The Akhenaten Adventure
The Akhenaten Adventure
BY OTOY http://ottoys.wordpress.com
London si kembar John dan philippa tibatiba menyadari bahwa mereka memiliki
kekuatan tak terduga: kemampuan untuk mengabulkan permintaan orang lain.
berubah wujud dan menghilang.
**
Saat belajar mengendalikan kekuatan itu bersama paman Nimrod John dan
Philippa mengetahui bahwa bangsa Jin jahat sedang mengincar makam
Akhenaten.
fiksi
P.B. KERR
Buku ini ditulis untuk, dan dengan bantuan William Falcon Fin/ay Kerr, Charles
Foster Kerr, dan Naomi Rose Kerr, semua warga London S W19. Semoga kalian
mengenal kebahagiaan
Copyright© 2004 by PB Kerr All rights reserved Hak terjemahan ada pada
Penerbit Matahati
Distributor Tunggal:
Daftar Isi
Prolog
4. Perubahan … SI
5. Jeritan … 67
7. Nimrod … 89
9. Jin …. 121
Saat itu baru lewat tengah hari di musim panas yang menyengat di Mesir.
Hussein Hussaout, Baksheesh - putranya yang berusia dua belas tahun - serta
Effendi - anjing mereka - berkemah di gurun sekitar tiga puluh dua kilometer di
selatan Kairo. Seperti biasa, secara ilegal mereka menggali untuk mencari
artefak bersejarah yang bisa dijual di toko mereka. Tak ada yang bergerak di
gurun itu selain seekor ular, kumbang tahi, dan kalajengking kecil. Di kejauhan,
seekor keledai sedang menarik gerobak kayu yang penuh dimuati daun palem.
Selain itu semua, hanya kesunyian dan keheningan yang membakar. Wisatawan
biasa takkan membayangkan bahwa tempat yang tandus ini adalah bagian dari
situs arkeologi terbesar di Mesir. Monumen serta harta karun yang tak terhitung
jumlahnya masih tersembunyi di bawah gurun ini.
tersembunyi, yang dapat membuat orang atau unta yang tidak waspada
terperosok. Pekerjaan di pagi itu menyenangkan karena mereka telah
menemukan beberapa patung shabti* kecil, beberapa gerabah yang pecah, dan
sebuah anting-anting emas kecil. Baksheesh sangat senang karena dialah yang
menemukan benda yang menurut ayahnya sangat berharga itu.
“Ya, Ayah.” Baksheesh pergi ke belakang Land Rover, diikuti Effendi yang
berharap mendapatkan sesuatu untuk dimakan. Baksheesh membuka pintu
belakang dan hendak mengambil kotak pendingin saat Land Rover itu bergerak.
Mengira rem tangan belum ditarik dengan benar, dia cepatcepat berlari ke pintu
pengemudi, berniat melompat ke dalam dan menarik rem lebih kuat lagi. Namun
saat dia meraih, mobil mendadak bergerak menjauh. Satu atau dua detik
kemudian Baksheesh merasakan guncangan dahsyat di bawah kakinya, seolah
raksasa di bawah tanah telah meninju langit-langit tanah berbatu di atasnya. Saat
menunduk, Baksheesh melihat tanah tampak bergu lung seperti gelombang.
Kehilangan Prolog keseimbangan, dia pun terjatuh menimpa mobil sehingga
sikunya lecet. Dia berteriak saat
Baksheesh berusaha berdiri dan mempertahankan pijakan, yang jadi lebih mudah
bila dia berhenti memerhatikan tanah. Sekitar empat ratus meter dari tempatnya
berdiri ada tebing terjal, tempat Baksheesh dan ayahnya sering menggali. Ketika
dia melihat ke sana, satu tebing utuh terlepas dan jatuh ke lantai gurun yang
menyilaukan dalam lengkungan besar debu, kerikil, batu besar, dan pasir.
Baksheesh buru-buru duduk agar tidak terjatuh lagi. Dia belum pernah
mengalami gempa, namun dia yakin kalau gerakan bumi yang dahsyat itu pasti
gempa. Sebaliknya, ayahnya justru tampak gembira, bukannya ketakutan. Dia
malah tertawa histeris saat berusaha tanpa hasil mendapatkan kembali
pijakannya.
“Akhirnya, akhirnya,” dia berseru, seakan yakin kalau gempa itu terjadi demi
keuntungan dirinya.
Saat guncangan semakin keras dan Baksheesh kaget setengah mati, ayahnya
justru tampak semakin gembira.
“Sepuluh tahun,” teriak Hussein lantang menga lahkan gemuruh keras tanah.
“Sepuluh tahun aku menunggu ini.”
Baksheesh semakin heran karena selera humor dan kegembiraan ayahnya tidak
menunjukkan tanda-tanda akan berkurang. Bahkan, saat tanah terangkat hingga
menimbulkan ledakan, yang juga mengangkat Land Rover hampir setinggi dua
meter
“Asyik, kan?” teriak Hussein Hussaout yang kini terjatuh berlutut setelah gempa
berakhir. Dia masih menyeringai seperti orang gila, menangkupkan tangan
seolah berdoa.
Baksheesh menoleh untuk melihat Land Rover mereka yang terbalik. Dia
menggeleng-gelengkan kepala. “Kelihatannya kita harus berjalan kaki ke jalan
raya dan mencari bantuan,” katanya, “aku tak mengerti bagaimana hal ini
dianggap menyenangkan?”
Ayah tadi melihatnya ketika tanah bergerak. Selama ribuan tahun angin dan pasir
menjadi penjaga harta karun Firaun, tapi terkadang saat tanah bergerak, benda
yang terkubur bisa terlihat.”
Bagi Baksheesh, kepingan batu itu tidak mirip harta karun. Sebenarnya, orang
pasti akan mengabaikan bongkahan batu basal halus segi empat yang berwarna
abu-abu dan bergurat-gurat itu. Hussein mengangkat benda itu, dan dia segera
tahu kalau itu adalah stela* Mesir.
“Lempengan batu ini berisi naskah kuno dalam huruf hieroglyphic** yang
berasal dari Dinasti ke-18,” jelas Hussein Hussaout. “Bila benar dugaan Ayah,
berarti kita telah menemukan kunci untuk membuka misteri yang telah tersimpan
ribuan tahun. Ini mungkin akan menjadi hari terpenting dalam hidup kita. Orang
seperti Ayah menunggu seumur hidup untuk mendapatkan kesempatan seperti
ini. Itulah yang ayah maksudkan dengan menyenangkan, Anakku. Itulah yang
membuat Ayah senang.”
Mr dan Mrs Edward Gaunt tinggal di New York di Jalan East 77th no. 7 di
sebuah town house tua berlantai tujuh. Mereka mempunyai dua anak kembar
berusia dua belas tahun: John dan Philippa. Meskipun kembar, mereka sangat
berbeda sesuatu yang membuat kedua anak itu sangat lega dan puas. Orang sulit
memercayai kalau mereka kembar. John, yang lebih tua sepuluh menit, berpostur
tinggi dan kurus dengan rambut cokelat lurus. Dia suka memakai baju serba
hitam. Sementara Philippa bertubuh lebih kecil. Rambutnya merah
bergelombang, dan mengenakan kacamata berbingkai tanduk. Dia terlihat lebih
cerdas dibanding kakaknya. Philippa gemar memakai baju serba merah muda.
Mereka berdua merasa agak kasihan pada orang yang kembar identik. Mereka
kesal bila ada yang berkomentar betapa tidak miripnya mereka - seolah tak ada
yang memerhatikan hal itu sebelumnya.
Tapi, dalam kepala mereka, ceritanya lain lagi. John dan Philippa sering
memikirkan hal yang sama. Terkadang saat guru mengajukan pertanyaan, me
reka akan mengacungkan tangan bersamaan untuk menjawab. Bila menonton
acara kuis di televisi, mereka akan mengutarakan jawabannya berbare-
PEMBERIAN NAMA PADA ANJING
ngan. Dan mereka tidak mungkin kalah bila menjadi satu tim dalam permainan
Pictionary*.
Ayah mereka, Mister Gaunt, adalah seorang banker investasi, cara lain untuk
mengatakan bahwa dia kaya-raya. Mrs Gaunt adalah wanita yang sangat cantik
dan sering melakukan acara penggalangan dana. Itulah sebabnya dia banyak
dicari, karena semua yang disentuhnya pasti sukses. Dia lebih dikenal
masyarakat New York dengan nama Layla. Bicaranya berkilau seperti lampu
gantung kristal, dan dia orang yang glamor. Jadi bisa dibilang dia cerdas dan
cantik.
Tapi, tidak dapat disangkal bahwa Mr dan Mrs Edward Gaunt adalah pasangan
yang kontras. Sama kontrasnya dengan gagasan yang mengatakan bahwa kedua
anak mereka kembar. Layla, yang berambut gelap dengan fi sik laksana atlet
dengan tinggi seratus delapan puluh tiga sentimeter bila tanpa alas kaki.
Sementara tinggi Edward hanya seratus lima puluh dua sentimeter dalam sepatu
merek Berluti-nya, dan dengan rambut agak panjang berwarna abu-abu. Dia
mengenakan kacamata berwarna pucat. Bila Layla memasuki ruangan, banyak
orang yang memerhatikan, sedangkan jarang ada yang memerhatikan Edward.
Untungnya dia lebih suka diperlakukan seperti itu karena dia pemalu, dan cukup
puas membiarkan istri dan rumahnya yang menjadi sorotan.
Kediaman keluarga Gaunt, di Upper East Side, New York, tampak lebih mirip
kastil ketimbang sebuah rumah yang sering muncul dalam majalah mahal. Pintu
depannya dilindungi gerbang raksasa berbentuk melengkung dari besi tempa,
dan semua dinding rumahnya dilapisi kayu mahoni pilihan. Di dalam rumah itu
ada banyak lukisan Prancis terbaik, perabot Inggris kuno, karpet Persia langka,
dan vas Cina yang mahal. Terkadang Philippa merasa kalau orangtuanya lebih
peduli pada perabotan ketimbang pada anak mereka; tapi dia tahu ini tidak benar.
Saat John dan Philippa mengatakan bahwa nomor 7 terasa lebih mirip galeri seni
ketimbang rumah, Mister Gaunt akan menjawab, jika nomor 7 adalah galeri seni,
pasti takkan ada izin memelihara anjing, termasuk dua anjing kesayangan
keluarga Gaunt.
Alan dan Neil adalah dua anjing Rottweiler besar. Mereka adalah binatang hebat,
setidaknya karena kedua anjing itu dapat memahami semua perintah. Suatu
ketika, John, yang terlalu malas untuk bangkit dan mencari remote control,
memerintahkan Alan untuk mengganti saluran televisi. Hebatnya, Alan bisa
melakukannya. Neil tidak kalah cerdas; kedua anjing itu tahu perbedaan antara
saluran Fox Kids, The Disney Channel, Nickelodeon, dan CNN. Kedua anjing
itu sering menemani si kembar berkeliling New York. John dan Philippa
mungkin merupakan dua anak di kota itu yang merasa cukup aman berjalan di
malam hari di Central Park yang terletak tidak jauh dari rumah. Tapi John
jengkel karena kedua anjing cerdas itu
“Cerberus,” gumam Mister Gaunt lalu mengambil koran New York Times dan
mulai membaca tentang gempa di Kairo yang disertai foto besar yang dramatis
di halaman depan.
“Aku tahu, Ayah,” sahut John. “Rottweiler menjadi jenis anjing favorit tentara
dan polisi. Jadi, menurutku, nama Alan dan Neil terasa agak konyol.”
“Kenapa?” tanya Mister Gaunt, “memang begitulah nama mereka selama ini.”
“Aku tahu. Tapi Ayah, seandainya aku harus menamai dua Rottweiler, aku pasti
akan memberi nama yang lebih cocok. Seperti Nero dan Tiberius. Nama dua
kaisar Romawi.”
“Nero dan Tiberius bukanlah orang yang menyenangkan, Nak,” celetuk ibunya.
e t his trio e t incendiaries extitisti,” Ayahnya tertawa keras, “coba Ayah tanya,
teladan macam apakah itu untuk seekor anjing?”
John menggigit bibir; dia selalu sulit berdebat bila ayahnya mulai bicara bahasa
Latin. Ada sesuatu pada diri orang yang berbahasa Latin - seperti hakim dan
Paus - yang membuat mereka sangat sulit diajak berdebat.
“Baiklah, mungkin bukan kaisar Romawi mana pun,” John menerima dengan
enggan, “mungkin nama lain. Sesuatu yang lebih berbau anjing. Seperti Elvis,
mungkin.”
“Mungkin kau belum sadar,” tegur Mister Gaunt kaku, “tak satu pun dari kedua
anjing kita yang benarbenar berbau anjing, seperti istilahmu. Rottweiler, seperti
katamu tadi, disukai oleh penegak hukum. Mereka bukan jenis anjing yang suka
mengibaskan ekor. Mungkin ada anjing lain yang bisa mengambilkan koran dari
kotak surat. Tapi anjing kita bisa pergi ke toko kue dan mengambilkan sekantong
bagei tanpa memakannya satu pun. Bahkan Elvis Presley pun tak bisa
melakukan itu, sungguh. Dan anjing mana yang pergi sendiri ke dokter hewan
kalau merasa kurang sehat? Atau mengisi meteran parkir? Ayah ingin lihat
Kaisar Nero mencoba mengisi meteran parkir.”
“Lagi pula,” tambah Mister Gaunt sambil melipat lalu menyingkirkan korannya,
“ini semua sudah ter lambat. Mereka anjing dewasa. Dari dulu kita telah
memanggil mereka Alan dan Neil. Apakah mereka bisa menjawab bila dipanggil
dengan nama baru?
Anjing tidak seperti musisi dan aktor bodoh. Orangorang itu mungkin terbiasa
memakai nama baru yang tolol. Seperti Pink, Dido, atau Sting. Anjing tua akan
sulit menerima nama baru.” Mister Gaunt menoleh sekilas pada putrinya. “Kau
setuju, Philippa?”
“Tapi Ayah masih tidak melihat ada yang salah dengan nama mereka. Alan dan
Neil adalah nama Celtic. Alan berarti tampan; dan Neil berarti juara. Ayah tidak
mengerti apa yang salah pada anjing yang namanya berarti tampan dan juara.
Ayah benarbenar tidak mengerti.”
“Kurasa itu ide yang bagus, Sayang,” respons Mrs Gaunt, “bagaimanapun, Alan
tidaklah tampan. Dan Neil belum pernah juara.” Wanita itu tersenyum seolah
masalah itu sudah beres, “jadi, kita akan panggil apa mereka? Ibu lebih suka
nama Elvis. Alan yang lebih besar dan lebih rakus. Dia memang mirip Elvis.”
Mister Gaunt menatap istrinya, seolah sangat tidak sependapat. “Layla,” katanya
pelan, “itu tidak lucu.”
“Dan kita coba ganti nama Neil dengan Winston,” usul Philippa, “seperti nama
Winston Churchill. Dia
lebih garang, dan dengan dagu dobel serta geramannya, dia memang mirip
Winston Churchill.”
“Dia juga suka cerutu,” ucap John, “kalau ada tamu yang mengisap cerutu, Neil
pasti langsung menghampiri dan mulai mengendus, seolah dia me nikmatinya.”
“Jadi tinggal satu pertanyaan, siapa yang akan memberitahu mereka?” tanya
John.
“Ibu,” usul Philippa, “mereka selalu menurut pada Ibu. Semua orang menurut
pada Ibu. Bahkan Ayah.”
Benar; Alan dan Neil selalu patuh pada Mrs Gaunt tanpa keraguan sedikit pun.
Saat tiga tangan teracung ke atas, Mister Gaunt mengembuskan napas panjang
menerima kekalahan nya. “Ya sudah. Tapi Alan dan Neil pasti takkan mengerti.”
“Kita lihat saja,” kata Mrs Gaunt, “kau tahu, seharusnya itu sudah terpikir
sebelumnya, Sayang. Anakanak ada benarnya juga.” Dia memasukkan jari ke
mulut dan membunyikan siulan memekakkan telinga yang pasti akan bikin iri
semua koboi.
Beberapa detik kemudian kedua anjing itu muncul dan menempatkan diri di
depan Mrs Gaunt, seolah menunggu perintah.
“Dengar,” katanya, “sudah diputuskan bahwa kalian akan mendapat nama baru
yang berbau anjing.”
Neil menatap Alan, lalu menggeram pelan. Alan hanya menguap dengan gaya
angkuh dan duduk.
“Aku tidak ingin dibantah,” desak Mrs Gaunt. “Neil? Setelah ini namamu adalah
Winston. Dan Alan? Namamu adalah Elvis. Mengerti?”
Anjing-anjing itu tetap diam, jadi Mrs Gaunt mengulangi, dan kali ini kedua
anjing menggonggong keras.
“Ayah akan tetap memakai nama lama mereka,” ucap Mister Gaunt, “anjing-
anjing itu mungkin akan terbiasa dengan nama barunya, tapi Ayah tidak.”
“Winston? Berbaring,” perintah Mrs Gaunt, dan anjing yang semula bernama
Neil berbaring di lantai dapur. “Elvis? Berdiri.” Dan anjing yang awalnya
bernama Alan, berdiri.
“Hebat,” kata John, “siapa bilang kita tidak bisa mengajari anjing tua dengan
trik-trik baru?”
Tak lama kemudian si kembar berangkat ke sekolah seperti biasa, dan tidak
banyak yang terjadi, juga seperti biasa. John dan Philippa hampir selalu
mendapat nilai tertinggi dalam semua mata pelajaran, kecuali matematika.
Mereka sangat unggul dalam pelajaran Pendidikan Jasmani, jadi
pastilah mereka sangat-sangat bugar, jauh lebih bugar dibanding teman sekolah
mereka yang rata-rata pemalas serta kelebihan berat badan. Si kembar begitu
bugar karena keduanya pengidap claustrophobia, artinya mereka tidak suka
berada di tempat tertutup. Mereka membenci lift, dan itu akan menjadi masalah
bagi orang yang tinggal di kota seperti New York dimana begitu banyak gedung
bertingkat. Bila sebagian besar orang naik lift, John dan Philippa justru naik
tangga, terkadang mereka berlari naik sebanyak lima puluh atau enam puluh
anak tangga untuk sampai ke tujuan. Ini membuat si kembar sebugar sepasang
kutu. Bahkan, kutu terpaksa harus ber latih di pusat kebugaran agar bisa sebugar
John dan Philippa. Tapi anak sebugar John dan Philippa takkan bisa bergerak
secepat lift, dan akibatnya, mereka sering terlambat. Itu bisa membuat orangtua
sangat marah, tapi kenyataannya Edward dan Layla Gaunt lebih penuh
pengertian ketimbang yang diduga John dan Philippa.
2
Sebagian besar anak menunggu liburan musim panas dengan tidak sabar. Namun
bagi si kembar, hari pertama liburan musim panas selalu dikaitkan dengan
sejumlah ketakutan dan kebencian karena itulah hari-hari yang dipilih Mrs Gaunt
untuk membawa mereka ke dokter gigi.
John dan Philippa memiliki gigi seputih peppermint dan serapih deretan mobil
yang diparkir. Tak seorang pun dari mereka pernah ditambal giginya.
Sebenarnya hanya sedikit yang perlu mereka cemaskan, tapi entah mengapa
mereka selalu merasa bahwa suatu saat Mister Larr pasti akan menemukan
sesuatu, kemudian bor baja, jarum, cungkil, dan peralatan bedah akan disiapkan.
Si kembar sudah nonton cukup banyak fi Im untuk mengetahui bahwa rasa sakit
akan muncul begitu dokter gigi mulai menggunakan alat-alat itu.
Mungkin itu sebabnya di pagi yang telah dijad walkan untuk menemui Mister
Larr, John terjaga dari mimpi yang benarbenar tampak nyata. Dia merasakan
sakit gigi yang menyiksa: jenis sakit yang bisa membuat orang dewasa bertubuh
kekar jadi cengeng. Jenis sakit gigi yang, dalam mimpi John, berakhir dengan
pencabutan atas semua giginya.
“Apa yang kau lakukan?” tanya Philippa, mengamati kerusakan itu dari ambang
pintu, “Semalam kau lapar lalu mulai mengunyah dinding?”
“Memangnya aku hamster?” kata John gusar, tapi dia tak berani mengatakan apa
yang ada dalam pikirannya. Dia takut akan ditertawakan.
“Tidak,” sahut Philippa, “tapi terkadang baumu seperti hamster.” Dia berjalan ke
cermin dan meraba retakan itu dengan hati-hati. “Setahuku, ini memang akibat
gempa. Hanya saja, gempa besar terakhir di New York berskala 5,1 terjadi pada
tahun 1983.”
“Aku nonton fi Im televisi tentang itu dua minggu lalu,” sahutnya, dan kemudian
mengerutkan kening,
“Tentu saja aneh,” timpal John, tapi Philippa sudah keluar kamar. Tak lama
kemudian adiknya muncul sambil membawa koran New York Times.
“Coba lihat ini,” seru Philippa, menyodorkan Koran itu ke tangan kakaknya.
Philippa mengerutkan kening lagi. “Kau membuat retakan ini agar aku takut,
ya?”
“Tidak,” bantah John, “sungguh. Aku terbangun dan itu sudah ada di sana,
sumpah.”
“Memangnya apa yang telah terjadi?“TXT BY OTOY
http://ottoys.wordpress.com
“Ini akan terdengar bodoh, tapi aku bermimpi terserang sakit gigi yang parah.
Dan anehnya, retakan itu sepertinya bermula dari tempat pipiku menempel di
bantal.”
Bukan untuk mengolok-olok, Philippa pun memeriksa bantal itu. “Lalu kenapa
aku tidak bermimpi?” tuntutnya, “maksudku, kita sering memimpikan hal-hal
yang sama, kan?”
Mereka masih mendiskusikan retakan di dinding kamar John saat, beberapa jam
kemudian, mereka tengah menaiki dua puluh empat deret anak tangga ke tempat
praktek Dokter Gigi Maurice Larr di Third Avenue.
Mister Larr melihat dari bagian atas kacamatanya dan berkedip kepada anakanak
itu. “Dia mengalahkanku dengan angka telak,” kata Mister Larr,
menggambarkan pertandingan terakhir yang telah mereka mainkan. “Ibu kalian
bisa menjadi petenis profesional. Ada petenis wanita profesional yang berharap
memiliki pukulan servis seperti ibu kalian. Dan dia cantik, kalian tahu? Itu
langka. Berapa banyak juara tenis wanita yang lebih mirip petenis pria? Tapi ibu
kalian tidak. Seharusnya kalian bangga padanya.”
kekuatan aneh. Segala sesuatu pada dirinya jadi sedikit lebih dari normal. Penata
rambut memuji rambutnya yang hitam berkilau dan berkata dia seharusnya
tampil dalam iklan sampo. Desainer pakaian memuji bentuk tubuhnya yang
sempurna dan berkata dia seharusnya menjadi model. Ahli kosmetik memuji
kulitnya yang kencang juga sehalus sutra dan berkata dia seharusnya
meluncurkan lini kosmetik sendiri. Penulis memuji kecerdasannya dan
mengatakan dia seharusnya menjadi penulis. Tamu-tamu pesta makan malam
memuji masakannya dan berkata dia seharusnya membuka restoran. Organisasi
penggalangan dana memuji kemam puannya mengumpulkan uang demi tujuan
mulia dan berkata seharusnya dia menjadi diplomat. Bagi John dan Philippa, tak
ada yang mengejutkan dalam pujian tinggi Mister Larr atas permainan tenis ibu
mereka.
Tapi si kembar tahu kalau ibu mereka sebenarnya senang. Bila ibu mereka
memiliki kelemahan, itu adalah karena pujian, dan dia menelan bulat-bulat
semua pujian seperti orang rakus melahap kue.
Mister Larr menatap anakanak itu dengan senyum paling ramah, dan
menggosok-gosok tangan nya. “Oke, siapa yang akan duduk lebih dulu di kursi
Paman Mo?”
“John,” jawab Mrs Gaunt, dan hanya itu yang perlu diucapkan. Mrs Gaunt biasa
dipatuhi - seperti hakim atau petugas polisi - tanpa keraguan.
“Lebih lebar, John, terima kasih.” Dan setelah mempersenjatai diri dengan
cermin yang mirip tong kat golf mini, dan pengait mini yang tajam, Mister Larr
mengintip ke dalam mulut John. Dokter gigi itu mencondongkan tubuh cukup
dekat sehingga John bisa menghirup aroma pasta gigi pada napasnya dan krim
pencukur Acqua di Parma, sama seperti yang digunakan ayah John.
“Gigigigi itu dinamai geraham bungsu karena normalnya kau akan memilikinya
saat kau sudah lebih dewasa. Itu berarti kau semakin dewasa sehingga kau akan
semakin bijaksana, meskipun tidak semua orang dewasa bertingkah bijaksana.”
“Masalahnya, Layla,” lanjut Mister Larr, “rahang anak ini belum cukup lebar
untuk menampung empat gigi baru. Ya, benar, John. Ada empat gigi. Bila
rahangmu kurang besar, hal itu akan menimbulkan masalah untuk gigi yang lain.
Geraham bungsu ini akan menekan gigi lain sehingga senyum memikatmu akan
terlihat miring dan tidak rata. Dan itu tidak kita inginkan, kan?”
“Apa maksudnya?” tanya John, meskipun dia merasa sudah tahu jawabannya.
“Geraham bungsu itu harus dikeluarkan, John. Gigimu akan dicabut. Empat
buah gigi yang akan dicabut. Kau perlu dirawat di rumah sakit. Kau akan dibius
total. Kau takkan sadar selama kami mencabutnya.”
“Hei, hei, hei,” ucap Mister Larr ramah, “Tak ada yang perlu dicemaskan, Anak
Muda. Aku yang akan mengerjakannya. Kau takkan menyadarinya. Soal kecil,
sungguh. Layla? Bagaimana kalau kita jadwalkan pencabutan inilusa?”
“Dalam mulut semuda mulut John,” jawab Mister Larr, “sebaiknya dicabut
secepat mungkin. Terlepas dari aspek kecantikan, giginya yang lain mungkin
akan menjadi miring. Juga ada risiko abses dan infeksi.”
“Baiklah, Mo,” desah Mrs Gaunt, “terserahlah. Bila harus dicabut, cabut saja.
Ketahuilah, aku hanya tidak siap mendengar kabar ini begitu cepat.”
“Siapa yang siap menghadapi sesuatu yang secepat ini? Baiklah. Giliranmu
sudah selesai, Anak Muda. Mari kita periksa adikmu, Philippa. Phil! Kemari dan
buka mulutmu seperti penyanyi opera!”
Philippa mengambil tempat di kursi dan membuka mulut lebar-lebar. Dia yakin
Mister Larr takkan menemukan sesuatu yang menarik dalam mulutnya. Dia
cukup bahagia karena dibilang bahwa giginya adalah gigi yang paling tidak
menarik di dunia oleh
Mister Larr. Sepertinya sudah menjadi ciri khas John untuk menjadi orang
termuda dengan geraham bungsu yang pernah Mister Larr temui. John memang
suka pamer, pikir Philippa sambil berusaha rileks dengan memikirkan fi Im yang
akan dia pilih bila pemeriksaan selesai: Mrs Gaunt selalu mengajak si kembar ke
bioskop setelah ke dokter gigi.
“Wow, aku tidak percaya,” seru Mister Larr, “siapa sangka? Aku tahu kalian
kembar, tapi wow!”
“Apa, dokter?” tanya Philippa, tapi karena mulutnya penuh dengan jari dan
peralatan gigi sehingga yang terdengar jadi mirip “A-ha, o-kher-ahr?”
Mister Larr, yang paham jenis bahasa ini dengan sangat baik, mengeluarkan
peralatan dan jarinya lalu menampilkan senyuman lebar. “Kuberitahu apa itu,
Nona Muda. Itu sejarah dalam ilmu perawatan gigi, itulah namanya. Geraham
bungsumu juga tumbuh, seperti saudara kembarmu.”
“Bagus, bagus sekali,” gumam Mrs Gaunt dengan cara yang membuat John
berpikir bahwa ibunya tidak bersungguh-sungguh.
“Nah,” ucap Philippa, menatap John dengan penuh kemenangan, “karena aku
sepuluh menit lebih muda dari John, berarti akulah orang termuda dengan
geraham bungsu yang pernah ada, bukan si cowok jerawatan itu.” Philippa selalu
menyebut itu bila ingin kakaknya marah.
“Kurasa juga begitu,” timpal Mister Larr, tersenyum lebar pada Mrs Gaunt,
“mereka luar
biasa.”
“Aku tidak tahu kenapa aku harus terkejut,” lanjut Mister Larr, meraih tangan
Mrs Gaunt dan menepuknepuknya dengan lembut, “sungguh aku tidak tahu. Itu
bisa saja terjadi karena ibunya sangat hebat.”
Dengan kesal Mrs Gaunt mengatur jadwal dengan Mister Larr lalu menggiring
anaknya pulang ke rumah di 77th Street. “Dalam situasi ini,” katanya, “mungkin
sebaiknya acara ke bioskop ditunda dulu. Ibu harus menyampaikan berita ini
kepada ayah kalian. Ada beberapa hal yang harus diatur.”
“Maksud Ibu, seperti menelepon rumah duka,” cetus John, berharap bisa
membalas dengan membuat Philippa gusar gara-gara komentar tentang cowok
jerawatan tadi.TXT BY OTOY http://ottoys.wordpress.com
“Jangan konyol, Sayang. Mister Larr benar. Tidak perlu khawatir.” Mrs Gaunt
tersenyum lemah seolah berusaha meyakinkan dirinya sendiri.
“Sebaiknya ibu juga menyampaikan ini kepada kalian,” lanjut Mrs Gaunt, “Ibu
tak ingin mengatakannya di depan dokter Larr. Dia begitu bersemangat. Tapi
geraham bungsu dini bukanlah sesuatu yang tidak biasa dalam keluarga Ibu.
Bahkan, Ibu hanya dua tahun lebih tua dari kalian saat geraham bungsu Ibu
tumbuh. Dan lihatlah Ibu sekarang.” Dia melayangkan senyum sempurna gaya
iklan-pasta-gigi namun penuh dengan kesedihan dan keprihatinan, “gigi Ibu
sempurna.”
“Anggap saja seperti ini,” sahut ibunya, “Itu merupakan tahap untuk menjadi
orang dewasa. Mak sudku, tumbuh dewasa. Jadi dobel dalam kasus kalian,”
tambahnya, “maksud Ibu, karena kalian kembar.”
Mrs Gaunt mendesah lalu menyalakan rokok yang diikuti dengan kernyitan dari
si kembar: Mereka tidak suka ibunya merokok. Sepertinya itu selalu menjadi
bagian yang paling tidak glamor dari Layla Gaunt, terutama di New York City
tempat orang tidak menyukai hal-hal seperti merokok ketimbang senjata api.
“Begini,” ucap Mrs Gaunt, mengabaikan kritik anaknya, “bila kalian bersikap
berani, bila kalian ke rumah sakit dan membiarkan geraham bungsu itu
“Ibu menginginkan gigi itu?” tanya Philippa, “Ugh, menjijikkan. Ambil saja
semua.”
“Sebut saja itu suvenir, bila kalian suka. Ibu pikir ibu bisa menyuruh orang
mencelupkannya ke dalam emas dan membuatnya jadi gelang.”
“Ibu,” protes Philippa, “aku tidak mau ke per kemahan musim panas bersama
John.”
“Ibu berani jamin kalau Alembic House adalah perkemahan residensial terbaik
di Amerika Utara,” kata Mrs Gaunt, “enam ratus hektar padang, perbukitan,
sungai, dan hutan dengan sekitar tiga meter garis pantai. Kalian akan bersenang-
senang. Tapi, bila tidak ingin pergi, kalian bisa menghabiskan musim panas
bersama ayah dan ibu di Long Island, seperti yang selalu kita lakukan.”
John memandang Philippa dan mengangkat bahu. Alembic House terdengar jauh
lebih menarik daripada tak ada perkemahan sama sekali; dan apa pun akan jauh
lebih menarik dibanding pergi Long Island. Philippa membalas anggukan
kakaknya, dia tampak paham.
“Mungkin kalian akan butuh waktu beberapa hari untuk memulihkan diri dari
operasi itu sebelum melakukan perjalanan,” kata Mrs Gaunt, “dan sudah pasti
Ibu harus menjelaskannya kepada ayah kalian. Ibu tahu dia sudah
menunggununggu saat untuk menghabiskan waktu bersama kalian di musim
panas ini. Oh ya, bagaimana kalau minggu depan?”
3
Pagi itu John dan Philippa akan menjalani operasi di Rumah Sakit AnakAnak
W.C. Fields Memorial -gedung modern indah yang di depannya ada patung
perunggu besar berwujud pria berwajah ceria yang sedang memegang botol obat.
Operasi mereka dijadwalkan pada jam Sembilan pagi, yang berarti si kembar
tidak boleh sarapan; dan saat Mister Larr singgah di ruang mereka sesaat
sebelum jam delapan untuk memperkenalkan Mister Moody, ahli anaestesi, rasa
lapar dan kegelisahan John muncul lantaran ketidakhadiran ibunya yang pergi
minum kopi di Starbucks.
“Jadi,” kata John kepada Mister Moody, “obat bius apa yang Anda usulkan?”
Mister Moody, pria tinggi dengan tampang lelah, yang tak terbiasa membahas
pilihan obat biusnya -apalagi kepada bocah berusia dua belas tahun -tersenyum
tidak nyaman. “Karena kau tanya, aku akan memakai Ketamine, yang selalu
memberi hasil terbaik.”
John, yang sudah membaca semua artikel tentang anaestesi di Internet dan
merasa tahu soal subjek itu mengerutkan kening. “Bukankah itu yang diberikan
dokter hewan kalau ingin membius pasiennya?”
“Aku tidak memaksa siapa pun percaya,” bantah Mister Moody, berusaha
menahan kejengkelannya, “kau takut aku menggunakan Ketamine, Anak
Muda?”
“Tidak, Pak, aku tidak takut,” jawab John datar, “bahkan, aku agak berharap
akan diberi Ketamine.”
“Konon itu yang terbaik untuk memberi pasien NDE. Atau setidaknya fi tur
utama NDE.”
“NDE? Rasanya aku belum pernah dengar kata itu,” Mister Moody mengakui
lewat giginya yang dikertakkertakkan.
“NDE, Near Death Experience,” sahut John tegas, “Anda tahulah. Bila kita
sedang dioperasi dan ham pir mati lalu kita melakukan perjalanan melewati
terowongan gelap menuju cahaya lalu dirampok oleh malaikat di ujung lainnya.”
Wajah Mister Moody jadi keruh akibat marah. Mister Larr melihat ini dan
memutuskan untuk menyela. “John, John,” katanya bersemangat, “rileks. Semua
akan baik-baik saja. Ini operasi kecil. Dokter Moody adalah ahli anaestesi yang
sangat handal. Yang terbaik di New York.”
“Oh, tentu,” sahut John, “aku tidak meragukannya sedikit pun. Hanya saja aku
pikir akan senang bila bisa bertemu malaikat. Meskipun itu cuma halusinasi.”
“Satu hal yang bisa kupastikan,” ucap Mister Moody, “tak satu pun pasienku
yang sadar dari pembiusan dan berkata mereka telah bertemu
Pintu terbuka dan Mrs Gaunt masuk sambil membawa cangkir kopi Starbucks
ukuran besar di tangannya yang terawat baik.
Philippa mengerang lalu membuang muka dengan kesal. “Bisa kita mulai?”
katanya, “aku belum sarapan. Jangan sampai aku tidak makan siang juga.”
Di dinding koridor di luar ruang operasi, ada pameran seni yang diadakan
anakanak dengan cara memajang gambar, poster, dan cerita tentang seperti apa
rasanya dioperasi. Tapi tak satu pun cerita dan gambar itu memberi Philippa
bayangan seperti apa sesungguhnya rasanya dioperasi. Dia terpaksa mengakui
bahwa itu mungkin sesuatu yang sulit ditulis. Satu menit dia memegang tangan
ibunya dan merasakan sesuatu yang dingin menyebar naik ke lengannya, dan
menit berikutnya, tak ada apa-apa. Seolah seseorang telah mengklik tombol di
dalam kepalanya dan memu tuskan hubungan dengan semua indranya.
Atau hampir semuanya.
Dari percakapan ibunya dengan Mister Moody, Philippa mendapat kesan bahwa
begitu obat bius bereaksi, dia takkan merasakan apa-apa; tapi begitu Ketamine
itu bekerja, dia merasa sedang berjalan di tepi sungai berkelok-kelok yang
membelah gua besar nyaris tanpa batas menuju lautan. Dia merasa ngeri, tapi
untunglah di sana juga ada John.
“Apa ini?” dia bertanya kepada kakaknya. “Mimpi, atau salah satu NDE yang
kau bilang tadi?”
John memandang berkeliling. “Entahlah. Tapi ini tidak mirip terowongan, dan
tidak ada cahaya putih kecil atau malaikat yang kulihat.”
Memerhatikan ekspresi adiknya, John melihat bahwa adiknya itu merasa tidak
nyaman. “Jangan cemas,” katanya, “kau akan baik-baik saja.”
“Kata siapa? Kau telah memaksa aku masuk ke dalam mimpimu, itu saja.”
“Jadi sangat masuk akal kalau diungkapkan seperti itu,” timpal John, “tapi
bagaimana kau yakin kalau kau tidak berada dalam mimpiku.”
“Entahlah. Aku tidak tahu pasti sampai kita ter bebas dari obat bius ini.”
Setelah beberapa saat, salah satu jendela di kubah itu membuka. Seorang pria
berbadan agak besar dengan mata berkilau dan rambut berkibar-kibar
mencondongkan badan ke luar dan melambai pada mereka.
“Hei, Phil, kau tahu apa yang tadi kukatakan tentang keinginan untuk bertemu
malaikat? Itu hanya omong kosong. Ini menakutkan.”
John meraih tangan adiknya dan menggenggam erat hingga si adik merasa lebih
tenang. John menarik Philippa ke belakangnya, seperti hendak melindungi. Ada
kalanya John tampak seperti kakak terbaik di dunia.
“Jangan hanya berdiri di sana seperti dua jeruk sitrun,” ujar pria di jendela
kubah, “cepat kemari.”
“Bagaimana?” teriak John, “tidak ada tangga.” “Begitukah?” Pria itu makin
mencondongkan badan keluar jendela dan menunduk melihat laut di bawahnya,
“kau benar. Sepertinya kita terbang, bukannya mengapung. Salahku. Itu akan
segera diper baiki.”
Dan dengan perlahan, seperti kapal luar angkasa raksasa yang mendarat di planet
terlarang, pavilion kerajaan yang dihuni makhluk asing misterius mulai turun
dari langit sampai mendarat dengan mantap di pantai.
“Sudah beres,” teriak pria itu, “sekarang cepatlah. Waktu kita tidak banyak.”
gua es. Di suatu tempat ada wanita yang bernyanyi diiringi instrumen musik
yang tidak bisa mereka kenali.
“Mungkin itu memang malaikat,” ujar Philippa ketakutan, “ini halusinasi, kan?”
“Aku?”
“Katamu ini mimpimu, bukan mimpiku, ingat?” Langkah kaki menggema dalam
ruangan di depan mereka. Tak lama kemudian muncul orang tinggi dan gelap,
mengenakan setelan merah serta kemeja dan dasi merah. Orang itu tersenyum
lebar. “Well, apakah kalian tidak mengenalku?” tanya pria itu dengan suara
menggelegar yang menggema di ruangan besar merah dan emas itu seperti peluit
kabut.
“Setan, katamu?” sembur pria itu, “kenapa kalian berpikir begitu? Aku Paman
Nimrod. Dari London.” Dia berhenti sejenak seolah menunggu tanda-tanda
mengenali. “Kita bertemu saat kalian lahir,” katanya.
“Tapi kami pernah dengar tentang dirimu,” tambah Philippa ramah. “Hanya saja
kami agak ketakutan menemukanmu di sini, dalam mimpi. Saat kami dioperasi.”
sepertinya itu tak bisa dielakkan.” Paman Nimrod merentangkan tangan. “Well,
apakah aku tidak men dapat pelukan?”
Karena itu hanya mimpi, dan karena dia adalah paman yang samar-samar
mereka kenali dari foto di meja ruang kerja ibu mereka, keduanya tersenyum
gagah dan memeluk Nimrod dengan sopan.
“Kalian tidak suka? Ini Paviliun Kerajaan Brighton,” jawab Nimrod. “Dari
pesisir selatan Inggris. Kupikir akan cocok dengan mimpi kalian. Kalian tahulah.
Pria dari Porlock?”
Mereka duduk dan Nimrod mengeluarkan cangkir kayu besar dan menjatuhkan
lima buah dadu ke dalam nya. “Kita bisa bermain sambil
“Tesserae,” jawab Nimrod. “Dadu, Nak, ini dadu. Kita lempar dadu sambil
mengatur rencana, seperti
orang Romawi. Aku duluan.” Nimrod melempar dadu, dan meraupnya lagi ke
dalam telapak tangan bahkan sebelum John dan Philippa sempat melihat angka
yang muncul.
“Coba aku lihat,” kata Nimrod sambil melirik arloji emasnya, “apa pun yang
kalian suka.” Pria itu menjatuhkan dadu ke dalam cangkir dan menye rahkannya
pada John. “Giliranmu!”
“Hanya ada satu aturan,” sahut Nimrod saat John mendapatkan tiga angka enam,
“aturan sangatlah penting dalam setiap permainan. Dan itu adalah
keberuntungan.” Philippa meraup dadu itu. “Semua yang bisa dia lakukan,”
katanya sambil menjatuhkan dadu ke dalam cangkir, “bisa kulakukan dengan
lebih baik.” Dan dia melontarkan pekik senang lirih saat melihat hasil
lemparannya ada empat angka enam.
“Hebat,” ucap Nimrod sambil mengambil dadu, “Sekarang kita lihat apa yang
bisa kalian lakukan bersama.” Dia menyerahkan cangkir itu pada John lalu dia
meletakkan tangan Philippa di atas tangan saudara kembarnya. “Lemparlah. Aku
tak punya banyak waktu.”
Bagus. Bagus sekali. Itu bisa kita manfaatkan.” “Bagaimana?” tanya John.
“Mungkin belum. Tapi kau akan melihatnya. Pasti. Ayo bermain Astaragali.”
“Apa itu?”
“Aku benarbenar tidak yakin,” sela Philippa, “kalau ini memang mimpi.”
“Ya, dan lihat apa yang terjadi pada mereka,” timpal John.
“Aku ingin tahu kebudayaan manusia yang sesukses suku Aborigin,” kata
Nimrod, “semua yang mereka miliki bertahan selama 80.000 tahun. Aku berani
bertaruh kau tidak bisa memberitahuku hadiah ulang tahun apa yang kau terima
dua tahun lalu.” Nimrod mengangguk tegas seolah menutup diskusi itu,
tersenyum, mengantongi dadu-dadunya, dan melirik arlojinya lagi. “Sekarang,
setelah yakin kalian memang beruntung, mari kita bahas masa depan kalian.
Dengar. Kebetulan sekali aku butuh bantuan kalian, jadi aku ingin kalian
lakukan ini. Bila pulih dari operasi, jangan ceritakan bahwa kalian bertemu
denganku. Aku ada masalah dengan ibumu saat kalian lahir, karena alasan yang
tidak akan kita bahas sekarang. Tapi aku berjanji akan memberitahukan
semuanya bila kalian sampai di London.”
“Berarti kalian harus mengatakan pada orangtua kalian, dengan sopan, bahwa
kalian ingin sekali berkunjung ke tempatku. Di London. Hanya kalian berdua.
Itulah yang hendak kusampaikan.” Nimrod melihat arlojinya lagi. “Oh, sial, kita
kehabisan waktu. Beberapa menit lagi kalian akan sadar.”
John tertawa. “Kau bercanda, kan? Mereka takkan setuju. Tidak mungkin.”
mereka akan setuju. Kecuali kalian memang ingin ke perkemahan musim panas
di Salem itu. Meskipun dalam kenyataannya, tempat itu lebih mirip sekolah.”
“Sekolah?” John berang.
“Sekolah musim panas,” John mengulang katakata itu dengan nada yang nyaris
jijik.
“Jadi, saranku adalah datang ke London. Tapi harus kalian ingat untuk tidak
mengatakan bahwa aku yang mengusulkan. Itu sangat penting, sungguh. Ibumu
dan aku tidak sependapat dalam sejumlah persoalan.”
“Bagaimana kalau mereka menolak?” tanya John. “Sudah selesai,” ujar Mister
Larr.
ujung lidah.
“Mulutmu akan terasa agak lembek selama bebe rapa hari,” jelas Mister Moody,
si ahli anaestesi, “tapi memang harus begitu. Dan aku akan memberi kalian
sesuatu untuk rasa sakit itu.” Dia tersenyum lalu meninggalkan ruang operasi.
“Ya, giginya sudah pergi,” sahut Mister Larr, mengira pertanyaan Philippa
ditujukan padanya, “Kau ingin melihat geraham bungsumu?” tanya Mister Larr,
“ini dia,” lanjutnya, mengulurkan pada gadis itu piring baja berbentuk ginjal
yang di atasnya tergeletak empat geraham bungsu, berlumuran darah.
Philippa melihat gigigigi itu mirip bidak catur. “Ugh,” komentarnya. “Bawa
sajalah.”
“Kau bertemu dengannya?” tanya John pada adiknya. “Nimrod.” “Ya. Kau?”
“Ada di sini,” ujar Mister Larr, masih menganggap bahwa si kembar sedang
membicarakan gigi mereka yang dicabut, dan menyerahkan pada John baki
berisi geraham bungsunya sendiri. “Lihatlah, John.”
John melihat dan merasa agak mual. Dia merasa kalau giginya mirip sesuatu
yang para pemburu Afrika potong dari gajah kecil tapi langka. Pada saat yang
sama dia tahu bahwa bukan hanya profesi bankir dan akuntan yang akan dia
hindari; dia juga tidak mau jadi dokter gigi.
dengannya.”
“Jadi,” sahut Philippa, “Apa itu karena Ketamine? Mimpi? Dan hal-hal karena
kita kembar?”
“Mungkin.”
“Menurutku, itu bukan persoalan yang harus kita sampaikan pada Ibu dan Ayah.
Setidaknya selama beberapa waktu.”
4
Saat kepulangan mereka dari rumah sakit di sore hari, pipi si kembar terlihat
seperti dijelali makanan, seperti sepasang hamster rakus. Mereka sedang berdiri
di tangga saat mendengar ayah dan ibunya berbincang.
“Welf,” ucap ayah mereka, “mereka baik-baik saja, kan? Maksudku sejauh ini
tak ada kejadian aneh.”
“Ya, sejauh yang kulihat,” Mister Gaunt berhenti sejenak, “apa? Apa? Katakan,
apakah sesuatu telah terjadi?”
“Tidak, Sayang. Aku hanya merasa John berubah.” Mrs Gaunt mendesah, “apa
kau tidak lihat? Sejak kembali dari rumah sakit, jerawatnya lenyap.”
Philippa menatap wajah John lekat-lekat. “Hei, cowok jerawatan, siapa sangka?
Ibu benar. Jerawatmu lenyap. Tak ada satu jerawat pun di wajahmu.”
John melesat menaiki tangga, menuju ruang berpakaian ibunya lalu berdiri di
cermin seukuran badan di seberang lemari. Setahun lalu dia telah diserang
wabah jerawat merah menyala, mengingatkan kita pada gunung yang siap
meletus dengan sangat dahsyat.
PERUBAHAN
dan ke arah sebaliknya, tapi John tidak menemukan satu jerawat atau komedo
pun di kulitnya yang kini tanpa noda. Biasanya, dia berusaha menjauhi cermin
agar tidak merasa tertekan karena berjerawat. Dia merasa tak ada alasan bagi
orangtuanya untuk menganggap ketidakhadiran jerawat di wajahnya adalah
masalah.
“Yeah,” sahut Philippa, sama sekali tidak yakin pada kakaknya yang sudah
kembali pada ilmu kedokteran, “benar, kalau itu yang ingin kau pikirkan, silakan
saja.”
“Mungkin,” jawab John. Dia masih terlalu ter kesan pada wajahnya sendiri
sehingga tidak terlalu memerhatikan ucapan adiknya, “entahlah.” Menge luarkan
suara decak keras, dia mendesah gusar dan menambahkan, “percayalah, kalau
sesuatu yang seperti ini terjadi padamu, Phil, kau pasti akan menyukai dirimu.”
“Entahlah. Mungkin masa puber. Kudengar banyak orangtua cemas bila itu
terjadi. Hormon anakanak mereka mati dan si orangtua mulai mengirim mereka
ke psikiater. Felix Grabel dibawa ke ahli trichology* saat kumisnya mulai
tumbuh.”
“Orangtua Felix Grabel lebih aneh daripada anaknya,” tukas Philippa, “tapi
kalau yang kau ingin keanehan, ayo ikut aku. Akan kutunjukkan sesuatu yang
benarbenar aneh.”
Philippa mendahului John naik satu lantai ke kamarnya, tempat yang jarang
didatangi cowok itu, karena menurutnya kecintaan adiknya pada mainan lembut,
binatang berbulu, dan poster boy band yang kelihatan seperti cewek sangatlah
menjijikkan. Pada dinding di belakang pintu terdapat alat pengukur tinggi Orang
Pendek di Hollywood (“lihat berapa sentimeter kau lebih tinggi dari bintang fi
Im favoritmu”, tertulis di alat ukur tinggi itu). Philippa menunjuk ke entri
terakhir yang dibuat sehari sebelum geraham bungsu nya dicabut.
“Dua hari lalu tinggiku tepat seratus dua puluh empat sentimeter,” katanya
sambil menyerahkan penggaris dan pensil pada John, “sekarang lihat.” Philippa
menyentakkan sepatunya, kemudian berdiri di antara Tom Cruise dan Robert De
Niro.
John meletakkan penggaris datar di atas kepala adiknya dan kemudian menandai
tingginya dengan pensil.
Philippa menjauh dari alat pengukur itu dan mereka berdua memekik terperanjat.
Tak ada kera-
guan lagi soal itu. Philippa sudah bertambah tinggi cukup banyak. John
memeriksa berapa banyak adiknya ber tambah tinggi.
“Dua setengah senti?” tanyanya heran, “itu tidak mungkin. Kau pasti salah
mengukur saat terakhir kali.”
Mrs Trump adalah wanita yang dipekerjakan orangtua mereka sebagai juru
masak dan pengurus rumah tangga.
“Berarti dia telah membuat kesalahan. Tak seorang pun yang tumbuh dua
setengah senti dalam dua hari.”
“Minggu lalu. Ayah yang mengukurku. Dia bilang begitu tinggiku mencapai
seratus enam puluh delapan senti, aku akan mendapat sepatu ski baru. Dia tidak
mungkin membuat kesalahan. Dia selalu cermat.”
Mereka ke kamar John di mana dia berdiri dengan punggung menempel pada
alat pengukur tinggi James Bond miliknya (“Lihat setinggi apa kau
dibandingkan DD7) antara Sean Connery dan Pierce Brosnan, dan me nunggu
Philippa melakukan pengukuran.
“Tak ada keraguan sama sekali,” ujar si adik, “kau juga bertambah tinggi. Coba
kita lihat, sebanyak empat senti.”
“Seperti yang selalu aku bilang,” ujar Philippa, “sesuatu yang sangat aneh
sedang terjadi di sini. Mulamula, kita punya geraham bungsu bertahun-tahun
lebih cepat daripada yang seharusnya, lalu, saat cabut gigi, kita mendapat mimpi
yang sama di mana paman kita muncul. Bukan hanya itu, pertumbuhan kita
melejit luar biasa dalam semalam.”
Philippa berhenti sejenak, lalu berkata, “Kau ingin tahu hal lain yang aneh? Apa
cuma aku atau kau juga merasa kalau AC rumah ini terasa agak dingin?”
“Sejak kembali dari rumah sakit,” John mengangkat bahu, “mungkin Mrs Trump
menaikkan suhu AC. Bila sedang mengisap debu karpet, dia jadi kepanasan.”
Si kembar berderap menuruni lima deret anak tangga menuju dapur bawah tanah
di mana Mrs Trump sedang mengosongkan mesin pencuci piring. Sulit dipercaya
tapi dulu, di galaksi yang jauh, Mrs Trump adalah seorang ratu kecantikan;
anakanak itu sudah melihat foto dan guntingan koran untuk membuktikannya.
Tapi, waktu tidak bersikap baik pada Mrs Trump, dan sekarang dia adalah wanita
bertampang menyedihkan yang biasabiasa saja dengan sebuah gigi ompong di
rahang atas dan dua
“Tidak, aku tidak menaikkan suhu AC. Apa untungnya menaikkan suhu AC?
Aku suka bekerja dalam oven. Ada orang yang harus membayar banyak untuk
pergi ke pusat kebugaran lalu duduk mandi uap dan berkeringat. Tapi aku? Aku
cukup beruntung bisa datang ke sini dan mendapat perawatan yang sama secara
gratis.” Mrs Trump tertawa mendengar lelucon kecilnya dan, setelah
membanting laci perlengkapan makan, menutup dan mencondongkan tubuh ke
depan dari balik meja dapur, dia tersenyum, menutupi mulut dengan tangan agar
anakanak itu tidak melihat gigi ompongnya, padahal mereka selalu dapat
melihat.
“Kami merasa agak kedinginan sejak kembali dari rumah sakit,” ucap John.
Mrs Trump meraba kening John dengan tangannya yang dingin. “Rasanya
badanmu tidak panas,” katanya, “tapi mungkin kau akan terserang fl u.”
“Begitukah,” sahut John, “kami merasa sehat. Kami hanya merasa agak
kedinginan, itu saja.”
“Kedinginan, katanya,” kekeh Mrs Trump, “suhu di luar tiga puluh dua derajat
dengan kelembaban tujuh puluh lima persen,” dia menggeleng-gelengkan
kepala, “jadi jangan salahkan aku, salahkan ibumu. Benarkah yang selama ini
aku dengar tentang kalian berdua?”
“Kalian memang anakanak yang beruntung,” ujar Mrs Trump, “saat kecil, aku
belum pernah pergi ke perkemahan musim panas. Aku belum pernah ke mana
pun.”
“Ke mana kau ingin pergi, Mrs Trump?” Tanya Philippa, menggodanya sedikit
setelah wanita itu rileks lagi, “kuharap kau dapat pergi ke mana pun.”
“Kalau punya uang? Aku akan ke Roma dan menengok kedua putriku. Mereka
berdua menikah dengan pria Italia.”
“Bagi orang seperti aku, biayanya cukup besar, sungguh. Tapi mungkin kelak
aku akan pergi, kalau aku memenangkan lotere.”
“Pasti ada yang menang lotere,” ujar Philippa, yang menyukai Mrs Trump dan
merasa kasihan padanya, “kenapa bukan kau?”
“Mungkin saja, suatu hari,” Mrs Trump mengangkat tatapannya dan satu tangan
ke atas “kuharap.”
Philippa mengangguk. “Aku tidak apa-apa. Hanya saja tadi aku merasa aneh.
Sepertinya aku kehilangan semua tenagaku.” Dia menggeleng-gelengkan kepala.
Satu atau dua menit kemudian, ketika merasa dirinya sudah cukup segar,
Philippa mengembuskan napas dan tersenyum. “Aneh. Sekarang aku sudah
merasa sehat lagi.”
“Seperti yang tadi kukatakan. Setelah operasi, kalian seharusnya tidak langsung
bangun dan berkeliaran. Kalian berdua seharusnya berbaring di ranjang. Mau
tambah air?”
“Ugh. Tidak, terima kasih,” jawab Philippa. Mata nya terpaku pada tas Mrs
Trump yang tergeletak membuka di meja dapur dan kotak rokok yang bisa dia
lihat berada hampir di bagian atas. “Tapi kau tahu, yang paling aneh, tibatiba aku
punya keinginan besar untuk…” Philippa ragu untuk melanjutkan ucapannya,
seolah kata itu terlalu buruk untuk diucapkan, dan memang demikian. Dia jijik
pada dirinya sendiri.
Mrs Trump tertawa melengking lalu dengan malu menutupi mulutnya dengan
tangan, terutama giginya yang ompong, karena bisa menebak apa yang Philippa
maksud.
“Aku tidak bisa menjelaskannya,” ujar Philippa, “maksudku aku benci gagasan
tentang rokok. Kurasa rokok sangat buruk untuk kita. Dan kuharap ibuku tidak
merokok. Hanya saja aku merasakan ketertarikan untuk menyalakan sebatang
saja. Kumohon, Mrs Trump. Boleh kunyalakan sebatang rokokmu?”
John mengangkat bahu dan tidak mengucapkan sepatah kata pun. Diam-diam dia
berharap Mrs Trump akan mengizinkan, karena dia juga mengalami perasaan
aneh yang sama seperti saudara kembarnya. Gagasan tentang rokok dan - yang
lebih penting - asap serta bara panas kecil yang menyala di ujungnya, sepertinya
begitu menarik dan menguasai dirinya tanpa ada sedikit pun rasa jijik yang
biasanya dirasakan bila melihat ada yang merokok. Dia sepertinya memerlukan
asap dan panas, seolah tubuhnya berpikir bahwa menyalakan rokok akan
memberinya semacam kehangatan sebagai reaksi dari rasa dingin yang terus
dirasakannya.
“Kumohon, Mrs Trump,” desak Philippa, “kumo hon dengan amat-amat sangat.”
