Anda di halaman 1dari 23

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

A. Diabetes Melitus

1. Pengertian

Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit

metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena

kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya

(Purnamasari, 2015)

Diabetes melitus tipe 2 merupakan penyakit hiperglikemi akibat

insensitivitas sel terhadap insulin. Kadar insulin mungkin sedikit

menurun atau berada dalam rentang normal. Insulin tetap dihasilkan

oleh sel-sel beta pankreas. Oleh karena itu, diabetes melitus tipe 2

dianggap sebagai non insulin dependent diabetes melitus (Fatimah,

2015)

Diabetes mellitus adalah gangguan metabolisme yang ditandai

dengan hiperglikemi yang berhubungan dengan abnormalitas

metabolisme karboh idrat , lemak dan protein yang disebabkan oleh

penurunan sekresi insulin atau penurunan sensitivitas insulin atau


keduanya dan menyebabkan komplikasi kronis mikrovaskular ,

makrovaskular , dan neuropati (NANDA, 2015)

Diabetes mellitus merupakan suatu penyakit dimana terjadi

kelainan dalam metabolisme glukosa ( salah satu jenis gula

monosakarida di dalam tubuh) (Kurniali, 2015)

Diabetes mellitus merupakan sekumpulan gangguan metabolik

yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah ( hiperglikemia

) akibat kerusakan pada sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya (

Brunner & Suddarth,Ed 12.Tahun 2011 )

Diabetes melitus atau disebut diabetes saja merupakan penyakit

gangguan metabolik menahun akibat pankreas tidak memproduksi

cukup insulin atau tubuh tidak dapat menggunakan insulin yang

diproduksi secara efektif. Insulin adalah hormon yang mengatur

keseimbangan kadar gula darah. Akibatnya terjadi peningkatan

konsentrasi glukosa didalam darah (hiperglikemia). ( Kemenkes

RI.Tahun 2014 )

Diabetes Melitus merupakan penyakit serius yang mempengaruhi

semua organ vital dalam tubuh dan ditandai dengan tingginya kadar

gula darah (Singh S, Pai DR, & Yuhhui C, 2013)


2. Patofisiologi

a. Pankreas

Pankreas adalah sebuah kelenjar yang terletak

dibelakang lambung . Didalamnya terdapat kumpulan sel yang

berbentuk pulau pada peta. Karena pulau – pulau Langerhans yang

berisi sel beta yang mengeluarkan hormon insulin , yang sangat

berperan dalam mengatur kadar glukosa darah . Tiap pankreas

mengandung lebih kurang 100.000 Pulau Langerhans dan tiap

pulau berisi 100 sel beta . Disamping sel beta ada juga sel alfa yang

memproduksi glukagon yang bekerja sebaliknya dari insulin yaitu

meningkatkan kadar glukosa darah . Juga ada sel beta yang

mengeluarkan somastostatin.

b. Cara Kerja Insulin

Insulin yang dikeluarkan oleh sel beta tadi dapat

diibaratkan sebagai anak kunci yang dapat membuka pintu

masuknya glukosa kedlam sel , untuk kemudian didalam sel

glukosa itu dimetabolisasikan menjadi tenaga. Bila insulin tidak

ada , maka glukosa tidak dapat masuk ke sel. Akibatnya glukosa

akan tetap berada di dalam pembuluh darah yang artinya kadarnya

didalam darah meningkat. Dalam keadaan seeperti ini tubuh

akan jadi lemah karena tidak ada sumber energi didalam sel. Inilah

yang terjadi pada diabetes mellitus.


c. Diabetes Mellitus type 1

Mengapa insulin pada dm type i tidak ada ?Ini disebabkan

oleh karena pada jenis ini timbul reaksi autoimun yang disebabkan

adanya peradangan pada sel beta insulitis. Ini menyebabkan

timbulnya antibody terhadap sel beta yang disebut ICA ( Islet Cell

Antibody ). Reaksi antigen ( sel ) beta dengan antibody ( ICA )

yang ditimbulkannya menyebabkan hancurnya sel beta. Insulitis

bisa disebabkan macam – macam diantaranya virus, seperti virus

cocksakie, rubela, CMV, herpes dan lain – lain. yang diserang pada

insulitis itu hanya sel beta, biasanya sel alfa dan delta tetap utuh.

