebut sebenarnya sudah lama diatur dalam Peraturan Menteri Kominfo walau belum ada
undang-undang sebagai payung hukum yang menegaskan pemerintah wajib memblokir

konten negatif.

Hal-hal yang dapat diblokir itu mengacu lagi pada UU lain. Misal jikalau konten yang

diblokir terkait terorisme maka hal tersebut akan diatur dalam UU Terorisme dan yang

diperbolehkan meminta pemblokiran misalnya BNPT. Serta apabila konten yang ada terkait

dengan obat-obatan terlarang, maka akan diatur lewat UU kesehatan dan hanya BPOM serta

badan sejenisnya yang diperbolehkan meminta pemblokiran. Oleh karena itu pihak Kominfo

memiliki pekerjaan berat untuk menerapkan blokir yang tepat sasaran, adil, cepat dan

transparan. Karena apabila blokir tidak tepat sasaran tentu dapat merugikan beberapa pihak

dan menimbulkan perpecahan antar golongan.

4. Right to Be Forgotten

Selain perubahan pencemaran nama baik, revisi juga menambahkan ketentuan mengenai right

to be forgotten atau hak untuk dilupakan dengan menghapus konten informasi elektronik

yang tidak benar, berdasarkan keputusan pengadilan. Penghapusan konten ini dilakukan

untuk semua data di internet setelah dibuktikan di pengadilan karena bertujuan untuk

membersihkan nama baik seseorang. Agar konten-konten itu tidak dapat diakses, dikeluarkan

dari sistem yang terbuka atau konten-konten itu dihapus. Tidak lagi dapat di-search jadi

search engine harus menghilangkan dan juga server-server harus menutup konten-konten itu

agar tidak dapat diakses. Indonesia adalah negara pertama di Asia yang menerapkan

ketentuan right to be forgotten, namun sudah banyak diterapkan di negara-negara lain

khususnya di belahan barat.


Dengan adanya right to be forgotten ini dapat memberikan efek positif bagi korban yang

mengalami pencemaran nama baik. Karena sebelum adanya UU yang mengatur ini banyak

korban pencemaran nama baik yang citra nya tidak bisa dikembalikan seperti awal mula.

Sehingga dapat menimbulkan kerugian secara non materiil bagi korban yang terkena dampak.

Maka dari itu revisi UU yang satu ini banyak didukung oleh para ahli yang bergerak di

bidang IT. Harapannya tentu dapat membantu memperbaiki nama seseorang yang telah

tercemar namanya.

BAB IV. PENUTUP

4.1. Kesimpulan

Dari pemaparan analisa diatas dapat diambil sebuah kesimpulan bahwasannya pekerjaan

rumah dari Kominfo sangatlah berat. Hal ini sejalan dengan semakin banyaknya pengguna

internet di Indonesia sekarang. Apabila undang-undang yang diterapkan tidak berjalan seperti

seharusnya tentu akan berdampak negatif bagi banyak pihak. Sudah banyak sekali kasus

cybercrime yang terjadi di Indonesia ini. Harapannya dengan revisi UU ITE ini dapat

mengurangi tingkat kejahatan cybercrime yang terus melanda pengguna internet Indonesia.

Tentu juga dengan adanya UU ITE ini semoga tidak membatasi kebebasan berekspresi dari

rakyat Indonesia. Karena pada hakikatnya menyampaikan pendapat merupakan hak dari

seseorang. Namun perlu kita cermati bahwa Kominfo tidak akan bisa bekerja dengan sendiri

dan tentu butuh bantuan serta pengawasan dari masyarakat Indonesia. Oleh karena itu mari

kita tumbuhkan rasa peduli dalam diri kita sehingga dapat ikut mengawal berjalannya

pemerintahan yang ada secara maksimal.


4.2. Daftar Pustaka

1. Undang-Undang Republik Indonesia

2. Wikipedia : Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik

https://id.wikipedia.org/wiki/Undang-undang_Informasi_dan_Transaksi_Elektronik

3. Kitab Undang-undang Hukum Pidana

4. Sejarah Undang – Undang ITE

http://ghanchou.blogspot.co.id/2010/07/sejarah-undang-undang-ite.html

5. Revisi UU ITE membatasi kebebasan berekspresi?

http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-38124294

6. ‘Tidak ada perbaikan’ kebebasan berekspresi di Indonesia

http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/02/160224_indonesia_internet_kebeba

sanekspresi

7. Setumpuk PR pasca revisi UU ITE dijalankan

http://www.indotelko.com/kanal?c=ed&it=setumpuk-pr-pasca-revisi-uu
Google mengatakan Inggris merupakan negara peringkat ketiga di Uni Eropa yang

masyarakatnya paling banyak mengajukan permintaan agar sejumlah tautan di mesin pencari

Google dihapus.

Tercatat sebanyak 18.304 permintaan penghapusan tautan telah diajukan publik di Inggris.

Alhasil, Google menghapus 63.616 tautan di lamannya.

Berhak dilupakan

Aturan 'berhak untuk dilupakan' bermula pada 20012. Kala itu, Komisi Eropa merilis rencana

yang membuat seseorang bisa meminta agar data-data mereka di internet dihapuskan.

Perusahaan teknologi informasi, seperti Google, harus mematuhi permintaan itu, kecuali jika

mereka punya alasan yang sah secara hukum untuk menolaknya.

Kementerian Kehakiman Inggris mengklaim aturan tersebut tidak realistis dan menimbulkan

ketidakpastian.

Contoh kasus

Sebagai bagian dari laporan transparansi, Google memberikan sejumlah contoh permintaan

penghapusan tautan dari masyarakat yang disetujui.

Misalnya, penghapusan tautan berita mengenai seorang pria yang pernah diadili karena

sebuah kasus.

Tautan itu dihapus karena sesuai dengan Undang-Undang Rehabilitasi Pelanggar Hukum,

sang pria telah menjalani hukuman.

Namun, Google juga menolak beberapa permintaan penghapusan tautan.


Sebagai contoh, seorang pejabat publik Inggris yang menginginkan penghapusan tautan ke

sebuah petisi organisasi siswa yang menuntut pelengseran dirinya dari jabatan.

Lalu, ada seorang mantan pendeta Inggris yang meminta Google menghapus dua tautan

artikel tentang penyelidikan tuduhan pelecehan seksual terhadap dirinya.

Kemudian terdapat permintaan seorang dokter agar lebih dari 50 tautan artikel surat kabar

tentang kesalahan penanganan medis dihapus.

Penghapusan sejumlah tautan oleh Google ini berdampak pada hilangnya 3.353 tautan

Facebook dan 2.392 tautan YouTube di Eropa.

Berbagi berita ini Tentang berbagi


Kini, setiap orang dapat meminta agar informasi dan/atau dokumen elektronik terkait dirinya

yang sudah tidak relevan lagi untuk dapat ‘dihapuskan dari internet’ atau yang dikenal

dengan right to be forgotten.

Perlu diketahui, cakupan right to be forgotten di Indonesia bukan hanya search engine atau

mesin pencari yang harus melakukan penghapusan informasi elektronik dan/atau dokumen

elektronik, tetapi setiap Penyelenggara Sistem Elektronik. Siapa sajakah yang termasuk

Penyelenggara Sistem Elektronik?

Penjelasan lebih lanjut, silakan baca ulasan di bawah ini.

Ulasan:

Terima kasih atas pertanyaan Anda.

Pertanyaan Anda sebenarnya terkait dengan sebuah konsep yang dikenal sebagai right to be

forgotten, yang secara harafiah berarti ‘hak untuk dilupakan’. Pertanyaan ini menjadi relevan

karena Indonesia baru saja mengatur eksekusi hak ini melalui revisi Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) yang baru saja

disahkan oleh DPR pada 27 Oktober 2016 yang lalu. Kini, setiap orang dapat meminta agar

informasi dan/atau dokumen elektronik terkait dirinya yang sudah tidak relevan lagi untuk

dapat ‘dihapuskan dari internet’. Penjelasan lebih lanjut terkait right to be forgotten dapat

disimak sebagai berikut.