“Kau ingin aku dipecat?” Mrs Trump tertawa gugup, “ya Tuhan, aku tidak
pernah mendengar hal-hal sepertiitu. Kau pernah merokok?”
“Aku juga,” John mengakui, “dan aku sama sekali tidak tahu alasannya.”
“Ya,” jawab si adik, mulai paham ke mana pembicaraan ini diarahkan oleh
kakaknya. Karena suatu alas an dia mulai memikirkan cara Winston, anjing
Rottweiler yang semula bernama Neil, menghampiri bila ayah mereka mengisap
cerutu dan mulai meng endus-endusudara. “Itu hanya lelucon jelek. Silakan saja
merokok. Kami tidak ingin merusak kesena-nganmu.”
“Ke perkemahan musim panas itulah kami harus pergi,” ucap Philippa, “di
Salem*.”
Mrs Trump tampak terkejut. “Tempat yang aneh untuk perkemahan musim
panas,” sahutnya, “maksudku dengan semua sejarahnya itu.”
“Itulah yang kami pikirkan,” timpal John, “kami memainkan drama Arthur
Miller, The Crucible** di sekolah. Dan…,” dia mengendus-endus udara yang
penuh asap, “dan kau benar. Itu bukan tempat
* Kota di inggris ini adalah lokasi persidangan orangorang yang terlibat dalam
ilmu sihir dan eksekusinya pada tahun 1693.
“Memang tidak,” kata Mrs Trump, “tetap saja, aku harap akan sangat
menyenangkan bila kalian sudah sampai di sana.”
“Ya,” sahut Philippa, menghirup asap rokok Mrs Trump dalam-dalam lewat
hidungnya yang mengem bang, “hanya saja kami lebih suka pergi ke Eropa.”
Perlahan tatapan Mrs Trump jatuh pada Philippa, seperti kucing mengawasi
seseorang yang makan sepotong ikan lezat.
“Ya, memang,” sahut Philippa, sementara kakaknya melakukan hal yang sama.
Mrs Trump mengerutkan kening. “Apakah kalian?” Dengan marah dia berdiri,
melempar rokoknya ke jalanan, dan meremukkannya di bawah sepatu ketsnya,
“sejujurnya,” katanya sambil kembali ke dapur, “aku tidak pernah melihat
kejadian seperti itu. Harus kulaporkan kepada Ibu kalian, itulah yang harus aku
lakukan. Untungnya aku bukan jenis orang yang suka berbicara di belakang.
Bahkan tentang dua orang yang pantatnya pantas dipukul.”
“Tadi waktu di dapur, beberapa menit lalu, saat kau duduk dan mengerang, kau
kenapa?”
“Dan sekarang?”
“Aku memikirkan ucapanmu tadi, dan aku yakin itulah penyebab semua yang
terjadi pada kita.”
yang memengaruhi hidup mereka. Dan dengan cepat menjadi jelas bagi John dan
Philippa bahwa Mr dan Mrs Gaunt menganggap gigi dan perjalanan mereka ke
perkemahan musim panas di Salem sangatlah penting.
“Ya ampun. Semuanya baik-baik saja,” ujar ayah mereka, “dan kemudian hal ini
harus terjadi.”
“Bukan seolah kau tidak tahu ini akan terjadi,” sahut Mrs Gaunt, “aku sudah
berusaha menjadikan rumah ini normal. Melakukan pengorbanan yang cukup
banyak sebagai wanita. Melepas apa yang kulakukan saat aku bertemu
denganmu.”
Hal ini berita baru bagi si kembar yang tidak pernah berpikir bahwa ibu mereka
pernah melakukan sesuatu kecuali menjadi ibu rumah tangga.
“Aku tahu, aku tahu, jangan kaupikir aku tidak menghargainya, Layla sayang.”
“Tapi aku selalu, selalu, jujur padamu tentang anakanak kita, Edward.”
“Tentu, tentu, hanya saja aku tidak menduga ini terjadi begitu cepat. Maksudku,
demi Tuhan, Layla, apa yang seorang ayah harapkan pada anakanaknya saat
mereka kehilangan gigi bungsunya bahkan sebelum remaja? Usiaku dua puluh
empat tahun saat geraham bungsuku tumbuh. Dua puluh empat tahun.”
“Bukankah aku sudah tahu?” seloroh Mister Gaunt, “Lihatlah dirimu, Layla.
Kau tampak hebat. Dan aku, aku kelihatan seperti…, entahlah. Seolah
“Lebih tua dan sukses,” sahut Mrs Gaunt, “itu yang kusukai dari seorang pria.”
“Oh, sudahlah. Aku kebal pada pujian. Aku punya cermin bercukur yang
memberitahuku keadaan yang sebenarnya setiap pagi. Jadi, apa yang akan terjadi
sekarang?”
“Mereka akan ke Alembic House selama musim panas, seperti yang kita
sepakati. Sebelum mulai terjadi sesuatu.”
“Astaga, Layla, kau membuatnya terdengar seolah hal itu bisa…” Mister Gaunt
membisikkan kata berikutnya sehingga si kembar tak bisa mendengarnya. “…
bila mereka ada di rumah.”
“Tapi masa kau tidak lihat? Itulah kenyataannya. Mungkin mereka belum tahu,
tapi mereka sedang di ambang kebangkitan. Inilah yang kucemaskan. Kita mengi
rim mereka ke Dr. Griggs atau kau harus belajar memerhatikan ucapanmu.
Semua orang juga.”
“Layla, katakan bahwa kau tidak serius,” kata Mister Gaunt, “mereka anakku,
demi Tuhan. Kenapa aku harus menjaga ucapanku?”
“Karena mereka tidak bisa mencegah diri mereka sendiri. Misalnya salah satu
dari mereka marah kepadamu. Lalu apa?”
“Hanya saja yang kau usulkan itu terdengar sangat drastis,” ujar Mister Gaunt,
“Perkemahan ini, Alembic House, maksudku apa itu tempat yang bagus? Seperti
apa si Griggs itu?”
“Edward sayang, tak ada yang perlu dicemaskan, bisa kupastikan itu. Semua ini
demi kebaikan mereka. Tujuan mengirim mereka ke Alembic adalah agar
mereka bisa menentukan parameter tentang apa yang boleh dan tidak boleh
mereka lakukan. William Griggs sangat berpengalaman dalam hal seperti ini,
jauh lebih berpengalaman daripada aku. Kau ingin mereka hidup normal dan
bahagia, kan?” “Tentu saja. Kau tahu itu.”
“Ini sudah cukup,” bisik John, “Kurasa sudah waktunya kita mencari tahu
tentang Alembic House dan si Dr. Griggs ini, kan?”
“Dr. William Griggs, M.D., Psikiater Anak dan Ahli Pediatri. Spesialis dalam
transfi gurasi, transformasi, transmutasi, dan sosialisasi umum anakanak
berbakat. Pemilik Alembic House, Salem, Massachusetts, Klinik dan Sekolah
Musim Panas untuk cendekiawan muda, anak ajaib, dan genii yunior. Apa arti
genii?”
“Jadi seperti yang Paman Nimrod katakan dalam mimpi kita. Bukan perkemahan
musim panas, tapi sekolah musim panas. Bagi para jenius.”
“Genii,” Philippa mengerutkan kening, “yang betul genii. Kau memang jenius.”
“Apa?”
sesuatu? Kita tidak mungkin tahu kalau itu bukan perkemahan musim panas
sungguhan. Bagaimana kita bisa memimpikan kenyataan itu?” John mengge-
lenggelengkan kepala, “Tidak, itu bukan mimpi.”
“Jadi, begini saja,” ucap John, “ayo kita beritahu mereka. Seperti yang Nimrod
katakan. Bahwa kita ingin ke London. Kalau dia benar tentang sekolah di Salem
itu, ada alasan untuk percaya bahwa dia mungkin benar tentang kita akan
diizinkan ke London.”
“Mungkin kita harus pikirkan lagi. Kita lihat situasi besok pagi.”
John mengangguk. “Ide bagus.” Dia mendorong Philippa dengan lembut ke arah
pintu kamar tidurnya. “Aku akan duduk di sini dan memikirkan kemungkinan
yang sesungguhnya bahwa aku seorang jenius. Aku memang ingin
memenangkan hadiah Nobel.”
5
JERITAN
“Kurasa juga begitu,” jawab John. Dia berkaca, hanya untuk memeriksa bahwa
di malam hari jerawatnya tidak kembali dengan penuh dendam; tapi wajahnya
masih halus dan bebas jerawat. “Sungguh melegakan,” ucapnya, “Aku kira aku
hanya bermimpi.”
Mereka turun ke lantai bawah lalu mendapati Ayah dan Ibu mereka sedang
berbisik-bisik di koridor.
“Kau tahu berapa kemungkinan dari kebetulan macam itu?” tanya Mrs Gaunt,
“sekitar sepuluh juta berbanding satu. Tidak, ini baru awal.”
“Lagi pula, bagaimana bisa? Mereka ‘kan belum tahu,” Mister Gaunt berhenti,
“atau mereka sudah
tahu? Tapi, kalau dipikir-pikir, mungkin kau benar. Kurasa agak mencurigakan,
ini terjadi tak lama setelah…” ucapannya terhenti ketika melihat kehadiran si
kembar, “ehm… selamat pagi, anakanak,” katanya gugup.
“Kami mendengar jeritan,” ujar Philippa, “ada apa?”
Mister Gaunt menatap istrinya lalu tersenyum lemah, “Ibu kalian yang akan
menceritakannya. Betul, Sayang? Ayah harus berangkat kerja. Ayah sudah
terlambat. Nah… ehm… jangan nakal, dan usahakan untuk tidak… ehm…
berbuat onar.”
“Tidak ada,” jawab Mister Gaunt, pura-pura polos, “Tak ada maksud apa-apa. Itu
hanyalah ungkapan. Seperti ‘jaga diri kalian’, atau ‘semoga hari kalian
menyenangkan’. Tidak perlu tersinggung. Ayah tidak marah.”
“Welf, tapi kedengarannya sebaliknya,” tukas John, “kurasa agak tidak adil kalau
Ayah mengatakan agar kami berusaha untuk tidak membuat onar. Seolah kami
sering bikin onar.”
Begitu selesai bicara, John berpikir dia mungkin sudah keterlaluan, bicara pada
ayahnya seperti itu. John berharap ayahnya akan melepas kacamata berwarna
pucat lalu memandangnya dengan tatapan paling tajam dan menusuk. Tapi apa
yang terjadi berikutnya jauh lebih mengejutkan.
“Maaf, John. Maaf, Philippa. Kalian benar. Betapa Ayah tidak berpikir panjang.
Ayah tidak bisa
meminta anak yang bersikap lebih baik dibanding kalian.” Bahkan saat bicara
dia menjejalkan tangan ke saku belakang, menarik keluar dompet uang kertas
seukuran sandwich besar, lalu menarik uang dua ratus dolar. “Ini,” katanya
sambil menyodorkan uang itu pada John, “masing-masing selembar. Belilah
sesuatu yang menyenangkan. Untuk perkemahan musim panas.”
“Edward, kau tidak perlu melakukan itu,” protes Mrs Gaunt, “kau bersikap
paranoid.”
John - yang menganggap bersikap paranoid ter dengar seperti sesuatu yang
sangat menyenangkan jika membuat mereka menerima uang - mengulurkan
tangan untuk mengambil uang itu sebelum ayahnya berubah pikiran. John
terguncang ketika melihat ayahnya bergidik saat mereka bersentuhan, dan keba
hagiaan yang dia rasakan karena mendapat uang tibatiba menguap saat sadar
bahwa ayahnya seperti takut padanya. Saat menangkap tatapan adiknya, John
tahu bahwa Philippa juga melihat ini; dan saat ibu mereka mengikuti Mister
Gaunt menuruni tangga di depan rumah menuju ke pintu limousin yang sudah
menunggu. John mencengkeram lengan Philippa lalu berbisik di telinganya:
“Kau lihat itu?” ujarnya, “kau lihat ayah? Cara dia menatap kita? Kita takkan
pernah punya kesempatan yang lebih baik daripada ini.”
“Untuk apa?”
“Untuk melakukan usulan Nimrod yaitu memberitahu mereka bahwa kita ingin
ke Eropa.” “Entahlah.”
“Kau ingin menghabiskan seluruh musim panas di sekolah bagi para jenius
muda?”
“Kami sudah pikir-pikir,” ujar John, “kami tidak ingin ke perkemahan musim
panas itu. Kami sudah memeriksanya di Internet, dan sepertinya tempat di Salem
ini lebih mirip sekolah ketimbang perkemahan musim panas.”
“Apalagi si Griggs seorang psikiater,” tambah Philippa, seolah hal itu membuat
keadaan lebih buruk.
“Yeah. Dia akan memaksa kami minum Ritalin sebelum ayah menyadarinya.”
“Oh, John, itu omong kosong,” ucap Mrs Gaunt, “Dr. Griggs orang baik.
Alembic House tempat yang menyenangkan, untuk anakanak berbakat,”
imbuhnya sambil membelai rambut Philippa, “tempat di mana kau bisa belajar
bersikap positif.”
“Tapi aku tak ingin menjadi anak berbakat,” tukas John, “aku ingin menjadi anak
normal.”
“Lalu apa yang kau inginkan?” tanya Mister Gaunt. John menoleh sekilas pada
adiknya, menghela napas panjang, dan berkata, “Kami ingin ke Eropa.”
John merasa yakin bahwa kata “tidak boleh” akan terlontar begitu kata “sudah
pasti”, tapi pada detik terakhir Mister Gaunt menangkap tatapan istrinya, dan si
kembar melihat sang ibu menggelengkan kepala, seolah menasihatinya agar
tidak menolak.
Mister Gaunt berhenti dan, bukannya member jawaban negatif, dia malah
tersenyum. Lalu, yang membuat kedua anaknya terkejut, dia mengangguk.
“Sudah pasti,” katanya. “Sudah pasti. Bila itu yang kalian inginkan. Bila mereka
ingin pergi ke London, maka itulah yang harus mereka lakukan. Kau sependapat
kan, Layla?”
“Tentu,” jawab sang istri dengan sabar, seolah si kembar telah menyampaikan
alasan yang paling masuk akal di dunia, “aku tidak melihat ada alasan untuk
menolak. Kalian cukup bertanggung jawab untuk melakukan perjalanan sendiri.
Aku akan menelepon Nimrod dan memberitahukan bahwa kalian ingin ke sana
dan tinggal bersamanya, serta mencari tahu kapan waktu yang luang.”
“Dan akan Ayah suruh sekretaris Ayah pesankan tiket pesawat,” ujar Mister
Gaunt, “kalian mau British Airways kelas menengah?”
John merasakan mulutnya menganga. Dia dan Philippa tak pernah naik pesawat
kecuali di kelas ekonomi. “Kelas menengah?” ujarnya, heran mem bayangkan
kemungkinan itu.
Melihat wajah ayahnya, John merasa pria itu tak akan menolak jika diberitahu
bahwa ia ingin bergabung dengan sirkus.
“Kelas menengah sudah cukup,” ujar Philippa, “dan terima kasih.”
Mister Gaunt tersenyum ramah, menutup pintu limousin, dan bernapas lega
begitu dia jauh dari anakanaknya, lalu memerintahkan supirnya agar melaju.
Ibu mereka tersenyum sopan. “Apa yang membuat ini terjadi?” tanyanya,
“kalian tidak banyak menyebut Nimrod sebelumnya.”
“Itu bukan salah kami,” sahut Philippa, “Ibu yang jarang menyebut tentang
Paman Nimrod,” dia menggeleng-gelengkan kepala, “aku tidak mengerti. Tapi
dia saudara Ibu.”
“Dulu kami sangat dekat, seperti kalian berdua,” Mrs Gaunt mengangkat bahu,
“tapi kami tumbuh terpisah, itu saja.”
John dan Philippa mengikuti ibu mereka ke dapur di mana Philippa merangkul
pinggang ibunya. “Ibu baik sekali sudah mengizinkan kami ke London.”
Mrs Gaunt tersenyum tegar tapi tampak jelas di mata si kembar kalau ada
sesuatu yang membuatnya sedih.
“Ibu mana pun akan merasa sedih bila melihat anakanaknya tumbuh besar,” Mrs
Gaunt mengakui, “terjadinya lebih cepat daripada yang Ibu duga, itu saja.
Seperti geraham bungsu itu. Mungkin karena kalian kembar. Tak lama lagi
kalian akan kuliah, dan kemudian meninggalkan rumah,” dia mengangkat bahu,
“itulah kehidupan, Ibu rasa.”
Di dapur, Winston dan Elvis menjauh dari John saat dia berusaha memberi
belaian selamat pagi di telinga mereka.
“Ada apa dengan kalian?” tanya John sambil mengejar anjing-anjing itu
mengelilingi meja dengan tangan terulur ke depan untuk menunjukkan bahwa
dia tidak bermaksud jahat.
“Mulamula Edward, dan sekarang kalian berdua,” katanya. “Ini benarbenar yang
terakhir. Winston? Elvis? Sini.”
Dengan enggan kedua anjing itu menampakkan diri dengan malu-malu di depan
sepatu Jimmy Choo Mrs Gaunt. Wanita itu mengacungkan telunjuknya ke
moncong besar mereka.
“Kalian bersikap sangat konyol,” ujarnya, “tak ada alasan sama sekali bagi
kalian untuk takut pada orang di rumah ini, apalagi pada anakanak ini. Kalau
kalian bersikap nakal lagi, takkan ada makanan dan televise sehari ini. Paham?”
“Sekarang, minta maaf pada John karena sudah bersikap tidak sopan.”
Dengan kepala menunduk malu, kedua anjing itu menghampiri John lalu
menjilat tangannya untuk menunjukkan penyesalan.
“Tidak apa-apa, tidak ada sakit hati,” ujar John. Sebetulnya dia lebih tertarik
pada sesuatu yang ibu nya katakan. Kenapa dia tidak memahaminya sampai
sekarang? Winston dan Elvis benarbenar suka me nonton televisi.
“Yang pasti Ibu tidak tahu banyak. Tapi sepertinya dia memenangkan New York
Lotto.”
“Seperti kata Ibu tadi, Ibu tidak yakin. Menurut Ibu masalah ini lebih mirip
misteri. Tapi menurutnya, dia memiliki lotere enam nomor dan percaya dia
mungkin sudah memenangkan jackpot itu.”
John melihat koran tabloid yang biasa Mrs Trump baca tergeletak di meja dapur,
lalu mengambilnya dan mendapatinya sudah terbuka di halaman berisi
nomornomor Mega Million dan perkiraan jumlah jackpot. “Wow,” komentarnya.
“Di sini dikatakan bahwa ada satu pemenang untuk jackpot sebesar 33 juta
dolar.” John memandang
berkeliling dapur dan di sana, di sebelah tas jinjing Mrs Trump, tampaklah
kupon loterenya. Dia ambil lalu memeriksa angkanya. “Luar biasa,” desahnya,
“dia benarbenar memiliki lotere dengan keenam nomor itu.”
“Ya. Dia bilang dia harap dapat memenangkan lotere karena kelihatannya itu
adalah satusatunya cara yang membuatnya bisa pergi.”
“Ibu mulai mengerti kenapa ayahmu gusar pagi ini,” jawab Mrs Gaunt dengan
yakin. Melihat kening putrinya berkerut mendengar hal itu, dia menam bahkan,
“maksud Ibu, ayah kalian pasti sedih bila Mrs Trump harus pergi. Karena dia
sudah seperti bagian dari keluarga kita. Maksud Ibu, bisakah kalian
membayangkan seseorang yang memiliki uang 33 juta dolar ingin menjadi
pengurus rumah tangga? Dia mungkin ingin punya pengurus rumah tangga
sendiri karena kini dia kaya-raya.”
Mereka pergi ke kebun dan menemukan Mrs Trump yang sedang mengipas
tubuhnya dengan seko tak benih lupin. Wajahnya bersimbah air mata dan
rahangnya gemetar saat bicara. “Apa yang akan aku lakukan?” gumamnya.
“Uang itu banyak
Aku tak ingin meninggalkan tempat ini, kau tahu,” ucap Mrs Trump sambil
menangis.
“Oh, Mrs Trump, kau pasti tak ingin terus bekerja. Tidak sekarang, setelah kau
punya semua uang itu. Dengan uang sebanyak itu, keadaan menjadi sedikit lebih
mudah bagimu.”
“Tidak, sejak tadi aku duduk di sini memikirkan nya,” isak Mrs Trump, “aku
akan merindukan kalian semua bila melepas pekerjaan ini. Aku tidak punya
banyak teman, kalian tahu. Dan apa yang akan aku lakukan? Pergi berbelanja
sepanjang waktu? Bukan begitu cara orang hidup. Tidak, kalau Anda berkenan,
Mrs Gaunt, aku hanya akan mengambil libur dua minggu. Pergi mengunjungi
anakku. Memberikan sebagian uang itu pada mereka, kurasa. Lalu kembali ke
sini. Kalau boleh.”
“Berliburlah selama yang kau suka, Mrs Trump. Dan jangan memutuskan apa-
apa dulu. Itu saranku. Kau mungkin merasa sangat berbeda dalam satu dua hari
ini. Orang biasanya begitu setelah harapan mereka tibatiba terkabul.”
Sore hari, Mrs Gaunt membujuk Mrs Trump agar mengambil libur beberapa hari
untuk memulihkan diri dari guncangan karena secara mendadak menjadi nyaris
sekaya majikannya.
saat dia hendak pulang ke apartemennya di Jalan Aqueduct di Bronx, “aku tahu
kalian pasti akan menikmati suasana di sana.”
“Kami tidak pergi ke perkemahan musim panas, Mrs Trump,” sahut John.
“Itu menyenangkan,” ucap Mrs Trump, “kirimi aku kartu pos bila sempat.”
“Pasti,” jawab Philippa, dan berusaha tidak meneteskan air mata saat dia
bertanya-tanya apakah mereka akan bertemu lagi.
MENGHILANGNYA PASANGAN BARSTOOL
Beberapa hari kemudian Mrs Gaunt mengantar John dan Philippa ke Bandara
John F. Kennedy, New York, untuk mengejar penerbangan pada pukul sem bilan
malam ke London. Dia membantu si kembar memeriksa barang bawaan mereka,
dan kemudian mengawal hingga ke ruang tunggu keberangkatan maskapai
British Airways.
“Siapa tahu kalian merasakan akan ada serangan claustrophobia,” ujar Mrs
Gaunt, “ini obat yang akan membuat kalian merasa lebih tenang, Anakanak.”
Dia memberi Philippa botol kecil ungu dengan tutup ulir emas, “Minumlah
sebutir setiap empat jam.”
“Terima kasih, Bu,” ucap Philippa sambil mengembuskan napas lega. Dia sudah
yakin kalau ibunya akan memberi pil itu sebagaimana beberapa perjalanan
sebelumnya. Obat anW-ciaustrophobia itu telah dilarutkan dalam minuman, atau
dihaluskan bersama sesendok the selai. Tapi karena ini adalah kali pertamanya
mereka berpergian tanpa orangtua, maka ini juga menjadi kali pertama mereka
dipercayakan menangani obat-obatan mereka sendiri.
“Kalian akan sampai di London sekitar jam sete ngah delapan pagi,” kata Mrs
Gaunt sambil menye
rahkan kedua tiket kepada John, “Nimrod akan men jemput kalian.”
“Aku akan tunggu sampai kita sudah di pesawat. Siapa tahu kau mati akibat obat
itu.”
Tanpa membantah, John menelan pil perak itu. Efeknya nyaris seperti keajaiban.
Seketika itu juga sinar hangat mulai menyebar dari tenggorokan dan dada hingga
dalam perutnya. Juga kepala dan bagian tubuh lainnya. Seakan sesuatu telah
memutar saklar, membuatnya merasa lebih rileks dan tenang meng hadapi
keadaan sekelilingnya. John berpikir bahwa seseorang boleh-boleh saja
mengurung diri di dalam botol, tapi dia sudah tidak merasa berkeberatan sama
sekali.
Minuman disajikan bersamaan dengan hadirnya hiburan in-fl ight. Kedua anak
kembar itu sudah menunggununggu untuk menonton semua fi Im yang tidak
boleh ditonton kalau bepergian bersama orangtua mereka. John tidak tidur
semalaman. Dia menonton dua setengah fi Im yang tidak sepatutnya ditonton
berturut-turut tanpa jeda. Tapi Philippa lain lagi, setelah fi Im pertama, dia
langsung tertidur.
Gadis itu terjaga karena pesawat berguncang keras. Seolah mereka berada di
dalam bus yang
melaju di jalan berlubang. Pesawat itu bergetar mengerikan seperti menunggang
kuda-kudaan di arena pekan raya murahan. Sementara di luar jendela, sayap-
sayap pesawat berguncang naik turun seperti papan lompat di atas kolam renang.
Merasa kembali gelisah karena terkurung suasana pesawat itu. Philippa pun
menelan satu pilnya lagi, yang terasa seperti mencicipi daging pesta barbekyu.
Sambil mencuri dengar, dia juga coba melihat ke arah pasangan suami-istri di
seberang lorong. Mereka terlihat bergandengan tangan dan benarbenar gemetar.
Jelas sekali bahwa pasangan itu tidak menikmati penerbangan ke London ini.
“Oh, Tuhanku,” seru si wanita dari pasangan itu. Dia berbadan besar,
mengenakan topi bisbol dan poncoberwarna cerah, “ini mengerikan. Oh, Tuhan.
Apakah pesawat memang harus berguncang seperti ini? Rasanya seperti mau
terbelah. Otis? Kalau kita berhasil melewati malam ini, berjanjilah padaku kalau
kita tidak akan terbang lagi. Kecuali untuk pulang kembali ke Amerika Serikat.”
Otis adalah lelaki bertubuh lebih besar dari wanita itu. Dia memandang Philippa
dan tersenyum lemah, seolah - bahkan dalam ketakutannya - dia berharap bisa
menghibur orang lain. Ini sudah cukup untuk membuat Philippa merasa bahwa
dia menyukai dan merasa sangat kasihan pada Otis. Pria itu terceguk sedikit,
menelan ludah dengan rasa tidak nyaman, seolah berusaha mengendalikan
keinginan untuk muntah, menutup mulut dengan satu tangannya yang gemuk.
Dia pun berkata,
“Aku kagum pada keberanianmu, Nona muda. Sungguh. Aku berharap bisa
kembali ke Poughkeepsie. Aku tak malu memberitahumu. Kuharap aku pulang
ke rumah.” Poughkeepsie, sebagaimana yang diketahui semua orang, adalah
sebuah kota kecil, dengan populasi 30.000, di dekat New York dan terkenal
karena pabrik bohlamnya.
Philippa membalas senyum Otis dengan cara yang simpatik. Jelaslah kalau pria
malang itu sedang ketakutan.
“Yah, senang berbicara denganmu, Gadis kecil. Aku juga punya seorang putri
yang sudah dewasa. Tapi jangan takut berteriak kalau kau butuh sesuatu. Akan
kulihat apa yang bisa kulakukan untuk membantu.”
“Terima kasih banyak.” Philippa beranggapan Otis mungkin pria tersopan yang
pernah dia temui.
saat dibangunkan - dengan kasar pikirnya - oleh seorang pramugari, John sedang
menonton fi Im tentang kera yang bisa bicara. Pramugari itu tampak khawatir.
“Kau melihat pasangan di seberang lorong?” Wanita itu menunjuk ke arah dua
tempat duduk di mana pasangan dari Poughkeepsie tadi duduk sebelumnya.
“Ya, aku melihat mereka. Aku berbicara dengan Otis. Dia baik. Agak ketakutan
pada turbulensi udara, tapi menyenangkan.
“Bersembunyi?” Kalau Philippa heran, itu karena dia yakin hanya ada sedikit
tempat di mana seorang anak seperti dirinya bisa bersembunyi di pesawat
Boeing 747, apalagi dua orang sebesar Otis dan Melody Barstool. Philippa
mungkin bisa memanjat ke dalam loker di atas kepala, tapi Otis tidak, begitu
juga Melody. Selain toilet dan lemari mantel, Philippa tak tahu harus member
saran apa kepada pramugari untuk mencari pasangan yang menghilang itu. Lagi
pula, menurut Philippa, Otis bukanlah tipe orang yang merepotkan seperti
bersembunyi di pesawat transatlantik karena bukankah lelaki itu sudah memiliki
tiket penumpang pesawat. “Kenapa mereka harus bersembunyi?”
Pilot pesawat itu duduk berjongkok di sebelah tempat duduk Philippa, tersenyum
ramah, “Kami memiliki catatan tentang siapa yang naik pesawat ini dan di mana
mereka duduk, jadi tidak ada yang bisa pergi begitu saja. Mereka pasti
bersembunyi di suatu tempat. Satusatunya pertanyaan adalah di mana dan
kenapa? Mungkin kau tahu alasannya, agar kami tahu di mana mereka.” Dia
mengangkat bahu. “Ini persoalan serius, kehilangan penumpang pada saat
penerbangan. Sangat serius. Ada bermacammacam peraturan yang dimaksudkan
untuk mencegah hal-hal seperti ini terjadi. Kalau ada sesuatu yang terpikir
olehmu, sesuatu yang mungkin bisa membantu kami menemukan mereka, apa
saja, kami akan sangat berterima kasih.”
“empat ratus sembilan puluh orang naik pesawat ini di bandara JFK. Sekarang
hanya ada 488 orang menurut perhitungan kami.” “Ups.” John menyeringai.
Pilot pesawat dan si pramugari itu mengangguk lelah dan berjalan menjauh
dengan tampang lebih cemas daripada sebelumnya.
“Menurutmu apa yang mungkin terjadi pada mereka?” tanya Philippa.
“Aku tidak tahu bagaimana mereka bisa terjun keluar memakai parasut dan
menutup pintu di bela kang mereka,” ucap John. “Takkan bisa kecuali mereka
punya kaki tangan di pesawat. Tapi kalau begitu si pilot akan tahu bahwa pintu
pesawat telah dibuka. Kita semua akan tahu. Jadi kurasa hanya ada satu
kemungkinan.”
“Well, kau membaca tentang orangorang yang menghilang dari kapal. Seperti
kapal Marie Celeste. Segitiga Bermuda, hal semacam itu. Mungkin kejadian ini
serupa. Mungkin mereka dibawa naik ke pesawat ruang angkasa.”
“Aku senang sekali kau tidak mengatakan itu pada pilot tadi,” ujar Philippa.
“Kuharap mereka akan muncul,” desah Philippa. “Otis pria baik. Kuharap
kejadian ini tidak merusak liburan mereka.”
“Dengar,” ujar John, “bila mereka benarbenar muncul, berarti aku benar. Mereka
akan menegaskan perkataanku, catat itu. Bahwa makhluk luar angkasa telah men
culik mereka.”
“Makhluk luar angkasa?” dengus Philippa, “ber henti bicara soal makhluk luar
angkasa. Teori itu benarbenar sulit dipercaya sampaisampai aku heran
bagaimana kau bisa menjadi saudara kembarku.”
“Yang mana?”
“Bila kita sudah menyingkirkan hal-hal yang tidak mungkin, apa pun yang
tersisa, meskipun sangat sulit dipercaya, pastilah itu kebenaran.” John
mengangguk. “Mereka sudah menggeledah pesawat ini dari atas ke bawah.
Berarti pasangan itu tak ada di pesawat. Begitu itu kau akui, maka menurutku
kau dihadapkan pada hal yang tidak mungkin, entah kau suka atau tidak.”
7
NIMROD
“Oh, pelita hatiku, akhirnya kalian datang juga,” ujarnya, nyaris tidak peduli
kalau semua orang mendengar teriakannya. Bahkan, di sebuah toko buku di sisi
lain terminal yang berjarak sekitar lima belas meter jauhnya, dua orang gadis
menoleh karena mengira sedang diajak bicara. “Astaga,
kalian sudah bertambah besar. Kalian tampak lebih tinggi dibanding saat kita
terakhir bertemu.”
“Tiga koma delapan-satu senti sejak geraham bungsu kami dicabut,” ungkap
John bangga.
“Tiga koma delapan-satu senti, ya? Well, aku tidak heran. Di New York segala
sesuatunya mengesankan, bukan? Gedung, mobil, sandwich, orang-orangnya,
dan semuanya. Lalu mengapa kalian harus jadi penge cualian?” Setelah
memasukkan cerutu besarnya ke mulut, jari Nimrod pun -yang banyak
mengenakan cincin emas - mencengkeram kereta dorong yang mengangkut tas si
kembar.
“Hanya ini barang kalian? Kalau kalian anak dari adik perempuanku, pastinya
kalian akan datang dengan sedikitnya setengah lusin tas setiap orangnya.”
“Memang cuma itu,” sahut John.
“Ini saja? Kalau begitu, ayo kita cari Groanin dan mobilnya.”
Kedua anak itu mengikuti Nimrod mendorong kereta barang bawaan itu keluar.
Saat menghirup udara segar Bandara Heathrow, mereka menguap lebar bagaikan
seekor kucing. Waktu itu pukul tujuh tiga puluh pagi, dan mereka agak
menggigil saat pagi musim panas Inggris membekukan tulang.
“Tadi kau bilang sejak terakhir kita bertemu?” selidik Philippa, “yang kau
maksud saat kami masih bayi, atau dalam mimpi yang kami dapat minggu lalu di
mana kau muncul di hadapan kami?”
“Semua ada saatnya,” ujar Nimrod, “semua ada saatnya. Sayangnya kita sangat
jarang bertemu selama sepuluh tahun terakhir ini.”
Wajah Nimrod berkerut. “Begitukah? Kurasa memang begitulah ibu kalian,” ujar
Nimrod, “dia tidak pernah senang membicarakan keadaan kita ini.”
“Kita cari dulu mobilnya, OK? Oh, kita bertiga akan mendapat petualangan yang
sangat seru. Ini akan menjadi musim panas yang hebat. Sejak kalian lahir, aku
sangat berharap semua ini akan terjadi.” Meskipun masih pagi sekali, Nimrod
tampak sangat bersemangat bagaikan sebotol soda yang menyemburkan busa
setelah dikocok, “walau mungkin saja pada akhirnya hubungan kita memiliki sisi
yang berbahaya. Tapi petualangan sejati memang seharusnya ada unsur risiko,
lagi pula, satusatunya cara agar kita menjadi lebih tegar, tentunya lewat kesulitan
dan penderitaan, benar kan? Nah, mana Groanin dan mobilnya?”
Nimrod memicingkan mata saat melihat deretan mobil-mobil. Hal itu menjadi
kesempatan bagi John dan Philippa untuk bertukar tatapan keheranan. Apa
maksud Paman Nimrod dengan kata “berbahaya”?
“Masalahnya, aku pergi dengan memakai kacamata yang salah,” keluh Nimrod.
John melihat sebuah Rolls-Royce besar warna merah hati dan perak, yang
diparkir sekitar 46 meter jauhnya. Di sebelah mobil itu ada seorang pria tengah
melambailambaikan tangan dengan bersemangat ke arah mereka.
“Mobil yang di sana itu?” tanya John, mengarahkan tatapan Nimrod pada Rolls-
Royce tersebut.
“Aha, itu dia,” gelegar Nimrod, lalu mulai berjalan ke arah mobil, “tentunya ini
tepat pada waktunya.”
Saat sudah dekat, mereka melihat bahwa sopirnya yaitu pria tinggi dan gempal
seperti mayat yang berpakaian abu-abu dan topi berujung lancip di kepalanya
yang botak. Orang itu ternyata hanya memiliki satu lengan. Si kembar
menganggap hal itulah yang paling menarik, bukankah mengemudikan mobil
apa saja, apalagi Roll-Royce, memerlukan dua buah tangan?
“Seorang polisi lalu-lintas memaksa saya parkir di sini, Sir,” jelas Groanin
dengan suara yang lebih cocok menjadi milik seorang pengusaha. “Saya katakan,
saya dipaksa melaju, Sir. Itu membuat saya memutuskan untuk berkeliling saja
sampai saya melihat Anda semua di sini. Maaf atas ketidaknyamanan ini.”
“Kau selalu punya alasan yang bagus, Groanin,” sindir Nimrod seraya menunjuk
ke kursi belakang pada si kembar.
“Seperti yang kalian lihat, Anakanak,” ujar Nim rod, “Mister Groanin bukannya
tidak menunjukkan sikap respek, dia memang hanya punya satu tangan. Kalian
mungkin berpikir itu mungkin adalah nasib buruk, tapi bagi Mister Groanin itu
bukan penghalang untuk menjadi pengemudi yang hebat. Dan bisa aku yakinkan
bahwa kita akan sangat aman bila dia yang mengemudi.”
“Terima kasih, Sir. Anda memang baik sekali.” “Sesuatu, yang juga mungkin
kalian lihat,” tambah Nimrod sambil menunjuk gagang kemudi yang dipasangi
tombol besar, “mobil ini telah dimo-difi kasi secara khusus agar memudahkan
orang bertangan satu mengemudikannya.”
“Ya ampun, aku lupa,” ucapnya, “kalian orang Amerika, ya? Maaf, ya. Tidak
terpikir olehku kalau kalian mungkin tidak menyukai cerutuku.”
“Kurasa kau dapatkan hal itu dari ibumu. Dulu dia sangat suka pada cerutu
bagus.”
Sementara Nimrod berbicara dengan fasih tentang tema yang disukainya, Rolls-
Royce itu meluncur mulus membelah jalan-jalan kota London seperti karpet
ajaib beratap. Philippa memandang keluar lewat jendela untuk mendapatkan
pemandangan pertamanya atas kota itu. London sepertinya jauh lebih luas
ketimbang New York. Pikiran pertamanya saat melihat gedung-gedung kota itu
adalah rasa lega, karena dia tidak perlu menaiki deretan tangga yang berjumlah
banyak. Dia menyukai semua taman-taman kecil yang terlihat, aneka pohon, dan
hampir bersorak saat kali pertama dia melihat bus berwarna merah dan taksi
berwarna hitam.
John lebih tertarik pada mobil itu ketimbang kota London. Dia belum pernah
naik Rolls-Royce dan -dengan jok kulit warna merah, karpet tebal, serta meja
walnut - mobil itu mengingatkannya pada ruang kerja ayahnya: Begitu tenang,
bahkan saat bergerak.
“Kau baik sekali, Anakku,” kata Nimrod, “kualitasnya bertahan bahkan setelah
harga dan perusahaan yang memproduksinya telah dilupakan. Aku beli mobil ini
dari seorang sutradara. Dia menjualnya lantaran istrinya sembuh dari buta warna
dan mengamuk saat melihat ternyata mobil ini berwarna merah. Malang bagi si
suami, dia harus menjualnya kepadaku.”
“Jelas tidak. Bahasa Inggris terbaik diucapkan oleh orang Belanda dan Jerman.
Orang Inggris sendiri berbicara dalam susunan bahasa seperti bubur-kentang
yang sangat halus, tidak memiliki awal dan akhir yang jelas. Hanya seperti
kotoran tebal yang mereka tuang di atas piringmu lalu mereka berharap kau
mengerti. Terutama di utara Inggris. Bahasa di sana sangat tidak berbentuk.”
Mister Groanin menggerutu lirih, seolah-olah dia tahu bahwa kalimat itu
ditujukan untuk memprovokasi dirinya.
“Ada patung Peter Pan di dalam sana,” imbuhnya dengan nada sangat menghina,
“Bocah yang Tak Mau Tumbuh Besar. Jangan pernah percaya pada bocah yang
senang menjadi bocah. Itu sama anehnya dengan orang tidak suka daging,
cokelat, kebun binatang, sirkus, taman hiburan, mobil balap, atau hari ulang
tahun. Kalian tahu apa sebutan bagi anakanak yang tidak menyukai hal-hal
seperti itu?”
“Hampir benar, tapi belum tepat. Bayi. Itulah sebutannya. Bayi.” Wajah Nimrod
mengernyit jijik,
“Susu, susu, dan susu, cuma itu yang mereka pikirkan. Aku tidak tahan pada
makhluk seperti itu. Aku bisa mual hanya karena memikirkan makhluk kecil
botak itu. Serakah, egois, ketakutan yang luar biasa.”
“Tapi paman kan pernah menjadi bayi,” tegur Philippa yang memang menyukai
bayi, “benar, kan?”
“Jangan ingatkan aku,” Nimrod tampak bergidik, “seluruh pengalaman itu terus
menghantui setiap lamunan kosongku, seperti hantu Banquo yang tak diundang.”
“Maksud Paman, kau ingat saat menjadi bayi?” “Ya. Setiap piring bubur bayi.
Setiap popok basah.”
“Itulah kejanggalan keluarga kita. Saat bertambah tua, kita mulai ingat semua
yang mengerikan di masa kecil kita. Pada hari kematiannya, kakekku
memberitahu bahwa dia baru saja ingat pada momen kelahiran dirinya. Bahkan,
menurutku, kenangan itulah yang membunuh kakek.” “Menjijikkan.”
Philippa tersenyum ramah pada pamannya, tapi di saat yang sama dia bertanya-
tanya apakah ketidaksuka an pada anakanak yang menjadi alasan mengapa ia
dan John tidak pernah bertemu dengan Pamannya semasa mereka kecil?
Rolls-Royce itu menepi di luar gedung putih yang tinggi dan besar dengan
bagian luar atap dibatasi
dinding rendah dan banyak menara membuatnya mirip benteng kecil yang baru
dicat. Nimrod mempersilakan mereka masuk ke tempat tinggalnya yang hebat.
John dan Philippa, yang tidak terbiasa dengan formalitas seperti itu, berjanji
akan memenuhi per mintaan itu.
Rumah itu tampak jauh lebih besar di bagian dalam dan sangat sepi, mengingat
jalanan yang sibuk hanya beberapa meter jauhnya. Rumah itu merupakan
campuran gaya yang aneh. Bagian tertua dari rumah itu tampak sangat kuno
dengan dinding berlapis kayu, permadani gantung usang, papan lantai kayu
hitam, dan perapian batu Prancis yang berhiaskan ukiran kepala-kepala yang
disebut Nimrod sebagai dewa-dewi Romawi. Sementara dalam menara yang
setengah lagi terbuat dari kayu.
Di sebagian besar ruangan ada beberapa artefak Mesir, berbagai patung binatang
dari perunggu, trofi - trofi berburu, dan telur burung unta. Semua kursi dan sofa
dilapisi kain warna merah, yang sepertinya adalah warna favorit Nimrod. Api
dinyalakan di hampir setiap perapian. Kaki-kaki lilin fantastis dan tempat lilin
perak raksasa - yang beberapa di antaranya dipasangi lusinan lilin lebah -
membuat suasana di rumah itu terasa seperti petang bahkan pada pertengahan
pagi. Hampir semua lukisan adalah lukisan orang telanjang, tapi Philippa
berpikir
bahwa hanya beberapa yang tampak menarik, karena banyak dari model itu
seharusnya mengurangi berat badan sebelum dilukis. Di tempat lain, gudang
tembakau dengan dekorasi berlebihan, yang dipenuhi cerutu pilihan, berdesakan
dengan barang pecah-belah yang bagus, pemantik rokok antik, dan lampu
minyak Romawi atau Etruria kuno.
Nimrod membuka laci meja, mengambil lalu meletakkan sebuah buku besar di
meja. “Bacalah!” perintahnya pada John dengan gaya mengesankan.
“Aku tidak bisa. Buku itu menggunakan tulisan kuno yang aneh.”
“Benar. Aku lupa kalau kalian belum mendapat banyak pendidikan. Begini, Raja
Sulaiman punya semua jenis masalah dengan rakyatnya. Dia mencatat semua
kekesalannya pada rakyatnya. Dan, karena memiliki selera humor yang tinggi,
Raja itu
memberi judul bukunya Big Book of Moans [Buku Keluhan Besar]. Kau
mengerti? Itu mungkin akibat dari salah terjemah, atau seseorang salah paham
atas suatu hal, sehingga sebenarnya tidak ada Big Book of Maine [Buku
Tambang Emas Besar], yang ada adalah Buku Keluhan [moans]. Keluhan Raja
Sulaiman.”
“Oh ya, aku jadi ingat,” ujarnya, “aku ada hadiah untuk kalian.” Nimrod berjalan
menuju rak bukunya, memilih dua buku yang dijilid dengan indah, lalu
menyerahkan masing-masing satu pada kedua anak itu. “Ini salah satu buku
terhebat yang pernah ditulis. Kisah Seribu Satu Maiam. Dongeng yang
digunakan Putri Scheherazade untuk menghibur seorang Sultan jahat yang
mengancam akan membunuhnya dan istri-istri lainnya jika jadi bosan pada
kisah-kisah si Putri. Bacalah dengan cepat dan katakan pendapat kalian.”
“Baca dengan cepat?” tanya John sambil membolak-balik halaman buku itu,
“tapi buku ini lebih dari seribu halaman. Seribu satu tepatnya. Butuh waktu
setahun untuk membaca buku ini. Mungkin
Philippa menaruh buku bersampul kulit yang berat itu di telapak salah satu
tangannya. Dia sedang berusaha menebak beratnya. Dia lebih suka membaca
daripadaJohn, tapi dia, yang sudah pernah membaca buku Oliver Twist karangan
Charles Dickens, juga ketakutan ketika melihat buku tebal itu diberikan
kepadanya.
“Beratnya mungkin sekitar 2,27 kilogram,” kata nya, “kalau tertidur saat baca
buku ini, kau berisiko mendapat luka serius.”
“Tapi, aku harap kalian membacanya,” tandas Nimrod, “dan sekarang mari
kutunjukkan kamar kalian.”
“Kalian akan sangat nyaman di kamar-kamar ini,” ujar Paman Nimrod, “aku
yakin itu. Tapi kalau kalian memutuskan untuk menjelajah, ingat bahwa rumah
ini sudah sangat tua. Terutama bagian ini. Ingat bahwa kita berada di Inggris,
dan Inggris bukanlah Amerika. Cara kami tidak sama dengan cara kalian, dan
kalian mungkin mendapati hal-hal yang tampak sedikit aneh.” Dia menggeleng-
gelengkan kepala, “kalau sesuatu yang tidak lazim benarbenar terjadi, usahakan
agar tidak menjadi ketakutan. Rumah ini cukup ramah.”
John dan Philippa tersenyum gagah dan berusaha agar tidak terlihat takut,
walaupun perkataan pamannya terdengar agak menakutkan.
“Agar kalian betah,” dia melanjutkan seraya menggiring mereka ke ruang duduk
kecil berisi sofa dan televisi. Setelah mengambil remote control dan
menghidupkan tel evisi ukuran kecil, dia menambah kan, “aku telah menyiapkan
televisi agar kalian bisa bersantai sendirian.
Aku sendiri tidak butuh televisi. Tapi aku percaya anakanak sekarang nyaris
mustahil hidup tanpa benda yang satu ini.”
“Hei, lihat!” John menunjuk ke arah televisi, karena di layar ada foto Otis dan
Melody Barstool, keduanya dari Poughkeepsie di New York, “cepat,” teriak John
kepada pamannya, “kencangkan lagi suaranya. Kami benarbenar harus
menontonnya.”
“Oh, ampun,” seru Nimrod. “Aku tidak sangka kalau kecanduan kalian sudah
sangat kronis.”
“Ini pasti tentang pasangan penumpang yang duduk di sebelah kami saat di
pesawat. Mereka lenyap saat penerbangan.”
“Benarkah, astaga!” seru Nimrod. Dia tersenyum kecil aneh lalu duduk di
sebelah si kembar di sofa. “Menarik sekali. Aku suka misteri yang seru.”
“Pencarian ekstensif pada pesawat di udara dan di London tak memberi petunjuk
sedikit pun tentang keberadaan pasangan ini,” ujar pembaca berita stasiun
televise BBC. “Polisi disiagakan di London dan New York karena kekhawatiran
yang bertambah atas kesela matan pasangan yang berumur tujuh puluhan itu.
Lalu, tadi pagi, pasangan itu muncul dalam keadaan selamat dan sehat di
kampung halaman mereka di Poughkeepsie, tampaknya mereka sendiri tidak
bisa menjelaskan menghilangnya diri mereka. Banyak saksi mengklaim telah
melihat pasangan Barstool di pesawat Boeing 747 British Airways, dan sudah
bicara pada mereka saat penerbangan.”
“Kami baru selesai melahap hidangan di pesawat,” kata Otis Barstool pada
seorang reporter. “Aku makan bistik, dan Melody menyantap ayam. Tak seorang
pun dari kami yang minum alkohol. Aku baru bersandar untuk membaca buku
saat kami merasakan guncangan pesawat yang sangat buruk ini. Sebelumnya
kami memang jarang terbang dan aku jujur saja, kami berdua menjadi sangat
gelisah.”
“Kami berdua mulai berharap, berdoa bahwa kami pulang ke rumah. Selanjutnya
yang aku tahu, kami telah duduk di sofa di ruang duduk kami seolah-olah kami
tidak pernah pergi. Selama beberapa saat kami hanya duduk di sana, berusaha
berpikir apa yang mungkin telah terjadi. Akhirnya kami menyimpulkan bahwa
kami telah mengalami semacam gangguan jiwa, atau bahkan memimpikan
semua itu. Tapi kemudian sheriff membunyikan bel pintu kami, dan kurasa
kalian semuatahu sisa ceritanya. Aku pernah mendengar tentang maskapai
penerbangan yang kehilangan tas, tapi ini pertama kalinya aku mendengar
maskapai penerbangan kehilangan dua penumpang. Bahkan, British Airways
tidak kehilangan tas-tas kami. Tas-tas itu ada di London sekarang, terjadi begitu
saja.”
“Aku rasa inilah satusatunya penjelasan yang tepat,” Melody Barstool mengakui.
“Kami sudah bicara pada seorang pengacara. Tapi dia memberitahu kami bahwa
kenyataan tentang kami berdua percaya kekuatan doalah yang membuat kami
terlempar keluar dari pesawat bisa memengaruhi setiap tuntutan yang kami
ajukan pada maskapai itu. Tampaknya, maskapai penerbangan tidak bertanggung
jawab secara hukum bila sesuatu seperti itu terjadi. ‘Perbuatan Tuhan’, begitu
mereka menyebutnya.”
“Dia memang aneh,” tawa John, yang tidak tahu sama sekali apa arti ad
hoc.TXT BY OTOY http://ottoys.wordpress.com
“Otis Barstool pasti telah mengatakan sesuatu padamu, Philippa,” tawa Nimrod,
“sehingga kau mem buat pria malang itu menghilang seperti itu.” Dia tertawa
terbahakbahak yang menggema ke seluruh
ruangan. “Aku jadi tahu kalau aku harus berhati-hati sekali dengan apa yang
kukatakan pada kalian, Nak, karena kalau tidak, aku bisa berakhir seperti
pasangan Barstool.”
“Bagus. Kalau begitu aku akan buatkan sarapan Inggris yang lezat. Ini sangat
mirip sarapan Amerika, dengan tiga variasi lokal ini: Telur mata sapi diletakkan
di sisi timur piring sebagai kebalikan dari barat, bacon harus terasa seperti
daging dan bukannya lapisan kulit kering, dan tomatnya harus disajikan
serampangan, karena kalau tidak seluruhnya dibatalkan.”
Seusai sarapan, yang selezat janji Nim-rod, Philippa kembali pada subjek
tentang pasangan Barstool.
“Bagaimana bisa dua orang tua menghilang dari dalam pesawat yang sedang ada
di udara?” dia bertanya. “Maksudku, pasti ada kekeliruan. Hal seperti itu tidak
terjadi begitu saja.”
“Tapi hal itu terjadi,” timpal Nimrod. “Kalau laporan berita televisi itu yang kita
percayai.” Dia terkekeh dan menyalakan sebatang cerutu. “Ya, benar, mulai
sekarang, kita semua harus berhati-hati pada apa yang kita harapkan.”
Nimrod berdiri. “Aku bilang, ‘kita harus mencuci piring’. Mister Groanin sudah
punya cukup banyak tugas untuk dilakukan di rumah ini tanpa kita bertiga
ditambahkan untuk menjadi bebannya. Dan kalau kita meninggalkan piring-
piring ini untuknya, dia akanmengeluh seharian. Menjadi pelayan bertangan satu
tidak membuat Groanin merasa sepadan dengan tugas manapun yang wajib dia
lakukan. Groanin sesuai dengan namanya dan tukang mengeluh sesuai dengan
sifatnya, itulah yang selalu kukatakan.”
“Itu aturan protokol,” jawab Nimrod samar. “Di susun di Baghdad, pada zaman
dulu. Begini, kalau kalian tidak ada kegiatan yang lebih seru siang ini, cobalah
membaca satu atau dua bab buku Kisah
Seribu Satu Malam yang kuberikan. Lalu kita akan punya sesuatu untuk dibahas
saat makan malam nanti, setuju? Dan setelah kalian membacanya, akan
kujelaskan pada kalian kenyataankenyataan hidup. Tentang bagaimana kalian
bisa sampai ke sini.”
“Ehm… begini,” ucap John, “kami sudah tahu semua hal tentang bagaimana
bayi dibuat. Tidak usah repotrepot.”
“Bukan, bukan kenyataan hidup yang itu,” dengus Nimrod. “Yang aku bicarakan
adalah sesuatu yang jauh lebih menarik daripada bagaimana seorang bayi
mengerikan dibuat.”
“Apa yang bisa lebih menarik daripada itu?” goda Philippa, komentar yang
menimbulkan tatapan mencela dan sedih dari pamannya.
“Aku bicara tentang bagaimana kalian bisa berada di London sini. Tentang
bagaimana orangtua kalian tidak sanggup melaksanakan tugas yang bertentangan
dengan keinginan kalian untuk menghabiskan musim panas bersamaku dan
bukannya pergi ke Alembic House. Tentang bagaimana aku masuk ke mimpi
kalian saat kalian berada di bawah pengaruh obat bius. Tentang siapa dan apa
kalian. Tentang keberuntungan dan bagaimana cara kerjanya. Dan tentang misi
penting yang mengharuskan kalian berada di sini sekarang. Kenyataankenyataan
hidup yang seperti itu.”
Nimrod akan mengatakan hal lain lagi tapi dia justru menguap. “Ya ampun,”
katanya. “Maaf. Aku
tidak terbiasa memulai kegiatan seawal ini pada pagi hari. Kurasa aku perlu tidur
siang. Dan kusarankan kalian melakukan hal yang sama.” Dia mengangkat satu
tangan saat berjalan ke arah pintu perpustakaan. “Kita akan bertemu saat makan
malam, saat semuanya akan dijelaskan pada kalian.”
MISTER RAKSHASAS
Saat John bangun awal sore itu, sejenak dia menatap langit-langit yang dilukisi
awan dan petir. Saat melihat itu, John dikuasai perasaan bahwa hujan akan turun
atau gempa akan segera terjadi. Setengah jam berlalu seperti itu. Setelah merasa
bosan, John duduk di ranjang, lalu mulai membaca buku yang di berikan
pamannya. Ternyata di dalamnya ada kejutan, padahal dia hanya bermaksud
untuk melihatnya sekilas.
Kisah Seribu Satu Malam bukanlah kisah tunggal tapi kumpulan kaleidoskop.
Kisah itu diceritakan oleh Putri Scheherazade, seorang wanita muda pemberani.
Dia beranggapan bahwa seni bercerita adalah alat untuk bertahan hidup. Kisah
itu menceritakan tentang para Raja dan Putri, Jin yang berpengaruh, keajaiban
semu, penipu cerdas, saudagar rakus, dan pencuri cerdik. Beberapa dari cerita itu
- seperti Sinbad, Ali Baba dan Empat Puluh Orang Penyamun, dan Aladdin -
tentunya tak asing bagi John. Tapi yang paling menarik adalah bagaimana
sebuah cerita mun cul dari dalam cerita lain, seperti teka-teki Cina. Sesaat
kemudian buku itu pun memikatnya dengan cara yang tidak pernah dilakukan
oleh buku mana saja sebelumnya. Mustahil bagi John untuk berhenti membaca
sampai dia berhasil menamatkannya. Dia menyadari betapa
menakjubkan buku ini. Selama sisa hidupnya, dia tidak melupakan hari di mana
dia untuk pertama kali membuka buku yang menakjubkan tersebut.
Hal menarik dari Kisah Seribu Satu Malam yang diberikan Paman Nimrod
adalah keanehan fi sik bukunya. Misalnya, John sadar bahwa mustahil menandai
batas bacanya dengan melipat sudutnya. Sekali atau dua kali, tanda lipatan itu
entah bagaimana, ketika dia melihatnya lagi, menjadi lurus dengan sendirinya.
Alasan lainnya, buku itu sepertinya bisa menerangi dirinya sendiri, karena saat
hari berlalu menjadi petang, John mendapati kalau dia bisa membacanya tanpa
cahaya lampu. Bahkan, dia bisa membacanya dalam keadaan yang hampir
gelapgulita di dalam selimut yang menutupi kepala tanpa bantuan senter.
Bagaimanapun, bagi John, hal itu sama luar biasanya dengan dirinya yang
seumur hidupnya tak pernah membaca buku dengan cara seperti itu. Rasa senang
yang luar biasa lainnya adalah kecepatan membaca yang dia dapati saat dirinya
membalik halaman-halaman buku yang sehalus-sutra. Matanya bagaikan terbang
melintasi tiap-tiap kata. Sebelumnya, dia mungkin butuh waktu dua atau tiga
menit untuk membaca satu halaman, sekarang dia hanya membutuhkan waktu
seper-sepuluhnya. Sehingga buku dengan ketebalan 1001 halaman itu hanya
diselesaikan dalam waktu kurang dari enam jam. Begitu membalik halaman
terakhir, John merasa sangat bangga pada dirinya sendiri. Dia pun berlari ke
kamar Philippa untuk menyom-bongkan diri tentang prestasinya. Namun
ternyata Philippa juga sudah menamatkan buku itu sedikitnya satu jam lebih
cepat.