Pada studi populasi ditemukan adanya hubungan antara DM type I

dengan HLA DR3 dan DR4.

d. Diabetes Mellitus Type 2

Pada diabetes mellitus tipe II jumlah insulin normal,

malah mungkin lebih banyak tetapi jumlah reseptor insulin yang

terdapat pada permukaan sel kurang. Reseptor insulin ini dapat

diibaratkan sebagai lubang kunci pintu masuk ke dalam sel. Pada

keadaan tadi jumlah lubang kuncinya yang kurang, hingga

meskipun anak kuncinya ( insulin ) banyak, tetapi karena

lubang kuncinya ( reseptor ) kurang, maka glukosa yang masuk

sel akan sedikit sehingga sel akan kekurangan bahan bakar (


glukosa ) dan glukosa di dalam pembuluh darah akan meningkat.

Dengan demikian keadaan ini sama dengan pada DM I.

Perbedaannya adalah DM tipe II disamping kadar glukosa tinggi,

juga kadar insulin tinggi atau normal. Keadaan ini disebut

resistensi insulin.

3. Faktor resiko

Faktor-faktor risiko DM tipe 2 :

a. Obesitas (kegemukan)

Terdapat korelasi bermakna antara obesitas dengan kadar

glukosa darah, pada derajat kegemukan dengan indeks massa tubuh

(IMT) > 23 dapat menyebabkan peningkatan kadar glukosa darah

menjadi 200 mg% (Fatimah, 2015). Orang dengan obesitas

memiliki masukan kalori yang berlebih. Sel beta kelenjar pankreas

akan mengalami kelelahan dan tidak mampu untuk memproduksi

insulin yang cukup untuk mengimbangi kelebihan masukan

kalori. Akibatnya kadar glukosa darah akan tinggi yang

akhirnya menyebabkan DM (Kaban, 2007).

b. Hipertensi

Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik lebih

dari atau sama dengan 140 mmHg atau tekanan darah diastolik

lebih dari atau sama dengan 90 mmHg dalam 2 kali pengukuran


dengan jarak pemeriksaan minimal 10 menit (Setiati, 2009).

Hipertensi dapat membuat sel tidak sensitif terhadap insulin

(resisten insulin). Padahal insulin berperan meningkatkan ambilan

glukosa di banyak sel dan dengan cara ini juga mengatur

metabolisme karbohidrat, sehingga jika terjadi resistensi insulin

oleh sel, kadar gula di dalam darah juga dapat mengalami

gangguan (PERKENI , 2015).

c. Dislipidemia

Dislipidemia adalah keadaan yang ditandai dengan

kenaikan kadar lemak darah (Trigliserida > 250 mg/dL). Terdapat

hubungan antara kenaikan plasma insulin dengan rendahnya high

density lipoprotein (HDL) (< 35 mg/dL) sering didapat pada pasien

diabetes (Fatimah, 2015). Kadar kolesterol yang tinggi berisiko

terhadap penyakit DM tipe 2. Kadar kolesterol tinggi menyebabkan

meningkatnya asam lemak bebas sehingga terjadi lipotoksisitas.

Hal ini akan menyebabkan terjadinya kerusakan sel beta pankreas

yang akhirnya mengakibatkan DM tipe 2

(KementerianKesehatan RI, 2010).

d. Umur

Berdasarkan penelitian, usia yang terbanyak terkena

diabetes melitus adalah > 45 tahun (Fatimah, 2015). Orang yang


berusia 26-35 tahun berisiko 2,32 kali, usia 36-45 tahun berisiko

6,88 kali, dan usia lebih dari 45 tahun berisiko 14,99 kali untuk

menderita DM tipe 2 dibandingkan dengan usia 15-25 tahun

(Irawan et al., 2010).

e. Berat badan lahir

Berat badan lahir menjadi faktor risiko DM tipe 2 jika

seseorang mengalami berat badan lahir rendah (BBLR). Bayi

masuk ke dalam kategori BBLR jika bayi tersebut lahir dengan

berat < 2500 gram. Bayi dengan berat badan lahir yang rendah, di

masa dewasanya akan berisiko terkena penyakit diabetes (Fitriyani,

2012). Seseorang dengan BBLR mengalami kerusakan pankreas

sehingga kemampuan memproduksi insulin akan terganggu. Hal

ini memungkinkan orang tersebut menderita DM tipe 2

(Kementerian Kesehatan RI, 2010).