Konsep right to be forgotten merupakan sebuah konsep yang sedang berkembang di bidang

hukum siber, dan konsep ini sendiri lahir dari keinginan untuk mengembalikan fungsi kontrol

atas informasi pribadi yang beredar di internet kepada pribadi masing-masing orang. Konsep

ini mulai berkembang di Uni Eropa pada tahun 2010, dimana Viviane Reding, yang pada

waktu itu menjabat di European Comission, menegaskan bahwa “pengguna internet harus

memiliki kontrol efektif atas konten yang mereka bagikan secara daring dan harus memiliki

kekuasaan untuk dapat memperbaiki, menarik kembali dan menghapuskan konten tersebut

sesuai keinginannya”[1].

Indonesia sendiri mengatur eksekusi right to be forgotten ini melalui Pasal 26 ayat (3) dan (4)

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11

Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU 19/2016”). Pasal tersebut

mengatur sebagai berikut:

(3) Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menghapus Informasi Elektronik dan/atau

Dokumen Elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan

Orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan.


(4) Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menyediakan mekanisme penghapusan

Informasi dan/atau Dokumen Elektronik yang sudah tidak relevan sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

Melihat isi dari pasal tersebut, terdapat beberapa poin yang perlu diperhatikan terkait

eksekusi right to be forgotten, sebagai berikut:

1. Permohonan penghapusan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik hanya

dapat dilakukan oleh orang yang bersangkutan.

2. Permohonan penghapusan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik diajukan ke

pengadilan setempat.

3. Apabila telah terdapat penetapan pengadilan yang mengabulkan permohonan

penghapusan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik, Penyelenggara Sistem

Elektronik yang memegang kendali atas informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik

yang dimohonkan, wajib melakukan penghapusan.

4. Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menyediakan mekanisme penghapusan informasi

elektronik dan/atau dokumen elektronik.

Ketentuan ini menjadi menarik untuk dicermati karena sistem yang diterapkan oleh

pemerintah Indonesia agak sedikit berbeda dengan konsep right to be forgotten yang sejauh

ini sudah berjalan di beberapa negara lainnya khususnya di wilayah Uni Eropa. Konsep yang

sejauh ini berjalan di negara-negara tersebut adalah informasi elektronik dan/atau dokumen

elektronik hanya dihapuskan dari hasil pencarian search engine atau mesin pencari, namun
tidak dihapuskan dari sumber asalnya. Contohnya dapat kita lihat dalam Costeja Case[2],

yang merupakan landmark ruling untuk kasus right to be forgotten.

Dalam Costeja Case, Mr. Mario Costeja adalah seorang warga negara Spanyol yang

mengajukan permohonan kepada La Agencia Española de Protección de Datos (“AEPD”,

badan perlindungan data pribadi Spanyol) untuk: (1) Meminta surat kabar La Vanguardia

menghapuskan berita terkait dirinya yang terpaksa menjual asetnya karena terlilit hutang; dan

(2) Meminta Google Spain dan Google Inc untuk menghapuskan tautan yang terkait dengan

berita tersebut. Permohonan tersebut diajukan karena berita yang dimuat oleh La Vanguardia

terjadi lebih dari satu dekade yang lalu dan sudah tidak relevan lagi dengan kondisinya

sekarang. Namun, setiap Mr. Costeja mencari namanya melalui mesin pencari, tautan ke

artikel berita tersebut selalu muncul.

AEPD menolak permohonan pertama, namun mengabulkan permintaan kedua. Sehingga,

berita terkait Mr. Costeja di La Vanguardia tetap dapat diakses namun Google harus

menghapuskan tautan ke berita tersebut dari hasil mesin pencarinya. Google lalu membawa

kasus ini sampai ke European Court of Justice (“ECJ”, Pengadilan Eropa), namun ECJ dalam

pertimbangannya tetap menguatkan penetapan dari AEPD. Salah satu pertimbangan penting

dari ECJ dapat dilihat dalam putusannya, yang menyatakan “setiap individu memiliki hak –

dalam kondisi tertentu – untuk meminta mesin pencari menghapuskan tautan yang

mengandung informasi pribadi mereka. Hal ini berlaku ketika informasi tersebut sudah tidak

akurat, tidak lengkap atau berlebihan dalam tujuan pengolahan data.”[3]


Sebagai perbandingan dengan ketentuan di Indonesia, Pasal 26 ayat (3) UU 19/2016

mewajibkan seluruh Penyelenggara Sistem Elektronik untuk menjalankan penetapan

pengadilan terkait right to be forgotten ini. Berdasarkan Pasal 1 ayat (6) a UU 19/2016, yang

dimaksud sebagai Penyelenggara Sistem Elektronik adalah:

Penyelenggara Sistem Elektronik adalah setiap Orang, penyelenggara negara, Badan Usaha,

dan masyarakat yang menyediakan, mengelola, dan/atau mengoperasikan Sistem Elektronik,

baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama kepada pengguna Sistem Elektronik untuk

keperluan dirinya dan/atau keperluan pihak lain.

Sehingga, dapat dikatakan bahwa cakupan right to be forgotten di Indonesia menjadi luas

karena bukan hanya search engine atau mesin pencari yang harus melakukan penghapusan

informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik. Lebih lanjut terkait perbedaan ini dapat

dilihat di artikel berita Hukumonline 5 Alasan ICJR dan LBH Pers Tolak UU ITE Hasil

Revisi.

Dengan demikian, jika Anda ingin ‘dilupakan’ oleh internet, kini pemerintah Indonesia sudah

memfasilitasinya lewat UU ITE dan perubahannya. Namun, untuk mekanisme lebih

lengkapnya kita masih harus menunggu diterbitkannya Peraturan Pemerintah yang akan

mengatur terkait right to be forgotten ini lebih lanjut. Kami sendiri akan melakukan

pembaharuan untuk jawaban ini jika Peraturan Pemerintah yang dimaksud sudah terbit.
Sebagai referensi, Anda dapat juga membaca artikel Penerapan ‘Right To Be Forgotten’

dalam UU ITE Dinilai Tak Relevan.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

[1] Press Release, June 22, 2010, (teks lengkap dari pernyataan Reding), dapat diakses secara

daring di http://europa.eu/rapid/pressReleasesAction.do?reference=SPEECH/10/327

[2] Case C-131/12, Google Spain SL, Google Inc. v. Agencia Española de Protección de

Datos (AEPD), Mario Costeja. González (May 13, 2014), dapat diakses secara daring di

http://eur-lex.europa.eu/legal-content/EN/TXT/HTML/?uri=CELEX:62012CJ0131&rid=14.

[3] Ibid, Para 93


Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)

hasil perubahan telah resmi berlaku kemarin (28 November 2016). Di dalam perubahannya,

salah satunya diatur tentang “right to be forgotten” di Pasal 26 atau hak bagi seseorang untuk

dihapuskan informasi tentang dirinya di media internet.

Secara lengkap, isi dari Pasal 26 adalah sebagai berikut:

1. Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menghapus Informasi Elektronik yang tidak

relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan orang yang bersangkutan

berdasarkan penetapan pengadilan.

2. Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menyediakan mekanisme penghapusan

Informasi Elektronik yang sudah tidak relevan.

Ketentuan tersebut wajib dikritisi karena setidaknya beberapa alasan. Pertama, selama ini

mesin pencari (search engine) yang ada dalam internet, misalnya Google, bermanfaat untuk

mencari tahu rekam jejak (track record) seseorang atau badan hukum atau entitas yang lain.

