Anda di halaman 1dari 238

STUDI PERILAKU STRUKTUR BANGUNAN TERHADAP

BEBAN PERCEPATAN GEMPA MENGGUNAKAN MODEL


INTERAKSI TANAH STRUKTUR

TESIS

Oleh:

Taufik Hidayat Linggadjaja


2014831032

Pembimbing :
Prof. Paulus Pramono Rahardjo, Ph.D

PROGRAM MAGISTER TEKNIK SIPIL


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN
BANDUNG
2014

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI III

DAFTAR GAMBAR VII

DAFTAR GRAFIK XV

DAFTAR NOTASI XVI

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang Masalah 1

1.2 Tujuan Penulisan 8

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan 9

1.4 Metodologi Penulisan 9

1.5 Sistematika Penulisan 10

BAB II BEBAN PERCEPATAN GEMPA PADA STRUKTUR BANGUNAN


13

2.1 Pengetahuan Dasar Kegempaan 13

2.1.1 Teori Pelepasan Energi Pada Patahan 15

2.1.2 Sumber Gempa Di Wilayah Indonesia 21

2.2 Atenuasi Gelombang Gempa Di Batuan Dasar 29

2.2.1 Karakteristik Gelombang Gempa 29

2.2.2 Persamaan-Persamaan Attenuasi Terpublikasi 32

2.2.3 Pemilihan Fungsi Attenuasi 33

2.2.4 Kondisi Seismotektonik Kota Jakarta 33

iii
2.3 Analisis Hazard Gempa 41

2.3.1. Pendahuluan 41

2.3.2. Pengumpulan Dan Pengolahan Data 42

2.3.3 Pemodelan Zona Sumber Gempa 46

2.3.4 Pemilihan Fungsi Atenuasi 48

2.3.5 Konsep Probabilitas 49

2.3.6 Input Ground Motion 50

2.3.7 Respons Spektra 53

BAB III DASAR TEORI PEMODELAN ANALISIS INTERAKSI TANAH


STRUKTUR 55

3.1 Penentuan Parameter Tanah 55

3.1.1 Kondisi Tanah Lunak 57

3.1.2 Kondisi Tanah Sedang 58

3.1.3 Penentuan Parameter Statik Dan Dinamik Tanah 59

3.2 Pemodelan Struktur Bangunan Atas 62

3.3 Analisis Dasar Dalam Pemodelan Geoteknik 63

3.3.1 Analisis Tegangan Statik 64

3.3.2 Analisis Dinamik 72

3.4 Elemen Dalam Interaksi Tanah Struktur 107

3.4.1 Elemen Solid 107

3.4.2 Elemen Balok 109

3.4.3 Elemen Pelat 110

3.4.4 Elemen Tiang 111

iv
3.4.5 Elemen Ujung Tiang 112

3.4.6 Elemen Pegas Nodal/ Damping 113

3.5 Model Konstitutive 115

3.5.1 Model Konstitutif Struktur 115

3.5.2 Model Material Tanah 120

BAB IV STUDI MODEL INTERAKSI TANAH-STRUKTUR 115

4.1 Pendahuluan 115

4.2 Parameter Model Jenis Tanah 129

4.3 Parameter Model Struktur Bangunan 131

4.4 Pembebanan 133

4.5 Tahapan Permodelan Dengan Mengunakan Midas Gts 138

4.6 Tahapan Permodelan Dengan Mengunakan Etabs 162

4.6.1 Umum 162

4.6.2 Pendefinisian Material Properties Pada Etabs 168

4.6.3 Beban Gempa Respon Dinamik Dan Time History 172

4.7 Perbandingan Hasil Analisis Model Midas Gts Dengan Etabs 177

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 141

DAFTAR PUSTAKA 145

LAMPIRAN

v
vi
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Model struktur menggunakan tumpuan tetap 2

Gambar 2 Data episenter di Indonesia dengan M > 5.0 (1900-2009). 6

Gambar 3 Teori Pergerseran Benua (Continental Drift) – Wegener (1912) 15

Gambar 4 Arus konveksi menimbulkan pergerakan lempeng benua 17

Gambar 5 Pergesekan antar 2 lempeng menimbulkan slip dan gempa setelah kuat

geser batuan lempeng terlampaui 18

Gambar 6 Potongan pertemuan lempeng tipe subduksi 19

Gambar 7 Zona subduksi : Mega-Thrust dan Benioff 20

Gambar 8 Gempa yang bersumber pada daerah subduksi dan back arch thrust 20

Gambar 9 Back arch thrust pada pulau Bali akibat subduksi lempeng Indo-

Australia 21

Gambar 10 Kondisi seismotektonik Wilayah Indonesia (Hall et al., 1995) 22

Gambar 11 Plot Semua Sumber Gempa tahun 1900 -2007 (All Shocks) 24

Gambar 12 Plot Semua Sumber Gempa Utama di Indonesia (Main Shocks) 25

Gambar 13 Sumber Gempa Subduksi di Indonesia 25

Gambar 14 Sumber Gempa Fault/Sesar di Indonesia 26

Gambar 15 Sumber gempa utama di Indonesia 27

Gambar 16 Kontribusi Gempa Subduksi Megathrust 28

Gambar 17 Gambar Kontribusi Gempa Sesar Dangkal 28

Gambar 18 Gambar Kontribusi Gempa Shallow Background 29

Gambar 19 Gelombang badan dan permukaan akibat gempa 31

vii
Gambar 20 : Strike‐slip fault (BF= Batee fault); 2: Spreading Center; 3:

Subduction Trench; 4: Axis of Outer Ridge; 5: Axis of Fore‐Arc Basin; 6:

Direction of Relative Motion; 7: Vulkanis aktif (Huchon & Pichon, 1984) 35

Gambar 21 Zone‐zone rupture gempa sepanjang Segmen Sumatra (Newcomb &

McCann, 1987) 36

Gambar 22 Peta Batimetri Sekitar Selat Sunda dan Karakteristik Geologi dan

Geofisika. ( Huchon dan Pichon, 1984) 38

Gambar 23 Zone‐zone rupture dari gempa sepanjang Segmen Jawa (Newcomb

dan McCann, 1987). 39

Gambar 24 Shallow crustal di daerah Selat Sunda 40

Gambar 25 Distribusi episenter kejadian gempa sebelum disortir (all shock) antara

tahun 1900 - 2009 untuk magnitude minimum 5.0 43

Gambar 26 Distribusi episenter kejadian gempa setelah disortir (main shock)

antara tahun 1900 - 2009 untuk magnitude minimum 5.0 45

Gambar 27 Model Zona Sumber Gempa 46

Gambar 28 Teori Probabilitas Total 50

Gambar 29 Hasil Deaggregation Wilayah Jakarta (475 Tahun) 52

Gambar 30 Grafik Time History Megathrust 53

Gambar 31 Grafik Time History Shallow Crustal 53

Gambar 32 Respons Spectrum untuk Jenis Tanah Lunak 54

Gambar 33 Respons Spectrum untuk Jenis Tanah Sedang 54

Gambar 34 Sistem Struktur Gedung berdasar jumlah tingkat 63

Gambar 35 Vektor perpindahan (u, v, w) 67

Gambar 36 Berbagai tipe modulus 70

Gambar 37 Mode shapes dan waktu periode balok kantilever 74

viii
Gambar 38 Konsep Respons Spektrum (1) 81

Gambar 39 Konsep Respons Spektrum (2) 83

Gambar 40 Perhitungan Massa dan Momen Inersia Massa 85

Gambar 41 Kurva Respons Spektrum dan interpolasi linier data spektra 87

Gambar 42 Pergerakan sistem SDOF 93

Gambar 43 Model analisis ruang bebas 1 dimensi 97

Gambar 44 Sistem koordinat elemen solid 109

Gambar 45 Sistem koordinat elemen balok 110

Gambar 46 Elemen Pelat Kuadrilateral 111

Gambar 47 Elemen tiang 112

Gambar 48 Sistem koordinat elemen tiang 112

Gambar 49 Model elemen ujung tiang 113

Gambar 50 Sistem koordinat elemen pegas/peredam 114

Gambar 51 Permukaan leleh friksi Coulomb 116

Gambar 52 Kriteria leleh Mohr - Coulomb 121

Gambar 53 Skematik variasi kohesi terhadap kedalaman 122

Gambar 54 Permukaan leleh Mohr-Coulomb pada ruang tegangan utama 3D 125

Gambar 55 Permukaan leleh Mohr-Coulomb pada bidang  dan meridian 125

Gambar 56 Hubungan perpindahan relatif dan traksi 127

Gambar 57 Variasi kekakuan geser terhadap kedalaman tanah 127

Gambar 58 Model Bangunan 16 lantai 3 layer tanah tampak depan pada Midas

GTS 116

Gambar 59 Model Bangunan 16 lantai 3 layer tanah tampak 3D Midas GTS 117

Gambar 60 Model Bangunan 16 lantai 3 layer tanah tampak 3D pada Midas GTS

118

ix
Gambar 61 Model Bangunan 16 lantai tampak depan pada ETABS 119

Gambar 62 Model Bangunan 16 lantai tampak 3D pada ETABS 119

Gambar 63 Model Bangunan 12 lantai 3 layer tanah tampak depan pada Midas

GTS 120

Gambar 64 Model Bangunan 12 lantai 3 layer tanah tampak 3D pada Midas GTS

121

Gambar 65 Model Bangunan 12 lantai 3 layer tanah tampak 3D pada Midas GTS

122

Gambar 66 Model Bangunan 12 lantai tampak depan pada ETABS 123

Gambar 67 Model Bangunan 12 lantai tampak 3D pada ETABS 123

Gambar 68 Model Bangunan 8 lantai 3 layer tanah tampak depan pada Midas

GTS 124

Gambar 69 Model Bangunan 8 lantai 3 layer tanah tampak 3D pada Midas GTS

125

Gambar 70 Model Bangunan 8 lantai 3 layer tanah tampak 3D pada Midas GTS

126

Gambar 71 Model Bangunan 8 lantai tampak depan pada ETABS 126

Gambar 72 Model Bangunan 8 lantai tampak 3D pada ETABS 127

Gambar 73 Pembuatan Geometri Model 139

Gambar 74 Pendefinisian Atribute 140

Gambar 75 Pedefinisian Material 141

Gambar 76 Pedefinisian Property 142

Gambar 77 Input Interface 143

Gambar 78 Meshing untuk profil Struktur Balok , Kolom dan Pile ( Elemen 1

Dimensi ) 144

x
Gambar 79Meshing untuk profil Struktur Plat Lantai dan Shearwall ( Elemen 2

Dimensi ) 144

Gambar 80 Meshing untuk profil tanah 145

Gambar 81 Pengecekan Jumlah Mesh 145

Gambar 82 Asign Load LL 146

Gambar 83 Asign Load ADL 147

Gambar 84 Pendefinisian Beban Seismic Respons Spectrum 147

Gambar 85 Input Beban Seismic Respons Spectrum 148

Gambar 86 Pendefinisian Beban Seismic Time History 148

Gambar 87 Input Beban Seismic Time History 149

Gambar 88 Pendefinisian Boundary Support 150

Gambar 89 Pendefinisian Boundary Surface Springs Arah X 156

Gambar 90 Pendefinisian Boundary Surface Springs Arah Y 156

Gambar 91 Pendefinisian Boundary Surface Springs Arah Z 157

Gambar 92 Pendefinisian Analysis Case Eigen Value 158

Gambar 93 Nilai Priode Getar 158

Gambar 94 Input Priode Getar pada Load Seismic 159

Gambar 95 Definisi Analysis Case Respons Sepectrum 160

Gambar 96 Definisi Analysis Case Time History 161

Gambar 97 Analysis Case 161

Gambar 98 Potongan Model ETABS 8 Lantai 162

Gambar 99 Model ETABS 3 Dimensi 8 Lantai 163

Gambar 100 Denah 8 Lantai pada ETABS Lantai Dasar sampai Atap (typical) 163

Gambar 101 Potongan Model ETABS 12 Lantai 164

Gambar 102 Model ETABS 3 Dimensi 12 Lantai 165

xi
Gambar 103 Denah 12 Lantai pada ETABS Lantai Dasar sampai Atap (typical)

165

Gambar 104 Potongan Model ETABS 12 Lantai 166

Gambar 105 Model ETABS 3 Dimensi 16 Lantai 167

Gambar 106 Lantai pada ETABS Lantai Dasar sampai Atap (typical) 167

Gambar 107 Properties Balok B36 168

Gambar 108 Set Modifier Balok B36 169

Gambar 109 Properties Kolom C35x100 169

Gambar 110 Set Modifier Kolom C35x100 170

Gambar 111 Properties Dinding Geser S15 170

Gambar 112 Set Modifier Kolom C35x100 171

Gambar 113 Kurva Respon Spectra Wilayah 3 untuk Tanah Lunak dan Tanah

Sedang 172

Gambar 114 Kurva Respon Spectra Wilayah 3 untuk Tanah Lunak pada Program

ETABS 173

Gambar 115 Kurva Respon Spectra Wilayah 3 untuk Tanah Sedang pada Program

ETABS 174

Gambar 116 Grafik Time History Mega Trust pada Program ETABS 175

Gambar 117 Grafik Time History Shallow Crustal pada Program ETABS 176

Gambar 118 Posisi titik Pile yang ditinjau 192

xii
xiii
DAFTAR TABEL

Tabel 1 Distribusi gempa dengan magnitudo M > 6 antara tahun 1900 – 1970

(Sumber : Rikanenhiauw, 1974) 14

Tabel 2 Sumber Gempa Sesar/Fault Di Indonesia (1) 26

Tabel 3 Sumber gempa sesar/fault di Indonesia (2) 27

Tabel 4 Sumber Gempa Sesar/Fault Di Indonesia 33

Tabel 5 Interval completeness dari data gempa wilayah Indonesia. 45

Tabel 6 Recorded ground motion yang dipilih 52

Tabel 7 Klasifikasi Situs Tanah menurut SNI 03-1726-2011 56

Tabel 8 Sistem Klasifikasi Tanah menurut AASHTO 58

Tabel 9 Tabel Klasifikasi Tanah menurut USC 59

Tabel 10 Korelasi Macam Tanah dan Sudut Geser Dalam (ф) 60

Tabel 11 Hubungan antara Relative Density, Penetration Resistance, and Angle

of Friction of Cohesionless Soils (G. Meyerhoff, 1956) 61

Tabel 12 Rasio Poisson 61

Tabel 13 Hubungan Parameter Konsolidasi dan Modulus Kekang 72

xiv
DAFTAR GRAFIK

Grafik 1 Shear Story 16 Lantai untuk Jenis Tanah Sedang 177

Grafik 2 Shear Story 12 Lantai untuk Jenis Tanah Sedang 179

Grafik 3 Shear Story 8 Lantai untuk Jenis Tanah Sedang 181

Grafik 4 Perbandingan Shear Story untuk tanah sedang terhadap Beban Seismic

Arah X 182

Grafik 5 Perbandingan Shear Story untuk tanah sedang terhadap Beban Seismic

Arah Y 183

Grafik 6 Shear Story 16 Lantai untuk Jenis Tanah Lunak 184

Grafik 7 Shear Story 12 Lantai untuk Jenis Tanah Lunak 186

Grafik 8 Shear Story 8 Lantai untuk Jenis Tanah Lunak 188

Grafik 9 Perbandingan Shear Story untuk tanah lunak terhadap Beban Seismic

Arah X 190

Grafik 10 Perbandingan Shear Story untuk tanah lunak terhadap Beban Seismic

Arah Y 190

xv
DAFTAR NOTASI

Es Modulus Elastisitas Tanah

 Rasio Poisson

G Modulus Geser

Cu Parameter kuat geser tanah , Kohesi Tanah terutama pada tanah lempung

(ф) Sudut Geser Tanah pada tanah pasir

u Vektor displacement

p Vektor beban

2 Nilai Eigen

 Frekuensi alami angular/rotasi

f Frekuensi alami

T Periode alami

 Koefisien Rayleigh

kv Modulus Subgrade Vertikal

kh Modulus Subgrade Horizontal

x Regangan dalam arah

y Regangan dalam arah y

z Regangan dalam arah z

[M] Matrik massa

[C] Matrik damping

[K] Matrik kekakuan

wg Percepatan tanah

m Faktor modal partisipasi ke m

xvi
m Vektor modal ke m pada lokasi x

Sdm Perpindahan spektral normalisasi untuk waktu getar modus ke m

Sam Percepatan spektral normalisasi untuk waktu getar modus ke m

Dx Defleksi Arah X pada elemen beam

Dy Defleksi Arah Y pada elemen beam

Mx Momen Arah X pada elemen beam

My Momen Arah Y pada elemen beam

Qx Gaya Geser Arah X pada elemen beam

Qy Gaya Geser Arah Y ada elemen beam

SDOF Sistem Derajad Kebebasan Tunggal (Single Degree Of Freedom),

 Sudut geser dalam sebagai fungsi parameter riwayat deformasi, 

c Kohesi sebagai fungsi parameter riwayat deformasi, 

 Sudut dilatansi (konstan di bawah tegangan normal yang diberikan)