f. Gaya hidup

peningkatan frekuensi DM tipe 2. Walaupun kebanyakan

peningkatan ini dihubungkan dengan peningkatan obesitas dan

pengurangan aktivitas fisik, faktor-faktor lain yang berhubungan

dengan perubahan dari lingkungan tradisional ke lingkungan

kebarat-baratan yang meliputi perubahan- perubahan dalam

konsumsi alkohol dan rokok, juga berperan dalam peningkatan DM


tipe 2. Alkohol akan menganggu metabolisme gula darah terutama

pada penderita DM sehingga akan mempersulit regulasi gula

darah dan meningkatkan tekanan darah. Seseorang akan

meningkat tekanan darah apabila mengkonsumsi etil alkohol lebih

dari 60 mL/hari yang setara dengan 100 mL wiski atau 240 mL

wine (Fatimah, 2015).

4. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis menurut Brunner And Suddarth,ed 12.tahun 2011 :

a) Poli uria,poli dipsia, dan poli phagia

b) Keletihan dan kelemahan , perubahan pandangan secara mendadak

, sensasi kesemutan atau kebas ditangan atau kaki, kulit kering ,

lesi kulit atau luka yang lambat sembuh atau infeksi berulang

c) Awitan diabetes type 1 dapat disertai dengan penurunan berat

badan mendadak atau mual, muntah atau nyeri lambung.

d) Diabetes type 2 disebabkan oleh toleransi glukosa yang progresif

dan berlangsung perlahan ( bertahun-tahun ) dan mengakibatkan

komplikasi jangka panjang apa bila diabetes tidak terdeteksi

selama bertahun- tahun, ( misalnya penyakit mata ,neuropati

perifer, penyakit vaskular perifer ) .

e) Tanda dan gejala ketoasidosis diabetes ( DKA ) mencakup nyeri

abdomen, mual, muntah , hiperventilasi, dan nafas berbau buah.


DKA yang tidak tertangani dapat menyebabkan perubahan

tingkat kesadaran, koma, dan kematian.

5. Komplikasi

Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik akan menimbulkan

komplikasi akut dan kronis. Komplikasi DM dapat dibagi menjadi dua

kategori (Fatimah,

2015):

a. Komplikasi akut

 Hipoglikemia adalah kadar glukosa darah seseorang di

bawah nilai normal (< 50 mg/dL). Hipoglikemia lebih

sering terjadi pada penderita DM tipe 1 yang dapat dialami

1-2 kali per minggu. Kadar gula darah yang terlalu rendah

menyebabkan sel-sel otak tidak mendapat pasokan energi

sehingga tidak berfungsi bahkan dapat mengalami

kerusakan.

 Hiperglikemia adalah apabila kadar gula darah

meningkat, dapat berkembang menjadi keadaan

metabolisme yang berbahaya, antara lain ketoasidosis

diabetik, koma hiperosmoler non ketotik (KHNK) dan

koma lakto asidosis.


b. Komplikasi Kronis

 Komplikasi makrovaskular. komplikasi makrovaskular

yang umum berkembang pada penderita DM adalah

trombosis otak (pembekuan darah pada sebagian otak),

mengalami penyakit jantung koroner (PJK), gagal jantung

kongestif, dan stroke.

 Komplikasi mikrovaskular, komplikasi mikrovaskular

seperti nefropati, diabetik retinopati (kebutaan), neuropati,

dan amputasi.

6. Diagnosis

Diagnosis sebaiknya ditegakkan atas dasar pemeriksaaan kadar

glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena, sedangkan

untuk tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan

menggunakan pemeriksaan kadar glukosa darah kapiler.