Bagi kita sebagai warga negara, informasi atas rekam jejak seseorang, khususnya pejabat

publik, mantan pejabat, calon pejabat, badan publik maupun swasta, baik di dalam negeri

maupun internasional, sangat penting. Hal ini di antaranya untuk mengetahui bagaimana
rekam jejak yang bersangkutan dalam banyak hal, misalnya hak asasi manusia, lingkungan

hidup, dan korupsi.

Dengan adanya informasi itu, publik bisa mengetahui kualitas dan integritas yang

bersangkutan sehingga bisa dimanfaatkan, misalnya, untuk menentukan hak pilihnya dalam

pemilihan umum.

Kedua, ketentuan “right to be forgotten” tersebut bisa dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu

untuk menghapus informasi yang sifatnya menjadi hak publik untuk tahu, atau dengan kata

lain dimanfaatkan untuk menyembunyikan informasi tentang dirinya agar rekam jejak

buruknya tak bisa diakses atau tidak diketahui publik.

Dengan demikian, ketentuan tentang informasi apa yang eligible atau layak untuk

dihapuskan, harus diputuskan dengan hati-hati, cermat, dan obyektif, melalui penetapan

pengadilan.

Pada 2010, seorang warga negara Spanyol mengajukan gugatan terhadap media massa dan

Google ke Pengadilan Spanyol. Ia menggugat karena merasa bahwa privasinya terganggu

atas informasi kasus yang masih ditemukan di Google, padahal kasus itu sudah dinyatakan

selesai (resolved) beberapa tahun yang lampau, sehingga informasi yang ada di Google

tersebut sudah tidak relevan.


Ia lantas mengajukan permohonan supaya pengadilan meminta media massa dan Google

menghapus konten informasi yang telah merugikannya itu.

Pengadilan Spanyol kemudian meminta pendapat dari Pengadilan Uni Eropa, apakah

Peraturan tentang Perlindungan Data Uni Eropa 1995 berlaku untuk mesin pencari seperti

Google; apakah aturan itu berlaku untuk Google Spanyol mengingat bahwa server Google

berada di Amerika Serikat; dan apakah penggugat mempunyai hak untuk meminta agar data

dirinya dihapuskan dari Google (right to be forgotten).

Setelah berproses selama empat tahun, Pengadilan Uni Eropa dalam putusannya pada Mei

2014 menyatakan bahwa meskipun server Google ada di AS, ia terikat pada Peraturan tentang

Perlindungan Data Pribadi, karena Google mempunyai cabang di Spanyol; Google harus

mematuhi aturan tersebut; dan penggugat mempunyai hak untuk dilupakan (dalam kondisi

tertentu) dengan meminta Google menghapus informasi tentang dirinya.

Namun Pengadilan Uni Eropa menegaskan, ketentuan untuk menghapus informasi tersebut

harus memenuhi persyaratan, yaitu jika informasi tersebut tidak akurat (inaccurate), tidak

relevan (irrelevant), tidak memadai (inadequate), atau berlebihan (excessive).

Ketentuan lain yang sangat prinsipil yang ditegaskan oleh Pengadilan Uni Eropa adalah

bahwa “right to be forgotten” tidak bersifat absolut atau mutlak. Akan tetapi ia harus
seimbang dengan hak yang fundamental, yaitu hak atas informasi dan hak bagi media untuk

berekspresi.

Dengan demikian, tidak setiap informasi yang diminta untuk dihapus bisa memenuhi kriteria

right to be forgotten. Oleh karena itu, prinsip ini tidak bisa diterapkan secara umum atau

digeneralisasi, namun harus melalui asesmen kasus per kasus dengan mempertimbangkan hak

privasi seseorang dan hak publik untuk mengakses informasi.

Untuk konteks Indonesia, kebebasan untuk mendapatkan informasi yang merupakan bagian

dari HAM, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Keterbukaan Informasi

Publik, belum diimbangi dengan adanya Undang-Undang tentang Perlindungan Data Pribadi.

Padahal adanya undang-undang tersebut sangat penting agar ada keseimbangan antara

kebebasan di satu sisi dan perlindungan hak di sisi lain. Adanya perubahan atas UU tentang

ITE belum memadai, walaupun ada maksud untuk membatasi distribusi informasi yang

berpotensi merugikan hak orang lain (reputasi).

Dengan pemberlakuan UU perubahan tentang UU ITE, pemerintah harus segera merumuskan

ketentuan tentang “right to be forgotten” tersebut dengan penjabaran dan analisis yang hati-

hati dan cermat berbasis pada prinsip dan norma HAM. Pemerintah harus melibatkan

partisipasi publik dalam perumusannya agar ada proses yang transparan dan partisipatif.
Hal ini agar ketentuan tentang right to be forgotten tidak menjadi bumerang bagi hak publik

untuk tahu dan hak media untuk berekspresi serta tidak dimanfaatkan oleh pihak tertentu

untuk menyembunyikan informasi dengan motivasi menguntungkan dirinya sendiri (personal

interest) dengan mengangkangi HAM.

Proses Revisi Pengesahan Undang-undang Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

(RUU ITE) akan segera terealisasi menjadi Undang-undang, namun ada hal yang menarik

dalam penambahan pasal baru, yaitu pasal 26 mengenai "the right to be forgotten" atau Hak

Untuk Dilupakan.

Pertanyaannya adalah kenapa ada penambahan pasal baru, di pasal 26, yaitu : mengenai "the

right to be forgotten" atau Hak Untuk Dilupakan, tepatnya di pasal 26 ayat 4 berbunyi:

penyelenggara sistem elektronik wajib menghapus informasi tidak relevan yang berada di

bawah kendalinya atas permintaan orang yang bersangkutan, berdasar penetapan

Pengadilan,", mengapa demikian?

Ada peristiwa menarik yang menjadikan munculnya pasal 26 mengenai "the right to be

forgotten" atau Hak Untuk Dilupakan ini, berawal dari sebuah kasus di Spanyol, di mana

seorang pria bernama Mario Costeja, pada 2009 lalu, menggugat Google karena keberatan

namanya masih tercantum dalam hasil pencarian Google yang merujuk pada situs di sebuah
koran Spanyol tahun1998 yang mengabarkan secara detail utang Costeja hingga ia terpaksa

menjual propertinya.

Padahal, masalah hutang-piutang tersebut sudah selesai dalam beberapa tahun lalu. Dia pun

merasa hasil pencarian Google mengenai dirinya sudah tidak lagi relevan. Costeja pun

meminta harian Spanyol, La Vanguardia dan juga Google menghapus beritanya tersebut.

Namun permintaan tersebut tak diindahkan oleh La Vanguardia dan Google. Akhirnya,

Costeja mengajukan gugatan kepada Badan Perlindungan Data Spanyol dengan dalih telah

terjadi pelanggaran informasi pribadi atas dirinya.

Otoritas Spanyol memerintahkan Google untuk menghapus tautan berita pada Juli 2010.

Namun Google menolak dan membawa perkara ini ke pengadilan dengan dasar bahwa

Google tidak boleh melakukan penyensoran atas materi yang telah dipublikasikan oleh

Koran.

Pengadilan Spanyol turut menolak gugatan Google, sehingga Google membawa perkara ini

ke European Union Court of Justice. Dan, dalam putusannya pada 13 Mei 2014, pengadilan

Uni Eropa justru memenangkan tuntutan Costeja dan memerintahkan Google untuk

menghapus data pribadi yang sudah tidak relevan dan kadaluara dari hasil pencariannya.
Meski kasus ini berawal dari sebuah kasus di Spanyol dan melibatkan Google, tapi putusan

atas kasus ini juga diterapkan terhadap 28 negara anggota Uni Eropa dan seluruh mesin

pencari yang beroperasi di Negara-negara Uni Eropa termasuk Yahoo dan Bing.

Bagaimana di Indonesia ?

Di Indonesia, pasal mengenai hak untuk dilupakan merupakan pasal inisiatif Komisi I DPR

RI. Dan pemerintahpun turut menyetujui adanya pasal hak Untuk Dilupakan ini.