cref Kohesi awal

cinc Kenaikan kohesi

xvii
BAB I Pendahuluan

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

Perencanaan struktur suatu bangunan gedung pada umumnya dalam

prakteknya dimodelkan sebagai suatu bangunan yang bertumpu pada tumpuan

tetap baik berupa jepit ataupun sendi. Selanjutnya hasil reaksi dari model

struktur bangunan tersebut dikerjakan pada suatu model pondasi baik parsial

per titik kolom ataupun beberapa titik yang digabung menjadi 1 pondasi.

Pemodelan tersebut berlaku baik untuk beban gravitasi maupun beban gempa.

Dengan perkembangan teknologi komputer, maka pengaruh interaksi tanah –

struktur mulai dapat dimodelkan untuk mengetahui secara tepat respons

struktur bangunan terhadap terhadap beban gravitasi maupun beban gempa.

Pada umumnya pengaruh interaksi tanah struktur terhadap respons beban

gempa dianggap memberikan keuntungan pada struktur karena respons beban

gempa yang diserap oleh bangunan akan lebih kecil dibanding dengan

penggunaan asumsi tumpuan tetap, sehingga dengan pengabaian interaksi

tanah struktur maka perencanaan struktur diharapkan akan menghasilkan

perencanaan yang konservatif dengan faktor keamanan yang lebih baik.

Pengabaian interaksi tanah struktur sebagai penyederhanaan perencanaan

dianggap dapat meningkatkan faktor keamanan secara konservatif karena 3

hal sebagai berikut : 1)

1
Gambar 1 Model struktur menggunakan tumpuan tetap

1. Percepatan spektra rencana berkurang secara monotonik dengan

peningkatan perioda bangunan.

2. Koefisien modifikasi respons/ faktor perilaku sistem struktur untuk

memperoleh gaya gempa rencana bisa tetap atau meningkat dengan

peningkatan perioda bangunan.

3. Impedansi pondasi yang diperoleh dengan mengasumsi kondisi half-

space tanah homogen cenderung memperoleh damping struktur yang

lebih besar pada profil tanah aktual.

Pengabaian interaksi tanah struktur sebagai simplifikasi perencanaan yang

menguntungkan dengan meningkatkan faktor keamanan secara konservatif,

juga disarankan dalam berbagai peraturan gempa seperti ATC-3, NEHRP-971).

Di dalam SNI-1726-2011 Standar Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk

2
Struktur Bangunan Gedung dan Non Gedung (Pasal 7.15 dan bab 13) yang

mengadopsi ASCE 2010 (Bab 19) gaya geser gempa dapat direduksi hingga

30% dengan peningkatan perioda atau waktu getar bangunan, sedangkan

damping efektif dibedakan menjadi 2 kondisi pada tanah secara umum dan

kondisi tanah lunak. Secara umum damping pondasi dianggap meningkat

seiring peningkatan perioda bangunan, sedangkan pada kasus bangunan diatas

tanah lunak maka perubahan damping dipengaruhi juga oleh kedalaman dan

kecepatan gelombang geser tanah lunak. Dalam New Zealand Standard NZS

4203:1992 (Code Practice for General Structural Design and Design Loading

for Buildings – Vol 1) tidak disebutkan secara eksplisit penggunaan interaksi

tanah struktur dalam perencanaan suatu bangunan terhadap gaya gempa, hanya

disebutkan dalam pasal 4.11.1.2 disebutkan jika disipasi energi terjadi melalui

pondasi yang tergoncang (rocking of foundations) maka struktur harus distudi

secara khusus kecuali dilakukan pembatasan daktilitas bangunan tidak

melampaui 2. Sedangkan dalam EN 1998-1-2003 (Eurocode 8 : Design of

Structures for earthquake resistance), dalam pasal 4.3.1(9) dinyatakan bahwa

deformasi pondasi termasuk interaksi tanah struktur harus diperhitungkan

termasuk apabila pengaruh interaksi tanah struktur menguntungkan bagi

performance bangunan.

Hal lain yang menguatkan dugaan bahwa pengabaian interaksi tanah struktur

menguntungkan berdasarkan studi analisis respons gempa suatu bandul

elastoplastis baik yang terjepit (Newmark & Hall, 1973; Ridell & Newmark,

1979; Hidalgo & Arias, 1990) maupun pada sistem tumpuan fleksibel

(Ciampoli & Pinto, 1995; Elnashai & Mc Clure, 1996) dimana kebutuhan

3
daktilitas berkurang seiring peningkatan perioda struktur. Sebaliknya analisis

bandul pada deposit tanah lunak (Miranda & Bertero, 1994) menunjukkan hasil

sebaliknya dimana kebutuhan daktilitas justru meningkat dengan

meningkatnya perioda struktur sehingga pengaruh interaksi tanah struktur

mengurangi faktor keamanan struktur, sebagaimana ditunjukkan juga pada

studi pier jembatan elastoplastis dengan penambahan fleksibilitas pondasi oleh

Priestley dan Park (1987) akan mengurangi kapasitas daktilitas sistem.

Pada studi beberapa kasus gempa yang terjadi menunjukkan pengaruh interaksi

tanah struktur yang merugikan seperti gempa Mexico (Michoacan, 1985)

dimana bangunan 10-12 lantai yang didirikan diatas tanah lunak banyak

mengalami kerusakan akibat peningkatan waktu getar dari 1.0 detik (dengan

model tumpuan jepit) menjadi 2.0 detik (dengan interaksi tanah struktur –

Resendiz dan Roesset, 1985). Pada kasus kegagalan Rute 3 (Seksi Fukae) -

Hanshin Expressway di Kobe merupakan kasus pengaruh interaksi tanah

struktur yang merugikan (Gazetas dan Mylonakis, 1998; Mylonakis et al, 2000).

Juga kasus keruntuhan gedung pada gempa Adana-Ceyhan merupakan kasus

interaksi tanah struktur yang merugikan (Celebi, 1998)1).

Oleh karena itu, studi interaksi tanah struktur akibat gaya gempa juga perlu

dilakukan secara intens terutama karena Indonesia yang merupakan salah satu

daerah dengan aktivitas gempa yang tinggi akibat posisinya yang berada pada

pertemuan empat lempeng tektonik utama, yaitu lempeng Eurasia, Indo-

Australia, Pasifik dan Philipine. Pertemuan ke 4 lempeng tersebut

mengakibatkan terjadi aktivitas gempa tektonis yang tinggi di Indonesia,

dimana menurut data-data gempa dalam rentang waktu antara taghun 1897-

4
2000 terjadi sekitar 8237 kejadian gempa dengan magnitudo Ms > 5. Dengan

terjadinya secara berturut-turut gempa Andaman (Aceh, 9.0 SR, 26 Desember

2004), Jogya (27 Mei 2006) dan Padang (7.9SR, 30 September 2009),

membuat banyak kalangan lebih memperhatikan mutu bangunan dengan

perencanaan bangunan terhadap gempa yang lebih baik. Dengan adanya

peraturan gempa yang baru di Indonesia yang secara umum mengadopsi ASCE,

perlu menjadi perhatian para praktisi untuk memperoleh situs respons spektra

pada lokasi dimana bangunan akan didirikan terutama bangunan tingkat tinggi

yang memerlukan keandalan yang baik dalam merespons gempa yang mungkin

terjadi. Di Jakarta sendiri saat ini baru ada rencana dilakukan pembuatan

microzonasi dengan mulai dilakukannya 4 buah pengeboran tanah hingga ke

tanah dasar di kedalaman 300 m untuk pembuatan respons gempa batuan dasar

pada kedalaman tersebut (Kompas, Juni 2011). Disamping itu dengan

banyaknya daerah di Indonesia yang merupakan daerah dengan karakteristik

tanah dasar yang terbentuk dari proses sedimentasi terutama pada kota-kota

besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Semarang dimana tanah permukaan

merupakan tanah lunak dengan kedalaman tanah keras hingga 20 – 40 m, maka

pengaruh interaksi tanah struktur terhadap bangunan patut mulai dimasukkan

sebagai bagian dari perencanaan struktur terutama apabila pengaruh interaksi

tanah struktur tersebut dapat mengurangi faktor keamanan terhadap bangunan

secara keseluruhan.

5
Gambar 2 Data episenter di Indonesia dengan M > 5.0 (1900-2009).

Melakukan pemodelan struktur dengan memasukkan model tanah untuk

mengetahui respons interaksi tanah struktur belum banyak didukung oleh

program komersial yang mudah diaplikasikan. Salah satu program

menggunakan metode elemen hingga yang dapat dipergunakan untuk analisa

pengaruh interaksi tanah struktur adalah Abaqus2). Dengan adanya program

komersial Midas GTS yang dapat memodelkan tanah dengan struktur secara 3

dimensi untuk mengetahui perilaku interaksi tanah struktur, maka diharapkan

pemodelan suatu bangunan secara lengkap dengan model tanah dapat teratasi

dengan baik meskipun masih ada beberapa keterbatasan dalam pemodelan

disamping pemodelan tanah yang meliputi kuat geser dan modulus elastisitas

tanah yang membutuhkan pengetahuan mekanika tanah yang baik.

6
Dalam Midas GTS, analisis tegangan statis bisa dilakukan baik dalam perilaku

linier ataupun nonlinier, sedangkan dalam analisis geoteknik, perilaku

nonlinier tanah mempergunakan model linier elastik, model nonlinier elastik

dan model elasto-plastik. Pada saat analisis tegangan statik linier dilakukan

pada pondasi atau struktur yang dimodel sebagai material nonlinier, Midas

GTS secara internal mengubah model material menjadi linier dan melakukan

analisis tegangan linier, dimana dalam analisis tegangan statik linier mode

kegagalan diabaikan dan hubungan tegangan-regangan diidealisasi sebagai

garis lurus karena persamaan elemen hingga diekspresikan dalam bentuk

elastik linier mengikuti Hukum Hooke, analisis elastik nonlinier dan analisis

elasto-plastik juga dapat dieksekusi dalam bentuk persamaan elastik linier.

Untuk masalah regangan kecil, model elastik nonlinier dapat diterapkan

dengan baik, sedang untuk masalah regangan besar dengan kecepatan

pembebanan dan seepage, analisis visco-elastoplastik lebih tepat untuk

dipergunakan, tetapi penggunaan analisis elasto-plastik sebagaimana dalam

Midas GTS cukup dapat diterima3).

Untuk menghitung respons pondasi saat terjadi gempa, Midas GTS

menggunakan analisis field bebas yang terutama dipergunakan dalam prediksi

getaran permukaan tanah dalam menghitung tegangan dinamik dan regangan

untuk memeriksa liquifaksi dan menentukan beban gempa yang akan

menimbulkan ketidakstabilan pondasi atau struktur tanah. Perbedaan utama

antara masalah interaksi tanah-struktur dan masalah dinamika struktur pada

umumnya adalah damping radiasi yang ditimbulkan oleh pondasi yang tidak

berhingga. Properti damping secara umum akan mengurangi pergerakan

7
struktur dengan friksi material, damping radiasi mengurangi energi kinetik

struktur dengan melepaskan energi gelombang ke area tak berhingga dari

pondasi. Dalam penyelesaian masalah interaksi tanah-struktur, memerlukan

pemodelan karakteristik damping radiasi dan nonlinieritasnya, agar dalam

analisis domain frekuensi material yang nonlinier dapat dianalisis dengan

metode ekivalen linier3).

1.2 TUJUAN PENULISAN

Penulisan tesis ini bertujuan untuk melakukan studi perilaku struktur bangunan

terhadap beban percepatan gempa melalui model interaksi tanah struktur,

terutama untuk mengetahui apakah pengabaian model interaksi tanah struktur

yang selama ini banyak dilakukan dalam praktek perencanaan struktur

memberikan perencanaan yang konservatif dengan faktor keamanan yang lebih

baik sebagaimana anggapan selama ini menurut peraturan-peraturan atau code

yang berlaku atau sebaliknya untuk kondisi tanah atau bangunan tertentu

perilaku struktur dengan peninjauan interaksi tanah struktur akan memberikan

respons yang merugikan dimana faktor keamanan menjadi berkurang.

Dengan studi perilaku ini, maka diharapkan dapat dibuat suatu kesimpulan

kondisi-kondisi dimana diperlukan suatu analisis perencanaan yang harus

memperhitungkan pengaruh interaksi tanah struktur dan sebaliknya dimana

pengaruh interaksi tanah struktur dapat diabaikan. Besaran pengaruh interaksi

tanah struktur terhadap perilaku struktur bangunan diharapkan dapat diberikan

sebagai perkiraan penambahan respons terhadap bangunan apabila interaksi

8
tanah struktur bangunan tetap diabaikan untuk menyederhanakan model

perencanaan struktur.

1.3 RUANG LINGKUP PEMBAHASAN

Studi perilaku struktur bangunan terhadap beban percepatan gempa melalui

model interaksi tanah struktur dilakukan dengan pemodelan menggunakan

program Midas GTS dimana analisis gempa bersifat elasto-linier dengan beban

percepatan gempa dilakukan berdasarkan pengambilan sampel penyelidikan

tanah pada lapisan tanah lunak (Proyek Green Bay) dan sedang (Proyek

Kebayoran Icon) yang pernah dilakukan di area Jakarta. Model struktur

bangunan atas dilakukan secara bervariasi berdasarkan model beberapa

bangunan portal terbuka dengan dinding geser 8 lantai, 12 lantai dan 16 lantai

yang mewakili bangunan dengan waktu getar alami 1 detik, 2 detik dan 3 detik

dengan pondasi tiang pancang. Penentuan parameter tanah dalam pemodelan

dilakukan berdasarkan korelasi-korelasi yang pernah dibuat melalui penelitian

berdasarkan referensi yang ada.