Tabel 1. Dasar pemeriksaan kadar glukosa darah menurut PERKENI tahun

2015

Jenis Bukan DM Belum Pasti DM

Pemeriksaan DM

Gula darah

Kadar Glukosa <100 100-199 ≥200

darah sewaktu <90 90-199 ≥200

(mg/dl)
Kadar Glukosa <100 100-125 ≥126

Darah Puasa <90 90-99 ≥100

(mg/dl)

B. Kadar Gula Darah

1. Definisi

Kadar gula darah adalah jumlah kandungan glukosa dalam

plasma darah (Dorland, 2010). Glukosa darah puasa merupakan salah

satu cara untuk mengidentifikasi diabetes melitus pada seseorang. Pada

penyakit ini, gula tidak siap untuk ditransfer ke dalam sel, sehingga

terjadi hiperglikemi sebagai hasil bahwa glukosa tetap berada di

dalam pembuluh darah (Sherwood,2011).

Kadar gula darah normal 60-120 mg/dl (milligram per 100

milimeter) sedangkan ukuran idealnya adalah 80-109 ml/dl pada

waktu puasa sebelum test darah dan 110-159 pada 2 jam setelah

makan kadar kolesterol tidak boleh lebih dari 200 mg/dl dengan LDL

kurang da ri 130 mg/dl, dan HDL diatas 45 mg/dl dan trigeliserida

dibawah 200 mg/dl (Vitahealth, 2006).

Kadar gula puasa atau glukosa fasting, yaitu hasil pemeriksaan

kadar gula darah dari darah yang diambil pertama kali saat masih

puasa, harga normalnya 60-100 md/d l. Kadar gula darah setelah

makan atau glukosa past prandial adalah kadar gula darah dari darah
yang diambil 2 jam setelah makan, harga normalnya 80-120

mg/dl. Kadar gula darah sewaktu adalah kadar gula darah saat

kapan saja, harga normalnya 70-110 mg/dl (Djojodibroto, 2003 : 58-

59 ).

2. Fisiologi Pengaturan Kadar Gula Darah

Berdasarkan ADA (2015), beberapa faktor yang dapat

mempengaruhi kadar glukosa di dalam darah adalah:

1) Konsumsi Karbohidrat

Karbohidrat adalah salah satu bahan makanan utama yang

diperlukan oleh tubuh. Sebagian besar karbohidrat yang kita

konsumsi terdapat dalam bentuk polisakarida yang tidak dapat

diserap secara langsung. Karena itu, karbohidrat harus dipecah

menjadi bentuk yang lebih sederhana untuk dapat diserap

melalui mukosa saluran pencernaan. (Sherwood, 2012)

Karbohidrat yang masuk ke saluran cerna akan dihidrolisis oleh

enzim pencernaan. Ketika makanan dikunyah di dalam mulut,

makanan tersebut bercampur dengan saliva yang mengandung

enzim ptialin (α-amilase). Tepung (starch) akan dihidrolisis oleh

enzim tersebut menjadi disakarida maltosa dan polimer glukosa

kecil lainnya (Guyton dan Hall 2008)


Sesampainya di lambung, enzim ptialin menjadi tidak aktif

akibat suasana lambung yang asam. Proses pencernaan ini akan

dilanjutkan di usus halus yang merupakan muara dari sekresi

pankreas. Sekresi pankreas mengandung α-amilase yang lebih

poten daripada α-amilase saliva. Hampir semua karbohidrat telah

diubah menjadi maltosa dan polimer glukosa kecil lainnya sebelum

melewati duodenum atau jejunum bagian atas. (Guyton dan Hall,

2008)

Disakarida dan polimer glukosa kecil ini kemudian dihidrolisis

oleh enzim monosakaridase yang terdapat pada vili enterosit

usus halus. Proses ini terjadi ketika disakarida berkontak dengan

enterosit usus halus dan menghasilkan monosakarida yang dapat

diserap ke aliran darah. (Guyton dan Hall, 2008)

2) Aktivitas Fisik

Aktivitas fisik mempengaruhi kadar glukosa dalam darah. Ketika

aktivitas tubuh tinggi, penggunaan glukosa oleh otot akan ikut

meningkat. Sintesis glukosa endogen akan ditingkatkan untuk

menjaga agar kadar glukosa dalam darah tetap seimbang. Pada

keadaan normal, keadaan homeostasis ini dapat dicapai oleh

berbagai mekanisme dari sistem hormonal, saraf, dan regulasi

glukosa. (Kronenberg et al, 2008)


