Anda di halaman 1dari 32

CASE REPORT

G3P2A0 Hamil 43-44 Minggu Belum Inpartu Janin Tunggal Hidup


Presentasi Kepala + Oligohidramnion

Pembimbing:
dr. M. Indrawan Yachya, Sp.OG
dr. Vonny, Sp.OG

Oleh:
dr. Nida Choerunnisa

BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DEMANG SEPULAU RAYA
PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA
LAMPUNG TENGAH
AGUSTUS 2016
BAB I
PENDAHULUAN

Kehamilan postterm merupakan kehamilan yang berlangsung lebih dari 42


minggu (294 hari) sejak hari pertama siklus haid terakhir (HPHT). (Cunningham, et al., 2010)
Kehamilan ini merupakan permasalahan dalam dunia obstetri modern karena
terjadi peningkatan angka kesakitan dan kematian bayi. Insiden kehamilan
postterm antara 4-19% tergantung pada definisi yang dianut dan kriteria yang
dipergunakan dalam menentukan usia kehamilan. (Cunningham, et al., 2010)

Penentuan usia kehamilan menjadi salah satu pokok penting dalam penegakan
diagnosa kehamilan postterm. Informasi yang tepat mengenai lamanya kehamilan
marupakan hal yang penting karena semakin lama janin berada di dalam uterus
maka semakin besar pula resiko bagi janin ataupun neonatus untuk mengalami
(Cunningham, et al., 2010)
gangguan yang berat. Diagnosa kehamilan postterm berdasarkan
hari pertama haid terakhir (HPHT) hanya memiliki tingkat akurasi ±30 persen.
(Mochtar, et al., 2004)
Kini, dengan adanya pelayanan USG maka usia kehamilan dapat
ditentukan lebih tepat, terutama bila dilakukan pemeriksaan pada usia kehamilan
6-11 minggu. (Cunningham, et al., 2010)

Sampai saat ini, masih belum ada ketentuan dan kesepakatan yang pasti mengenai
penatalaksanaan kehamilan postterm. Masalah yang sering dihadapi pada
pengelolaan kehamilan postterm adalah perkiraan usia kehamilan yang tidak
selalu dapat ditentukan dengan tepat sehingga janin bisa saja belum matur
sebagaimana yang diperkirakan. Ketidakakuratan penentuan usia kehamilan akan
menyulitkan kita untuk menentukan apakah janin akan terus hidup atau sebaliknya
mengalami morbiditas bahkan mortilitas bila tetap berada dalam rahim. (Mochtar, et al.,
2004)

Masalah lain dalam penatalaksanaan kasus kehamilan postterm adalah karena


pada sebagian besar pasien (±70%), saat kehamilan mencapai 42 minggu,
didapatkan serviks belum matang/unfavourable dengan nilai Bishop yang rendah
sehingga tingkat keberhasilan induksi menjadi rendah. Sementara itu, persalinan
yang berlarut-larut akan sangat merugikan bayi postmatur. Oleh sebab itu, masih
menjadi kontroversi sampai saat ini apakah pada kehamilan postterm langsung
dilakukan terminasi/induksi atau dilakukan penanganan ekspektatif sambil
dilakukan pemantauan kesejahteraan janin. (Mochtar, et al., 2004)
BAB II
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS
Istri Suami

Nama Ny. S Tn. W

Umur 32 thn 35 thn

Suku / Bangsa Jawa Jawa

Agama Islam Islam

Pendidikan SMP SMP

Pekerjaan IRT Petani

Alamat Kecubung, Lampung Tengah Kecubung, Lampung Tengah

Masuk RSUD 16 Juni 2016 -

Pukul : 15.12 WIB

B. ANAMNESIS
Autoanamnesis dilakukan tanggal 16 Juni 2016 pukul 19.00 WIB

I. Keluhan Utama :
Mau melahirkan dengan usia kehamilan lewat waktu

II. Keluhan tambahan :


-

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang ke RSUD Demang Sepulau Raya Lampung Tengah


dengan keluhan mau melahirkan dengan usia kehamilan lewat
bulan. Riwayat perut mules menjalar ke pinggang disangkal oleh
pasien. Riwayat keluar air-air disangkal oleh pasien. Riwayat
keluar darah lendir disangkal oleh pasien. Gerakan janin masih
dirasakan oleh pasien.
Pasien tidak mengalami trauma dalam kehamilannya, pasien juga
tidak ada riwayat demam tinggi dan alergi selama hamil, riwayat
minum alkohol dan merokok, minum obat-obatan lama disangkal.

III. Riwayat Penyakit Dahulu :


Riwayat darah tinggi, kencing manis, alergi dan asma disangkal
oleh pasien

IV. Riwayat Penyakit Keluarga :


Riwayat darah tinggi, kencing manis, alergi dan asma disangkal
oleh pasien

V. Riwayat Menstruasi :
a. Menarche : 13 tahun
b. Siklus : 30 hari (Juni 2015), 28 hari (Juli
2015), 31
hari (Agustus 2015)
c. Lama haid : 7 hari
d. Banyak : 2-3x ganti pembalut
e. Dismenorrhea : (-)
f. HPHT : 15 / 08 / 2015
g. TP : 22 / 05 / 2016

VI. Riwayat Perkawinan :


Menikah satu kali, usia perkawinan 10 tahun, status masih menikah

VII. Riwayat obstetri (kehamilan, persalinan, nifas) :


Hamil Tahun lahir Jenis Jenis Penyulit Penolong BB. Keadaan Masa
ke anak kelamin Persalinan Lahir anak Nifas

1 2001 Perempuan Aterm Tidak Dokter 2,9 kg Sehat Dbn


Pervaginam ada
spontan

2 2011 Perempuan Aterm Tidak Bidan 2,9 kg Sehat Dbn


Pervaginam ada
spontan

3 Hamil saat ini

VIII. Riwayat KB : KB IUD

IX. Riwayat Operasi : Pasien belum pernah operasi sebelumnya

X. Riwayat ANC :
Kontrol ke puskesmas 4x selama kehamilan, tidak rutin: pada
bulan September, Januari, Maret, Juni. Pasien mengaku tes
kehamilan menggunakan PP test (+) pada pertengahan bulan
september. Pasien pertama kali merasakan gerakan janin pada
bulan desember. Hamil saat ini mual (-), muntah (-), perdarahan (-),
riwayat trauma (-), riwayat infeksi (-).

XI. Riwayat Ginekologi :


Tidak ada.

XII. Kebiasaan Hidup : Merokok (-), Alkohol (-), minum obat – obatan
& jamu (-)
C. PEMERIKSAAN FISIK
I. STATUS PRESENT

a. Keadaan Umum : Sedang


Kesadaran : Compos mentis
b. Status Emosional : Stabil Labil
c. Tanda Vital
Tekanan Darah: 100/70 mmHg
Berat Badan :-
Tinggi Badan :-
Denyut Nadi : 80x/menit
Pernafasan : 20x/menit
Suhu : 36,7 oC

II. STATUS GENERALIS


Kepala : Normocephali, rambut hitam, tidak mudah rontok

Mata : Conjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, edema


palpebra -/-

THT : Sekret telinga -/-, sekret hidung -/-, tonsil tidak hiperemis,
T1 – T1

Leher : KGB tidak membesar, tiroid tidak teraba membesar.