1.4 METODOLOGI PENULISAN

Metodologi penulisan yang dipergunakan dalam penulisan tesis ini meliputi :

a. Studi teoritis mengenai pengunaan dan metoda analisis batterpile pada tanah

lunak.

b. Studi model numerik melalui penggunaan Midas GTS untuk mengetahui

perilaku batterpile akibat beban axial dan kombinasi dengan beban lateral.

9
c. Memberikan kesimpulan pengaruh kemiringan tiang terhadap prilaku

batterpile akibat beban axial berdasarkan hasil permodelan numerik.

1.5 SISTEMATIKA PENULISAN

Penyusunan tesis ini berdasarkan sistematika pembahasan yang dibagi

menjadi bab-bab sebagai berikut :

BAB I. PENDAHULUAN

Bab ini membahas tentang latar belakang, maksud dan tujuan penulisan, ruang

lingkup pembahasan dan metodologi penulisan.

BAB II. BEBAN PERCEPATAN GEMPA PADA STRUKTUR

BANGUNAN

Bab ini membahas teori tentang pengetahuan dasar kegempaan, atenuasi

gelombang gempa di batuan dasar, analisis hazard gempa dan respons analisis

permukaan tanah hingga diperoleh suatu respons spektra rencana suatu

bangunan. Contoh diberikan untuk wilayah Jakarta dan sekitarnya.

BAB III. PEMILIHAN KONDISI TANAH DAN STRUKTUR

BANGUNAN ATAS

Bab ini membahas penentuan kondisi jenis tanah dan struktur bangunan atas,

pemodelan eksitasi gempa dan persamaan kinetik, analisis interaksi tanah-

struktur melalui pondasi tiang pancang, dasar teori dan keandalan Midas GTS.

10
BAB IV. STUDI KASUS MODEL INTERAKSI TANAH – STRUKTUR

Bab ini memberikan contoh-contoh studi perencanaan struktur bangunan yang

memperhitungkan interaksi tanah struktur dengan menggunakan program

Midas GTS dan membandingkannya dengan model perencanaan struktur

dengan tumpuan tetap melalui beban riwayat waktu dan respons percepatan

absolut horizontal, respons gaya geser dasar dan gaya geser tingkat dan respons

elemen pondasi tiang pancang.

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini berisi kesimpulan yang dapat diambil dari pemodelan interaksi tanah

struktur berbagai model bangunan pada jenis tanah sedang dan lunak dengan

membandingkannya pada model konvensional struktur bangunan yang

bertumpu pada tumpuan tetap. Dari kesimpulan hasil analisis, maka dapat

diberikan saran-saran mengenai tingkat keuntungan ataupun kerugian suatu

perencanaan bangunan yang tidak memperhitungkan atau mengabaikan

interaksi tanah struktur.

11
12
BAB II BEBAN PERCEPATAN GEMPA PADA STRUKTUR B ANGUNAN

BEBAN PERCEPATAN GEMPA PADA STRUKTUR


BANGUNAN

Gempa bumi merupakan kejadian alam yang tidak dapat dihindarkan oleh manusia,

terutama akan berpengaruh pada bangunan yang didirikan dan ditinggali oleh

manusia. Kerusakan atau keruntuhan bangunan akibat gempa dapat menimbulkan

korban jiwa dan material yang besar bila tidak diantisipasi dengan baik. Indonesia

merupakan salah satu daerah dengan aktivitas gempa yang tinggi akibat posisinya

yang berada pada pertemuan empat lempeng tektonik utama, yaitu lempeng

Eurasia, Indo-Australia, Pasifik dan Philipine.

Dari jumlah kejadian gempa yang merusak di beberapa negara dengan gempa pada

skala Richter M > 6 antara tahun 1900 - 1970, Indonesia menempati posisi ke 2

setelah Jepang sebagaimana terlihat pada Tabel 1.

2.1 PENGETAHUAN DASAR KEGEMPAAN

Gempa bumi adalah suatu gerakan tiba-tiba atau rentetan gerakan tiba-tiba

dari tanah dan batuan yang bersifat transient dan berasal dari suatu daerah

terbatas yang kemudian menyebar ke segala arah karena dirambatkan oleh

medium lapisan bumi (MT Zen).

Berdasarkan pengertian tersebut, gempa bumi dapat dibedakan menjadi :

- Gempa Bumi Tektonik, disebabkan oleh terjadinya pergeseran kulit

bumi yang terjadi di daerah patahan, sehingga terjadi pelepasan energi

13
regangan elastik. Jenis ini paling banyak menimbulkan kerusakan

bangunan dalam skala luas.

- Gempa Bumi Vulkanik, disebabkan oleh kegiatan gunung berapi baik

sebelum maupun pada saat terjadi letusan gunung berapi.

- Gempa Bumi Runtuhan, disebabkan oleh keruntuhan baik di atas

maupun di bawah permukaan bumi seperti tanah longsor, batu jatuh

dan gua runtuh.

- Gempa Bumi Lainnya, disebabkan oleh ledakan bom, getaran mesin,

lalu lintas dan pemancangan tiang.

Tabel 1 Distribusi gempa dengan magnitudo M > 6 antara tahun 1900 –


1970 (Sumber : Rikanenhiauw, 1974)

Negara Magnitude Jumlah


6M<7 7M<8 M8 Total
Argentina 2 12 2 16
Brazil 2 3 1 6
Burma - 15 1 16
Chile 2 42 3 47
China 2 34 6 42
Cuba - 2 - 2
India - 8 2 10
Indonesia 10 137 7 154
Japan 4 306 14 324
Kurile 2 37 5 44
Mexico 2 41 5 48
Mongolia 1 4 2 7
New Britain 1 23 - 24
New Zealand - 9 - 9
Nicaragua - 7 - 7
Philippines 1 46 3 50
Peru 3 25 1 29
Rusia - 10 3 13
Taiwan 3 34 3 40
Tonga 1 43 3 47
USA 7 96 6 109
2.1.1 Teori Pelepasan Energi Pada Patahan

Permukaan bumi terdiri dari 12 lempeng Lithosphere yang terpisah-pisah

dan mengambang di atas lapisan setengah cair Asthenosphere setelah

mengalami evolusi pergeseran selama 220 juta tahun dari 1 benua Pangaea

dikelilingi samudra Panthalassa menurut Teori Pengapungan Benua

(Continental Drift) dari Wegener (1912) dan setelah dilengkapi dengan

bukti nyata pergerakan relatif kerak bumi menjadi Teori Pelat Tektonik.

Gambar 3 Teori Pergerseran Benua (Continental Drift) – Wegener (1912)


(Sumber : http://mediatheek.thinkquest.nl/~ll125/en/)

Akibat perbedaan temperature di core yang cair dan mempunyai temperatur

yang sangat tinggi (5000oC) dengan bagian lempeng bumi yang padat

(kurang dari 300oC), maka terjadi arus konveksi pada mantel dibawah

lempeng menimbulkan pergerakan pada lempeng-lempeng.

Pergerakan yang terjadi pada lempeng berbeda-beda kecepatan dan arahnya

sehingga menimbulkan interaksi antar lempeng baik divergen (menjauh),


konvergen (mendekat) dan transform (menggeser) menyebabkan deformasi

pada lempeng sehingga terjadi akumulasi energi. Hingga pada suatu saat

besarnya energi akan melampaui kekuatan geser batuan lempeng yang

bergesekan dan terjadi slip dan pelepasan energi secara cepat dalam bentuk

gelombang sehingga terjadi getaran gempa yang menjalar dari pusat gempa

tersebut ke permukaan bumi di mana bangunan-bangunan berdiri hingga

jarak sejauh 400 km. Gempa bumi terjadi bila kekuatan geser batuan tidak

dapat lagi menahan gaya yang menimbulkan regangan elasti yang

meningkat secara perlahan-lahan dalam lempeng tektonik.

Pada saat terjadi subduksi suatu lempeng ke bawah lempeng yang lain,

terjadi pengangkatan lempeng yang mengalami tekanan ke atas hingga

dapat timbul suatu pegunungan di sepanjang zona subduksi, seperti deretan

pegunungan di Sumatera, Jawa, Himalaya.


Gambar 4 Arus konveksi menimbulkan pergerakan lempeng benua
(Sumber : http://mediatheek.thinkquest.nl/~ll125/en/ )
Gambar 5 Pergesekan antar 2 lempeng menimbulkan slip dan gempa setelah
kuat geser batuan lempeng terlampaui
(Sumber : http://mediatheek.thinkquest.nl/~ll125/en/)

Pada beberapa tempat karena terlampauinya tegangan geser batuan yang

mengalami pengangkatan dapat mengalami sobekan baru berupa

sesar/trench yang relatif lebih dangkal, seperti Sesar Semangko di

sepanjang Sumatera, Sukabumi, Baribis dan Bumiayu di pulau Jawa akibat

tabrakan Lempeng Indo-Australia dengan lempeng Eurasia.

Bilamana pusat terjadinya slip atau gempa terjadi pada kedalaman 0-70 km

maka merupakan gempa dangkal, bilamana terjadi pada kedalaman 70 - 300

km merupakan gempa intermediate dan jika terjadi pada kedalaman lebih

dari 300 km merupakan gempa dalam. Zona gempa subduksi dibedakan lagi

berdasarkan kedalamannya menjadi zona Megathrust (0-50 m) dan zona

Benioff (50 – 200 m). Gempa yang bersumber pada zona Megathrust
menimbulkan efek merusak dan sangat berpotensi menimbulkan tsunami

seperti Gempa Andaman (M 9.3 SR Desember 2004), sedangkan gempa

Padang (7.9 SR September 2009) merupakan gempa yang bersumber pada

zona Benioff.

Gambar 6 Potongan pertemuan lempeng tipe subduksi


(Sumber : http://mediatheek.thinkquest.nl/~ll125/en/)
Gambar 7 Zona subduksi : Mega-Thrust dan Benioff
(Sumber : Dinamika Tanah dan Rekayasa Gempa 2010, Masyhur Irsyam)

Gempa yang terjadi pada sesar dangkal pada lempeng yang tersubduksi

disebut gempa sesar dangkal.

Sea l evel

Sea fl oo r
Ep i cen t er Ep i ce n t er

M BACK ARCH
ai
n
SUBDU CTI O N fa
ul
t

Gambar 8 Gempa yang bersumber pada daerah subduksi dan back arch
thrust
(Sumber : Dinamika Tanah dan Rekayasa Gempa 2010, Masyhur Irsyam)
Sedangkan gempa yang timbul pada busur sesar di bagian belakang

lempeng yang tersubduksi disebut gempa shalow background, seperti back

arc thrust di Bali.

Gambar 9 Back arch thrust pada pulau Bali akibat subduksi lempeng Indo-
Australia
(Sumber : Daryono, Identifikasi Sesar Naik Belakang Busur (Back Arc
Thrust) Daerah Bali Berdasarkan Seismisitas dan Solusi Bidang Sesar)

2.1.2 Sumber Gempa di Wilayah Indonesia

Berdasarkan data‐data geologi dan geofisika, Wilayah Indonesia dapat

dibagi dalam lima elemen crustal yang terdiri dari :

1. Sunda Shield (SE Eurasian Craton), di bagian barat laut (northwest)

2. Lempeng Samudera Hindia Indian di bagian barat daya (southwest)

3. Australian Craton, di bagian tenggara (southeast)

4. Lempeng Pacific, di bagian timur laut (northeast)


5. Transitional Complex di bagian tengah Wilayah Indonesia.

Elemen‐elemen crustal tersebut saling dibatasi secara tektonik satu sama

lain oleh zona subduksi dan/atau thrust fault yang aktif maupun zona telah

aktif kembali. Sehingga Wilayah Indonesia menjadi wilayah pertemuan

dari interaksi tiga lempeng besar, yaitu Lempen Indo‐Ausralia yang

bergerak ke utara, Lempeng Pacific yang bergerak ke barat dan Lempeng

Eurasia yang bergerak ke selatan dan barat daya sebagaimana dapat dilihat

dalam Gambar 10.

Gambar 10 Kondisi seismotektonik Wilayah Indonesia (Hall et al., 1995)

Berdasarkan lokasi dan sifatnya, tatanan tektonik di Indonesia

dikelompokkan menjadi beberapa kelompok. Tektonik Indonesia bagian

Barat didominasi oleh konvergensi Lempeng India‐Australia dengan

Lempeng Eurasia. Pada sepanjang barat Sumatra, arah konvergensi

membentuk penunjaman yang relatif menyerong terhadap arah kelurusan


palung, sedangkan di sepanjang selatan Jawa, arah penunjaman lempeng

hapir tegak lurus. Sementara itu, tektonik Indonesia bagian Timur tampak

lebih rumit, seperti adanya dua lempeng yang menunjam di bawah Laut

Banda yaitu dari selatan di Palung Timor dan Aru dan dari utara di Palung

Seram. Keduanya dipisahkan oleh Sesar Tarera‐Aiduna (Bock et al., 2003).

Model tektonik yang rumit di Indonesia bagian Timur juga terbentuk oleh

jalur tubrukan (collision) antara Lempeng Benua Australia dan Lempeng

Samudra Pasifik yang menghasilkan persesaran yang sangat intensif dan

meluas di Pulau Papua.

Zona sumber gempa di Indonesia dapat diklasifikasikan dalam tiga jenis

berdasarkan mekanismenya, yaitu zona subduksi, zona transformasi

(shallow crustal) dan zona diffuse seismicity yang tergolong aktif tetapi

hanya beberapa sumber gempa saja yang pernah menghasilkan kejadian

gempa dengan Mw > 8,5 dalam kurun waktu dua abad terakhir.

Semua data gempa dari berbagai sumber yang terjadi antara tahun 1900 –

2007 dengan berbagai kedalaman epicentrum dan magnitudo  5 pada

wilayah Indonesia dengan range: 10°LU - 12°LS dan l 90°BT - 145°BT

diplot sebagaimana terlihat pada Gambar 11.

Sumber data yang dipergunakan dalam plotting berasal dari :

1. Nasional Earthquake Information Center U.S. Geological Survey

(NEIC-USGS, PDE), Centennial (relocated, USGS), The Bureau

Central International de Seismologie (BCIS), International

Seimological Summeries (ISS), International Seimological Center

(ISC).
2. Abe, Abe & Noguchi dan Gutenberg & Richter

3. Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Indonesia.

Gambar 11 Plot Semua Sumber Gempa tahun 1900 -2007 (All Shocks)
( Sumber : Masyhur Irsyam, Seminar Geotechnical Earthquake Hazard, 2009)

Dari semua data gempa yang ada, semua gempa utama yang bukan

merupakan gempa susulan dipisahkan dan diplot sebagai sumber gempa

utama (main shocks) seperti terlihat pada Gambar 12 (Gardner dan Knopoff,

1974 dan dilakukan menggunakan software ZMAP oleh Wiemer, 2001)


Gambar 12 Plot Semua Sumber Gempa Utama di Indonesia (Main Shocks)
(Sumber : Masyhur Irsyam, Seminar Geotechnical Earthquake Hazard, 2009)

Berdasarkan sumber gempa, semua sumber gempa utama yang terjadi di Indonesia

terlihat pada gambar 13 (Sumber Gempa Subduksi), Gambar 14 (Sumber Gempa

Fault/Sesar).