Ketika tubuh tidak dapat mengkompensasi kebutuhan glukosa yang

tinggi akibat aktivitas fisik yang berlebihan, maka kadar glukosa

tubuh akan menjadi terlalu rendah (hipoglikemia). Sebaliknya, jika

kadar glukosa darah melebihi kemampuan tubuh untuk

menyimpannya disertai dengan aktivitas fisik yang kurang, maka

kadar glukosa darah menjadi lebih tinggi dari normal

(hiperglikemia). (ADA, 2015)

3. Pemeriksaan gula darah

Mengidentifikasi diabetes melitus pada seseorang adalah dengan

pemeriksaan kadar glukosa darah dan tidak dapat ditegakkan hanya

atas dasar adanya glukosuria saja (Soegondo, 2011). Pemeriksaan

glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena,

setidaknya dilakukan di laboratorium klinik terpercaya. Walaaupun

demikian sesuai dengan kondisi setempat dapat juga dipakai bahan

darah utuh, vena, ataupun kapiler dengan memperhatikan angka-angka

kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO.

Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar

glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi

glukosa oral (TTGO) standar (Soegondo, 2011).

Kriteria diagnosis DM menurut PERKENI tahun 2015:

 Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL.


Puasa adalah kondisi tidak ada asupan kalori minimal 8 jam

atau

 Pemeriksaan glukosa plasma ≥ 200 mg/dL 2 jam setelah

tes toleransi glukosa oral (TTGO) dengan beban glukosa 75

gram atau

 Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dL dengan

keluhan klasik atau

 Pemeriksaan HbA1c ≥ 6,5% dengan menggunakan

metode yang terstandarisasi oleh National Glycohemoglobin

Standarization Program (NGSP).

Catatan: saat ini tidak semua laboratorium di Indonesia memenuhi

standar NGSP, sehingga harus hati-hati dalam membuat

interpretasi terhadap hasil pemeriksaan Hemoglobin A1C

(HbA1c). Pada kondisi tertentu seperti: anemia, hemoglobinopati,

riwayat transfusi darah 2-3 bulan terakhir, kondisi-kondisi yang

mempengaruhi umur eritrosit dan gangguan fungsi ginjal maka

HbA1c tidak dapat dipakai sebagai alat diagnosis maupun

evaluasi.

Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau

kriteria DM digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang

meliputi: toleransi glukosa terganggu (TGT) dan glukosa darah

puasa terganggu (GDPT) (PERKENI,2015) :


 Glukosa darah puasa terganggu (GDPT): Hasil

pemeriksaan glukosa plasma puasa antara 100-125 mg/dL

dan pemeriksaan tes toleransi glukosa oral (TTGO)

glukosa plasma 2 jam < 140 mg/dL.

 Toleransi glukosa terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan

glukosa plasma 2 jam setelah TTGO antara 140-199 mg/dL

dan glukosa plasma puasa < 100 mg/dL.

 Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT.

 Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan

berdasarkan hasil pemeriksaan HbA1c yang

menunjukkan angka 5,7-6,4%.

Tabel 2. Kadar tes laboratorium darah untuk diagnosis diabetes dan

prediabetes menurut PERKENI tahun 2015

Kategori Hba1c % Glukosa darah Glukosa

Puasa (mg/dl) darah 2 jam

setelah TTGO

(mg/dl)

Diabetes ≥ 6,5 ≥ 126 ≥ 200

Prediabetes 5,7 – 6,4 100-125 140-199

Normal < 5,7 <100 <140

C. Tekanan Darah
1. Definisi

Menurut Dorland (2009) tekanan darah adalah kekuatan yang

ditimbulkan oleh jantung yang berkontraksi seperti pompa sehingga

darah terus mengalir dalam pembuluh darah, kekuatan tersebut

mendorong dinding pembuluh arteri (nadi). Tekanan darah dinyatakan

dalam dua angka misalnya 120/80 mmHg. Angka 120 disebut dengan

tekanan darah atas (sistolik) dan angka 80 disebut dengan tekanan darah

bawah (diastolik). Tekanan sistolik menunjukkan tekanan pada pembuluh

arteri ketika jantung berkontraksi, sedangkan tekanan diastolik adalah

tekanan ketika jantung sedang berelaksasi.