"Bila informasinya sudah tidak relevan, maka tidak boleh diberitakan terus menerus.

Sehingga belajar dari kasus di Spanyol, tidak apa jika kejadian tersebut hanya dijadikan

sebagai background story, yang penting tidak dipakai untuk menjatuhkan reputasi. Namun

saat ini banyak status di sosial media, ditayangkan dalam upaya menjatuhkan nama baik

seseorang, namun justru menggunakan berita lama yang sudah tidak relevan. Dengan adanya

pasal ini maka warga negara dapat terlindungi nama baiknya,"

Aturan serta mekanisme tentang Hak untuk dilupakan ini masih dibahas secara detail dalam

Peraturan Pemerintah (PP), karena harus dijelaskan ke publik secara detail, karena nantinya

dapat segera diimplementasikan.

Dalam Dunia maya atau Dunia Internet saat ini bisa menghasilkan kejahatan atau dikenal

dengan "cyber crime" sehingga lahir UU ITE. Pada awalnya UU ITE menjadi "cyber law"
bagi terjadinya "cyber crime" namun memunculkan polemik khususnya sejumlah rumusan

pasal mengekang kebebasan sipil untuk berekpresi atau berpendapat.

banyak kalangan berharap bahwa revisi UU ITE ini tidak ada lagi melakukan pengekangan

dengan mengatasnamakan pencemaran nama baik. Agar kedepan tidak ada lagi aktivis,

blogger dan orang yang mengemukakan pendapatnya diseret ke ranah hukum setelah

mengemukakan pendapatnya di sosial media, karena mengemukakan pendapat bagian dari

demokrasi, namun kita harus hormati tatanan sosial. Hukum yang berlaku harus lindungi

kepentingan sosial.

Sebahgian banyak orang yang terlibat di Dunia Internet mengemukakan bahwa Keamanan

data pribadi sangat penting sehingga antisipasi kebocoran mutlak diperlukan, sehingga

pencemaran nama baik harus diterapkan secara cermat dan profesional oleh penegak hukum.

Penggalakkan Program internet sehat dengan memutuskan konten ilegal dan sesegera

mungkin untuk disosialisasikan kepada publik.


Ini Bedanya Konsep Right to be Forgotten di Indonesia dengan Negara Lain

Di banyak negara, penerapan hak untuk dilupakan hanya sebatas pada mesin pencari (search

engine) sementara di Indonesia penghapusan langsung terhadap konten yang tidak relevan.

Secara konteks, cakupan informasi atau dokumen elektronik yang dapat dimohonkan

penghapusan di Indonesia juga lebih luas, tak hanya terkait data pribadi.

NNP/CR-21 Dibaca: 6531 Tanggapan: 0

Ini Bedanya Konsep Right to be Forgotten di Indonesia dengan Negara Lain Ilustrasi: HGW

BERITA TERKAIT

Right to be Forgotten, Lahir Prematur dalam UU ITE Baru

Era Elektronik, Era Perubahan Cara Berhukum

Setelah Diundangkan, Inilah Nomor UU ITE Baru Hasil Perubahan

Perubahan UU ITE Tidak Tetapkan Batasan “Data Pribadi”

Penerapan ‘Right To Be Forgotten’ dalam UU ITE Dinilai Tak Relevan

UU No. 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) tidak hanya mengubah ancaman pidana pada

Pasal 27 ayat (3), namun juga terdapat penambahan norma baru mengenai ketentuan hak

untuk dilupakan atau yang lebih dikenal dengan Right to be Forgotten.

Indonesia boleh bangga lantaran menjadi negara Asia pertama yang menerapkan konsep

tersebut. Konsep yang diadopsi dari negara-negara Uni Eropa ini agaknya tak akan sama
persis saat diimplementasikan. Lantas, bagaimana sebetulnya penerapan konsep ini untuk di

Indonesia?

Kepala Sub-Direktorat Penyidikan dan Penindakan Kementerian Komunikasi dan

Informatika (Kominfo), Teguh Arifiyadi menjelaskan bahwa penerapan right to be forgotten

di Indonesia akan berbeda dengan negara lain. Penghapusan konten di Uni Eropa atau Rusia

atau negara lainnya yang menerapkan hanya dilakukan sebatas dalam mesin pencari (search

engine), di Indonesia nantinya tidak akan seperti itu.

“Di Eropa maupun Argentina, yang wajib melakukan penghapusan adalah mesin pencarinya.

Itu beda the right to be forgotten di Indonesia dengan negara lain,” kata Teguh kepada

hukumonline, Senin (5/12).

Teguh menambahkan, implementasi right to be forgotten di Indonesia nantinya tidak pada

mesin pencari (search engine). Penghapusan konten yang dianggap tidak relevan berdasarkan

penetapan pengadilan langsung dilakukan oleh penyelenggara sistem elektronik yang

memegang kendali langsung atas suatu konten tertentu.(Baca Juga: Penerapan ‘Right to be

Forgotten’ dalam UU ITE Dinilai Tak Relevan)

Hal tersebut tegas disebut dalam Pasal 26 ayat (3) revisi UU ITE: “Setiap Penyelenggara

Sistem Elektronik wajib menghapus Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang

tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan Orang yang bersangkutan
berdasarkan penetapan pengadilan”. Frasa ‘berada di bawah kendalinya’ menjadi penegasan

dimana implementasi di Indonesia tidak hanya pada mesin pencari.

“Pasal 26 itu konten yang berada di bawah kendalinya. Karena tidak semua konten berada di

bawah kendali operator,” sebutnya.

Selain itu, perbedaan penerapan right to be forgotten yang lain adalah soal luasnya cakupan

informasi atau dokumen elektronik yang dapat dimohonkan penghapusan oleh seseorang.

Dalam revisi UU ITE, konten yang dapat dimohonkan penghapusan tak hanya mengenai

konten yang berkaitan dengan data pribadi, namun lebih luas dari hal itu. Apapun informasi

atau dokumen elektronik sepanjang dinilai tidak relevan, maka yang bersangkutan dapat

meminta penghapusan dengan menunggu penetapan pengadilan.

Sementara itu, Dosen Hukum Teknologi, Informasi, dan Komunikasi Fakultas Hukum

Universitas Padjajaran (FH Unpad), Sinta Dewi Rosadi menjelaskan bahwa cakupan

penerapan right to be forgotten di negara-negara Uni Eropa dilakukan secara sangat sempit,

yakni khusus pada konten yang terkait dengan data pribadi. Penerapan tersebut sejalan

dengan klasifikasi hak untuk dilupakan ini dalam rezim perlindungan data pribadi. (Baca

Juga: Era Elektronik, Era Perubahan Cara Berhukum)

“Tapi di Indonesia dimasukan dalam UU ITE padahal di RUU Perlindungan Data sudah kita

masukan sebagai salah satu prinsip dasar. Pertama, data itu sudah tidak akurat, kedua data itu
sudah tidak relevan, ketiga data itu dimunculkan secara berlebih dan tidak tepat saji. Nah, itu

seseorang boleh menghapus,” kata Sinta Rabu (7/12).

Sinta menambahkan, penerapan right to be forgotten di negara-negara Uni Eropa tidak

dengan menghapus konten dari penyedia sistem elektronik asalnya. Dalam arti, konten yang

dimintakan right to be forgotten hanya dibuat agar sulit diakses oleh siapapun apabila dicari

melalui search engine. Sedangkan, konten tersebut tetap ada atau tersimpan pada direktori

suatu sistem elektronik milik penyedia bersangkutan.

Dikatakan Sinta, implementasi right to be forgotten dalam revisi UU ITE terbaru ini agaknya

tidak mengadopsi konsep yang dilakukan negara-negara Uni Eropa dimana sangat strict

hanya pada konten perlindungan data pribadi. Ambil contoh di sejumlah negara bagian

Amerika Serikat misalnya, kelaziman regulasi negara bagian Amerika Serikat ada yang

memperluas cakupan right to be forgotten, misal untuk kasus-kasus pencemaran nama baik

(defamation).