Thorax :

 Mammae : Simetris, membesar, areola mammae


hiperpigmentasi
 Pulmo : Suara nafas vesikuler, ronki - / -, wheezing - / -
 Cor : S1-S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : Lihat status obstetri

Ekstremitas : Akral hangat (+/+), edema (-/-)

III. STATUS OBSTETRIKUS


Inspeksi : Perut tampak buncit, striae gravidarum (+), linea nigra
(+), luka bekas SC (-)

Palpasi :

a. Leopold I : TFU 3 jbpx (33 cm), teraba satu bagian besar,


lunak, bokong
b. Leopold II : Kanan : teraba bagian keras melebar seperti papan
Kiri : teraba bagian – bagian kecil janin
c. Leopold III : Teraba satu bagian besar, bulat, keras, kepala
d. Leopold IV : Bagian terbawah janin masih floating (belum
masuk PAP)
His :-
Auskultasi : DJJ 146x/menit
TBJ : (33-13) x 155 = 3100 gram
Kesan : TFU 3 jbpx (33 cm), presentasi kepala, pu-ka, DJJ
146x/menit, janin intrauterine, tunggal, hidup.

Pemeriksaan Genitalia

Inspeksi : vulva : hematome (-), oedema (-), varises (-),


hiperemis (-)

Uretra : muara (+), hematome (-), oedema (-),

Vaginal Toucher :
Portio : Tebal
Pendataran : 0%
Pembukaan :-
Ketuban : belum bisa dinilai
Bagian terendah : Kepala
Penurunan :-
Penunjuk : belum bisa dinilai
Posisi : Posterior
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Laboratorium :
Hematologi

Hb 12,5 g/dL Eritrosit 4,96 jt/uL

Ht 38,8 % GDS 104 mg/dl

Leukosit 8.600 /uL CT 2’30”


Trombosit 237.000/ uL BT 13”

HbsAg Non Reaktif

2. USG (17 Juni 2016)


Tampak janin tunggal, intra uterin, presentasi kepala, gerakan janin
(+), gerakan jantung janin (+), ketuban sedikit, kalsifikasi plasenta.

Kesan : hamil 40 minggu (BPD 9,77 cm), oligohidramnion,


kalsifikasi plasenta, JTH Preskep

D. DIAGNOSIS
G3P2A0 hamil 43-44 minggu belum inpartu Janin Tunggal Hidup
Presentasi Kepala + oligohidramnion

E. PROGNOSIS
Ibu : Dubia ad bonam
Janin : Dubia ad bonam

F. PENATALAKSANAAN
a. Observasi TVI, DJJ
b. Rencana Terminasi (SC)

Follow up

Tanggal S O A P
17/6/2016 Mules (-) Ku / Kes : TSS / G3P2A0 hamil - Observasi
7.00 Keluar darah CM 43-44 minggu TVI, DJJ
lendir (-) air-air St. Generalis : belum inpartu - IVFD RL 20
(-)  T : 110 / 80 Janin Tunggal gtt/mnt
mmHg Hidup Presentasi - R/ Terminasi
 N : 72 Kepala + (SC)
x/mnt oligohidramnion
 S : 36,7
 P : 20
x/mnt
St. Obstetri :
 Perut
tampak
buncit,
TFU 30
cm,
preskep.
 DJJ :
142x/m
 His : -

Bayi lahir secara SC langsung menangis pada tanggal 17 Juni 2016 pada pukul
13.35 WIB. Tidak ditemukan tanda-tanda postmaturitas pada bayi.

BB 3300 gram, PB 47 cm, A/S 8/9. Plasenta lahir lengkap. Anus (+)

Tanggal S O A P
18/6/2016 Nyeri luka Ku / kes : TSS / Post SC (hari 1) - IVFD RL 20
07.00 operasi (+) CM a/i postterm + gtt/mnt
St. Generalis : oligohidramnion - cefadroxil
 T : 120/80 2x500 mg
 N : 80 - metronidazole
x/mnt 3x500 mg
 S : 36,2 °C - ketorolac 1
 P : 20 x/mnt amp/8 jam
St. Puerperalis : - domperidone
 Abdo: 2x10mg
Perut tampak datar, -SF 1x1
TFU 2 JBP, NT
(-) Tympani, BU
(+) 3x/menit
 Genital:
PPV (+) 2x ganti
pembalut

19/6/2016 Nyeri luka op Ku / kes : Baik / Post SC (hari 2) - cefadroxil


07.00 << CM a/i postterm + 2x500 mg
St. Generalis : oligohidramnion - metronidazole
 T : 120/80 3x500 mg
 N : 80 - na diclofenac
x/mnt 3x50 mg
 S : 36,2 °C - domperidone
 P : 20 x/mnt 2x10mg
St. Puerperalis : - SF 1x1
 Abdo: - BLPL, kontrol
Perut tampak datar, ke poli
TFU 2 JBP, NT
(-) Tympani, BU
(+) 3x/menit
 Genital:
PPV (+) 1x ganti
pembalut

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Kehamilan Postterm

Menurut definisi yang dirumuskan oleh American College of Obstetricians


and Gynecologists (2004), kehamilan postterm adalah kehamilan yang
berlangsung lebih dari 42 minggu (294 hari) yang terhitung sejak hari pertama
siklus haid terakhir (HPHT). (Cunningham, et al., 2010)

B. Patogenesis Kehamilan Postterm


Penyebab pasti dari kehamilan postterm sampai saat ini masih belum
diketahui dengan pasti. Teori-teori yang pernah diajukan untuk menerangkan
penyebab terjadinya kehamilan postterm antara lain:

1. Teori progesteron. Berdasarkan teori ini, diduga bahwa terjadinya kehamilan


postterm adalah karena masih berlangsungnya pengaruh progesteron melewati
waktu yang semestinya. (Mochtar, et al., 2004)
2. Teori oksitosin. Rendahnya pelepasan oksitosin dari neurohipofisis wanita hamil
pada usia kehamilan lanjut diduga sebagai salah satu faktor penyebab terjadinya
kehamilan postterm. (Mochtar, et al., 2004)
3. Teori kortisol/ACTH janin. Kortisol janin akan mempengaruhi plasenta sehingga
produksi progesteron berkurang dan memperbesar sekresi estrogen. Proses ini
selanjutnya berpengaruh terhadap meningkatnya produksi prostaglandin. Pada
kasus-kasus kehamilan dengan cacat bawaan janin seperti anensefalus atau
hipoplasia adrenal, tidak adanya kelenjar hipofisis janin akan menyebabkan
kortisol janin tidak diproduksi dengan baik sehingga kehamilan berlangsung
lewat bulan. (Mochtar, et al., 2004)
4. Teori syaraf uterus. Berdasarkan teori ini, diduga kehamilan postterm terjadi pada
keadaan tidak terdapatnya tekanan pada ganglion servikalis, seperti pada kelainan
letak, tali pusat pendek, dan masih tingginya bagian terbawah janin. (Mochtar, et al., 2004)
5. Teori herediter. Pengaruh herediter terhadap insidensi kehamilan postterm telah
dibuktikan pada beberapa penelitian sebelumnya. Kitska et al (2007) menyatakan
dalam hasil penelitiannya bahwa seorang ibu yang pernah mengami kehamilan
postterm akan memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami kehamilan postterm
pada kehamilan berikutnya. Hasil penelitian ini memunculkan kemungkinan
bahwa kehamilan postterm juga dipengaruhi oleh faktor genetik. (Kistka, et al., 2007)