Tekanan darah merupakan faktor yang amat penting pada sistem

sirkulasi. peningkatan atau penurunan tekanan darah rata-rata akan

mempengaruhi homeostasis di dalam tubuh. Dan jika sirkulasi darah

menjadi tidak memadai lagi, maka terjadilah gangguan pada sistem

transpor oksigen, karbondioksida dan hasil- hasil metabolisme

lainnya. Di lain pihak fungsi organ-organ tubuh akan mengalami gangguan

seperti gangguan pada proses pembentukan air seni di dalam ginjal

ataupun pembentukan cairan serebrospinalis dan lainnya. Sehingga

mekanisme pengendalian tekanan darah penting dalam rangka

memeliharanya sesuai dengan batas- batas normalnya, yang dapat

mempertahankan sistem sirkulasi di dalam tubuh (Masud, 2007: 116 ).

Tekanan darah rata-rata atau sering disebut “mean arterial

pressure” (MAP) adalah tekanan rata- rata di seluruh sistem arteri pada
siklus jantung. Takanan darah rata-rata (TDR) diperoleh dengan cara

membagi tekanan nadi dengan angka tiga dan ditambahkan pada tekanan

diastolik. Adapun rumus yang dapat dipergunakan: TDR = 1/3 (Ts- Td)

+ Td. Jika diketahui tekanan sistolik (Ts) normal 120 mmHg dan

tekanan diastolik (Td) 80 mmHg, maka tekanan darah rata-rata (TDR)

sama dengan 96 mmHg. Dan tekanan ini yang merupakan hasil

perkalian ‘cardiac out put’ atau curah jantung dengan tahanan perifer.

Nilai tekanan darah tersebut dapat berubah- ubah sesuai dengan faktor

yang berpengaruh padanya seperti curah jantung, isi sekuncup, denyut

jantung, tahanan perifer dan sebagainya pada keadaan berolahraga, usia

lanjut, jenis kelamin, suku bangsa, iklim dan penyakit-penyakit jantung

atau pemb uluh darahnya (Masud, 2007:112).

2. Fisiologi Tekanan Darah

Tekanan darah arteri dipengaruhi oleh cardiac output, resistensi

perifer dan volume darah (Barrett et al, 2010 dan Sherwood, 2011),

sehingga tekanan darah dipengaruhi kondisi yang mengatur 3 faktor

ini. Tetapi 2 penentu terbesar adalah cardiac output dan resistensi

perifer total. Karena itu, setiap perubahan dari cardiac output dan

resistensi perifer, akan mempengaruhi tekanan darah. Adapun yang

dapat mempengaruhinya adalah sebagai berikut:

(1) Curah Jantung

Adapun faktor-faktor yang memengaruhi curah jantung adalah:


a. Denyut Jantung

Denyut Jantung dipengaruhi oleh persarafan, simpatis dan

parasimpatis (Barrett et al, 2010 dan Sherwood, 2011).

Persarafan simpatis akan meningkatkan denyut jantung dan

parasimpatis menurunkannya. (Barrett et al, 2010)

b. Stroke Volume

Isi sekuncup dipengaruhi oleh aktivitas simpatis dan aliran

darah kembali ke jantung (venous return). Aktivitas simpatis

mempengaruhi daya kontraktilitas jantung (Barrett et

al,2010) Aktivitas simpatis akan menyebabkan influx Ca2+ ke

sitosol jantung dan meningkatkan daya memeras otot jantung

(Sherwood, 2011). Sedangkan aliran balik darah ke jantung

berhubungan dengan hukum Frank Starling yang

mempengaruhi kontraksi otot jantung, makin besar volume

yang kembali, makin panjang regangan otot jantung, makin

kuat kontraksi otot jantung hingga panjang optimal dicapai.

(Barrett et al, 2010 dan Sherwood, 2014)

(2) Resistensi Perifer Total

Resistensi perifer total bergantung pada jari-jari arteriol dan

viskositas darah. Jari-jari arteriol dipengaruhi oleh kontrol

metabolik lokal, aktivitas simpatis, hormon vasopressin dan


angiotensin II. Sedangkan viskositas darah dipengaruhi jumlah sel

darah merah yang terkandung di setiap milliliter volume darah.