Gambar 13 Sumber Gempa Subduksi di Indonesia


(Sumber : Dinamika Tanah dan Rekayasa Gempa 2010, Masyhur Irsyam)
Gambar 14 Sumber Gempa Fault/Sesar di Indonesia
(Sumber : Dinamika Tanah dan Rekayasa Gempa 2010, Masyhur Irsyam)

Tabel 2 Sumber Gempa Sesar/Fault Di Indonesia (1)

(Sumber : Dinamika Tanah dan Rekayasa Gempa 2010, Masyhur Irsyam)


Tabel 3 Sumber gempa sesar/fault di Indonesia (2)

(Sumber : Dinamika Tanah dan Rekayasa Gempa 2010, Masyhur Irsyam)

Gambar 15 Sumber gempa utama di Indonesia


(Sumber : Dinamika Tanah dan Rekayasa Gempa 2010, Masyhur Irsyam)
Gambar 16 Kontribusi Gempa Subduksi Megathrust
(Sumber : Masyhur Irsyam, Seminar Geotechnical Earthquake Hazard, 2009)

Gambar 17 Gambar Kontribusi Gempa Sesar Dangkal


(Sumber : Masyhur Irsyam, Seminar Geotechnical Earthquake Hazard, 2009)
Gambar 18 Gambar Kontribusi Gempa Shallow Background
(Sumber : Dinamika Tanah dan Rekayasa Gempa 2010, Masyhur Irsyam)

2.2 ATENUASI GELOMBANG GEMPA DI BATUAN DASAR

2.2.1 Karakteristik Gelombang Gempa

Pada saat gempa terjadi getaran gempa (seismic tremor), rekanan kerak

bumi (crustal movements), patahan (faulting) dan kadang-kadang disertai

gelombang laut yang besar (tsunamis). Getaran yang dicatat pada alat

seismograf menunjukkan pola getaran akibat gempa yang dimulai dengan

amplitudo kecil diikuti getaran besar hingga teredam kembali.

Getaran yang dirambatkan bisa berupa gelombang badan (body wave) dan

gelombang permukaan (surface wave). Gelombang badan terdiri atas

gelombang tekan (gelombang primer dan gelombang geser (gelombang

geser). Gelombang tekan (P wave) bergetar menjalar sambil memadat

secara longitudinal searah dengan perambatan gelombang dan datang lebih

awal sehingga disebut gelombang primer dan dapat merambat melalui apa
saja. Sedangkan gelombang geser (S wave) bergetar tegak lurus terhadap

arah perambatan gelombang dan hanya dapat merambat melalui medium

padat yang dapat memberi perlawanan terhadap perubahan bentuk sehingga

memancarkan lebih banyak energi.

Jika gelombang badan menyentuh permukaan bumi, maka gelombang ini

akan dipantulkan dan menimbulkan gelombang permukaan yang menjalar

di sepanjang permukaan menimbulkan gerakan tanah yang sangat besar

pada permukaan bumi dan dengan bertambahnya kedalaman tanah

pengaruhnya akan semakin kecil.

Gelombang Rayleigh merupakan gelombang permukaan yang merupakan

gabungan gelombang longitudinal dan transversal yang menjalar di bidang

tegak lurus permukaan tanah dan sejajar arah penjalaran. Gelombang ini

terjadi pada tanah yang homogen dan tidak terdapat lapisan pada tanah

dekat permukaan dan cenderung mengubah permukaan yang rata menjadi

bergelombang. Partikel gelombang bergerak seperti ellips pada bidang

vertikal dan sejajar arah pergerakan gelombang dimana sumbu panjang

vertikal dan sumbu pendeknya horizontal.

Gelombang Love merupakan gelombang permukaan yang khusus dari

gelombang transversal menyebabkan deformasi geser pada bidang

permukaan tanah.

Beberapa karakteristik gelombang gempa yang terjadi :

a. Percepatan maksimum (amax)

b. Response Spektra (kandungan frekuensi dan respons maksimum)

c. Envelope time histories


d. Damping (redaman) tanah

Gambar 19 Gelombang badan dan permukaan akibat gempa


(Sumber : Dinamika Tanah dan Rekayasa Gempa 2010, Masyhur Irsyam)
2.2.2 Persamaan-Persamaan Attenuasi Terpublikasi

Dari besarnya magnitudo gempa yang terjadi pada sumber gempa yang

berada pada suatu jarak tertentu, bisa ditentukan besarnya percepatan

horizontal puncak yang terjadi pada suatu batuan dasar dengan

menggunakan persamaan atenuasi empirik yang diturunkan berdasarkan

jenis dan kedalaman sumber gempa, besarnya magnitudo dan amplitudo

gempa dan jarak sumber gempa terhadap batuan dasar.

Beberapa fungsi atenuasi empirik yang diperoleh dari berbagai penurunan

hasil rekaman gerakan tanah terbaru dapat di lihat pada model atenuasi

2006/2007 dari kelompok Next Generation Attenuation (NGA) seperti Boor

dan GM Atkinson (2006), Chiou dan Young (2006), KW Campbell dan Y.

Bozorgnia (2006), IM Indriss (2007), DM Boor dan GM Atkinson (2007)

dan NA Abrahamson dan WJ Silva (2007). Disamping itu terdapat juga

fungsi atenuasi lainnya yang dibuat sebelum itu, seperti Fukushima dan

Tanaka (1992), Joyner - Boore et al. (1988, 1997) untuk gempa shallow

crustal Earthquake; Woodward-Clyde (1982), Crouse (1991), Youngs et al.

(1997) untuk gempa subduksi,


2.2.3 Pemilihan Fungsi Attenuasi

Tabel 4 Sumber Gempa Sesar/Fault Di Indonesia


SUMBER
ATTENUASI
MODEL

Shallow 1.Boore-Atkinson NGA (Boore and Atkinson, 2007)

Background 2.Campbell-Bozorgnia NGA (Campbell and Bozorgnia, 2007)

3.Chiou-Youngs NGA (Chiou and Youngs, 2007)

Deep 1.Atkinson-Boore intraslab (Atkinson and Boore, 2003)

Background 2.Geomatrix slab seismicity rock (Youngs et al, 1997)

3.Atkinson-Boore intraslab seismicity world data BC-rock

condition (Atkinson and Boore, 1995)

Fault 1.Boore-Atkinson NGA (Boore and Atkinson, 2007)

2.Campbell-Bozorgnia NGA (Campbell and Bozorgnia, 2007)

3.Chiou-Youngs NGA (Chiou and Youngs, 2007)

Subduction 1.Geomatrix subduction (Youngs et al, 1997)

2.Atkinson-Boore BC rock & global source (Atkinson &

Boore, 1995)

3.Zhao et al., with variable Vs30 (Zhao et al, 2006)

(Sumber : Dinamika Tanah dan Rekayasa Gempa 2010, Masyhur Irsyam)

2.2.4 Kondisi Seismotektonik kota Jakarta

Kondisi Seismotektonik kota Jakarta secara umum dipengaruhi oleh zona

Sunda Arc, zona Subduksi Sunda Arc, dan zona patahan pada kerak dangkal

(shallow crustal fault).


2.2.4.1. ZONA SUNDA ARC

Sunda Arc adalah salah satu zone gempa yang paling aktif di Indonesia,

yang terbentang sekitar 5600 km antara Kepulauan Andaman di barat laut

dan Banda Arc di timur (Gambar 20). Busur ini terbentuk dari pertemuan

dan subduksi lempeng Indo‐Australia, lempeng Eurasia dan lempeng

Pasifik. Arah pergerakan lempeng antara Asia Tenggara dan lempeng Indo‐

Australia diperkirakan menuju arah utara‐selatan dengan kecepatan

pergerakan sekitar 7.7 cm/tahun (DeMets et.al, 1990). Berdasarkan

perkiraan arah pergerakan lempeng dan fakta geologi, pergerakan relatifnya

adalah normal terhadap busur di Pulau Jawa dan memiliki sudut miring di

dekat Sumatera dimana komponen pergerakan paralel terhadap busur

diakomodasi sepanjang sistem strike‐slip fault Sumatera (Fitch, 1972).

2.2.4.2. ZONA SUBDUKSI SUNDA ARC

Zona subduksi Sunda Arc terbagi menjadi Segmen Sumatra, Segmen

Transisi, dan Segmen Jawa. Segmen Sumatera dari zone subduksi Sunda

Arc terbentang dari Selat Sunda hingga Laut Andaman. Oceanic crust yang

menunjam tergolong relatif muda, sekitar 46 juta tahun, dibandingkan

dengan lempeng yang menunjam sepanjang segmen Jawa yang berumur

sekitar 150 juta tahun. Aktivitas gempa pada zone ini terbentang mulai dari

gempa dekat trench sampai kedalaman sekitar 250 km dan di bawah

kedalaman 100 km, dengan dip dari slab yang bergerak ke bawah adalah

sekitar 30o dan 40o.


Gambar 20 : Strike‐slip fault (BF= Batee fault); 2: Spreading Center; 3:
Subduction Trench; 4: Axis of Outer Ridge; 5: Axis of Fore‐Arc Basin; 6:
Direction of Relative Motion; 7: Vulkanis aktif (Huchon & Pichon, 1984)
(Sumber : Dinamika Tanah dan Rekayasa Gempa 2010, Masyhur Irsyam)

Beberapa gempa besar (Ms > 7) dan sangat besar (Ms > 7.75) dilaporkan

oleh Newcomb & McCann (1987) sepanjang perbatasan lempeng Sumatra.

Gambar 21 memperlihatkan perkiraan daerah gempa antar lempeng yang

pernah terjadi sepanjang Segmen Sumatra. Gempa historis yang paling

nyata yang pernah terjadi pada segmen ini yaitu pada tahun 1833 dengan
Mw = 8.8, dan tahun 1861 dengan Mw = 8.5. Beberapa gempa moderat (6<

Mw <7) dan gempa besar juga dilaporkan sepanjang busur ini tampak

berhubungan dengan ujung rupture zone dari gempa besar dan dengan

heterogenitas pertemuan lempeng.

Fault rupture dari gempa pada tahun 1833 memanjang hingga ke selatan di

Pulau Enggano. Lebih jauh ke timur sepanjang busur, karakteristik

geologi/tektonik zona subduksi berubah secara signifikan. Seismisitas

antara Pulau Enggano dan Selat Sunda (sebagai contoh bagian selatan

Segmen Sumatra) juga berbeda. Pada bagian ini aktivitas seismik dan

potensi terjadinya gempa yang sangat besar lebih rendah dari pada bagian

utara Segmen Sumatra.

Gambar 21 Zone‐zone rupture gempa sepanjang Segmen Sumatra


(Newcomb & McCann, 1987)
(Sumber : Dinamika Tanah dan Rekayasa Gempa 2010, Masyhur Irsyam)
Jumlah coseismic slip yang berhubungan dengan kejadian gempa historis

pada pertemuan lempeng sepanjang Segmen Sumatra dapat dibandingkan

dengan tingkat pergerakan relatif lempeng. Sehingga diperkirakan pada

masa yang akan datang akumulasi dari strain energy juga akan dihasilkan

dalam gempa besar dan sangat besar sepanjang Segmen Sumatra.

Selat Sunda terletak pada zona transisi antara Segmen Sumatra dan Segmen

Jawa dari Sunda Arc dan merupakan area paling aktif di Indonesia dalam

hal aktifitas vulkanik, gempa dan vertical motion (Gambar 22). Perluasan

Selat Sunda telah membentuk suatu bound graben terstruktur dan pusat dari

letusan Gunung Krakatau yang bersejarah. Letusan dari Gunung Krakatau

yang terkenal itu pada tahun 1883 terjadi tepat di tengah‐tengah Selat Sunda.

Segmen Jawa pada Sunda Arc terbentang mulai dari Selat Sunda dibagian

barat hingga Bali Basin dibagian timur dan merupakan oceanic crust yang

relatif tua (150 juta tahun). Segmen ini konvergen ke arah normal terhadap

busur dengan kecepatan sekitar 6.0 cm/tahun pada palung Jawa Barat dan

4.9 cm/tahun pada palung Jawa Timur. Zona seismik Benioff sepanjang

Segmen Jawa memiliki dip mendekati 50o dan memanjang hingga

kedalaman sekitar 600 km dan sebuah gap seismik terdapat pada segmen

ini dikedalaman antara 300 dan 500 km.


Gambar 22 Peta Batimetri Sekitar Selat Sunda dan Karakteristik Geologi
dan Geofisika. ( Huchon dan Pichon, 1984)

Tiga gempa besar dilaporkan dalam catatan historis sebelum pemakaian alat

pencatat gempa (Newcomb and McCann, 1987). Sebagaimana ditunjukkan

Gambar 23, kejadian‐kejadian ini terjadi dalam tahun 1840, 1867 dan 1875.

Beberapa kejadian gempa besar juga tercatat sejak tahun 1903. Catatan

gempa sepanjang dip pada Segmen Jawa mengindikasikan bahwa dalam

periode 300 tahun, tidak ada kejadian gempa besar pada interplate yang

terjadi sebagaimana gempa Sumatera yang terjadi pada tahun 1833 dan

1861.
Gambar 23 Zone‐zone rupture dari gempa sepanjang Segmen Jawa
(Newcomb dan McCann, 1987).
(Sumber : Dinamika Tanah dan Rekayasa Gempa 2010, Masyhur Irsyam)

Kurangnya gempa besar dengan slip yang besar pada segmen ini

menunjukkan bahwa sebagian besar perbedaan pergerakan antara lempeng

India dan Eurasia diakomodasi secara aseismik atau oleh kejadian gempa

yang lebih kecil atau keduanya. Perbedaan magnitude dan frekuensi

seismisitas sepanjang segmen busur ini menunjukkan bahwa derajat seismic

coupling dipengaruhi oleh umur subduksi dan sifat‐sifat reologi lempeng‐

lempeng yang bertumbukan.

Newcomb dan McCann (1987) menyatakan bahwa ocenanic crust yang

lebih tua dan lebih padat sepanjang Segmen Jawa menambah komponen

vertikal dari gerakan subduksi sehingga mengurangi besarnya seismic

coupling dan kemungkinan terjadinya gempa sangat besar. Penambahan dip

dan kedalaman penetrasi dari zona seismik Benioff sepanjang Segmen Jawa

kemungkinan juga merupakan akibat subducting slab yang lebih tua dan

lebih padat (Newcomb dan McCann, 1987).


2.2.4.3. SHALLOW CRUSTAL FAULT SEKITAR JAKARTA

Besar dan arah slip antara lempeng Indo‐Australia dan Eurasia di

sepanjang Sunda Arc adalah konstan. Meskipun demikian, perubahan

orientasi busur di dekat Selat Sunda memberikan perubahan yang besar

rasio paralel terhadap normal slip. Menurut Hamilton (1979), dan

Newcomb & McCann (1987), tidak adanya fault pada daerah regional

seperti pada sesar Sumatera juga terdapat di Jawa. Meskipun demikian,

sejumlah peneliti lain telah melaporkan bukti adanya deformasi right

lateral strike‐slip di Jawa (Beca Carter Hollings & Ferner, 1978).