Adanya pengaruh genetik terhadap kehamilan postterm tersebut telah


dibuktikan pada penelitian Biggar et al (2010). Biggar et al (2010) melakukan
penelitian tentang penyebab terjadinya kehamilan postterm dan telah
membuktikan adanya pengaruh sistem imunitas terhadap inisiasi persalinan
secara spontan. Biggar et al (2010) menemukan bahwa antigen HLA A dan B
pada janin postterm lebih memiliki persamaan dengan antigen maternal-nya
dibanding janin aterm. Kemungkinan pada kehamilan postterm terjadi
“keterlambatan” sistem imunitas maternal dalam mengenali antigen paternal
yang terdapat pada sel janin yang masuk ke dalam sirkulasi maternal melalui
mikrosirkulasi transplasental, khususnya antigen HLA tipe A dan B.
Keterlambatan ini menyebabkan tertundanya proses cascade yang dibutuhkan
untuk mengawali terjadinya tahapan persalinan secara spontan. (Biggar, et al., 2010)

C. Diagnosis Kehamilan Postterm

Meskipun diagnosis kehamilan postterm berhasil ditegakkan pada 4-19%


dari seluruh kehamilan, sebagian diantaranya kenyataanya tidak terbukti oleh
karena kekeliruan dalam menentukan usia kehamilan.(Cunningham, et al., 2010)
Oleh
sebab itu, pada penegakkan diagnosis kehamilan postterm, informasi yang
tepat mengenai lamanya kehamilan menjadi sangat penting. Hal ini disebabkan
karena semakin lama janin berada di dalam uterus maka semakin besar pula
risiko bagi janin dan neonatus untuk mengalami morbiditas maupun mortalitas.
Namun sebaliknya, pemberian intervensi/terminasi secara terburu-buru juga
bisa memberikan dampak yang merugikan bagi ibu maupun janin.

1. Riwayat haid

Pada dasarnya, diagnosis kehamilan postterm tidaklah sulit untuk


ditegakkan apabila keakuratan HPHT ibu bisa dipercaya. Diagnosis
kehamilan postterm berdasarkan HPHT dapat ditegakkan sesuai dengan
definisi yang dirumuskan oleh American College of Obstetricians and
Gynecologists (2004), yaitu kehamilan yang berlangsung lebih dari 42
minggu (294 hari) yang terhitung sejak hari pertama siklus haid terakhir
(HPHT). (Cunningham, et al., 2010)

Permasalahan sering timbul apabila ternyata HPHT ibu tidak akurat


atau tidak bisa dipercaya. Menurut Mochtar et al (2004), jika berdasarkan
riwayat haid, diagnosis kehamilan postterm memiliki tingkat keakuratan
hanya ±30 persen. Riwayat haid dapat dipercaya jika telah memenuhi
beberapa kriteria, yaitu: (a) ibu harus yakin betul dengan HPHT-nya; (b)
siklus 28 hari dan teratur, (c) tidak minum pil anti hamil setidaknya 3
bulan terakhir. (Mochtar, et al., 2004)

Hasil penelitian Savitz, et al (2002) menunjukkan bahwa usia


kehamilan yang ditentukan berdasarkan HPHT cenderung lebih sering
salah didiagnosa sebagai kehamilan postterm dibanding dengan
pemeriksaan USG, terutama akibat ovulasi yang terlambat. Penentuan usia
kehamilan dengan HPHT didasarkan kepada asumsi bahwa kehamilan
akan berlangsung selama 280 hari (40 minggu) dari hari pertama siklus
(Cunningham, et al., 2010)
haid yang terakhir. Pendekatan ini berpotensi
menyebabkan kesalahan karena sangat bergantung kepada keakuratan
tanggal HPHT dan asumsi bahwa ovulasi terjadi pada hari ke-14 siklus
menstruasi. Padahal, ovulasi tidak selalu terjadi pada hari ke-14 siklus
karena adanya variasi durasi fase folikular, yang bisa berlangsung selama
7-21 hari. Oleh sebab itu, pada ibu yang memiliki siklus 28 hari, masih ada
kemungkinan ovulasi terjadi setelah hari ke-14 siklus. Akibatnya, terjadi
kesalahan dalam penentuan usia kehamilan yang seharusnya dihitung
mulai dari terjadinya fertilisasi sampai lahirnya bayi. (Bennett, et al., 2004) Tingkat
kesalahan estimasi tanggal perkiraan persalinan jika berdasarkan HPHT
adalah ± 1,37 minggu. (Cohn, et al., 2010)

2. Riwayat pemeriksaan antenatal

Pernoll, et al (2007) menyatakan bahwa kehamilan dapat dinyatakan


sebagai kehamilan postterm bila didapat 3 atau lebih dari 4 kriteria hasil
pemeriksaan sebagai berikut: (Pernoll, et al., 2007)

a. Telah lewat 36 minggu sejak test kehamilan positif


b. Telah lewat 24 minggu sejak dirasakan gerak janin pertama kali
c. Telah lewat 32 minggu sejak DJJ pertama terdengar dengan Doppler
d. Telah lewat 22 minggu sejak terdengarnya DJJ pertama kali dengan
stetoskop Laennec

3. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)

Penggunaan pemeriksaan USG untuk menentukan usia kehamilan


telah banyak menggantikan metode HPHT dalam mempertajam diagnosa
kehamilan postterm. Beberapa penelitian terdahulu telah membuktikan
bahwa penentuan usia kehamilan melalui pemeriksaan USG memiliki
tingkat keakuratan yang lebih tinggi dibanding dengan metode HPHT.
Semakin awal pemeriksaan USG dilakukan, maka usia kehamilan
yang didapatkan akan semakin akurat sehingga kesalahan dalam
mendiagnosa kehamilan postterm akan semakin rendah. Tingkat kesalahan
estimasi tanggal perkiraan persalinan jika berdasarkan pemeriksaan USG
trimester I (crown-rump length) adalah ± 0,67 minggu. (Cohn, et al., 2010) Pada
usia kehamilan antara 16-26 minggu, ukuran diameter biparietal
(biparietal diameter/BPD) dan panjang femur (femur length/FL)
memberikan ketepatan ± 7 hari dari taksiran persalinan. (Mochtar, et al., 2004)

Pemeriksaan usia kehamilan berdasarkan USG pada trimester III


menurut hasil penelitian Cohn, et al (2010) memiliki tingkat keakuratan
yang lebih rendah dibanding metode HPHT maupun USG trimester I dan
II. Ukuran-ukuran biometri janin pada trimester III memiliki tingkat
variabilitas yang tinggi sehingga tingkat kesalahan estimasi usia kehamilan
pada trimester ini juga menjadi tinggi. Tingkat kesalahan estimasi tanggal
perkiraan persalinan jika berdasarkan pemeriksaan USG trimester III
bahkan bisa mencapai ± 3,6 minggu. Keakuratan penghitungan usia
kehamilan pada trimester III saat ini sebenarnya dapat ditingkatkan dengan
melakukan pemeriksaan MRI terhadap profil air ketuban. (Cohn, et al., 2010)