(Sherwood, 2011)

3. Macam – Macam Tekanan Darah

a) Tekanan Darah Rendah

Tekanan darah norma l sekitar 120/80 mmHg. Ada yang

dilahirkan dengan tekanan darah rendah bila sejak muda di

bawah 120/80 mmHg (hypotension) (Nadesul, 2008: 181-182).

Tekanan darah terlalu rendah sama buruknya dengan bila tensi

terlalu tinggi. Selain sebagai akibat tensi yang terlalu tinggi,

kasus stroke dan jantung koroner bias terpicu juga karena

tekanan darah yang anjlok. Darah tak deras lagi mengalir ke otak

dan pembuluh darah koroner (Nadesul, 2008 :185).

b) Tekanan Darah Tinggi

The sixth report of the joint national Committee on prevention,

detection, Evaluation, and treatment of high blood pressure

(1977) mendefinisikan hepertensi sebagai tekanan darah sistolik

140 mmHg atau lebih atau tekanan darah diastolik 90

mmHg atau lebih atau sedang dalam pengobatan antihipertensi (

Susalit, et al. 2001: 453). Sedangkan oleh Joint National

Committee on Detection, Evaluation and Treatment of High Blood


Pressure (JIVC) hipertensi sebagai tekanan yang lebih tinggi dari

140/90 mmHg dapat diklasifikasikan sesuai derajat keparahannya,

mempunyai rentang dari tekanan darah (TD) normal tinggi

sampai hipertensi maligna (Ruhyanudin, 2007 : 138). Tiga di

antara empat faktor utama pendukung hipertensi berhubungan

dengan makanan (Diehl, 1999: 87).

Berdasarkan penyebabnya,hipertensi dibedakan menjadi 2 golongan

yaitu hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya atau idiopatik

dan hipertensi sekunder yaitu hipertensi yang disebabkan oleh penyakit

lain. (Susalit, et al. 2001: 453)

a. Hipertensi primer adalah hipertensi yang penyebabnya

tidak diketahui. Terjadi pada sekitar 90 % penderita hipertensi.

Hipertensi primer kemungkinan disebabkan oleh beberapa

perubahan pada jantung dan pembuluh darah kemungkinan

bersama-sama menyebabkan meningkatnya tekanan darah

(Ruhyanudin, 2007 : 142).

b. Hipertensi sekunder akan sembuh sendiri setelah penyakit yang

mendasari munculnya hipertensi sudah diatasi ( Susalit, et

al.2001: 454). Menurut Ruhyanudin (2007 : 142) Hipertensi

sekunder adalah jika penyebabnya diketahui. Pada sekitar 5-

10% penderita hipertensi, penyebabnya adalah penyakit ginjal.


Pada sekitar 1-2 %, penyebabnya adalah kelainan hormonal

atau pemakaia n obat tertentu misalnya (pil KB).

c. Menurut Nadesul (2008: 190-191) Berbeda dengan hipertensi

primer yang belum tahu apa penyebabnya sehingga tidak bisa

sembuh bila tidak mengkonsumsi obat, hipertensi sekunder bisa

sembuh dengan sendirinya. Pada kasus hipertensi sekunder,

obat tak perlu dilanjutkan lagi dan tensi darah umumnya

kembali normal setelah penyakit yang mendasarinya

teratasi. Oleh karena itu, upaya penanganan hipertensi primer

lebih mendapatkan prioritas. Banyak penelitian dilakukan

terhadap hipertensi primer baik mengenai pathogenesis

maupun tentang pengobatannya (Susalit, et al. 2001: 454).

Tabel 2. Klasifikasi tekanan darah untuk usia 18 tahun atau lebih berdasarkan

Joint National Committee (JNC) VII, 2003

Klasifikasi Tekanan Tekanan Darah Tekanan Darah

Darah Sistolik Diastolik

(mmHg) (mmHg)

Normal <120 <80

Prehipertensi 120-130 80-89

Hipertensi stadium 1 140-159 90-99

Hipertensi stadium 2 ≥160 ≥100

Anda mungkin juga menyukai