“Ada hal aneh yang terjadi sini,” John berkata, menahan kejengkelannya pada
Philippa.
“Memang aku pantas bila mendapatkan setiap sen dari lima puluh dolar itu,”
kata John, “itu adalah buku paling membosankan yang pernah kubaca. Lagi pula,
kau tahu apa yang sebetulnya aku bicarakan.”
Philippa tersenyum. “Oh ya, John,” katanya, “aku sudah menunggumu agar bisa
mengadakan eksperimen di hadapan seorang saksi.”
“Seperti ini,” jawab Philippa. Dia meraih buku Kisah Seribu Satu Malamnya,
lalu melemparnya ke perapian.
“Kurasa begitu,” sahut Philippa penuh kemenangan seraya menunjuk buku itu
yang tetap berada di atas bara panas tanpa terbakar, “buku aneh yang tidak
terbakar, benar kan?”
Mereka menunggu selama beberapa menit, memerhatikan saat buku itu secara
nyata kebal dari lahapan api. John pun mengambil penjepit arang, memindahkan
buku itu dari api, dan menaruhnya di lantai sebelum menyentuhnya dengan
sangat hati-hati.
“Tidak ada tanda hangus terbakar sedikit pun,” katanya sambil membuka buku
itu dan membalik-balik halamannya, “coba kau pegang! Bahkan tidak terasa
panas.”
Philippa menyentuh buku yang terasa sejuk di ujung jarinya. “Terbuat dari apa
buku ini?” tanyanya. “Kenapa tidak kita tanya pada Paman Nim rod?”
Di sebuah tangga, mereka agak kaget saat bertemu seorang pria sedang naik ke
atas. Orang itu tinggi, kurus, bertampang seram dengan janggut putih, me
ngenakan sorban putih dan mantel panjang putih. Ketika melihat si kembar, pria
itu menangkupkan tangan lalu membungkuk saat berpapasan. Orang itu lalu
melanjutkan perjalanannya sebelum membuka pintu tipuan di dinding yang
berwarna perak, dan menutupnya kembali.
“Tenang,” kata Philippa, “mungkin dia teman Nimrod. Dia tersenyum, kan?”
“Apakah kau tidak menganggap aneh kalau orang pertama yang kita temui
setelah membaca Kisah Seribu Satu Malam adalah pria yang kelihatan persis
seperti seorang tokoh dalam buku itu? Sepertinya dia adalah Jin.”
“Jin? Bagaimana kau bisa berpikir seperti itu?” Philippa tertawa, dia tidak
mengambang keluar dari botol. Dia berjalan naik tangga.”
“Sekarang ini, tidak setiap orang yang memakai sorban punya kekuatan sihir,”
Philippa mengangkat bahu, “tapi, tetap saja, mungkin kau harus berhati-hati dan
meminta tiga permohonan padanya.”
“Kalau pun dia bukan Jin,” sahut John, “kurasa Nimrod harus menjelaskan
semua ini.”
Mereka menemukan Nimrod di ruang makan, di mana meja telah diatur dengan
selusin hidangan beraneka ragam. Ada angsa panggang, separuh daging rusa,
kaki domba, sayur-sayuran, keju, buah-buahan, anggur, dan Coca Cola. Nimrod
juga sepertinya menunggu kedatangan mereka karena hanya ada tiga kursi. Dia
pun sudah mengiris-iris daging angsa tadi.
“Ah, datang juga kalian,” ucap Nimrod hangat, “kalian datang tepat waktu untuk
makan malam. Silakan ambil sendiri.”
Dia membungkam rentetan pertanyaan pertama kedua anak itu dengan telapak
tangannya. Setidaknya selama beberapa menit, semua pikiran untuk
menginterogasi Nimrod tentang berbagai kejadian aneh atau pria tak dikenal
tadi, telah terlupakan. Setidaknya si kembar menyadari betapa laparnya mereka.
Mereka segera duduk
“Kami baru saja melihat pria bertampang aneh yang berpakaian serba putih,”
ujar Philippa seraya
“Hantu? Oh bukan, tidak ada hantu di rumah ini. Makhluk jelek itu tidak akan
berani. Tidak, itu bukan hantu. Itu Mister Rakshasas. Dia berasal dari India. Dan
dia akan segera bergabung dengan kita. Aku yakin kalian sudah membuatnya
sangat ketakutan.”
“Mister Rakshasas akan sangat gusar mendengar kau bilang begitu, John. Dia
sebetulnya tipe orang yang sangat pemalu. Tak akan tega menakut-nakuti
walaupun itu hanyalah angsa,” Nimrod ragu-ragu sejenak lalu memasukkan
seluruh dada angsa ke dalam mulutnya, “bukan karena ada gunanya menakut-
nakuti angsa ini, karena toh sudah mati. Tapi kurasa kalian paham.”
“Sabar, sabar,” bujuk Nimrod, “sudah kubilang aku akan beritahu, dan itu akan
kulakukan.”
Mister Groanin masuk ke ruangan itu sambil membawa cake yang sangat besar
di tangannya.
“Tapi, astaga,” ujar Nimrod, “aku sudah bersusahpayah menyiapkan hidangan
ini…,”
Mister Groanin mendengus penuh penghina-an dan meletakkan kue itu di atas
meja. “Bersusahpayah, katanya,” dia bergumam, “itu menggelikan.”
“- jadi kupikir setidaknya yang bisa kau lakukan adalah menyibukkan diri
sampai pesta ini selesai. Hai, Groanin! Apa yang kau katakan tadi tentang
bersusahpayah?”
“Ya, ya,” Nimrod menusuk seiiris besar daging dan meletakkan di piringnya
yang sudah penuh, “nah, sekarang kalian jangan bicara sampai kita benarbenar
kenyang.”
Tiga puluh menit kemudian, Nimrod membuka kancing jas merahnya, melihat
waktu di arloji emasnya, lalu menuang lagi segelas besar anggur Burgundy,
menyalakan cerutu yang sangat besar, dan kemudian bersandar di kursi
berlengan yang berderit. “Oh, pesta yang meriah.”
“Seratus ribu salam untuk saudara lampu ini,” ucapnya, “semoga semua
permintaan kalian, kecuali satu, dikabulkan sehingga kalian masih punya sesuatu
untuk diperjuangkan. Dan semoga hari terburuk pada masa depan kalian tidak
lebih buruk daripada hari paling bahagia pada masa lalu kalian.”
Yang membuat John dan Philippa heran, Mister Rakshasas berbicara dengan
aksen Irlandia. Melihat alis si kembar terangkat, Nimrod merasa berkewajiban
untuk memberi penjelasan kilat. “Selama bertahun-tahun, Mister Rakshasas
hidup sendiri, dan mempela jari semua bahasa Inggrisnya dari televisi Irlandia.”
Mister Rakshasas mengangguk serius. “Semoga musuh Irlandia tidak makan roti
atau minum wiski, tapi tetap terserang rasa gatal tanpa bisa menggaruk.”
Setelah melihatnya lagi, dan dalam cahaya yang lebih terang, Si kembar
menyadari bahwa Mister Rakshasas tidak terlihat menyeramkan sama sekali.
Pria itu mengenakan jubah putih panjang yang dikan cingkan sampai ke leher,
pantalon putih, sepatu kets putih, dan sorban putih dengan sebutir kecil mutiara
putih yang menggantung tepat di atas dahinya. Janggut panjang yang kasar dan
kumis yang seputih sorbannya, melengkapi glamor penampilannya yang tidak
lazim. Mata cokelatnya ramah, dan tersenyum, tapi tetap saja Philippa
merasakan bahwa mata itu menyembunyikan tragedi besar yang pernah dialami
Mister Rakshasas. Dia duduk di rangka penutup perapian yang berlapis kulit,
begitu dekat sehingga dalam pandangan si kembar, dia bisa saja terjilati api.
Mister Rakshasas menghangatkan tangannya yang panjang dan kurus di atas api
selama beberapa menit sebelum akhirnya menyalakan pipa.
dimaksudkan pamannya itu, dan segera mulai khawatir lagi, karena ini berarti
dia ditakdirkan untuk menjadi semacam orang eksentrik yang kutu buku.
Sebuah jam besar yang berdetak dengan irama selayaknya pisau yang mengetuk-
ngetuk dawai piano, tibatiba berhenti. Keheningan pun tercipta. Hal itu
sepertinya menimbulkan kesadaran bagi si kembar bahwa entah mengapa
kehidupan lama mereka telah berakhir, kehidupan baru pun segera dimulai.
“Sekarang,” kata Nimrod, “aku yang akan bicara dan kalian hanya boleh
mendengarkan. Ada banyak hal yang perlu kalian pahami. Mungkin sebaiknya
aku mulai dari awal, bukankah begitu, Mister Rakshasas?”
“Semua yang akan kuceritakan ini adalah benar,” ujar Nimrod, “bukankah ada
banyak hal yang akan kalian anggap menakjubkan, sulit dipercaya? Aku minta
kalian memercayai dan menyingkirkan sejenak nonton fi Im fantasi yang terlalu
berlebihan.” Nimrod mengembuskan cerutunya sambil merenung. Sebuah
gumpalan asap besar keluar dari mulutnya, “nah, sebagaimana yang akan
dikatakan oleh orang bijak atau penyihir mana pun, ada tiga jenis makhluk
dengan kecerdasan yang lebih tinggi
di alam semesta. Ada malaikat, yang terbuat dari cahaya lalu ada manusia, yang
terbuat dari tanah. Aku yakin kalian semua sudah melihat acara pemakaman di
televise ketika si pendeta berkhotbah, ‘Tanah menjadi tanah; abu menjadi abu;
debu menjadi debu,’ dan seterusnya dan seterusnya. Itulah manusia yang
sebenarnya. Tanah, atau karbon kalau kalian ingin bersikap ilmiah. Tanah dan air
kalau kalian ingin benarbenar bersikap ilmiah. Tapi, untuk tujuan perbincangan
ini, kita tidak melibatkan manusia. Tidak, kita tertarik pada makhluk dengan
kecerdasan lebih tinggi yang terakhir. Makhluk ini adalah Jin. Jin adalah cara
yang tepat untuk menggambarkan apa yang dikenal secara kasar sebagai genie.
Kuharap tak seorang pun anggota keluargaku akan menggunakan kata seperti
genie. Itu adalah kata untuk pantomim dan film-film animasi, bukan untuk
orangorang seperti kita. Kata yang benar adalah Jin, dan Jin terbuat dari api. Va,
api.” Nimrod mengembuskan asap cerutu lagi seolah untuk membuktikan
maksudnya.
“Bisa kuyakinkan kalau aku benarbenar serius,” ujar Nimrod, “nah, Jin memiliki
banyak suku. Kita bisa menghabiskan waktu semalaman untuk menjelaskan hal
ini, bukankah begitu, Mister Rakshasas?”
“Tapi kalian, aku, ibumu, dan Mister Rakshasas ini cukup beruntung menjadi Jin
dari suku yang paling terkenal. Suku Marid. Jumlah kita paling sedikit, tapi
kitalah Jin yang terkuat.
“Nah, sekarang,” tawa Nimrod, “aku sudah bilang. Bisa dibilang Jin telah keluar
dari botol. Tak perlu diragukan lagi kalau kalian pernah mendengar tentang
ungkapan tadi. Aku yakin kalian menyangka itu bisa berlaku pada diri kalian
yang masih muda. Nah, aku di sini untuk meyakinkan kalian bahwa itulah yang
terjadi. Karena kalian adalah anakanak lampu.”
JIN
“Maksud paman, kami adalah Jin, seperti dalam Kisah Seribu Satu Malam?”
tanya John, “seperti seorang pria dalam kisah itu yang menemukan lampu atau
botol dan membebaskan Jinnya?”
Nimrod mengangguk.
“Tapi kalau kalian memikirkan beberapa hal aneh yang kalian alami pastinya
sejak geraham bungsu kalian dicabut. Mau tidak mau kalian terpaksa mengakui
kemungkinan penjelasannya juga.”
“Contohnya,” lanjut Nimrod, “apakah tidak aneh kalau aku tahu tentang mimpi
kalian sewaktu dalam pengaruh obat bius? Tentang bagaimana kita bertemu di
Paviliun Kerajaan Brighton. Bahwa ada seorang wanita yang memainkan
dulcimer. Bahwa kita bermain dadu? Bahwa John menghasilkan
lemparan tiga angka enam, Philippa empat, dan bersama-sama, kalian pun
menghasilkan lemparan lima angka enam. Kalau itu adalah mimpi, lalu
bagaimana aku tahu semua itu?”
“Cukup mudah, aku pergi ke New York, meninggalkan tubuhku di Hotel Carlyle
di Madison Avenue, dan rohku yang ke rumah sakit tempat kalian mencabut
gigi, dan masuk ke tubuh kalian. Yang dimaksudkan dengan roh adalah
bayangan di dalam jasmaniku.”
“Wow.”
“Selama kalian dalam pengaruh obat bius, aku mengambil alih pikiran kalian.
Menanamkan beberapa pengalaman yang kalian ingat dengan sangat jelas. Dan
mengusulkan agar kalian harus memberitahu orangtua kalau kalian harus ke
London.”
“Manusia dan Jin bertambah tua dalam kecepatan yang berbeda,” jelas Nimrod,
“menjadi Jin bermula dari geraham bungsunya tumbuh dan dicabut. Pada
manusia, geraham bungsu atau gigi naga yaitu sebutan yang lebih disukai Jin,
tidak mempunyai tujuan nyata. Tapi bagi kita para Jin, gigigigi itu ada karena
alasan yang baik. Gigi itu adalah pertanda kalau kekuatan kita siap digunakan.
Begitu gigi naga kita dicabut, kehidupan kita yang sesungguhnya sebagai Jin
telah bisa dimulai.” Asap cerutu Nimrod yang berikutnya mengambil bentuk
gedung-gedung New York. “Begitu
gigi naga itu diambil, orangtua kalian tak berani mencegah kalian.”
“Sikap bijaksana bagi para Jin dimulai di sini,” celetuk Mister Rakshasas.
“Penasihat terbaik bagi kucing adalah dirinya sendiri, cukup benar,” jawab
Mister Rakshasas.
“Itu pil yang ibu berikan pada kami, ya?” tanya John, yang lebih siap diyakinkan
kalau dia adalah Jin disbanding saudara kembarnya.
“Kurasa begitu. Seperti yang kukatakan tadi, Jin terbuat dari api, jadi kalian akan
menemukan kalau
Philippa melirik gelisah pada Mister Rakshasas yang duduk di lantai perapian.
Dia menghisap pipa nya, dan itu cukup mencerminkan betapa mudah
menganggap pria itu sebagai sesuatu yang terbuat dari api; kalau berada lebih
dekat dengan api itu, dia pasti akan terbakar.
“Hal pertama yang Jin lakukan setelah dia dilepaskan dari lampu atau botol,
dengan bantuan oksigen di atmosfer bumi, adalah berubah menjadi asap,” lanjut
Nimrod, “api unggun, panggangan, lilin, pil arang, bahkan rokok aneh itu,
semuanya membantu.”
“Tapi bukankah merokok tidak baik untuk kita?” John mengajukan keberatan.
“Memang sangat buruk buat manusia. Ya, tapi tidak semuanya juga buruk untuk
Jin. Kau akan mendapati kalau manusia berusaha melakukan banyak hal yang
bisa kita lakukan, biasanya dengan konsekuensi yang mencelakakan. Butuh
waktu lama, tapi akhirnya kami berhasil menyampaikan pesan ke alam manusia,
kalau merokok tidak baik untuk mereka.”
“Seandainya semua ini benar,” kata John yang tampak tidak yakin seraya melirik
pada saudaranya, “dan aku tidak mengatakan kalau itulah pikiranku, apakah
menjadi Jin berarti aku bisa memberi manusia tiga buah permintaan, dan hal-hal
semacam itu?”
kalian pahami, Anak muda, Jin adalah penjaga semua keberuntungan di alam
semesta. Mereka adalah penjaga dan pelindung kecenderungan khayalan atau
yang dikenal dengan nama kesempatan. Terjadinya peristiwa kebetulan, yang
disukai atau tidak disukai, demi kepentingan manusia. Pendeknya, kesempatan,
sebagai pemicu keberhasilan atau kegagalan, terwujud sebagai kekuatan fi sik di
alam semesta, yang bisa dikendalikan secara tersendiri oleh Jin. Kalian akan bisa
mengabulkan tiga permintaan kalau sudah memahami cara dan alasannya. Tapi
sampai saat itu tiba, sampai kekuatan Jin kalian tumbuh sedikit lebih kuat, itu
adalah sesuatu yang bisa dilakukan oleh pikiran bawah sadar kalian.”
“Sekarang kau mengerti,” Nimrod menyetujui, “salah seorang dari mereka pasti
telah menggunakan kata harap, dan kau yakin kau menyukai orang itu.”
Asap cerutu yang dihembuskan berikutnya terlihat seperti pesawat Boeing 747.
“Dia berkata kalau dia berharap dapat pulang ke rumah,” kata Philippa, “aku
merasa kasihan padanya.”
“Itu dia. Masalah klasik dari apa yang kita, para Jin, menyebutnya sebagai
pemenuhan harapan di
“Ya. Aku ingin menguji kemampuan kalian saat ini untuk memengaruhi
kesempatan. Dan yang terjadi, bila digabungkan, kemampuan kalian menjadi
hebat. Bila kalian bersatu, itu sama bagusnya dengan kemampuan Jin dewasa.
Dan itu sangat bermanfaat bagi tujuan kita sekarang. Akan kujelaskan
tentang…”
“Itu akan menjelaskan apa yang terjadi pada Mrs Trump, pengurus rumah tangga
kami,” lanjut John, “sebelum kami ke sini, Mrs Trump memenangkan $33 juta
Undian Mega Million New York.”
“Aku ingat betul sewaktu aku berpikir betapa menyenangkan bila dia
memenangkan lotere agar bisa mengunjungi anakanaknya di Eropa,” Philippa
mengakui.
“Nah, bukan perbuatan yang menyakitkan bila hal seperti itu terjadi kan? Tapi
kalian tahu, bila orang menggunakan kata ‘harap1, bukan mereka yang harus
berhati-hati. Kita, para Jin, yang juga harus berhati-hati. Belum tentu baik bila
orang
mendapatkan apa yang mereka harapkan. Seperti yang didapat Mr dan Mrs
Barstool. Kita mungkin ingin menolong mereka - biasanya, kalau kita jujur -
yang terbaik adalah mereka mendapatkan hal-hal tersebut melalui hasil kerja
keras mereka. Dengan begitu, mereka akan lebih menghargai apa yang
didapatnya, apa pun itu. Ada banyak kejadian di mana mereka tak
mempertimbangkan dengan baik permintaan mereka hingga akibatnya luput
untuk dipikirkan.”
“Seperti dalam beberapa cerita dalam Kisah Seribu Satu Malam,” kata John.
“Bila apa yang kau katakan itu benar, bahwa kami adalah Jin. Maka ada cara
mudah untuk membuktikan semua ini,” ujar Philippa.
“Pastinya, bukan sebuah trik yang dilakukan sampai tiga kali,” celetuk Mister
Rakshasas.
“Begitukah? Dan jika aku mampu membuat sesuatu berwujud, bagaimana kau
bisa tahu bahwa sesuatu itu tidak pernah ada di sini?”
“Aku yakin,” jawab Philippa, dan mengangguk tegas saat asap berbentuk badak
itu akhirnya menghilang.
“Wah, kalau begitu, itu pasti bukan badak asli,” sahut Philippa.
“Jawaban bagus,” puji Nimrod, “tapi kebetulan, ada seekor badak di ruangan ini.
Dan itu bisa aku buktikan.”
Dia menunjuk ke ujung lain ruangan di mana seekor badak sekarang berdiri.
Dengan panjang 3,65 meter dan tinggi 1,52 meter, badak itu mendengus keras
lewat lubang hidungnya yang besar lalu bergerakgerak di atas kakinya yang tebal
dan empuk sehingga papan lantai di ruang makan Nimrod berderak lantaran
beratnya binatang itu yang mencapai dua ton.
“Astaga,” ujar Philippa mundur selangkah. Karena mendengar suara gadis itu
dan merasakan gerakan, badak tersebut memutar telinga besarnya, mengedutkan
bibir atasnya yang menonjol, dan
“Ya,” bisiknya, lemas, “singkirkan dia.” “Apa yang harus disingkirkan?” “Badak
itu tentu saja.” “Badak apa?”
Philippa menoleh lagi dan melihat kalau badak itu sudah hilang. Bau hewan
yang menyertainya juga hilang.
“Sihir,” ujar John pelan, sangat terkesan pada pameran kekuatan Nimrod.
“Sihir? Ya Tuhan, bukan, Anakku. Jin tidak melakukan sihir. Hal seperti itu
hanya untuk anakanak dan orang dewasa bodoh. Jin mewujudkan keinginan. Itu
cara yang tepat untuk mengatakan apa yang kita lakukan. Kita mewujudkan
harapan kita. Kalau dikatakan dengan cara yang agak berbeda, itu adalah
konsentrasi pada sesuatu. Cuma itu. Dan jangan pernah menyebutnya sihir. Tak
ada sihir yang terlibat di sini. Ya ampun, selanjutnya kau akan bertanya apakah
aku punya kelinci dan topi tinggi. Tapi sudah kau lihat apa yang kumaksud
dengan bukti. Satu menit badak itu ada di sana dan pada menit berikutnya, dia
menghilang.”
“Bagaimana dengan Ayah?” tanya Philippa, “Apa dia juga berasal dari Jin?”
“Tentu saja. Meskipun dia tidak mengetahuinya saat menikahi ibumu. Ibumu
jatuh cinta padanya dari kejauhan, kira-kira begitu, dan bertekad untuk mencari
tahu orang macam apa dia. Jadi ibumu melakukan trik padanya. Bukan trik jahat.
Hanya selubung kecil cerdas untuk melihat apakah ayahmu berhati emas. Dia
berpakaian compang-camping dan, dengan berpura-pura jadi tunawisma, dia
meminta ayahmu memberinya uang receh untuk membeli secangkir kopi.
Ayahmu sangat baik hati, dan dia bisa melihat ada yang istimewa pada ibu
kalian. Jadi dia mengatur agar ibu kalian mendapatkan rumah dan pekerjaan.
Akhirnya, mereka menikah dan saat itulah Layla memberitahu kalau dia adalah
Jin. Tapi kekayaan besar yang telah ayah kalian kumpulkan, itu telah dia
dapatkan melalui usahanya sendiri.”
Layla tahu itu dan hendak membunuh mereka berdua, tapi Edward memohon
untuk membiarkan mereka hidup. Kalian tahu, dua pria itu adalah saudara ayah
kalian yaitu Alan dan Neil.”
“Bukankah itu adil?” John menyetujui. Kini dia berharap andai dia tidak pernah
membujuk untuk mengubah nama anjing-anjing itu. Tak heran bila nama mereka
terdengar seperti manusia, dan tidak heran mengapa ayahnya yang malang
sangat menentang perubahan nama mereka menjadi Winston dan Elvis.
“Ayah kalian sangat tergoncang ketika melihat kemarahan ibu kalian dengan
memamerkan kekuatan Jin sehingga dia meminta agar Layla tidak meng
gunakan kekuatan itu lagi. Yang lebih penting lagi, saat kalian lahir, Edward
memaksa Layla berjanji untuk membesarkan kalian tidak sebagai Jin, tapi
sebagai manusia normal. Janji yang dia pegang sampai seka rang. Dan itulah
sebabnya kita tidak saling mengenal selama sepuluh atau sebelas tahun terakhir.
Apa pun keinginan ibu dan ayah kalian, itu mereka lakukan demi alasan terbaik.
Tapi aku selalu percaya kalau pengetahuan tentang apa dan siapa kalian
seharusnya tidak dirahasiakan dari kalian.”
“Maksudmu ada orangtua lain seperti orangtua kami?” ucap John, “siapa yang
ingin mencegah anakanak mereka menjadi Jin?”
“Beberapa orangtua,” ujar Nimrod, “dalam masyarakat sekarang, menyesuaikan
diri dengan apa yang dianggap normal adalah segalanya. Griggs meng
eksploitasi ketakutan manusia karena berbeda.”
“Tapi bagaimana dia mencegah kita memiliki kekuatan?” tanya John yang
langsung marah ketika mengetahui kalau sebenarnya ada sebuah tempat di mana
kedua anak itu mungkin bisa dicegah untuk menjadi Jin. Itu sepertinya
menyenangkan.
“Teknik Alembic-nya sangat sederhana,” jelas Nim rod. “Dia memberi kalian
begitu banyak tugas sekolah sehingga pikiran kalian dialihkan dari latihan
kekuatan Jin, disadari atau tidak. Yang terburuk dari semua itu, dia membujuk
murid-muridnya agar tidak memercayai segala sesuatu yang tidak bisa
dibuktikan dengan ilmu pengetahuan. Ini bencana bagi Jin, karena percaya pada
sesuatu yang memengaruhi pikiran sehingga anakanak Jin menjadi tidak bisa
memaksimalkan kekuatannya sebagai Jin. Agar bisa menggunakan kekuatan itu,
yakin pada diri sendiri adalah segalanya. Jadi, saat aku tahu kalau ibu kalian -
sudah lama - berencana mengirim
“Pastinya, sungguh memalukan mencoba mem buat janggut kambing dari ekor
kuda stallion yang bagus,” ucap Mister Rakshasas.
“Tapi,” bantah Philippa, “kalau Jin tidak bisa menggunakan kekuatannya sampai
geraham bungsunya dicabut, bukankah akan lebih mudah kalau membiar kan
saja gigigigi itu berada dalam mulut kami?”
“Retakan di dinding kamarku,” ucap John, “muncul tepat lewat papan di ujung
kepala ranjangku dan kelihatannya bermula dari bantal di bawah pipiku.”
“Kita akan sampai ke sana nanti,” Nimrod mengangkat tangan ke udara seolah
sudah membuktikan maksudnya, “terlebih lagi, semakin lama kau menunda
pencabutan, pada akhirnya semakin dramatis, semakin merusak kekuatan Jin
itu,” kata Nimrod, “ibumu bersikap cukup masuk akal dengan mengadu perun
tungan bahwa yang terbaik adalah bertindak sekarang, saat kekuatan Jin kalian
masih belum matang.”
Philippa berpikir sejenak, “Ibu dan ayah,” katanya, “mereka melakukan itu demi
alasan yang baik, kan?”
“Mereka hanya menginginkan yang terbaik untuk kalian,” tegas Nimrod, “yang
mereka lihat, dengan menjadi manusia, kalian akan memperoleh kesempatan
yang lebih baik untuk menjalani hidup yang normal dibandingkan dengan
menjadi Jin.”
“Aku tak yakin kalau aku menginginkan kehidupan yang normal,” sembur
Philippa, “setidaknya, tidak sepanjang waktu. Tapi aku juga tidak ingin me
ninggalkan rumah. Bagaimanapun juga, aku belum menginginkannya.”
“Aku juga,” kata John, “tidak bisakah kami belajar tentang Jin lalu pulang?”
“Aku baru saja ingin mengusulkan hal yang sama,” Nimrod tersenyum dan
merangkul John dan Philippa, “lagi pula, ada pekerjaan penting yang harus kita
lakukan. Va Tuhan, ya! Kita harus bergerak cepat.”
“Omongomong soal retakan,” ujar Philippa, “aku punya pertanyaan. Aku heran
kenapa retakan di dinding kamar John identik dengan retakan yang kami lihat di
koran.”
“Siapa atau apa?” ujar Mister Rakshasas, “kau tidak perlu melihat bumi bergerak
untuk mengetahui bahwa dia telah bicara.”
“Tepat sekali,” ujar Nimrod, “bagaimanapun juga kita harus ke Mesir. Itulah
yang sejak tadi aku berusaha sampaikan. Dan kejadian ini hanya menegaskan
keha rusan untuk ke sana sesegera mungkin. Tapi aku berharap untuk
merahasiakan keberadaan kalian.”
“Apa aku bilang begitu? Well, ya, mungkin ada bahaya. Kita tidak akan menjadi
satusatunya Jin yang datang ke Mesir hanya untuk mencari harta karun. Kalau
kalian ingat Kisah Seribu Satu Malam, ada beberapa suku Jin lain, tentunya
berbeda dengan kita, yang kurang peduli pada manusia dan bermaksud
menyakitinya.”
“Suku Ifrit. Ya, Nak, ingatanmu bagus,” puji Nimrod, “mereka adalah Jin
terburuk dari kaum Jin. Suku Jin jahat yang menjadi musuh abadi kita. Mungkin
kita akan bertemu mereka dalam perjalanan ke Mesir.”
“Dunia penuh hal-hal jahat,” desah Mister Rak shasas, “dan kalau ingin
menghindarinya, kau hanya harus hidup sendiri dengan pintu terkunci dan tirai
tertutup.”
“Kalau kita meninggalkan London besok sore dan mengejar penerbangan jam
5:30, kita semua bisa sampai di Kairo sebelum tengah malam,” ujar Nimrod.
“Mesir adalah tempat yang tepat untuk melatih Jin muda seperti kalian,” kata
Mister Rakshasas.
“Mesir adalah negara gurun, dan Jin akan selalu dalam kondisi terkuat di negara
gurun,” jelas Nimrod, “Jin berasal dari gurun, tahukah kau?” Dia menemukan
sebuah lilin kecil, kemudian menyalakan cerutu nya, mengembuskan asapnya
selama beberapa detik seperti naga, dan akhirnya mengembuskan gumpalan asap
yang ber bentuk seperti patung Sphinx.
“Aku tidak tahu kenapa,” ujar John, “tapi sekarang kalau dipikir-pikir,
kelihatannya aku memang selalu ingin pergi ke Mesir.”
“Itulah Jin yang ada dalam dirimu, Nak,” ujar Nimrod berseri-seri, “Jin itulah
yang bicara.”
Rakshasas, “Ini saatnya aku kembali ke botol.” Dan setelah membungkuk sopan,
dia meninggalkan ruangan. “Mister Rakshasas menderita agoraphobia,” ujar
Nimrod.
“Bukankah itu adalah rasa takut pada tempat terbuka?” ucap Philippa.
“Ya. Begini, Mister Rakshasas pernah terjebak dalam botol oleh Ghul dalam
waktu yang sangat lama. Begitu lama, sehingga sekarang dia merasa gugup bila
berada di luar botolnya terlalu lama. Maksudku, coba pikirkan betapa gelisahnya
kalian melihat semua orang kalau kalian terkurung dalam waktu lama. Dunia
semakin bising.”
“Kupikir akan sangat baik bagi kesehatan mentalnya bila bersama Jin muda
seperti kalian untuk diajak bicara dan bertanya padanya,” ujar Nimrod, “kalian
akan tahu kalau dia adalah jenis Jin yang sangat menarik. Yang hampir tidak
mengherankan mengingat dia telah mengabdikan hidupnya selama bertahun-
tahun untuk mempelajari siapa dan apa Jin itu. Buku adalah satusatunya hal yang
membuatnya bertahan selama terkurung. Buku dan televisi Irlandia.”
“Bagaimana kau bisa belajar atau nonton televise kalau berada di dalam botol?”
tanya John.
“Meskipun berada dalam botol, kau masih memi liki tekad untuk menyediakan
apa pun yang kau inginkan. Radio, televisi, koran, makanan dan anggur, sofa,
kursi, ranjang, tergantung ukuran lampu atau botolnya. Tahukah kau, Jin yang
masuk
“Kau pernah terjebak dalam botol?” tanya John, “maksudku yang diluar
keinginanmu.”
“Jelas, sudah terjadi beberapa kali. Itu semacam risiko pekerjaan bagi Jin. Waktu
terlama aku terkurung dalam botol adalah sekitar enam bulan. Sebenarnya itu
kecelakaan. Tak bisa dihindari. Aku terkurung dalam sebuah botol dekoratif
antik. Aku sedang berburu di sebuah toko kaca antik di Wimbledon Village,
tepat di luar Kota London. Pemiliknya ada di belakang toko, sedang
membungkus sesuatu, jadi kupikir aku dapat dengan cepat masuk ke dalam botol
untuk memeriksa apakah botol itu cocok. Tapi saat aku di dalam, pasti, tidak
lebih dari tiga puluh detik, pria si pemilik took memasang tutup kacanya
kembali. Itu bukan salahnya. Maksudku, dia tidak tahu aku berada di dalam
sana. Tak ada yang dapat kulakukan sampai seseorang membeli botol dekoratif
itu. Botol itu mahal sekali, jadi aku harus menunggu sampai botol itu
mendapatkan rumah baru.” “Apa yang terjadi?”
“Dan kau masih mengabulkan tiga permintaan nya?” Philippa terdengar heran.
“Terpaksa.“TXT BY OTOY http://ottoys.wordpress.com
“Ada aturan tak tertulis di antara para Jin yang baik bahwa kita harus selalu
mengabulkan tiga permintaan untuk orang yang membebaskan kita. Tapi tidak
pernah empat permintaan. Permintaan keempat akan membatalkan ketiga
permintaan sebelumnya. Itu namanya Peraturan Baghdad.”
“Kenapa begitu?”
“Oh, sebaiknya kau tanyakan pada Mister Rak shasas,” ujar Nimrod, “Dia tahu
lebih banyak tentang Hukum Peraturan Baghdad daripada aku. Dia melakukan
studi tentang itu seumur hidupnya. Percayalah, perlu waktu seumur hidup untuk
mengetahui semua aturan nya.”
John.
air, mereka tampak sakit hati dan merasa tertipu. Nah, itulah yang terjadi pada
Groanin. Saat pertama kali bertemu dengannya, sepuluh tahun lalu, dia hanya
punya satu lengan, seperti sekarang. Dia kehilangan lengan lainnya di British
Museum. Tapi itu cerita lain. Dia bukannya segera meminta satu lengan baru,
Mister Groanin malah menyia-nyiakan dua permintaan pertamanya untuk
sesuatu yang sangat tidak berguna. Sekarang dia tidak tahu apakah akan
meminta lengan baru, atau hal lain, misalnya uang yang banyak. Dan hingga dia
bisa memperbaiki pikirannya dan memikirkan tentang permintaan ketiganya, dia
tak membiarkan aku hilang dari pandangannya, dan aku berkewajiban
membuatnya tetap bersamaku. Jadi kupekerjakan saja dia sebagai pelayanku.
Itulah mengapa dia selalu menggumam, agar aku tidak bisa mendengarnya. Dia
takut kalau-kalau tanpa sengaja dia menucapkan kata harap lalu aku
mengabulkan permintaan sia-sia ketiganya itu. Kalau kalian dengar dia
menggunakan kata harap, aku akan sangat berterima kasih kalau kalian
memberitahuku. Aku tidak keberatan mengakui bahwa aku akan menuntaskan
urusan ini, agar dia bisa melanjutkan hidupnya, dan aku bisa mempekerjakan
pelayan lain yang bisa aku libatkan dalam pembicaraan yang menyenangkan.”
“Orang pandai berharap mendapatkan sesuatu yang abstrak seperti talenta atau
kearifan,” ujar Nimrod, “beberapa orang biasanya berharap menjadi
penulis andal. Tapi, sekarang, sebagian besar orang minta uang kontan atau jadi
bintang fi Im. Sangat membosankan. Tapi apa yang bisa kau lakukan? Sebuah
permintaan bagaimana pun juga tetaplah sebuah permintaan.”
10
KAIRO
Sesampainya di Kairo pada larut malam, mereka dijemput oleh Creemy, pelayan
Nimrod bertubuh sangat tinggi dan berkebangsaan Mesir. Tingginya makin
bertambah lantaran terdapat kopiah merah di atas kepalanya. Sepertinya dia
tidak membutuhkan tongkat untuk membantunya berjalan. Creemy sangat
menyukai anakanak. Dia tidak pernah berhenti tersenyum dan selalu menawari si
kembar beberapa permen Mint ekstra-pedas produksi King Fahd yang gemar
sekali dia kunyah dengan gigi ekstra putih yang sama kuatnya.
“Bersama kita? Mana?” John melihat berkeliling dan mengerutkan kening, “Aku
tidak melihatnya.”
“Itu karena dia berada dalam lampu di dalam tasmu. Kumasukkan dia ke sana
karena tasku sudah penuh. Begitulah cara Jin bepergian yaitu berada dalam tas
Jin lain bila ingin menghemat ongkos pesawat atau, seperti Mister Rakshasas
yang menderita agoraphobia.”
John mengulurkan tangan untuk mengambil tasnya yang berjalan di atas roda
dan mendapati dirinya didorong dengan kasar ke samping oleh
Creemy yang lalu memukuli tas itu dengan tongkat. Tindakan itu ham pir
menyebabkan kepanikan di antara wisatawan yang hendak mengambil tas
mereka sehingga polisi pun se gera bersiaga.
“Untung saja,” kata Nimrod, “kalau kau ambil tas itu, kau pasti sudah digigit dan
mati. Itu ular kobra mesir, John. Ular paling mematikan di Mesir.”
John menelan ludah, tibatiba bersyukur karena sudah lolos dari bencana.
“Terima kasih, Mister Cree my,” katanya.
“Penduduk negeri ini hidup bersama binatang yang merugikan,” gerutu Mister
Groanin, “dan yang
aku maksud bukan hanya ular dan serangga. Kalau kau menyentuh apa pun di
dekat tempat ini, cucilah tangan dengan sabun antiseptik, itu saranku.”
“Kurasa itu bukan kecelakaan,” ujar Nimrod saat mereka keluar dan menunggu
Creemy mengambil mobil, “kobra mesir adalah binatang pemalu, kecuali kalau
me reka dibuat jengkel. Aku tak pernah mengira akan menemukan seekor kobra
di roda berjalan.”
“Kalau kau ingat, itu adalah tas yang berisi lampu Mister Rakshasas,” jelas
Nimrod, “keberadaannya pasti telah terdeteksi saat tas itu dipindah dari pesawat.
Jadi, ini salahku. Tapi dengar, kalau itu membuatmu sangat tidak nyaman, kita
segera ke loket tiket American Airlines lalu beli tiket dengan tujuan New York.”
puluh enam meter di belakang mereka, dan dalam kecepatan yang sama.
“Bisakah kau meloloskan diri dari mereka?” Creemy menyeringai, “Ini Kairo,
Bos. Lihat saja.”
Beberapa mil kemudian, Creemy menginjak pedal gas, menjauh dari jalan
utama, dan melaju di jalan satu arah, sampai mereka berada di area yang penuh
toko-toko tua dan kerumunan orang.
“Ini pasar kaki lima lama, Bos,” ucap Creemy sambil melaju di lorong sempit
dan kemudian melewati jalan tembus yang tampak kuno, “banyak jalan-jalan
tua. Polisi lalu-lintas pun bisa tersesat di sini, tapi si tua Creemy ini cukup
mengenal Kairo. Tidak masalah.”
Mobil itu menambah kecepatan saat mengitari satu sudut, melempar si kembar
ke pangkuan Nimrod, dan kemudian sudut lain. Para pejalan kaki segera minggir
saat Cadillac itu melaju melewati serangkaian lampu merah. Nimrod menoleh ke
belakang melalui kaca spion di depan dan melihat Mercedes hitam itu masih
tetap membuntuti.
Di bagian kota Kairo yang dikenal dengan nama Garden City, kediaman Nimrod
lebih mirip istana ketimbang rumah. Halaman rumputnya hijau terawat rapih,
pohon-pohon palemnya yang rimbun, dan dindingnya putih besar. Di dalam
interiornya yang sejuk, lantai marmernya ditutupi karpet Persia, dan di mana-
mana ada banyak barang antik Mesir sehingga rumah itu terasa lebih mirip
museum dibanding rumah ayah mereka. Tapi yang paling tidak lazim dari rumah
itu adalah apa yang Nimrod sebut Ruang Tuchemeter. Di dalam ruang itu
terdapat sebuah alat seperti jam bundar besar, tergantung pada dinding,
menghadap ke sebuah kursi yang tampak memiliki hiasan berlebihan. Apabila
tidak sedang mengemudikan Cadillac atau memasak di dapur, Creemy biasa
menempatinya. Terkadang Nimrod juga melakukan hal yang sama. Bila diamati
secara lebih dekat, ternyata jam itu terbuat dari emas, dan berdiameter sekitar
dua meter, dan memiliki satu jarum. Rupanya itu bukanlah jam. Baik, Buruk,
dan Homoeostasis, begitulah tiga kata yang tertulis dengan huruf besar di
permukaan perak tuchemeter tersebut. Satusatunya jarumnya - yang berbentuk
seperti lengan berotot dengan jari telunjuk manusia terjulur - sedang menunjuk
agak ke sebelah kiri kata “homoeostasis” sehingga memasuki wilayah berlabel
“Buruk”.
“Itu adalah tuchemeter,” jelas Nimrod dengan bangga saat membawa kedua
keponakannya itu berke liling ruangan, “alat ini mengukur keberuntungan di
dunia, semuanya; baik dan buruk. Ini adalah replika. Sama persis dengan yang
dimiliki oleh Jin Biru dari Babilonia di Berlin, hanya saja yang itu lebih besar.
Alat itu mencatat jumlah resmi keberuntungan di permukaan bumi, yang disebut
BML (Berlin Meridian Luck). Aku punya yang lebih kecil di rumahku di
London.”
“Semudah kau mengukur cuaca dengan baro meter,” sahut Nimrod, “hukum fi
sika di alam semesta menyingkirkan kemungkinan bahwa hal-hal terjadi begitu
saja. Tak ada yang namanya kebetulan. Saat alam semesta diciptakan, manusia
diberi kekuasaan atas dunia, malaikat atas surga, dan Jin atas interaksi di antara
keduanya, sesuatu yang disebut takdir oleh beberapa orang. Takdir sering
kelihatan seperti kebetulan. Tapi bukan, tentunya. Itu keberuntungan, dan
dikendalikan oleh Jin. Nasib baik dipengaruhi oleh tiga suku Jin baik. Dan nasib
buruk oleh suku jahat. Di sana ada perselisihan abadi di antara keduanya.
Keseimbangan yang sangat sempurna, yang kita sebut homoeostasis.
“Tuchemeter ini, benda yang secara tidak resmi dijaga oleh Creemy,
memungkinkan aku melihat kalau suku jahat, menyebabkan nasib buruk yang
“Seperti mengabulkan tiga permintaan seseorang?” tanya John yang sangat ingin
melakukan itu.
“Tepat sekali,” jawab Nimrod. Sejenak dia tampak prihatin, “sejak gempa bumi
itu, jarum tuchemeter menunjuk ke kiri homoeostasis, yang membuatku curiga
kalau suku Ifrit sedang merencanakan sesuatu. Sangat mungkin merekalah yang
membuntuti kita dari bandara atau yang meletakkan ular di pegangan tas John.”
Dia melirik arlojinya dan menggelengkan kepala, “tapi waktu berjalan terus, dan
aku ingin tunjukkan pada kalian bagian dari kota ini sebelum tidur. Meskipun
mungkin akan lebih baik kalau kita memilih kendaraan yang paling tidak
menarik perhatian.”
Nimrod menyuruh Creemy menyiapkan kereta kuda yang disebut ghari dan,
meskipun sekarang sudah sangat larut, ketiganya pergi membelah jantung kota
Kairo yang masih ramai dan sibuk. Meskipun sudah lewat jam satu dini hari,
banyak toko yang masih buka, menjual barangbarang yang belum pernah si
kembar lihat. Hanya ada sedikit tanda-tanda kerusakan akibat gempa yang
dahsyat itu.
“Lebih sejuk kalau pergi belanja pada jam seperti ini,” jelas Nimrod.
Philippa mengatakan kepada Nimrod bahwa dia belum pernah melihat begitu
banyak orang atau, terlebih lagi, begitu banyak mobil.
“Dua puluh juta orang tinggal di Kairo,” papar Nimrod, “tempat ini sangat
miskin, tapi entah bagai
“Ya,” kata Philippa. Hidungnya mengerut sedikit saat kereta itu melewati pasar
pinggir jalan yang sangat ramai. Sesaat, mereka hampir tenggelam oleh
orangorang yang memanjat masuk kereta kuda dan berusaha menawarkan
sesuatu sampai akhirnya mereka mendengar Nimrod, dalam bahasa Arab yang
fasih, menyuruh mereka pergi. Nimrod juga menyuruh si kusir melecut
cambuknya untuk menambah laju kecepatan. “Hanya saja baunya kurang enak,”
tam bahnya.
“Setiap orang bilang begitu saat mereka pertama datang di sini. Tapi kalian akan
segera terbiasa.”
“Bukan itu yang kumaksud. Tapi ya, mungkin sedikit. Beberapa bagian kota
berbau lebih menyengat disbanding di tempat lain. Sebetulnya yang kumaksud
adalah baunya aneh. Seolah sudah sangat tua. Sepertinya orangorang sudah
tinggal di sini lama sekali. Ada juga bau yang kau cium di
bagian pusat kota New York, pada hari yang sangat panas. Kota ini berbau
seperti itu, hanya saja baunya seratus kali lipat.”
John mengangguk. “Ya, itulah yang kupikirkan. Tapi aku juga mendapatkan
perasaan aneh kalau aku sudah pernah ke sini. Entah bagaimana, aku merasa
seperti di kampung halamanku.”
“Ya, kau benar,” Philippa menyetujui, “tapi lebih dari itu, kurasa. Sejak sampai
di sini, aku merasa seperti diawasi.”
“Bagus,” kata Nimrod, “memang, dalam satu hal kau berada di kampung
halamanmu, John. Dan Philippa? Ada lebih banyak Jin di Kairo daripada di
tempat lain, dengan pengecualian mungkin di Istanbul, Turki. Kau mungkin bisa
merasakan kehadiran mereka.”
“Apakah ini berarti kita orang Arab?” tanya John.
“Ya Tuhan, tidak,” jawab Nimrod, “bangsa Arab adalah ras manusia. Kita Jin.
Jin sangat berbeda dengan ras manusia mana pun. Mister Rakshasas akan
menjelaskan tentang semua suku itu pada kalian besok, kalau kalian mau.”
“Sekarang, aku hanya berharap kusir kereta ini berhenti mencambuk kuda
malang ini,” ujar Philippa yang bergidik saat orang Mesir itu melecut
cambuknya ke udara.
Nimrod tertawa, “Keinginanmu adalah perintah untuk ku, Nona muda,” katanya.
Dan setelah menutup mata, dia menggumamkan sesuatu dengan berbisik. Detik
berikutnya kuda itu langsung menarik ghari begitu cepat sehingga mereka mulai
menyusul
mobil-mobil dan bus. Si kusir meneriakkan sesuatu dalam bahasa Arab tapi kuda
itu menolak berhenti, kuku-kukunya berderak keras di jalan yang licin. “Oh ya,
sudah saatnya kita pulang,” kata Nimrod tenang, “sekarang sudah lebih larut
daripada yang kuduga.”
“Bukan ini yang kumaksud,” teriak Philippa sambil mencengkeram pinggir ghari
saat mereka melesat mengitari sudut jalan.
“Apa maksudmu?” kata Nimrod sambil tertawa, “kau menginginkan si kusir itu
berhenti menggunakan cemetinya, kan?”
“Maksudku, dia tak perlu mencambuk kalau kudanya sudah berlari cepat,” sahut
Philippa. Saat ghari itu berguncang karena melewati sebuah lubang besar dijalan,
Philippa berteriak ketakutan.
“Asyik, kan?” kata Nimrod, “di Kairo tidak ada tunggangan seperti kuda dan
kereta pada siang hari di musim panas yang hangat.”
Mereka sampai di pinggiran Garden City dan kira-kira satu menit kemudian,
kuda itu berhenti tanpa diperintahkan, tepat di luar rumah Nimrod. Ketiga Jin itu
turun. Begitu juga si kusir yang tampak ketakutan bukan hanya karena kudanya
lari kencang sekali, tapi juga karena kuda itu telah menemukan jalan pulang
tanpa bantuan apa pun darinya. Nimrod menepuknepuk kuda itu dengan riang di
bahu untuk menunjukkan pada pria itu bahwa ia tidak marah dan kemudian
memberi uang tip yang sangat banyak. Takut si kusir berniat menghukum
kudanya nanti.
“Kita bisa terbunuh,” Philippa memarahi pamannya saat mereka sudah berada di
dalam rumah.
“Oh, kupikir kita tidak dalam bahaya,” kata Nimrod tersenyum, “tapi mungkin
sekarang kau tahu apa yang kumaksud dengan permintaan. Kau tidak akan tahu
hasil permintaan itu. Kau ingin si kusir berhenti menggunakan cemeti, dan dia
melakukannya. Kau hanya tidak suka alasan mengapa dia berhenti menggunakan
cambuk. Itu pelajaran penting bagi Jin. Bila kau bermain-main dengan masa
depan, ada aspek acak, tak diharapkan, dan bahkan tidak menyenangkan atas apa
yang kau lakukan. Masalahnya, kita hidup di dunia yang sangat rumit. Variasi
kecil dalam kondisi awal bisa mengakibatkan transformasi dinamis dalam
kejadian akhir. Dan variasi besar, jenis yang dibuat menjadi kenyataan oleh Jin
yang mengabulkan per mintaan, bisa mengakibatkan transformasi yang sangat
dinamis dalam kejadian akhir.”
“Hmm, ya,” kata John sambil melirik cemas pada Philippa dengan harapan si
adik tidak memahami, seperti dirinya. Menangkap tatapan John, Philippa
mengangkat bahu sebagai jawaban.
“Sudah cukup kegembiraan untuk malam ini,” ujar Nimrod, “bukankah begitu?
Kurasa ini saatnya kita semua tidur.”
Dan kemudian, dengan kaki yang masih terasa sedikit seperti jelly setelah naik
kereta tadi, si kembar pergi ke kamar mereka yang besar dan dihias indah seperti
milik Putri Scherezade dalam Kisah Seribu Satu Malam. Begitu naik ke atas
ranjang, mereka segera terlelap.
11
Pada penghujung pagi keesokan harinya, Creemy memberitahukan bahwa
Nimrod kedatangan Mrs Coeur de Lapin, istri duta besar Prancis untuk Mesir,
yang tinggal di sebelah rumah. Wanita berpostur tinggi, sangat elegan, kulitnya
tanpa cacat dan penam pilannya bagaikan Putri Kerajaan. Hidungnya yang pipih
sering mendongak sehingga dia tampak agak meremehkan orang bila sedang
bicara. Ini cuma sikapnya, tapi dia bukanlah seorang tidak ramah untuk ukuran
wanita Prancis. Dia menyapa Nimrod seperti menyapa sepupunya yang lama tak
berjumpa hingga ketika bicara dia terlihat penuh semangat, seperti air terjun
Niagara. Baru setelah itu, dia sampai pada inti pembicaraan.
“Aku dengar suara anakanak di kebun,” katanya dengan merdu, “dan aku merasa
perlu segera datang agar kunjunganmu di Kairo jadi lebih menye nangkan.”
Mrs Coeur de Lapin memakai baju panjang tipis warna ungu dan syal hijau
melilit lehernya yang seperti leher angsa, dan di sekeliling rambut pirangnya.
Sebuah ikat kepala hitam dan emas-kehijauan pun memberi kesan Bohemia,
seakan dia bukanlah istri duta besar melainkan seorang peramal atau pembaca
telapak tangan.
“Anda baik sekali,” ujar Nimrod, “tapi kami akan sangat sibuk selama berada di
sini.”
“Kita bisa piknik,” cetus Mrs Coeur de Lapin, mengabaikan penolakan Nimrod,
“besok, mungkin bisa. Kalian mau, Anakanak?”
“Anda baik sekali,” kata Nimrod sambil mempermainkan dasi dengan penuh
semangat, “jelas.”
“Tidak,” cibir Mrs Coeur de Lapin sambil mem belai rambut John, “aku bersikap
egois. Aku suka anakanak.” Dia mengembuskan napas pelan, “selama bertahun-
tahun merekalah seluruh hidupku. Juga anakanak yang manis. Nimrod, kau tidak
mengatakan kalau kau adalah paman dari anakanak berwajah menawan ini.
Mereka mengingatkanku pada anak-anakku.”
Setelah Mrs Coeur de Lapin pergi, Philippa bertanya pada Nimrod mengapa dia
tidak ingin menerima keramahan itu.
“Kau harusnya tahu kita tidak sedang berlibur,” jawab Nimrod, “ada banyak hal
yang harus dilakukan. Banyak yang belum kalian ketahui. Kita harus memulai
pelatihan kalian. Tapi sebelum itu bisa kulakukan, ada tapabrata yang perlu
kalian jalani. Tammuz kalian.”
“Ribuan tahun lalu,” jelas Nimrod, “salah seorang leluhur kita adalah seorang
Raja yang juga bernama Nimrod. Dia sangat terkenal karena membangun
Menara Babel. Dia adalah pria hebat yang hidup sampai lanjut usia. Begitu
kematiannya, dan sebelum bisa berkabung atas kematian Nimrod, Semiramis,
permaisurinya, melahirkan bayi lakilaki yang dia beri nama Tammuz. Ketika
sudah cukup sehat, Semiramis pergi ke padang pasir untuk berpuasa selama
empat puluh hari dan empat puluh malam untuk berkabung atas kematian
suaminya. Pada saat itulah datang sebuah pengungkapan rahasia bahwa Tammuz
sebenarnya adalah Nimrod yang terlahir kembali.
“Sekarang, semua Jin muda dari suku kita selalu menjalankan ritus Tammuz,
untuk memperingati kelahiran kembali dan menandai jalan mereka menuju
kedewasaan. Tak seorang pun bisa menjadi Jin dan menggunakan kekuatan Jin
sebelum dia berpuasa di gurun pasir. Karena dari padang
pasirlah kalian datang, dan sampai kalian merasakan panasnya padang pasir
yang membakar tulang, barulah kalian bisa memahami api Jin yang membakar
dalam diri kalian.”
“Bukan empat puluh hari,” sahut Nimrod kikuk, “tak ada yang seperti itu.
Bahkan, sangat singkat.”
“Kalian ingin menjadi Jin, kan?” ucap Nimrod, “dengan kekuatan untuk
mengabulkan tiga perminta an dan hal-hal semacam itu? Atau kalian ingin
menjadi manusia biasa?”
“Sungguh, tak ada yang perlu dikhawatirkan,” kata Nimrod, “aku tahu ada
daerah kecil yang menye nangkan di dekat Piramida. Kalian akan merasa cukup
nyaman sana.”
“Makin cepat makin baik, kan? Kupikir malam ini yang terbaik.”
“Mengapa kita tidak ke sana sekarang, di siang hari, supaya kalian bisa
melihatlihat tempatnya
itu.
Akhirnya, mobil berhenti di jalan yang tenang dan tampak berdebu, dan Nimrod
memimpin si kembar melewati pintu toko parfum kecil tanpa nama, yang berdiri
di antara kandang kuda dan pasar buah serta sayuran. Bagi si kembar, toko itu
tampak seperti tempat yang aneh untuk menjual parfum. Sama anehnya,
mengapa Nimrod ingin masuk ke toko itu, setidaknya sampai mereka mendapati
rak kaca yang berisi beberapa botol kaca antic dan lampu minyak Romawi kuno.
Seorang pria yang memakai kemeja putih panjang membungkuk khidmat kepada
ketiga orang tamunya, kemudian mencium tangan Nimrod dengan hormat.
Selama beberapa sesaat kedua pria itu bicara dalam bahasa Prancis dan
kemudian bahasa Arab sebelum Nimrod berpaling pada anakanak itu.
“Huamai adalah penjual parfum yang hebat,” jelas Nimrod, “salah satu yang
terbaik. Setelah menunggang unta, kita akan kembali ke sini dan mencoba
sedikit parfum racikannya, kemudian mungkin kalian akan mengerti mengapa
Delilah bisa memperbudak Samson, Sheba memukau Raja Sulaiman, dan
Cleopatra memi kat Mark Anthony”
“Tidak mau,” sergah John, “aku tidak mau pakai parfum. Itu hanya untuk anak
perempuan.”
Nimrod tersenyum kalem. “Kita lihat saja nanti.” Dia berdiri saat Huamai
melongok di pintu dan membungkuk lagi, “Mari. Untanya sudah siap.”
Seorang pria muda berwajah ramah yang berku mis dengan membawa sebuah
cambuk unta berlari ke arah Nimrod lalu membungkuk.
“Ini Toeragh,” ujar Nimrod yang mulai bicara dalam bahasa Arab. Setelah satu
atau dua menit bernegosiasi, Nimrod memberi Toeragh uang kertas lalu menoleh
pada si kembar.
“Semua sudah diatur. Tiga unta ini menjadi milik kita selama kita inginkan.”
Saat Nimrod bicara, ketiga unta itu berdiri dan meringkik kencang, sehingga
ketiga penunggangnya memekik, antara takut dan senang.
“Tapi unta-unta itu kan sudah disewa mereka,” protes John, “lihat!” Dia
menunjuk pada turis-turis yang saling memotret, “sudah ada penunggangnya.”
“Tidak, tidak, tidak,” sahut Nimrod, “kau salah paham. Kita tidak menunggang
unta. Hal itu tidak banyak kesenangannya. Sangat tidak menyenangkan
menurutku, dengan punuk besar di tengah mereka. Kita akan menjadi unta. Nah,
itu usul yang jauh lebih menarik, kan?”