4. Pemeriksaan cairan amnion

a. Sitologi cairan amnion. Pengecatan nile blue sulphate dapat melihat sel
lemak dalam cairan amnion. Apabila jumlah sel yang mengandung lemak
melebihi 10%, maka kehamilan diperkirakan sudah berusia 36 minggu dan
apabila jumlahnya mencapai 50% atau lebih, maka usia kehamilan 39
minggu atau lebih. (Mochtar, et al., 2004)
b. Amnioskopi. Melalui amnioskop yang dimasukkan ke kanalis yang sudah
membuka dapat dinilai keadaan air ketuban didalamnya. (Mochtar, et al., 2004)
c. Aktivitas tromboplastin cairan amnion (ATCA). Hasil penelitian terdahulu
berhasil membuktikan bahwa cairan amnion mempercepat waktu pembekuan
darah. Aktivitas ini meningkat dengan bertambahnya usia kehamilan. Pada
usia kehamilan 41-42 minggu, ACTA berkisar antara 45-65 detik sedangkan
pada usia kehamilan >42 minggu, didapatkan ACTA <45 detik. Bila
didapatkan ACTA antara 42-46 detik, ini menunjukkan bahwa kehaminan
sudah postterm. (Mochtar, et al., 2004)
d. Perbandingan kadar lesitin-spingomielin (L/S). Perbandingan kadar L/S pada
usia kehamilan sekitar 22-28 minggu adalah sama (1:1). Pada usia kehamilan
±32 minggu, perbandingannya menjadi 1,2:1 dan pada kehamilan genap
bulan menjadi 2:1. Pemeriksaan ini tidak dapat dipakai untuk menentukan
kehamilan postterm tetapi hanya digunakan untuk menentukan apakan janin
cukup usia/matang untuk dilahirkan. (Mochtar, et al., 2004)

D. Komplikasi Kehamilan Postterm

Pada kehamilan postterm terjadi berbagai perubahan baik pada cairan


amnion, plasenta, maupun janin. Pengetahuan mengenai perubahan-perubahan
tersebut dapat dijadikan dasar untuk mengelola kasus persalinan postterm.

1. Disfungsi plasenta

Disfungsi plasenta merupakan faktor penyebab terjadinya komplikasi


pada kehamilan postterm dan meningkatnya risiko pada janin. Fungsi
plasenta mencapai puncaknya pada kehamilan 38 minggu dan kemudian
mulai menurun terutama setelah 42 minggu. Rendahnya fungsi plasenta ini
berkaitan dengan peningkatan kejadian gawat janin dengan risiko 3 kali
lebih tinggi. Pemasokan makanan dan oksigen akan menurun akibat proses
penuaan plasenta disamping adanya spasme arteri spiralis. Janin akan
mengalami hambatan pertumbuhan dan penurunan berat hingga disebut
sebagai dismatur. (Cunningham, et al., 2010)

2. Oligohidramnion

Pada kehamilan postterm terjadi perubahan kualitas dan kuantitas


cairan amnion. Jumlah cairan amnion mencapai puncak pada usia
kehamilan 38 minggu, yaitu sekitar 1000 ml dan menurun menjadi sekitar
800 ml pada usia kehamilan 40 minggu. Penurunan jumlah cairan amnion
berlangsung terus menjadi sekitar 480 ml, 250 ml, hingga 160 ml pada usia
kehamilan 42, 43, dan 44 minggu. (Cunningham, et al., 2010)
Penurunan jumlah cairan amnion pada kehamilan postterm
berhubungan dengan penurunan produksi urin janin. Dilaporkan bahwa
berdasarkan pemeriksaan Doppler velosimetri, pada kehamilan postterm
terjadi peningkatan hambatan aliran darah (resistance index/RI) arteri
renalis janin sehingga dapat menyebabkan penurunan jumlah urin janin
(Oz, et al., 2002)
dan pada akhirnya menimbulkan oligohidramnion. Oleh sebab
itu, evaluasi volume cairan amnion pada kasus kehamilan postterm
menjadi sangat penting artinya. Dilaporkan bahwa kematian perinatal
meningkat dengan adanya oligohidramnion yang menyebabkan kompresi
tali pusat. Pada persalinan postterm, keadaan ini dapat menyebabkan
keadaan gawat janin saat intra partum. (Mochtar, et al., 2004)

Selain perubahan volume, terjadi pula perubahan komposisi cairan


amnion sehingga menjadi lebih kental dan keruh. Hal ini terjadi karena
lepasnya vernik kaseosa dan komposisi fosfolipid. Pelepasan sejumlah
badan lamellar dari paru-paru janin akan mengakibatkan perbandingan
Lesitin terhadap Sfingomielin menjadi 4:1 atau lebih besar. Selain itu,
adanya pengeluaran mekonium akan mengakibatkan cairan amnion
menjadi hijau atau kuning dan meningkatkan risiko terjadinya aspirasi
mekonium. (Cunningham, et al., 2010)

Estimasi jumlah cairan amnion dapat diukur dengan pemeriksan USG.


Salah satu metode yang cukup populer adalah pengukuran diameter
vertikal dari kantung amnion terbesar pada setiap kuadran dari 4 kuadran
uterus. Hasil penjumlahan keempat kuadran tersebut dikenal dengan
sebutan indeks cairan amnion (Amnionic Fluid Index/AFI). Bila nilai AFI
telah turun hingga 5 cm atau kurang, maka merupakan indikasi adanya
oligohidramnion. (Cunningham, et al., 2010)

3. Perubahan pada janin

Selain risiko pertambahan berat badan yang berlebihan, janin pada


kehamilan postterm juga mengalami berbagai perubahan fisik khas disertai
dengan gangguan pertumbuhan dan dehidrasi yang disebut dengan
sindrom postmaturitas. Perubahan-perubahan tersebut antara lain;
penurunan jumlah lemak subkutaneus, kulit menjadi keriput, dan
hilangnya vernik kaseosa. Keadaan ini menyebabkan kulit janin
berhubungan langsung dengan cairan amnion. Perubahan lainnya yaitu;
rambut panjang, kuku panjang, serta warna kulit kehijauan atau
kekuningan karena terpapar mekonium. Namun demikian, tidak seluruh
neonatus kehamilan postterm menunjukkan tanda postmaturitas tergantung
fungsi plasenta. Umumnya didapat sekitar 12-20 % neonatus dengan tanda
postmaturitas pada kehamilan postterm. Tanda postterm dibagi dalam 3
stadium: (Mochtar, et al., 2004)

a. Stadium 1 : Kulit kehilangan verniks kaseosa dan maserasi berupa kulit


kering, rapuh, dan mudah mengelupas.
b. Stadium 2 : Gejala di atas disertai pewarnaan mekonium pada kulit.
c. Stadium 3 : Pewarnaan kekuningan pada kuku, kulit, dan tali pusat.