“Amerika tidak memiliki UU Perlindungan Data Pribadi. Personal data itu konteks Uni

Eropa. Secara global, yang sudah memiliki UU Perlindungan Data Pribadi ada 105 negara.

Terakhir Turki, mereka mengadopsi pendekatan dari EU (Uni Eropa). The right to be

forgotten itu ada di EU (Uni Eropa),” papar Sinta.


Padahal, Rezim perlindungan data pribadi dengan pencemaran nama baik itu berbeda.

Perlindungan data pribadi adalah informasi yang betul tentang seseorang tetapi tidak boleh

diekspos karena melanggar kenyamanannya. Sedangkan, pencemaran nama baik itu adalah

informasi yang tidak betul biasanya berupa fitnah, kebohongan, atau menurunkan reputasi

seseorang.

“Jadi, ini memang dua rezim yang sama sekali beda. Tapi, karena ini sudah masuk dalam UU

ITE, mau tidak mau ini jadi diperluas the right to be forgotten,” ujar Sinta menyayangkan.

Mendapat kritik keras

Untuk diketahui, konsep right to be forgotten merupakan usulan dari sejumlah fraksi Komisi I

DPR sewaktu membahas revisi UU ITE. Konsep itu sempat dikritik keras oleh sejumlah LSM

salah satunya oleh Kepala Divisi Riset dan Jaringan LBH Pers, Asep Komarudin. Ia menilai

pasal 26 ayat (3) menjadi persoalan baru. (Baca Juga: 5 Alasan ICJR dan LBH Pers Tolak

UU ITE Hasil Revisi)

Menurutnya, ketentuan itu dapat menjadi alat ganda bagai pemerintah selain kewenangan lain

yakni penyaringan konten sebagaimana diatur dalam Pasal 40 revisi UU ITE. “Praktik di

Eropa, the right to be forgotten masih menjadi perdebatan serius meski implementasinya

hanya terhadap mesin pencari (search engine) dan tidak termasuk situs ataupun aplikasi

tertentu,” sebut Asep.


Anggota Komisi I DPR RI, Evita Nursanty tak menampik kalau konsep right to be forgotten

muncul belakangan dalam perkembangan di Panja Revisi UU ITE. Namun, ia menegaskan

bahwa konsep right to be forgotten bukanlah ‘pasal sisipan’ yang sengaja didorong oleh

fraksi Komisi I DPR jelang pembahasan akhir revisi UU ITE. “Dari teman PAN usul, saya

langsung dukung. Kita buat right to be forgotten,” katanya kepada Hukumonline di Kampus

UI Depok, Kamis (6/12).

Politisi PDI Perjuangan tersebut menjelaskan bahwa usulan dibahas menjelang terakhir

karena dari awal pembahasan sangat intens merumuskan pasal-pasal yang diusulkan oleh

pemerintah, misalnya mengenai penurunan ancaman pidana pada Pasal 27 ayat (3) UU ITE

yang lama. Setelah selesai, barulah kemudian usulan dari parlemen mulai coba dilontarkan

oleh sejumlah fraksi.

Arah penerapan konsep right to be forgotten sendiri, kata Evi, sebagai upaya memberikan

perlindungan bagi korban fitnah agar dihapus akses terhadap informasi elektronik yang

dianggap tidak benar sesuai penetapan pengadilan. Penghapusan semua konten dilakukan

untuk semua data yang tidak benar di internet setelah dibuktikan di pengadilan karena

tujuannya untuk membersihkan nama baik seseorang yang terbukti tidak bersalah di

pengadilan.

“Ini pasal tambahan yang disepakati DPR dan pemerintah,” tegas Evi.
Terlepas dari hal itu, konsep asal right to be forgotten sendiri yang banyak dirujuk adalah

terkait sengketa data pribadi antara Mario Costeja Vs. Google di Spanyol dimana yang

menjadi pokok sengketa adalah mengenai informasi pribadi masa lalu Mario yang

menyatakan bahwa dia bangkrut lalu menjual rumahnya lewat lelang untuk membayar

utangnya.

Beberapa waktu kemudian, ia ditolak bank ketika mengajukan pinjaman karena informasi

masa lalunya yang menjual rumah lewat lelang karena bankrut. Singkatnya, pengadilan

menyetujui sengketa tersebut dan memenangkan Mario. Lain di Indonesia lain pula di

negara-negara lain. Ketentuan mengenai perlindungan terhadap hak pribadi ini kebanyakan

diatur lewat undang-undang khusus.

Saat ini, Indonesia kebetulan mengadopsi right to be forgotten dalam UU ITE meskipun nafas

awalnya akan diatur lewat RUU Perlindungan Data Pribadi. Di beberapa negara lain,

kebanyakan diatur dalam aturan yang lebih spesifik. Sebutlah misalnya di Inggris (UK

Rehabilitation Act), Perancis (le droit a l’oubli), Jerman (Lebach decision), hingga Swiss (R.

Ag case dan X v. Journal de Geneve).

Tantangan Penerapan di Indonesia

Sejumlah tantangan diprediksi muncul saat implementasi right to be forgotten di Indonesia,

salah satunya mengenai upaya memberikan perlindungan hak pribadi seseorang terkait

informasi atau dokomen elektroniknya. Menurut Teguh, efektivitas perlindungan hak pribadi

melalui right to be forgotten tentu tidak bisa dilakukan secara maksimal.


“Dan kendala the right to be forgotten termasuk di Eropa adalah masalah Geo Blocking,” ujar

Teguh. (Baca Juga: Right to be Forgotten, Lahir Prematur dalam UU ITE Baru)

Kata Teguh, kewenangan pemutusan akses oleh Kominfo secara teknis hanya Geo Blocking,

artinya suatu konten hanya terblokir sebatas wilayah Indonesia. Apabila diakses dari luar

Indonesia, maka konten tersebut masih tetap bisa diakses. Boleh jadi, secara efektivitas tidak

terlalu berdampak namun setidaknya bisa meredam upaya akses dari siapapun agar hak

pribadi masih tetap terlindungi.

Kondisi seperti itu nyatanya terjadi di negara-negara Uni Eropa. Kata Sinta, praktik di sana

mulanya terhambat persoalan teknis saat take down suatu konten. Mayoritas perusahaan

search engine yang berasal dari luar Uni Eropa itulah yang sempat menjadi tantangan. Jalan

keluarnya, regulasi terkait perlindungan data pribadi di Eropa mengikat bahwa perusahaan

search engine sepanjang punya kantor perwakilan tunduk terhadap ketentuan right to be

forgotten.

“Dalam praktiknya di Eropa pun ini masih sulit, banyak pro dan kontranya,” kata Sinta.

Saat ini, Perusahaan search engine di Uni Eropa dianggap sebagai pengelola konten (data

controller) yang akhirnya berdampak terhadap kewajiban mereka menelaah informasi atau

dokumen elektronik yang diunggah seseorang.


“Google itu sekarang mengeluarkan namanya transparency report, dalam datanya itu ada

sudah berapa banyak informasi yang dia hapus. Setelah kejadian 2012 itu hampir puluhan

ribu (dihapus). Facebook sudah 15.260 informasi yang sudah di-take down. Search engine

sekarang mau tidak mau harus mengeluarkan transparency report bahwa dia sudah comply

dengan ketentuan the right to be forgotten,” sebut Sinta.

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt586214ee33609/ini-bedanya-konsep-iright-to-be-

forgotten-i-di-indonesia-dengan-negara-lain
utusan ini tidak memberikan semua-jelas bagi orang-orang atau organisasi untuk memiliki

konten dihapus dari web hanya karena mereka merasa nyaman. Jauh dari itu. Ini panggilan

untuk keseimbangan antara kepentingan yang sah dari pengguna internet dan hak-hak dasar

warga negara. Keseimbangan yang harus ditemukan dalam setiap kasus.