Di sekitar Kota Jakarta terdapat tiga patahan besar, yaitu: Patahan

Semangko, Patahan Sukabumi‐Padalarang, dan Patahan Cilacap‐

Kuningan. Patahan Semangko sebagian besar berada di Pulau Sumatra

(Lampung), tapi berakhir di sekitar Selat Sunda yang relatif dekat dengan

Kota Jakarta (Gambar 24) Aktivitas dari patahan ini diperkirakan dengan

menggunakan long term geologic‐slip dari Hamilton (1974, 1979) adalah

sekitar 7(+3) mm per tahun.

Gambar 24 Shallow crustal di daerah Selat Sunda


(Sumber : Dinamika Tanah dan Rekayasa Gempa 2010, Masyhur Irsyam)
2.3 ANALISIS HAZARD GEMPA

2.3.1. Pendahuluan

Pendekatan‐pendekatan yang digunakan dalam studi‐studi seismic hazard

analysis yang pernah dilakukan sebelumnya akan dijelaskan pada bagian ini.

Dalam studi ini analisis seismic hazard akan dilakukan dengan menggunakan

pendekatan probabilistik. Analisis seismic hazard dengan metoda

probabilistik (Probabilistic seismic hazard analysis /PSHA) yang

dikembangkan oleh Cornell (1968) dan EERI Committee on Seismic Risk

(EERI, 1989) memiliki empat tahap (Finn et al., 2004) yaitu: (a) identifikasi

sumber gempa, (b) karakterisasi sumber gempa, (b) pemilihan fungsi atenuasi

dan (d) perhitungan hazard gempa.

Tahap pertama dalam PSHA adalah identifikasi sumber‐sumber gempa.

Identifikasi tersebut didasarkan atas data‐data seismologi, geologi, dan

sejarah kegempaan di sekitar lokasi yang akan dianalisis. Dalam tahap

identifikasi data gempa ini dilakukan pengumpulan dan pengolahan data

gempa termasuk analisis pemisahan gempa utama dan gempa ikutan, analisis

kelengkapan data gempa. Pada tahap karakterisasi dilakukan pemodelan

sumber gempa dan penentuan parameter kegempaan seperti b‐value, annual

rate, magnitude maksimum dan slip rate. Tahap selanjutnya adalah pemilihan

atenuasi yang didasarkan atas kondisi geologi, seismologi dan mekanisme

kegempaan. Tahap terakhir adalah perhitungan hazard gempa untuk

mendapatkan nilai percepatan untuk suatu periode ulang gempa yang telah

ditentukan.
2.3.2. Pengumpulan Dan Pengolahan Data

Seismic hazard analysis pada suatu lokasi memerlukan seluruh data yang

mencatat kejadian gempa yang terjadi di sekitar lokasi tersebut untuk suatu

periode pengamatan tertentu. Data‐data kejadian gempa dikumpulkan dalam

suatu katalog gempa yang disusun oleh lembaga‐lembaga nasional maupun

internasional, seperti:

1. Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Jakarta,

Indonesia

2. National Earthquake Information Service U.S. Geological Survey

(NEISUSGS) yang merupakan kompilasi dari berbagai katalog, yaitu

Bureau Central International de Séismologie (BCIS), International

Seismological Summaries (ISS), International Seismological Center (ISC),

Preliminary Determination of Epicenters (PDE), dan Advanced National

Seismic System (ANSS).

3. Centennial Catalog yang dikompilasi dari data Abe (1981, 1984), Abe dan

Noguchi (1983a, b), dan Newcomb and McCann (Newcomb and McCann,

1987). Katalog ini telah direlokasi oleh Pacheco and Sykes (Pacheco and

Sykes, 1992).

4. Katalog gempa yang sudah direlokasi oleh Engdahl (Engdahl et al., 2007)

Katalog gempa gabungan yang dikumpulkan mencakup area dari 102.00

BT sampai 112.00 BT dan dari 1.00 LS sampai 10.00 LS. Magnituda

minimum sebesar 5.0 dan kedalaman maksimum sebesar 300 km. Data

pecatatan pertama adalah pada tahun 1900 dan yang paling akhir pada
tahun 2009. Katalog gempa hasil penggabungan katalog dari berbagai

institusi tersebut dapat dilihat dalam Gambar 25.

Gambar 25 Distribusi episenter kejadian gempa sebelum disortir (all shock)


antara tahun 1900 - 2009 untuk magnitude minimum 5.0
(Sumber : Dinamika Tanah dan Rekayasa Gempa 2010, Masyhur Irsyam)

Seluruh data dari katalog gempa harus diproses dengan menggunakan

prinsip-prinsip statistik sebelum digunakan untuk seismic hazard analysis.

Prosedur ini dilakukan untuk meminimalisasi deviasi atau kesalahan yang

sistematis dan untuk mendapatkan hasil yang baik. Prosedur ini mencakup:

(1) Analisis pemisahan gempa utama dan gempa ikutan dan

(2) Analisis kelengkapan data gempa.

Kejadian‐kejadian gempa dependent atau gempa ikutan (foreshock dan

aftershock), harus diidentifikasi sebelum data‐data kejadian gempa

digunakan untuk menentukan tingkat hazard gempa. Beberapa kriteria

empiris untuk mengidentifikasi kejadian gempa dependent telah dilakukan


oleh beberapa peneliti, seperti Arabasz dan Robinson (1976), Gardner dan

Knopoff (1974) dan Uhrhammer (1986). Kriteria ini dikembangkan

berdasarkan suatu rentang waktu dan jarak tertentu dari satu kejadian gempa

besar. Dalam studi ini digunakan model Gardner dan Knopoff (1974) untuk

memisahkan gempa utama dan gempa ikutannya. Hal ini sesuai dengan

berbagai analisis yang dilakukan oleh peneliti dengan menggunakan model-

model diatas dan diketahui model Gardner dan Knopoff (1974) memiliki hasil

yang cukup baik (Gambar 26)

Proses analisis kelengkapan (completeness) data gempa juga dilakukan untuk

mengetahui kelengkapan suatu katalog data gempa. Ketidaklengkapan data

gempa akan mengakibatkan parameter resiko gempa yang dihasilkan menjadi

overestimated atau underestimated. Metode analisis kelengkapan data gempa

yang digunakan pada studi ini mengikuti prosedur yang diusulkan oleh Stepp

(1973). Hasil analisis kelengkapan data untuk wilayah Indonesia untuk

setiaprentang magnituda bisa dilihat dalam Tabel 5.


Gambar 26 Distribusi episenter kejadian gempa setelah disortir (main
shock) antara tahun 1900 - 2009 untuk magnitude minimum 5.0
(Sumber : Dinamika Tanah dan Rekayasa Gempa 2010, Masyhur Irsyam)

Tabel 5 Interval completeness dari data gempa wilayah Indonesia.

Interval Completeness
Rentang Magnitude
(tahun dari 2009)

5.0 – 6.0 44

6.0 – 7.0 54

≥ 7.0 108
2.3.3 Pemodelan Zona Sumber Gempa

Berdasarkan kondisi tektonik di sekitar lokasi proyek, secara umum zona

sumber gempa yang mempengaruhi kota Jakarta dapat dibagi menjadi tiga

(3) model sumber gempa fault, subduksi, dan background. Parameter‐

parameter kegempaan seperti slip‐rate, dip, geometri dan magnituda

maksimum yang digunakan dalam analisis didasarkan pada hasil‐hasil

penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya. Model sumber gempa yang

digunakan dalam studi ini dapat dilihat dalam Gambar 27.

Gambar 27 Model Zona Sumber Gempa


(Sumber : Dinamika Tanah dan Rekayasa Gempa 2010, Masyhur Irsyam)

Model sumber gempa fault ini juga disebut sebagai sumber gempa tiga

dimensi karena dalam perhitungan probabilitas jarak, yang dilibatkan adalah

jarak dari site ke hypocenter. Jarak ini memerlukan data dip dari fault yang
akan dipakai sebagai perhitungan probabilitas tersebut. Parameter‐parameter

yang diperlukan untuk analisis probabilitas dengan model sumber gempa

fault adalah fault trace, mekanisme pergerakan, slip‐rate, dip, panjang dan

lebar fault. Penentuan lokasi sesar (fault trace) ini berdasarnya dari data‐data

peneliti yang sudah dipublikasi Sumber gempa fault terjadi pada patahan‐

patahan dangkal (shallow crustal faults) yang terdefinisi dengan jelas seperti

Sesar Semangko di Sumatra dan sesar‐sesar di Jawa seperti sesar Sukabumi,

Baribis, Lasem, dan Semarang.

Sumber gempa subduksi adalah model yang didapat dari data seismotektonik

yang sudah teridentifikasi dengan baik. Parameter dari model ini meliputi

lokasi subduksi yang dituangkan dalam koordinat latitude dan longitude,

kemiringan bidang subduksi (dip), rate, dan b‐value dari areal subduksi yang

bisa didapatkan dari data gempa historis, serta batas kedalaman area

subduksi.

Perhitungan nilai a & b (a & b‐value) untuk sumber gempa subduksi

dilakukan dengan cara mengambil data‐data gempa historis yang ada di

daerah Megathrust tersebut, kemudian dilakukan analisis statistik dengan

model Maximum Likelihood (Aki, 1965). Zona subduksi yang

mempengaruhi sekitar lokasi studi meliputi zona subduksi Sumatra dan Jawa

yang terbentuk akibat pergerakan lempeng tektonik Australia yang

menunjam lempeng tektonik Eurasia.

Zona background dalam model ini digunakan untuk memperhitungkan

sumbersumber gempa yang belum teridentifikasi namun memiliki sejarah


kegempaan di sekitar lokasi studi. Dalam studi ini digunakan model gridded

yang didasarkan atas studi yang dilakukan oleh Frankel, et al (1996).

2.3.4 Pemilihan Fungsi Atenuasi

Fungsi atenuasi merupakan persamaan matematika sederhana yang

menghubungkan antara parameter kegempaan di lokasi sumber gempa

(Magnituda M dan jarak R) dengan parameter pergerakan tanah (spektra

percepatan) di lokasi yang ditinjau (Campbell, 2001). Fungsi atenuasi

cenderung spesifik untuk setiap wilayah dan untuk suatu tipe patahan,

misalnya atenuasi untuk strike‐slip berbeda dengan untuk reverse atau thrust

faults. (Finn et al., 2004). Salah satu data yang digunakan untuk menurunkan

fungsi tersebut adalah data time histories yang didapatkan dari hasil

pencatatan alat accelerograph saat berlangsungnya kejadian gempa. Karena

minimnya data pencatatan time histories untuk keperluan pembuatan fungsi

atenuasi untuk Indonesia, maka pemakaian fungsi atenuasi yang diturunkan

dari negara lain tidak dapat dihindari. Pemilihan fungsi atenuasi didasarkan

pada kesamaan kondisi geologi dan tektonik dari wilayah dimana rumus

atenuasi itu dibuat.

Fungsi atenuasi yang digunakan berasal dari publikasi‐publikasi terkini

seperti NGA (Next Generation Attenuation) dari Boore dan Atkinson (2008),

Campbell dan Bozorgnia (2008), and Chiou dan Young (2008). Model NGA

ini dikembangkan menggunakan basis data yang meliputi 1557 catatan dari

143 gempa sejak tahun 1935 di beberapa wilayah tektonik aktif, seperti Turki,
Taiwan, Mexico, Yunani, Iran, Italia, dan Amerika Serikat dan dengan

memperhitungkan detil kondisi geologi/seismologinya.

Dalam studi ini, rumus atenuasi yang digunakan untuk masing‐masing model

sumber gempa yaitu:

1. Sumber gempa shallow crustal, untuk model sumber gempa fault dan

shallow background:

a. Boore‐Atkinson NGA. (Boore dan Atkinson, 2008)

b. Campbell‐Bozorgnia NGA. (Campbell dan Bozorgnia, 2008)

c. Chiou‐Youngs NGA. (Chiou dan Youngs, 2008)

2. Sumber gempa subduksi interface (Megathrust), untuk model sumber

gempa subduksi:

a. Geomatrix subduction (Youngs et al., SRL, 1997)

b. Atkinson‐Boore BC (Atkinson dan Boore, 2003)

c. Zhao et al (Zhao et al., 2006)

3. Sumber gempa Benioff (deep intraslab), untuk model sumber gempa

intraslab:

a. Atkinson‐Boor (Atkinson‐Boore, Cascadia 2003)

b. Geomatrix slab seismicity rock (Youngs et al., 1997)

c. Atkinson‐Boore (Atkinson‐Boore, Wordwide 2003)

2.3.5 Konsep Probabilitas

Besar pergerakan tanah (ground shaking) dinyatakan dalam bentuk peak

ground acceleration (PGA), uniform hazard spectra (UHS) dan time histories.

Seismic hazard analysis digunakan untuk menentukan besarnya PGA dan


UHS di lokasi tertentu untuk suatu periode ulang gempa menggunakan Teori

Probabilitas Total yang secara garis besar diperlihatkan dalam Gambar 28

Gambar 28 Teori Probabilitas Total


(Sumber : Dinamika Tanah dan Rekayasa Gempa 2010, Masyhur Irsyam)

2.3.6 Input Ground Motion

Data ground motion yang dimaksud adalah data digitasi riwayat waktu

percepatan (acceleration time histories). Hal yang paling penting untuk

mendapatkan hasil yang akurat adalah pemilihan data riwayat waktu yang

sesuai dengan kondisi spesifik geologi dan seismologi lokasi yang ditinjau.

Apabila pada lokasi yang ditinjau tidak memiliki data time‐histories sendiri,

maka dapat digunakan tiga metode alternatif untuk mendapatkan data digitasi

riwayat waktu (time histories) di batuan dasar, yaitu:


(1) Menggunakan data time‐histories pada suatu lokasi yang kondisi geologi

dan seismologinya sesuai atau mirip dengan kondisi lokasi yang ditinjau.

(2) Menggunakan data time‐histories dari lokasi lain yang telah diskalakan

sesuai dengan target spektra dari lokasi yang ditinjau.

(3) Membuat synthetic time‐histories yang disesuaikan dengan kondisi

geologi dan seismologi setempat.

Metode pemilihan data time‐histories yang banyak digunakan di Indonesia

adalah metode pada poin (2) dan (3), karena di Indonesia belum memiliki data

time histories sendiri. Dalam memilih data time‐histories dari lokasi lain yang

akan diskalakan, pemilihan dilakukan berdasarkan besarnya magnitude dan

jarak episenter hasil dari deaggregation. Data time‐histories yang telah

diskalakan harus memiliki respons spektra yang sesuai dengan target respon

spektra yang didapat dari analisis resiko gempa.

Pada studi ini, perambatan gelombang geser satu dimensi menggunakan input

motion dari recorded ground motion yang diskalakan. Recorded ground

motion yang dipilih ditentukan berdasarkan hasil PSHA, dimana pemilihan

ditentukan berdasarkan controlling earthquake dari hasil de‐aggregation.

Hasil deaggregation untuk wilayah Jakarta ditunjukkan dalam Gambar 29

untuk gempa dengan periode ulang 475 tahun. Recorded ground motion yang

dipilih dapat dilihat pada Tabel 6.