“Apa?” teriak Philippa, “Aku tidak mau menjadi unta. Mereka jorok.” Rasa
jijiknya membayangkan gagasan untuk menjadi unta meningkat dengan cepat
saat seekor unta mulai membuang air seni di tanah.
“Omong kosong,” ujar Nimrod, “ini unta-unta yang sangat cantik. Yang terbaik
di Kairo. Terlebih lagi, unta adalah binatang yang sangat penting bagi suku Jin
kita. Suku Marid telah mengubah diri mereka menjadi unta selama ribuan tahun.
Lagi pula, pengalaman ini akan berguna bila kalian sudah menjadi Jin.”
“Tapi bagaimana?” tanya John yang terlihat sama tidak senang atas gagasan
pamannya, “Apanya yang berguna bagi kami? Kucing, atau anjing, atau bahkan
kuda, bisa kupahami. Tapi bukan unta.”
“Apalagi yang membuang air seni itu,” ujar Philippa sambil menutup hidung,
“kapan dia akan ber henti melakukannya?”
“Jangan berdebat,” sergah Nimrod, “mereka akan segera berangkat. Dengar, aku
pernah menjadi unta, ibumu pernah menjadi unta, dan nenekmu seekor unta. Dan
ini hanya berlangsung beberapa jam saja.”
Philippa siap berjalan kembali ke toko parfum itu. “No way, Jose,” katanya saat
Nimrod mengangkat tangan ke udara, “aku tidak mau menjadi unta jelek.”
“Aku juga,” ucap John. Hanya saja kata-katanya itu keluar berupa sendawa
seekor unta yang sangat besar. Kini John sudah memiliki punuk seperti unta.
Philippa bersendawa balik padanya. Dia juga sudah menjadi seekor unta.
“Jangan bicara, berpikir saja,” Nimrod sepertinya bicara dalam kepala Philippa.
“Kalau kau mencoba bicara dengan cara biasa, maka yang keluar
John bersendawa keras, beberapa kali, begitu juga Philippa yang ketakutan.
Karena setahunya dia tidak pernah bersendawa.
Toeragh menyentakkan kendali Nimrod, dan dia mulai berjalan. John dan
Philippa, yang terikat pada pelana Nimrod dengan sebuah tali panjang, tak punya
pilihan kecuali mengikuti. Mereka berjalan beberapa saat dan, setelah mengitari
satu sudut, terlihatlah Piramida.
“Wow,” pikir Philippa. Sesaat dia lupa pada turis di punggungnya. Tak lama
kemudian dia mencurahkan seluruh perhatiannya pada Piramida, meskipun
sebagai unta; memang, dalam setengah jam sejak berangkat dari toko parfum
Huamai, menjadi unta mulai terasa seperti hal yang wajar. Dia menikmatinya,
mekipun dia tak ingin mengakuinya pada Nimrod.
Menjadi kembaran Philippa, John tentunya me mi liki pikiran yang sama dengan
saudaranya. Dia menyadari ada beberapa keuntungan berjalan menge lilingi
Piramida dalam wujud unta. Terlebih lagi, dia merasa sangat kuat, seolah dia
bisa dengan mudah membawa dua orang turis sejauh empat puluh atau enam
puluh kilometer. Tak ada
keraguan soal itu di benak John: di Mesir, setidaknya, menjadi unta ada
untungnya.
“Tidak bisakah kami menghabiskan malam tapa brata di padang pasir dalam
bentuk unta?” Pikirnya.
“Sayang sekali tidak,” jawab Nimrod. “Kau harus dalam wujud manusia
normalmu. Tapi aku senang kau menerima dengan sangat baik pengalaman
menjadi binatang. Karena mengambil wujud binatang tertentu adalah penting
dalam pengembangan kekuatan Jin kalian. Kalian bisa menjadi binatang apa
saja, meskipun hanya dalam waktu terbatas, kecuali unta. Unta adalah makhluk
yang kita - suku Marid - bisa gunakan dalam waktu tak terbatas.”
Mereka menempuh jarak sekitar dua kilometer ke selatan, di luar Piramida Giza
yang terkecil, menuju lengkung padang pasir terpencil bernama Abu Sir, di mana
Nimrod menjelaskan bahwa dua buah Piramida masih terkubur di bawah pasir.
“Inilah bagian padang pasir yang kuceritakan pada kalian,” jelas Nimrod.
“Tempat aku akan membawa kalian nanti malam. Untuk ujian berat tapabrata
kalian.”
John bersendawa keras, seolah untuk menunjuk kan kurangnya antusias pada
seluruh urusan itu.
“Mengapa kita ke sini?” tanya salah seorang turis. “Tidak ada yang bisa dilihat.
Ayo kita kembali.”
“Bagaimana caramu membuat binatang bodoh ini berjalan lebih cepat?” keluh
suaminya sambil membuka tali yang terikat pada dua unta lain dan menendang
samping tubuh Philippa.
Philippa langsung berderap cepat, yang sepertinya justru dinikmati turis itu; dan
kemudian berlari kencang, yang sepertinya tidak dia nikmati. Sambil
bersendawa nyaring dengan riang, Philippa berlari kembali ke Giza, Toeragh
mengejarnya, dan dua unta lain sampai, karena pasti mengkhawatir-kan
keselamatan nyawanya, pria itu melompat dari pelana Philippa dan terjatuh ke
bukit pasir tanpa terluka. Philippa memperlambat larinya, dan kemudian berbalik
untuk meludah ke tanah di dekat penunggangnya yang jatuh.
Kembali ke toko parfum, saat para turis sudah pergi, Nimrod mengubah dirinya
dan si kembar kembali ke wujud manusia. John segera menyadari sesuatu yang
tidak menyenangkan pada dirinya.
“Kita semua bau,” ujar Nimrod, “begitulah yang terjadi pada transformasi
binatang. Baunya kadang-kadang bisa bertahan agak lama setelah seseorang
berubah ke wujud manusia lagi. Ini salah satu alasan mengapa Huamai
mengelola toko parfum bersama dengan penyewaan unta. Agar Jin yang
memiliki kebutuhan mendesak seperti kita bisa harum kem bali.”
Mereka masuk ke toko di mana Huamai sedang menunggu untuk menjual pada
mereka sebotol parfum dengan aroma terbaiknya - Air d’Onajees-tringh.
“Apakah kau masih berpikir kalau parfum hanya untuk perempuan?” Tawa
Nimrod sambil mengambil
“Kurasa parfum apa pun akan jauh lebih baik daripada memiliki aroma bau
seperti unta,” gerutu John sambil menutulkan sedikit parfum ke belakang telinga
dan dada dengan enggan, “meskipun parfumnya beraroma perempuan sekali
pun.”
“Omongomong soal Mister Groanin,” ujar Phi lip-pa, “di mana dia? Aku tidak
melihatnya tadi pagi.”
“Tidak,” jawab Nimrod, “tapi dia sangat jauh dari merasa puas. Groanin benci
Mesir, betapa malangnya. Dia lebih suka tinggal di kamarnya dan menonton
televise atau membaca The Daily Telegraph atau puisinya. Dia tidak tahan pada
hawa panas Mesir, tidak tahan pada makanan nya, tidak tahan pada lalatnya, dan
tidak tahan pada orang-orangnya. Mungkin kalian akan jarang meli hatnya
sampai kita kembali ke London.”
“Karena aku bisa hidup tanpa mentega, tapi aku tidak bisa hidup tanpa seorang
pelayan. Siapa yang akan membersihkan perabot perak? Siapa yang akan
melipat selimutku? Siapa yang akan membawakan teh dan menyiapkan air
mandiku? Yang terpenting, siapa yang akan membukakan pintu dan
memberitahukan kepada mereka - orang yang menawarkan sesuatu yang tidak
ingin kubeli -bahwa aku tidak berada di rumah? Mister Groanin
“Mungkin dia bisa ikut kami malam ini,” usul Philippa tegas, “siapa tahu ada
yang mencoba menjual sesuatu kepada kami.”
12
MWNJADI JIN
“Kau tidak punya senter?” tanya Philippa sambil memandang sekeliling. Dia
tidak yakin kalau apa yang dicarinya itu ada, “Tak lama lagi akan sangat gelap
dan lampu itu tidak terlihat seperti bisa menerangi kue ulang tahun.”
sebagai teman. Lampu minyak memiliki posisi yang sangat istimewa bagi kita.”
Nimrod mengomel lantang dan menggeleng-gelengkan kepala, “senter. Ide apa
itu?”
“Kami tidak terbiasa pada kegelapan, itu saja,” kata John gugup, “semua polusi
cahaya di New York membuat kota itu tidak terlalu gelap. Tidak seperti
kegelapan yang ada di Mesir ini.”
“Ini lampu Byzantine dari abad ketujuh Masehi,” ujar Nimrod, “dan bisa
kutegaskan kalau lampu itu akan cukup untuk kebutuhan kalian.”
“Tapi apa yang akan kami lakukan sepanjang semalaman?” tanya Philippa.
“Berusahalah tidur,” jawab Nimrod, “itulah yang biasanya dilakukan orang pada
malam hari. Kusarankan kau menggunakan kantong tidur itu, karena cuaca akan
menjadi dingin setelah gelap. Kalau merasa bosan, kalian bisa memainkan
permainan katakata dengan kamus. Atau mungkin menggosok lampu antik itu
agar mengilap. Tadi dalam perjalanan ke sini, aku melihat lampu itu sudah agak
kusam.”
Creemy sudah kembali ke mobil Cadillac dan menyalakan mesin. “Kami akan
kembali saat fajar,” ujar Nimrod saat naik ke jok belakang.
“Tidak seorang pun yang tahu kalian ada di luar sini selain aku dan Creemy. Apa
yang mungkin bisa terjadi pada kalian? Lagi pula, kalian Jin. Orang lainlah yang
se harusnya takut pada kalian,” Nimrod
Nimrod menepuk bahu Creemy, dan mobil itu lenyap dalam kepulan pasir dan
debu seperti kereta perang putih yang agung. Mereka meninggalkan si kem bar
dalam kegelapan yang kini mulai datang dengan cepat di Abu Sir.
John sangat yakin dia bisa mendengar bunyi detak jantungnya sendiri. “Kalau
saja Neil dan Alan ada di sini,” katanya, “maksudku, Winston dan Elvis.”
“Kuharap juga begitu,” Philippa mengakui, “kurasa aku takkan setakut sekarang
ini.”
“Kupikir itulah tujuannya,” kata John, “bukan ujian namanya kalau hanya
berjalan-jalan di taman.”
“Kurasa begitu, kalau kita akhirnya punya kekuatan Jin seperti Nimrod,” kata
John.
saat mereka sangat tertarik pada apa yang terjadi sehingga tidak memerhatikan
kegelapan. Namun saat pertunjukan itu usai, Philippa mendapati dirinya
menggigil karena kedinginan dan ketakutan.
“Malam menjadi gelap dengan sangat cepat, ya?” katanya. Dia menelan ludah
dengan tidak nyaman, lalu merangkak ke dalam kantong tidur dengan harapan
benda tersebut dapat melindunginya dari segala sesuatu yang merayap keluar di
padang pasir, “haruskah kita menyalakan lampu itu sekarang?”
John mengambil kotak korek api dan kemudian menimbang-nimbang lampu itu
di tangannya. “Aneh,” katanya, “barang jelek ini tidak mau menyala.”
“Tidak, sungguh, aku tidak bercanda.” Dia menyerahkan lampu itu dan koreknya
pada Philippa, “ini, coba saja.”
Philippa mengambil lampu dan korek itu lalu coba menyalakannya. Dia pun
gagal hingga tersisa satu dari lima batang korek api. Lampu itu pun diperiksanya
dengan lebih teliti, “Pantas kita tidak bisa menyala,” katanya, “Lampu bodoh ini
tidak punya sumbu.” Dengan cemas, Philippa mulai menggosok lampu itu
dengan lengan bajunya.
Bahkan di saat dia bicara, asap tebal yang bersinar keluar dari tempat sumbu
yang kosong pada lampu itu, membubung ke langit tinggi di atas kepala mereka
dengan kecepatan yang tidak wajar. Lalu membentuk awan raksasa yang
sepertinya melayang-layang seolah mengancam akan mencurahkan hujan. Pada
saat yang sama, mereka menyadari ada aroma tajam aneh seperti cat poster,
seolah ada yang mengecat asap itu dengan kuas.
“Aku tidak suka ini,” ujar Philippa, “aku tidak suka sama sekali.”
Saat sudah keluar semua dari lampu kuno, asap itu bergabung kembali dengan
sendirinya dan menjadi tubuh berbentuk siluet manusia yang dua
kali lebih tinggi dan lebih besar daripada raksasa terbesar yang bisa mereka
bayangkan. Tapi, perlahan siluet itu mengecil dan mengerut hingga berbentuk
normal. Jin pun mulai bisa dikenali.
“Mister Rakshasas,” seru si kembar, mengembus kan napas lega dengan keras,
“syukurlah ternyata kau.”
“Selamat malam pada kalian berdua,” katanya dengan aksen Irlandia yang
sangat bagus sehingga terdengar sangat teatrikal.
“Kau membuat kami sangat ketakutan,” Philippa tertawa saat dia berhasil
mengatur napas.
“Begitulah, Jin muda,” jawab Jin tua itu, “benar. Aku bertanya-tanya butuh
berapa lama lagi hingga kalian menggosok lampu itu. Kalian tidak benarbenar
berpikir kalau paman kalian akan meninggalkan kalian di luar sini sendirian,
kan?” Dia mendesah, “well, mungkin memang begitu. Aku yakin bahwa saat
Nimrod memberi kalian lampu tua itu, kalian akan ingat cerita Aladdin, dari
buku Kisah Seribu Satu Malam, tapi kelihatannya aku salah. Yang penting
bahwa kalian merasa seolah telah ditelantarkan di padang pasir, sesuatu yang
dianggap sangat penting dalam Tammuz. Itu dan sebuah instruksi kecil dari
kesungguhanmu. Dalam kapasitasku sebagai pemimpin sementara seremonial
suku Marid.”
“Kukira Nimrod kepala suku kita,” ucap Phi lippa. “Pada dasarnya, ibu kalianlah
kepala suku Marid,” ujar Mister Rakshasas, “tapi sejak dia bersum—
pah untuk berhenti menggunakan semua kekuatan Jin, Nimrod yang bertanggung
jawab atas urusan harian suku Marid. Tapi, karena Mister Nimrod ada urusan
mendesak malam ini, jadi dia memercayaiku untuk melaksanakan tapabrata
formal kalian.”
“Yang terburuk dari ujian kalian sudah berakhir,” kata Mister Rakshasas,
“kecuali kalau kalian meng anggap mendengar orang tua seperti aku bicara
adalah hal terburuk. Paman kalian, Mister Nimrod, adalah Jin hebat yang
kusebut sobat dengan rasa hormat, telah memintaku menceritakan pada kalian
bagaimana menjadi Jin. Jadi, aku harus meminta kalian memerhatikan, karena
ada hal penting yang berkenaan dengan cerita ini. Dan pastinya, kalian harus
benarbenar memahaminya.”
Suara Mister Rakshasas menjadi lebih tegas dan lebih nyaring saat dia
melanjutkan bicara, sehingga
si kembar menduga kalau dia mungkin tidak terlalu pemalu seperti yang selalu
diucapkan Nimrod.
“Pada awal terciptanya bumi, hanya ada dua kekuatan di dunia, dan hanya tiga
jenis makhluk yang mampu mengetahui perbedaan di antara keduanya. Kekuatan
ini adalah kebaikan dan kebatilan, dan hanya malaikat, Jin, dan manusia yang
mengetahuinya secara terpisah.
“Jin berada setengah jalan di antara manusia dan malaikat. Mereka terbuat dari
jenis api yang lembut, maka itu mereka memiliki kekuatan untuk mengambil
wujud yang mereka senangi. Lantaran memiliki keku atan untuk mengendalikan
keberuntungan, maka itu sebagian manusia memuja Jin sebagai setengah dewa.
Hal itu menjadikan manusia lain yang menyembah Tuhan Yang Esa, menjadi
sangat marah. Lambatlaun malaikat, Jin, dan manusia dipaksakan untuk memilih
antara kebenaran dan kebatilan. Itu disebut Pilihan Besar. Hanya sedikit malaikat
yang memilih kebatilan tapi nama-nama mereka terlalu ber pengaruh untuk
dianggap enteng. Manusia adalah makhluk bumi yang terbanyak, dan sebagian
memilih kebaikan, namun yang terbanyak memilih kebatilan sehingga fi gur-fi
gur yang tepat berkurang. Tapi, keadaan jadi berbeda pada kasus Jin. Karena
hanya berjumlah enam suku - lebih sedikit daripada manusia - jadi para Jin lebih
mudah diberi penjelasan dalam persoalan Pilihan Besar ini. Tiga suku - Marid,
Jinn, dan Jann - adalah tiga suku pertama yang memilih kebaikan; sedangkan
tiga suku lain - Ifrit, Syaitan,
“Bila kita kembali ke masa lalu, sayang sekali tiga suku Jin yang baik telah
memutuskan bahwa peperangan adalah kejahatan besar. Konsekuensinya,
mereka tak lagi berperang demi kebaikan. Banyak peperangan yang terjadi
antara manusia dan Jin karena Pilihan Besar ini. Dan suku-suku Jin yang jahat
melakukan hal-hal mengerikan. Tidak hanya kepada Jin lain, tapi juga kepada
manusia. Karena itulah sepanjang waktu, manusia memutuskan untuk
memperlakukan Jin seba gai makhluk jahat. Sebagian Jin baik dibantai. Yang
lain melarikan diri untuk mendapatkan kehidupan di tempat beriklim dingin
yang lebih tenang. Meskipun kekuatannya berkurang, tapi memastikan mereka
dapat melangsungkan kehidupannya dalam jangka pa njang. Secara berangsur-
angsur - lebih dari ratusan tahun - keseimbangan kekuatan antara kebaikan dan
kebatilan diperoleh. Tapi dalam pengertian nyata, perang itu masih ada sampai
saat ini.”
“Sejenis perang, ya. Perang dingin kalau boleh dibilang,” Mister Rakshasas
mengakui.
“Bagaimana mungkin kita tidak mendengar lebih banyak tentang ini?” tanya
Philippa.
“Karena sekarang, sebagian besar manusia percaya bahwa Jin tidak lagi
berwujud, yang sangat sesuai dengan tujuan kami. Sementara orang lain, yang
menyebut diri mereka orang bijak, atau tukang sulap, sudah belajar mengikat Jin
untuk melayani
mereka. Beberapa di antara mereka bahkan memiliki darah Jin. Lantaran semua
alas an ini, Jin yang bijak telah belajar untuk berhati-hati tentang bagaimana dan
kapan manusia boleh mengetahui keadaan mereka yang sebenarnya.”
“Pertanyaan bagus, Nak. Ya, kau harus belajar untuk mengetahui perbedaan
suku-suku Jin, perbedaan jenis Jin. Apakah Jin itu kawan atau lawan kita. Kalau
lawan, bagaimanakah cara melawannya. Sejauh ini aku sudah mendaftar sistem
bantuan dengan kartu Jin, yang akan ku berikan pada kalian sekarang.” Sambil
berkata begitu, Mister Rakshasas merogoh ke dalam saku mantelnya dan
mengeluarkan dua set kartu besar yang dia berikan masing-masing satu set
kepada John dan Philippa.
Pada setiap kartu terdapat nama Jin, sukunya, wujud binatang yang disukai, dan
berbagai kekuatan dan kelema hannya.
“John. Apakah menurutmu kau bisa menahan diri untuk tidak menggunakan kata
itu?” kata Mister Rakshasas. “Cool bukanlah kata yang membuat nyaman bagi
Jin yang menghormati dirinya sendiri. Kami, para Jin, terbuat dari jenis api yang
lembut. Dan bisa kupastikan padamu, tidak ada yang cool tentang itu.”
“Mungkin, bagi pria dari Cork,” kata Mister Rakshasas, “tapi dengar, kau pernah
mendengar bahwa orang Eskimo punya delapan belas kata yang berbeda untuk
salju? Merupakan fakta bahwa kami, para Jin, memiliki dua puluh tujuh kata
yang berbeda untuk api, tidak termasuk sekitar selusin kata dalam bahasa
Inggris. Sebagian besar dari kata ini berhubungan dengan apa yang kami sebut
Api Purba, yaitu api yang panas, atau api yang disebabkan oleh gesekan. Tapi
ada juga api yang lembut yang membakar dalam diri semua Jin, yang baik atau
yang jahat. Manusia menyebut ini roh mereka, meskipun hanya punya sedikit
kegunaan praktis, tidak seperti api lembut yang ada dalam diri kalian berdua.
Semua kekuatan Jin berhubungan dengan api yang lembut ini. Inilah yang
memberi kalian kekuatan pikiran atas sesuatu. Inilah kekuatan yang sangat ingin
dimiliki manusia.”
kalian, untuk bermeditasi dan menemukan kata yang akan membantu kalian
memusatkan kekuatan.”
Mister Rakshasas mengerutkan keningnya. “Kami, Jin, lebih suka menyebut kata
ini sebagai kata fokus. Tapi benar bahwa beginilah katakata sihir dimulai di
antara manusia. Mereka mendengar Jin yang ceroboh menggunakan kata
fokusnya, lalu setelah melihat hasilnya, mengira kata itu mungkin berhasil bila
mereka mencobanya dalam cara yang sama. Begitulah kata SESAME bermula.
Tak ada yang istimewa pada sesame, atau wijen. Hanya tanaman yang ditanam
orang India Timur secara meluas. Tapi beberapa Jin berpikir kata itu mungkin
bisa menjadi kata fokus yang bagus dan, sebelum tahu di mana dia berada, kata
itu diambil dan digunakan oleh manusia yang menulis cerita Kisah Seribu Satu
Malam.”
“Jadi yang harus kami lakukan,” ujar Philippa, “adalah memikirkan satu kata
fokus yang tepat dan kami akan bisa mulai melakukan trik.”
“Trik?” wajah Mister Rakshasas mengerut, “trik bukan untuk Jin. Saat kukatakan
kekuatan-api, aku bersungguh-sungguh. Orang bisa terluka. Karena itulah kalian
berada di luar sini jauh dari mana-mana. Untuk belajar menggunakan kekuatan-
api itu dengan bertanggung jawab.”
“Kata fokus kalian ibarat kaca pembesar. Kalian melihat dengan cara seperti
kaca itu bisa memusatkan kekuatan cahaya matahari pada titik yang sangat kecil
di tengah selembar kertas sehingga terbakar. Kata fokus bekerja dengan cara
yang sama. Yang harus kalian lakukan adalah memilih sebuah kata yang sangat
kecil kemungkinannya untuk muncul dalam pembicaraan normal. Begitulah
ABRAKADABRA berawal. Dan banyak kata lain.”
“Ya,” Philippa menyetujui, “katakata fokus yang sangat bagus. Aku tidak bisa
memikirkan sesuatu yang sebagus itu.”
“Tak perlu terburu-buru,” ucap Mister Rakshasas, “dan sebenarnya, kau harus
memikirkannya dengan lebih serius. Itulah maksudnya mengapa kita berada di
sini.”
“Aku tahu apa itu,” kata Mister Rakshasas, “tapi aku juga tidak menyarankan
kalian memilih kata yang sangat pendek. Pastinya, aku pernah mengetahui kasus
Jin yang menggumamkan kata fokusnya dalam tidur, akibatnya bencana pun
timbul. Tapi
aku tidak pernah mendengar orang tidur yang mengucapkan, contohnya, kata
FLOC CINAUCINHILIPILIFICATION.”
“Kurasa aku takkan bisa mengucapkan kata seperti itu,” ujar John, “terutama
saat aku terjaga.”
Mister Rakshasas meletakkan lampu di tanah dan mengambil kamus, dua bundel
kertas, dan dua pensil yang ditinggal Creemy di sana. “Kalau kalian butuh
inspirasi, kusarankan kalian menggunakan kamus untuk mencari bantuan. Tulis
beberapa ide sebelum kalian pergi tidur malam ini dan, besok pagi, saat Nimrod
sampai di sini, kita akan memilih yang terbaik dan kemudian mencoba kata itu.”
Mister Rakshasas memandang berkeliling. “Aku sampai lupa. Ayo kita lihat
apakah kita bisa membuat tempat ini jadi sedikit lebih menyenangkan.”
“Api unggun akan menyenangkan,” usul Phi lippa. “Juga tenda,” ucap John,
“dan Mister Rakshasas, sementara kau sedang mengerjakannya, bagaimana juga
bila terhidangkan hamburger?”
“Kalian salah paham,” kata Mister Rakshasas, “sekarang, kekuatan Jinku sendiri
terbatas pada
peru bahan zat. Begitulah kita menyebutnya bila kita keluarkan atau masuk ke
lampu atau botol. Kalau tidak, sungguh, aku bisa dibilang tak berdaya.”
“Jadi bagaimana membuat tempat ini jadi lebih menyenangkan, seperti yang kau
bilang tadi?” Tanya Philippa.
“Untungnya, kita bukan tanpa sumber daya.” Dia menunjuk ke dalam kegelapan
ke arah Piramida. “Sekitar sembilan puluh meter menyusuri jalan itu, kita akan
menemukan kotak besar berisi semua yang akan kita butuhkan untuk malam
yang menyenangkan. Tenda. Kayu bakar. Lampu minyak. Nimrod mening
galkannya di sana untuk kita. Kita hanya perlu pergi mengambilnya.” Dan
sambil berkata begitu, dia meraih lampu minyak dan meniup apinya.
“Bagaimana mungkin kau berharap menemukan nya dalam gelap?” tanya John.
“Mudah,” jawab Mister Rakshasas, “kau lihat cahaya dekat cakrawala itu? Itu
lampu yang diletakkan di atas kotak. Nimrod meninggalkannya di sana untuk
membantu kita menemukannya.”
Setengah jam kemudian, si kembar merasa jauh lebih nyaman dengan tenda
besar yang telah didirikan dan api unggun yang menyala di tanah.
“Jadi di mana Paman Nimrod?” tanya Philippa, “kau bilang dia punya urusan
penting malam ini.” Mister Rakshasas terdiam sementara wajahnya menjadi
keruh, seolah dia akan mengabarkan sesuatu yang sangat penting.
“Sebetulnya dia sedang menyelidiki kabar burung bahwa Iblis telah terlihat di
Kairo. Iblis adalah Jin terjahat dari suku Ifrit. Sementara Ifrit adalah suku yang
paling jahat dari semua Jin. Iblis berarti penyebab perasaan putus asa.
Percayalah padaku, dia diberi nama yang cocok, ka rena telah melakukan banyak
hal jahat. Kalau Iblis sudah meninggalkan kasino dan istana judi suku Ifrit di
Kairo, itu karena suatu tujuan. Kita harus berusaha mengetahui tujuannya,
karena pastilah itu bukan sesuatu yang baik. Bila kita mengetahui tujuannya, kita
harus menghentikannya. Dengan segala cara.”
“Beberapa lusin kasino. Banyak permainan judi dunia ditemukan oleh suku Ifrit,
untuk merusak semua manusia,” papar Mister Rakshasas, “judi membuat mereka
tidak perlu bersusah payah melatih kekuatan Jin mereka untuk menyebabkan
kesialan pada manusia. Kasinokasino mereka di Macao, Monte Carlo, dan
Atlantic City. Ifrit adalah suku Jin yang sangat malas.” Mister Rakshasas
mengangguk-angguk dengan wajah murung.
“Sampai saat itu, pikirkan dengan serius kata focus dari kekuatan-api kalian.
Kita mungkin membutuhkan kekuatan muda kalian lebih cepat daripada yang
kita perkirakan.” Jin tua berjanggut itu melipat tangan dan menghela napas
dengan letih. “Aku agak lelah karena berada di luar lampu terlalu lama. Jadi
kalau kalian tak keberatan, aku ingin pulang sekarang. Kalau kalian
membutuhkan aku, gosok saja lampu itu ya. Seperti yang kau
Bahkan saat Mister Rakshasas sedang bicara, asap mulai keluar dari mulut dan
lubang hidungnya meskipun tak ada cerutu atau rokok di tangannya. Asap itu
juga terus datang, seakan tak ada akhirnya, sampai Jin tua itu berdiri berselimut
asap dan benarbenar tak terlihat oleh kedua Jin muda. Kemudian, seolah lampu
itu menghirup napas dengan cepat asap tibatiba terhisap ke dalam lewat tempat
sumbu yang kosong. Mister Rakshasas telah lenyap saat gumpalan terakhir
menghilang dari udara padang pasir.
“Dari teman lamaku, namanya Hussein Hussaout,” jelasnya, “ini mungkin berita
yang kutunggu-tunggu. Hussein Hussaout adalah salah seorang perampok
makam yang paling sukses di Mesir. Katanya akan menguntungkan bagiku kalau
kita datang ke tokonya di Kota Tua. Tampaknya dia telah menemukan sesuatu
yang sangat menarik.”
“Kuharap jauh lebih menarik dari itu,” sahut Nimrod, “kemungkinan besar
adalah sesuatu yang disingkap oleh gempa bumi barubaru ini, dan yang telah
Hussein Hussaout temukan. Meskipun begitu, kita harus tetap berhati-hati. Suku
Ifrit mungkin sedang mengawasinya.”
“Jadi, semakin cepat kita mulai pelatihan kalian, itu semakin baik. Siapa tahu
kau harus melindungi diri dari serangan Jin.”
“Tak ada salahnya bersiap-siap,” kata Nimrod, “bila ada kaitannya suku Ifrit.”
Dia menyalakan cerutu. “Usaha kalian untuk bertahan hidup setidaknya ter
gantung pada pemahaman atas penggunaan kekuatan Jin. Maaf, tapi begitulah
adanya. Seseorang telah berusaha membunuh John di bandara.”
“Jadi, tanpa tekanan?” tanya Philippa dengan sindiran yang tak luput dari
perhatian Nim rod.
Dia tertawa terbahakbahak lalu berkata, “Bagus, bagus sekali.” Lalu dia
menambahkan, “Baiklah, John. Ku rasa usiamu sepuluh menit lebih tua dari
saudara mu, jadi kau duluan. Ayo kita dengar usulmu.”
“Kata fokusku adalah ABECEDARIAN,” ujar John, “kata itu berarti sesuatu
yang berhubungan dengan abjad. Kupikir aku takkan menggunakan kata seperti
itu bila aku hanya mengucapkan alfabet, atau alfabetis.”
Nimrod tertawa. “Kau akan terkejut betapa banyak orang dewasa yang terkejut
pada pendapatmu,” katanya, “buat apa menggunakan kata yang panjang dan
kabur kalau kata yang pendek akan memberi hasil yang sama ba gusnya? Silakan
lanjutkan.”
membuat sesuatu muncul atau menghilang. Dan juga terdengar sedikit mirip
ABRAKADABRA.”
“Kenyataan bahwa Paman sudah dengar tapi tidak bisa mengingatnya, berarti
kata itu pasti baik,” bantah Philippa.
Philippa dan John memejamkan mata dan mulai berkonsentrasi pada katakata
mereka. Masing-masing mencurahkan perasaan mereka pada katakata itu bahwa
kata itu berisi semua energi Jin dalam tubuh muda mereka.
“Cobalah untuk menciptakan kesan dalam pikiran kalian bahwa kata itu hanya
boleh digunakan dengan sangat penuh perhitungan, seolah itu tombol merah
yang bisa meluncurkan rudal, atau menembakkan senjata besar.”
“John? Kau duluan. Aku ingin kau membuka mata sekarang dan
memvisualisasikan hilangnya salah satu batu. Bayangkan hilangnya batu itu
sebagai situasi dalam ruang yang logis. Tanamkan dalam benakmu, seolah
kenyataan itu tidak mungkin bisa berbeda dari apa yang kau bayangkan. Dan
kemudian, dengan mempertahankan pikiran yang sama itu, ucapkan kata
fokusmu sejelas mungkin.”
John berkonsentrasi sambil meng ingat cara Nimrod berlatih, anak itu pun menje
jakkan kaki kuatkuat, mengangkat tangan ke udara setinggi dada, seperti pemain
sepakbola yang melakukan tendangan penalti, lalu berteriak,
“ABECEDARIAN!”
Selama sepuluh atau lima belas detik, tak terjadi apaapa. John menyampaikan
permintaan maafnya dan berkata kepada Nimrod, “Aku bilang juga apa.” Saat
itu, dengan luar biasa, batu setinggi dua meter yang dia pilih, bergetar keras dan
sebuah pecahan seukuran kenari terjatuh.
“Wow,” seru John, “kau lihat itu? Lihat?” Dia tertawa nyaris histeris, “Aku
berhasil. Setidaknya aku telah melakukan sesuatu.”
“Lumayan untuk ukuran usaha pertama,” ujar Nimrod, “batu itu tidak
menghilang, tapi kupikir kita
setuju, kau benarbenar membuat kesan pada batu itu. Sekarang kau, Philippa,
cobalah batu yang lebih besar daripada yang dipilih John. Pikirkan tentang
bagaimana gambaranmu bila batu itu menghilang lalu dihubungkan dengan
kenyataan. Ingat, menghilangnya batu itu adalah kemungkinan yang pasti ada
sejak awal,” Nimrod berhenti sejenak, “bila kau sudah siap, bila kau sudah
memahami hukum logika itu dengan segala kemungkinannya, dan bahwa semua
kemungkinan itu adalah kenyataannya, maka tekanlah tombol merah yang
merupakan kata fokusmu.”
Saat berkonsentrasi pada batu bulat besar itu, dan bersiap mengucapkan kata
fokus yang telah dipilih, Philippa mengangkat satu tangan seperti penari balet,
kemudian melambailambaikan tangan satunya seperti polisi lalu-lintas.
“FABULONGOSHOOMARVELISHLYWONDE
“Ya,” ujar Nimrod sabar, “kau pasti mempercepat struktur molekularnya. Itu
sangat jelas. Hanya saja menurutku, kalian dibingungkan oleh gagasan meng
ubah dengan menghilangkan. Itu kesalahan makna yang biasa terjadi. Mengubah
penampilan suatu benda sangat berbeda dengan membuatnya
menjadi hilang.
“Sekarang coba lagi. Ingat, apa pun yang tidak bertentangan dengan hukum
logika pasti bisa kalian lakukan. Sebuah pikiran itu berisi kemungkinan dari
situasi yang sedang dipikirkan. Jadi apa pun mungkin terjadi selama kita bisa
memikirkan atau membayangkannya.”
“Awalnya, ya,” kata Nimrod, “tapi ini seperti kebugaran fisik. Kau harus belajar
mengembangkan bagian otak di mana kekuatanmu itu terpusat. Bagian itu
disebut Neshamah oleh kita, para Jin. Itulah sumber kekuatan Jin: api lembut
yang membakar di dalam diri kalian. Agak mirip seperti api di dalam lampu
minyak.”
“Nah,” katanya, “kalian harus ingat bahwa kita tak bisa menciptakan sesuatu
yang berlawanan dengan hukum logika. Kenyataannya, tak satu pun dari kita
bisa mengatakan seperti apa dunia tidak logis itu. Dan karena itu masalahnya,
fakta bila kalian bisa berpikir untuk menciptakan sesuatu berdasarkan energi
yang kalian miliki, itu sudah menandakan bahwa kemungkinan itu bisa terjadi.
Begitu kalian telah yakin bahwa mungkin saja menciptakan piknik, maka dengan
sendirinya piknik itu menjadi lebih mudah diwujudkan. Apa kalian paham?”
Memang perlu waktu sedikit lebih lama, tapi lambatlaun, setelah si kembar
mulai menyadari bahwa semua objek berisi kemungkinan dari segala situasi,
mereka pun mulai bergantung pada kekuatan Jin. Akhirnya, setelah sembilan
puluh menit, dengan usaha berpikir seperti sedang menghadapi ujian, terciptalah
tiga hidangan piknik yang sangat berbeda di hamparan tanah, tapi tampaknya
bisa dimakan.
Nimrod mendekati tempat piknik yang telah diciptakan Philippa. Dia mengambil
sandwich men timun. “Pudingtulen, kira-kira begitu,” katanya, dan mencicipi
sandwich itu dengan hati-hati. Tak lama kemudian, Nimrod memuntahkannya
lagi.
Sejam kemudian, setelah beberapa usaha tanpa hasil, ketiganya pun duduk
menikmati bekal piknik yang telah dibuat dengan kekuatan Jin si kembar.
Keduanya pun menyantap makanan sambil mendengarkan Nim rod bicara.
“Nah, ini jauh lebih enak,” katanya setelah mencicipi bekal piknik mereka
masing-masing. “John, popcorn ini rasanya…, ehm…, benarbenar seperti
popcorn. Aku tidak bisa membayangkan kenapa orang ingin membawa popcorn
saat piknik. Bagiku, popcorn terasa lebih mirip gabus kemasan. Dan Philippa,
aku tidak ingat pernah mencicipi kue pretzel yang seperti ini. Kue pretzel-mu
memang benarbenar terasa seperti kue pretzel.” Dia menggeleng-gelengkan
kepala, “sungguh, aku harus bicara pada ibu kalian. Aku tidak percaya jenis
“Aku tidak percaya telah menyantap makanan yang tidak terbuat dari apa-apa,”
John mengakui dan membuka kantong keripik kentang ketiga.
“Bagaimana cara kerjanya?” tanya John sambil menusuk sepotong daging dingin
dan sedikit acar ke piringnya, “apakah melalui kekuatan Jin? Maksudku, pasti
ada penjelasan ilmiah tentang itu.”
Nimrod menguap. “Omongomong, kurasa sudah cukup latihan untuk hari ini.
Yang terbaik jangan terlalu banyak memikirkan ilmu, siapa tahu itu justru
memengaruhi kemampuan kalian menggunakan ke kuatan. Agak mirip naik
sepeda dalam arti lebih mudah dilakukan daripada dijelaskan. Lain kali, kami
akan mengujimu dengan membuat unta muncul atau menghilang. Sebuah benda
hidup. Itu jauh lebih sulit daripada menciptakan piknik. Menciptakan sesuatu
yang hidup bisa menimbulkan sedikit kekacauan. Karena itulah kita melakukan
hal ini di padang pasir di mana tak seorang pun keberatan kalau kau membuat
sejenis makhluk yang isi perutnya berada di luar.”
Sesaat kemudian Nimrod mengerang sedih. “Oh, tidak,” katanya sambil melihat
arlojinya.
“Aku baru ingat kenapa aku memikirkan piknik,” katanya, “karena Mrs Coeur
de Lapin mengundang kita piknik di rumahnya, saat makan siang. Tepatnya tiga
puluh menit dari sekarang.”
“Aku kenyang,” ucap John, “aku tidak bisa makan apa-apa lagi.”
“Aku juga,” Philippa menyetujui, “kalau makan lagi, aku pasti meledak.”
“Kalian tidak mengerti,” ujar Nimrod, “kita harus datang. Pertama, dia adalah
tetanggaku. Kedua, dia orang Prancis. Mereka menganggap makanan
lebih serius daripada apa pun di planet ini. Dia pasti sudah memasak habis-
habisan untuk piknik ini. Catat kata-kataku. Kalau kita tidak pergi, akan ada
insiden diplomatik besar dengan negara kita.”
“Tapi kita tidak bisa pergi tanpa makan sama sekali,” kata John, “itu akan sama
tidak sopannya dengan tidak datang.”
“Tidak bisakah kau membuat dia menghilang?” usul Philippa, “sebentar saja?
Paling tidak sampai setelah makan siang.”
“Tidak bisa,” sahut Nimrod, “dia istri Duta Besar Prancis. Orang akan mengira
dia telah diculik atau lebih buruk lagi. Tidak, tidak, tidak. Itu tidak
menyelesaikan masalah.” Nimrod berdiri dan mengibaskan jarinya sambil
berpikir serius, “Tapi kalian bisa berada di jalur yang benar. Kita bisa membuat
pikniknya menghilang dengan cara yang dia pikir kita telah memakannya.”
Kembali ke Garden City, segera Nimrod dan si kembar berganti pakaian yang
lebih bagus. Kemudian mengunjungi rumah sebelah, Kediaman Duta Besar,
yang jauh lebih besar dibanding rumah
Nimrod. Rumah itu dikelilingi tembok tinggi, sehingga tempat itu terlihat dan
terasa lebih seperti benteng. Nimrod menunjukkan paspor mereka kepada
petugas penjaga pos yang tidak ramah, yang melihat dokumen Inggris dan
Amerika mereka dengan kebencian.
Sementara kedua orang ini bicara, Philippa memanfaatkan kesempatan itu untuk
mengamati Mrs Coeur de Lapin dengan lebih seksama. Gadis kecil itu rupanya
tengah berada pada umur di mana seseorang mulai tertarik pada penampilan
wanita yang lebih tua. Dia memutuskan bahwa wanita Prancis itu memang
cantik, meskipun dia tidak bisa menyangkal kalau busana Mrs Coeur de Lapin
terlihat agak eksentrik. Terutama ikat ke pala hitam-dan-emasnya. Wanita itu
mengingatkan
Philippa dengan cara berpakaian bagi kebanyakan orang pada era 1960-an.
Waktu itu, bunga, rambut panjang, dan melukis wajah dengan warna-warna
aneh, telah menjadi mode yang tampak umum di televisi - itu pun kalau televisi
tidak berbohong.
Sementara itu, Nimrod dengan antusias, menatap semua makanan di atas karpet
Louis Vuitton. “Wah, lihat ini, Anakanak,” katanya sambil menggosok-gosok
tangan, “pernahkah kalian melihat piknik yang lebih atraktif? Luar biasa. Foie
gras, lobster, kaviar, truffl e, telur burung plover. Dan keju-keju itu. Brie,
Roquefort. Bisa kucium baunya dari sini. Mrs Coeur de Lapin yang baik, Anda
benarbenar tahu selera anak muda.”
Mrs Coeur de Lapin tersenyum hangat dan mendorong jemarinya yang kurus
menyusuri rambut John yang cokelat dan tebal. “Tak ada pengganti untuk
makanan lezat, heh?” Dia mengajak semua orang duduk di karpet.
“Tentu tidak,” Nimrod sependapat, “Well, kedua anak ini akan segera membuat
makanan itu lenyap!” Dia menjentikkan jari, “bukankah begitu, Anakanak?”
“Kami akan lakukan yang terbaik,” ujar John, du duk dengan menunjukkan
selera makan yang tinggi.
Philippa duduk di samping kakaknya dan mengisi piring dengan seiris besar foie
gras yang bertengger di atas biskuit cracker seperti sepotong marmer pink. Dia
tidak tahu apa itu, dan akan terguncang kalau sese orang memberitahunya; tapi
dia mengenali caviar dan udang lobster dengan
cukup baik, dan menganggap dirinya sangat beruntung karena dia tidak harus
benarbenar menyantap makanan ini. Philippa membenci hampir semua makanan
yang telah disediakan itu. Tapi dengan tersenyum pada Mrs Coeur de Lapin, dia
berkata, “Enak sekali,” dan begitu mata wanita Prancis itu beralih, Philippa
Foie gras dan cracker yang dia pegang di ujung jarinya lenyap dengan segera.
“QWERTYUIOP,” gumam Nimrod, dan telur burung plover itu pun menghilang
dari tangannya.
John sudah mengisi piringnya dengan semua pilihan jenis makanan dan, begitu
dia pikir dia siap, dia menunjuk ke rumpun bunga, “Bunga-bunga yang cantik,
Mrs Coeur de Lapin,” katanya sopan, “Varietas lokal?”
“Itu bunga bakung biru sungai Nil,” jawabnya sambil menatap bunga itu, dan
menambahkan bahwa Fatih, tukang kebunnya adalah yang terbaik di Kairo.
“Jangan makan terlalu cepat, John,” tegur Nimrod gugup, “pencernaanmu bisa
terganggu.”
“Aku juga,” timpal Philippa, menjilati bibir dengan dramatis, “Anda yang
memasak semua ini, Mrs Coeur de Lapin?”
“Tidak, Sayang,” dia tertawa, “hampir semua makanan ini diimpor dari Prancis.
Dan kemudian diolah oleh dua koki kami.”
“Anda punya dua orang koki, Mrs Coeur de Lapin?” tanya John tersenyum.
“Ya, ada Monsieur Impoli dari Paris dan Monsieur Maleleve dari Vezelay.”
Nimrod mengosongkan cakar lobster yang dia pegang dalam sekejap mata. “Ah,
la belle France,” katanya. “Betapa aku merindukannya. Betapa cerdasnya Anda
membawa semua makanan lezat ini ke Mesir. Pasti sangat mahal.”
“Oh, tidak.” Mrs Coeur de Lapin mengangkat bahu, “pembayar pajak Prancis.
Mereka yang membayar.”
Makan siang berjalan seperti ini selama hampir empat puluh lima menit sampai
hampir semua makanan menghilang,dan juga sebagian, dimakan Mrs Coeur de
Lapin. Pada saat itulah Nimrod menggelengkan kepala ketika Mrs Coeur de
Lapin bertanya padanya apakah dia ingin tambah keju Brie.
“Tidak, terima kasih,” jawabnya, melirik penuh arti pada si kembar, “aku
kekenyangan. Makanannya lezat sekali. Bukankah begitu, anakanak?”
“Ya,” jawab John sambil melemparkan serbetnya seperti yang Nimrod lakukan,
“makanan itu benarbenar seperti disihir.”
Nimrod mengerutkan kening, tapi merasa harus membiarkan yang sebuah kata
itu terlewatkan.
“Selera makan yang sehat,” ujar tuan rumah mereka saat tiba waktunya untuk
pergi, “apakah paman kalian ini tidak memberi kalian makan di rumah?”
“Kapan pun kami ingin,” ujar Philippa, “kami hanya harus menjentikkan jari dan
mengucapkan kata sihir, dan makanan itu akan tersedia.”
“Kalau begitu kalian harus datang lagi,” usul Mrs Coeur de Lapin, “senang
sekali bertemu anakanak muda yang begitu menikmati makanan.”
“Seharusnya kau lakukann dengan lebih halus,” tegur Nimrod, “satu hal, John,
kelihatannya kau menghabiskan sepiring penuh makanan dalam satu gigitan. Dia
mungkin melihat selera makan kalian lebih besar dari seekor kuda.”
“Aku cuma berusaha berlaku adil pada makanan itu, seperti katamu,” jelas John.
John mengangkat bahu. “Dia orang Prancis. Semua orang Prancis melihat orang
Amerika seolah mereka tidak ada di sana.”
“Bukan cuma orang Amerika,” celetuk Nimrod, “me reka berpikir seperti itu
kepada banyak orang yang bukan orang Prancis, sungguh. Ya, itulah yang
mereka sebut kebudayaan.” Dia menguap lagi. “Astaga, lihat aku sudah
menguap. Setelah menyantap semua makanan itu, aku harus tidur siang. Tapi
sayangnya tak ada waktu. Kita harus bersegera ke Kota Tua untuk mengunjungi
Hussein Hussaout.”
Bagian tertua kota Kairo terhampar di selatan Garden City. Di tempat itu,
jalannya tenang ber-paving yang diapit rumah-rumah berdinding tinggi, gereja
abad pertengahan, dan pemakaman yang terawat baik. Di sebuah lorong sempit
dan panjang, ada toko besar tempat semua jenis suvenir murah bisa dibeli.
“Sudah tentu Hussein tahu kalau aku adalah Jin,” ujar Nimrod saat mereka
mendekati toko tersebut, “tapi setidaknya untuk saat ini, kita akan merahasiakan
fakta bahwa kalian juga Jin. Bila kau adalah Jin, jangan sampai terlalu banyak
orang yang mengetahui dirimu yang sebenarnya. Lagi pula, kalau Hussein
berpikir bahwa kalian hanyalah dua anak biasa, itu akan member kalian
kesempatan untuk berteman dengan Baksheesh, putranya. Anak itu bisa
berbahasa Inggris, dan dia bisa saja mengatakan sesuatu yang tidak dikatakan
ayahnya. Jadi pasang mata dan telinga kalian.”
John memandang ke dalam jendela toko, “Ini Cuma sampah, kan? Barangbarang
untuk turis.”
“Hussein menyimpan barangbarang asli di sebuah ruangan pada lantai atas,” ujar
Nimrod, “salah satu dari kalian mungkin bisa menyelinap sementara yang lain
mengalihkan perhatian Baksheesh.”
toko, mengenakan setelan putih. Dia sedang duduk di antara tumpukan bantal
yang penuh sulaman Badui, di belakang meja kopi yang dipenuhi kacang
pistachio, kurma, limun, dan gelas. Dengan gugup, dia merunut sebuah tasbih
abad kesebelas yang terbuat dari batu hitam sambil mengisap hoga* beraroma
stroberi tajam, dan minum kopi manis panas dari teko perak kecil. Dia seorang
pria tampan beruban dengan kumis berwarna lebih gelap. Celah di antara
giginya, menambahkan kesan agak licik padanya.
* Hoga adalah alat untuk menghisap asap beraroma yang berasal dari asi (sari
buah atau bunga). Asi itu dibakar oleh arang, dan asapnya dihisap melalui pipa
yang dihubungkan ke tabung Ada juga yang menyebut alat penghisap ini shisha
mengeluh soal itu. “Ya. Panas sekali,” katanya, mengipasi tubuhnya dengan peta
Old City.
“Panas sekali,” tambah John yang juga menyadari hal itu. “Kalau tambah panas,
aku akan terpanggang.”
“Ini sejuk untuk diminum,” ujar Hussaout sambil menuangi dua gelas limun.
“Sedikit orang yang tahan panas seperti Nimrod. Tapi karena dia orang Inggris,
dan seperti dalam sebuah lagu, ‘Hanya anjing gila dan orang Inggris yang pergi
ke luar di bawah matahari siang’.”
“Anda benar sekali,” ujar Philippa yang berusaha mempertahankan kedok kalau
dia dan John hanyalah dua bocah biasa. “Memang aneh. Dia tidak pernah
kepanasan.”
“Ya, dia agak aneh,” senyum Hussein Hussaout. “Orang eksentrik Inggris asli.”
Nimrod mengangguk. “Jadi, langsung saja kita bicara bisnis. Aku sudah
menerima suratmu.”
“Apa yang tidak mereka pahami, takkan melukai mereka,” ujar Nimrod.
“Maka yang terbaik adalah tidak mendengarnya sama sekali,” kata Hussein
Hussaout.
“Ya, Paman,” jawab si kembar dengan patuh. Mereka pun masuk ke ruang
belakang untuk melihat sarcophagus* mainan. Di dalam beberapa sarcophagus
kecil itu terdapat mumi yang terbungkus perban. Tapi si kembar lebih tertarik
untuk mencuri dengar pembicaraan, dan mereka terkejut ketika dapat men
dengar hampir setiap kata yang di ucapkan Nimrod dan Hussein Hussaout. Pada
saat bersamaan, mereka tetap mengawasi Hussein Hussaout dengan saksama,
menunggu kesempatan untuk melihatlihat lewat pintu belakang yang menuju ke
halaman dan berkeliling dengan menyelinap, seperti yang Nimrod sarankan.
“Jadi,” ujar Nimrod, “dalam suratmu, kau menga takan telah menemukan
sesuatu.”
“Ya. Dua hari lalu. Di Cairo Museum,” jelas Hussaout. “Seperti yang kau
ketahui, aku sering pergi ke sana pagipagi sekali untuk melihatlihat harta karun
kuno dan mencari inspirasi. Batu-batu tua itu penuh getaran. Jadi hari itu, seperti
hari lainnya. Atau kira-kira begitu sampai aku memandang sekeliling dan
melihat bahwa aku diawasi oleh Iblis. Dan bukan hanya Iblis, tapi beberapa
keturunan suku Ifrit. Maimunah dan ayahnya, Al-Dimiryat, serta Dahnash.
Pertemuan kami nyaris bukan suatu kebetulan, atau setidaknya begitulah yang
mereka bilang. Bukan mu seum yang ingin mereka datangi, tapi aku. Jadi kami
ke lantai atas, ke kafe museum untuk mengobrol. Semua sangat sopan, kau
tahu.”
“Benarkah?”
“Ya, cuma sedikit janggut pirang di dagu dan dengan kumis tipis. Seperti orang
Arab. Sedangkan lainnya sama seperti biasa. Sopan. Tanpa emosi. Sikap tanpa
cela. Setelan mahal buatan Savile Row. Sepatu buatan tangan. Sangat Inggris,
sepertimu, Nimrod.” Hussein Hussaout menyeringai dan menyentuh celah di
antara gigi depannya dengan kuku jari kelingking. “Kau dan dia punya banyak
ke samaan, Sobat.”
“Contohnya?”
“Dia mengatakan kalau dia tertarik untuk memiliki beberapa artefak Mesir yang
mungkin ditemukan setelah gempa itu. Artefak asli. Khususnya artefak dari
Dinasti Ke-18. Dan uang bukan masalah. Yah, uang memang bukan masalah
bagi orangorang seperti kalian. Aku bisa menyebut harga berapa pun kalau
artefak-artefak itu kualitasnya bagus.”
“Tak ada dinasti lain yang diminati oleh Jin,” ujar Nimrod. “Seperti yang
tentunya kau tahu.”
“Iblis berkata dia telah mendengar kabar burung bahwa aku memiliki informasi
mengenai makam Akhenaten yang hilang.”
“Masa? Benarkah?”
“Kalau Iblis tahu aku mengundangmu, dia akan sangat gusar kepadaku,
sungguh. Jadi dalam hal ini kau tentu memahami kehati-hatianku untuk
membahas masalah seperti itu denganmu.”
“Seandainya informasi seperti itu ada,” ujar Nim rod hati-hati. “Seperti apa
kelihatannya?”
Nimrod tertawa. “Peta? Di negara ini? Setiap orang punya peta harta karun. Dan
semuanya tidak berguna. Kau juga tahu, memindahkan pasir membuat hal
seperti yang kau gambarkan menjadi tidak berarti. Mungkin semudah kau
memberiku peta bulan.”
“Memang ada banyak peta,” ujar Hussaout. “Tapi yang ini bukan peta daun
lontar kuno. Juga bukan peta kulit minyak yang diambil dari tangan penjelajah
yang sudah mati.”
“Benarkah?” tanya Nimrod. “Kau sudah melihat kunci ke Batu Netjer? Kau
benarbenar tahu letak makam Akhenaten?”
“Kalau sebanyak itu yang kau katakan pada If-rit, aku heran mengapa mereka
membiarkanmu tetap hidup,” kata Nimrod. “Terutama Iblis. Dia Jin yang paling
tidak sabaran.”
“Mereka lebih berpikiran bisnis daripada yang kau bayangkan, Nimrod. Mereka
ingin sekali mem beli apa yang dulu telah mereka ambil dengan paksa.”
Di sisi lain toko, John menaruh mumi kucing yang dia pegang dan, setelah
melihat bahwa Hussein Hussaout dan pamannya sedang berbincang dengan
serius, terlalu serius untuk memerhatikan bahwa mereka tidak sendiri, dia
menyikut adiknya dan menunjuk pintu belakang yang terbuka. “Ayo,” kata nya.
“Ayo kita berkeliling. Kita lihat apa yang bisa kita temukan.”
John dan Philippa berjalan ke pekarangan besar berdebu yang dipenuhi artefak
Mesir dari batu yang le bih besar. Di satu sudut, berdiri pintu terbuka lain dengan
ruang istirahat yang agak bau yang sepertinya akan menarik perhatian lalat.
Sedangkan di sudut lain, pada pintu ketiga bisa terlihat tangga tua goyah yang
menuju ke lantai atas.
“Kurasa di sini,” ujar John, bergerak ke tangga. “Kata Nimrod, ada ruang khusus
di lantai atas tempat semua barang bagus disimpan.”
Setelah melewati tangga pekarangan yang terang ben derang, tangga itu sangat
gelap dan suram serta, Philippa pikir, agak menakutkan seperti
fi Im horror - terutama cara tangga itu berderak saat diinjak ketika mereka naik.
Dengan begitu banyak benda Mesir kuno di sekeliling, dia setengah berharap
menemukan mumi yang tak terbungkus sedang menunggu mereka di puncak
tangga.
“Aku tidak suka ini,” Philippa mengakui saat mereka sampai di pelataran tangga
dan mengitari sudut menuju koridor gelap dan berdebu yang dipasangi foto-foto
penggalian dan penjelajah masa lalu.
“Tenang,” ujar John. “Kita hanya memeriksa tempat ini sekilas lalu kita turun ke
lantai bawah lagi.”
Saat itulah mereka mendengar rintihan lirih yang datang dari pintu yang terbuka
di ujung koridor. Philippa merasakan darahnya membeku. “Apa itu?” bisiknya
dan meraih lengan abangnya.
“Aku tidak yakin,” jawab John, yang merasa agak takut, dan harus
mengingatkan diri bahwa dia adalah Jin, meskipun hanya Jin muda, dan bahwa
kalau cerita dalam Kisah Seribu Satu Malam memang mendekati kebenaran, dia
harus terbiasa melihat hal-hal menakutkan - jenis halhal yang mungkin
menakutkan bagi anakanak biasa.
“Menurutku,” ujar Philippa sambil menelan ludah, “dia akan lebih kecewa lagi
bila kita dicabik-cabik monster.”
Bahkan saat dia bicara, rintihan lain terdengar dari ruangan di ujung koridor,
rintihan lirih yang bisa saja berasal dari makam atau sarcophagus yang terbuka.
Sekarang mereka cukup dekat untuk mendengar bukan saja rin tihan, tapi juga
deru napas binatang buas atau orang yang sangat kesakitan; atau mungkin juga
orang yang sangat ketakutan.