"Search engine seperti Google dan perusahaan lain yang terkena dampak mengeluh keras.

Tapi mereka harus ingat ini: data pribadi penanganan warga membawa manfaat ekonomi

yang besar kepada mereka. Itu juga membawa tanggung jawab. Ini adalah dua sisi mata uang

yang sama, Anda tidak dapat memiliki satu tanpa yang lain.

"Seperti putusan Mahkamah, reformasi berupaya keseimbangan yang adil dari hak:

memberdayakan warga untuk mengelola data pribadi mereka saat eksplisit melindungi

kebebasan berekspresi dan media. Mereka yang mencoba menggunakan gagasan

menyimpang dari hak untuk dilupakan untuk mendiskreditkan reformasi proposal bermain

palsu. Kita tidak harus jatuh untuk ini. Memang, kita harus terus bekerja keras untuk

memastikan aturan baru yang diadopsi sesegera mungkin. Eropa membutuhkan mereka

mendesak untuk menghidupkan kembali pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan

kerja. Dan perlu mereka untuk memastikan bahwa hak-hak warganya ditegakkan dan

dilindungi.

"Negosiasi reformasi perlindungan data telah berlangsung selama lebih dari dua setengah

tahun. Mereka telah membuat kemajuan yang baik. Tapi ada banyak pekerjaan yang harus

dilakukan. Kepala Negara dan Pemerintahan telah berkomitmen untuk kesimpulan cepat dari
negosiasi beberapa kali. Di Dewan Eropa pada akhir Juni, mereka menegaskan pentingnya

mengadopsi "kerangka Perlindungan Data General Uni Eropa yang kuat oleh 2015".

"Saya mendesak negara-negara anggota: menempel tujuan ini. Jadilah ambisius dan

membantu memberikan Eropa aturan perlindungan data yang dibutuhkan. Dunia tidak akan

menunggu kita.

“Dear Ladies and Gentlemen,

“Saya sangat senang berada di sini bersama Anda. Pada saat Anda mengundang saya untuk

konferensi ini, Anda pasti tidak membayangkan bahwa saya akan alamat Anda sebagai

komisaris untuk keadilan, hak-hak dasar dan kewarganegaraan. Saya juga tidak!

“Bagaimana berguna bahwa peran baru ini telah memberi saya tanggung jawab untuk sebuah

proyek besar Eropa yang sangat penting untuk Anda. Aku bisa karena hari ini memberikan

beberapa wawasan tentang seberapa jauh kita telah datang - dan apa yang kita masih

memiliki depan kita. Saya tentu saja berbicara tentang reformasi aturan Uni Eropa pada

perlindungan data pribadi.

"Komisi Eropa telah bekerja untuk, kerangka modern yang kuat untuk sementara waktu

sekarang - itu dimulai jauh sebelum Edward Snowden dan banjir wahyu mata-mata membuat
perlindungan data modis. pendahulu saya Viviane Reding berjuang keras untuk memajukan

reformasi ini, dan saya bertekad untuk melanjutkan upaya ini.

"Untungnya, Parlemen Eropa mengakui pentingnya reformasi ini sangat awal. Ini ditemukan

kompromi yang luas, mendukung usulan Komisi. Negara anggota telah lebih lambat. Tapi

mereka memiliki - terlambat - mulai bergerak maju, menyepakati sejumlah prinsip penting.

"Tapi sama seperti bekerja pada reformasi ini telah mengambil kecepatan dan urgensi,

pencela mencoba untuk melemparkan kunci pas baru dalam karya. Mereka mencoba untuk

menggunakan putusan terbaru oleh Pengadilan Eropa di sebelah kanan untuk dilupakan untuk

melemahkan reformasi kita. Mereka punya itu salah. Dan aku tidak akan membiarkan mereka

menyalahgunakan putusan penting ini untuk menghentikan kita dari membuka pasar tunggal

digital untuk perusahaan kami dan menempatkan di tempat perlindungan yang lebih kuat bagi

warga kami.

"Itulah yang saya ingin berbicara dengan Anda tentang hari ini: yang berkuasa dan

implikasinya (1), peluang reformasi perlindungan data kami akan membuat untuk bisnis (2)

dan manfaat kita semua akan menuai dari menjaga hak dasar warga negara Eropa 'untuk

perlindungan data pribadi mereka dan membangun kembali kepercayaan mereka (3).

Google dan hak untuk dilupakan: Memisahkan fakta dari fiksi


"Pertama, putusan. Ini telah menyebabkan kegemparan besar, dengan banyak kritikus

meningkatkan prospek sensor di internet. Mengklaim bahwa yang berkuasa dan implikasinya

yang mengarah ke - bahkan mendorong - pelanggaran kebebasan berekspresi dan kebebasan

media yang mengkhawatirkan banyak dari Anda. Sebagai seseorang yang telah terlibat dalam

penerbitan begitu lama, saya memahami bahwa sangat baik.

"Tapi kita tidak harus bingung dengan semua kebisingan. Sebuah analisis mabuk putusan

menunjukkan bahwa hal itu sebenarnya tidak mengangkat hak untuk dilupakan untuk "super

tepat" trumping hak-hak dasar lainnya, seperti kebebasan berekspresi.

"Apa Mahkamah benar-benar mengatakan di sebelah kanan untuk dilupakan? Dikatakan

bahwa individu memiliki hak untuk meminta perusahaan yang beroperasi mesin pencari

untuk menghapus link dengan informasi pribadi tentang mereka - dalam kondisi tertentu. Hal

ini berlaku ketika informasi tidak akurat, misalnya, atau tidak memadai, tidak relevan, usang

atau berlebihan untuk keperluan pengolahan data. Pengadilan eksplisit memutuskan bahwa

hak untuk dilupakan adalah tidak mutlak, tetapi itu akan selalu harus seimbang terhadap hak-

hak dasar lainnya, seperti kebebasan berekspresi dan kebebasan media - yang, by the way,

tidak mutlak hak baik.

"Ini berarti bahwa setiap kasus harus dinilai pada kemampuannya sendiri. Faktor yang harus

diperhitungkan meliputi jenis informasi yang bersangkutan, sensitivitas untuk kehidupan

pribadi individu dan kepentingan masyarakat dalam memiliki akses ke informasi tersebut.

Peran yang orang yang meminta penghapusan memainkan dalam kehidupan publik mungkin
juga relevan. Dan setelah semua, ini adalah tentang permintaan untuk menghapus link yang

tidak relevan atau ketinggalan jaman, bukan konten yang mereka menyebabkan.

"Singkatnya: Putusan ini tidak memberikan semua-jelas untuk orang atau organisasi untuk

memiliki konten dihapus dari web hanya karena mereka merasa nyaman. Jauh dari itu. Ini

panggilan untuk keseimbangan antara kepentingan sah pengguna internet dan hak-hak dasar

warga negara. Keseimbangan yang harus ditemukan dalam setiap kasus. Ini mungkin tidak

selalu mudah. Kadang-kadang mungkin memang sulit. Tapi tidak lebih atau kurang sulit

daripada melacak pemilik hak cipta yang dilindungi konten.

"Search engine seperti Google dan perusahaan lain yang terkena dampak mengeluh keras.

Tapi mereka harus ingat ini: data pribadi penanganan warga membawa manfaat ekonomi

yang besar kepada mereka. Itu juga membawa tanggung jawab. Ini adalah dua sisi mata uang

yang sama, Anda tidak dapat memiliki satu tanpa yang lain.