Gambar 29 Hasil Deaggregation Wilayah Jakarta (475 Tahun)
(Sumber : Dinamika Tanah dan Rekayasa Gempa 2010, Masyhur Irsyam)

Tabel 6 Recorded ground motion yang dipilih

Mekanisme Kejadian Gempa Mw Jarak Sumber

Gempa (km)

Megathrust Chi‐Chi, Taiwan, 20/09/99 7.6 118 CWB

Benioff Chi‐Chi, Taiwan, 20/09/99 7.6 118 CWB

Shallow crustal Northridge,1/17/94 6.7 54 USC


0.20
0.15
Acceleration (g) 0.10
0.05
0.00
-0.05
-0.10
-0.15
-0.20
0 20 40 60 80 100
time (sec.)

Gambar 30 Grafik Time History Megathrust


(Sumber : Laporan Analisis Site Respons Spektra Proyek Kebayoran Icon 2013)

0.20
0.15
0.10
Acceleration (g)

0.05
0.00
-0.05
-0.10
-0.15
-0.20
0 10 20 30 40
time (sec.)

Gambar 31 Grafik Time History Shallow Crustal


(Sumber : Laporan Analisis Site Respons Spektra Proyek Kebayoran Icon 2013)

2.3.7 Respons Spektra

Beban gempa ini berdasarkan SNI 1726-2002 dimana tergantung dengan

jenis tanah yang menjadi tumpuan bangunan dan wilayah gempa yang

digunakan pada permodelan ini yaitu wilayah 3.


Berikut ini disajikan grafik Respons Spectrum yang digunakan dalam

penelitian ini yaitu untuk jenis tanah lunak dan jenis tanah sedang.

Gambar 32 Respons Spectrum untuk Jenis Tanah Lunak

Gambar 33 Respons Spectrum untuk Jenis Tanah Sedang


BAB III DASAR TEOR I PEM ODELAN ANALISIS INTERAK SI TANAH STRUKTUR

DASAR TEORI PEMODELAN

ANALISIS INTERAKSI TANAH STRUKTUR

Sebelum dilakukan pemodelan tanah dan bangunan, perlu diketahui karakteristik

dan jenis tanah di mana bangunan akan diletakkan dan juga sistem struktur atasnya.

Dalam analisis struktur secara konvensional, jenis tanah dan sistem struktur akan

menentukan besaran nilai gaya gempa yang akan bekerja. Namun dalam analisis

pemodelan dengan memperhitungkan interaksi tanah struktur, dipergunakan

karakteristik tanah yang sebenarnya hasil penyelidikan tanah pada lokasi di mana

bangunan akan didirikan.

Menurut SNI 03-1726-2011, jenis tanah dan sistem struktur atas dapat dilihat pada

Tabel 7.

3.1 PENENTUAN PARAMETER TANAH

Secara umum, ada 2 sistem klasifikasi tanah yang dipergunakan dalam rekayasa

tanah yakni :

1. Sistem Klasifikasi AASHTO (American Association of State Highway

Officials). Banyak dipergunakan oleh departemen jalan raya di Amerika

Serikat (Tabel 9). Dalam Klasifikasi AASHTO, tanah dibedakan menurut

analisis saringan dan nilai Batas Cair – Batas Plastis dari tanah yang

melewati saringan No 40 (0.425 mm).

55
Dalam sistem ini, tanah dibedakan menjadi 7 grup, di mana 3 grup untuk

tanah granular dengan kurang dari 35% partikel melalui saringan No. 200

(0.075 mm).

Tabel 7 Klasifikasi Situs Tanah menurut SNI 03-1726-2011

Kelas Situs vs (m/detik) N atau N ch s u (kPa)

SA (Batuan Keras) > 1500 N/A N/A


SB (Batuan) 750 sampai 1500 N/A N/A
SC (Tanah Keras, Sangat
Padat dan Batuan 350 sampai 750 >50 > 100
Lunak)
SD (Tanah Sedang) 175 sampai 350 15 sampai 50 50 sampai 100
SE (Tanah Lunak) < 175 <15 < 50
Atau setiap profil tanah yang mengandung lebih dari 3 m tanah dengan
karateristik sebagai berikut :

1. Indeks plastisitas, PI > 20,


2. Kadar air, w > 40 persen, dan
Kuat geser niralir s u < 25 kPa
SF (Tanah Khusus, yang Setiap profil lapisan tanah yang memiliki salah satu atau lebih dari
membutuhkan karakteristik berikut:
investigasi
geoteknik spesifik - Rawan dan berpotensi gagal atau runtuh akibat beban gempa seperti
dan analisis respons mudah likuifaksi, lempung sangat sensitif, tanah tersementasi lemah
spesifik-situs yang - Lempung sangat organik dan/atau gambut (ketebalan H > 3 m)
mengikuti Pasal - Lempung berplastisitas sangat tinggi (ketebalan H > 7,5 m dengan Indeks
6.9.1) Plasitisitas PI > 75)
- Lapisan lempung lunak/medium kaku dengan ketebalan H > 35 m dengan
su < 50 kPa

Sistem klasifikasi mengikuti kriteria sebagai berikut :

a. Ukuran butiran

Gravel : butiran melewati saringan 75 mm dan tertahan saringan No. 10

(2 mm)

Pasir : lewat saringan No. 10 (2 mm ) dan tertahan saringan No. 200

(0.075 mm)

Lanau (Silt) dan lempung : lewat saringan No. 200 (0.075 mm)
b. Plastisitas

Kelanauan (Silty) : Indeks Plastisitas  10

Kelempungan (Clayey) : Indeks Plastisitas  10

2. Sistem Klasifikasi USC (Unified Soil Classification) yang banyak

dipergunakan oleh para ahli geoteknik (Tabel 3.1.4).

Dalam sistem ini terdapat 2 kategori utama :

a. Tanah berbutir kasar : tanah bergravel dan tanah pasiran dengan

kelolosan saringan No. 200 kurang dari 50%, dinyatakan dengan G

(tanah bergravel) atau S (pasir atau tanah pasiran)

b. Tanah berbutir halus dengan kelolosan saringan No. 200 sebesar 50%

atau lebih, dinyatakan dengan M (lanau), C (lempug), O (lanau atau

lempung organik) dan Pt (Peat atau tanah berorganik tinggi)

Notasi klasifikasi tambahan yang dipergunakan : W (well graded), P

(Poorly graded), L (Low plasticity, dengan nilai Batas Cair kurang dari 50),

H (High plasticity, dengan nilai batas cair lebih dari 50).

3.1.1 Kondisi Tanah Lunak

Menurut tabel 7 kondisi tanah lunak ditentukan dengan nilai rata-rata tanah

pada dasar struktur bangunan hingga kedalaman 30 m

a. Nilai tahanan penetrasi standar, SPT rata-rata < 15

b. Nilai kecepatan rambat gelombang geser pada regangan geser yang kecil

( < 10-3 persen), vs rata-rata <175 m/detik

c. Nilai kuat geser niralir, su rata-rata < 50 kPa


3.1.2 Kondisi Tanah Sedang

Menurut tabel 7 kondisi tanah sedang ditentukan dengan nilai rata-rata tanah

pada dasar struktur bangunan hingga kedalaman 30 m

a. Nilai tahanan penetrasi standar, SPT rata-rata 15 sampai 50

b. Nilai kecepatan rambat gelombang geser pada regangan geser yang kecil

( < 10-3 persen), vs rata-rata 175 sampai 350 m/detik

c. Nilai kuat geser niralir, su rata-rata 50 sampai 100 kPa

Tabel 8 Sistem Klasifikasi Tanah menurut AASHTO


Tabel 9 Tabel Klasifikasi Tanah menurut USC

3.1.3 Penentuan Parameter Statik Dan Dinamik Tanah

Penentuan parameter tanah pada umumnya menggunakan parameter korelasi

hasil penelitian para ahli Geoteknik dengan hasil uji sondir/ Cone Penetration

Test (CPT) dan Standard Penetration Test (SPT) dan/atau dari hasil
laboratorium penyelidikan tanah yang dilakukan pada area lokasi bangunan.

Beberapa korelasi parameter dapat dilihat pada beberapa tabel berikut ini.

1. E = 7.6 NSPT (menurut Schmertmann, 1970) (3.1.1)

2. Korelasi N-SPT terhadap nilai Cu

Untuk nilai undrained shear strength (Cu) dapat diperoleh dengan

menggunakan persamaan korelasi Stroud (1974) :

Cu = (3,5 – 6,5)N (kN/m2), diambil 5 N (3.1.2)

3. Korelasi N-SPT terhadap nilai sudut geser (ф)

Tabel 10 Korelasi Macam Tanah dan Sudut Geser Dalam (ф)

Bahan ф

Krikil Kepasiran 350 - 400


Isian Batu (Rock Fill) 350 - 400
Pasir Padat 350 - 400
Pasir Lepas 600
Lempung Kelanauan 250 - 300
Lempung Plastis Rendah 250
Lempung Plastis Tinggi 200
Nilai c`dianggap nol
Bahan 60
Beton 200
Tembok 200
Tiang Besi 150

(Sumber : Wesley,L.D.,1997)
Tabel 11 Hubungan antara Relative Density, Penetration Resistance, and
Angle of Friction of Cohesionless Soils (G. Meyerhoff, 1956)

State of Relative Standard Static Cone Angle of


Packing Density Penetration Resistance qc Friction,
Resistance N, (kg/cm2) ϕ,Degree
Blow/ft
Very Loose < 0.2 <4 < 20 < 30
Loose 0.2 to 0.4 4 to 10 20 to 40 30 to 35
Compact 0.4 to 0.6 10 to 30 40 to 120 35 to 40
Dense 0.6 to 0.8 30 to 50 120 to 200 40 to 45
Very Dense > 0.8 > 50 > 200 > 45

Tabel 12 Rasio Poisson

Jenis Tanah Rasio Poisson, 

Lempung, jenuh 0.4 – 0.5

Lempung, tidak jenuh 0.1 – 0.3

Lempung berpasir 0.2 – 0.3

Lanau 0.3 – 0.35

Pasir, pasir bergravel 0.3 – 0.4

Loess 0.1 – 0.3


3.2 PEMODELAN STRUKTUR BANGUNAN ATAS

Bangunan bertingkat rendah hingga menengah pada umumnya masih bisa

menggunakan sistem portal terbuka sehingga bisa diperoleh struktur dengan

tingkat daktilititas yang baik. Tetapi pada beberapa kasus pada bangunan

bertingkat menengah di mana bentuk bangunan tidak beraturan ada kalanya

diperlukan pengakuan bangunan dengan penambahan dinding geser untuk

memperoleh perilaku struktur yang baik seperti modus shape utama (1 dan 2)

harus disebabkan oleh pergerakan translasi dan bukan rotasi.

Sistem struktur pada bangunan bertingkat tinggi pada umumnya menggunakan

dual sistem rangka terbuka dengan dinding geser, hanya penempatan dinding

geser bisa bervariasi sesuai dengan bentuk denah dari struktur. Secara umum,

sistem struktur dengan dual sistem dapat dibedakan menjadi :

a. Struktur Rangka – Dinding beton

b. Struktur Rangka dan Rangka Perimeter (Frame-in-Tube) atau Perimeter –

Dinding Beton (Tube-in-Tube)


Gambar 34 Sistem Struktur Gedung berdasar jumlah tingkat
(Sumber : High-rise System Developments in Concrete ACI sp-97, Hal Iyengar)

Dalam tesis ini dipergunakan model dual sistem (interaksi rangka terbuka dan

dinding geser) yang terdiri dari 8, 12 dan 16 lantai.

3.3 ANALISIS DASAR DALAM PEMODELAN GEOTEKNIK

Material struktur merupakan solid material isotropik dengan karakteristik yang

dapat diukur dengan baik sehingga dalam struktur dapat dianalisis dengan

kombinasi beban tertentu yang diperkirakan bekerja pada struktur tersebut

untuk menghasilkan kondisi maksimumnya.

Sedangkan material geoteknik bukanlah merupakan material yang solid

melainkan berupa butiran-butiran partikel yang tersusun dengan kepadatan

yang bervariasi, sehingga analisis geoteknik harus mampu merefleksikan


komposisi tanah secara aktual nonlinear dan karakteristik anisotropiknya sesuai

dengan kondisi in-situ dengan mempertimbangkan tegangan tanah awalnya.

Secara umum, konsep dasar analisis geoteknik seringkali dibandingkan dengan

analisis struktur. Pada analisis struktur, lebih dititik beratkan pada

ketidakpastian atau variasi beban yang bekerja pada suatu struktur dan

kombinasi beban untuk menentukan pengaruh gaya dalam maksimum pada

setiap elemen strukturnya. Sedangkan pada analisis geoteknik, dititik beratkan

pada tahapan konstruksi dan ketidakpastian material tanah. Rekayasa geoteknik

menekankan juga analisis kondisi fisik dan perilaku tanah melalui analisis

numerik, agar model analisis mampu merefleksikan komposisi tanah aktual dan

kondisi pelaksanaan menggunakan elemen solid yang harus memiliki

karakteristik non-linier dan anisotropik untuk mencerminkan kondisi awal

tegangan tanah in-situ.

3.3.1 Analisis Tegangan Statik

Analisis tegangan statik secara teoritis dipergunakan untuk menganalisis

struktur yang tidak mengalami suatu getaran. Tetapi dalam praktek, sering

diasumsikan analisis tegangan statik dapat diterapkan pada suatu struktur

yang mengalami beban luar dengan suatu frekuensi kurang atau sama dengan

1/3 frekuensi alami struktur itu.

Analisis tegangan statik dapat dibedakan dalam perilaku linier dan non-linier

di mana perilaku linier merupakan kasus khusus dari perilaku non-linier.


Sumber utama ketidak-linieran dalam analisis tegangan statik adalah :

- Perilaku non-linier material

- Perilaku non-linier geometrik akibat regangan yang terbatas

- Perilaku non-linier akibat pergeseran atau pembesaran elemen batas

Pada analisis geoteknik, perilaku material yang non-linier terutama

diterapkan untuk mewakili perilaku tanah dengan menggunakan sifat model

material struktur yang non-linier sebagai berikut :

- Model elastik linier

- Model elastik non-linier

- Model elasto-plastis

- Model visko-elastik

- Model visko-elasto-plastis

Di dalam MIDAS GTS, hanya 3 model pertama yang diberikan (model elastik

linier, elatik non-linier dan elasto-plastis).

Regangan akibat gaya dalam dapat dibedakan menjadi regangan yang besar

dan regangan yang terbatas. Kebanyakan masalah geoteknik berhubungan

dengan regangan yang besar dan interaksi fisik dievaluasi berdasarkan asumsi

regangan pondasi cukup kecil. Perilaku geometri non-linier, termasuk

regangan terbatas, sangat mungkin terjadi pada struktur dengan material

daktail seperti baja dan karet yang berdeformasi besar.

Bagaimanapun, pengaruh geometri non-linier tidak akan siginifikan pada

perilaku struktur yang mengalami deformasi besar pada material daktail

seperti baja dan karet. Sehingga pengaruh diatas diabaikan dalam masalah

geoteknik.
Pengaruh non-linier kondisi batas menunjukkan perilaku non-linier pada

bidang kontak (interface) antara material yang berbeda, seperti slip geser,

retak, kontak beban luar sehingga diperlukan perilaku interface dengan

elemen khusus :

Kontak elemen (Interface) : slip, retak, kontak, lentur

Penghubung elastik (Elastic Link) : tarik atau tekan, kait atau gap

Pegas (Spring ) : tarik atau tekan, kait atau gap

Analisis tegangan statik dibedakan menjadi linier dan non-linier.