Philippa pikir suara itu tak sekeras bunyi detak jantung dirinya dan, dengan rasa
rakut, serta mendugaduga sumber keberanian John, dia ragu-ragu mengikuti
kakanya melangkah melewati ambang pintu yang terbuka dan memasuki
ruangan tempat rintihan itu berasal. Ada kesunyian yang panjang sebelum
akhirnya John bicara.
Philippa melongok dan melihat bahwa yang ber baring di ranjang kuningan
besar adalah seorang bocah setengah telanjang yang kira-kira seumur
dengannya. Bocah itu sepertinya tidak sadar -
John melihat lebih dekat pada kaki biru bocah lakilaki itu. “Sepertinya anak ini
telah digigit sesuatu,” katanya. “Mungkin kelelawar pengisap darah.”
“Kelelawar pengisap darah dari Amerika Selatan, bukan Mesir,” tukas Philippa.
“Ular kalau begitu. Seperti yang hampir menggigitku.” John menelan ludah saat
teringat nasib buruk yang hampir dia alami.
“Seharusnya.” John menunjuk meja di sisi ranjang dan foto berbingkai bocah itu
berdiri di samping mobil Land Rover bersama Hussein Hussaout. “Kurasa ini
anak lakilaki Hussein Hussaout, Baksheesh.” Keduanya jelas sangat bahagia
dan, kalau foto ini benar, Hussaout tidak tampak seperti ayah yang akan
mengabaikan anaknya.”
“Bukankah dia bilang kalau Baksheesh ke seko lah?” tanya Philippa. Dia duduk
di pinggir ranjang lalu menyentuh dahi anak itu. “Dia panas sekali. Kupikir dia
harus ke rumah sakit.”
Merasa ada yang menyentuh, bocah itu tampak agak rileks, kemudian matanya
mengerjap-ngerjap terbuka. “Jangan ke rumah sakit,” bisiknya.
“Kau harus pergi,” kata bocah itu dengan suara parau. “Sangat berbahaya kalau
kalian di sini.”
John sedang menatap ke dalam sebuah kotak terbuka dekat jendela. “Lihat ini,”
katanya lirih.
Philippa memandang dan melihat bahwa di dalam kotak itu terbaring anjing
mati. “Mungkin kita harus memanggil Nimrod,” katanya.
“Nimrod?” ucap Baksheesh, tampak makin gelisah. “Tidak, dia tidak boleh ke
sini. Dia dalam bahaya. Kalian ha rus menyuruhnya pergi.”
“Suruh dia pergi, sebelum terlambat,” ujar Bak sheesh dan kemudian tak
sadarkan diri lagi.
“Bukan berarti aku tidak ingin membantumu,” ujar Hussaout. “Aku ingin. Sudah
pasti. Kau pikir aku ingin membuat kesepakatan dengan Ifrit?” Dia menggigit
ibu jari dengan marah. “Itulah yang aku pikirkan tentang mereka. Tapi lihat
sekelilingmu, Teman. Semuanya untuk dijual. Aku pedagang. Aku tidak punya
kemampuan istimewa sepertimu. Aku
harus mencari nafkah.” Dia menyeringai. “Pahamilah, Nimrod. Ini bukan
masalah pribadi. Ini murni bis nis.”
“Ini bukan soal uang. Tidak darimu, Sobat. Setidaknya, tidak secara langsung.
Aku bisa mendapat uang dari siapa pun. Bukan itu yang kuinginkan.”
“Jadi apa?”
“Dari Jin. Apa lagi kalau bukan tiga permin taan?“TXT BY OTOY
http://ottoys.wordpress.com
“Tiga permintaan.”
“Baghdad Rules, seperti yang kau katakan. Bukan sesuatu yang di luar
kemampuanmu. Tidak, hanya halhal biasa. Banyak uang, membuatku lebih
menarik bagi wanita, meningkatkan kesehatanku.” Hussaout batuk dengan keras.
“Lihat, aku punya batuk yang parah. Merokok terlalu banyak, mungkin.
Sejujurnya, aku pasti beruntung jika mendapat satu set paru-paru baru. Ayolah.
Bagaimana? Kita sepakat?”
“Bagus. Kujamin, kau tidak akan menyesalinya.” “Dan tiga permintaan hanya
setelah kau antar
kan.”
“Kembalilah ke sini sekitar jam enam. Kau bisa membawa kita ke sana dengan
Cadillac tuamu yang bagus. Perjalanan itu akan butuh waktu sekitar satu jam.
Tapi datanglah sendirian.”
Kedua pria itu berjabat tangan, lalu Nimrod dan si kembar meninggalkan
Hussein Hussaout dan toko bendabenda antiknya.
bercerita tentang Baksheesh dan anjing mati itu, tapi Nimrod menyuruh mereka
diam dan meminta mereka menunggu sampai sudah di dalam mobil dan berada
di luar jangkauan pendengaran. “Di jalan-jalan tua ini,” katanya, memandang
sekeliling dengan curiga, “kita tidak pernah tahu siapa yang akan mendengar.
Dinding bertelinga. Terutama bila dinding-dinding itu berisi roh hidup Jin suku
Ifrit.”
“Apa itu mungkin?” tanya Philippa, bergegas menjejeri pamannya yang berjalan
dengan langkah panjang. “Apa Jin bisa mengambil wujud dinding?”
“Oh, ya. Umumnya mereka mengambil wujud pohon, tapi batu atau dinding juga
mungkin, meskipun kurang menyenangkan. Dan hanya Jin berpengalaman yang
bisa mengendalikan claustrophobia parah.”
Si kembar bercerita pada Nimrod tentang apa yang telah mereka lihat di ruangan
atas toko. Sang paman mendengarkan dengan sabar tanpa menyela dan saat
mereka selesai, dia mendesah dan menggeleng-gelengkan kepala.
“Aku heran mengapa dia memberitahuku kalau anak itu ke sekolah,” katanya.
“Tidak seperti Hussein Hussaout yang biasanya. Dan semua pembicaraan
tentang bisnis itu. Aku hampir tidak mengenalinya. Baksheesh demam, katamu
tadi?”
“Hussein Hussaout mencintai anak itu lebih daripada nyawanya sendiri,” ujar
Nimrod. “Dia takkan membiarkan apa pun terjadi padanya.”
Nimrod menatap John dan mengerutkan kening. “Bagaimana kau bisa tahu?”
“Kami bisa mendengarmu,” ujar John. Dia mengangkat bahu. “Paling tidak kami
bisa, kalau kami berkonsentrasi.”
“Ya, aku tahu kalau kau bisa,” ujar Nimrod. “Jadi kau tahu apa yang dia katakan
tentang membuat kesepakatan dengan Ifrit. Dia tak pernah bisa memer cayai
mereka untuk menepati janji. Suku Ifrit tidak tahan untuk tidak berbuat curang,
dia tahu itu.”
“Kau tidak bersungguh-sungguh akan pergi, kan?” protes Philippa. “Itu mungkin
perangkap.”
“Benar, tapi aku tidak punya pilihan. Ini terlalu penting. Aku tidak bisa
melewatkan kesempatan mene mukan makam Akhenaten.”
Kairo memiliki lebih dari selusin museum. Salah satunya adalah Antiquities
Museum yang juga dikenal dengan nama Cairo Museum. Museum itu adalah
yang terbesar, paling berwarna merah muda, dan terpopuler. Museum itu besar,
panas, kotor, bau, tidak rapi karena jendela-jendela yang pecah, atap yang bocor,
lampu yang redup, lemari pajangan yang ketinggalan zaman, dan penjelasan
asalasalan tentang barangbarang tak ternilai harganya yang dipamerkan di sana.
Tempat itu juga merupakan salah satu museum terbesar di dunia. Saat mereka
memasuki pintu depannya dan berjalan melewati banyak petugas keamanan ke
dalam gedung bundar, Nimrod memberitahu si kembar kalau sebelum dia
memperkenalkan Akhenaten, ada hal penting yang perlu disampaikan.
“Sesuatu yang harus segera aku katakan kepada kalian,” katanya, “tentang
mempraktikkan kekuatan Jin yang kalian miliki. Sesuatu yang disebut-sebut
Hussein Hussaout sehubungan dengan aku mengabulkan tiga permintaannya.
Aku ingin memberitahu mengapa kita tidak menggunakan kekuatan Jin lebih
sering daripada yang sekarang kita lakukan? Mengapa aku memilih naik
pesawat, misalnya, bukan naik karpet terbang? Mengapa aku lebih senang orang
lain menyiapkan makananku,
“Seperti yang mungkin telah kalian pahami,” ujar Nimrod, “Jin bisa hidup dalam
waktu yang lebih panjang. Jauh lebih lama daripada manusia. Bisa sampai lima
ratus tahun. Jauh lebih lama lagi kalau di dalam stoples atau botol, di mana kita
memasuki situasi animasi yang tertunda secara virtual. Tapi, setiap kali
menggunakan ke kuatan Jin, kita menggunakan sedikit kekuatan hidup kita.
Karena itulah kita merasa letih ketika menggunakan kekuatan itu. Karena
sesuatu keluar dari dalam diri kita dan tidak pernah bisa dipulihkan kembali.”
“Itu benar,” ujar Philippa. “Aku ingat sekarang. Saat mengabulkan keinginan
Mrs Trump, aku memang merasa ada sesuatu yang meninggalkan tubuhku.
Membuatku merasa sangat lemah untuk sesaat.”
“Itulah tepatnya mengapa kekuatan Jin harus digunakan dengan hemat. Setiap
kali kita mengabul kan satu permintaan penting atau membuat sesuatu muncul
dan menghilang, api dalam diri kita - api Jin itu - agak meredup, dan sebagian
waktu kita yang tersedia di dunia ini hilang. Dan makin tua usia Jin, makin
banyak kekuatan hidup yang dia habiskan untuk mengabulkan satu permintaan,”
kata Nimrod.
“Berapa banyak waktu yang hilang?” tanya John yang berpikir praktis.
“Tak ada yang tahu pasti,” Nimrod mengakui. “Tapi hitungan kasarnya - dan
untuk Jin seumurku -satu per mintaan akan menghabiskan satu hari kehidupan.
Tidak terdengar banyak untuk usia kalian. Tapi saat kalian setua Mister
Rakshasas, satu hari bisa menjadi sangat berharga. Karena itulah dia jarang
menggunakan kekuatannya sekarang, kecuali untuk pengubahan bentuk, yang
untungnya, sangat sedikit sekali menggunakan kekuatan Jin. Aku mestinya
belum akan mengatakan hal itu kepada kalian, agar kalian bisa bersenang-senang
tanpa memikirkan akibatnya. Tapi karena kalian sudah mendengar apa yang
Hussaout katakan, aku tidak punya banyak pilihan. Paling tidak kini kalian
mengerti mengapa Jin tidak dengan mudah mengabulkan tiga permintaan setiap
orang. Terlepas dari kekacauan yang jelas-jelas akan timbul dalam masyarakat
luas, itu juga lumayan banyak akan memperpendek usia kita.”
“Seberapa lamakah Jin dapat hidup di dalam botol atau lampu?” tanya Philippa.
“Pertanyaan bagus,” puji Nimrod. “Dan itu juga salah satu alasan mengapa kita
ada di sini sekarang, di museum ini. Sejak dulu, tak seorang pun tahu berapa
lama kemungkinanJin botol dapat hidup. Tapi sejak tahun 1974, kami punya
gagasan yang lebih bagus. Kalian sudah pernah mendengar tentang Pasukan
Terracotta, di kota kuno Xi’an, di Cina bagian tengah? Itu digali oleh para petani
pada tahun 1974, setelah 2.2DD tahun terpendam dalam tanah; di antara tentara
Terracotta itu ada sebuah
“Ya. Sejak itu jelaslah bagi kami bahwa dalam keadaan mati suri di dalam botol,
kami mungkin bisa hidup hampir kekal. Di situlah Akhenaten mulai menjadi
penting.”
Nimrod membimbing mereka ke lantai atas, melewati ruangan-ruangan kecil
museum yang berbau apak, menuju ujung terjauh. Di tempat itu terdapat patung
teraneh. Sosok patung itu memiliki wajah panjang, mata sipit berbentuk buah
kenari, bibir tebal, rahang panjang, leher panjang seperti angsa, bahu melorot,
perut bulat besar, dan paha terbesar yang pernah dilihat si kembar.
“Aku belum pernah melihat orang yang tampang nya se jelek itu,” ujar Philippa,
menatap lekat-lekat ke arah patung di hadapannya.
John menyentuh patung granit besar itu, satu dari empat patung di Amarna
Gallery di Cairo Museum itu, dan mengangguk hormat. “Apa kabar, Yang
Mulia?” katanya.
“Dia diberi nama Amenhotep saat lahir,” Nimrod menjelaskan. “Tapi dia
mengganti namanya setelah
menyingkirkan semua dewa Mesir kuno - Isis, Seti, Anubis, Thoth - untuk satu
dewa yaitu Aton, dan menimbulkan revolusi agama. Ini sangat tidak disukai oleh
para pendeta, yang merupakan orangorang terkaya dan berkuasa di Mesir. Saat
ini, Akhenaten disebut ‘Firaun Bidah1, yang artinya orang yang diang gap telah
melakukan kejahatan yang mengerikan atas agamanya. Karena pengabdian
Akhenaten pada agama barunya, konon dia mengabaikan rakyat dan pertahanan
negara. Musuh lalu memanfaatkan hal itu dan menyerbu. Akhenaten terpaksa
meninggalkan istana dan meninggal tak lama kemudian. Itu menurut sejarah,
tapi kenyataannya sedikit berbeda.
“Begini, Akhenaten itu lebih dari sekadar Firaun dan Raja. Dia juga penyihir
besar. Ibunya adalah penyihir - kakeknya adalah Jin - yang sudah belajar cara
mengikat Jin untuk melayaninya. Wanita itu mengajarkan keterampilan ini
kepada putranya, yang menggunakan pengetahuan itu untuk membuat diri nya
lebih kuat dari Jin mana pun. Tidak diketahui bagaimana Akhenaten bisa
mengikat begitu banyak Jin untuk menjadi pelayannya, tapi yang jelas kekuatan
para Jin yang diperintahkan Akhenaten inilah yang menjadi sumber
kekuatannya. Ahli sejarah ber asumsi kalau Akhenaten memperkenalkan praktik
pemujaan matahari pada bangsa Mesir. Tapi yang disebut Dewa Matahari itu
bukan dewa sama sekali; lebih mirip, kekuatan kolektif tujuh puluh Jin budak
Akhenaten, yang disebut Aten, persis seperti nama cakram mata hari
yangpunya nama sama. Cakram matahari - Aten -menjadi simbol agama baru
itu.
“Jadi mengapa kau, Iblis, dan Ifrit ingin menemu kan makamnya yang hilang?”
tanya Philippa.
“Sudah pasti untuk mendapatkan harta karun,” jawab John. “Ada harta karunnya
kan, Paman?”
“Harta karun? Ya, seharusnya aku berpikir begitu. Tapi bukan itu yang
kuinginkan. Bukan itu yang suku Ifrit inginkan. Mereka punya banyak uang dari
kasinokasino mereka.”
suku-suku Jin yang berpihak pada Kebaikan. Tapi dalam praktiknya, keadaan
berbeda, dan Jin-jin Cina, yang jumlahnya enam, ternyata jumlah yang baik dan
jahat sama banyaknya. Tapi kalau Iblis dan teman Ifritnya dapat menemukan Jin
Akhenaten yang hilang, keadaanbisa berubah menjadi sangat berbeda dengan
apa yang telah terjadi di Xi’an. Keseimbangan itu akan terganggu. Dan tujuh
puluh adalah jumlah yang lebih dari cukup untuk melakukannya.”
“Menurutku,” ujar John, “sepertinya sudah banyak nasib buruk di dunia ini.
Tidak bisa kubayangkan segalanya menjadi lebih buruk daripada sekarang.”
“Konsekuensi dari ketujuh puluh Jin itu memi hak nasib buruk nyaris terlalu
mengerikan untuk dibayangkan,” kata Nimrod. “Orangorang menjadi bisa salah
meletakkan barang, kehilangan uang, me lupakan segala hal, tertinggal kereta
api dan pesawat, dan banyak yang terluka. Ya, banyak kejadian yang disebut
kecelakaan, yang disebabkan oleh nasib buruk yang ditimpakan Jin jahat kepada
manusia.” Nimrod menggelengkan kepala dan bergidik. “Aku menghabiskan
hidupku memikirkan sistem untuk mengalahkan kasino, memengaruhi
pemerintah untuk melarang skema cepat-kaya, melawan kekuatan nasib buruk
dengan segenap upaya, tapi ujung-ujungnya selalu memakai kekuatanku sendiri
untuk membawa nasib baik pada seseorang. Ya, terkadang bahkan dengan
mengabulkan tiga permintaan. Tapi dengan makin banyaknya nasib buruk di
mana-mana, Jin baik seperti aku, dan kalian, akan harusbekerja lebih keras lagi
untuk menebusnya. Dan dengan pengorbanan besar tentunya. Akhirnya, kita
akan menghabiskan semua kekuatan kita dan mati, sehingga umat manusia itu
sendiri akan menghadapi kepunahan. Itu yang mungkin terjadi, John.”
“Tapi mengapa Jin-Jin yang hilang ini harus berbeda dengan Jin Cina?” tanya
Philippa. “Dengan separuh dari mereka ternyata baik dan separuhnya lagi
ternyata jahat.”
“Tidak sesederhana itu,” ujar Nimrod. “Begini, tak ada yang mencari Jin Cina.
Keberadaan mereka ti dak diketahui. Penemuan mereka benarbenar tidak di
sengaja. Tapi pada tahun 1974, setelah penemuan Pa sukan Terracotta dan
keenam Jin tersebut, disa dari ka lau Jin Akhenaten yang hilang, mungkin
mengen dalikan keseimbangan kekuatan jika mereka pernah di temukan.
Sehingga, selama tiga puluh tahun, baik suku Ifrit maupun Marid, telah mencari
mereka. Siapa pun yang menemukan, akan memiliki kekuatan untuk memerintah
mereka. Begitulah cara Jin. Ketujuh puluh Jin ini akan terikat untuk melayani
siapa pun yang menemukan mereka lebih dulu.”
“Tapi bagaimana Hussein Hussaout bisa tahu di mana makam itu?” tanya John.
“Mungkin dia bohong.”
“Kalau dia bilang dia tahu, berarti dia tahu,” tegas Nimrod. “Mungkin dia punya
toko barang antik yang menjual cenderamata murahan, tapi Hussein
Hussaout, ayahnya, dan kakeknya, telah menjadi penemu makam terhebat dalam
sejarah Mesir. Aku ragu ada orang di Negara ini yang lebih berpengalaman
dalam pekerjaan seperti ini dibanding Hussein Hussaout.
“Lagi pula, dia punya satu keuntungan besar, yang tidak dimiliki arkeolog mana
pun. Mungkin kalian pernah mendengar tentang batu Rosetta. Sepotong batu
besar dengan tulisan dalam tiga bahasa yang memungkinkan orang Inggris
bernama Thomas Young menerjemahkan arti huruf-huruf hieroglyphic bangsa
Mesir. Batu yang serupa, Batu Netjer - dari kata bangsa Kernet atau Mesir kuno
yang berarti ‘kekuasaan tertinggi’ - menurut kabar burung telah ditemukan oleh
ayah Hussein Hussaout pada tahun 1950-an. Batu Netjer dianggap berisi
beberapa petunjuk penting tentang keberadaan beberapa makam raja, termasuk
makam Akhenaten dan Ramses II. Hanya saja batu ini ditulis dalam kode yang
tak bisa diterjemahkan tanpa Lempengan Batu yang lebih kecil, yang disebut
stela. Aku yakin Hussein Hussaout pasti telah menemukan batu stela ini setelah
gempa bumi itu.”
John.
Nimrod menggelengkan kepala. “Oh, tidak. Kali ini tidak. Aku akan pergi
sendiri. Ini bisa berbahaya. Malam ini kalian di rumah saja dan mempelajari
kartu-kartu Jin yang diberikan Mister Rakshasas.”
Mereka pun pergi melihatlihat sisa isi barang purbakala Cairo Museum. Ketika
mereka ke ruang
“Itu retakannya,” katanya. “Akibat gempa bumi. Ingat, Phil? Vang kau lihat di
koran. Retakan yang identik dengan di dinding kamarku.”
“Bukankah kalian sudah kuberitahu?” ujar Nimrod. “Kebetulan itu cuma istilah
ilmuwan untuk suatu kesempatan. Tidak, itu bukan kebetulan. Seperti yang
kukatakan sebelumnya di London, itu adalah pesan. Tapi dari siapa?”
Setelah melihat patung Akhenaten, Nimrod dan si kembar pulang dan berbaring
menghangatkan diri di bawah sinar matahari sore seperti trio kadal emas.
Kemudian, pada jam 17.30, Nimrod pergi naik mobil Cadillac Eldorado
sendirian. Sebelum pergi, dia mengatakan bahwa Creemy telah memasak menu
istimewa, dan memastikan kalau si kembar menawarkannya kepada Mister
Groanin yang akan mengajak mereka jalan-jalan.
“Pasti.”
Masakan Creemy Special Special ternyata sup kare yang sangat pedas. John dan
Philippa begitu menyu kainya sehingga membuat Creemy senang. Mereka baru
mulai makan saat Mister Groanin
muncul dari kamar dan memberitahu si kembar kalau dia sudah siap menemani
mereka keluar.
“Tidak sebelum kau mencicipi ini,” kata John. “Ini masakan istimewa Creemy,
dan rasanya lezat.”
John melahap segarpu besar penuh masakan isti mewa Creemy dengan nikmat
dan berisik. “Bagaimana kau bisa hidup kalau tidak makan?” tanyanya.
“Ada kulkas di kamarku,” jawab Mister Groanin. “Penuh botol air mineral dan
stoples makanan bayi yang kubawa dari London. Aku makan itu.”
“Kau makan makanan bayi?” tegas John, hamper tersedak karena terkejut. “Apel
dan pir rebus, bubur nasi dan aprikot, juga sejenisnya?”
“Semua itu sudah disterilkan,” ujar Mister Groanin. “Dalam stoples kecil
bersegel. Di negara kotor ini, itulah satusatunya makanan yang bisa kupercaya
seratus persen untuk urusan perut.” Groanin menatap makanan di piring John
dan menjilat bibirnya penuh rasa lapar. “Tapi sungguh, penampilan dan aroma
makanan itu lumayan enak.”
“Entah apa aku bisa,” kata Groanin. Dia duduk di balik meja mahoni, menarik
piring saji besar berisi Creemy Special Special, dan membiarkan aromanya
memasuki hidung.
hebat,” katanya enggan. “Kalau kau suka sampah orang asing.” Groanin
mendekatkan hidung panjangnya di atas piring saji dan menghirup aromanya
dalam-dalam. “Ya ampun, aromanya menjernihkan kepala, sungguh. Orang bisa
melahap makanan itu dan takkan menderita penyakit radang selaput lendir di
hidungnya lagi.”
“Apa karena kau memiliki satu lengan hingga itu membuatmu lebih peduli pada
hal-hal seperti kebersihan?” tanya John.
“Kau tak keberatan kan, kalau aku bertanya,” kata John, “bagaimana kau bisa
kehilangan lenganmu itu.”
“Itu cerita yang menarik, benarbenar menarik,” ujar Groanin, yang sekarang
memandang kare itu dengan rasa lapar. “Aku bekerja sebagai pustakawan di
Ruang Baca lama di Perpustakaan British Museum, dan aku benci ka lau mereka
datang hanya untuk baca buku. Ada satu orang pembaca yang kami benci. Si
Penjinak macan yang bernama Thug Vickery. Dia itu keturunan Inggris-Indian
dari Dulwich. Dia tengah menulis apa yang dia harapkan akan menjadi buku
tentang macan yang paling bergengsi. Tapi pada suatu hari di musim panas yang
gerah, dia merasa terganggu oleh kami, dan dia memutuskan untuk balas
dendam. Dia memilih waktu menjelang museum ditutup, karena pada saat itu,
banyak pembaca yang sudah pulang. Dia membawa sepasang macan putih
kelaparan ke Ruang Baca besar itu, dan melepasnya. Beberapa
pustakawan lain terbunuh dan dimakan, dan aku sendiri beruntung hanya
kehilangan satu lengan.”
“Mereka ditembak dan dibunuh oleh RSPCA. Tak lama setelah itu aku
menganggur, dan kemudian menjadi pencuri, yang membuatku bertemu paman
kalian. Itulah kisahku.” Dia meraih garpu. “Kurasa sesendok takkan
membunuhku,” kata Groanin sambil menyendokkan sekian banyak Creemy
Special Special ke piring kosongnya. “Aku tidak bisa bertahan hidup hanya
dengan brokoli dan wortel campur keju selamanya. Beratku sudah turun lima
kilo sejak kita tiba di negara ini. Aku telah menyia-nyiakan diri dengan rasa
lapar dan perasaan cemas, begitulah aku.”
“Tapi makanan ini agak pedas,” John menasihati. “Sebaiknya kau berhati-hati.”
Mister Groanin tertawa. “Dengar, Nak, aku sudah makan kare pedas sebelum
kau lahir. Jenis kare Vindaloo, kare Madras, kalau ada satu hal yang berasal dari
bagian utara Inggris yang cocok untukmu, Nak, itu adalah makan kare pedas.
Jadi jangan khawatir, Nak. Urus saja urusanmu sendiri, biarkan aku mengurus
urusanku.” Groanin mendengus untuk mengolok-olok. “Bocah tak tahu adat,”
gerutunya sambil menyuap sekian banyak Creemy Special Special ke mulut
besar nya.
“Api neraka,” dia cegukan, lalu menjatuhkan garpu. “Cepat. Jangan cuma duduk
di sana. Air. Beri aku air.”
Philippa mengambil teko air, dan belum sempat menuangkannya, Groanin telah
merebut teko itu dan mengosongkan isinya ke dalam kerongkongan.
“Kurasa itu hanya akan membuatnya makin parah saja, kan?” John mengamati.
“Api neraka!” ulang Groanin. “Lagi.” Dia cegukan
lagi.
air!”
Belum sempat Philippa mengisi kembali teko itu di dapur, Groanin telah
mencabut bunga-bunga dari vas di tengah meja dan meminum airnya yang
berwarna kehijauan. Tapi air di dalam vas itu tampaknya kurang, dan tidak
mampu mengurangi penderitaannya.
“Lakukan sesuatu,” kata Groanin, tidak jelas. “Lidahku. Rasanya seperti bara
panas dari api. Telepon dokter! Telepon ambulans!”
“Nomor berapa yang harus kuhubungi?” tanya Philippa sambil meraih telepon.
“Mana aku tahu,” jawab John. Selama beberapa saat dia mempertimbangkan
untuk menggunakan kekuatan Jin demi menolong, tapi dia mengurungkan
niatnya karena takut Mister Groanin justru akan kehilangan lidah.
menghilangkan panas dalam mulut Mister Groanin justru akan membuat mulut
pria itu menjadi padat.
Dan, pada saat genting itulah, Creemy akhirnya datang membantu Groanin.
Dia menghentikan Groanin yang menghabiskan air dalam vas bunga di atas
bufet dengan berkata, “Air sangat jelek, berhentilah.” Lalu dia menyodori
semangkuk gula. “Makan,” katanya. “Makan. Makanlah!” Melihat Groanin
masih panik, Creemy lalu menyendok sesendok penuh gula dan mendorongnya
masuk ke mulut pria itu. “Gula sangat membantu mulut yang terbakar karena
kepedasan,” ujarnya.
Groanin makan sesendok gula itu, dan kemudian, saat gula itu tampaknya bisa
membuatnya tenang, satu sendok lagi diberikan. Setelah sekitar sepuluh menit,
api di dalam mulutnya sudah padam sehingga dia mampu bicara lagi.
“Astaga, kare itu pedas sekali. Apa ramuannya, lahar cair kah? Aku kira aku
akan mati. Aku tidak tahu bagaimana kalian bisa makan makanan seperti itu,
sungguh.” Dia melepas pakaiannya. “Lihat aku. Aku basah kuyup oleh
keringat.” Dia memungut alas piring dan mulai mengipasi tubuhnya dengan
marah. “Resep siapa itu? Lucifer? The Spanish Inquisition’s?” Dia
mengembuskan napas dengan keras. “Apakah menurutmu ini lelucon, Anak
muda? Aku bilang, apakah itu idemu tentang lelucon?”
“Tidak, Mister,” kata John. “Kalau kau ingat, aku sudah berusaha
memperingatkan kalau masakan itu mungkin agak pedas.”
“Benar juga,” Groanin mengiyakan. “Tidak bisa kusangkal. Tapi masakan itu
seharusnya disertai dengan peringatan kesehatan dari pemerintah, atau apalah.”
Tapi tak satu pun harapan kedua anak itu yang terwujud, paman mereka tidak
berada di ranjang.
Kamar Nimrod menempati bagian yang lebih besar di lantai satu. Di luar pintu
ganda berdiri dua patung Anubis, dewa kematian berkepala serigala, seukuran
manusia. Di dalam, barang-barangnya agak lebih tepat untuk mendukung
suasana bekerja daripada untuk tidur, karena Nimrod juga menggunakan ruangan
besar itu sebagai kantor. Sebuah komputer bertengger di atas meja walnut
berukuran besar. Di sebelah kursi tanduk rusa, terdapat sebuah rak tinggi yang di
atasnya terletak botol kaca besar berbentuk lonceng yang berisi lobster biru
raksasa dan di atasnya tergantung tanda dengan tulisan asalasalan yang berbunyi
JANGAN DIMAKAN. Di sebelah ranjang ada peti besar bersepuh emas gaya
Mesir, ditutupi huruf hieroglyphic, yang menjadi tempat untuk bermacammacam
botol obat. Di tempat lain, pe mandangan ruangan itu memberi kesan kalau
paman Nimrod adalah orang yang gemar mengumpulkan
PERMINTAAN KETIGA
barangbarang atau tak pernah membuang apa pun. Ada tumpukan koper,
komputer laptop, CD yang masih berada dalam pembungkus plastik,
perlengkapan permainan Astaragali, kotak penuh kacamata, arloji, pulpen tinta
emas, pemantik rokok, kotak cerutu, obat-obatan, buku catatan. Juga terdapat
lemari yang cukup besar untuk dimasuki, dengan rak-rak penuh topi, sepatu,
kemeja, lusinan dasi dengan seratus setelan berbagai warna dan bahan. Beberapa
tumpukan buku mengelilingi ranjang besar Kerajaan Prancis yang ditutupi sprei
linen Irlandia terbaik, yang belum pernah ditiduri.
“Kita harus segera memberitahu Creemy dan Mister Groanin. Lalu kita pergi
mencari Paman.” Si
kembar menemukan Mister Groanin di kamar nya. Dia sedang membaca Daily
Telegraph edisi kemarin sambil memakan satu stoples makanan bayi untuk
sarapan. “Ha vermut dengan blackberry dan apel,” kata nya ketika melihat si
kembar. “Lezat.”
“Aku tidak tahu bagaimana kau bisa makan makanan seperti itu,” komentar John
yang sekilas memandang berkeliling ruangan berlapis gambar Wil liam
Shakespeare, Percy Bysshe Shelley, dan Lord Byron yang sudah memudar.
“Paman Nimrod,” ujar Philippa. “Dia tidak ada. Dia tidak pulang semalam.
Ranjangnya tidak ditiduri, dan mobilnya tidak ada.”
Mister Groanin mengerang lirih. “Wah, kalian ingin aku melakukan apa?” Dia
mengoreti sisa ma kanan bayi dari stoples itu lalu menjilati sendoknya dengan
rakus. “Kurasa dia akan muncul. Lagi pula, dia bisa menjaga diri. Dia bisa bicara
enam bahasa, termasuk bahasa Arab. Dia punya uang di saku dan mengenal
negara ini dengan sangat baik. Belum lagi dia memiliki kekuatan supranatural.
Dia bukannya orang yang tak berdaya, kan? Di pihak lain, aku tidak bisa bicara
bahasa Arab sepatah kata pun. Aku tidak punya sepeser pun uang lokal. Bahkan
aku tidak tahu jalan ke bandara. Dan, siapa tahu kalian tidak lihat, aku hanya
punya satu lengan. Jadi, aku tidak mengerti apa yang bisa kulakukan.”
“Sikapnya masuk akal,” kata Groanin. “Jadi, apa yang membuat kalian berpikir
kalau dia akan ber terima kasih kalau kalian mencarinya? Menurutku, lebih baik
kalian tunggu sampai dia muncul, seperti perintahnya.”
Mereka turun ke ruang gambar untuk mencari lampu kuningan antik yang dihuni
Jin tua itu. Lampu itu berada di atas meja tempat Nimrod mening galkannya.
John mengambil dan menggosoknya dengan tidak sabar. Seperti Aladdin,
pikirnya. Seperti sebelumnya, asap biru menggulung keluar dari tempat sumbu
yang kosong, dan setelah menghilang, Mister Rakshasas duduk di atas salah satu
kursi perpustakaan. Dia menyimak dengan sabar apa yang si kembar sampaikan,
kemudian mengangguk dengan wajah yang muram.
“Aku takut kalian benar kalau sesuatu telah menimpa teman kita. Kalau tidak,
pastilah kini dia sudah mengabari kalian bahwa keadaannya baik-baik saja. Tapi
yang pertama, kita lihat dulu apakah kita bisa menghubunginya.”
“Ya, itu juga satu kemungkinan,” ujar Mister Rakshasas. “Tapi itu hanya bisa
terjadi saat Jin telah mengubah dirinya menjadi asap agar bisa memasuki botol
atau lampu. Mengurung Jin dalam ukuran tubuh normal mengharuskan kau
mengikatnya. Untuk melakukan itu, kau harus tahu nama Jinnya dan memiliki
sesuatu yang berasal dari tubuh Jin itu sendiri. Misalnya kuku, atau sejumput
rambut.”
“Menurutku, tempat terbaik kita memulai pen carian adalah toko milik Whoosy
Whatsit itu,” kata Groanin.
suku Marid,” ujar Mister Rakshasas. “Tapi mungkin saja dia sudahmenjadi
sekutu suku Ifrit dan berada dalam kendalimereka. Inilah satusatunya cara dia
mengkhianati paman kalian. Sehingga kalian harus sangat berhati-hati. Ini bisa
berbahaya.”
“Aku tidak bisa menemani kalian dalam wujud manusia,” jawab Mister
Rakshasas. “Tapi bawalah lampuku. Mungkin aku bisa memberi beberapa saran.
Lagi pula, kalau Hussaout dalam kendali suku Ifrit, sebaiknya kita jangan dulu
membuka jati diri. Sepengetahuanku, paman kalian berniat untuk tidak memberi
tahu Hussaout tentang identitas kalian sebagai Jin? Kalau Hussaout adalah budak
Iblis, maka akan lebih aman bila dia dan Jin suku Ifrit memercayai kalian
hanyalah manusia biasa. Mereka takkan merasa terancam oleh kalian.”
“Tidakkah kau melupakan sesuatu? Tidak ada mobil. Nimrod membawanya tadi
malam,” tukas John.
“Kita harus menyewa mobil,” usul Groanin.
“Tidak,” sergah John. “Itu terlalu lama. Kita harus menciptakan mobil sendiri.
Memakai kekuatan Jin. Bagaimana menurutmu, Mister Rakshasas?”
“Dalam hal ini aku hanya bisa memberi bantuan terbatas, John. Aduh, aku sudah
tua sekali, dan kekuat anku sudah menipis seperti handuk mandi
perempuan Galway. Tapi, mungkin, kalau kau dan adikmu ber pegangan tangan
denganku, aku bisa membantu me musatkan energikalian. Kau ingin
menciptakan mobil, kan?” “Ya,” jawab John.
“Aku takut kau akan mengatakan itu,” kata Phi lippa. “Aku hampir tak tahu
perbedaan antara Jip dan Jaguar.”
“Tidak masalah,” ujar John. Dia berlari ke lantai atas, lalu mengambil majalah
mobil yang dibelinya di Bandara Heathrow, London, setelah itu membawanya
turun ke ruang gambar. “Ini dia,” katanya sambil menunjuk mobil merah yang
terlihat aerodinamis di sampul. “Mobil Ferra ri 575 M Maranello. Nol sampai
100 kilometer perjam dalam 4,25 detik, dan kecepatan tertingginya 325
kilometer perjam. Nah, itu baru mobil yang sulit dilu pakan. Mobil itu bahkan
punya empat buah kursi.”
“Sebenarnya, banyak Syeikh minyak Arab yang membeli mobil ini,” ujar John.
“Mister Groanin?” kata Mister Rakshasas. “Kalau mau berbaik hati, mungkin
kau bisa menghitung mundur dari sepuluh untuk kami? John, Philippa, bila
kalian mendengar Mister Groanin berkata ‘nol1, itu akan jadi isyarat bagi kalian
untuk mengucapkan kata fokus. Paham?”
“10-9-8-7-6-5-4-3-2-1-Nol!”
“FABULONGOSHOO - “
“ABECEDARIAN!”
“- MARVELISHLYWONDERPIPICAL!”
Selama beberapa detik, udara beriak di dalam garasi itu seperti fatamorgana di
padang pasir yang panas. Terasa ada kenaikan suhu, diikuti bunyi denting lirih,
seperti bunyi sendok memukul gelas anggur. Mister Groanin mengerjap dan
masih tidak melihat apa pun. Tapi saat dia mengerjap sekali
lagi, tibatiba sebuah Ferrari merah muda yang berkilau berdiri di garasi itu.
Benar, rodanya juga salah. Bukannya roda rendah terbuat dari campuran
aluminium mengkilap bergambar kuda berjingkrak yang memang biasa terdapat
pada mobil Ferrari. Tapi, yang ini, memiliki roda segala-medan yang lebih besar
seperti yang biasanya terdapat pada Range Rover.
“Yah, aku jadi agak bingung,” sahut si adik. “Saat Mister Groanin menyebut
Range Rover, aku mulai memikirkan mobil orangtua Holly Reichmann.”
Ini isyarat bagi Mister Rakshasas untuk kembali ke lampunya, yang diambil
Philippa dan didekap erat ke dadanya.
Creemy menekan sebuah tombol di dinding untuk mem buka pintu garasi
elektrik. Setelah si kembar masuk ke mobil, Groanin menutup pintu, “Kalau aku,
aku lebih suka Rolls Royce. Mobil ini
“Apa tidak ada minyak dalam lampu anak itu?” Gerutu Groanin sambil memutar
tubuhnya di kursi untuk menatap John. “Kau lupa kuncinya, bodoh.”
Satu atau dua detik kemudian, Creemy mengangguk dan menyalakan mesin,
yang terdengar jauh kurang bertenaga daripada yang dibayangkan John. Creemy
mengemudikan Ferrari yang tampak aneh itu keluar dari garasi dan menuju
jalanan yang mengarah ke selatan Garden City, lalu menuju bagian kota tua
Kairo dan took barang antik itu.
Lalu-lintas berdebu Kota Kairo jarang melihat mobil seaneh Ferrari merah muda
itu, dan orangorang keluar dari toko untuk melihatnya. Groanin mengerang keras
saat Creemy terpaksa membanting setir untuk menghindari seekor keledai yang
menarik gerobak bermuatan jagung karena penunggangnya berdiri dan
menunjuk Ferrari merah muda itu. John melihat pria itu tertawa.
“Ini sangat memalukan,” kata John, meneng gelamkan diri lebih dalam di
kursinya.
Creemy menemukan sedikit jalan terbuka dan menginjak pedal gas lebih dalam.
Mobil itu makin ce pat, lambatlaun meninggalkan pengguna lalu-lintas
“Ingat apa yang dikatakan Mister Rakshasas,” kata Groanin. “Apa pun yang
dikatakan pria ini, menurutkusebaiknya kita memberinya kesan kalau kita masih
memercayainya. Ada pepatah lama yang kami punya di Lanchasire: ‘Tempatkan
teman-temanmu dalam perlindunganmu. Tapi tempatkan musuh-musuhmu tepat
di bawah hidungmu’.”
Hal pertama yang mereka lihat saat memasuki took itu adalah Baksheesh yang
mengenakan perban di kakinya tapi sudah terlihat agak sembuh. Hussaout
sendiri, yang duduk di atas tumpukan bantal yang sama, mengenakan setelan
putih yang sama, dan mengisap shisha yang sama. Dia tampak lelah dan cemas
tapi, saat melihat mereka bertiga, dia berusaha sekuat tenaga agar terlihat ramah.
“Halo,” sambutnya. “Apa yang membawa kalian kemari?” lalu dia menanyakan
sesuatu yang sudah bisa diduga sebelumnya, “di mana Nimrod?”
“Kami berharap kau bisa memberitahu,” jawab Mister Groanin. “Aku kepala
pelayan Mister Nimrod. Kurasa kami belum melihatnya sejak dia ke sini tadi
malam.”
“Tapi dia tidak pernah datang,” bantah Hussaout yang bangkit berdiri, dan kini
tampak khawatir.
“Aku kira ada hal lebih penting yang menahannya, dan dia baru bisa datang hari
ini.”
Philippa meragukan cerita itu. “Kalau dia tidak ke sini, lalu ke mana menurut
kemungkinan dia pergi?” tanyanya kepada Hussaout dengan sopan.
“Tolong, Mister Hussaout,” kata John. “Anda mau menolong kami mencarinya?”
“Anda baik sekali, sungguh,” ujar Mister Groanin. “Dan sangat menenteramkan
hati mengetahui kalau Nimrod punya teman sebaik Anda, Mister Hussaout.
Bukankah begitu, Anakanak?”
“Ya,” jawab si kembar yang merasa tidak tenteram sama sekali. Kini keduanya
agak meyakini kalau Hussein Hussaout berbohong. Ada sesuatu tentang kesem
buhan putranya, Baksheesh dan mereka yakin itu berkaitan dengan
menghilangnya Nimrod. Bocah itu sendiri memerhatikan si kembar
dengan gugup, matanya mengerjap cepat dari si kembar yang satu ke yang lain.
“Satu hal lagi,” kata John, saat mereka akan berjalan ke luar toko. “Tempat yang
akan Anda datangi ini, di padang pasir. Menurut Anda dia tidak ke sana
sendirian, kan?” Apa yang ditampakkan John itu adalah suatu yang biasa
dilakukan pengacara cerdas dalam persidangan di televisi: membiarkan saksi
percaya kalau tak ada lagi pertanyaan yang akan diajukan, lalu mengajukan
pertanyaan terakhir dengan harapan mendapatkan suatu hal lainnya.
Saat mereka kembali ke mobil, Mister Groanin mengerutkan wajah. “Tidak salah
lagi, dia orang
“Kalau itu berarti dia tidak bisa dipercaya,” ujar Philippa, “maka aku sependapat
denganmu.”
“Apakah benar dugaanku?” tanya John. “Atau apakah dia memang gugup ketika
mendengar kita akan pergi ke Medinet el-Fayyum?”
“Tidak, aku juga melihat,” sahut Philippa. “Dan kau dengar apa yang
dikatannya? ‘Hanya aku yang tahu di mana DIA.’ Kemudian, tentu saja, dia
mengoreksi omongannya dan berkata, ‘Hanya aku yang tahu di mana TEMPAT
itu.’ Ada sebutan untuk membuat kesalahan seperti itu. Saat otak kita
mengatakan satu hal dan mulut ki ta mengucapkan hal lain.”
“Ya, kau benar,” Groanin menyetujui. “Namanya keseleo lidah. Dan itu memberi
petunjuk kalau ada penyebab yang tidak disadari saat menggunakan kata yang
salah, yang terkadang bisa diterka.”
“Kurasa kita justru harus melakukan apa yang tidak dia inginkan,” usul John.
Mister Groanin mengetuk bagian luar lampu kuningan tua Mister Rakshasas.
“Kau dengar itu, Mister Rakshasas?” tanyanya lantang. “Kami akan pergi ke
Medinet dan mencari Nimrod sendiri.”
“Ide bocah itu lebih bagus daripada semua yang bisa kupikirkan,” ujarnya
dengan suara lirih. Suara
itu terdengar tidak jelas seperti seseorang yang berteriak dari kedalaman dasar
sumur.
“Baik, sudah diputuskan kalau begitu,” kata Groanin sambil memasang sabuk
pengamannya. “Creemy?” Dia menunjuk kaca depan Ferrari merah muda itu.
“Medinet el-Fayyum. Dan jangan menghemat tenaga kudanya.”
Dua jam kemudian Ferrari merah muda itu berhenti di Medinet el-Fayyum. Itu
adalah kota yang agak besar di barat Sungai Nil. Karena diparkir di pasar, Ferrari
itu dengan cepat menarik kerumunan besar penonton. Dengan bantuan beberapa
buah foto Cadillac Eldorado putih milik Nimrod, Creemy bertanya kepada
penduduk setempat apakah ada yang melihat mobil itu kemarin malam. Tapi
sepertinya tak seorang pun ingat. Setelah satu jam bertanya dengan penuh
kesabaran, rombongan pen cari itu mulai merasa agak kecil hati.
“Kita berkeliling saja,” usul Philippa. “Mungkin kita bisa menemukan mobil
itu.”
“Mister Groanin benar,” ujar John. “Sama saja seperti mencari jarum dalam
tumpukan jerami.”
“Bagaimana kalau mengubah tubuh kita menjadi burung hering?” usul Philippa.
“Lalu terbang berkeliling.”
Sekarang, matahari kian rendah di langit, dan jelas sekali tidak lama lagi mereka
harus kembali ke Kairo. Si kembar tak bisa menyembunyikan kekecewaan atau
ketakutan mereka atas keadaan Nimrod. Akhirnya, tepat saat Creemy akan
menghidupkan mobil dan bergerak pulang, seorang penunggang unta yang sudah
mendengar tentang Ferrari merah muda dan pencarian Cadillac Eldorado putih,
datang menghampiri dan mulai bercakap-cakap dengan Creemy. Akhirnya tamu
tak diundang itu m enunjukkan jalan dan memberi kepastian arah.
Creemy berterima kasih pada penunggang unta itu, dan segera menghidupkan
mobil. “Dia melihat Cadillac Nimrod,” katanya kepada rombongan pencari
Nimrod.
“Untung sekali kita memiliki roda Range Rover di mobil ini,” komentar Groanin
saat mobil itu menghantam lubang lagi dengan bunyi derak yang nyaring.
“Kalau memakai roda asli, kita takkan bisa melewati jalan ini.”
“Tidak, bukan reruntuhan,” kata Groanin lirih. “Puisi, itulah batu itu.”
“Puisi?” tanya Philippa. Dia suka puisi, tapi dia tak sepenuhnya mengerti apa
yang Groanin bicarakan. Tapi sebelum dia sempat meminta penjelasan, Groanin
sudah membaca puisi dari salah satu syair terkenal dalam kesusastraan Inggris:
“Aku bertemu pengembara dari dataran kuno Yang berkata: Dua kaki batu yang
iuas dan tanpa tubuh bagian atas
bibir mengerucut,
bernyawa ini,
dimakan;
membusuk
Dari reruntuhan besar itu, tak terbatas dan te /anjang
Mister Groanin berhenti seolah untuk membiar kan pe ngaruh syair itu terserap
ke dalam benak si kembar.
“Puisi apa itu, Mister Groanin?” tanya Philippa yang ber pikir dia ingin
mendengarnya lagi suatu hari nanti.
“Jangan bilang kau belum pernah dengar ‘Ozymandias’,” ujar Groanin. Dia
menggelengkan kepala. “Ingatkan aku untuk memberimu buku New Oxford
Book of English Verse setelah kita pulang. Itu tadi ‘Ozymandias’. Syair pertama
yang pernah
aku pelajari di sekolah. Karya Percy Bysshe Shelley. Salah satu penyair Inggris
terbesar yang pernah hidup.”
“Kurasa ini seharusnya ironis,” kata John, dan melompat ke atas sebuah batu
agar bisa melihat daerah sekitarnya dengan lebih baik. Tibatiba, dia nyengir.
“Bagaimana dengan ‘yang ada hanyalah reruntuhan… kecuali Cadillac putih.’”
Cadillac Eldorado putih Nimrod diparkir di dekat dinding batu di sisi lain
reruntuhan. Mobil itu tidak rusak dan tidak terkunci, sebagian kapnya terkubur
dalam pasir, seolah badai pasir dahsyat sudah menutupinya.
“Akan kuperiksa mobil itu,” kata John. “Mungkin dia meninggalkan surat.” Tapi
tidak ada apa-apa.
Philippa berteriak lagi. Lalu dia mendapat ide dan, setelah memejamkan mata
sejenak, dia mengucapkan kata fokusnya:
“Itu lebih baik,” ujar Groanin, karena kini Philippa melanjutkan dengan berjalan
naik dan turun
sejauh dan setinggi area tersebut sambil meneriakkan nama Nimrod lewat
megafon ini. “Tidak mungkin dia tidak mendengarnya,” katanya, menutupi satu
telinga dengan satu tangan, satusatunya tangan yang dia miliki.
John berjongkok di belakang Cadillac itu. “Hanya ada satu set lintasan ban,
selain jejak mobil kita,” ujarnya. “Kelihatannya dia mengendarai mobil itu ke
sini dan menghilang.” Dia berjalan mengitari bagian depan mobil dan
memeriksa timbunan pasir yang menutupi kap. “Aku ingin tahu. Apakah wajar
kalau semua pasir ini sampai ke tempat ini? Seingatku hari ini tidak berangin.”
“Pasir tetap pasir,” ujar Groanin. “Dan bagaimana pasir bisa sampai ke mana-
mana adalah misteri bagi kita semua.”
merah muda. “Kuberitahu, tidak ada apa-apa di sini,” katanya kesal, dan masuk
ke mobil, menutup pintu, dan menyalakan pendingin. Dia mengerang lega saat
udara yang lebih sejuk menyelimuti tubuhnya. Dia mengamati ketika John dan
Philippa berbicara selama beberapa menit pada lampu yang berisi Mister
Rakshasas. Ketika mereka kembali ke mobil, Groanin melihat kalau si kembar
tampak menatapnya dengan cara yang aneh. Philippa membuka pintu mobil,
membiarkan semua udara dingin itu keluar.
“Mister Groanin,” katanya hati-hati.
“Ya, ada apa?” Dia merasakan semacam konspirasi di antara si kembar, dia
mengerutkan kening dan menambahkan, “Apa pun itu, aku tak mau tahu. Aku
kepanasan, aku lelah, aku haus, dan aku ingin kembali ke kamarku.”
“Aku punya ide,” ujar Philippa hati-hati. “Tapi kau harus mau berkorban.”
Groanin merengut. “Jangan berteka-teki, Nak,” sergahnya. “Sejauh ini aku sama
sekali tidak punya petunjuk tentang apa yang kau bicarakan.”
“Nimrod pernah memberimu tiga permintaan dan, sejauh ini, kau baru
menggunakan dua permintaan, kan?” Philippa berhenti. “Nah, sudah jelas,
“Tapi itu berarti tidak ada lagi permintaanku yang tersisa,” tolak Groanin. “Itu
berarti bertahun-tahun yang kuhabiskan untuk memikirkan satu per mintaan
yang benarbenar fantastis sudah disia-siakan.” Keningnya mengerut. “Lagi pula,
bukankah Nim rod harus ada di sini untuk mengabulkan permintaanku?”
“Lagi pula,” ujar Philippa. “Kami sudah membicarakannya, dan kami akan
memberimu tiga perminta an dari kami sendiri.”
Groanin tertawa. “Dengan segala hormat, tidak satu pun dari kalian yang sekelas
Paman Nimrod
kalian. Lihatlah apa yang terjadi saat kalian berusaha menciptakan Ferrari
merah. Aku bukan mengatakan mobil itu jelek, hanya saja, well, dalam soal
permintaan, tak ada yang mau menerima kualitas nomor dua, kan?”
Dia diam dan keluar dari mobil, berjalan berkeli ling sambil merenungkan
masalah itu.
“Maaf,” katanya, “tapi ini perlu dipikirkan, setelah ber tahun-tahun tidak
diputuskan. Yang kita bicarakan ini masalah besar. Sesuatu yang bisa
memengaruhi sisa hidupku.”
Mengungkit soal sisa hidupnya ini tampaknya menyentuh secara mendalam pada
diri Groanin, dan tibatiba dia menyadari betapa banyak waktu yang telah disia-
siakan dalam memikirkan kemungkinan permintaan ketiganya. Apakah sisa
hidupnya juga akan jadi hancur? Dan tibatiba dia tahu apa yang harus dilakukan.
Tidak hanya untuk Nimrod. Tapi juga untuk dirinya sendiri.
“Mungkin kita harus mencatat permintaan itu dulu?” usul John. “Dengan
setepat-tepatnya. Sesuai dengan apa yang disebut Nimrod dengan The Baghdad
Rules.”
“Ya, benar. The Baghdad Rules.” Groanin mengangguk. “Ya, begitu cara
melakukannya.”
“Tanpa berada di tempat yang berbeda dari tempat kami sekarang,” ujar
Philippa. “Kuharap kami semua bisa mengetahui dengan tepat - “
John memandang dengan tatapan bertanya pada Mister Groanin dan Philippa.
Mereka pun mengang guk setuju, menulis permintaan itu. Kemudian, mero bek
lembaran kertas itu dari buku catatannya, dia membacakan permintaan itu pada
Mister Rakshasas di dalam lampu.
“Permintaan yang bagus,” puji Mister Rakshasas. “Sangat tepat. Tak ada ruang
untuk kesalahan.
Berdasarkan Pasal 93 dari The Baghdad Rules. Mari kita semua berharap
Nimrod mendengarnya. Kalau tidak, aku tak tahu lagi apa yang akan kita
lakukan selanjutnya. Kita tidak mung kin berkeliling Mesir sambil mengulang
permintaan itu dengan harapan Nimrod akan mendengarnya. Dalam hal ini,
kehadiran Cadillac itu mungkin merupakan satusatunya harapan untuk
mempersempit daerah pencarian kita.”
“Siap,” jawab Mister Groanin. Dia mencermati apa yang ditulis John seperti
seorang aktor yang berusaha membiasakan diri dengan perannya dalam sebuah
drama, dan kemudian mengangguk. “Baiklah kalau begitu.” Groanin menjilat
bibir dengan gugup, lalu mulai mengucapkan permintaannya: “Tanpa berada di
tempat yang ber beda dari tempat kami berdiri sekarang,” di membacanya
dengan hati-hati, “aku harap kami semua bisa mengetahui dengan tepat di mana
Nimrod berada saat ini.”
Sesaat kemudian tanah bergetar dan, selama satu atau dua detik, mereka semua
berpikir itu gempa susulan.
“Kami bisa mendengarmu,” teriak Philippa. “Tapi kami tidak bisa melihatmu.”
“Tentu saja tidak bisa,” sahut suara Nimrod. “Itu karena aku terkubur hidup-
hidup. Dalam makam di bawah pasir sekitar dua ratus meter dari mobil.
Mulailah berjalan ke arah barat menuju matahari dan akan kuberitahu kalau
kalian sudah lebih dekat.”
“Aku baik-baik saja,” kata suara Nimrod. “Hanya saja aku agak jengkel pada
diriku sendiri karena diikat dengan begitu mudah oleh Hussein Hussaout.”
“Karena aku menggigiti kuku,” ujar Nimrod. “Itu memang kebiasaan burukku.
Itu salah satu yang diperlukan manusia untuk mengikat Jin. Bagian tubuh seperti
gigi, sejumput rambut, atau potongan kuku.”
“Saat kita berada di toko Hussein Hussaout, kau meng gigiti kuku,” kata John
saat teringat.
“Kelihatannya begitu,” ujar Nimrod. “Tapi entah bagaimana dia juga tahu nama
rahasiaku. Dengan kedua hal ini, dia bisa mengurungku dalam makam ini.”
“Kami sudah bertemu Baksheesh,” ujar John. “Dia sudah cukup pulih kalau
dibandingkan dengan saat terakhir kami melihatnya. Kami kembali ke toko itu.
Kami pura-pura percaya pada apa yang dia katakan. Bahwa kau tidak pernah
sampai di toko barang antik itu. Kurasa dia tak menyangka kami adalah Jin.”
“Aku beruntung punya keponakan yang cerdas, kalau tidak, aku mungkin akan
terjebak di sini selama berabad-abad. Penyelidikan cerdas yang kalian lakukan.
Apalagi kalian ingat bahwa Mister Groanin masih punya satu dari tiga
permintaannya. Aku sangat ber hutang budi kepada kalian.”
“Jangan pikirkan itu sekarang,” ujar Groanin saat me reka berjalan melintasi
padang pasir yang sangat panas menuju matahari terbenam. “Apa kita sudah
dekat?”
“Empat puluh meter lagi kalian akan sampai di sini,” ujar suara Nimrod. “Kalian
akan melihat lereng terjal. Ber jalanlah ke kaki lereng terjal itu dan tunggu
instruksi selanjutnya.”
Di kaki lereng terjal itu mereka berhenti seperti yang diperintahkan. Mereka
mengamati pemandangan yang seluruhnya terdiri dari bukit pasir. Sepertinya
tidak mungkin kalau Nimrod berada di dekat situ.
Nimrod. “Aku berada tepat di bawah kaki kalian. Kalian harus segera
memindahkan sebagian besar bukit pasir di hadapan kalian itu. Aku tidak bisa
membantu karena makam ini sudah disegel dengan kekuatan Jin, aku tidak bisa
melakukan apa-apa untuk membantu kalian.” “Bisakah kami membuatnya
menghilang?” Tanya Philippa.