"Hal ini juga berguna dalam konteks ini untuk mengingat bahwa baik Komisi maupun

Pengadilan baru saja diciptakan hak untuk dilupakan. Sudah ada, itu diabadikan dalam

Directive Perlindungan Data Uni Eropa dari 1995. Tujuan dari reformasi yang diusulkan oleh

Komisi adalah untuk memperbarui prinsip ini dan mengklarifikasi untuk era digital -

misalnya dengan membuat jelas bahwa aturan Uni Eropa telah diterapkan oleh semua

perusahaan yang menawarkan produk dan layanan kepada konsumen Eropa, apakah mereka

berada di Uni Eropa atau di luar itu.


"Seperti putusan Mahkamah, reformasi berupaya keseimbangan yang adil dari hak:

memberdayakan warga untuk mengelola data pribadi mereka saat eksplisit melindungi

kebebasan berekspresi dan media. Tidak ada yang bisa memiliki sebuah artikel koran dihapus

dari arsip online karena mereka tidak suka isinya.

"Mereka yang mencoba menggunakan gagasan menyimpang dari hak untuk dilupakan untuk

mendiskreditkan reformasi proposal bermain palsu. Kita tidak harus jatuh untuk ini. Memang,

kita harus terus bekerja keras untuk memastikan aturan baru yang diadopsi sesegera mungkin.

Eropa membutuhkan mereka mendesak untuk menghidupkan kembali pertumbuhan ekonomi

dan penciptaan lapangan kerja. Dan perlu mereka untuk memastikan bahwa hak-hak

warganya ditegakkan dan dilindungi. Biarkan saya memberitahu Anda mengapa.

aturan perlindungan data modern: Memberikan dorongan untuk bisnis

"Anda semua tahu nilai ekonomi yang sangat besar data. Di 2011, data warga Uni Eropa

senilai EUR 315 miliar. Ini memiliki potensi untuk tumbuh hampir EUR 1 triliun 2020.

Belum sepenuhnya membuka nilai dari data, kita harus memastikan kami memiliki pasar

tunggal digital yang benar. reformasi kita tidak hanya itu. Ini adalah pembuka pasar.

"Mengapa? Karena menggantikan kerangka peraturan terfragmentasi dan rumit dengan satu

set yang jelas aturan. bisnis saat ini dihadapkan dengan 28 yang berbeda, sering bertentangan
hukum nasional. Peraturan kami akan membangun satu, hukum pan-Eropa untuk

perlindungan data. Satu hukum, tidak 28.

"Apa yang lebih, dengan reformasi kami, perusahaan akan di masa depan hanya harus

berurusan dengan satu otoritas pengawas tunggal, tidak 28. Ini akan membuatnya lebih

sederhana dan lebih murah bagi perusahaan untuk melakukan bisnis di Uni Eropa - terutama

untuk perusahaan kecil dan start-up, yang akan lebih mudah untuk masuk ke pasar baru. Dan,

seperti yang saya telah menunjukkan, reformasi akan membuat tingkat lapangan bermain

untuk industri digital Eropa: perusahaan yang berlokasi di negara-negara ketiga seperti

Amerika Serikat, saat menawarkan jasa untuk Eropa, harus bermain dengan aturan kami dan

mematuhi tingkat yang sama perlindungan data pribadi sebagai pesaing mereka di Eropa.

"Dalam pasar tunggal untuk data, aturan identik di atas kertas tidak akan cukup. Kita harus

memastikan bahwa aturan ditafsirkan dan diterapkan dengan cara yang sama di mana-mana.

Itulah mengapa reformasi kami memperkenalkan mekanisme konsistensi. keputusan individu

masih akan diambil oleh otoritas perlindungan data nasional. Tapi kita harus merampingkan

kerjasama masalah dengan implikasi untuk seluruh Uni Eropa. layanan internet atau aplikasi

smartphone tidak berhenti di perbatasan nasional. Oleh karena itu sering frustrasi bagi warga

negara dan bisnis ketika mereka dihadapkan dengan keputusan peraturan yang berbeda dan

tingkat perlindungan yang berbeda mengenai layanan yang sama atau aplikasi. Mekanisme

konsistensi adalah salah satu solusi yang kami telah dimasukkan ke dalam tempat untuk

mengatasi masalah ini.


“Kerangka baru ini juga akan menguntungkan warga, yang akan selalu dapat mengambil

keluhan mereka kepada otoritas lokal mereka. Itu akan membuat lebih mudah bagi konsumen

untuk berdiri perusahaan-perusahaan internet besar. Hanya berpikir dari siswa Austria Max

Schrems yang baru saja meluncurkan gugatan class action dengan peserta 25,000 terhadap

Facebook atas cara menangani data pengguna. Dia telah terkunci dalam pertarungan dengan

Facebook selama bertahun-tahun - dan ia telah dipaksa untuk tetap bepergian ke Irlandia

karena itu adalah di mana kantor pusat Eropa perusahaan berada. Di masa depan, orang

seperti dia akan dapat beralih ke otoritas lokal mereka.

"Reformasi perlindungan data kami adalah sebuah blok bangunan utama dari pasar tunggal

digital. Sebuah set aturan di sektor penting, yang diterapkan secara konsisten.

Pentingnya menjaga hak-hak fundamental: Membangun kembali kepercayaan warga

"Namun membuka pasar dan menciptakan peluang untuk bisnis tidak cukup. pengguna

internet harus mendapatkan kembali kepercayaan diri mereka. Hanya jika orang bersedia

memberikan data pribadi mereka akan perusahaan memetik hasil penuh pasar tunggal digital

kami.

“Dan di sini adalah masalah: pada saat ini, kepercayaan masyarakat dengan cara perusahaan

swasta menangani data mereka rendah. 92% dari Eropa prihatin tentang ponsel aplikasi
mengumpulkan data mereka tanpa persetujuan mereka. Dan 89% dari orang mengatakan

mereka ingin tahu kapan data pada smartphone mereka sedang bersama dengan pihak ketiga.

"Spionase wahyu, serta keamanan yang tinggi-profil dan pelanggaran data alasan penting

untuk kurangnya kepercayaan. reformasi perlindungan data kami memiliki bagian untuk

bermain dalam membangun kembali kepercayaan diri. Aturan baru akan menempatkan warga

kembali kontrol dari data mereka, dalam beberapa cara. Terlepas dari kanan untuk dilupakan,

akan ada hak untuk portabilitas data yang yang akan membuat lebih mudah bagi konsumen

untuk mentransfer data mereka antara penyedia layanan. Dan ketika persetujuan warga

diperlukan untuk memproses data mereka, mereka harus diminta untuk memberikan secara

eksplisit.

“Selain itu, 'privasi dengan desain' dan 'privasi dengan default' akan menjadi prinsip penting

dalam aturan perlindungan data Uni Eropa. Ini berarti bahwa perlindungan perlindungan data

harus dibangun ke dalam produk dan layanan dari tahap awal pembangunan, dan bahwa

privasi ramah pengaturan default harus menjadi norma, misalnya di jaringan sosial.

“Aspek lain yang signifikan dari reformasi adalah pendekatan baru untuk sanksi. Orang perlu

melihat bahwa hak-hak mereka ditegakkan dengan cara yang berarti. Jika sebuah perusahaan

telah melanggar aturan, ini harus memiliki konsekuensi serius. Namun sejauh ini, denda

otoritas perlindungan data Eropa bisa memaksakan sangat rendah. Untuk raksasa seperti

Google, mereka uang hanya saku.


"Kita harus serius. Dan itulah mengapa reformasi kami memperkenalkan sanksi kaku yang

bisa mencapai sebanyak 2% dari omset tahunan global perusahaan. Menunjukkan warga

bahwa kerangka perlindungan data yang kuat Uni Eropa secara efektif melindungi dan

menjunjung tinggi hak-hak mereka akan membantu membangun kepercayaan.

"Dan akhirnya, kita menempatkan di tempat perlindungan terhadap transfer internasional

terkekang data. Aturan harus memastikan bahwa data warga negara Uni Eropa akan

ditransfer ke pihak penegak hukum non-Eropa hanya atas dasar subjek kerangka hukum yang

jelas untuk judicial review.