3.3.1.1 Analisis Tegangan Statik Linier

Dipergunakan untuk menentukan perilaku keseluruhan struktur tanah dan

batuan dengan asumsi elemen tanah tersusun atas material elastik linier,

mengabaikan modus kegagalan dan mengidealisasi hubungan tegangan-

regangan dengan garis lurus.

Analisis non-linier atau elasto-plastis menggunakan metode elemen hingga

mulai biasa dipergunakan dalam praktek rekayasa geoteknik pada awal 1990

dengan perkembangan analisis komputer yang cepat. Analisis linier masih

tetap dipergunakan dalam praktek untuk analisis pendahuluan dan analisis

sederhana dengan material yang relatif kurang bersifat non-liner.

Pada aplikasi rekayasa sipil, problem analisis terdiri dari 2 hal : apakah

struktur aman pada beban yang bekerja dan apakah deformasi yang terjadi

masih dalam ambang batas keruntuhan. Tetapi untuk memperoleh deformasi

geoteknik cukup kompleks karena tergantung komposisi material, porositas,

sejarah tegangan dan metoda pembebanan.


Model material menggunakan modulus elastisitas, modulus Tangen dan

modulus Sekan dan rasio Poisson diidealisir menjadi model hubungan

tegangan-regangan :

[k]{u} = {p} (3.3.1)

Di mana : [k] = matrik kekakuan


{u} = deformasi
{p} = beban

Gambar 35 Vektor perpindahan (u, v, w)


Pada suatu material non-rigid yang mengalami deformasi, suatu titik/elemen

akan mengalami deformasi yang terus berubah dalam 3 arah menimbulkan

regangan :

ε = (3.3.2a)

ε = (3.3.2b)

ε = (3.3.2c)

∂v ∂u
y = + (3.3.3a)
∂x ∂y
∂w ∂v
y = + (3.3.3b)
∂y ∂z

∂u ∂w
y = + (3.3.3c)
∂z ∂x

Suatu material elastik yang mengalami tegangan 1 arah, akan mengalami

regangan pada arah yang sama :

ε = ,ε = , ε = (3.3.4a)

ε = ε = −νε (3.3.4b)

Atau pada tegangan geser zx, regangan geser dapat diekspresikan sebagai :

y = , y = , y = (3.3.5)

Di mana :

 x,  y,  z = regangan dalam arah x, y dan z

 u, v,  w = deformasi dalam arah x, y dan z

 x,  y,  z = dimensi awal dalam arah x, y dan z

yxy, y yz, y zx = resultant regangan terhadap bidang xy, yz dan zx

σx, σy, σz = tegangan dalam arah x, y dan z

yzx, yyx, yxz = regangan geser dalam bidang zx, yx dan xz

τzx, τyx , τxz = tegangan geser dalam bidang zx, yx dan xz

E = modulus elastis

ѵ = rasio Poisson

G = modulus geser
Modulus geser dapat diturunkan dari modulus elastis dan rasio Poisson :
G= (3.3.6)
( )

Regangan volumetrik tanah dapat diekspresikan sebagai :


=ε + ε + ε = (1 − 2ν) (3.3.7)

Maka, modulus bulk, K dapat dinyatakan sebagai :

( )/ E
K= = (3.3.8)
∆ 3(1−2ν)

di mana :

ε = σ −ν σ +σ (3.3.9a)

ε = σ − ν(σ + σ ) (3.3.9b)

ε = σ −ν σ +σ (3.3.9c)

Penggunaan modulus bulk (K) dan modulus geser (G) dalam karakteristik

kontinum tanah lebih tepat dibandingkan dengan penggunaan E dan 

ε Young`s Modulus

σ
E=
ε
Uniaxial Loading

Simple Shear τ

y Shear Modulus

τ τ
G=
y

Isotropic
σ Bulk Modulus

τ
K=
Compression

Constrained Modulus
Confined
σ
M=
Compression

Gambar 36 Berbagai tipe modulus


(Sumber : Midas/GTS Manual Reference, 2011)

Jika batas-batas dikekang dalam arah horizontal, Modulus kekang, M dapat

ditentukan dengan deformasi 1 dimensi di mana x = y = 0.

σ = εσ = σ (3.3.10)
( )

( )
M= E (3.3.11)
( )( )
Kondisi batas konsolidasi 1 dimensi pada tanah lunak identik pada modulus

kekang.

Hubungan tegangan-regangan 3D dapat dinyatakan sebagai :

ε 1/E −ν/E −ν/E 0 0 0 σ


ε −ν/E 1/E −ν/E 0 0 0 σ
ε 0 0 0 σ
y = A −ν/E −ν/E 1/E τ
0 0 0 1/G 0 0
y 0 0 0 0 1/G 0 τ
y 0 0 0 0 0 1/G τ

(3.3.12a)

σ 0 0 0 ε
1−ν ν ν
σ 0 0 0 ε
ν 1−ν ν 0 0 0
σ ν ν 1−ν ε
=A 1 0 0
τ 0 0 0 −ν 1 y
0
τ 0 0 0 2 − ν 1 y
τ 0 0 0 0 2 y
−ν
0 0 2

(3.3.12b)

di mana,

A= (3.3.13)
( )( )

Persamaan matrik 3.3.12b dapat ditulis dalam bentuk sederhana yaitu :

σ = D. ε (3.3.14)

Sehingga D merupakan matrik kompatibilitas :

D D D 0 0 0
D D D 0 0 0
D D D 0 0 0 (3.3.15)
0 0 0 D 0 0
0 0 0 0 D 0
0 0 0 0 0 D
di mana,

D1 = K + 4/3 G (3.3.16)

D2 = K – 2/3 G (3.3.17)

D3 = G (3.3.18)

Tabel 13 Hubungan Parameter Konsolidasi dan Modulus Kekang


Parameter Konsolidasi Hubungan dengan M

Koefisien perubahan volume, mv 1


m =
M

Koefisien kompresibilitas, av 1+e


a =
M

e0 = angka pori awal

Indeks kompresi, cc (1 + )σ
c =
0.435M

e0 = angka pori awal

v = tekanan tanah

(Sumber :Midas/GTS Manual Reference , 2011)

3.3.2 Analisis Dinamik

Waktu getar alami dan bentuk modus suatu getaran bebas tanpa redaman

diperoleh dari persamaan karakteristik berikut :

[k]{ϕ } = {λ }[m]{ϕ } (3.3.19)

di mana : [k] = matriks kekakuan

[m] = matriks massa

{λ } = modus eigen-value ke n

{ϕ } = modus eigen-vector ke n (modus shape)


Analisis karakteristik dinamis dari struktur dilakukan dengan menggunakan

analisis nilai eigen (eigen-value) atau analisis getaran bebas yang ditentukan

berdasarkan massa dan kekakuan struktur termasuk bentuk modus getaran

(modus shapes), waktu getar alami getaran (natural frequency) dan faktor

modal partisipasi.

Modus getaran berupa bentuk alami struktur yang bergetar bebas, dengan

modus shape pertama diidentifikasikan sebagai bentuk yang terjadi dengan

energi atau gaya paling kecil dan dengan peningkatan energi akan

menimbulkan modus yang lebih tinggi. Waktu getar alami adalah waktu yang

diperlukan untuk menyelesaikan 1 periode getaran bebas pada modus alami.

Untuk menghitung waktu getar alami dalam sistem derajad kebebasan

tunggal (SDOF = single degree of freedom), beban dam damping dianggap

nol, maka persamaan gerak SDOF akan menjadi persamaan getaran bebas

suatu persamaan diferensial linier orde ke 2 :

[m]{u} + [c]{u} + [k]{u} = {p(t)} (3.3.20)

[m]{u} + [k]{u} = 0 (3.3.21)

dimana :

[m] = matriks massa dalam sistem persamaan gerak SDOF

[c] = matriks damping dalam sistem persamaan gerak SDOF

[k] = matriks kekakuan dalam sistem persamaan gerak SDOF

{u} = perpindahan nodal dalam sistem persamaan gerak SDOF

{u} = kecepatan perpindahan nodal dalam sistem persamaan

gerak SDOF
{u} = percepatan perpindahan nodal dalam sistem

persamaan gerak SDOF

{p(t)} = gaya dinamis dalam fungsi waktu

Gambar 37 Mode shapes dan waktu periode balok kantilever


(Sumber : Midas/GTS Manual Reference, 2011)
Karena A merupakan perpindahan akibat getaran di mana A konstan dan

merupakan perpindahan awal dan u = A cos t (Ref.Midas/GTS Manual

Reference, Part 1 Analysis Case, 2011):

(− ω + k)A cos ωt = 0 (3.3.22)

maka :

ω = ; ω= ; f= ; T= (3.3.23)

di mana :

2 = nilai eigen
 = frekuensi alami angular
k = kekakuan
m = massa
f = frekuensi alami
T = periode alami
A = simpangan getaran
Faktor partisipasi modal diekspesikan sebagai rasio kontribusi modus yang

berhubungan terhadap modal total (Ref. Midas/GTS Manual Reference, Part

1 Analysis Case, 2011) :


τ =∑ (3.3.24)

di mana :

j = faktor partisipasi modal

j = nomor modus

mi = massa pada posisi i

ij = bentuk modus ke j pada posisi i


Dalam peraturan perencanaan gempa, jumlah massa modal efektif (mj) yang

diperhitungkan dalam analisis harus lebih besar dari 90% dari total massa

untuk menjamin modal kritikal tersebut mempengaruhi hasil desain (Ref.

Midas/GTS Manual Reference, Part 2 Element Formulations, 2011):


m = ∑
(3.3.25)

Jika sejumlah derajad kebebasan dikekang, massanya akan tetap dimasukkan

dalam massa total tetapi tidak diperhitungkan dalam massa modal efektif

karena kekangan pada modus vektor yang berkaitan. Massa dan kekakuan

struktur sangat penting dalam analisis perhitungan nilai eigen. Komponen

massa terdiri dari 3 massa translasi dan 3 momen inersia massa rotasi yang

konsisten dengan 6 derajad kebebasan per nodal. Ke 3 massa rotasi yang

mengacu pada massa inersia rotasi tidak secara langsung berpengaruh pada

respon dinamik struktur, melainkan hanya percepatan tanah translasi yang

akan bekerja dalam desain gempa. Tetapi pada bangunan dengan bentuk

iregular dimana pusat massa tidak segaris dengan pusat kekaukan, momen

inersia massa rotasi secara tidak langsung akan mempengaruhi respon

dinamik dengan mengubah bentuk modus dari struktur bangunan.

Komponen massa di hitung dengan persamaan :

Massa translasi : dm (3.3.26)

Momen inersia massa rotasi :

r2 dm (3.3.27)

di mana : r = jarak pusat massa total ke pusat massa yang besar


Satuan massa dan momen inersia massa rotasi ditentukan dari satuan berat

dibagi percepatan gravitasi., W(T2/L) dan satuan massa dikali dengan satuan

luas, W(T2/L) L2;

W, T dan L = satuan berat, waktu dan panjang.

Dalam analisis, dipergunakan massa yang terkumpul untuk efisiensi

perhitungan serta solusi analisis nilai eigen menggunakan metode iterasi sub-

ruang yang dapat dipergunakan untuk analisis struktur yang besar.

Damping struktur juga diperhitungkan dalam analisis numerik struktur,

umumnya dalam bentuk modal damping yang dapat ditentukan dari setiap

modal frekuensi alami dalam sistem getaran, bisa dipergunakan damping

proporsi, tipe proporsi massa, proporsi kekakuan dan type Rayleigh.

Damping struktur yang dikenal adalah :

A. Damping Viskus (Modul Voight dan Modul Maxwell)

B. Damping Histeretik

C. Damping friksi :

1. Damping friksi internal (Material damping)

2. Damping friksi eksternal

3. Damping friksi longsor

D. Damping Radiasi

E. Damping Modal :

1. Damping proporsi

2. Tipe proporsi massa

3. Tipe proporsi kekakuan

4. Tipe Rayleigh
5. Tipe Caughey

F. Damping Non-Proporsi :

1. Tipe proporsi energi

Damping proporsi-massa merupakan damping lekatan luar akibat perlawanan

udara dan berdasarkan asumsi matrik damping proporsi dengan massa.

Damping proporsi kekakuan kemungkinan memberikan over-estimasi untuk

modus orde tinggi karena asumsi damping proporsi dengan kekakuan akibat

kesulitan dalam memperhitungkan secara langsung enerji getaran yang

dilepaskan.

Damping Rayleigh berasal dari modifikasi nilai damping dari modus orde

tinggi dalam type damping proporsi kekakuan dan merupakan kombinasi tipe

damping proporsi massa dan kekakuan.

Tipe umum matrik damping proporsi C menurut Caughey (Ref. Midas/GTS

Manual Reference, Part 1 Analysis Case, 2011) :

[c] = [m] ∑ a ([m] [k]) (3.3.28)

Di mana : [c] = matriks damping proporsi

j, n = derajad kebebasan nodal (jumlah modus)

aj = koefisien Caughey yang bergantung dengan nilai

ω (frekuensi alami angular/rotasi)

[m] = matriks massa

[k] = matriks kekakuan

Nilai [m]-1 [k] diperoleh dari persamaan getaran bebas suatu sistem tanpa

damping :

[m]{y} + [k]{y} = 0 (3.3.29)


{y} = {u}eiax (3.3.30)

(-2[m] + [k]) {u} = {0} (3.3.31)

2 = [k] / [m] (3.3.32)

dimana : {y} = pergerakan tanah

{u} = perpindahan relatif antar noda

ω = frekuensi alami angular/rotasi

eiax = cos ajx + i sin ajx

i = unit imajiner = √−1

maka persamaan 3.3.28 dapat dinyatakan sebagai berikut:

{u } [c]{u } = c = a ω {u } [m]{u } = aω m

(3.3.33)

Koefisien damping untuk modus s :

cs = 2 hs sms (3.3.34)

Dimana cs = koefisien damping modus s

ωs = frekuensi alami angular modus s

ms = massa modus s

Untuk nilai hs pada persamaan 3.3.33 dan 3.3.34 dapat dihitung dengan

rumus berikut :

c 1
h = = aω
2ω m ω

= + a ω + a ω + ⋯+ a ω ; s = 1 − n (3.3.35)

Koefisien damping untuk n jumlah modus alami dapat ditentukan.

Konstan damping dan matrik untuk tipe proporsi massa dan kekakuan :
Tipe proporsi massa :

h = ; c= a m (3.3.36)

Tipe proporsi kekakuan :

h = ; c= a m (3.3.37)

Untuk tipe Rayleigh :

h = +a ω ; c= a m+a k (3.3.38)

di mana :

( )
a = (3.3.39)

( )
a = (3.3.40)

3.3.2.1 Analisis Response Spektrum

Persamaan kesetimbangan dinamik struktur yang mengalami gerakan tanah

dalam analisis respons spektrum (Ref. Midas/GTS Manual

Reference, Part 1 Analysis Case, 2011):

[m]{u(t)} + [c]{u(t)} + [k]{u(t)} = −[m]{ (t)} (3.3.41)

di mana :

[m] = matrik massa


[c] = matrik damping
[k] = matrik kekakuan
{wg(t)} = percepatan tanah
{u(t)}, {ù(t)}, {ü(t)}
= perpindahan relatif, kecepatan dan percepatan
Analisis respons spektrum mengasumsikan respons suatu sistem Derajad

Kebebasan Banyak (MDOF – Multi-Degree-Of-Freedom) merupakan


kombinasi banyak Sistem Derajad Kebebasan Tunggal (SDOF – Single-

Degree-Of-Freedom). Respons spektrum merupakan nilai puncak respons

dari suatu getaran alami hasil proses integrasi numerik dalam bentuk

perpindahan, kecepatan dan percepatan. Analisis respons spektrum

biasanya dilakukan untuk desain gempa menggunakan spektra rencana

standar.