E. Penatalaksanaan Kehamilan Postterm

Sampai saat ini pengelolaanya masih belum memuaskan dan masih banyak
perbedaan pendapat. Masalah yang sering dihadapi pada pengelolaan
kehamilan postterm antara lain karena pada beberapa penderita, usia kehamilan
tidak selalu dapat ditentukan dengan tepat sehingga janin bisa saja belum matur
sebagaimana yang diperkirakan. Selain itu, saat usia kehamilan mencapai 42
minggu, pada ±70% penderita didapatkan serviks belum matang/unfavourable
dengan skor Bishop rendah sehingga tingkat keberhasilan induksi menjadi
rendah. Oleh karena itu, setelah diagnosis kehamilan postterm ditegakkan,
permasalahan yang harus dipecahkan selanjutnya adalah apakah dilakukan
pengelolaan secara aktif dengan induksi ataukah sebaliknya dilakukan
pengelolaan secara ekspektatif dengan pemantauan terhadap kesejahteraan
janin, baik secara biofisik maupun biokimia sampai persalinan berlangsung
dengan spontan atau timbul indikasi untuk mengakhiri kehamilan. (Mochtar, et al., 2004)

1. Pemantauan kesejahteraan janin


Manning dkk (1980) telah mengajukan pemakaian kombinasi dari 5
variabel biofisik untuk menilai kesejahteraan janin dan menyatakan bahwa
kombinasi ini memberikan hasil yang lebih akurat dibandingkan
pemakaian salah satu variabel saja. Secara umum, tes ini membutuhkan
waktu sekitar 30-60 menit. Variabel yang digunakan dalam penilaian profil
biofisik adalah; (a) tes tanpa beban (non-stress test/NST), (b) gerak nafas
janin, (c) gerakan janin, (d) tonus janin, dan (e) volume cairan amnion.
Setiap variabel diberikan skor 2 bila normal dan skor 0 bila abnormal.
Oleh sebab itu, seorang janin sehat akan memiliki skor 10 pada
pemeriksaan profil biofisiknya. (Cunningham, et al., 2010)

a. Tes Tanpa Beban (Non-Stress Test/NST)

Denyut jantung janin secara normal meningkat maupun menurun


sebagai akibat pengaruh dari sistem saraf simpatis-parasimpatis yang
impulsnya berasal dari batang otak. Menurut hipotesis, denyut jantung
janin yang tidak berada dalam keadaan asidosis akibat hipoksia
ataupun depresi saraf akan mengalami akselerasi sementara sebagai
respon terhadap gerakan janin. Adanya akselerasi ini dipengaruhi oleh
usia kehamilan. Menurut hasil penelitian, besarnya tingkat akselerasi
denyut jantung akibat gerakan janin akan meningkat seiring dengan
peningkatan usia kehamilan. (Cunningham, et al., 2010)

Penggunaan NST memiliki tujuan yang berbeda dengan tes beban


kontraksi (contraction stress test/oxytocin stress test/OST). Secara
sederhana, NST adalah tes untuk mengetahui kondisi janin sedangkan
OST digunakan untuk menilai fungsi uteroplasenta. Sampai saat ini,
NST adalah tes utama yang paling sering digunakan untuk menilai
kesejahteraan janin. (Cunningham, et al., 2010)

b. Pemeriksaan gerakan nafas janin (fetal breathing)

Salah satu fenomena menarik dari gerakan pernafasan janin


adalah gerakan dinding dada yang paradoks (paradoxical chest wall
movement). Pada janin, ketika proses inspirasi, dinding dada secara
paradoks mengempis sedangkan dinding perut mengembung. Hal ini
berkebalikan dengan proses inspirasi yang terjadi pada neonatus dan
orang dewasa. Gerakan ini dihubungkan dengan kemungkinan adanya
gerakan janin untuk mengeluarkan debris cairan amnion yang
menyerupai gerakan pada saat batuk. (Cunningham, et al., 2010)

Beberapa peneliti telah mencoba melakukan penelitian mengenai


adanya keterkaitan antara gerakan nafas janin melalui pemeriksaan
USG dengan proses evaluasi kesejahteraan janin. Oleh karena gerakan
nafas janin terjadi secara episodik, maka interpretasi hasil tes pada
saat tidak ditemukan gerakan nafas menjadi tidak dapat dipercaya.
Patrick dkk (1980) melakukan penelitian observasi selama 24 jam
menggunakan ultrasonografi real time untuk mendapatkan gambaran
karakteristik gerakan nafas janin selama 10 minggu terakhir
kehamilan. Hasilnya menunjukkan bahwa pada janin normal pun bisa
saja tidak ditemukan gerakan nafas bahkan sampai 122 menit
lamanya. Penelitian ini mengindikasikan bahwa untuk dapat
mendiagnosis tidak ditemukannya gerakan nafas membutuhkan waktu
observasi yang panjang. Oleh sebab itu, untuk menilai kesejahteraan
janin, pemeriksaan gerakan nafas sering digabungkan dengan
pemeriksaan lain, misalnya pemeriksaan denyut jantung janin.
(Cunningham, et al., 2010)

c. Pemeriksaan gerakan janin (fetal movements)

Aktivitas pasif janin tanpa rangsangan sebenarnya sudah mulai


ada sejak minggu ke-7 dan akan menjadi lebih kompleks serta
terkoordinasi pada akhir kehamilan. Bahkan setelah minggu ke-8 usia
kehamilan, gerakan janin tidak pernah berhenti dengan waktu lebih
dari 13 menit. Namun demikian, ibu hamil baru bisa merasakan
pergerakan janin pertama kali sekitar usia kehamilan 18-20 minggu.
Mula-mula gerakannya jarang, lemah, dan terkadang tidak dapat
dibedakan dengan sensasi abdomen lainnya seperti gerakan usus.
(Cunningham, et al., 2010)
Antara minggu ke-20 sampai ke-30, gerakan tubuh umum
menjadi lebih teratur dan janin mulai memperlihatkan siklus istirahat-
aktivitas. Pada trimester ketiga, pematangan gerakan janin terus
berlanjut sampai sekitar 36 minggu, saat sikap tubuh normal telah
terbentuk pada 80% janin. (Cunningham, et al., 2010)

Pergerakan rata-rata harian janin selama kehamilan bervariasi.