"Reformasi kami akan dengan demikian tidak hanya membuka pasar untuk bisnis, juga akan

membantu mereka untuk menaklukkan pasar ini dengan membantu membangun kembali

kepercayaan warga. Dan semakin banyak, perusahaan mulai memahami bahwa kepercayaan

adalah kunci - misalnya, peningkatan jumlah perusahaan yang menyediakan layanan yang

memungkinkan pengguna pilihan untuk menyimpan data mereka di Eropa. perlindungan data

adalah model bisnis baru. Ini adalah titik penjualan di mana Eropa dapat membuat perbedaan.

Penutup

"Sekali lagi, bisnis sehingga bergerak lebih cepat dari mesin politik. Sudah saatnya bagi

negara-negara anggota untuk mengejar ketinggalan. Negosiasi pada reformasi perlindungan

data telah berlangsung selama lebih dari dua setengah tahun. Mereka telah membuat
kemajuan yang baik. Tapi ada banyak pekerjaan yang harus dilakukan. Kepala Negara dan

Pemerintahan telah berkomitmen untuk kesimpulan cepat dari negosiasi beberapa kali. Di

Dewan Eropa pada akhir Juni, mereka menegaskan pentingnya mengadopsi kerangka

Perlindungan Data General Uni Eropa yang kuat oleh 2015.

"Saya mendesak negara-negara anggota: menempel tujuan ini. Jadilah ambisius dan

membantu memberikan Eropa aturan perlindungan data yang dibutuhkan. Dunia tidak akan

menunggu kita. Kita tidak bisa menunda peluang yang signifikan tersebut untuk pertumbuhan

dan menjalankan risiko memiliki orang lain '- lemah - standar dipaksakan pada kami oleh

orang lain. Kami membutuhkan kerangka perlindungan data yang kuat, modern, dan kita

perlu segera. bisnis kami dan warga layak mendapatkannya. "

3
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)

hasil perubahan telah resmi berlaku kemarin (28 November 2016). Di dalam perubahannya,

salah satunya diatur tentang “right to be forgotten” di Pasal 26 atau hak bagi seseorang untuk

dihapuskan informasi tentang dirinya di media internet.

Secara lengkap, isi dari Pasal 26 adalah sebagai berikut:

1. Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menghapus Informasi Elektronik yang tidak

relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan orang yang bersangkutan

berdasarkan penetapan pengadilan.

2. Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menyediakan mekanisme penghapusan

Informasi Elektronik yang sudah tidak relevan.

Ketentuan tersebut wajib dikritisi karena setidaknya beberapa alasan. Pertama, selama ini

mesin pencari (search engine) yang ada dalam internet, misalnya Google, bermanfaat untuk

mencari tahu rekam jejak (track record) seseorang atau badan hukum atau entitas yang lain.

Jakarta, Sistem Ganjil Genap, dan Kepanikan Ahok

Read more
Bagi kita sebagai warga negara, informasi atas rekam jejak seseorang, khususnya pejabat

publik, mantan pejabat, calon pejabat, badan publik maupun swasta, baik di dalam negeri

maupun internasional, sangat penting. Hal ini di antaranya untuk mengetahui bagaimana

rekam jejak yang bersangkutan dalam banyak hal, misalnya hak asasi manusia, lingkungan

hidup, dan korupsi.

Dengan adanya informasi itu, publik bisa mengetahui kualitas dan integritas yang

bersangkutan sehingga bisa dimanfaatkan, misalnya, untuk menentukan hak pilihnya dalam

pemilihan umum.

Kedua, ketentuan “right to be forgotten” tersebut bisa dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu

untuk menghapus informasi yang sifatnya menjadi hak publik untuk tahu, atau dengan kata

lain dimanfaatkan untuk menyembunyikan informasi tentang dirinya agar rekam jejak

buruknya tak bisa diakses atau tidak diketahui publik.

Dengan demikian, ketentuan tentang informasi apa yang eligible atau layak untuk

dihapuskan, harus diputuskan dengan hati-hati, cermat, dan obyektif, melalui penetapan

pengadilan.

Titik Rawan Pilkada

Read more
Pada 2010, seorang warga negara Spanyol mengajukan gugatan terhadap media massa dan

Google ke Pengadilan Spanyol. Ia menggugat karena merasa bahwa privasinya terganggu

atas informasi kasus yang masih ditemukan di Google, padahal kasus itu sudah dinyatakan

selesai (resolved) beberapa tahun yang lampau, sehingga informasi yang ada di Google

tersebut sudah tidak relevan.

Ia lantas mengajukan permohonan supaya pengadilan meminta media massa dan Google

menghapus konten informasi yang telah merugikannya itu.

Pengadilan Spanyol kemudian meminta pendapat dari Pengadilan Uni Eropa, apakah

Peraturan tentang Perlindungan Data Uni Eropa 1995 berlaku untuk mesin pencari seperti

Google; apakah aturan itu berlaku untuk Google Spanyol mengingat bahwa server Google

berada di Amerika Serikat; dan apakah penggugat mempunyai hak untuk meminta agar data

dirinya dihapuskan dari Google (right to be forgotten).

Setelah berproses selama empat tahun, Pengadilan Uni Eropa dalam putusannya pada Mei

2014 menyatakan bahwa meskipun server Google ada di AS, ia terikat pada Peraturan tentang

Perlindungan Data Pribadi, karena Google mempunyai cabang di Spanyol; Google harus

mematuhi aturan tersebut; dan penggugat mempunyai hak untuk dilupakan (dalam kondisi

tertentu) dengan meminta Google menghapus informasi tentang dirinya.


Namun Pengadilan Uni Eropa menegaskan, ketentuan untuk menghapus informasi tersebut

harus memenuhi persyaratan, yaitu jika informasi tersebut tidak akurat (inaccurate), tidak

relevan (irrelevant), tidak memadai (inadequate), atau berlebihan (excessive).

Ketentuan lain yang sangat prinsipil yang ditegaskan oleh Pengadilan Uni Eropa adalah

bahwa “right to be forgotten” tidak bersifat absolut atau mutlak. Akan tetapi ia harus

seimbang dengan hak yang fundamental, yaitu hak atas informasi dan hak bagi media untuk

berekspresi.

Dengan demikian, tidak setiap informasi yang diminta untuk dihapus bisa memenuhi kriteria

right to be forgotten. Oleh karena itu, prinsip ini tidak bisa diterapkan secara umum atau

digeneralisasi, namun harus melalui asesmen kasus per kasus dengan mempertimbangkan hak

privasi seseorang dan hak publik untuk mengakses informasi.

Untuk konteks Indonesia, kebebasan untuk mendapatkan informasi yang merupakan bagian

dari HAM, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Keterbukaan Informasi

Publik, belum diimbangi dengan adanya Undang-Undang tentang Perlindungan Data Pribadi.

Padahal adanya undang-undang tersebut sangat penting agar ada keseimbangan antara

kebebasan di satu sisi dan perlindungan hak di sisi lain. Adanya perubahan atas UU tentang
ITE belum memadai, walaupun ada maksud untuk membatasi distribusi informasi yang

berpotensi merugikan hak orang lain (reputasi).

Dengan pemberlakuan UU perubahan tentang UU ITE, pemerintah harus segera merumuskan

ketentuan tentang “right to be forgotten” tersebut dengan penjabaran dan analisis yang hati-

hati dan cermat berbasis pada prinsip dan norma HAM. Pemerintah harus melibatkan

partisipasi publik dalam perumusannya agar ada proses yang transparan dan partisipatif.

Hal ini agar ketentuan tentang right to be forgotten tidak menjadi bumerang bagi hak publik

untuk tahu dan hak media untuk berekspresi serta tidak dimanfaatkan oleh pihak tertentu

untuk menyembunyikan informasi dengan motivasi menguntungkan dirinya sendiri (personal

interest) dengan mengangkangi HAM.

Anda mungkin juga menyukai