“Itu akan memakan waktu terlalu lama,” ujar Nimrod. “Pasir itu adalah bahan
yang sulit untuk dilenyapkan bagi seorang pemula seperti kalian. Setiap butir
pasir cenderung bertindak seperti objek tunggal, yang membuat pasir jadi sulit
ditangani dengan kekuatan Jin. Kalian tidak bisa menghilangkannya, dan kalian
tidak bisa meniupnya. Jadi kalian harus memikirkan cara untuk
memindahkannya.”
“Baiklah,” sahut John. “Penggali tanah. Eskavator.” Dia menatap Philippa. “Kau
tahu bagaimana bentuk eskavator?”
“Di rumah aku punya eskavator dengan remote control,” jelas John. “Warnanya
kuning. Kuletakkan di atas lemari buku itu. Apa kau ingat?”
“Jadi, bagaimana keadaan di bawah sana?” dia bertanya kepada Nimrod dengan
gugup, saat seekor kelelawar terbang di dekat kepalanya.
“Dingin dan gelap,” jawab Nimrod. “Aku benarbenar tersiksa. Kekuatan Jin
yang mengikatku sangat kuat, dan kekuatanku hampir tidak berfungsi di sini.
Pasti ikatan ganda yang Hussein gunakan. Atau bahkan tiga kali lipat. Aku
punya senter tapi baterainya sudah mulai lemah. Ponselku tidak bisa dipakai.
Dan aku cuma makan sebatang cokelat yang ada di kantongku. Jadi keadaan
agak menyedihkan.”
“The Baghdad Rules,” ujar Nimrod. “Bab 152. Permintaan yang belum
terpenuhi memiliki prioritas di atas ikatan Jin lain. Kau tahu, bila satu
permintaan diberikan, kekuatan permintaan itu seolah menempel pada orang
yang mendapatkannya. Sehingga aku tidak perlu benarbenar berada di dekatmu
agar keinginanmu terkabul.” Nimrod mendesah. “Sayang kau hanya punya satu
permintaan yang tersisa. Satu permintaan bagus lagi, dan aku akan keluar dari
sini.”
“Aku tidak peduli sama sekali pada permintaan,” sergah Groanin. Dia menoleh
dengan cepat saat seekor binatang melata menyeberangi tanah, dan seekor ular
juga terlihat menghilang ke dalam sebuah lubang. “Seluruh negara ini
membuatku ngeri.”
Empat puluh menit empat puluh detik kemudian, Creemy dan si kembar datang
dengan membawa sebuah eskavator - Tata Hitachi warna oranye, dengan kapa
sitas muat dua setengah meter kubik dan kedalaman galian tujuh meter. Yang
membuat Groanin heran, eskavator itu sepertinya berjalan sendiri; setidaknya
begitulah hingga John keluar dari Cadillac dengan membawa sebuah remote
control elektrik.
“Persis seperti eskavator mainanku di rumah,” jelas John. “Aku cukup ahli
mengemudikannya sehingga kuputuskan akan lebih mudah untuk membuat bebe
rapa modifi kasi pada eskavator aslinya.” Dan di bawah kendali John yang
sangat ahli, eskavator itu sudah mengeruk muatan pasir pertama dan
membuangnya beberapa meter dari lokasi yang telah mereka tandai sebelumnya.
Setelah satu jam mengeruk, akhirnya sampai juga ke bagian luar pintu. Creemy-
lah yang memindahkan pasir terakhir dengan menggunakan sekop yang dite
mukannya di belakang eskavator. Sekarang hari sudah gelap, Creemy harus
bekerja
“Kita hampir sampai,” teriak John. Creemy mundur dari pintu batu dan, setelah
membuang sekopnya ke samping, dia berteriak kepada John agar menuruni anak
tangga dengan membawa senter. Philippa pun mulai mengikutinya. John sudah
memeriksa celah antara pintu dan dinding.
“Apa pun yang kau lakukan, jangan sekali-kali kau menyentuhnya, John,” teriak
Nimrod. “Ini yang aku takutkan. Itu mungkin segel Jin.”
“Itu berarti Iblis atau salah satu anggota suku Ifrit pasti telah bersama Hussein
Hussaout,” jawab Nimrod. “Hanya mereka yang bisa melakukan ini.
Kemungkinan besar itu terbuat dari giok atau temba ga, yang keduanya memiliki
kekuatan magis bagi suku Marid. Karena kita sudah memiliki kekuatan Jin,
maka bendabenda itu tidak boleh sampai tersentuh.”
“Kurasa itu menjelaskan kenapa Ibu tidak suka batu giok,” gumam Philippa.
“Tentu saja,” sahut Nimrod, “jadi apa pun alas annya, kalian berdua tidak boleh
menyentuhnya. Segel itu hanya boleh dirusak oleh Creemy atau
Mister Groanin, karena kekuatan suku Ifrit juga akan mengikat kalian berdua,
kalau kalian menyentuhnya. Mungkin bisa lebih buruk lagi.”
John menggelengkan kepala. “Menurutku benda itu sama sekali tidak mirip giok
atau tembaga,” ucapnya. “Sepertinya ada potongan besar benda seperti lilin di
dalam celah antara pintu dan dinding. Besarnya kira-kira seukuran bola dan
tampak semitransparan. Tunggu dulu. Ada gerakan. Sepertinya ada sesuatu di
bagian dalam yang berwarna tembaga. Astaga! Seekor kalajengking.”
“Segel hidup,” ucap Nimrod. “Itu yang paling berbahaya bagi manusia, juga bagi
Jin. Itu berarti Iblis mungkin datang sendiri ke sini. Itu tentu saja menjelaskan
kekuatan ikatan tersebut. Apa pun yang kau lakukan, jangan merusak segelnya
karena kalau tidak, kalajengking itu akan kabur dari situ dan berusaha
membunuhmu. Sebaliknya, kalian harus menyalakan api di bawah segel untuk
melelehkan lilin dan membunuh kalajengking itu.”
Mereka kembali menaiki anak tangga batu guna mencari sesuatu untuk
membakar. Tentunya hal itu tak terlalu mudah mengingat suasananya yang
gelap.
“Kita bisa menggunakan karpet dari mobil Ferra ri,” usul Philippa. “Kalau kita
rendam dengan bensin, karpet itu akan gampang terbakar.”
“Lagi pula, warna karpet-karpet itu juga tidak cocok,” balas John yang mulai
merobekrobeknya.
“Satu lagi,” ujar Nimrod, setelah mereka menumpuk karpet-karpet yang telah
direndam bensin
di bawah segel di pintu makam Akhenaten. “Bila kalajengking itu termakan api,
kalian mungkin akan mendengar ucapan Iblis kepada Hussein Hussaout untuk
membuat ikatan ini. Pastikan kalian mencatatnya kalau kalian mendengarnya. Itu
mungkin sebuah petunjuk.”
Mister Groanin menyalakan sebatang korek api. “Aku suka api yang besar,”
katanya. Lalu dia melempar batang korek api itu ke karpet-karpet yang sudah
direndam bensin.
Bola api menjilat dari tanah menerangi wajah kotor dan hitam mereka. Dengan
segera, bola lilin di pintu makam mulai meleleh, membuat panik kalajengking
berwarna tembaga di dalamnya. Bahkan melalui lilin, mereka bisa melihat
sengatan tajam hewan itu menekuk di atas punggungnya dan menggigil seperti
jari berkuku hitam milik seorang penyihir wanita yang jahat.
“Aku tidak mau berada di dekat makhluk itu saat lilinnya meleleh,” Groanin
mengakui sambil bergerak makin ke atas di anak tangga, dia berusaha menjauhi
tempat berbahaya itu. Tapi, satu atau dua menit kemudian, si kembar dan
Creemy berdiri tegak. Akhirnya, setelah tidak ada lagi lilin di pintu,
kalajengking terbesar yang pernah dilihat orang itu, jatuh ke dalam api.
terlihat aneh, tapi yang terburuk adalah ekornya. Panjang ekornya lebih dari dua
puluh lima sentimeter, dan pada ujungnya terdapat penyengat sebesar ibu jari
manusia. Dan yang mem buat mereka ngeri, hewan berkaki delapan itu bersinar
terang meskipun tak terbakar. Dengan api biru besar menjilat setinggi hamper
tiga puluh sentimeter di atas sengatnya yang panjang, kalajengking itu terpental
dari karpet-karpet yang tengah terbakar. Dia berlari cepat ke arah si kembar,
seolah mengenali bahwa mereka berasal dari suku Jin yang sama dengan tahanan
yang harus dia jaga.
Creemy dan John mundur selangkah, tapi John kehilangan pijakan di tanah yang
tidak rata dan tersungkur di depan kalajengking yang membara itu. Merasakan
ada kesempatan untuk membunuh, kalajengking tembaga itu berlari cepat ke
arah lengan John. Capitnya mengatupngatup nyaring dan sengat nya terangkat
seperti jarum suntik, satu dosis racun yang mematikan sudah menetes dari
kantong-kantong yang mengisi rongganya.
Philippa mengusap mulut. “Kau akan melakukan hal yang sama,” ujarnya.
John mengangguk dan menggenggam tangan adiknya dengan penuh rasa terima
kasih.
“Kami pikir tidak akan pernah bertemu Paman lagi,” ujar Philippa.
“Memang nyaris tidak,” Nimrod mengakui. “Aku mungkin akan lama berada di
bawah sini.” Dia me ngembuskan napas, mengeluarkan saputangan, lalu
mengusap air mata. “Aku berutang nyawa kepada kalian, Anakanak, aku
berutang nyawa.”
“Tapi aku sudah mengatakannya,” bantah Nimrod. “Dan janji seperti itu tidak
dapat dicabut.”
“Kalau begitu, aku berharap aku tidak punya tiga permintaan lagi,” kata
Groanin. “Aku telah menyadari sesuatu yang sangat penting tentang permintaan.
Terkadang kita ditakdirkan untuk tidak menginginkan apa pun yang kita minta
setelah kita
“Katakata yang bagus, Mister Groanin,” ujar Nimrod. “Katakata yang bagus.”
Kemudian dia mena tap si kembar. “Omongomong, adakah di antara kalian yang
mendengar kata yang keluar dari bangkai kalajengking itu?”
“Bukan kata yang kukenal,” jawab Philippa. Lalu dia mengangkat bahu.
“Kedengarannya seperti Rabat.”
Nimrod menggelengkan kepala dengan sangat tegas. “Tidak. Sama sekali tidak.”
Sementara itu, Mister Rakshasas telah mewujud kan diri kembali dari lampu
kuningannya. Setelah meminjam senter John, dia mulai memeriksa berbagai
relief indah di dinding makam. Dengan diberi kekuatan sihir, ukiranukiran batu
itu dimaksudkan untuk melancarkan jalan orang Mesir yang sudah mati ke alam
baka dan menyimpannya untuk selamanya. Mister Rakshasas menyentuh
ukiranukiran itu dengan ujung jari, seperti orang buta yang membaca huruf
Braille. Sementara si kembar tidak punya banyak pilihan kecuali mengikutinya
berkeliling makam atau tinggal dalam kegelapan.
Nimrod dari suatu tempat dalam kegelapan. “Membentang sampai ratusan meter,
sejauh bebatuan tempat aku meninggalkan mobil, di mana ada pintu masuk lain
yang dibuka oleh gempa itu. Ikatan yang dipakai Hussein Hussaout pasti telah
menutup keduanya menggunakan semacam badai pasir saat dia pergi. Aku
berjalan sampai ke sini dengan harapan menemukan jalan keluar lain itu. Tapi
tampaknya ini semacam labirin dalam kegelapan, aku tidak bisa menemukan
pintu masuk awal.”
“Lihat semua hieroglyphic ini,” kata Mister Rakshasas. “Tidak ada satu pun kata
yang umum digunakan orang Mesir untuk menyebut Osiris, dewa alam baka.
Semua relief ini hanya memberikan penghormatan kepada Aten. Ini memang
makam Akhenaten.”
Mister Rakshasas menunjuk sebuah lukisan Mesir kuno besar, yang menutupi
satu dinding makam kosong itu. Lukisan itu menggambarkan seorang pria
jangkung dengan tongkat emas kerajaan yang mengantarkan cahaya matahari ke
arah tubuh-tubuh telanjang dari beberapa lusin pria yang berlutut di hadapannya.
“Tapi ini,” katanya bersemangat. “Ini benarbenar tidak diragukan lagi. Bagi
orang yang memiliki pengetahuan tentang sejarah Jin, kisah dalam gambar-
gambar ini cukup jelas. Para pendeta yang berlutut di hadapannya berjumlah
tujuh puluh, jumlah yang sangat aneh bagi orang Mesir untuk dipilih, tapi aku
menduga ini adalah gambar tentang Jin Akhenaten yang menghilang.” Mister
Rakshasas menoleh ke arah Nimrod di belakangnya. “Hiasan kepala yang
menarik. Benar, Nimrod?”
“Aku memikirkan hal yang sama,” sahut Nimrod. “Pada sebagian besar hiasan
kepala Mesir, seluruh tubuh dewi ular, Wadjet, muncul di bagian depan. Tapi
tubuh ular ini sepertinya menjulur melingkari kepala Raja. Kelihatan lebih jelas
juga. Nyaris mirip ular sungguhan. Tubuh hitam dan emasnya sangat mirip ular
kobra Mesir. Dan perhatikan cara Wadjet memegang Aten - cakram matahari - di
bawah tubuhnya, nyaris seperti…,” Nimrod meninju telapak tangannya. “Ya,
tentu saja. Kenapa kita tidak memahami ini sebelumnya?”
“Selama ribuan tahun suku kita telah dibingung kan tentang bagaimana manusia
bisa mengendalikan begitu banyak Jin. Tujuh puluh. Tapi hiasan kepala ini
sepertinya menunjukkan bahwa selama ini Akhenaten bukan berkedudukan
sebagai majikan. Dia justru dikendalikan salah satu Ifrit yang suka
memunculkan beberapa ular dan kalajengking.”
“Itu dapat menjelaskan banyak hal,” Mister Rak shasas menyetujui. “Seperti,
mengapa Ifrit lebih banyak tahu tentang ini ketimbang kita.”
“Kau tak berpendapat mereka sudah mendapatkan ketujuh puluh Jin Akhenaten
yang hilang, kan?”
“Kalau benar,” usul Philippa, “mereka takkan bersusah payah seperti ini untuk
menyingkirkanmu, kan?”
“Tapi yang mana?” timpal Nimrod. “Wadah seperti itu bisa berada di mana saja.
Kalau salah
* Canopic adalah wadah tempat me nyimpan organ tubuh orang yang dimumi.
Ada yang berbentuk kepala babon (napi), kepala manusia (imsety^ kepala
serigala (duamutefX dan kepala elang (qebehsenuef).
“Kalau begitu tebakan Ifrit tentang letak harta karun itu mungkin sama seperti
tebakan kita,” ujar Philippa.
“Mungkin,” Nimrod sependapat. “Tapi sebenarnya ada satu orang yang bisa
menjawab pertanyaan ini. Hussein Hussaout, orang yang menemukan Makam
42.” Dia melirik arlojinya. “Lagi pula, dia berutang penjelasan. Akan berguna
kalau kita berkunjung ke rumahnya dalam perjalanan pulang. Dia pasti tidak
mengharapkan kedatangan kita malam ini.”
“Tak ada waktu untuk menyewa mobil,” jelas John. “Jadi kami harus
menggunakan kekuatan Jin.” Dia menggeleng-gelengkan kepala. “Aku tahu, aku
tahu. Rodanya salah. Dan warnanya…”
“Ya, kelihatan seperti sesuatu yang akan diberikan syeikh minyak Arab untuk
istrinya yang paling tidak dia sayangi. Meskipun begitu, mengingat ada sekitar
dua puluh ribu suku cadang pada sebuah mobil, kupikir kalian melakukannya
dengan cukup bagus, sungguh.” Dia tersenyum. “Pertanyaannya: Apa yang akan
kita lakukan pada mobil itu sekarang? Menyim pan dan mengendarainya
kembali ke Kairo untuk menerima olok-olok dan tawa dari orangorang? Atau
menyingkirkannya?”
“Itu jawaban tepat,” kata Nimrod. Dan sete lah mengibaskan tangan, dia
menyihir Ferrari berpe nampilan aneh itu hingga menghilang. “Nah, sekarang
bagaimana dengan eskavator itu?”
“Sudah kuduga. Tampak terlalu biasa untuk diciptakan oleh kalian berdua.
Pertama, oranye bukan warna favoritmu, Philippa. Aku yakin kau lebih suka
yang berwarna merah muda, kan? Kebetulan, kalau meminjam sesuatu, selalu
berusahalah untuk mengembalikannya dalam kondisi lebih baik daripada saat
kau menemukannya. Demi sopan santun.” Dan bahkan sementara dia bicara,
eskavator Tata Hitachi itu mendapat polesan cat oranye baru, ban-ban baru,
kotak perlengkapan baru, dan setangki penuh bensin.
“Kalian tidak tahu betapa aku sangat menantikan saat ini,” katanya sambil
mengisap cerutu dengan sangat gembira. “Sejujurnya, kupikir aku mungkin tidak
akan pernah merasakan cerutu ini lagi.”
Mereka semua berdesakan di dalam mobil dan meng ikuti eskavator itu.
Sedangkan John, yang
“Ada apa?” Nimrod bertanya kepada seorang pria dalam bahasa Arab.
“Bagaimana bisa?”
“Kata orang dia dirampok. Tapi aku sendiri mendengar kalau dia digigit ular.”
TAMU-TAMU MUDA
“Kita berharap Baksheesh tidak terluka,” timpal Nimrod. “Kita harus memasuki
toko itu, dan mencari tahu tepatnya apa yang terjadi. Tapi, kemungkinan ada Ifrit
yang mengawasi tempat ini, dan aku juga tidak ingin kita menghabiskan malam
di kantor polisi dan menjawab banyak pertanyaan bodoh. Itu akan terjadi kalau
kita muncul di depan pintu dan berkata bahwa kita mengenal Hussein Hussaout
yang malang. Polisi Kairo terkenal tidak efi sien.”
“Kita harus meninggalkan jasad kita di gereja ini,” jawab Nimrod. “Takkan ada
yang mengganggu kalau orangorang menyangka kita sedang berdoa. Lalu kita
akan melayang kembali ke gang itu dan memasuki jasad tiga orang polisi,
caranya sama seperti kita memasuki jasad unta-unta itu. Mudah sekali.”
menjadi unta betina, tapi kini di harus menjadi polisi pria. Ide memasuki jasad
pria dewasa, meskipun hanya beberapa menit, sangatlah mengganggunya.
“Mengapa kita tidak melayang berkeliling saja?” tanya Philippa. “Mengapa kita
harus memakai jasad orang lain?”
“Sederhana,” jawab Nimrod. “Kalau kita ingin seseorang bicara pada kita, itu
akan lebih mudah. Dan itu satusatunya cara agar kita bisa mengambil sesuatu
dan memeriksanya. Lagi pula, kalau kita berada di luar jasad terlalu lama,
risikonya akan terseret ke antariksa. Ketahuilah, jasad itu seperti jangkar.
Membuat kita tertanam kuat di atas bumi.” Dia menggelengkan kepala dengan
ramah. “Tapi kalau kau merasa tidak senang pada ide ini, Philippa, tinggal
sajalah di sini dan awasi jasad kami.”
Philippa memandang berkeliling gereja kecil yang aneh itu. Mulai dari langit-
langit kunonya yang tampak seperti perahu terbalik, lalu lampu minyak menyala
yang menggantung pada rantai panjang. Gereja itu tampak seperti berumur
seribu tahun. “Bagaimana kalau ada yang me lakukan sesuatu pada jasad kita?”
tanyanya.
“Di dalam gereja?” Nimrod berlutut di atas bantal dan membungkuk dalam sikap
berdoa. “Kau akan mengganggu orang yang kelihatan seperti ini?”
“Mundanes,” ujar Nimrod. “Dari bahasa Latin mundus, yang berarti ‘dunia’.
Kadang-kadang itu sebutan kita bagi manusia. Bagaimana pun juga, ingatlah apa
yang telah kukatakan. Banyak takhayul dan kepercayaan-ke perca yaan dunia
yang disebabkan oleh Jin ceroboh atau Jin jahat yang berbicara pada mundanes
saat berada di luar jasad. Jadi, bila kalian menginginkan itu dalam hati, aku
sarankan kalian tetap diam. Apa lagi ya? Oh ya. Usahakan untuk tidak
menjatuhkan apa pun kecuali kalian ingin orang berpikir mereka dihantui oleh
hantu. Percayalah, itu cukup mudah dilakukan bila kalian tidak melihat kedua
tangan atau kaki kalian sendiri.
“Satu lagi. Meskipun takkan menjadi masalah pada malam yang hangat seperti
ini, tapi ingatlah selalu. Bila kalian dalam keadaan tidak kelihatan, jangan berdiri
dalam hembusan udara dingin. Hawa dingin sangat merusak kekuatan Jin. Dan
dalam keadaan tidak kelihatan, itu dapat membuat kalian menjadi semi
transparan, sehingga kalian bisa tampak seperti hantu.”
“Apakah itu berarti tidak ada yang namanya hantu?” tanya Philippa.
“Hantu jelas ada. Tapi hantu manusia. Sebagian besar mereka tidak berbahaya.
Tapi hantu manusia bisa menjadi sangat jahat kalau dirasuki roh Jin yang sudah
mati. Kirakira begitulah menurutku.
Untungnya aku tidak pernah bertemu dengan hal-hal semacam itu. Ketahuilah,
pada dasarnya Jin tidak menjadi hantu. Tapi bukan sesuatu yang aneh bagi roh
Jin untuk memasuki hantu manusia dengan cara yang sama seperti kita
memasuki jasad manusia.
“Tapi, seperti yang kukatakan, semua itu sangat berbeda dengan pengalaman
keluar dari jasad seperti yang akan kita alami sekarang.” Nimrod tersenyum.
“Cobalah untuk rileks dan menikmatinya. Kalian akan merasa aneh, tapi kita
akan segera menemukan beberapa jasad dan segalanya akan beres lagi. Aku
janji.” Dia mengangguk ke kanan dan kiri. “Ayo kalau begitu.”
John berlutut di sebelah kiri Nimrod dan menun duk. “Siap,” katanya.
“Siap,” ujar Philippa yang meniru sikap itu di sebelah kanan Nimrod.
Philippa melontarkan jeritan kecil saat merasakan dirinya terangkat keluar dari
tubuhnya sendiri. Sejenak terasa seperti tumbuh lebih tinggi, semakin
tinggi, kecuali saat menunduk, dia mendapati dirinya sedang menatap orang
berambut merah dan berkacamata. Beberapa detik kemudian, barulah dia
menyadari, dengan tersentak, kalau itu adalah kepalanya sendiri. Mengapa dia
bisa punya rambut yang seperti itu?
John juga tidak kurang bingungnya disbanding Philippa. Dia merasa akan
gampang panik, kecuali ketika merasakan tangan Nimrod yang menggenggam
tangannya,
“Wajar kalau terasa agak aneh,” ucap Nimrod yangmerasakan ketakutan mereka.
“Tarik napas dalam-dalam dan ikuti aku.”
“Kalau kita tidak di sini, lalu di mana kita berada?” tanya John saat mereka
melayang kembali ke lorong gelap menuju toko barang antik itu.
“Bisa dibilang kita sedang menempati dua dimensi yang berbeda,” jawab
Nimrod. “Atau, lebih tepatnya lagi, jasad kita berada di satu sisi pagar, tapi roh
kita berada di sisi pagar lainnya. Aku bisa menjelaskannya dengan cara yang
lebih ilmiah, tapi kalian memerlukan gelar dalam ilmu fisika untuk
memahaminya. Mungkin dua gelar.”
“Oh, jangan bilang begitu,” tukas Nimrod. “Semua yang dilakukan dan
dikerjakan Jin adalah hasil dari hukum fi sika. Suatu hari kau akan
memahaminya.”
“Tak masalah, selama aku tidak harus mengikuti ujian untuk membuktikan kalau
aku bisa mema
Tanpa diketahui, mereka melintas melewati garis polisi dan berjalan ke dalam
toko yang terang ben derang dan dipenuhi polisi. Salah seorang polisi tampak
sedang menggunakan sepotong kapur kuning untuk menggambar garis
mengelilingi mayat Hussein Hussaout, yang terbaring di lantai di antara papan
catur dan takhta Mesir. Bagi si kembar, pria yang mati itu tampak sangat mirip
Baksheesh saat sakit di ranjang; bibir dan tangannya biru sekali.
“Di sana,” bisik Nimrod. “Kelihatannya ada tiga tubuh yang cocok di sana.”
Nimrod meremas tangan keponakan perempuannya dengan penuh arti, dan
membimbing si kembar melayang ke udara tepat di atas ketiga polisi yang tidak
menyadari apa yang sedang terjadi. “Jagalah agar jari kaki kalian tetap di bawah,
dan tatapan kalian terpusat pada polisi pilihan kalian,” kata Nimrod berbisik.
“Ini tidak lebih sulit daripada memakai pakaian basah. Begitu sudah masuk,
kalian akan mendapati bahwa roh yang menempati jasad itu akan kelabakan
dengan kedatangan kalian, sehingga mereka tidak akan mengganggu kalian sama
sekali. Mereka bahkan tidak akan ingat apa-apa setelah itu.”
“Aku bisa mengingat hal-hal aneh,” John meng akui. “Beberapa di antaranya
tidak menyenangkan.”
Mereka mengikuti polisi berpangkat sersan itu keluar melewati pintu belakang,
melintasi kebun, dan menaiki tangga kayu menuju tempat tinggal di mana
mereka menemukan Baksheesh sendirian di dalam kamarnya. Anak itu duduk
sambil terisak lirih di pinggir ranjang kuningan di mana si kembar pertama kali
melihatnya. Si sersan berlutut di hadapannya dan menggenggam kedua tangan
Baksheesh.
“Dengar baik-baik, Baksheesh,” ujar sersan itu. “Jangan takut dengan apa yang
akan kukatakan. Ayahmu orang yang baik. Dan dia temanku.”
“Aku tahu dia sudah menceritakan kepadamu segalanya tentang Jin. Jadi aku
tahu kau takkan takut bila kuberitahu bahwa yang sedang berbicara padamu kini
adalah Nimrod yang masuk ke dalam jasad polisi.”
Sejenak bocah itu tampak ngeri, matanya melebar ketakutan, dan si kembar
mendapat kesan kuat bahwa dia akan lari keluar ruangan sambil menjerit. Tapi
Nimrod tetap menggenggam kedua tangannya. Dan dengan suara yang hampir
menghipnotis, dia terus berbicara hingga Baksheesh tenang.
“Kau sudah mati?” tanya bocah itu kepada si sersan. “Karena itukah kau berada
di dalam jasad ini sekarang?”
“Tidak, aku tidak mati,” jawab si sersan. “Aku berada di dalam jasad ini karena
ada kemungkinan kalau orangorang yang membunuh ayahmu masih mengawasi
tokomu.”
“Kau ingat anak lakilaki dan perempuan yang dating menemuimu kemarin
malam?” tanya sersan polisi itu. “Keponakan-keponakanku. Saat itu mereka
mencariku. Kau ingat?”
“Mereka juga Jin,” papar sersan itu. “Dan mereka bersamaku sekarang. Di dalam
jasad polisi lainnya. Philippa, kemari dan bicaralah kepada Baksheesh dengan
suaramu sendiri, kalau kau bisa.”
Philippa berlutut di samping sersan itu dan berusaha untuk menggerakkan wajah
yang mengekspresikan rasa simpati. Yang mengejutkan Philippa, ternyata ia
masih bisa menggunakan suaranya sendiri.
“Aku senang pamanmu baik-baik saja,” kata Baksheesh. “Ayahku, dia tak
bermaksud melukaimu.”
“Palis?” ucap si sersan. “Si penjilat kaki? Dia juga ada di sini?”
“Dia Jin yang sangat jahat,” ujar Baksheesh sambil me lihat kakinya yang
diperban.
Sersan itu memandang Philippa dan menjelaskan, “Palis menjilat telapak kaki
sampai dia bisa mengisap darah kita. Lidahnya kasar, seperti ampelas. Seperti
kerbau. Cukup kasar untuk mengelupas kulit hanya dengan beberapa jilatan.
Setelah itu dia meminum darahmu.” Sambil berbalik ke arah Baksheesh, dia
berkata, “Kau beruntung dia hanya
“Tidak, aku hanya mendengar suaranya yang begitu lembut sehingga kau akan
berpikir kalau dia sangat baik. Tapi dia selalu berada dalam kegelapan. Kurasa
dia takut membiarkan aku melihatnya. Selalu dalam kegelapan. Selalu berbicara
lembut, seperti ular yang dating bersamanya. Ular kobra Mesir bergaris-garis.
Ular terbesar yang pernah kulihat.”
“Katakan apa yang terjadi pada ayahmu,” perintah Nimrod. Bocah itu tidak
bicara selama beberapa saat. Nimrod pun menambahkan, “Kalau kau ingin aku
membalaskan dendam ayahmu, aku harus tahu apa tepatnya yang telah terjadi.”
“Jin Akhenaten yang hilang,” ucap Nimrod. “Apa kah Ifrit memiliki Jin yang
hilang itu?”
“Tidak.” Bocah itu tersenyum. “Mereka menga jukan banyak pertanyaan pada
ayahku. Kurasa mereka masih mencari.”
“Apakah kau akan baik-baik saja, Baksheesh?” Tanya Philippa. “Siapa yang
akan menjagamu? Kami bisa membantumu?”
“Aku punya bibi di Alexandria dan seorang paman di Heliopolis. Kurasa mereka
mau menjagaku.”
“Jangan lupa kalau kau punya seorang paman di Inggris,” celetuk si sersan
ramah. “Suatu hari, bila kau sudah lulus sekolah, temui aku dan aku akan
membantumu mewujudkan apa pun yang ingin kau lakukan. Akan kukirimkan
alamatku. Kau mengerti?”
“Tidak,” ucap si sersan. “Tak ada waktu untuk itu. Akan lebih cepat kalau kita
melakukan perjalanan sebagai roh. Cepat. Genggam tanganku.”
Saat si kembar meraih tangan sersan polisi yang terulur, mereka merasakan diri
mereka melayang naik ke langit-langit lagi. Hanya saja kali ini lebih cepat.
“Apa yang akan kita lakukan sekarang?” tanya John, saat mereka melayang ke
luar toko dan kembali melewati kegelapan, menyusuri lorong berkerikil ke arah
sebuah gereja kecil.
“Kita harus menemukan Iblis dan pengikut-pengikut setia Ifrit sebelum mereka
menemukan Jin Akhenaten yang hilang,” jawab Nimrod. “Untuk melakukan itu
kita harus membawanya keluar dari kegelapan dan berada di tempat terbuka.”
Setelah menempati kembali jasad mereka sendiri di dalam gereja kecil yang
aneh itu, mereka berjalan melewati jalanan gelap ke tempat mereka
meninggalkan Cadillac. Mereka berjalan agak sempoyongan. Mungkin itu
karena si kembar belum terbiasa melakukan transisi dari jasad menjadi roh dan
kembali lagi. Setelah melihat mereka lagi, Creemy segera menyalakan lampu
depan mobil untuk membantu mereka menemukan jalan.
“Besok aku punya tugas penting untuk kalian,” kata Nimrod kepada si kembar
setelah mereka berada di Garden City lagi.
“Ini ada kaitannya dengan membawa Iblis ke tempat terbuka?” tanya John.
“Ya,” jawab Nimrod. “Akan kutunjukkan apa yang ada dalam benakku.” Dia
mengawal mereka ke atap ru mah. Sesampainya di sana, Nimrod menunjuk ke
seberang halaman rumput gelap yang membatasi rumah nya, tepatnya ke arah
rumah Duta Besar Perancis, yang terletak di balik dinding kebunnya. Rumah itu
terang benderang. Tampak para petugas keamanan yang terus bergerak, dan juga
terlihat seberkas cahaya membara dalam menara kotak bergaya Italia.
“Kalian lihat menara itu?” tanyanya. “Itu perpustakaan Duta Besar Perancis.
Selain tekun mempelajari sejarah Mesir, Duta Besar itu juga seorang ahli astro
nomi amatir. Perpustakaan itu berisikan banyak buku dan sebuah teleskop yang
canggih. Dengan meng gunakannya, seseorang bisa melihat hampir semua yang
sedang terjadi di sisi rumah ini dan kebun. Besok aku akan meminta ijin Mrs
Coeur de Lapin agar kalian bisa menghabiskan siang hari melihatlihat buku
dalam perpustakaannya.”
“Kami bukan sekadar anakanak,” bantah Philippa. “Kalau bukan karena kami,
kau masih terjebak di dalam makam itu.”
“Karena itu aku sudah pasti sangat berterima kasih kepada kalian,” sahut
Nimrod. “Tapi boleh, kan, aku selesaikan bicaraku?”
“Karena aku akan memasang jebakan buat Iblis. Aku membutuhkan kalian untuk
mengoperasikannya.”
“Akan kusebarkan informasi bahwa aku telah menemukan kotak berisi Jin
Akhenaten yang meng hilang. Aku akan mendatangi berbagai tempat di Kairo,
di mana Ifrit kadang-kadang terlihat. Seperti Kafe Ibis yang terletak di belakang
Hotel Hilton Kairo, atau Groppi’s, tentunya, dan juga di Klub Penari Perut
Yasmin Alibhai. Kalau ber untung, Iblis akan muncul dan mencuri kotak itu
untuk suku Ifrit. Tentu saja dia akan mendapati rumah ini kosong. Dia pun akan
memanfaatkan ketidakberadaan kita untuk menggeledah. Dan melalui teleskop
Mister Coeur de Lapin, kalianlah yang akan mengamati ketika dia menemukan
kotak kayu Dinasti abad ke-18 dengan nama Amenophis III. Di dalam kotak
itu sudah aku pasang jebakan khusus. Sebuah cara yang jitu untuk
menangkapnya.”
“Dari mana kau akan dapat kotak seperti itu?” Tanya Philippa.
“Aku punya satu di kamar tidurku,” ujar Nimrod. “Kupakai sebagai kotak obat.
Tentu saja Iblis tidak bodoh, dan dia pasti akan merasakan kalau aku atau Mister
Rakshasas berada tak jauh dari situ. Tapi kurasa dia tidak akan mendeteksi kalian
berdua di rumah sebelah. Karena kalian dianggap belum sepenuhnya dewasa.
Kalian pun tidak memancarkan aura kekuatan yang sama sepertiku atau seperti
Mister Rakshasas.” Nimrod mengatakan hal itu sambil mengangkat bahu, “Dan
seperti itulah. Begitu melihat Iblis tertangkap di dalam kotak tadi, kalian bisa
menelepon ke pon selku.”
“Beberapa mil dari sini. Begitu aku tahu Iblis sudah masuk perangkap, aku akan
segera datang dan menyelesaikan proses pemenjaraannya. Sudah pasti Creemy
dan Mister Groanin akan ikut bersamaku. Tak ada gunanya mereka menghadapi
berbagai risiko yang tidak perlu. Sungguh susah menemukan pelayan-pelayan
yang baik seperti Groanin dan Creemy.”
Mata Philippa menyipit curiga. Ada sesuatu dalam rencana Nimrod yang tidak
dia percayai. “Apa Paman hendak menyingkirkan kami?” dia bertanya dengan
curiga pada Nimrod. “Agar Paman bisa pergi dan melakukan sesuatu yang lebih
berbahaya di
tempat lain?”
“Seperti yang kalian sadari,” bantah Nimrod. “Mrs Coeur de Lapin sangat
menyukai kalian. Aku pikir dia takkan berkeberatan bila kalian melihat melalui
teleskop milik suaminya. Kurasa dia akan kurang membantu danenggan kalau
aku atau Creemy atau Mister Groanin yang meminta masuk ke perpustakaannya.
Tidak, aku tidak perlu berusaha menyingkirkan kalian. Kalau kalian mau me
mikirkannya, seluruh rencana ini tergantung pada kalian, Anak-anakku sayang.”
“Oke,” sahut Philippa. “Akan kami kerjakan apa pun yang Paman katakan.”
Keesokan paginya mereka bangun dan mendapati semua koran di Mesir memuat
artikel tentang pen dobrakan sensasional di Museum Purbakala Kairo pada
malam sebelumnya. Tanpa memerhatikan emas peninggalan yang menakjubkan
milik si Raja-Bocah Tutankhamen, para penyusup itu memusatkan usaha mereka
di tempat pajangan artefak dinasti ke-18 yang tak berharga. Yang lebih membuat
koran dan polisi penasaran, tidak satu pun dari artefak itu yang benarbenar
diambil, namun hanya dikeluarkan dari kotak pajangannya. Kotak itu adalah
sebuah tongkat kerajaan dan beberapa patung kecil shabti yang terpecah, serta
beberapa vas yang digunakan untuk menyimpan organ tubuh orang Mesir yang
dimurnikan. Sewaktu dibuka, mumi itu telah rusak.
“Tak diragukan lagi,” jawab Nimrod. “Dinasti ke-18 adalah periode yang tepat
untuk artefak Akhenaten. Harus kukatakan ini semua sangat mendukung rencana
kita.”
“Apa menurutmu mereka tidak menemukan yang mereka cari?” tanya John.
memasuki museum sekitar jam sembilan. Tapi Hussein Hussaout dibunuh oleh
ular sekitar tengah malam. Mereka takkan repotrepot membungkamnya kalau
sudah mendapatkan apa yang mereka cari. Aku berani taruhan, ada banyak
museum di seluruh dunia, yang akan disusupi seperti ini tanpa ada yang dicuri.”
“Kita harus sampai di sana lebih dulu,” tegas Nimrod. “Itulah yang dituntut
Homoeostasis.”
“Baik sekali si Nimrod,” ujar Mrs Coeur de Lapin saat melihat parfum itu.
“Paman kalian itu sangat menawan.Dan, untuk ukuran pria Inggris, juga sangat
romantis. Menurutku kalian beruntung sekali memiliki paman seperti itu. Pria
yang sangat menarik.”
“Mrs Coeur de Lapin, masalahnya aku ingin membaca dan melihat situs
arkeologi agar bisa lebih meng hargainya,” ujar Philippa.
“Dan aku tertarik melihat burung, Aku berharap boleh memakai teleskop untuk
melihat burung-burung di kebun kami,” ucap John.
“Kalian yakin?” tanya Mrs Coeur de Lapin. “Kita bisa bertamasya menaiki
perahu, kalau kalian mau. Atau mungkin kita bisa pergi ke kolam renang di Nile
Hilton. Kolam renangnya bagus sekali, menurutku itu yang terbaik di Kairo. Dan
kita akan disajikan makan siang yang lezat di sana. Atau, mungkin perjalanan ke
piramida di Saqqara.”
“Tidak, sungguh,” kata John. “Perpustakaan saja sudah cukup. Sejujurnya kami
terlalu sering berjemur beberapa hari belakangan ini, dan kami ingin tinggal di
ruangan yang ada alat pendinginnya.”
Philippa mengangguk, dia berpikir kalau John mau, maka saudara kembarnya itu
bisa jadi pembohong yang meyakinkan.
Tempat itu sama sekali tidak seperti yang mereka bayangkan. Sangat bersih
dengan sekian kegunaannya, dan terdapat banyak lukisan abstrak jelek, karpet
krem, perabotan yang dulunya sangat modern tapi sekarang tampak ketinggalan
zaman,
serta selusin rak besi panjang penyimpan ratusan buku kusam. Kotak-kotak kaca
diatur di sekeliling ruangan untuk memajang beberapa artefak Mesir kecil
koleksi pasangan Coeur de Lapin. Sementara di jendela, di sebelah meja yang
ada komputer dan beberapa gelas anggur elegan, berdiri sebuah teleskop besar di
atas tripod alumunium.
Philippa melihat bendabenda itu, lalu dengan sopan me meriksa beberapa buku.
“Anda pasti tahu banyak tentang Mesir,” katanya. “Anda ini seorang arkeolog
atau apa?”
John menunjuk ke arah selusin patung hijau kecil yang berbentuk seperti mumi
terletak di atas rak perapian pualam polosnya. “Semua itu dari makam?”
“Ya. Disebut patung shabti dan dirancang untuk menjadi pelayan orang Mesir
yang sudah mati di alam baka.” Mrs Coeur de Lapin mengambil salah satu
patung hijau kecil tersebut dan menunjukkannya lebih dekat pada si kembar.
“Aku suka memegang patung-patung ini, karena sudah sangat tua. Patungpatung
ini membuat seolah aku telah kembali ke masa lalu. Aku merasa hampir bisa
memahami seperti apa rasanya hidup di zaman Mesir kuno. Kalian mengerti?”
Mrs Coeur de Lapin tersenyum sambil menyisir rambut John dengan jari. John
bergidik. Dia tidak suka orang menyentuh rambutnya, terutama Mrs
“Kurasa aku tahu cara memakainya,” sahut John. Dia mengangguk berterima
kasih dan setelah menaiki tangga kecil di sebelah teleskop itu, John mengatur
lensanya ke arah jendela berdaun dua pada ruang gambar Nimrod yang terbuka.
Kotak Firaun Mesir itu berdiri di tengah lantai. Dengan menyesuaikan viewfi
nder-nya, John bahkan dapat melihat membaca tulisan hieroglyphic yang
menutupi kayu berwarna emas itu. Pikirnya, siapa saja yang hendak membuka
kotak itu pasti terlihat dari teleskop ini; rencana ini pasti akan berhasil. Dia tidak
terlalu yakin apa jadinya jebakan Jin itu karena Nimrod agak samar-samar
menceritakannya, tapi kalau Iblis muncul, John berpikir segalanya akan menjadi
lebih jelas.
“Kau cukup ahli melihat dengan teleskop, John?” tanya Mrs Coeur de Lapin,
menyisiri rambut John dengan tangannya lagi. “Kau tahu cara kerjanya, ya?”
“Ya,” jawab John tidak nyaman. “Ya, aku tahu, terima kasih.” Ada sesuatu yang
sedikit ganjil tentang Mrs Coeur de Lapin. Mungkin karena ikat kepala hitam
dan emas yang selalu dipakainya, yang dianggap John akan membuat wanita itu
tampak seperti suku Apache. Atau mungkin karena bola mata birunya yang
membosankan dan nyaris
tanpa kehidupan itu, yang sepertinya menatap lurus menembus John, bahkan saat
dia tersenyum. Yang mana pun itu, tidak mungkin menjauhkan diri dari
kenyataan kalau Mrs Coeur de Lapin membuat John merasa sangat kikuk dan
gelisah.
Si kembar berpikiran sama bahwa Mrs Coeur de Lapin agak berlebihan. Namun
Philippa senang sekali lantaran kali ini John-lah yang harus banyak bicara
dengan wanita itu. Gadis itu pun mulai memeriksa beberapa buku di rak Mrs
Coeur de Lapin, Sementara John mulai melihatlihat koleksi kumbang milik
wanita itu berupa perhiasan giok dan lazuardi yang berwarna agak cerah.
Sesekali dia mencari kesempatan untuk melihat melalui teleskop. Sebagian besar
buku ini ditulis dalam bahasa Inggris - selain dalam bahasa Prancis - tampaknya
berhubungan dengan Egyptologi dan Firaun. Dia duduk di kursi modern yang
terletak di sudut, dan tampaknya dia merasa kurang nyaman. Dia pun mengambil
buku lain di lantai, yang seperti nya sedang dibaca Monsieur Coeur de Lapin.
Dia menduga itu karena ada sebuah kacamata baca terge letak di atasnya, dan
halamannya telah diberi tanda sobekan kertas majalah atau katalog.
Dan yang mengejutkan Philippa, buku itu tentang Akhenaten, bagitu juga buku
lainnya yang tergeletak di lantai di sebelah kursi. Penemuan itu menyebarkan
rasa dingin ke seluruh darah Jinnya yang panas, dan dia merasa jantungnya
mulai
Philippa menatap istri Duta Besar Prancis tersebut sambil berharap agar dia tidak
terlihat kalau sedang memerhatikannya. Sekarang Mrs Coeur de Lapin tertawa
kecil mendengar lelucon jelek John Menurut Philippa, Mrs Coeur de Lapin
sangatlah aneh. Begitu juga sikapnya yang konyol, kuku panjangnya yang tolol,
perona matanya yang tebal, dan ikat kepalanya yang aneh. Mengapa dia harus
selalu memakai ikat kepala konyol itu - seperti cewek gaul tahun 1920-an? Dan
mengapa ikat kepafa itu tibatiba tampak akrab, seolah dia pernah melihatnya di
tempat lain barubaru ini?
Dan apakah hanya khayalannya saja, atau memangikat kepala itu sepertinya
sedikit bernyawa?
“Apa artinya sama dengan yang aku maksud?” Tanya John. Dia berkeliling
memandang saat menyadari se seorang telah menghidupkan komputer.
Mrs Coeur de Lapin mengeluarkan tawa seperti mainan yang mendecit. “Ya,”
katanya. “Mereka mengumpulkan tahi biri-biri atau unta, membentuknya
menjadi bola seukuran bola tenis, lalu mengge-lindingkannya ke sarang mereka
di bawah tanah, di mana kumbang betina meletakkan telur-telurnya pada bola
itu. Dan saat larvanya menetas, mereka memakan kotoran itu.”
“Yang benar saja,” seru John. Melihat Mrs Coeur de Lapin tampak tidak
mengerti, dia menambahkan dengan cara menerjemahkan, “Anda bercanda.”
“Tidak,” tawa Mrs Coeur de Lapin. “Aku tidak bercanda.” Dia berjalan menuju
komputer dan mematikannya. “Kau yang menyalakan komputer ini?” tanyanya
pada John.
John terlalu terguncang akibat memikirkan kum bang tahi sehingga tidak
menjawab pertanyaan ini.
“Mereka makan tahi unta?” katanya. “Aku tidak tahu apa yang keramat tentang
itu. Dan kumbang hamper pasti bukan jenis binatang yang akan kugunakan
sebagai inspirasi untuk hiasan.” Dia menyeringai aneh, seperti orang mati, dan
mencuri kesempatan untuk melihat ke dalam teleskop yang
“Sebaliknya,” ujar Mrs Coeur de Lapin. “Kumbang tahi adalah hewan kecil yang
hebat. Orang Mesir percaya kalau kumbang itu mewakili Ra, dewa matahari
mereka. Ra adalah dewa Mesir yang menggulirkan matahari me lintasi langit dan
menguburnya setiap malam. Persis seperti kumbang tahi. Kumbang berukir ini
diharapkan bisa memberi pemiliknya karakteristik yang sama dengan kumbang
tahi.”
“Tak apa-apa,” ujar Mrs Coeur de Lapin. Lalu dia membungkuk untuk
memungut kumbangnya. “Buatannya sangat kuat. Bahkan sekarang setelah
beberapa ribu tahun, kumbang ini hampir tidak
mungkin pecah.”
Saat Mrs Coeur de Lapin membungkuk untuk mengambil kumbang batu hijau
dari karpet, Philippa memanfaatkan kesempatan itu untuk mendongak ke atas
kepala wanita itu dan melihat ikat kepala hitam-danemasnya dengan lebih
saksama. Saat melakukan itu, dia mendapat kesan tertentu, setidaknya selama
sesaat ikat kepala itu membengkak sedikit dan kemudian kemps lagi, nyaris
seolah ikat kepala itu bernapas. Bahkan, saat Philippa mulai curiga kalau ikat
kepala itu telah menghirup dan mengembuskan udara - dia ingat kenapa ikat
kepala itu seperti telah dikenalnya. Ikat kepala itu hamper identik dengan ikat
kepala yang dikenakan Akhe natenpada lukisan di dinding makam. Hampir iden
tik, kecuali kalau ular emas-dan-hitam ini tidak memiliki kepala belakang yang
jelas.
John tidak melihat apa-apa. Dia terlalu sibuk mengambil kesempatan untuk
melihat ke dalam teles kop lagi saat wanita itu membungkuk mengambil kembali
kumbangnya. Philippa memikirkan cara untuk memastikan apakah ikat kepala
itu memang ular hidup atau itu Cuma khayalannya saja? Apa yang dimakan oleh
ular? Dia bertanya dalam hati. Binatang pengerat kecil? Apakah ular yang
melingkar di kepala istri Duta Besar Prancis itu mau melewatkan makanan
gratis, katakanlah, tikus? Philippa mulai berkonsentrasi dengan kuat, lebih kuat
dan lebih lama daripada biasanya, karena mungkin sesuai untuk pencip taan
makhluk hidup, yang tidak pernah dia lakukan sebelumnya. Akhirnya, saat
konsentrasinya sudah penuh, seberani mungkin dia mengucapkan kata fokusnya
keraskeras.
“FABULONGOSHOOMARVELISHLYWONDE
RPIPICAL.”
“Ehm, aku bilang, terima kasih dan asyik sekali karena Anda telah menunjukkan
koleksi-koleksi yang menakjubkan seperti itu,” ujar Philippa yang berusaha
mengabaikan tikus sawah kecil yang dia munculkan di tumpukan rambut pirang
Mrs Coeur de Lapin.
Philippa berharap kecurigaannya tentang ikat kepala emas dan hitam itu salah.
Bahkan saat dia perhatikan, ikat kepala itu tibatiba mulai bergerak di kepala Mrs
Coeur de Lapin seperti tutup yang melepaskan diri dari leher botol. Dan apa
yang sebelumnya tampak seperti sutra atau satin, kini dengan jelas terungkap
sebagai kulit ular yang mengkilap.
“Aku tidak suka ini,” bisik Philippa. “Sebaiknya kita pergi saja.”
“Jangan pergi,” protes Mrs Coeur de Lapin yang tampaknya tidak menyadari apa
yang sedang terjadi di atas kepalanya. “Kalian baru saja datang.” Kemudian dia
sedikit tersentak, seolah ada per yang memantul di dalam tubuhnya. “Kalian
baru saja datang. Kalian baru saja datang.” Seolah Mrs Coeur de Lapin itu kaset
yang pitanya kusut. “Kalian baru saja datang. Kalian baru saja datang.”
“Kalau saja Nimrod ada di sini.” Setelah menelan tikus, ular kobra Mesir itu
mengangkat kepala dan tubuh bagian atasnya di depan wajah Mrs Coeur de
Lapin dan mulai melepas lilitannya, yang se olah tak berujung, hingga akhirnya
sampai ke lantai. Be gitu sampai di sana, kobra itu mulai membesar sampai tu
buhnya setebal badan manusia dan kepalanya seukuran sekop.
“Jangan tatap matanya,” perintah Philippa. “Ular itu berusaha menghipnotis
kita.”
“Aku tidak keberatan dihipnotis asalkan tidak digigit,” sahut John yang merasa
sudah agak terhipnotis. Dia seperti melihat ular itu telah menumbuhkan tangan
dan kaki, dan berubah menjadi manusia dengan hidung bengkok, janggut tipis
berwarna terang. Ekspresi tidak ramah tampak di wajah tirus orang itu. Satu atau
dua detik kemudian, hewan melata itu telah benarbenar berubah menjadi pria
Inggris tampan bertampang sombong dan licik.
Menyadari kalau dia tak bisa lari, Philippa berusaha me ngendalikan rasa
takutnya. “Iblis, kurasa,” katanya dingin.
“Kau terlalu banyak merasa, katak kecil jelek,” ejek Iblis. “Kalau ada yang lebih
kubenci daripada Jin muda, itu adalah Jin muda dari suku Marid.” Iblis menelan
ludah dan meletakkan satu tangan di atas perut. “Kurasa kalian mengira cukup
pandai dengan ide tikus itu, eh?”
“Apakah kau tahu betapa menjijikkan sebenarnya rasa tikus itu? Uh, aku mual.
Dan badanku bau seperti kandang reptil di kebun binatang London.” Dia
menjilat bagian dalam mulutnya beberapa kali, mendengus seram. Kemudian dia
membuang ludah berwarna hijau dan menjijikkan, ke atas karpet.
“Karena, Nona Bakiak Kecil yang Pintar, itulah ular,” jawab Iblis. “Ular makan
tikus. Aku memakannya tanpa sempat bertanya kepada diriku bagaimana seekor
tikus bisa tibatiba berkeliaran di rambut Mrs Coeur de Lapin. Meskipun dia
orang Prancis, tapi aku yakin dia sering keramas. Itu bertentangan dengan
kebiasaan umum.”
Iblis memakai setelan garis-garis Savile Row, sepatu kulit ular kerajinan tangan,
dan membawa tongkat untuk berjalan dengan kenop perak di bagian atas. Dia
mengendurkan dasi sekolah Eton kunonya, lalu me lepaskan kancing kerah
kemeja Turnbull & Asser-nya. Dia berulang kali terbatuk, dan kemudian batuk
itu berubah menjadi suara muntah yang nyaring.
“Ini gara-gara berubah bentuk menjadi manusia sehabis melahap tikus,” kata
Iblis sambil meludahkan lagi lendir hijau ke lantai. “Gara-gara bulunya.” Dia
muntah lagi. “Tersangkut di kerongkongan. Bahkan ular memuntahkan bagian
itu setelah makan.”
tegukan besar. Selama beberapa saat dia memandang ke arah komputer dengan
jengkel, seolah merasa terganggu. Lalu, dengan mata menyipit, dia menatap si
kembar dengan penuh kebencian. “Tentu saja, aku tak akan mengubah bentuk
menjadi manusia lagi dengan begitu cepat kalau kalian tidak mencelupkan jari-
jari kalian yang kotor itu ke dalam minyak lampuku.”
Dia mengelengkan kepala dengan tidak sabar dan tersenyum mengejek. “Itu ciri
khas suku Marid. Selalu ikut campur. Di sanalah aku, bermurah hati karena usia
muda kalian, lalu kalian melemparkan tikus brengsek itu padaku.” Sekali lagi
Iblis itu muntah dengan menjijikkan, dan kali ini, dia berhasil memuntahkan
tikus tadi ke lantai.
Selama beberapa saat tikus yang basah kuyup itu diam tak bergerak, tapi
kemudian ia bangkit. Tikus itu menggosok-gosokkan kumisnya sejenak lalu lari
ke pintu. Philippa melontarkan sorakan lirih karena tikus itu selamat dari cobaan
berat yang mengerikan.
“Kalian lihat tikus itu?” kata Iblis, dan beberapa senti sebelum tikus itu
mencapai pintu dan meraih kebebasan, Iblis meledakkan makhluk malang itu
menjadi abu dengan satu tatapan tajam. “Setelah aku selesai dengan kalian,” dia
melanjutkan, “kalian akan berpikir kalau tikus itu lebih beruntung dibanding
orang yang jatuh dari pesawat tanpa parasut. Aku belum memutuskan apakah
aku akan
“Jadi itu sebabnya kau selalu mengusap rambut kami,” kata John. “Sudah
kuduga ada yang aneh tentang itu.”
“Dan aku sudah tahu ada yang aneh pada kalian. Sejak aku mengendalikan
wanita ini untuk mengawasi Nimrod. Aku terus mengawasi kalian sejak piknik
itu. Tak ada anak manusia yang suka makan kaviar dan foie grass.” Dengan hati-
hati, Iblis mengambil helai bulu terakhir dari bibirnya.
“Kau memohon supaya tetap hidup?” Iblis duduk di kursi modern yang tidak
nyaman itu dan menyeringai. “Silakan. Setelah makan tikus, aku memang perlu
tertawa terbahakbahak.”
“Kita ada di pihak berlawanan dalam perang ini, Nak. Itulah alasannya. Kau
sebaiknya juga bertanya mengapatikus tidak rukun dengan ular. Aku berurusan
dengan nasib buruk, dan suku kalian berurusan dengan nasib baik. Kecuali
dalam kasus kalian, nasib baik sepertinya berkurang,” ujar Iblis
Iblis mengerutkan kening dan kemudian tersentak saat dia melihat keraguan di
wajah John.
“Saat Nimrod masih muda, seusia kalian ini, tidak ada yang lebih dia sukai
daripada menimbulkan nasib buruk. Oh, sungguh. Dia tidak selalu menjadi anak
baik. Hanya saja saat dia bertambah tua, seperti anggota suku kalian yang lain,
dia menjadi sombong dan membosankan. Suara hati suku Marid. Homoeostasis.
Omong kosong. Tak adayang namanya homoeostasis. Kebenarannya, nasib
buruk akan selalu lebih banyak dibanding nasib baik, dan suku kalian akan kalah
perang.” Iblis menatap John lebih dekat lagi. “Bisa kulihat kalau hal itu juga
yang sedang kau pikirkan, kau mau mengakuinya, John?”
“Tidak,” jawab John. “Aku benci kau dan semua yang kau yakini.”
“Kau punya prinsip yang kuat, ya?” Iblis tertawa lagi. “Kau sama sombongnya
dengan pamanmu. Tapi itu bukanmasalah. Suku Ifrit selalu membenci suku
Marid dan begitu sebaliknya. Selalu begitu. Aku akan mengatakan ‘selalu
begitu’, kecuali untuk sebuah kenyataan yang, sebagai satu suku, hari-hari kalian
hanya tinggal dihitung dengan jari. Secepatnya hal itu akan terjadi, setelah aku
bisa mendapatkan Jin Akhenaten yang hilang.”
“Tapi kebetulan, aku tidak akan bunuh kalian. Itutidak ada gunanya. Aku akan
masukkan kalian dalam botol dan menyimpan kalian dalam kulkasku sampai
kalian sudah siap memanggilku ‘Tuan’.”
“Hal itu takkan pernah terjadi,” sergah Philippa.