Pada umur kehamilan 20 minggu, pergerakan janin rata-rata adalah
sekitar 200 gerakan per 12 jam. Pergerakan janin mencapai nilai
maksimal sekitar minggu ke-32 kehamilan, yaitu ± 500 gerakan per 12
jam. Setelah itu, pergerakan menjadi kurang dirasakan setelah minggu
ke-36 karena janin tumbuh dan volume cairan amnion berkurang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa berkurangnya aktivitas pada
kehamilan aterm mungkin juga disebabkan oleh pertambahan waktu
tidur janin seiring dengan makin maturnya janin. Keadaan ini
merupakan hal yang terjadi secara fisiologis pada trimester ketiga.
(Cunningham, et al., 2010)

d. Pemeriksaan volume cairan amnion

Pemeriksaan volume cairan amnion telah menjadi bagian dari


pemeriksaan antepartum pada kehamilan yang memiliki risiko
kematian janin. Pelaksanaan tes ini didasari pada pemikiran bahwa
penurunan perfusi uteroplasenta akan menurunkan aliran darah ginjal
janin, menurunkan produksi urin janin, dan pada akhirnya akan
menimbulkan oligohidramnion. (Oz, et al., 2002; Cunningham, et al., 2010)

Estimasi volume cairan amnion dapat dilakukan dengan


pemeriksaan USG dengan cara menilai indeks cairan amnion
(amniotic fluid index/AFI). Penilaian dengan indeks ini dilakukan
dengan cara menambahkan ukuran kedalaman dari setiap kantung
vertikal terbesar pada tiap kuadran uterus. Bila nilai AFI telah turun
hingga 5 cm atau kurang, maka merupakan indikasi adanya
oligohidramnion. (Cunningham, et al., 2010)
Metode lain adalah dengan cara mengukur salah satu kantung
cairan amnion vertikal yang terbesar (single deepest pocket). Menurut
pemeriksaan ini, volume cairan amnion dikatakan berkurang bila
didapatkan ukuran kantong ≤ 2 cm.(Cunningham, et al., 2010)

Gambar 1. Amniotic Fluid Index (Cunningham, et al., 2010)


Berdasarkan penilaian kelima variabel yang telah dijelaskan di atas,
maka didapatkanlah skor profil biofisik dari janin yang dinilai
kesejahteraannya. Skor profil biofisik yang didapatkan berkisar antara nilai
minimal 0 dan maksimal 10.

Tabel 1. Penilaian Skor Profil Biofisik (Cunningham, et al., 2010)

Penatalaksanaan kehamilan berdasarkan skor profil biofisik dapat


berupa penanganan ekspektatif tanpa melakukan intervensi apapun sambil
melakukan pemeriksaan ulangan. Namun jika didapatkan gambaran
keadaan asfiksia, maka penanganan diberikan secara aktif dengan
terminasi kehamilan.

Tabel 2. Manajemen kehamilan berdasarkan skor profil biofisik


(Cunningham, et al., 2010)
2. Induksi persalinan
Kehamilan postterm merupakan keadaan klinis yang sering menjadi
indikasi untuk pelaksanaan induksi persalinan. Induksi persalinan menjadi
salah satu prosedur medis yang paling sering dilakukan di Amerika Serikat
dengan proporsi yang meningkat dari 9% pada tahun 1989 menjadi 19% di
tahun 1998. (Heimstad, 2007)

Induksi persalinan adalah suatu tindakan terhadap ibu hamil yang


belum inpartu, baik secara tindakan atau medisinal, untuk merangsang
timbulnya kontraksi uterus sehingga diharapkan terjadi persalinan atau
penipisan dan dilatasi serviks yang progresif disertai penurunan bagian
presentasi janin. Tindakan induksi persalinan ini adalah untuk keselamatan
ibu dan anak, tetapi walaupun dilakukan dengan terencana dan hati-hati,
kemungkinan untuk menimbulkan risiko terhadap ibu dan janin tetap ada.
(Heimstad, 2007)

Kemungkinan keberhasilan induksi persalinan ditentukan oleh


beberapa keadaan sebelum dilakukan induksi, salah satunya dari
kematangan serviks (favorable). Penilainan kematangan serviks ini dapat
dilakukan dengan menggunakan skor Bishop. Skor ini dinilai berdasarkan
lima faktor yang didapatkan dari pemeriksaan dalam dan akan digunakan
untuk memperkirakan keberhasilan induksi persalainan. Lima faktor yang
diperiksa adalah (1) dilatasi serviks, (2) penipisan serviks/effacement, (3)
konsistensi serviks, (4) posisi serviks, dan (5) station dari bagian terbawah
janin.

Tabel 3. Pelviks skor menurut Bishop. (Cunningham, et al., 2010)


Skor Bishop >8 memberikan kemungkinan keberhasilan induksi
persalinan yang tinggi. Sementara itu, skor Bishop ≤4 biasanya
menunjukkan keadaan serviks yang belum matang (unfavorable) sehingga
membutuhkan pematangan serviks yang bisa dilakukan secara
farmakologis (prostaglandin, nitrit oksida) ataupun teknik (kateter
transervikal, dilator higroskopis, stripping). (Cunningham, et al., 2010)

Oksitosin adalah zat yang paling sering digunakan untuk induksi


(Heimstad, 2007)
persalinan dalam bidang obstetri. Oksitosin mempunyai efek
yang poten terhadap otot polos uterus dan kelenjar mammae. Kepekaan
terhadap oksitosin meningkat pada saat persalinan. Induksi persalinan
dengan oksitosin yang diberikan melalui infus secara titrasi ternyata efektif
dan banyak dipakai. Titrasi ini biasanya dilakukan dengan cara
memberikan 10-20 unit oksitosin (10.000-20.000 mU) yang dilarutkan
dalam 1000 cc larutan Ringer laktat. Rejimen ini akan menghasilkan kadar
oksitosin 10-20 mU/mL. (Cunningham, et al., 2010)Terdapat berbagai macam metode
induksi dengan menggunakan drip oksitosin, baik yang menggunakan
dosis rendah maupun dosis tinggi.

Tabel 4. Rejimen drip induksi dengan oksitosin. (Cunningham, et al., 2010)

Biasanya, kontraksi yang adekuat akan dicapai dengan dosis oksitosin


20 mU/menit. Apabila dengan pemberian dosis oksitosin 30-40 mU/menit
masih tidak didapatkan his yang adakuat, maka indusi tak perlu lagi
dilanjutkan. Pemberian dengan dosis yang lebih besar akan menyebabkan
ikatan oksitosin dengan reseptor vasopresin sehingga akan menimbulkan
kontraksi yang tetanik atau hipertonik. Selain itu, dapat juga muncul efek
antidiuretik sehingga meningkatkan risiko terhadap keracunan air. Induksi
dianggap berhasil kalau didapatkan kontraksi uterus yang adekuat, yaitu
his sekitar 3 kali dalam 10 menit dengan kekuatan sekitar 40 mmHg atau
lebih (200 Montevidio). (Cunningham, et al., 2010)

3. Penatalaksanaan Kehamilan Postterm dengan Oligohidramnion


Penatalaksanaan kasus oligohidramnion pada kehamilan postterm
tergantung pada situasi klinik pasien yang bersangkutan. Pada tahap awal,
harus dilakukan evaluasi terhadap anomali janin dan gangguan
pertumbuhan. Pada kehamilan postterm yang diperberat dengan
komplikasi oligohidramnion harus dilakukan pengawasan ketat karena
tingginya risiko morbiditas janin. (Heimstad, 2007)