“Katakata yang berani, Jin Muda, tapi kalian pastibelum baca The Baghdad
Rules. Dalam masalah itu kalian tidak punya pilihan. Kalian wajib memberikan
tiga permintaan pada siapa pun yang membebaskan kalian. Termasuk aku.”
“Bukan berarti aturan itu ada pengaruhnya. Be gini, kalian pasti akan merasa
sangat berbeda setelah satu atau dua tahun terkurung dalam botol ini,” kata Iblis
sambil mengoyang-goyangkan botol itu. “Terpenjara dalam botol atau lampu
bikin otak jadi kacau. Percayalah. Tak ada kejahatan yang takkan kalian lakukan
setelah kedinginan dalam kulkas.”
kasihan? Kata menantang? Tidak? Sayang sekali.” “Biar mampus,” kata John.
Iblis tertawa. “Lebih baik kau berharap aku tidak mati, Jin Kecil,” katanya.
“Coba pikir. Kalau aku mati, lalu siapa yang akan tahu kalian terpenjara dalam
botol kristal ini? Kalian mungkin dengan mudah berakhir seperti Rakshasas yang
idiot itu. Agoraphobia. Eksentrik. Ber sikap aneh. Rakshasas terkurung dalam
botol susu kotor selama lima puluh tahun. Pikirkan itu, Anakanak. Lima puluh
tahun. Tampaknya bau susu basi, keju, dan kemudian jamur, tentu saja,
membuatnya gila. Sungguh, mengagumkan kalau dia bisa berfungsi sepenuhnya
dalam masyarakat Jin normal. Pikirkan itu kalau kalian meregangkan badan
dalam botol brendi ini, ya?”
Asap tebal mulai muncul di bawah kaki si kembar dan lambatlaun makin tebal
hingga mereka tak bisa lagi melihat Iblis atau, bahkan, ruangan tempat mereka
berada.
“Berterima kasihlah karena aku tidak menggunakan ikatan ganda. Dan aku
mengurung kalian di dalam botol yang cukup besar. Aku bisa saja mengurung
kaliandalam pulpen tintaku atau ceruk racun dalam tongkatku. Setidaknya
sekarang ini kalian akan cukup nyaman.”
Suara Iblis sepertinya meninggi di atas mereka, dan baru beberapa saat
kemudian si kembar menyadari kalau itu karena mereka berubah menjadi asap.
Saat gumpalan asap terakhir menghilang ke dalam sepatu dan kaus kaki mereka,
si kembar mendapati diri mereka berada dalam tempat yang tampaknya seperti
ruang kaca raksasa. Seketika itu juga mereka disergap oleh claustrophobia dan
uap brendi. Setelah beberapa menit kemudian barulah si kembar merasa
menyesuaikan diri dengan situasi baru itu.
Philippa mengembuskan napas keraskeras dan, setelah duduk di lantai kaca yang
halus, dia bergumam,“Sia-sialah rencana Nimrod.” Sambil menahan tangis.
Kemudian dia menambahkan, “Apa yang akan kita lakukan sekarang?”
“Ini bisa lebih buruk,” sahut John. “Kita bisa saja mati.”
“Ya, kurasa begitu.” Philippa menggigit bibir. “Aku takut, John,” dia mengakui.
“Tak dapat kubayangkan, kita telah memilih perjalanan berkeliling dunia seperti
ini,” ujar Philippa. Dia berusaha menghela napas dalam-dalam, tapi se pertinya
ada batas jumlah udara yang bisa dihirup. “Kuharap ada lebih banyak udara di
dalam sini.”
John sepertinya terpengaruh ketika melihat saudaran yasusah bernapas. Dia pun
berusaha menghela napas panjang untuk mengendalikan rasa panik yang mulai
muncul. “Menurutmu kita takkan kehabisan udara di sini, kan?”
“Apa kau tidak dengar apa yang dikatakan Iblis kalau Mister Rakshasas pernah
berada di dalam botol selama lima puluh tahun?”
“Jangan ingatkan aku akan hal itu.” John menggelengkan kepala. “Aku jadi
ingin tahu, bagaimana caranya Mister Rakshasas dapat bernapas?”
“Mungkin bau itu yang membuatmu mengira tidak ada cukup udara. Menurutmu
bau apa itu? Agak memabukkan ya.”
“Aku hanya berpikir kalau kita ini adalah Jin dalambotol brendi.“TXT BY
OTOY http://ottoys.wordpress.com
“Apakah persoalan ini ada sisi baiknya?” Philippa mengeluarkan saputangan dan
mengusap sudut mata nya. “Coba jelaskan.”
“Kita saling memiliki,” kata John. Duduk di samping Philippa, dia merangkul
saudaranya. “Aku benci kalau harus berada di sini sendirian.”
“Maksudku, aku lebih suka kalau kau tidak ada di sini, kalau kau mengerti
maksudku. Tapi karena kau ada di sini, aku jadi senang, itu saja.”
Setelah beberapa saat, Philippa mendorong lengan John dan berkeliling botol
brendi itu, yang mem butuhkan waktu beberapa menit. “Aneh,” katanya,
“Ternyata sepertinya lebih besar di bagian
dalam.”
“Kita berada di luar ruang tiga dimensi, itulah sebabnya,” jelas John.
“Aku ingin tahu apakah itu berarti kita berada di luar waktu juga. Itulah yang
dikatakan Einstein, kan? Waktu itu relatif. Tergantung pada ruang.”
“Maksudmu?”
Philippa menelan ludah dengan perasaan mual. “Kau benar. Di pihak lain,
mungkin waktu berjalan lebih cepat di sini. Jadi lima puluh tahun akan terasa
seperti lima menit. Apa pun itu, aku berharap punya pil arang yang pernah
diberikan Ibu.”
“Mengapa tidak kita coba?” kata John. “Bukankah Nimrod pernah mengatakan
tentang menggunakan kekuatan Jin di dalam botol, untuk membuat pera botan,
makanan dan minuman? Beberapa pil arang pastilah tidak terlalu sulit.”
“Bagus,” puji John. Dia pun menelan pil yang di sodorkan Philippa.TXT BY
OTOY http://ottoys.wordpress.com
“Bagaimana kalau karpet?” usul Philippa. “Lantai ini agak keras dan licin.”
“Warna apa?”
“Merah muda?” John mengernyit. “Mengapa tidak warna hitam saja? Aku suka
warna hitam. Hitam itu keren. Lagi pula, bukankah warna itu lebih baik untuk
sebuah televisi?”
Setelah beberapa usaha, John hanya mampu mem buat sesuatu yang tampak
seperti patung modern ketimbang sebuah televisi, tapi akhirnya dia berhasil juga.
Bahkan John berhasil membuat kursi berlengan. Dia pun duduk dan menyalakan
televisi.
“Kebiasaan,” ujar Philippa. “Kita terjebak di dalam sini, dan yang kau pikirkan
cuma televisi.”
Tapi begitu gambarnya muncul, John mengerang. “Cool,” katanya. “Televisi
Mesir.”
“Memangnya program televisi apa yang kau harapkan? Bukankah kita memang
berada di Mesir.” Phi lippa mengangkat bahu. “Mungkin kau bisa belajar bahasa
Arab.”
“Mungkin Iblis telah memutuskan untuk mem bunuh kita,” ucap John saat botol
itu mulai terisi kembali dengan asap.
“Apa yang terjadi dengan melihat sisi baiknya?” Tanya Philippa.TXT BY OTOY
http://ottoys.wordpress.com
“Asalkan dengan cepat, aku tak peduli,” jawab John. “Aku bisa menjadi gila
karena terjebak di sini.”
“Apa yang membuatmu berpikir kalau Iblis adalah jenis Jin yang memberikan
kematian dengan cepat?” Philippa bertanya dan memekik ketakutan saat mera
sakan tubuhnya terangkat melewati leher botol dan memasuki dunia luar lagi.
Saat asap menipis, si kembar sadar sudah di perpustakaan Mrs Coeur de Lapin.
Wanita Prancis itu berbaring di sofa panjang dengan mata terpejam sambil
mendengkur, tapi tidak ada tanda-tanda Iblis. Sebaliknya, si kembar malah
menjadi senang melihat Nimrod tengah duduk di kursi modern yang tidak
nyaman sambil mengisap cerutu besar dan tampak puas pada dirinya sendiri.
“Itu takkan terjadi tanpa kalian, sungguh. Begini, aku mengirim kalian ke sini
dengan alasan palsu. Sejak piknik itu, aku sudah mencurigai Mrs Coeur de
Lapin. Aku sebenarnya yakin kalau kalian juga mencurigai Mrs Coeur de Lapin.
Terutama karena kalian akan menghabiskan waktu bersamanya. Iblis sudah
mengendalikan wanita malang itu sejak kita tiba di Kairo.”
“Jadi cerita tentang peti dan mengawasinya dengan teleskop itu bohong?” ucap
John.
“Kau jadikan kami umpan,” ujar Philippa. “Seperti kambing untuk macan.”
“Oh, tidak,” sahut Nimrod sambil mengembuskan cerutu dengan riang. “Iblis
takkan membunuh dua Jin baik seperti kalian. Apalagi yang semuda kalian. Dua
Jin lagi untuk melaksanakan perintahnya? Me nurutku tidak. Dia tidak bodoh.
Semua omongan tentang memakan dan mengubur kalian dalam saluran
pembuangan itu hanya untuk membuat kalian jadi lemah.”
“Kau mendengarkan ketika dia bilang seperti itu? Bagaimana bisa?” tanya John.
“Kau pikir aku akan membiarkan kalian ke sini sendirian? Aku ada di dalam
sebuah benda mati, hamper mati.”
“Apa, maksudmu kau ada di sini selama ini terjadi?” tanya Philippa.
“Tentu saja. Aku berada di dalam komputer di meja itu. Coba ingat, tadi aku
sempat mengira Iblis mengincarku. Aku tidak sengaja membuat komputer itu
hidup.”
“Aku ingat,” kata John. “Kupikir itu agak aneh saat itu.“TXT BY OTOY
http://ottoys.wordpress.com
“Ya, begitu juga Iblis. Dia setan licik, Iblis itu. Omongomong, aku tahu dia akan
memasukkan kalian ke dalam botol. Dan itulah saat yang kutunggu-tunggu.
Kalian tahu, Jin berada dalam kondisi terlemah saat dia menggunakan
kekuatannya kepada Jin lain. Bahkan lebih lemah daripada saat dia harus
menggunakan kekuatannya kepada dua Jin. Dan kalau kedua Jin itu kebetulan
kembar…, kalian pasti paham. Begitu dia memasukkan kalian ke dalam botol
brendi, aku segera bertindak. Bisa kupastikan kalau tak ada cara lain untuk
mengatasi Jin yang mengerikan seperti Iblis ini.”
“Lalu ke mana saja kau selama ini?” tuntut Philippa. “Sudah berminggu-minggu
kami di dalam botol.”
“Lima belas menit?” kata John. “Hanya selama itu? Kau yakin?”
Nimrod meringis. “Ya, aku minta maaf. Itulah yang kukatakan tentang bagian
dalam botol Jin yang berada di luar ruang tiga dimensi. Aku takut
aku tidak sempat memberitahu kalian tentang cara tepat bagi Jin untuk berubah
dan memasuki sebuah botol. Di belahan bumi utara, kalian harus memasuki
dengan arah yang berlawanan dengan arah jarum jam, melawan putaran normal
belahan bumi utara, atau waktu akan melambat, sebaliknya yang terjadi di
belahan bumi selatan. Prinsipnya sama dengan air yang mengalir ke dalam pipa
saluran di bak mandi. Yah, semacam itulah. Diakui, memang lebih sulit
mengingat hal itu saat orang lain yang memasukkan kalian ke dalam botol. Tapi
kalau kalian melakukannya dengan benar, itu bisa menghemat waktu. Misalnya,
penerbangan dari London ke Australia, yang normalnya memakan waktu sekitar
dua puluh empat jam, bisa terasa seperti hanya dua puluh empat menit. Kalau
salah melakukannya, kalian akan merasa seperti dua puluh empat minggu. Sifat
waktu relatif terhadap ruang. Belakangan ini, kukira mereka mengajarkan hal-
hal seperti itu di kelas satu.
“Semuanya berjalan dengan baik, dan kalian lumayan hebat. Takkan terpikir
olehku untuk mem buat tikus muncul di rambut Mrs Coeur de Lapin. Kau
membuatnya muncul dengan sempurna, Philippa.”
“Aku minta maaf sudah membohongi kalian,” ujar Nimrod, “tapi sejujurnya,
tidak ada jalan lain. Kalian takkan ke sini kalau merasa dijauhkan dari aksi yang
se sungguhnya. Dan aku tidak bisa memberitahu,
kalau kalian adalah bagian dari jebakan Jinku. Aku tak mau risiko kalian akan
membongkar seluruh permainan ini. Tolong katakan, apa kalian mau memaafkan
aku?”
“Tidak perlu. Bagian 18. Kerabat. Kita saudara, jadi tidak perlu.”
Nimrod mengisap cerutu dengan riang dan mengembuskan cincin asap yang
berbentuk ular kobra yang mengangkat kepala.
“Ikat kepala itu, tentunya. Sama dengan yang dikenakan Akhenaten pada lukisan
dinding makam. Tapi itu salah satu alasannya.”
“Rabat?”
“Benar. Kecuali bahwa kata yang kau dengar bukanlah Rabat, tapi sesuatu yang
sangat mirip. Tepatnya, rabbit (kelinci).”
“Rabbit!” seru John. “Tentu saja. Lapin itu kata dalam bahasa Prancis yang
berarti rabbit.”
Iblis adalah jenis Jin yang malas. Aku berharap dia mungkin memberi Hussein
Hussaout kata ikatan yang akan memberiku petunjuk di mana dia berada atau
apa yang akan dia lakukan. Meskipun begitu, aku butuh waktu agak lama untuk
menghubungkan rabbit dengan lapin.”
“Tapi bagaimana dengan suku Ifrit yang lain?” Tanya John. “Palis, si penjilat
kaki. Dan lainnya.”
“Oh, kini mereka takkan berani mencoba apa pun. Tidak dengan pemimpin suku
mereka, Iblis, tersingkir. Mereka terlalu pengecut.” Nimrod menumpukan kaki di
tumit dan meniup gumpalan asap besar ke langit-langit, yang mengambil bentuk
angka romawi V untuk victory [kemenangan]. “Tidak bisa kukatakan kepada
kalian betapa hebat yang telah kita lakukan ini. Kita mungkin tidak menemukan
Jin Akhenaten yang menghilang, tapi kita telah melakukan hal terbaik kedua.
Kita telah mencegah suku Ifrit menemukan mereka.”
“Sebenarnya,” ujar Philippa, “aku punya teori di mana kita bisa mencari Jin
Akhenaten yang hilang itu.”
Abu jatuh dari cerutu Nimrod saat dia menatap Philip pa dengan agak terkejut.
“Benarkah?”
“Ya.” Philippa berlutut di samping kursi modern yang tidak nyaman dan, setelah
memungut buku tentang Akhenaten yang dibaca Mrs Coeur de Lapin, dia
mengambil robekan halaman yang dipakai sebagai pembatas dan
memberikannya kepada Nimrod.
Nimrod dan John menatap halaman yang me
Nimrod tersenyum ramah kepada Philippa. “Tapi aku tidak melihat bagaimana
semua ini bisa menolong kita menemukan Jin yang hilang itu.”
“Ada yang melingkari foto tongkat kerajaan lain dalam buku ini,” ujar Philippa.
“Anggaplah sesaat Iblis yang melingkari tongkat lambang kekuasaan itu, seperti
di kepala Mrs Coeur de Lapin, berada di bawah perintahnya, maka gambar itu
sepertinya menunjukkan bahwa Iblis ter tarik pada tongkat kerajaan.”
“Ya, benar,” sahut Nimrod sambil berpikir. “Tapi ada beberapa canopic dibuka
juga.”
“Baiklah,” ujar Nimrod. “Seandainya memang begitu. Mengapa ada yang ingin
merusak tongkat lambang kekuasaan Sekhem?”
“Nah, kalau begitu, ini bagian ketiga teoriku. Ada sesuatu yang dikatakan Iblis
saat dia mengurung kami di dalam botol brendi. Dia bilang kami beruntung
karena wadahnya bukan pulpen tinta atau ceruk racun di dalam tongkat
berjalannya. Dan itu membuatku berpikir. Seandainya bagian yang tebal dari
tongkat itu juga berongga. Bukankah itu akan menjadi tempat yang bagus untuk
menyimpan ketujuh puluh Jin yang kekuatannya telah didapatkan? Bukan di
dalam canopic atau botol, tapi di dalam tongkat kita, tepat di dalam simbol
kekuasaan. Aku baru saja berada di dalam botol brendi, tapi aku sadar bahwa
kita bisa dengan mudah menempatkan tujuh puluh Jin di dalamnya. Dan kalau
berada di dalam sana, maka mengapa tidak di bagian puncak tongkat
“Menurutku kita sudah tahu,” ujar John. “Setelah kita lihat cara Iblis menguasai
Mrs Coeur de Lapin. Aku bertaruh, empat ribu tahun yang lalu, anggota suku
Ifrit menguasai Akhenaten dengan cara yang sama seperti Iblis mengendalikan
Mrs Coeur de Lapin. Bahwa salah satu dari mereka mengambil wujud ular asli di
hiasan kepala raja.”
“Ya,” sahut Nimrod. Dia pun berjalan menuju meja dan mengangkat gagang
telepon.
“Siapa yang kau telepon?” tanya John.
“Polisi,” kata Nimrod. “Aku ingin tanya kepada mereka tentang pembobolan di
museum itu.”
Nimrod bicara dalam bahasa Arab selama beberapa menit. Saat meletakkan
gagang telepon, dia tampak sangat gembira. “Tongkat Sekhem tidak dipatahkan
menjadi dua,” katanya. “Bagian atasnya yang berhias itulah yang di rusak.
Bahkan, dibanting, seolah ada yang berusaha mencari tahu apakah bagian itu
berongga.”
“Bagaimana dengan dia?” tanya Philippa sambil menunjuk Mrs Coeur de Lapin
yang masih tidur di sofa. “Apakah dia akan baik-baik saja?”
“Dia akan baik-baik saja setelah tidur beberapa saat,” jawab Nimrod. “Kurasa
dia takkan ingat banyak tentang kejadian ini saat terjaga nanti. Bahkan sama
sekali tidak ingat, sungguh. Bagaimanapun juga, dia orang Prancis. Bila
terbangun, dia mungkin akan mengira sudah terlalu banyak minum anggur saat
sarapan.”
“Hebat, kan?” kata Nimrod. “Sekarang kita tahu apa yang kita cari meskipun
kita belum tahu di mana.”
Nimrod mendesah. “Selalu begitu, ya? Tiga puluh tahun aku mencari Jin yang
hilang ini, dan ternyata selama ini mereka mungkin berada tepat di bawah
hidungku.”
“Ya, sepertinya begitu,” tegas Nimrod. “Mister Groanin. Sebaiknya kau telepon
British Airways dan pesan kan tiket penerbangan berikutnya ke London untuk
kita semua.”
“Tentu saja,” jawab Nimrod. “Pada liburan sekolah kalian yang berikutnya.”
“Paman benar,” kata John kepada Nimrod, “ten tang Kairo. Aku tak pernah me
nyangka akan menyukainya. Kota ini mungkin kotor, bau, sesak, tapi tak ada
tempat lain di bumi yang seperti ini.”
“Aku pernah bilang begitu?” ujar Nimrod. “Yah, sudah pasti kota ini hebat, tapi
tunggu sampai kau melihat Alexandria. Dan Yerusalem. Dan New Delhi. Dan
Istanbul. Belum lagi Gurun Sahara. Bahkan Berlin, yang sebagaimana kau
ketahui, adalah tempat tinggal Jin Biru Babilonia. Hanya saja saat ini, tak satu
pun dari kota itu yang sepenting London dengan British Museumnya. Apa yang
akan kita temukan di sana bukan hanya me mengaruhi masa depan seluruh Jin,
tapi juga dunia mundane.”
RUANG 65
Seperti biasa, warga London tidak terlalu menikmati musim panas di kota itu.
Hari-harinya terlalu panas atau terlalu dingin. Terlalu sering hujan atau kurang
hujan. Dan sepertinya selalu ada orang yang mengeluh, apa pun cuacanya.
Satusatunya warga London yang hampir tidak pernah mengeluh tentang musim
panas di kota London adalah Groanin.
“Variasi cuacanya paling aku suka,” jelasnya saat mereka tiba kembali di rumah
di Kensington. “Tak ada dua hari yang sama. Hari ini panas, sangat panas untuk
ukuran kota London. Maka besok, mungkin akan hujan, dan lusa, mungkin akan
berangin. Coba saja perhatikan per mainan kriket selama empat hari, kalau
kalian tidak percaya. Ada beragam cuaca sepanjang pertandingan kriket itu.”
John, yang mendapati kalau kriket sudah cukup sulit untuk ditonton selama
empat menit, apalagi empat hari, mengatakan pada Groanin bahwa dia percaya
saja.
BM adalah sebuah gedung besar yang agak mirip kuil Yunani, khususnya kuil
Dewi Athena Parthenos di Acropolis, ibukota Athena. Tapi saat
menapaki tangga depan yang menghadap ke Jalan Great Russell, mereka hanya
menemukan satu bus penuh wisatawan.
Philippa memeriksa barang yang dipamerkan itu, lalu mengangkat bahu. “Jadi
BM tidak tahu segalanya,” ujarnya, lalu melihat lagi. “Mungkin mereka
membuat kesalahan.”
“Meskipun harus kuakui,” lanjut Philippa. “Tongkat ini kelihatan biasabiasa saja.
Tidak kelihatan seperti tongkat yang berisi tujuh puluh Jin.”
“Kau tak bisa mengetahui apakah ini tongkat yang benar?” tanya Philippa,
“Maksudku, apakah tongkat ini tidak mengeluarkan getaran atau sesuatu?”
“Aku bukan alat pendeteksi,” jawab Nimrod, “lagi pula, kalau tongkat itu
memang mengeluarkan getar an, seperti katamu, aku atau Jin lain pasti sudah
menge tahuinya dari dulu?”
Dengan hidung menempel pada kotak pajangan, dan mengamati tongkat Sekhem
itu sedekat mungkin, John cenderung sependapat dengan saudaranya saat dia
melihat sesuatu yang aneh.
“Tunggu dulu,” katanya. “Kau tidak melihat se suatu?” Dia mundur beberapa
langkah dan menunjuk. “Hanya setipis rambut, tapi ada retakan di kacanya.”
Nimrod dan Philippa mundur dari kotak pajangan itu, sementara John
menambahkan, “Ayo tebak, retakan itu kelihatan seperti retakan di dinding
kamarku.”
“Kau benar, John,” komentar Nimrod. “Kerja bagus. Aku harus membawa
kacamata lain. Yang ini payah.”
“Tentu saja Jin Akhenaten yang hilang,” jawab John. “Itulah pengirimnya.”
“Ya Tuhan, memang benar,” desah Nimrod. “Kau benar, John. Pasti itu
penjelasannya.”
“Itu tanda agar kita tahu inilah tongkat lambang kekuasaan yang sebenarnya,”
lanjut John.
Dan selama beberapa saat, mereka hanya berdiri dan memandang tongkat itu.
“Tongkat itu terbuat dari emas?” tanya Philippa. “Tapi tidak terlihat seperti
emas.”
“Kalau terbuat dari emas, tongkat itu pasti ter-lau berat untuk dibawa,” jawab
Nimrod. “Tongkat lam bang kekuasaan tak ada manfaatnya kalau terlalu berat
untuk dibawa. Bukan, itu terbuat dari kayu yang dilapisi emas.”
“Astaga, tidak,” sahut Nimrod. “Kita melakukan apa yang dikenal dalam dunia
kriminal sebagai ‘mengamati sasaran’. Menentukan keadaan lokasi, kira-kira
begitu. Pendeknya, mengamati lokasinya baik-baik sebelum memikirkan rencana
yang akan memungkinkan kita untuk mengambil tongkat itu.”
“Mengapa tidak kita hilangkan saja kaca pelin dungnya lalu mengambilnya?”
tanya John. “Pasti tidak terlalu sulit karena ada retakan di kacanya.”
“Sekarang setelah kita tahu tongkat Sekhem ini benarbenar berisi Jin Akhenaten
yang hilang, memakai kekuatan Jin mungkin akan berbahaya untuk apa yang
tersimpan di dalamnya. Atau, terlebih lagi, untuk kita. Dengan demikian, kita
bisa masuk ke BM dengan menggunakan kekuatan Jin, tapi untuk memaksa
masuk ke kotak pajangan ini, menurutku lebih baik kita menggunakan metode B
dan C yang lebih konvensional.” Dia tersenyum. “Bobol dan curi.”
Nimrod mengetuk kaca kotak pajangan itu untuk mencoba-coba. “Dengan obor
las,” katanya. “Kaca ini sebenarnya plastik, jadi tidak mudah pecah, dan akan
meleleh seperti mentega.”
“Bagus,” ujar Philippa. “Kami boleh pakai sweater kerah-gulung warna hitam?
Seperti yang dilakukan dalam fi Im bila orang membobol suatu tempat.”
Nimrod melirik gelisah kepada beberapa wisata wan yang sedang tertawa geli
sambil bergantian berfoto di dekat salah satu mumi. Lalu Nimrod memalingkan
wajah dari tongkat Sekhem. “Kau bisa berbicara agak keras?” Desisnya kepada
John. “Kurasa turis-turis itu tak bisa mendengarmu.” Nimrod melihat berkeliling
Ruang 65 itu seolah mencari sesuatu.
“Tempat yang bagus untuk bersembunyi bila kita kembali nanti,” jawab Nimrod.
“Ya,” Nimrod mengiyakan. “Takkan ada orang yang me merhatikan botol itu.”
John berjalan melintasi ruangan dan membungkuk seolah mengamati salah satu
mumi, tapi matanya mengamati celah di antara dasar kotak dan lantai berkarpet.
“Mister Groanin bisa meletakkan botol Coke yang berisi kita bertiga di bawah
salah satu pajangan mumi ini,” katanya.
“Ya,” sahut Nimrod sambil berpikir. “Mungkin saja.” Dia meraba pinggiran
kotak pajangan dengan jari telunjuknya dan memeriksa debu yang terkum—
pul. “Dari kotoran yang ada di sini, bisa kutebak kalau baru setelah beberapa
hari lagi petugas kebersihan akan me ne mukannya.”
John sedang membaca catatan yang ditempelkan di kotak itu. “Petinggi Mesir
yang tak dikenal, Dinasti ke-19.” Dia menggeleng-gelengkan kepala.
“Sepertinya aneh kalau harus berakhir seperti ini. Dalam kotak kaca di sebuah
museum. Kurasa aku tidak ingin itu terjadi padaku. Pria malang ini bahkan tidak
punya nama. Begitu juga yang di sebelahnya. Agak menyedihkan, sungguh.”
“Tapi saat ini aku lebih khawatir memikirkan Jin yang hilang itu daripada hak-
hak manusia dari kantong tulang tua ini. Lagi pula, setelah lima ribu tahun,
kurasa kita takkan terlalu mementingkan di mana kita berakhir. Aku lebih suka
dikubur di laut dan dimakan oleh ikan. Sepertinya hanya itu cara yang adil,
mengingat jumlah ikan yang suka kumakan. Oh ya, aku jadi ingat, ini sudah
waktunya
“Kuharap petugas keamanan tidak punya pen ciuman yang tajam,” ujar Philippa.
“Baunya busuk.”
Sekitar jam tiga, John minum sebotol Coca Cola. Si kembar mengenakan
pakaian yang mereka anggap cocok untuk memulai aksi pencurian (dengan
sweater kerah-gulung, wajah dihitamkan, dan ransel). Semen tara Nimrod hanya
mengenakan setelan warna lebih gelap dan topi hitam berping-giran lebar.
Mereka mengubah wujud ke dalam botol kosong itu.
“Ini bagian dari menjadi Jin yang paling tidak kusukai,” Philippa mengakui
sambil berjalan tak sabar mengelilingi pinggir bagian dalam botol.
“Kau akan terbiasa,” kata Nimrod. “Pernahkah kau naik pesawat di kelas
ekonomi akhir-akhir ini?
Atau naik kereta bawah tanah di London? Menurutku, bagian dalam botol Coke
ini jauh lebih menyenang kan. Omongomong, aku masih kurang nyaman. Kita
butuh beberapa kursi.”
John dan Philippa menjerit keras saat tibatiba botol itu mulai berayun seperti
lonceng.
“Dia berjalan ke mobil,” tawa Nimrod. “Itulah re potnya kalau hanya memiliki
satu lengan. Dia akan terus mengayunnya.”
“Menurutku, kau dapat membuat Groanin mera sakan seperti apa rasanya berada
di dalam botol ini,” usul John. “Agar nanti dia lebih berhati-hati.”
“Oh, tidak, itu tidak mungkin,” sahut Nimrod. “Mundane tidak tahan menjalani
pengalaman itu. Kalian mung kin tidak memerhatikan, tapi Jin tidak perlu
banyak bernapas saat di dalam botol atau lampu. Bila Jin dalam keadaan tidak
berwujud ini, kita bisa bertahan dalam waktu lama hampir tanpa udara sama
sekali. Seperti mati suri. Tapi mundane, kalian tahu, mati bukan hanya karena
keharusan
untuk menghela napas, tapi keharusan yang sama untuk mengembuskan napas.
Karbondioksida yang mem zbunuh mereka, bukan karena kekurangan oksigen.
Jadi jangan pernah tergoda untuk memasukkan manusia ke dalam botol. Itulah
mengapa manusia yang membuat kita kesal, kita ubah menjadi binatang. Agar
mereka bisa bernapas.”
“Omongomong,” kata Philippa. “Apa yang terjadi pada botol berisi Iblis?”
“Dia berada di dalam lemari pembeku di rumah ku, di Kairo. Itu demi
kebaikannya sendiri. Jin agak mirip kadal. Mereka menjadi lambat dalam udara
dingin,” kata Nimrod.
“Apakah kau tidak melupakan sesuatu?” sergah John. “Dia hampir melakukan
hal yang sama pada kita. Mungkin malah lebih buruk.”
acuh tak acuh, seperti wisatawan lain. Sebelum ber lutut, sambil berpura-pura
mengikat tali sepatu, dia meletakkan botol Coke di bawah kotak pajangan yang
berisi mumi tanpa nama, lalu mengetuk botol itu tiga kali.
Di dalam botol, ketukan Groanin terdengar seperti suara gong besar yang
dipukul kuatkuat. Nimrod dan si kembar melihat arloji. Jam lima kurang
seperempat, danmalam masih akan tiba beberapa jam lagi. “Kalian sudah berada
di posisi, tepat di tempat yang kalian perintahkan padaku,” katanya. “Aku pergi.”
“Ada yang mau minum teh sore?” tanya Nimrod sambil memunculkan meja
penuh teh dan hidangan lain di tengah-tengah mereka. Di atas taplak meja damas
putih yang kaku, terdapat sandwich, scone, kue, selai, beragam teh, dan Coca-
Cola untuk si kembar.
“Teh tidak ada hubungannya dengan rasa lapar,” sahut Nimrod. “Untuk orang
Inggris, itu seperti waktu kanonis - waktu untuk berdoa. Dan ini hampir sama
dengan ritual penting seperti upacara minum teh di Jepang. Kecuali untuk satu
hal. Dengan teh, di Jepang, ada peng akuan bahwa setiap pertemuan manusia
merupakan satusatunya kesempatan yang takkan terulang lagi. Jadi, segala
sesuatu yang berkenaan dengan teh harus dinikmati lantaran manfaat apakah
yang bisa diberikan teh itu kepada
“Aku juga tidak lapar,” timpal Philippa. Dia berusaha membaca buku pemberian
Groanin: New Oxford Book of English Verse.
“Mudah saja,” sahut Nimrod. “Aku hanya mele takkan makanan ke dalam mulut,
lalu mengunyahnya sebentar, sampai aku siap menelannya.” Dia mengedar kan
pandangan sekilas ke seputar dinding kaca warna kehijauan. “Tentu saja ini
bukan tempat yang biasa kutempati. Botol Coke, maksudku. Biasanya aku
bepergian dalam botol yang lebih menarik, botol yang terbuat dari kaca Venesia
yang kulengkapi dengan perabotan indah. Ada gimnasium, bioskop kecil, sudah
pasti dapur, dan ranjang yang cukup me mukau. Aku menyebutnya Istana Grotti.
Lelucon kecil. Kurasa kalian takkan memahaminya, tapi kenyataannya me mang
begitu. Ingatkan aku untuk menunjukkannya kepada kalian suatu hari nanti.”
John membuka sebotol Coca-Cola dan memi numnya sebelum menyadari betapa
aneh rasanya minum Coke di dalam botol Coke. “Berani taruhan, ini tidak
pernah dilakukan sebelumnya,” katanya dalam hati.
“Aku tak tahu bagaimana kau bisa begitu te nang,“ucap Philippa kepada
Nimrod. “Kita berencana merampok British Museum dan kau bicara soal teh.
Apakah yang akan kita lakukan tidak membuatmu agak gugup?”
“Oh, Anakku, komentar itu terlalu keras, kan?” protes Nimrod. “Kita bukan
benarbenar penjahat.”
“Menurutku, itu karena kau bersikeras untuk terlihat seperti penjahat,” sahut
Nimrod sambil me nuang the lagi untuk dirinya sendiri. “Wajah yang
dihitamkan, sweater kerah-gulung, sarung tangan kulit, sepatu kets? Kalau
berpakaian seperti itu, aku yang minta polisi menangkapku. Kalian kelihatan
benarbenar payah.” Nimrod mengeluarkan kotak obat dari saku celananya. “Ini
pil arang. Minumlah.”
Waktu berlalu dengan cepat. Sebelum mereka menyadari sudah jam sembilan,
Nimrod mengingatkan tentang ke untungan dari perubahan wujud yang
berlawanan dengan arah jarum jam di belahan bumi utara. Dia mengatakan kalau
sekarang sudah aman untuk mengubah wujud kembali dari botol Coke ke Ruang
65. “Kurasapetugas kebersihan sudah pergi sekarang,” katanya. “Itu kalau
mereka datang. Keadaan di BM tidak seperti dulu lagi.”
“Tolong jangan sebut-sebut mereka,” sergah Phi lippa. “Aku sudah cukup takut.”
“John, kau bisa membantuku mengeluarkan per alatan kita.”
memainkan trik-trik aneh pada khayalan John maupun Philippa. Mereka harus
melihat barang pajangan itu sebanyak dua kali untuk memeriksa kalau itu
memang sedang tidak bergerak. Tapi bukan hanya karena cahaya atau kurangnya
cahaya yang menggerogoti pikiran si kembar, tapi mereka juga merasa tengah
menodai bendabenda zaman kuno.
“Ada mumi di kapal Titanic?” tanya John sambil menyerahkan obor las kepada
Nimrod. “Aku tidak pernah tahu.”
“Benar,” kata Nimrod sambil menyalakan obor las. “Mumi Putri Amen-Ra.
Kapal Titanic tenggelam, menyebabkan kematian seribu lima ratus orang. Dan
pada tahun itu, 1912, banyak orang yang melemparkan kesalahan pada mumi
Putri Amen-Ra. Tidak menge jutkan sebenarnya, mengingat jumlah orang yang
telah menemui kematian aneh melalui pertemuan mereka dengan Putri Amen-
Ra. Tampaknya, sebelum mumi itu dibeli oleh kolektor dari Amerika dan
meninggalkan ruangan ini, para penjaga malam dan petugas kebersihan tidak
berani mendekati sarcophagus-nya. Mereka bahkan mengaku bisa
mendengar suara pukulan dan tangisan dari dalam petinya.” Nimrod tertawa
mengejek. “Tentu saja itu cuma cerita. Dan aku takkan mencemaskan soal putri
itu. Seperti yang tadi kukatakan, muminya ada di dasar Lautan Atlantik bersama
penumpang Titanic lain yang tidak sempat keluar dari kapal. Jadi dia takkan
mengganggu kita.”
“Dulu, sudah pasti ada lebih banyak mumi di dalam sini,” kata Nimrod.
“Beberapa yang dipajang sekarang, hanyalah sebagian kecil dari lusinan mumi
yang dimiliki BM. Setahuku, banyak di antaranya yang disimpan dalam lemari
besi di bawah tanah. Disembunyikan agar tidak mengganggu orang. Aku sendiri
tidak bisa mengerti mengapa murni-murni itu akan mengganggu. Bagaimanapun
juga, kalau kita sudah mati, ya mati saja.” Nimrod tertawa. “Bukan berarti hanya
mumi manusia yang mereka miliki di sana, aku rasa mereka juga memiliki
beberapa mumi binatang.” Dia menggelengkan kepala. “Aku heran, mengapa
pendukung hak-hak untuk binatang belum mengajukan keberatannya tentang hal
itu?”
John melihat lagi ke arah benda itu ketika Nim rod menyentuh kaca plastik
dengan api biru dari obor las di depan tongkat Sekhem. Benar saja. Di sana ada
kucing, babon, anjing, buaya, elang, dan ular kobra yang diawetkan. Bahkan ada
mumi belut. John menggelengkan kepala dengan tidak sabar. “Me ngapa ada
orang yang ingin membuat mumi belut?” gerutunya sambil berusaha
menyingkirkan kematian dan mumi dari benaknya, meskipun tidak
berhasil. Dengan teror mumi, bau plastik yang terbakar, dan percakapan Nimrod
yang membuat bulu kuduknya berdiri, dia mulai merasa agak mual.
“Tentu saja, apa yang diyakini orang Mesir ten tang kebangkitan dari kematian,
semuanya mereka dapatkan dari kita, para Jin. Bukan berarti semua itu
mengandung kebenaran, bahkan juga bagi kita, para Jin,” kata Nimrod.
Tapi John hampir tidak menyimak omongan pamannya, karena sepertinya dia
melihat salah satu mumi itu bergerak. Ataukah dia berkhayal? Satu atau dua
detik berlalu, dan dia berkata dalam hati, pastinya dia tengah berkhayal lantaran
asap plastik yang terbakar sudah membuat kepalanya pusing. Dan dia berkata,
mumi yang berumur lima ribu tahun itu tidak akan bergerak kecuali di dalam fi
Im horor kuno yang menyeramkan. Dia berkata dalam hati, kini dia berada di
London, pada abad ke-21. Mustahil ada mayat yang bisa hidup kembali. Para
penjaga malam yang dibicarakan Nimrod, pasti keliru. Mustahil Putri Amen-Ra
hidup selama lima ribu tahun.
Wujud itu berdiri dari mumi horizontal dan melangkah keluar dari kotak kaca.
Lebih tinggi dari pada yang diperkirakan oleh John. Dan cukup jelas bagi
hidungnya sekarang, seolah pancaran itu membawa serta bau busuk dari makam
kuno. Seperti bau buku tua yang jadi lembab dan berlumut. Mungkin juga itu
adalah bau dari sesuatu yang lebih buruk.
“Paman Nimrod, apakah menurutmu hantu itu ada?” begitu John berkata lebih
keras. Dia nyaris tak berani mengalihkan tatapan dari sosok tinggi hampir
terlihat transparan di dalam kotak itu. Tapi John tetap tak berani me natap
wajahnya. Pertama kali melihatnya saja sudah terlalu banyak.
Philippa belum pernah melihat hantu, apalagi hantu babon. Tapi dia tetap
menegakkan kepala dan tidak, seperti niat awalnya, menjerit ketakutan. Dia tak
ingin menarik perhatian petugas keamanan. Maka mereka saling mengitari
dengan hati-hati selama beberapa saat sebelum hantu babon itu meraung
nyaring, dan memamerkan taring-taringnya dengan agresif. Babon itu mulai
bergerak ke arah Philippa. Philippa berusaha mengendalikan rasa takutnya dan
mundur ke dalam Ruang 65. Tapi babon itu tetap diam di tempat, seolah menjaga
pintu.
KEMBALINYA AKHENATEN
“Ya,” kata Nimrod dengan suara lirih dan tenang, seolah tak terkejut
mendengarnya. “Itu pasti chae ropithecus. Salah satu hantu mumi di sini, aku
rasa. Cobalah tetap tenang, Sayangku.”
Babon itu ditemani oleh buaya yang kelihatan seperti hantu juga. Juga ada ular
kobra.
“Sekarang semakin banyak,” ratap Philippa. “Buaya dan kobra, dan mereka
kelihatan tidak bersahabat. Coba lihat ke sini.”
“Sepertinya aku tidak bisa, Philippa,” sahut Nim rod tenang. “Begini, di sini juga
ada hantu.”
Philippa mundur menjauh dari hantu-hantu binatang itu, mengitari kotak kaca,
lalu menoleh ke belakang untuk melihat Nimrod dan John yang sedang berdiri
mematung. Mereka seolah membeku di lantai Ruang 65. Pada tatapan pertama,
dia mengira mereka sedang memandang patung batu biru yang memantulkan
cahaya, tapi ketika sosok itu bergerak, dia menyadari dengan perasaan ngeri
kalau sosok itu hampir transparan, dan terbuat dari bahan tak berwujud, sama
seperti hewanhewan itu. Di saat yang sama, dia terkesiap dan rambutnya se
pertinya berdiri tegak begitu dia mengenali sosok hantu itu. Sosok itu berwajah
panjang dan bengis, mata berbentuk buah badam, bibir tebal, rahang melorot,
perut gendut jelek, dan paha raksasa.
Ini hantu raja Mesir. Inilah hantu Firaun nye-leneh, Akhenaten. John gemetar.
Mungkin karena
“Bagaimana kau bisa berada di sini?” tanya Nimrod kepada hantu itu.
Suara hantu yang menjawab itu awalnya seperti erangan sekarat yang berupa
bisikan, seperti batu lembek yang diremukkan menjadi abu di atas lantai kayu.
Tapi lambatlaun semakin mengancam saat ter dengar lebih keras.
“Kau yang membawaku ke sini, Jin,” jawab hantu Akhenaten. “Kekuatan Jinmu
yang memanggilku dan para Jinku. Selama hampir dua abad aku berbaring di
sini, di tempat yang tidak suci ini, dengan nama dan semua hartaku dirampas,
tanpa nama seperti pasir di gurun. Tapi suatu hari aku tahu bahwa Jin, seperti
dirimu, akan datang kemari untuk mencari itu.”
“Selama ini kau berada di sini, dan tak ada yang tahu siapa dirimu?” tanya
Nimrod yang mulai mundur men jauhkan dirinya dan si kembar dari babon dan
buaya yang mendekat.
“Benar,” jawab si hantu. “Saat kau memantrai dirimu sendiri untuk keluar dari
botol itu, kau berada tepat di bawah tubuh Akhenaten yang diawetkan. Dan
kekuatan Jin-mu lebih dari cukup untuk membantu mengembalikan rohku dari
keabadian. Aku dan bebe rapa makhlukku.”
“Tapi bagaimana kau bisa kembali?” tanya Nim rod. “Jin tidak menjadi hantu.
Kecuali…,” Nimrod berhenti, “….kecuali roh Jin-lah yang merasuki hantu
manusia Akhenaten.”
“Aku mulai paham,” ujar Nimrod. “Bukan Putri Amen-Ra yang membuat para
penjaga malam itu ketakutan. Tapi kau. Tapi kejadian itu tahun 1910. Mengapa
diam saja selama bertahun-tahun ini?”
“Ada yang memanggil hantu di sini. Pada tahun 1910. Satu Jin lain datang ke
sini secara diam-diam.”
“Dia merasakan ada sesuatu yang tidak beres dan berhenti sebelum aku sempat
muncul. Tapi kau membawa dua Jin lain. Lebih dari cukup untuk mewujudkan
kembali diriku.”
“Well, ini mengagumkan,” komentar Nimrod. “Dan aku minta maaf melakukan
itu kepadamu setelah bertahun-tahun. Tapi sekarang sudah waktunya kau pergi.”
Nimrod mengibaskan tangan di udara
dan kemudian mengucapkan kata fokusnya, lebih keras daripada yang pernah
didengar si kembar. “QWERTYUIOP!”
Akhenaten tertawa. “Setelah lima ribu tahun, butuh lebih dari satu Jin untuk
mengikatku, Marid,” desis hantu itu. “Dan ada lebih banyak cara, cara kuno,
untuk mengikat Jin lebih daripada yang pernah diimpikan dalam fi Isafatmu.”
Akhenaten melirik ke bawah pada hantu babon itu. “Babi!” geramnya.
Nimrod berteriak kesakitan saat tibatiba babon itu melompat ke depan dan
menancapkan taringnya ke kaki Nimrod. Nimrod berteriak lagi saat babon itu
mengikutinya melintasi ruangan dan menggigit kakinya lagi. Dalam sekejap,
berdasarkan perintah, babon itu kembali ke sebelah tuannya yang jahat, darah
Nimrod menetes dari taring-taringnya yang tajam ke atas sehe lai kain berhias
huruf hieroglyphic yang digenggam Akhena ten.
“Jangan beritahu dia, Paman,” teriak Philippa yang membuat babon itu meraung
marah kepadanya.
Akhenaten tersenyum dan melepas kedua anak itu, lalu dia mengambil canopic
dari tumpuan, kemudian melepas tutupnya yang berbentuk kepala babon
sebelum mengempitnya di bawah ketiak.
“Lari, Anakanak, lari!” perintah Nimrod yang diserang buaya dan ular. Dia
berjuang untuk men jauhkan Akhenaten dari si kembar. “Kalian tidak takkan
kuat melawannya.”
Hantu Akhenaten menatap buas ke arah John dan Philippa. “Aku akan berurusan
dengan kalian, setelah se lesai memasukkannya ke dalam botol,” dia berkata dan
berjalan, tanpa ragu, mengejar Nimrod.
“Apa yang harus kita lakukan?” tanya John. “Kita tidak bisa meninggalkannya.”
jauh lebih kuat daripada Akhe naten sendiri. Akhenaten dan anggota suku Ifrit
yang dulu mengendalikan Akhenaten, pasti juga telah mati di saat yang sama,
karena roh mereka kini menyatu.
“Lari,” teriak Nimrod untuk terakhir kalinya kepada si kembar. Teriakan yang
menjadi jeritan tertahan saat rahang hantu babon itu mencengkeram lengan
atasnya.
Tapi, tetap saja, John dan Philippa bertahan di Ru ang Mumi, takut bila tetap di
situ, tapi juga takut meninggalkan Nimrod menemui nasib buruk.
“Tapi bagaimana kita tahu mereka akan menolong kita?” tanya Philippa.
“Mereka semua adalah Jin yang dulu nya menuruti perintah Akhenaten.”
“Jin harus menepati janji yang dia buat karena dibebaskan,” kata John. “Itu
aturannya.” Di bawah sorot sinar dari senter Philippa, dia mulai memeriksa
bagian atas tongkat yang lebih tebal itu dengan sangat hati-hati. “Tapi bagaimana
cara kita membukanya?”
Suara dari dalam tongkat sekhem itu menjawab pertanyaannya. John nyaris men
jatuhkan benda kuno itu ke lantai. “Kau harus menghidupkan ketu-juhpuluh
nya,” kata suara tersebut. “Cari tulisannya. Biarkan tulisan itu yang
membantumu.”
“Aku sedang cari!” teriak John. “Tapi aku tidak mengerti bagaimana tulisan itu
bisa membantu.”
“Maksudnya hieroglyphic itu,” seru Philippa. “Lihat, yang melingkar itu disebut
cartouche, dan hanya berisi satu simbol: ankh, yaitu tanda kehidupan. Dan aku
rasa masing-masing simbol yang kelihatan seperti huruf N di bawah cartouche
itu adalah angka sepuluh.”
“Kau benar,” kata John. “Ada tujuh N. Tujuh kali sepuluh sama dengan tujuh
puluh. Itu pasti jawabannya. Tapi bagaimana kita membawa tujuh simbol itu ke
ankh?”
Jari-jari John mulai menekan huruf hieroglyphic itu. Tibatiba, dia merasakan
salah satu huruf N, yang artinya sepuluh, bergeser. “Ini seperti teka-teki,”
katanya. “Hieroglyphic ini bergerak memutar.” Dia menekan salah satu angka
sepuluh itu ke atas, ke dalam cartouche di sebelah ankh. “Berhasil!” teriaknya.
“Tunggu,” kata Philippa. “Kita belum mendapat janji dari Jin di dalam tongkat
ini.”
Dengan berbicara kepada suara di dalam tongkat itu, John berkata. “Dengar, aku
akan membebaskan kalian semua kalau kalian berjanji untuk menghancurkan
Akhenaten dan bekerja hanya untuk Kebaikan.“TXT BY OTOY
http://ottoys.wordpress.com
Tanpa ragu-ragu suara itu menjawab, “Selama tiga ribu tahun kami menunggu
kedatanganmu, Jin Muda. Kami menunggu perintahmu.”
Jari-jari John sudah menggeser tujuh angka sepuluh itu ke dalam cartouche yang
berisi ankh kehidupan. Seketika itu juga, dia merasa sesuatu terjadi. “Kurasa
berhasil,” katanya. John melepas tongkat itu.
Tongkat lambang kekuasaan itu tetap berdiri tanpa dipegang, dan selama
beberapa saat, tetap ter diam seperti gelagah yang kaku. Kemudian, seperti
bunga besar berwarna keemasan, bagian atas tongkat itu membuka. Awan asap
kehijauan yang lembab mulai menyeruak keluar. Jauh lebih banyak asap
dibanding saat Nimrod dan si kembar keluar dari botol Coke. John berpikir bau
asap itu seperti lumut, dan Philippa berpendapat baunya seperti bagian dalam
makam Akhenaten di Mesir. Asap yang berumur tiga ribu tahun itu dengan cepat
memenuhi ruangan, mengaktifkan alarm asap, dan dengan cepat menjadi begitu
tebal, sehingga si kembar nyaris tidak bisa saling melihat. John menyambar
tangan adiknya.
Setelah itu, Ruang 65 mendadak bersih dari asap. Galeri itu tampak dipenuhi Jin
yang terbebas dari dalam tongkat lambang kekuasaan Sekhem. Lusinan pria
kecil, berkepala botak, bermata sayu mengenakan jubah putih pendeta Mesir,
yang kelihatan persis seperti gambar relief dinding di makam Akhenaten.
Masing-masing pria itu saling memegang
tangan yang penuh cincin, mem bungkuk hormat, dan mengucap kan
penghormatan kepada John dan Phi lippa sebelum bergabung dalam lingkaran
mengelilingi Akhenaten dan hantu-hantu binatangnya. Sambil mengulangi kata
dalam bahasa yang tidak dikenal si kembar, ketujuh puluh Jin itu bersama-sama
mengucapkan mantra untuk mengalahkan Akhe naten.
Tapi mantra Jin itu terus berlanjut, kini menjadi lebih keras. Suara yang
mengerikan, yang tidak dipa hami si kembar, jelas terdengar sebagai raungan
histeris hantu babon dan makian Akhenaten. Tampaknya suatu kekuatan besar
sedang dilibatkan. Pada saat inilah angin mengerikan berhembus masuk, tepat
menuju ke tengah lingkaran, seolah akan menggulung Akhenaten dan
membawanya ke suatu tempat tanpa nama nun jauh di sana. Hantu buaya me
raung, dan hantu babon menyalak histeris, sementara mantra dan angin itu
sepertinya bergabung dalam satu kekuatan dashyat.
Jeritan sedih yang menyayat hati membuat Phi lippa nyaris merasa iba
kepadanya.
Saat akhirnya angin berhenti bertiup, Akhenaten dan pasukannya telah
dibungkam. Si kembar pun menerobos ke arah pintu di mana mereka terakhir
kali melihat Nimrod. Mereka berharap dapat mene mukannya dalam keadaan
selamat. Jin-jin tersebut membungkuk lagi saat si kembar lewat di
tengah-tengah mereka.
Canopic yang terbuat dari kapur dengan tutup kepala babon tergeletak di lantai,
di kaki salah satu pendeta Jin yang tampaknya adalah pemimpin. Dia memungut
wadah itu, menyentuhnya dengan dahi dan, sambil membungkuk dalam-dalam,
menyerahkan canopic itu pada John, dengan satu kata. “Akhenaten,” ucapnya.
“Kau tak bermaksud mengatakan kalau dia juga berada di dalam sini, kan?”
tanya Philippa.
John mengambil canopic itu dan bergerak untuk membuka tutupnya, tapi
pendeta Jin itu menahan tangan John, dan menggelengkan kepala. “Akhenaten,”
katanya. “Akhenaten.”
“Dia benar,” kata Philippa. “Kita tak bisa membebaskan Nimrod tanpa
membebaskan Akhenaten.”
John mengangkat canopic itu ke atas kepala dan berteriak. “Nimrod? Kau bisa
mendengar kami? Apa kah kau baik-baik saja?”
Suatu suara, sangat lemah, karena canopic itu sangat tebal, menjawab seolah dari
kejauhan. Tapi John maupun Philippa bisa mendengar apa yang
dikatakan.
“Apa yang akan kita lakukan?” tanya John. Mereka mendengar teriakan petugas
keamanan yang menaiki tangga sebelah barat.
“Kita tak bisa meninggalkan canopic itu di sini begitu saja,” kata Philippa.
“Orang lain bisa saja membuka dan mengeluarkan Akhenaten tanpa sengaja.”
Para pendeta Jin itu mulai duduk di lantai Ruang 6Sseolah menunggu ditangkap.
“Ayo,” kata John. “Aku punya ide.” Dia menyambar ‘idiot fi iter’ dan mulai
berjalan ke arah yang berlawanan dengan tangga sebelah barat. “Jangan buang-
buang waktu.”
Benar. Sudah ada petugas keamanan yang menaiki tangga berlapis mosaik itu,
dan mereka terkejut karena menemukan apa yang terlihat seperti tujuh puluh pria
ber kostum Mesir kuno.
“Mau apa kau, Mustapha?” tanya petugas kedua. “Apakah ini demonstrasi? Atau
pertunjukan seni?”
“Mungkin ini kelompok kilat,” komentar yang lain. “Aku pernah baca yang
seperti ini di koran.”
Dengan begitu banyak orang berkepala botak yang memblokir pintu Ruang 65,
para petugas tidak
me merhatikan si kembar yang lari keluar Ruang Mumi ke arah ruang tempat
koleksi benda Yunani dan Romawi.
Sebuah pintu yang tampak mewah, muncul pada kotak pajangan. Setelah
membukanya, John mulai mengatur ulang berbagai pajangannya.
“Mereka takkan tahu bedanya,” John berpendapat. Dia menurunkan vas Apuiian
yang asli ke sisi seberang kotak pajangan itu, lalu menutup pintu.
“Apa tidak lebih baik kalau kau letakkan canopic di salah satu galeri Mesir?”
Philippa mengajukan keberatannya.
“Mungkin,” kata John. “Tapi galeri-galeri Mesir itu mungkin sudah dipenuhi
petugas sekarang. Dan lebih penting lagi, mereka mungkin perlu waktu berhari-
hari untuk memeriksa semua pajangan untuk
mengetahui apa yang telah dicuri. Mungkin mereka akan menutup galeri itu
untuk sementara waktu. Sedangkan ruangan ini tampaknya tak terganggu.”
“Aku sudah pikirkan itu,” ucap John sambil menunjuk ke vas biru metalik yang
menempati kotak kaca sendirian. Dia sudah memakai kekuatan Jin untuk
menciptakan lubang kecil di bagian atas kotak. Melalui lubang itulah mereka
akan mengubah wujud.
“Tapi kita belum pernah melakukan perubahan wujud,” ujar Philippa. “Tidak
sendirian. Dan tentu saja tidak di iklim yang dingin.”
“Kita tidak punya pilihan,” desak John. “Atau kita akan ditangkap petugas. Dan
kalau kita tertangkap, kita mungkin akan dipulangkan, dan Nimrod akan terjebak
di sini selama berabad-abad. Lagi pula vas itu cantik. Mungkin kau tidak
perhatikan, malam ini panas. Menurutku kita bisa melakukan ini.” John meraih
tangan Philippa. “Kita masukkan tubuh kita ke dalam vas ini. Besok, setelah
keributan reda dan keadaan aman, kita akan keluar, mengambil canopic berisi
Nimrod, dan segera pulang.”
“Karena dengan hantu Akhenaten di dalamnya, kita tidak bisa mengambil risiko
memakai kekuatan Jin pada canopic itu,” jelas John. “Kita harus tunggu sampai
museum buka kembali besok pagi jam sepuluh, lalu berusaha
menyelundupkannya keluar
Philippa mengangguk setuju karena dia tidak punya rencana lain. Berdiri di
depan vas itu, mereka berpegangan tangan dan berusaha menyiapkan diri.
Philippa mulai berkonsentrasi pada vas yang akan mereka masuki.
“Ini Vas Portland,” katanya. “Dibuat sekitar awal milenium pertama. Vas ini
dihancurkan menjadi lebih dari dua ratus keping oleh seorang pemuda Irlandia
pada tahun 1845. Tapi di zaman sekarang, ini dikenal sebagai subjek dari puisi
terkenal karya John Keats yang berjudul Ode on a Grecian Urn’. Itu ada dalam
buku puisiku,” katanya sambil mengangguk ke belakang, tepatnya ke arah ran
selnya. “Buku yang diberikan Mister Groanin.”
“Kau sudah selesai?” tanya John tidak sabar. Di luar ruangan, dia bisa dengar
anjing polisi menggong gong.
“Ya,” jawab Philippa. “Aku hanya berusaha ber konsentrasi pada vas itu, itu
saja.” “Pada hitungan ketiga?” “Pada hitungan ketiga.”