Hasil dari kehamilan dengan oligohidramnion intrapartum menurut


beberapa penelitian memiliki hasil yang berbeda-beda. Chauhan dkk
(1999) yang dikutip dari (Cunningham, et al., 2010), melakukan penelitian
terhadap lebih dari 10.500 ibu hamil yang memiliki nilai AFI intrapartum
<5 cm dibandingkan dengan kontrol yang memiliki nilai AFI >5 cm.
Menurut hasil penelitian didapatkan bahwa risiko seksio sesarea atas
indikasi gawat janin pada kelompok oligohidramnion lebih tinggi 2 kali
lipat. Selain itu, risiko janin dengan skor APGAR 5 menit dibawah 7 pada
kelompok ini lebih tinggi 5 kali lipat. Hasil penelitian Divon dkk (1995)
yang dikutip dari Cunningham et al, (2010) juga menyatakan bahwa hanya
ibu paturien postterm yang memiliki nilai AFI ≤5 cm yang mengalami
deselerasi denyut jantung janin dan aspirasi mekonium. (Cunningham, et al., 2010)

Sebaliknya, Zhang dkk (2004) yang dikutip dari Cunningham et al.,


(2010) melaporkan bahwa kondisi oligohidramnion dengan nilai AFI ≤ 5
cm tidak berhubungan dengan kondisi perinatal yang buruk. Begitu juga
dengan Magann dkk (1999) yang tidak menemukan peningkatan risiko
komplikasi intrapartum pada kondisi oligohidramnion. (Cunningham, et al., 2010)
Perlu kita sadari bahwa persalinan adalah saat paling berbahaya bagi
janin postterm sehingga setiap persalinan postterm harus dilakukan
pengawasan ketat dan sebaiknya dilaksanakan di Rumah Sakit dengan
pelayanan operatif dan neonatal yang memadai.

Menurut Mochtar, et al (2004) pengelolaan persalinan pada kehamilan


postterm mencakup:

a. Pemantauan yang baik terhadap kontraksi uterus dan kesejahteraan janin.


Pemakaian alat monitor janin secara kontinu sangat bermanfaat.
b. Hindari penggunaan obat penenang atau analgetika selama persalinan.
c. Persiapan oksigen dan tindakan seksio sesarea bila sewaktu-waktu terjadi
kegawatan janin
d. Cegah terjadinya aspirasi mekonium dengan segera mengusap wajah
neonatus dan penghisapan pada tenggorokan saat kepala lahir dilanjutkan
resusitasi sesuai prosedur pada janin dengan cairan ketuban bercampur
mekonium.
e. Pengawasan ketat terhadap neonatus dengan tanda-tanda postmaturitas
BAB IV
DISKUSI KASUS

Pasien wanita usia 32 tahun masuk ke IGD RSUD Demang Sepulau Raya pada
tanggal 16-06-2016 pukul 15.12 WIB dengan diagnosa G3P2A0 hamil 43-44
minggu belum inpartu JTH Preskep + oligohidramnion. Berdasarkan anamnesa,
HPHT pasien adalah tanggal 15-08-2016 dengan siklus haid teratur tiap 30 hari.
Penentuan tanggal taksiran persalinan pasien ini berdasarkan rumus Neagle jatuh
pada tanggal 22-05-2016 (usia kehamilan 43-44 minggu).

Dilakukan pemeriksaan USG pada tanggal 17-06-2016 dengan hasil pemeriksaan


tampak janin tunggal, intrauterine, gerakan janin (+), gerakan jantung janin (+),
ketuban sedikit. Kemudian direncanakan terminasi kehamilan yaitu sectio
caesarea. Bayi lahir secara SC langsung menangis pada tanggal 17-06-2016 pukul
13.35 WIB, BB 3300 gram, PB 47 cm, Apgar Score 8/9. Namun demikian, pada
bayi tidak ditemukan tanda-tanda postmaturitas.
Pada kasus ini, penegakkan diagnosa kehamilan postterm didasarkan kepada
penghitungan usia kehamilan berdasarkan HPHT. Pada saat masuk untuk dirawat
pada tanggal 16-06-2016, usia kehamilan pasien menurut HPHT adalah 43-44
minggu. Usia tersebut sudah termasuk ke dalam definisi kehamilan postterm yang
dirumuskan oleh American College of Obstetricians and Gynecologists (2004),
yaitu kehamilan yang berlangsung lebih dari 42 minggu (294 hari) yang terhitung
sejak hari pertama siklus haid terakhir/HPHT. (Cunningham, et al., 2010)

Mochtar, et al (2004) menyatakan bahwa riwayat HPHT yang dapat dipercaya


untuk menentukan usia kehamilan harus memenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu;
ibu yakin betul dengan HPHT-nya, siklus haid 28 hari dan teratur, serta pasien
tidak minum pil anti hamil setidaknya 3 bulan terakhir. Pada kasus ini, jika
didasarkan kepada kriteria HPHT yang dapat dipercaya, diagnosa kehamilan
postterm sudah bisa ditegakkan. Namun demikian, bukti objektif dari kehamilan
postterm itu sendiri, yaitu tanda-tanda postmaturitas, tidak ditemukan pada bayi
yang dilahirkan.

Terdapat dua alasan yang mungkin dapat menjelaskan adanya ketidaksesuaian


antara diagnosa antepartum dengan fakta yang ditemukan pada masa postpartum
dalam kasus ini. Kemungkinan pertama, usia kehamilan pada kasus ini memang
sudah postterm namun tidak ditemukan keadaan-keadaan yang menyebabkan
munculnya tanda-tanda postmaturitas pada bayi.

Seperti telah dibahas dalam bab sebelumnya, pada kehamilan postterm terjadi
berbagai perubahan baik plasenta, air ketuban, maupun janin yang akan
mempengaruhi kesejahteraan janin intrauterin. Disfungsi plasenta merupakan
faktor penyebab terjadinya komplikasi pada kehamilan postterm dan
meningkatnya risiko pada janin. Fungsi plasenta mencapai puncaknya pada
kehamilan 38 minggu dan kemudian mulai menurun terutama setelah 42 minggu.
Selain itu, terjadi pula perubahan komposisi cairan amnion sehingga menjadi
lebih kental dan keruh akibat pelepasan vernik kaseosa dan komposisi fosfolipid
yang dikenal dengan sebutan perwarnaan mekonium (mekonium staining).
(Cunningham, et al., 2010)
Pada kasus ini tidak ditemukan tanda-tanda postmaturitas pada bayi yang
dilahirkan. Menurut Mochtar, et al (2004), tidak seluruh bayi yang dilahirkan dari
kehamilan postterm menunjukkan tanda-tanda postmaturitas sebab hal tersebut
tergantung pada fungsi plasenta. Pada kehamilan postterm, umumnya hanya
didapatkan sekitar 12-20% neonatus dengan tanda postmaturitas. (Mochtar, et al.,
2004) Alasan kedua yang bisa menerangkan penyebab tidak ditemukannya tanda-
tanda postmaturitas pada bayi dalam kasus ini adalah karena terjadi kesalahan
dalam penentuan usia kehamilan. Menurut (Cunningham, et al., 2010), meskipun
diagnosis kehamilan postterm berhasil ditegakkan pada 4-19% dari seluruh
kehamilan, sebagian diantaranya kenyataannya tidak terbukti oleh karena
kekeliruan dalam menentukan usia kehamilan. Oleh sebab itu, pada penegakkan
diagnosis kehamilan postterm, informasi yang tepat mengenai lamanya kehamilan
menjadi sangat penting. Kesalahan dalam perkiraan usia kehamilan biasanya
diakibatkan karena ibu lupa/tidak yakin dengan HPHT-nya, siklus haid yang tidak
(Savitz, et al., 2002)
teratur, atau akibat ovulasi yang terlambat. Pada kasus ini, pasien
mengatakan tidak yakin dengan HPHT-nya. Hasil penelitian Savitz, et al (2002)
menunjukkan bahwa usia kehamilan yang ditentukan berdasarkan HPHT
cenderung lebih sering salah didiagnosa sebagai kehamilan postterm dibanding
dengan pemeriksaan USG, terutama akibat ovulasi yang terlambat.