“Tidak, tunggu. Kita harus ingat untuk masuk berlawanan dengan arah jarum
jam.” John memandang Philippa dengan tatapan kosong. “Belahan bumi utara.
Ingat? Ruang, waktu. Untuk membuat waktu di dalam vas terasa lebih cepat.”
” - MARVELISHLYWONDERPIPICAL!“TXT BY OTOY
http://ottoys.wordpress.com
24
Bagi John, berada di dalam Vas Portland itu akan jadi malam yang panjang.
Bahkan jadi lebih panjang lagi oleh Philippa. Begitu Philippa sudah duduk
nyaman di kursi merah muda rancangannya sendiri, dia mengeluarkan buku New
Oxford Book of English Verse dari ransel perampoknya, dan mulai membaca.
“Bagaimana kau bisa membaca di saat seperti ini?” tanya John sambil berjalan
mondar-mandir di bagian dalam vas, “apalagi setelah apa yang terjadi pada
Nimrod.”
“Aku berusaha untuk tidak memikirkan apa yang terjadi pada Nimrod,” jawab
Philippa. “Kalau memikirkan dia, aku pasti menangis. Mana yang lebih kau
suka?”
“Kau benar,” John menyetujui, “kalau begitu kau baca sajalah. Perhatian ini
dengan sendirinya bisa kualihkan.”
Philippa membaca keraskeras bait pertama dari puisi karya John Keats yang
terinspirasi oleh Vas Portland:
“Kaulah pengantin ketenangan yang tak terkoyak, Anak angkat kesunyian dan
waktu yang lambat
Hingga sejarawan Sylvan itu dapat menyatakan Kisah yang lebih manis daripada
sajak kami:
bentukmu.
Di ceiah atau lembah Arcadia? Manusia atau dewa apakah ini? Apa yang dibenci
para perawan?
“Kita pasti tak mengira orang ingin menulis puisi tentang vas tua bodoh itu,”
ungkap John. “John Keats. Pendapatnya tentang vas Yunani kuno mungkin akan
sangat berbeda kalau dia menghabiskan malam di dalamnya.”
“Tidak seharusnya kita bermalam di dalam sini,” ujar Philippa. “Secara tidak
mutlak, paling tidak.” John memandangnya dengan tatapan kosong. “Kita ma
suk berlawanan arah dengan jarum jam, kan?” John mengangguk. “Dengan
begitu kita bisa berasumsi kalau waktu di luar vas ini akan berlalu lebih cepat
daripada waktu di dalamnya.”
“Tentu saja,” sahut John. “Kita hanya harus tinggal di sini selama sepuluh atau
lima belas menit dan hari sudah berganti pagi.” Dia melihat arlojinya. “Tidak
lama lagi kita sudah keluar dari sini.”
“Kuharap kita bertemu Mister Groanin,” ujar Philippa. “Dia pasti khawatir kalau
tidak bisa kembali ke Ruang Mumi untuk mencari botol Coke itu.”
“Tidak secemas itu kalau dia bisa masuk, dan membawa pulang botol tersebut,
kemudian mendapati kita tidak ada di dalamnya.”
Mereka menempelkan telinga di kaca, karena itu adalah bahan pembuat Vas
Portland. Dengan saksama mereka mendengarkan suara dari ruangan di luar,
untuk mencari tahu apakah ada orang di sana.
“Sepertinya kita harus mengambil risiko,” cetus John. Dia menggenggam tangan
saudaranya. “Siap?”
Tinggi Vas Portland itu hanya seperempat meter. Kaca biru gelap dari badan vas
itu ditutupi beberapa patung manusia yang terbuat dari kaca putih. Patungpatung
manusia mitologi: Poseidon, Aphrodite, dan, mungkin, Paris, prajurit Troya yang
hebat. Patungpatung itulah yang membuat vas terasa memiliki semacam aura
magis, seolah ular yang dipegang Aphro dite mendadak dapat tumbuh besar dan
memakan Cupid yang terbang melayang di atas kepalanya. Kirakira begitulah
yang ada di benak mahasiswa seni saat membuat sketsa untuk tugas kelasnya.
Mulamula dia bertanya-tanya, apakah asap yang membumbung keluar dari vas
itu adalah ilusi optik, atau mungkin mahasiswa itu telah berkhayal lantaran dia
telah begadang beberapa malam untuk menye lesaikan lukisan untuk si pembeli.
Konon Van
Gogh menjadi gila karena terlalu banyak bekerja. Dan mahasiswa seni itu sadar
kalau dia juga akan menjadi gila. Setidaknya mahasiswa itu akan tergolong
menjadi orang yang terkenal.
Mahasiswa itu meletakkan pensil dan buku sketsanya, melepas kacamata, dan
mengosok-gosok matanya. Sementara di saat itu, asap sudah turun ke lantai dan
sama sekali tidak mirip asap, namun lebih mirip ectoplasma - sesuatu yang
diyakini sebagian orang merupakan bahan pembentuk hantu. Secara naluri,
mahasiswa itu mundur beberapa langkah dari sesuatu yang dibayangkannya
adalah tempat vas itu - karena kini asap sudah cukup tebal. Dia baru saja akan
berlari keluar ruangan untuk menyalakan alarm saat asap itu lenyap dengan
kecepatan yang tidak lazim. Dan asap itu berubah menjadi dua orang anak,
berumur sekitar dua belas tahun. Keduanya memakai pakaian serba hitam
dengan wajah yang dihitamkan, seperti dua orang perampok kecil.
Philippa tersenyum ramah, setelah memungut buku sketsa mahasiswa itu dan
melihatlihat gambar di dalamnya dengan penuh minat. “Lumayan,” kata Philippa
bersahabat. “Bisa kubayangkan ini agak sulit digambar.”
Mahasiswa itu mengambil buku sketsanya dari Philippa dan menggeleng. “Aku
tidak berbakat. Kalau saja aku berbakat, segalanya akan berbeda. Aku
benarbenar berharap kalau aku berbakat.”
“Oooh, aku merasa agak aneh,” kata Philippa yang duduk di lantai. Tapi dia tahu
perasaan seperti itu. Perasaan yang sama dengan yang apa yang pernah dia
rasakan di New York saat Mrs Trump berharap dapat memenangkan lotere.
“Agak dingin di sini.”
“Kau baik-baik saja?” tanya mahasiswa itu, “mau kuambilkan segelas air?”
John datang dan membantunya berdiri. Ransel John tampak berat karena beban
canopic itu. Philippa melempar tatapan bertanya kepada John yang kemu dian
menjawab dengan anggukan.
“Aku baik-baik saja,” ujar Philippa tersenyum ramah pada mahasiswa itu.
“Mister…?”
Philippa menyentuh buku sketsanya dan melihat gambar itu lagi, mengenali
kebenaran yang tidak bisa disangkal dari apa yang dikatakan mahasiswa itu.
Gambar itu dibuat oleh seniman yang punya sedikit atau bahkan tidak punya
bakat sama sekali. Tapi keadaan akan berbeda sekarang. Begitu dia meyakininya.
“Kami harus pergi,” katanya. “Dan Mister Finger, kau salah. Kau punya bakat.
Bakat besar. Kau hanya belum me nemukannya. Ikuti nasihatku dan cari lagi
besok. Kurasa kau akan terkejut melihat perbedaan yang dibuat dalam sehari.”
“Katamu aku harus mengalihkan perhatiannya,” kata Philippa. “Jadi itu yang
kulakukan.”
“Agak tolol, menurutku,” kata John. “Mengapa ada orang yang ingin
menggambar vas tua?”
Beberapa menit kemudian mereka telah berada di luar BM, berdiri di depan kios
majalah, dan mencari taksi. Pada saat itulah mereka melihat tajuk utama koran
The Daily Telegraph: 70 ORANG MESIR MEMBOBOL BRITISH MUSEUM,
dan foto dari beberapa pendeta Jin yang naik ke dalam van polisi. Philippa
membeli suratkabar itu dan membaca beritanya keraskeras.
“Sebanyak tujuh puluh pria yang berpakaian pendeta Mesir kuno, ditahan pada
Selasa malam saat polisi dipanggil ke British Museum menyusul laporan
pembobolan Ruang Mumi galeri Mesir kuno. Tidak diketahui pasti apakah pria-
pria itu - yang berkepala botak, berpakaian pendeta Mesir kuno, dan sedikit
sekali bisa berbahasa Inggris - berkumpul untuk memprotes pameran mayat-
mayat yang diawetkan. Beberapa di antaranya berumur beberapa ribu tahun,
yang dipindahkan dari tempat peristirahatan asli me reka di awal abad terakhir.
Juru bicara British Museum mengonfi rmasikan bahwa beberapa artefak yang
lebih kecil rusak atau hilang. Pengacara untuk para pria itu, yang semua
tampaknya berasal dari Timur Tengah, meskipun sejauh ini tak seorang pun di
antara mereka yang
bisa diidentifi kasi, mengatakan pada Telegraph bahwa mereka akan mencari
suaka politik di Inggris. Pada hari Rabu, Perdana Menteri mengatakan pada
Parlemen bahwa jika terbukti semua pria itu memasuki negara ini secara ilegal,
mereka akan dipulangkan. Beberapa tahun terakhir ini, ada beberapa telepon dari
para pendukung yang mengatakan bahwa mumi di British Museum seharusnya
telah dikuburkan dengan selayaknya. Mrs Deirdre Frickin-Humphrey-Muncaster
yang berasal dari kelompok Mums for Mummies yaitu sebuah kelompok yang
menuntut perubahan, mengatakan bahwa ‘Peristiwa ini menyoroti skandal yang
sudah ada selama beberapa dekade di British Museum. Setiap orang berhak
dikuburkan dengan layak, tak peduli berapa lama mereka sudah mati’.”
“Aku sependapat,” ujar Philippa. “Sudah waktunya kita belajar agak lebih
menghargai kebudayaan lain.”
“Kalian membuat kami sangat cemas,” kata Mister Groanin. “Dengan polisi
berkeliaran di mana-mana, aku tak bisa mendekati galeri Mesir kemarin. Dan
pagipagi sekali tadi, saat ke sana, aku tak menemukan apa-apa. Bahkan di dalam
botol Coke itu.” Groanin mengernyit. “Di mana Nimrod?”
“Ceritanya panjang,” jawab John yang lalu menceritakan apa yang telah terjadi.
Bagaimana Nimrod terjebak di dalam canopic bersama Jin yang merasuki hantu
Akhenaten dan mereka berharap Mister Rakshasas akan tahu apa yang harus
dilakukan selanjutnya. Jin tua itu mendengarkan dengan seksama, memeriksa
canopic yang berisi Nimrod dan hantu Akhenaten, kemudian menggelengkan
kepala dengan sedih.
“Apa pun yang kita lakukan,” kata Mister Rak shasas, “jangan buka tutup
canopic ini, karena Akhena ten akan keluar lagi.” Dia mendesah pasrah.
“Kasihan Nimrod.”
“Tapi Nimrod bisa menyamankan diri di dalam sana, kan?” tanya John.
“Oh, dia tak akan berani banyak memakai ke kuatannya,” jawab Mister
Rakshasas. “Karena takut itu justru akan membantu memperkuat Akhenaten.”
Hercules. Tepatnya, teka-teki Sphinx. Aye, tentu saja, ini per mainan katakata.”
“Kalau itu kami sudah tahu,” ucap John sabar. “Bagaimana kita akan
memecahkannya?”
“Aku tidak tahu,” Mister Rakshasas mengakui. “Sejujur nya, aku belum pernah
menemui masalah seperti ini.”
“Pasti ada caranya,” ujar John. “Hercules melaksanakan dua belas tugas yang
diperintahkan kepadanya, dan Oedipus memecahkan teka-teki Sphinx. Pasti kita
bisa menyelesaikan masalah ini kalau kita semua menyatukan pikiran.”
Mister Rakshasas mengangguk pelan. “Otak muda kalian jauh lebih tajam
daripada otakku,” katanya. “Pipa tua mengeluarkan asap termanis, tapi pipa baru
membakar lebih cepat. Mungkin kalian bisa memikirkan sesuatu. Tapi kuakui
bahwa, setidaknya untuk saat ini, aku tidak bisa.”
“Saat kami berada di dalam botol Coke,” akhirnya begitu katanya, karena
pikiran itu membutuhkan beberapa saat untuk mencapai mulutnya, “Ada sesuatu
yang dikatakan Nimrod tentang Iblis. Sesuatu tentang Jin yang memiliki sifat
seperti kadal. Bagaimana darah panas mereka menjadi lambat dalam udara
dingin.”
“Tapi,” bantah Mister Rakshasas, “begitu berada di dalam canopic, kalian juga
akan kedinginan; dan kekuatan kalian pun akan melemah.”
“Kami bisa memakai pakaian antariksa,” ujar John, yang menyukai rencana
Philippa. “Di antariksa, suhunya benarbenar mencapai nol, tapi dalam pakaian
itu kita bisa tetap nyaman dan hangat. Dengan begitu kami bisa masuk ke
canopic dan tetap tidak terpenga ruh oleh udara dingin.”
“Ide yang hebat,” ujar Philippa. “Tapi tempat mana yang cukup dingin?”
“Bagaimana dengan Kutub Utara?” usul John. “Dengan cara itu, kalau
Akhenaten memang berhasil lolos, kemungkinan jatuh korban akan lebih kecil.
Begitu juga kalau dia merusak sesuatu.”
“Kacau,” kata Groanin, memalingkan wajah dari pemandangan itu seolah dia
tidak tahan melihatnya.
Philippa mundur selangkah dan menunjuk ke arah topi lancip petugas itu dengan
perasaan jijik. Sambil mengernyit jengkel, petugas itu melepas topi nya. Dia
mendapati sepertinya ada banyak hal di Bandara Sheremetyevo Moskow. Topi
petugas itu dirayapi kecoak-kecoak besar. Dia berteriak jijik dan menjatuhkan
topi itu ke lantai. Memanfaatkan kesempatan itu, Philippa meng ucapkan kata
fokusnya lagi. Kali ini untuk menciptakan tiruan sempurna dari canopic yang
berisi Nimrod dan hantu Akhenaten. Di saat yang sama, dia masukkan canopic
yang asli ke dalam ranselnya. Ketika petugas itu sudah mene-TEMPAT
TERDINGIN DI BUMI
nangkan diri, dia membuka tutup kepala babon dari canopic yang berukuran
lebih kecil. Pada saat membukanya, terdapat canopic lain di dalam canopic itu,
dan begitu seterusnya, sampai meja petugas itu di penuhi dengan tutup dan
badan lebih dari selusin canopic, seperti boneka Matrushka Rusia. Petugas itu
pun tampak lelah, ditambah lagi ada kecoak lain yang merayap di tengkuknya,
maka dia menyuruh si kembar pergi.
“Ya ampun,” ujar Groanin, saat Philippa sudah menutup ranselnya lagi. “Aku
tadi sempat berpikir permainan ini sudah selesai. Aku bilang, aku kira permainan
ini sudah berakhir. Dan kita semua akan menuju kamp kerja paksa di Siberia.”
“Kau berpikir dengan cepat, Phil,” puji John. “Bagus. Kecoak-kecoak itu sangat
inspiratif. Dari mana kau dapat ide itu?”
“Kecoak?” Philippa menunjuk ke gerai bar kopi di dekat sana di mana beberapa
kecoak berjalan malas melintasi sepotong kue yang tidak dimakan. “Tempat itu
penuh kecoak. Kurasa beberapa kecoak lagi tidak akan tampak aneh bila berada
di topi pria itu.”
Dari Norilsk, yang merupakan salah satu kota terbesar dalam Lingkar Kutub
Utara, mereka terbang ke Khatanga, di Semenanjung Taimyr. Dari
“Aku tidak tahu apa yang kulakukan di sini,” keluh Groanin malam itu, saat
mereka bertiga duduk menggigil di dalam tenda anti-badai, “sungguh, aku tidak
tahu. Bagai zmana aku bisa ikut ke tempat yang jelek ini. Aku takkan pernah
tahu. Inilah tempat terakhir di bumi yang ingin kudatangi. Kupikir Mesir sudah
jelek, tapi ini jauh lebih parah. Tidak mengapa bagi Mister Rakshasas. Aku
yakin
dia nyaman sekali di dalam lampunya. Aku bertaruh dia punya semua yang
nyaman. Tapi aku tidak berkeberatan memberitahu kalian kalau aku sudah
bosan. Usia dan segala keku rangan ini membuatku tidak pantas melakukan perja
lanan di mana aku bisa saja menjadi santapan beruang kutub sialan. Bisa
kudengar suara mereka semalam, mengendus-endus di sekeliling bak sampah di
luar. Aku tidak tidur sekejap pun. Kubilang, aku tidak tidur sekejap pun.”
Philippa memberi Groanin secangkir kopi panas dengan harapan itu bisa
membuatnya berhenti menggerutu.
“Dengar ya, kalian berdua,” katanya sambil menarik janggut yang dia pelihara
sejak tiba di Rusia. “Untuk apa kalian pergi jauh-jauh ke Kutub Utara?
Menurutku, tempat kita sekarang ini sudah cukup dingin untuk tujuan kalian.
Takkan lebih dingin lagi di sana daripada di sini. Bahkan Kutub Utara saja bukan
tempat yang tepat. Tempat itu cuma sekadar bacaan kompas di peta, atau
semacam navigasi satelit. Bukan berarti kalian bisa meng ambil gambar atau apa
saja. Kuberitahu, kalau aku punya tiga permintaan…”
“Tentu saja aku benar. Begini, mengapa tidak kalian buka saja canopic itu di sini
nanti malam? Pada tengah malam. Saat semua orang sudah tidur. Dengan cahaya
matahari selama dua puluh empat jam di tempat ini, akan sama mudahnya
melihat apa
“Hawanya dingin,” kata Philippa. “Dan mungkin lebih baik kita lakukan lebih
cepat, demi kebaikan Nimrod.”
“Baiklah.” John mengeluarkan canopic itu dari ransel Philippa, dan berdiri
dengan penuh tekad.
“Meletakkan canopic itu di luar sana,” jelas John. “Aku ingin memastikan kalau
hantu Akhenaten sudah membeku saat kita buka tutup canopic ini. Sementara
itu, sebaiknya kau memberitahu Volodya kalau ada sedikit perubahan rencana.”
Pemandu mereka, Volodya, seorang pria kecil berkacamata kotor dan kumis
kecil tipis, bisa dime ngerti bila dia menjadi bingung saat Groanin dan Philippa
memberitahukalau mereka berubah pikiran dan benarbenar tak ingin pergi ke
titik geografi s aktual - nol derajat garis lintang dan garis bujur -yang menandai
Kutub Utara.
“Tapi sertifi kat penjelajah kalian,” katanya. “Untuk menyatakan bahwa kalian
pernah ke sana. Bagaimana dengan itu?”
Philippa mengangkat bahu. “Itu cuma arah di kompas, tidak ada bendera atau
apa pun di sana, kan?”
“Aku tidak bisa mengembalikan uangnya, kalau itu yang kau maksud.”
“Kami tidak meminta pengembalian uang,” tukas John. “Bukan itu maksud
kami. Hanya saja anggota kelompok kami yang dewasa, Mister Groanin, dia
sudah mulai bosan.”
Volodya mengangkat bahu. “Aku hanya merasa aneh, kalian sudah pergi sejauh
ini lalu berhenti tidak jauh dari titik tujuan. Tapi kalian ada benarnya juga.
Sejauh 113 kilometer ke utara pun tetap disebut Kutub Utara. Jarak 113
kilometer bukan apa-apa di atas es ini.” Dia mengetuk-ngetuk kepalanya. “Kutub
Utara mungkin hanya ada dalam pikiran manusia. Jadi, mungkin aku akan tetap
memberi kalian sertifi kat penjelajahan itu.”
“Sup anjing laut dan es krim,” jawab Volodya, sambil melempar senyum yang
memamerkan gigi bogangnya. “Enak, kan?”
“Jangan lagi,” erang Groanin. “Kita sudah makan sup anjing laut sialan itu
kemarin malam. Rasanya seperti makan irisan karet panas.”
“Tidak,” sergah Groanin. “Apa kau tidak punya beruang kutub atau yang
lainnya?”
“Sulit sekali membunuh beruang kutub,” sahut Volodya. “Tapi beruang kutub
justru membunuh para pemburu dengan sangat mudah.” Volodya mengangkat
bahu. “Anjing laut yang terbaik. Dan, sudah pasti, es krim Rusia.”
“Terserahlah,” komentar Groanin.TXT BY OTOY http://ottoys.wordpress.com
“Mengapa? Apa kau tidak suka es krim Rusia? Semua orang tahu es krim Rusia
ini yang terlezat di dunia.”
“Siapa yang bilang?” tanya Groanin, saat mereka kembali ke tenda mereka
sendiri. “Aku bertanya, siapa yang bilang kalau es krim Rusia yang terlezat di
dunia? Sudah jelas dia belum pernah makan es krim Italia. Itulah es krim terlezat
di dunia. Setidaknya es krim itu mengandung telur, susu, dan gula. Sedangkan
satusatunya bahan dalam es krim Rusia adalah es.”
“Apa salahnya kalau dia menjadi bahagia lantaran penjelasannya itu?” tanya
Philippa.
“Ya, tapi apa pengaruhnya? Saat kau di sini, dan tak ada yang bisa dimakan
kecuali es krim Rusia, mungkin akan membantu untuk berpikir kalau es krim
Rusia adalah yang terlezat di dunia.”
“Kalau aku,” ujar Groanin. “Kurasa akan kubiarkan wanita itu menang.
Menurutku kita semua akan beruntung kalau dia bernasib baik.”
“Aku sependapat denganmu,” kata Philippa dan meng gumamkan kata fokusnya
untuk memastikan kalau Anna dapat memenangkan empat kesempatan
berikutnya seperti yang diperkirakan Groanin. Ternyata itu sangat mengubah
suasana menjadi baik di tenda.
Sekitar setengah jam kemudian, Groanin dan si kembar pergi ke tenda mereka.
Groanin pun tertidur. Si kembar menunggu kedua orang itu usai
“Aku setuju,” sahut Groanin, sambil mengangkat ransel berisi baju panas
Nimrod ke punggung John.
“Berdoalah,” ujar Mister Rakshasas, “bau apa ini? Sungguh tidak sedap.“TXT
BY OTOY http://ottoys.wordpress.com
“Sup anjing laut,” jawab Groanin. “Percayalah, sebusuk apa pun baunya, itu
tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan rasanya.”
“Aku tidak tahu tentang itu,” Groanin mengakui. “Tapi percayalah, kau tak
banyak merugi, makanan itu payah, dan kualitas tendanya buruk. Aku benci
memikirkan apakah helikopter itu layak terbang atau tidak. Satusatunya yang
berjalan dengan baik di sini hanyalah janggutku.”
“Kalau sering dikatakan bahwa pada musim dingin susu beralih ke tanduk sapi,
itu benar juga,” ucap Mister Rakshasas kembali mengucapkan istilah-istilah
yang hanya dimengerti oleh dirinya sendiri.
Saat si kembar selesai mengenakan baju luar angkasa bekas NASA yang John
beli di Harrods, keduanya melangkah ke luar tenda dan menghadapi angin utara
yang menggigit dengan merasa sehangat panggangan.
“Satu langkah kecil bagi manusia,” canda John. “Satu langkah raksasa bagi
kemanusiaan.”
John mengambil canopic dan menunjuk ke kejauhan, “Ayo kita menjauh dari
tenda,” dia ber teriak agar suaranya dapat terdengar dari dalam helm luar
angkasa. “Siapa tahu ada yang mendengar.” Komunikasi antara dia dan Philippa
lebih mudah, dengan mikrofon radio di dalam busana luar angkasa mereka.
Masih memegang canopic dengan dua tangannya yang berbaju luar angkasanya
berwarna oranye, John berjalan sekitar sembilan puluh meter ke utara dari
perkemahan.
“Kelihatannya ini tempat yang bagus,” katanya sambil mendongak saat satu
benda ringan dan berbulu lembut melayang di udara dan mendarat pada kaca
helmnya.
saikan misi itu sebelum angin kencang berubah menjadi badai salju. Dia
meletakkan canopic itu di salju, lalu mundur selangkah.
“Bagaimana kau bisa tahu kalau itu yang akan terjadi?” tanya Philippa.
John dan Philippa memberinya tanda ibu jari yang terangkat, lalu menggenggam
tangan masing-masing.
“Kalian harus memeluk Nimrod dan saling berpegangan sebelum mulai berubah
wujud,” lanjut Mister Rakshasas. “Dan jangan sekali-sekali berubah wujud kalau
kalian disentuh Akhenaten. Itu akan berbahaya bagi kalian bertiga.”
“FABULONGOSHOO - !”
” - MARVELISHLYWONDERPIPICAL!”
Udara dingin di depan helm mereka berubah menjadi asap dan Mister Rakshasas
mengangkat tutup canopic itu. Hal terakhir yang dilihat si kembar sebelum asap
yang berlawanan arah jarum jam membungkus mereka dan mengantarkan ke
dalam canopic adalah beruang kutub raksasa yang berderap kelaparan ke arah
mereka.
Di ruangan antara bagian luar dan dalam canopic, John berkata, “Beruang. Kau
melihatnya? Beruang kutub besar. Dia pasti mencium bau sup anjing laut.”
Mengenakan mantel bulu tebal, topi, sarung tangan dan sepatu bot, Nimrod
duduk di lantai canopic, bersandar pada dinding kapur yang melengkung dengan
lutut ditarik ke dada. Rambutnya sekaku sikat kawat dan tak ada jejak napas
keluar dari mulut atau lubang hidungnya. Di ujung berlawanan lantai itu
terbaring apa yang dipandang sekilas oleh si kembar terlihat seperti sebuah karya
seni modern, berbentuk semi transparan, ke biruan, dan berkilau dari patung
mengerikan, sama seperti yang mereka lihat di Cairo Museum. Itu hantu
Si kembar berlutut di sebelah paman mereka dan menatap wajahnya yang pucat
membeku. Nimrod tak bergerak sedikit pun atau menunjukkan tanda-tand nyata
kalau dia mengetahui kehadiran si kembar disampingnya. Mata cokelatnya yang
biasanya hangat dan bersinar-sinar, kini terbuka tanpa berkedip. Sewaktu John
menyentuh dengan tangannya yang bersarung, dia merasa tubuh pamannya
mengeras, seolah sudah beku. Selama beberapa saat si kembar membisu.
“Coba ulangi lagi,” ujar John. “Jangan ulangi! Setelah kupikir-pikir, jangan
diulangi. Kurasa otakku tidak sanggup mencernanya.”
“Yang kumaksud, dia tidak mati karena dia tidak benarbenar hidup di dalam sini.
Kita harus mengeluarkan dan menghangatkan tubuhnya. Lalu kita akan lebih
mengetahui kondisi kesehatannya.”
“Beruang itu,” teriak John. “Dia mengendus-endus bagian dalam canopic untuk
mengetahui apakah ada sesuatu yang bisa dimakan.”
Hembusan udara lain membanjir ruang canopic. Mata Philippa yang awas,
melihat ujung rambut beku Nimrod agak menekuk dan kemudian berubah
menjadi tetesan embun. “Dia meleleh,” teriaknya. Sewaktu menatapnya, pupil
salah satu mata Nimrod sepertinya agak menyipit. “Dia hidup. Dia hidup.”
John memeriksa alat pengukur suhu yang terdapat di pakaian antariksanya. “Itu
karena suhu di dalam sini meningkat,” katanya. “Lihat! Napas panas beruang itu
menghangatkan bagian dalam canopic ini.”
Bahkan saat bicara dia memandang dengan panik kearah Akhenaten. Hantu Jin
Firaun itu ikut meleleh juga, lebih cepat ketimbang Nimrod. Memang kenya
taannya, hantu - bahkan hantu Jin dari Mesir - memiliki toleransi terhadap dingin
yang lebih besar dibandingkan dengan Jin mana pun. Tak ada keraguan soal itu.
Mata Akhenaten yang berbentuk seperti buah badam mulai terbuka, seolah
bangkit dari tidur nyenyak yang panjang.
“Tak ada waktu untuk memasukkan Nimrod ke dalam baju panas,” kata John.
“Sebelum Akhenaten sadar, kita harus keluarkan dia sekarang juga, walaupun
masih membeku.”
“Bagaimana dengan beruang kutub itu?” tanya Philippa. “Binatang itu bisa
menyerang kita.”
lain yang bisa kita lakukan. Kita berharap saja asap dari perubahan wujud kita
akan membuatnya bingung sekian lama sehingga kita bisa memikirkan sesuatu.”
John meng genggam tangan Nimrod dan kemudian tangan saudaranya. “Siap?”
“Ayo!”
“FABULONGOSHOO - ” “ABECEDARIAN!”
” - MARVELISHLYWONDERPIPICAL!”
Panas yang dihasilkan dari gabungan kekuatan Jin si kembar dan perubahan
wujud mereka, cukup untuk membuat Nimrod lebih tersadarkan. Pria itu pun
mengerangan nyaring tanpa disengaja. Mendengar itu, beruang tadi pun berbalik
dan melihat mereka.
“Oh-oh,” ujar John dan berdiri. Jelas beruang kutub itu siap menyerang. John
punya waktu beberapa detik untuk memutuskan apa yang harus dilakukan.
Beruang kutub besar itu tidak pernah makan manusia atau bahkan Jin, tapi dia
tentu saja mau mencoba jenis daging baru itu. Dengan hidung hitam pekat yang
mengendus-endus aroma mangsa—
nya, be ruang itu berlari kencang ke arah ketiga Jin itu sambil meraung keras.
Tidak banyak waktu untuk berpikir atau berkon sentrasi. Itulah hal pertama yang
dapat dipikirkan John. Dia teringat ketika Nimrod mengajak mereka ke padang
pasir untuk mencoba kata fokus pertama yang mewujudkan makanan piknik.
“ABECEDARIAN!”
Sementara beruang itu makan dengan gembira dan hampir tidak memerhatikan
ketiga Jin itu, John masih mengambil jarak yang lebar, siapa tahu hewan itu
ingin berbagi pikniknya, dan berlari cepat ke arah canopic yang menggeletak.
Sepertinya tepat waktunya. Karena segumpal asap tipis kebiruan perlahan mulai
muncul di dekat bagian atas canopic, seperti asap dari rokok yang hampir
padam. John dapat mengira kalau ini pasti hantu Akhenaten yang berusaha kabur
dalam keadaan sete ngah membeku. Tapi masalahnya, di manakah tutup canopic
itu? Karena terbuat dari batu kapur putih, benda itu tidaklah mudah ditemukan di
tanah yang tertutup salju.
Dia masih mengais-ngais tanah saat, beberapa meter dari tempatnya, sebuah
gundukan salju besar bergerakgerak. Dan selama beberapa detik John mengira
itu mungkin beruang kutub kedua. Lalu, dari dalam salju, muncullah Mister
Rakshasas dan Groanin.
“Apakah ini yang kau cari?” ujar Groanin sambil melemparkan tutup botol itu
kepada John. Untuk ukuran orang yang punya lengan normal, lemparan itu
mungkin lemparan sulit; tapi bagi lengan buntung Groanin yang ber kembang
dengan baik, itu adalah hal mudah, dan tutup canopic itu melesat ke arah sarung
tangan John yang merentang seperti puck hoki ukuran ekstra besar.
“Tangkapan yang bagus, Anak Muda,” ujar Groanin. “Kau bisa menjadi pemain
kriket yang hebat.”
“Aku cukup sering main bowling saat masih muda,” jelas Groanin.
“Selamat,” ujar Mister Rakshasas. “Kau tepat waktu, me nurutku. Satu detik
lagi, Akhenaten pasti sudah bebas.”
“Saat beruang itu muncul?” ulang Mister Rak shasas. “Aku gunakan kekuatanku
yang sangat terbatas untuk men ciptakan igioo di sekeliling kami. Pastinya,
cuma itu yang bisa kupikirkan.”
“Tepat pada waktunya juga,” ujar Groanin. “Kalau bukan karena igioo itu, kini
kami pasti sudah berada di dalam perut beruang itu.”
“Lumayan,” jawab Nimrod. “Berkat kau dan Phil. Tak ada paman yang pernah
memiliki dua keponakan pemberani seperti kalian. Kalian adalah kebanggaan
semua bangsa Jin.”
“Apa yang akan kita lakukan padanya?” tanya John sambil memberi isyarat ke
arah canopic yang masih dipegangnya.
“Benar. Aku tak akan tenang kalau itu belum diamankan,” kata Nimrod.
Satu jam kemudian, saat kekuatan Jin Nimrod sudah pulih, dia mengikat canopic
itu dengan seke-ran jang kawat titanium, lalu menurunkannya ke dalam lubang
di es yang dibor ke dalam Laut Arktik. “Beres,” katanya. “Kurasa itu hal terakhir
yang akan kita dengar tentang hantu Akhenaten.”
“Dan kini,” ujar Nimrod. “Kalau tidak keberatan, kurasa sudah waktunya aku
masuk ke lampumu, Mister Rakshasas. Aku butuh mandi air panas, secangkir
teh, dan kemudian tidur yang lama. Kalian tak tahu betapa melelahkan berada di
dalam canopic menjengkelkan itu. Bertarung melawan roh jahat Akhenaten,
pagi, siang, dan malam. Aku lelah.”
“Tidak apa-apa bagi sebagian orang,” keluh Groanin setelah Nimrod dan Mister
Rakshasas menghilang kedalam lampu kuningan. “Aku berharap bisa mandi air
panas dan minum secangkir teh enak.” John dan Philippa tersenyum
berpandangan.
Ketika kembali ke London, berita besarnya adalah ketujuh puluh Jin Akhenaten
yang hilang, yang kini disebut oleh koran-koran sebagai Bloomsbury Seventy,
telah dideportasi kembali ke Mesir. Ini membuat mereka se mua sangat bahagia
karena, setelah beberapa ribu tahun, mereka semua sangat rindu pada negara
mereka dan pemandangan piramida. Sementara itu, gelombang panas telah
melanda kota itu, yang mem buat si kembar sangat puas. Dengan suhu sekitar 32
derajat Celsius, London hampir sepanas Kairo. Selama waktu singkat yang
tersisa sebelum kembali ke New York, John dan Philippa bisa mengambil
keuntungan dari suhu seperti itu untuk melanjutkan pelajaran mereka sebagai Jin
di bawah pengawasan Nimrod. Mereka mulai belajar cara membatalkan tiga
permintaan, cara bepergian di luar batas tubuh mereka, dan cara mendeteksi Jin
lain. Mereka belajar lebih banyak tentang sejarah Jin dan jauh lebih banyak lagi
tentang The Baghdad Rules dari Mister Rakshasas. Dan mereka juga belajar cara
bermain Astaragali.
“Semua Jin terhormat belajar cara bermain Astaragali,” jelas Nimrod. “Ini
permainan dadu kuno, diciptakan dua atau tiga milenium lalu, yang dirancang
untuk meminimalkan efek keberuntungan.
“Sebagai peserta dalam turnamen yunior, ini merupakan kesempatan besar bagi
kalian untuk bertemu Jin lain yang seusia kalian,” ujar Nimrod, “juga untuk
bertemu Jin Biru dari Babilonia yang Hebat, yang biasanya hadir sebagai Juri
Utama.”
“Kusarankan kalian berlatih keras,” ujar Nimrod. “Ini satusatunya arena di mana
keenam suku Jin pernah bertemu dalam kondisi netral dan kompetisi itu sangat
ketat.”
Tak terasa, tibalah saatnya bagi si kembar untuk pulang ke New York naik
pesawat British Airways. Begitu banyak yang telah terjadi sejak mereka pergi.
Nimrod tetap saja menyarankan mereka menyembunyikan sebagian besar
kejadian dari orangtua mereka.
“Beritahu mereka kalau kalian pergi ke Mesir dan kalian mendapatkan banyak
kesenangan,” jelas Nimrod di Bandara Heathrow. “Kesenangan itu baik.
Orangtua suka anakanak mereka bersenang-senang. Kesenangan adalah sesuatu
yang seharusnya didapatkan anak muda seperti kalian. Tapi membobol masuk
BM dan pengalaman fatal di Lingkar Arktika adalah sesuatu yang berbeda. Tak
ada orangtua yang ingin mendengar anakanaknya ham pir dimakan beruang
kutub. Sudah pasti ibu kalian akan curiga. Mungkin dia telah berhenti
menggunakan kekuatan Jin, tapi pasti dia akan merasakan perubahan dalam
homoeostasis yang disebabkan oleh Jin Akhenaten yang hilang. Berkat kalian
berdua.
baik lagi kalau beli beberapa buku lagi dan baca semuanya. Itu perintah. Baca
juga koran. Mulailah berlatih piano. Beginilah dua Jin muda seharusnya bersikap
bila mereka memiliki seorang ayah manusia.
“Ingatkan lagi pada si kembar apa yang kau katakana dulu, Groanin.”
“Berhati-hatilah dengan apa yang kau inginkan,” kata Groanin. “Bukan karena
kau akan mendapatkan nya, tapi karena kau tidak terlalu menginginkannya bila
sudah mendapatkannya.”
“Jangan khawatir,” ujar Philippa. “Kami sudah memikir kan cara untuk membuat
Ayah dan Ibu lebih rileks setelah sampai di East 77th Street nomor 7.”
Dan setelah si kembar mengatakan cara apakah itu, Nimrod menyetujui kalau
mereka mungkin juga memiliki karier di bidang diplomatik nantinya.
“Aku akan merindukan kalian,” ucap Nimrod, saat mereka sampai di bandara.
“Tidak sebanyak kami merindukanmu,” kata Phi lippa sambil memeluk Nimrod,
dan mengusap air mata.
“Kau janji akan mengunjungi kami segera?” Tanya John, merasa ingin menangis
juga.
“Tentu. Sudah kubilang aku akan pergi ke Chicago, kan? Untuk menghadiri
Turnamen Astaragali?” Nimrod mengeluarkan saputangan merah dan mem bersit
hidung.
Mister dan Mrs Gaunt sangat senang bertemu mereka lagi, dan begitu juga si
kembar. Kini mereka baru menyadari kalau mereka saling merindukan dan
mencintai. Mister Gaunt yang paling senang melihat anakanaknya sudah tumbuh
sangat berbudaya dan bijaksana.
Dua anjing Rottweiler itu, Winston dan Elvis, yang dulunya dikenal sebagai Neil
dan Alan, tidak kalah se nangnya melihat kepulangan si kembar dan, pada John
dan Philippa melupakan bahwa dulu mereka - kedua anjing itu - telah berencana
untuk membunuh ayah mereka. Mereka hanyalah dua hewan peliharaan
kesayangan keluarga dan akan
Tentu saja ibu mereka, Layla, merasakan masih banyak lagi yang telah terjadi
pada si kembar diban ding apa yang telah diceritakan kepadanya.
“Jadi apakah kalian akan menceritakan apa yang sebenarnya telah terjadi?”
tanyanya kepada si kembar di malam pertama akhir pekan mereka.
“Paman Nimrod menceritakan semua tentang bagaimana kami adalah Jin dan
menunjukkan cara melakukan banyak hal,” cerita Philippa. Lalu, berusaha untuk
mengalihkan perasaan ingin tahu ibu mereka, Philippa mencari cara agar
keadaan berbalik. “Tapi yang ingin kuketahui: Apakah Ibu akan memberitahu
alasan Ibu tidak mengatakan tentang siapa dan apa kami ini?”
“Sederhana saja,” jawab Layla. “Karena Ibu telah berjanji kepada Ayah kalian
kalau Ibu akan berusaha mem besarkan kalian sebagai anak normal. Dan selama
kalian sama seperti anakanak lain, Ibu terjebak pada janjiitu. Tapi segalanya
berubah saat geraham bungsu kalian muncul. Sejak saat itu kalian adalah Jin.
Dan Ibu tidak lagi terikat janji pada Ayah kalian. Dia mencemaskan kalian, dan
dia juga takut pada kalian.”
“Karena itu kami punya usul,” ucap Philippa. “Kami berpikir, demi keluarga
kita, kami memutuskan untuk tidak menggunakan kekuatan itu tanpa
berkonsultasi dengan Ibu lebih dulu.”
“Ibu tidak bisa mengharapkan kami berpura-pura bahwa tak ada yang terjadi
atau mengingkari jati diri kami,” imbuh John. “Tapi Ibu bisa mengharapkan
kami akan menggunakan kekuatan itu dengan penuh per timbangan dan
tanggung jawab.”
“Menurut Ibu, itu usul yang cemerlang,” kata Layla menyetujui. “Jadi kalau
seseorang…, mungkin sahabat kalian di sekolah, Mrs Trump, atau bahkan
ayahmu…, yang memohon sesuatu?”
“Ibu terkesan,” Layla mengakui. “Bisa Ibu lihat kalian sudah mempelajari
sesuatu yang sangat penting. Permintaan sangatlah berbahaya, apalagi bila
terkabul. Ingatitu. Seluruh dunia bisa kacau karena permintaan untuk menjadi
kaya dan berkuasa. Bila permohonan itu berupa kuda, pengemis akan
menungganginya. Bila permohonan itu tentara, maka orang yang lemah akan
berkuasa. Dan kalau permohonan itu obat mujarab, maka semua orang akan
hidup selamanya.”
sekarang.”
“Kami ingin Ibu berbaikan lagi dengan Paman Nimrod,” kata John.
“Benarkah?”
Dan bahkan saat berbincang, mereka mendengar suara yang jarang mereka
dengar: ayah mereka ber nyanyi sambil mandi.
PENUTUP
P. B. KERR
ISI
Firaun Mesir Kuno Fakta Tentang Firaun Sejarah Jin Resep Creemy Special
Special Dapatkan Kata Fokusmu
Para penguasa Mesir kuno memiliki kebiasaan yang menarik. Meskipun kita
tidak tahu banyak ten tang Firaun-Firaun paling awal, yang memerintah pada
masa Kerajaan Mesir Tua (26SD SM sampai 2134 SM), tapi kita tahu bahwa
mereka menganggap diri mereka dewa dan memerintah dengan kekuasaan
absolut. Raja-raja Mesir kuno ini membangun piramida seba gai monumen
lambing keagungan mereka tanpa meninggalkan catatan ten tang keberhasilan
mereka.
Pada masa Kerajaan Mesir Pertengahan (2D4D SM sampai 1640 SM), Firaun
tidak lagi dianggap sebagai dewa, tapi mereka dilihat sebagai perwakilan dewa
di bumi. Tidak seperti pendahulunya dari Kerajaan Mesir Tua, Firaun-Firaun ini
telah mencatat prestasi-prestasi heroik, lewat tulisan dan relief tiga dimensi yang
dipahat ke dalam dinding kuil. Tapi kita punya alasan untuk menduga bahwa
catatan-catatan ini kurang akurat menurut sejarah, lebih mirip pekerjaan
hubungan masyarakat.
Tak semua Firaun adalah lakilaki, dan juga tidak semuanya orang Mesir. Kita
tahu tiga wanita yang memerintah Mesir sebelum 332 SM. Firaun wanita yang
ter penting adalah Ratu Hatshepsut. Kekaisaran Mesir diambil alih kekuatan
asing antara tahun 1640 SM dan 1550 SM karena pada tahun-tahun yang
mengarah pada periode ini, Mesir diban-jiri imigran asing. Para imigran ini,
yang bernama kaum Hyksos, akhirnya dikalahkan orang Mesir, yang di pimpin
oleh Jenderal Ahmosis yang brilian pada 1550 SM.
Selama masa Kerajaan Mesir Baru (1550 SM sampai 1070 SM), Mesir
diperintah oleh sederet raja pejuang yang mempertahankan kekuasaan atas
negerinya dan negeri di sekitarnya untuk mencegah agar dominasi Hyksos tak
terjadi lagi. Tapi, deretan raja-pejuang berakhir saat Akhenaten berkuasa.
Sebagai anak muda, dan mungkin cacat, Amen hotep IV naik takhta. Amenhotep
IV pindah agama dan menolak kuil dewa-dewa Mesir. Sebagai gantinya, dia
memuja satu dewa, dan dewa itu adalah Aton. Dengan begitu, Amenhotep
memperkenalkan agama monoteis pertama di dunia. Amenhotep mengganti
namanya menjadi Akhenaten dan menjadikan Aton sebagai dewa matahari,
dengandemikian merebut peran tradisional Ra, dewa matahari Mesir. Lebih jauh
lagi, Akhenaten membangun kota yang dipersembahkan untuk memuja Aton dan
menamainya Akhetaton atau “Cakrawala Aton.”
Akhenaten dan istrinya, Nefertiti, pindah ke Akhetaton sehingga raja muda itu
bisa memfokuskan diri pada agamanya. Tapi, karena mencurahkan diri
sepenuhnya pada agama, Akhenaten mengabaikan badai penting yang
mengancam perbatasan Mesir. Kaum Hittite, yang mendesak perbatasan,
mengancam keberadaan Mesir.
Kerajaan Mesir Kuno yang terus berpindah tangan dan selalu di ambang
kehancuran, lambat laun
runtuh. Setelah Akhenaten turun takhta, raja-raja dinasti Ramses (Ramses I dan
penerusnya) yang berkuasa. Raja yang terbesar dari dinasti ini adalah Ramses II,
yang selama berkuasa telah membangun berbagai monumen arsitektural terbesar.
Tapi, kekacauan selalu mengancam Mesir.
Orang Libya, Nubia, Assyria, dan Persia semua menguasai Mesir antara tahun
1070 SM dan 332 SM Alexander Agung menaklukkan Mesir untuk Kekaisaran
Yunani pada 332 SM dan membangun ibukota Alexandria di mulut Sungai Nil.
Tapi setelah kematiannya, kekaisaran Alexander yang luas dibagi-bagi di antara
para jenderalnya, dan Mesir pun jatuh ke tangan Ptolemy I.
Penguasa terakhir dari garis Ptolemy, Cleopatra VII, bertempur dengan saudara
tirinya untuk mempe rebutkan suksesi kekuasaan dan mengundang Kaisar Julius
dan Kekaisaran Romawi untuk ikut campur. Kaisar Julius kemudian merebut
Mesir dan menjadikan negeri itu dalam kendali Roma, memberi Cleopatra
jabatan ratu bayangan. Setelah kematian Kaisar Julius, Mark Anthony dan
Kaisar Augustus bertempur untuk menguasai Roma, Cleopatra berpihak kepada
Mark Anthony dan kalah. Maka Mesir menjadi propinsi dalam kerajaan
Romawi.
Ada banyak kisah dan intrik yang dikaitkan dengan para Firaun Mesir. Mereka
meninggalkan monumen, piramida raksasa, Sphynx yang misterius, harta karun
yang terkubur seperti sarcophagus bercat emas, dan makam-makam penuh harta.
Tapi semakin banyak yang kita ketahui dan pelajari, semakin dalam misterinya.
Raja-raja Firaun dikubur dalam makam yang luar biasa, piramida-piramida besar
penuh emas dan harta karun. Raja-raja Firaun diawetkan setelah kematiannya
dan mayat mereka dimasukkan dalam sarcophagus berhias. Isi tubuh mereka -
jantung, hati, perut, dan usus - dikeluarkan dan diawetkan dalam wadah-wadah
yang berbeda. Hatshepsut adalah Firaun wanita pertama di Mesir. Dia memulai
pemerintahannya pada 1502 SM. Dia selalu menampilkan diri dalam kostum
pria, dengan janggut, agar tidak mengagetkan orangorang Mesir kuno.
Tak seorang pun tahu cara piramida dibangun tanpa mesin-mesin modern.
Bila ketinggian lantai mencapai langit-langit dari sebuah gedung modern kira-
kira 3,048 meter, maka Piramida Terbesar di Giza kira-kira setinggi gedung
pencakar langit 45 tingkat. Piramida Terbesar itu didirikan oleh Khufu.
Piramida-piramida di Giza dibangun 4500 tahun lalu.
Kata “pharaoh” (Firaun) aslinya berasal dari Injil dan punya makna yang sangat
berbeda dalam bahasa Mesir kuno: nomor lima1.
SEJARAH JIN
Meskipun mereka tinggal di tengah manusia sejak awal zaman, sangat sedikit
yang kita tahu tentang Jin. Dan meskipun mereka tinggal di bumi, hanya sedikit
orang yang benarbenar melihatnya. Sebagian besar manusia menganggap Jin
sangat jahat, padahal itu jauh dari kebenaran. Sebagian besar manusia juga
percaya bahwa Jin tinggal di dalam lampu dan menghabiskan hidup untuk
menunggu seseorang membebaskan mereka. Itu juga tidak benar.
Terlepas dari upaya perlindungan semacam itu, Jin tidak selalu jahat atau
berbahaya. Bahkan, yang membuat mereka menjadi makhluk paling menarik
adalah, seperti manusia, mereka lahir dengan kehendak bebas dan bisa
membedakan antara yang benar dan yang salah. Karena itu, meskipun beberapa
Jin men jengkelkan dan bahkan jahat, yang lain bersahabat dan suka menolong.
Tapi, secara umum, Jin cenderung mudah jengkel, dan menuntut penghormatan
yang pantas dari manusia; seringnya, penghormatan itu berarti mengucapkan
pujian atau memberikan hadiah atau penghargaan kecil.
Ifrit - makhluk raksasa bersayap yang terbuat dari asap - biasanya lebih tua, lebih
kuat, dan lebih cerda di banding Jin lain. Mereka lebih suka tinggal di
bawahtanah, di mana mereka membangun masyarakat yang sangat mirip
masyarakat manusia, dengan raja, suku, dan juga ada perdagangan. Mereka juga
lebih suka menikahi jenis mereka sendiri, meskipun terkadang ada juga yang
memilih pasangan manusia.
Tidak seperti Ifrit yang bisa baik atau jahat, Shaitan selalu jahat, begitu jahat
sehingga nama mereka sinonim dengan nama setan. Penulis Arab,
Pemimpin shaitan adalah Iblis, yang oleh kaum Muslim diyakini sebagai nama
lain setan. Iblis sendiri adalah Jin, salah satu yang paling awal dan paling kuat.
Meskipun menurut legenda bahwa sebelum penciptaan manusia surge dihuni
malaikat, yaitu makh luk yang terbuat dari cahaya, Tuhan mengizinkan Iblis -
makhluk yang terbuat dari api -untuk ting gal di antara malaikat. Menurut ajaran
Islam, saat Adam diciptakan, Tuhan memerintahkan agar semua malaikat
bersujud di hadapan manusia pertama, untuk me nunjukkan bahwa manusia
adalah makhluk yang lebih sem purna. Semua malaikat bersujud, tapi Iblis
menolak. Dia terbuat dari api, bantahnya pada Tuhan, sedangkan Adam terbuat
dari tanah, dan karena itu dia menganggap dirinya lebih hebat daripada Adam.
Saat mendengar ini, Tuhan mengusir Iblis dari surga. Karena dendam, Iblis
menyelinap masuk kembali dan meyakinkan Adam dan Hawa agar me nentang
perintah Tuhan dan memakan buah dari pohon ter larang. Karena
Iblis adalah Jin yang licik dan pandai membujuk, Adam dan Hawa menuruti
bujukan itu hingga mereka berdua terusir dari surga.
Insiden ini menjadi yang pertama dalam pertempuran panjang yang harus dilalui
Jin dan manusia untuk memilih antara yang benar dan yang salah.
Tradisi Arab mengatakan bahwa Jin, seperti juga manusia, diharuskan percaya
pada Tuhan dan mematuhi perintahNya. Tapi Syaithan mengikuti Iblis sebagai
pemimpin mereka, dan tidak bersedia, sedangkan Jin lain melakukannya. Cerita
rakyat memberitahukan bahwa suatu hari Muhammad, nabi orang Muslim,
bersama sekelompok pengikutnya pergi ke pasar di Ukaaz. Lantaran
ketidakpatuhan dan cara-cara Iblis yang jahat, Tuhan mencegah Jin mendapat
berita dari surga. Karena itu sekelompok Jin diutus untuk memeriksa situasi, dan
kebetulan mereka berpapasan dengan Muhammad.
Muhammad menerima kedatangan Jin itu dengan baik, dan memberitahu mereka
tentang perintah Tuhan dan juga kenabian dirinya. Karena terpesona, kelompok
itu kembali dan memberitahukan Jin lain tentang nabi baru itu dan khotbahnya.
Saat itulah beberapa Jin, yang menyadari nilai agung perintah Tuhan, memilih
menjadi sangat religius dan berbuat baik. Sementara lainnya, masih tidak patuh
seperti Iblis, mengabaikan ajaran itu dan menganggapnya sebagai hal yang
bodoh. Dan, seperti ma nusia, Jin harus menghadapi konsekuensi dari berbagai
perbuatannya. Diyakini bahwa Jin baik akan dirangkul
Tapi, terlepas dari banyaknya kesamaan di antara mereka, manusia dan Jin tidak
memiliki kekuatan yang sama. Jin memiliki kekuatan yang jauh lebih besar
daripada manusia, kekuatan yang Tuhan berikan pada me reka sebagai ujian,
meminta agar mereka tidak menyalahgunakannya dan hanya memakai kekuatan
itu untuk membantu orangorang yang membutuhkan. Selain kemampuan
mengambil wujud dan bentuk yang berbeda, Jin juga bisa menguasai pikiran dan
tubuh manusia hingga kerasukan. Jin bisa membuat manusia kerasukan karena
banyak alasan; ada Jin yang melakukannya karena merasa telah disakiti manusia,
sementara yang lain semata-mata karena jatuh cinta pada manusia. Yang sering
terjadi, Jin membuat manu sia kerasukan karena ingin menyakiti. Bila seseorang
kerasukan, lalu menyebut nama Tuhan, maka Jin itu akan terusir.
Meskipun tidak sekuat dan secakap Jin, manusia diberi bermacammacam cara
untuk mengatasi lawan licik mereka. Jin bisa terbebas dari kekangan fi sik, tapi
mereka tidak abadi; mereka memiliki kebutuhan badaniah seperti manusia, dan
mereka bisa terbunuh dengan bermacammacam cara. Dan yang lebih penting
lagi adalah kenyataan bahwa manusia bisa membaca sejumlah bacaan untuk
menyesatkan, mengusir, atau bahkan memperbudak Jin. Ke yakinan yang kuat
dan kepercayaan religius biasanya merupakan pertahanan terbaik untuk
melawan Jin yang mendendam. Inilah sebagian alasan ada begitu banyak cerita
populer tentang Jin yang ditawan di dalam botol, lampu, dan sebagai-nya. Salah
satu cara terpopuler yang digunakan manusia untuk melawan Jin adalah
menjebak makhluk itu dalam tempat yang tak memungkinkan mereka bisa lepas
kecuali dibebaskan oleh manusia. Dalam hal itu, mereka akan terus berutang
budi kepada manusia. Lebih jauh lagi, seperti dalam kisah Aladdin dan Lampu
Ajaib yang populer dari Kisah Seribu Satu Malam, saat manusia tahu dan
membebaskan Jin dari tempatnya ditahan, seringnya Jin itu menghadiahi
manusia dengan per mintaan.
Meskipun sebagian besar manusia tidak pernah bertemu Jin, bukan berarti
makhluk itu tidak ada. Memahami apa arti Jin dan apa yang mampu mereka
lakukan itu sangat penting, bila manusia ingin hidup damai dengan Jin.
3 tomat ukuran sedang, cincang kasar 1 sendok teh yogurt murni tanpa aroma
dari Timur yang dibuat menggunakan sebagian atau semua bahan berikut: biji
cumin, ketumbar, kapu-laga, merica hitam, kayu manis, cengkeh, pala, dan
kunyit) 2 sendok teh daun ketumbar cacah
1. Masukkan terung, wortel, kacang polong, buncis, dan kentang ke dalam panci
berukuran sedang. Tambahkan 1 cangkir air. Didihkan. Tutup, lalu kecilkan api
menjadi sedang, dan masak selama 4 menit atau sampai sayuran agak lembek.
2. Sementara itu, masukkan santan, cabai, benih pohon apiun, dan garam ke
dalam wadah blender listrik. Tambahkan S ons air, pasang tutupnya, dan giling
sampai menjadi pasta halus. Sisihkan.
3. Bila sayuran sudah masak, tambahkan pasta bumbu dan S ons air lagi. Aduk
dan didihkan pelan-pelan selama S menit. Kemudian tambahkan tomat, yogurt,
dan garam masala. Aduk perlahan sampai tercampur. Didihkan campuran itu dan
kecilkan api, biarkan selama 2-3 menit. Tuang campuran itu ke piring saji dan
hias dengan daun ketumbar.
“Kata fokusmu itu seperti kaca pembesar. Pernahkah kau melihat cara kaca
pembesar memfokuskan tenaga matahari pada satu titik yang sangat kecii di
tengah selembar kertas sehingga kertas itu terbakar? Kata fokus bekerja dengan
cara yang sama.” - Mister Rakshasas
Jin harus memilih kata fokus pribadi untuk membantu mereka berkonsentrasi
dalam mengarahkan sihirnya dengan akurat. Mereka ingin memilih kata yang tak
pernah diucapkan siapa pun dengan lantang dalam percakapan, kata yang tidak
ditangkap dengan mudah, d an kata yang takkan mereka lupakan.
Jin bisa menemukan kata yang tidak lazim dalam kamus, seperti John Gaunt dan
Mister Rakshasas, atau orang bisa menyusun huruf berdasarkan pola yang unik
atau berdasarkan logika seperti Paman Nimrod. Atau Jin muda bisa menciptakan
kata fokus dengan menggabungkan bagian dari beberapa kata, seperti Philippa
Gaunt.
Contoh:
Tradisional: ABRAKADABRA
VELISHLYWONDERPIPICAL