Pada kasus ini, selain dari HPHT, informasi mengenai usia kehamilan sebenarnya
juga bisa didapatkan dari hasil pemeriksaan USG. Namun demikian, sayangnya
pasien baru melakukan pemeriksaan USG untuk pertama kali setelah kehamilan
memasuki usia trimester III sehingga akurasi usia kehamilan yang didapatkan
tidak setinggi apabila seandainya USG dilakukan pada trimester I atau II.
Pemeriksaan usia kehamilan berdasarkan USG pada trimester III menurut hasil
penelitian Cohn, et al (2010) memiliki tingkat keakuratan yang lebih rendah
dibanding metode HPHT maupun USG trimester I dan II. Ukuran-ukuran biometri
janin pada trimester III memiliki tingkat variabilitas yang tinggi sehingga tingkat
kesalahan estimasi usia kehamilan pada trimester ini juga menjadi tinggi. Tingkat
kesalahan estimasi tanggal perkiraan persalinan jika berdasarkan pemeriksaan
USG trimester III bahkan bisa mencapai ± 3,6 minggu. Keakuratan penghitungan
usia kehamilan pada trimester III saat ini sebenarnya dapat ditingkatkan dengan
melakukan pemeriksaan MRI terhadap profil air ketuban. (Cohn, et al., 2010)
Namun pemeriksaan ini tidak pernah dilakukan.

Permasalahan lainnya adalah mengenai diagnosa dan penatalaksanaan komplikasi


kehamilan yang terjadi pada kasus ini, yaitu oligohidramnion. Setelah didiagnosa
dengan kehamilan postterm, keesokan harinya dilakukan pemeriksaan USG dan
terdapat oligohidramnion dan kalsifikasi plasenta sehingga direncanakan untuk
terminasi kehamilan dengan sectio caesarea.

Penanganan kehamilan postterm sampai saat ini masih menjadi kontroversi antara
sikap ekspektatif atau aktif. Penanganan secara ekspektatif biasanya dilakukan
dengan pengawasan ketat terhadap kesejahteraan janin intrauterin menggunakan
penentuan profil biofisik. Menurut Cunningham, et al (2010), skor profil biofisik
10 memiliki interpretasi bahwa janin dalam keadaan normal tanpa asfiksia.
(Cunningham, et al., 2010)

Berbeda dengan sifat penanganan ekspektatif, pada penanganan aktif dilakukan


terminasi kehamilan. Kehamilan postterm merupakan keadaan klinis yang sering
(Heimstad, 2007)
menjadi indikasi untuk pelaksanaan induksi persalinan. Tindakan
operasi sectio caesarea dapat dipertimbangkan pada insufiensi plasenta dengan
keadaan serviks belum matang, pembukaan yang belum lengkap, persalinan lama,
terjadi tanda gawat janin, primigravida tua, kematian dalam kandungan,
preeklamsi, hipertensi, infertilitas dan kesalahan letak janin (Taufan, 2012). Pada
kasus ini dilakukan terminasi kehamilan berupa sectio caesarea karena adanya
oligohidramnion.
BAB V

KESIMPULAN

1. Penegakkan diagnosa postterm pada kasus ini memiliki kelemahan karena


ditegakkan hanya berdasarkan HPHT dan pemeriksaan USG trimester III.
Tidak ditemukan bukti objektif dari diagnosa antepartum tersebut pada saat
postpartum.
2. Pelaksanaan terminasi kehamilan dengan sectio caesarea pada kasus ini secara
teoritis merupakan tindakan yang telah sesuai dengan indikasi
oligohidramnion.
DAFTAR PUSTAKA

Bennett, KA, Crane, JMG dan O’Shea, P. 2004. First trimester ultrasound
screening is effective in reducing postterm labor induction rates: A
randomized controlled trial. Am J Obstet Gynecol. 2004, Vol. 190, hal.
1077-81.

Biggar, RJ, et al. 2010. Spontaneous labor onset: is it immunologically mediated?


American Journal of Obstetrics & Gynecology. Maret 2010, Vol. 202, 3, hal.
268.

Caughey, AB, Nicholson, JM dan Washington, EA. 2008. First- vs second-


trimester ultrasound: the effect on pregnancy dating and perinatal outcomes.
Am J Obstet Gynecol. March 2008, Vol. 198, hal. 703.e1-703.e6.

Cohn, BR, et al. 2010. Calculation of gestational age in late second and third
trimesters by ex vivo magnetic resonance spectroscopy of amniotic fluid.
Am J Obstet Gynecol. July 2010, Vol. 203, hal. 76.e1-10.

Cunningham, F G, et al. 2010. Postterm Pregnancy. Williams Obstetrics. 23rd


Edition. New York : The McGraw-Hill Companies, 2010, Section VII,
Chapter 37.
Heimstad, R. 2007. Post-term pregnancy. Trondheim : Faculty of Medicine
Norwegian University of Science and Technology, 2007.

Johnson, JM, et al. 2007. A comparison of 3 criteria of oligohydramnios in


identifying peripartum complications. Am J Obstet Gynecol. March 2007,
Vol. 197, hal. 207.e1-207.e8.

Kistka, ZA, et al. 2007. Risk for postterm delivery after previous postterm
delivery. Am J Obstet Gynecol. March 2007, Vol. 196, hal. 241.e1-241.e6.

Magann, EF, et al. 2004. How well do the amniotic fluid index and single
deepest pocket indices predict oligohydramnios and hydramnios? Am J
Obstet Gynecol. 2004, Vol. 190, hal. 164-9.

Mochtar, A B dan Krisnanto, H. 2004. Kehamilan Lewat Bulan. [penyunt.] R.


Hariadi. Ilmu Kedokteran Fetomaternal. Edisi 1. Surabaya : Himpunan
Kedokteran Fetomaternal POGI, 2004, Bab VI, Bagian 58, hal. 384-391.

Oz, AU, et al. 2002. Renal Artery Doppler Investigation of the Etiology of
Oligohydramnios in Postterm Pregnancy. Am J Obstet Gynecol. October
2002, Vol. 100, hal. 715-8.

Pernoll, M L dan Roman, A S. 2007. Late Pregnancy Complication. [penyunt.] A


H DeCherney, et al. Current Diagnosis & Treatment: Obstetrics &
Gynecology. 10th Edition. New York : The McGraw-Hill Companies, 2007,
Chapter 15.

Savitz, DA, et al. 2002. Comparison of pregnancy dating by last menstrual


period, ultrasound scanning, and their combination. Am J Obstet Gynecol.
Desember 2002, Vol. 187, 6, hal. 1660-1666.

Anda mungkin juga menyukai