Respons spektrum merupakan nilai puncak respons dari suatu getaran alami

hasil proses integrasi numerik dalam bentuk perpindahan, kecepatan dan

percepatan.

Respons bangunan yang mempunyai rentang perioda yang dirangkum

dalam grafik tunggal, merupakan ringkasan respons puncak semua sistem

SDOF linier terhadap pergerakan tanah tertentu. Dapat digambarkan

sebagai representasi grafis respons dinamik suatu seri pendulum kantilever

dengan periode alami terhadap pergerakan gempa pada batuan dasar.

Gambar 38 Konsep Respons Spektrum (1)


(Sumber : Reinforced Concrete Design of Tall Building2010, Taranath B.S)

Nilai respons desain puncak diperkirakan berdasar respons maksimum

setiap modus yang harus dihitung terlebih dahulu kemudian

dikombinasikan. Dalam analisis gempa, perpindahan dan gaya inersia yang

sesuai dengan derajad kebebasan tertentu untuk modus ke m dapat

diekspresikan sebagai berikut :


Gambar 39 Konsep Respons Spektrum (2)
(Sumber :Reiforced Concrete Design of Tall Building 2010 , Taranth B.S)

dn = n n Sdn; Fn = n n San Wx (3.3.42)

di mana :

dn = perpindahan nodal

n = faktor modal partisipasi ke n

n = vektor modal ke n pada lokasi x

Sdn = perpindahan spektral normalisasi untuk waktu getar modus

ke n

San = percepatan spektral normalisasi untuk waktu getar modus

ke n

Wx = massa di lokasi x
Fn = gaya inersia nodal partisipasi ke n

Untuk suatu modus, nilai spektral yang sesuai dengan waktu getar alami

dilokalisir dari data spektral melalui interpolasi data. Data spektral

diberikan pada posisi perubahan kurvatur dengan rentang waktu getar alami

maksimum dan minimum dari analisis nilai eigen.

Data spektral untuk perencanaan gempa dapat diinformasikan dalam bentuk

koefisien dinamik, faktor pondasi, faktor zoning, faktor kegunaan, faktor

daktilitas atau faktor modifikasi respons atau faktor respon germpa, dan

sebagainya.

Analisis respon spektrum dapat dilakukan dalam arah bidang global X-Y

dan arah vertikal global Z. Untuk kombinasi modal, dapat dipergunakan

metode-metode :

Metode Akar dari Jumlah Kuadrat (Square Root of the Sum of the Square,

SRSS)

Rmax = [R12+ R22 + …… + Rn2]1/2 (3.3.43)

Metode Jumlah Harga Mutlak (Ref. Midas/GTS Manual Reference, Part 1

Analysis Case, 2011):

Rmax = |R1| + |R2| + .... + |Rn| (3.3.44)


m = ρbd bd db
I =ρ +
12 12
M
= (d + b )
12

m =  x area of
I =ρ I +I
triangular

πd πd
m=ρ I =ρ
4 32
d

m, = ρ dA I =ρ I +I

L
I =ρ
12
m = L.L

Rotational mass moment of


inersia about its mass center : In

= +

Gambar 40 Perhitungan Massa dan Momen Inersia Massa

Metode Kombinasi Kudratik Lengkap (Complete Quadratic Combination,

CQC) (Ref. Midas/GTS Manual Reference, Part 1 Analysis Case,2011):


/
R = ∑ ∑ Rρ R (3.3.45)
di mana :

( ) /
ρ =( )
(3.3.46)
( )

r= (3.3.47)

Rmax = respons puncak

Ri = respons puncak modus ke i

Rj = respons puncak modus ke j

r = frekuensi alami modus ke i hingga ke j

 = rasio damping

ωi = frekuensi natural pada modus ke i

ωj = frekuensi natural pada modus ke j

Jika nilai i = j, maka rij = 1 dan jika damping rasio  menjadi nol, nilai CQC

dan SRSS memberikan hasil yang sama.

Metode ABS memberikan hasil yang terbesar diantara ke 3 metode. Metode

SRSS sudah dipergunakan secara luas tetapi kurang memberikan hasil yang

tepat untuk frekuensi alami yang hampir berdekatan. Maka metode CQC

mulai banyak dipergunakan karena memperhitungkan probabilitas inter-

relasi antara modus.


Gambar 41 Kurva Respons Spektrum dan interpolasi linier data spektra

Jika dibandingkan, maka metode SRSS memberikan nilai derajad

kebebasan ke 1 lebih rendah dan lebih tinggi untuk derajad kebebasan ke 2

dibandingkan metode CQC.

3.3.2.2 Analisis Riwayat Waktu

Persamaan kesetimbangan dinamik untuk analisis riwayat waktu :

[m]{u(t)} + [c]{u(t)} + [k]{u(t)} = {p(t)} (3.3.43)

di mana :

[m] = matrik massa

[c] = matrik damping

[k] = matrik kekakuan

{p(t)} = beban dinamik

{u(t)}, {ù(t)}, {ü(t)} = perpindahan relatif, kecepatan dan percepatan


Analisis riwayat waktu menghitung respons struktur (perpindahan, gaya

dalam, dan sebagainya) dalam waktu periode yang diberikan berdasar

karakteristik dinamik struktur itu terhadap beban yang bekerja. Ada 2

metode yang dipergunakan : Metode Superposisi Modal dan Metode

Integrasi Langsung.

3.3.2.2.1 Metode Superposisi Modal

Perpindahan struktur diperoleh dari superposisi linier perpindahan modal

dengan mempertahankan karakteristik ortogonal satu terhadap lainnya.

Dalam metode ini matrik damping disusun dari kombinasi linier massa dan

matrik kekakuan (Ref. Midas/GTS Manual Reference, Part 1 Analysis Case,

2011):

[c] =  [m] +  [k] (3.3.44)

Setiap modal dirumuskan :

Φ m q (t) + Φ c q(t) + Φ k q(t) = Φ p (t) (3.3.45)

m q (t) + c q(t) + k q(t) = p (t) (3.3.46)

(i = 1, 2, 3, ………., j)

u(t) = ∑ Φ q (t) (3.3.47)

ξ ω q (0) + q (0)
q (t) = e q (0)cosω t + sinω t
ω

+ P (τ)e−ξiωit sin ωDi (1 − t)t (3.3.48)

ω = ω 1−ξ (3.3.49)
di mana :

[c] = matrik damping

[m] = matrik massa

[k] = matrik kekakuan

 = koefisien Rayleigh

i = rasio damping untuk modus ke i

i = frekuensi alami untuk modus ke i

Φi = bentuk modus ke i

qi(t), (t), (t) = solusi perpindahan relatif, kecepatan dan

percepatan untuk persamaan SDF modus ke i

pi(t) = beban dinamis dalam fungsi waktu t

τ = tegangan geser

Pi(τ) = beban dinamis dalam fungsi tegangan geser τ

mi = massa untuk modus ke i

ci = damping untuk modus ke i

ki = kekakuan untuk modus ke i

t = waktu

Saat dilakukan analisis riwayat waktu, perpindahan struktur ditentukan

dengan menjumlahkan produk setiap bentuk modus dan solusi persamaan

modal yang sesuai. Akurasi metode ini tergantung jumlah modus yang

dipergunakan.

Metode superposisi modal sangat efektif dipergunakan dalam analisis

dinamik linier untuk struktur yang besar, tetapi tidak dapat diterapkan untuk

analisis dinamik non-linier atau untuk kasus dimana terdamping alat


damping sehingga matrik damping tidak dapat diasumsi sebagai kombinasi

linier dari massa dan matrik kekakuan.

Tiga (3) hal yang berpengaruh dalam melakukan metode superposisi

modal :

1. Waktu analisis total atau jumlah iterasi yang akan dilakukan.

Interval waktu berpengaruh pada akurasi hasil analisis dan harus

mendekati waktu getar modus struktur yang lebih tinggi dan waktu getar

gaya yang bekerja, biasanya dipergunakan 1/10 waktu getar modal

tertinggi : t = Tp / 10

2. Rasio modal damping (koefisien Rayleigh) : angka untuk menentukan

sifat energi disipasi (damping) struktur atau modus individual.

3. Beban dinamik : bekerja langsung pada nodal atau pada pondasi

struktur dan diekspresikan dalam fungsi waktu.

3.3.2.2.2 Metode Integrasi Langsung

Persamaan dinamik diselesaikan melalui integrasi terhadap interval waktu.

Salah satu metode integrasi langsung yang dipergunakan adalah metode

Newmark (Ref.Midas/GTS Manual Reference, Part 1 Analysis Case,

2011) :

u = u + [(1 − δ) u + δ u]Δt (3.3.50)

u = u + uΔt ( − δ) u + α u Δt (3.3.51)

dengan menyederhanakan rumus 3.3.50 dan 3.3.51 diperoleh :


u = f( u + u + u + u) (3.3.52)

u = f( u + u + u + u) (3.3.53)

Dengan menyelesaikan persamaan kesetimbangan, perpindahan dapat

dihitung diikuti perhitungan percepatan dan kecepatan, demikian pula

damping dengan rasio kekuatan dan massa(Ref. Midas/GTS Manual

Reference, Part 1 Analysis Case, 2011).

[ m] u+[c] u + [k ] u= ρ (3.3.54)

[ k ] + a [ m] + a [ c ] u

= ρ + [m](a u+a u+a u) + [c](a u+a u+a u)

(3.3.55)

k u= p (3.3.56)

k = [k] + a [m] + a [c] (3.3.57)

ρ= ρ + [m](a u+a u+a u) + [c](a u+a u+a u)

(3.3.58)

u=a ( u − u) − a u − u) (3.3.59)

u= u+a u+a u (3.3.60)

a = , a = , a = , a = −1 (3.3.61)

δ Δt
a = − 1, a = −2 , a = Δt(1 − δ), a = δΔt
2

(3.3.62)
Untuk nilai [c] dapat dihitung dengan formula berikut ini

[c] = a [k] + b [m] (3.3.63)

dimana :

u(t), ù(t), ü(t) = perpindahan relatif, kecepatan dan percepatan

a = koefisien kekakuan untuk damping

b = koefisien massa untuk damping

[k] = matrik kekakuan

[m] = matrik massa

k = vektor kekakuan

p = vektor gaya dinamis

,  = variabel integrasi Newmark

(stabil jika  = 0.5 dan  = 0.25)

t = waktu

t = interval waktu

ρ = massa jenis

Analisis yang memerlukan kekakuan dan damping non-linier harus diselesaikan

dengan metode integrasi langsung, dengan data yang diperlukan untuk analisis :

1. Waktu analisis total (jumlah iterasi)

2. Interval waktu : harus mendekati waktu getar modus yang lebih tinggi,

umumnya dipergunakan 1/10 waktu getar modal tertinggi, t = Tp / 10

3. Damping sebagai ekspresi proporsi dengan kekakuan dan massa

4. Metode integrasi waktu : parameter integrasi untuk metode Newmark harus

diberikan. Percepatan yang konstan akan memberikan solusi yang stabil dan
konvergen dalam setiap kondisi, sedangkan percepatan linier mungkin

menimbulkan solusi yang tidak stabil dan tidak konvergen; Penggunaan

parameter integrasi dengan percepatan konstan cukup memberikan hasil

yang baik.

5. Beban dinamik : diberikan pada nodal atau pondasi struktur dan

diekspresikan sebagai fungsi waktu.

Gambar 42 Pergerakan sistem SDOF


Pada Gambar 42 diilustrasikan sistem ideal pergerakan sistem struktur SDOF.

Persamaan kesetimbangan pergerakan akibat gaya luar yang bekerja (Ref.

Midas/GTS Manual Reference, Part 1 Analysis Case, 2011):

fI(t) + fD(t) + fE(t) = f(t) (3.3.64)

fI(t) = m ü(t) = gaya inersia, mewakili perlawanan perubahan kecepatan struktur

dan bekerja berlawanan dengan arah percepatan.

fD(t) = c ù(t) = gaya damping, merupakan gaya friksi internal yang menyerap enerji

kinetik dan memperkecil simpangan pergerakan, berlawanan dengan arah

kecepatan.

fE(t) = k u(t) = gaya elastik di mana struktur menyimpan konfigurasi keadaan awal

saat struktur mengalami deformasi, bekerja berlawanan dengan arah perpindahan.

Maka :
[m]{ü} + [c]{ù} + [k]{u} = {f(t)} (3.3.65)

di mana :

[m] = matrik massa

[c] = matrik koefisien damping

[k] = matrik kekakuan

{ü(t)}, {ù(t)}, {u(t)} = perpindahan relatif, kecepatan dan

percepatan terhadap waktu

{f(t)} = beban dinamis

Persamaan di atas menjadi persamaan getaran bebas dengan redaman jika f(t) = 0

dan menjadi persamaan getaran bebas tanpa redaman jika c = 0. Tetapi jika f(t)

merupakan beban gempa (atau perpindahan, kecepatan dan percepatan) dengan

variasi waktu, maka persamaan merupakan masalah analisis getaran paksa dengan

solusi menggunakan Metode Superposisi Modal atau Metode Integrasi Langsung.

3.3.2.3 Analisis Respons Kompleks

3.3.2.3.1 Analisis dinamik 1 dimensi (solusi teoritis)

Analisis ruang bebas dipergunakan untuk menghitung respons pondasi

selama gempa sebelum struktur dikonstruksi, untuk memperkirakan getaran

permukaan tanah dalam menghitung tegangan dan regangan dinamik untuk

memperkirakan kemungkinan terjadinya likuifaksi dan menentukan beban

gempa yang dapat menimbulkan instabilitas pondasi atau struktur tanah.

Analisis ruang bebas dipergunakan untuk menghitung respons pondasi

akibat gelombang vertikal dari gelombang geser yang melalui zona visko-
elastik linier. Prinsip analisis adalah dengan menyusun sejumlah lapisan

yang tak terhingga dalam arah horizontal dan semi-tak terhingga pada

lapisan bawahnya, setiap lapisan dianggap homogen dan isotropik, getaran

ditimbulkan oleh gelombang geser yang ditransmisikan melalui dan

dipantulkan oleh pondasi dalam arah vertikal dan perpindahan dihasilkan

hanya dalam arah horizontal (Ref.Midas/GTS Manual

Reference, Part 1 Analysis Case, 2011).

ρ =G + 2ξG =0 (3.3.66)

di mana :

u = perpindahan horizontal dalam waktu t

ρ = massa jenis

G = modulus elastik geser

 = rasio damping histeretik

t = waktu

x = jarak

Persamaan di atas merupakan persamaan harmonik dan dengan mengubah

persamaan ini ke dalam domain frekuensi akan memberikan persamaan

gelombang yang harus terpenuhi pada setiap lapisan.

u(x,t) = u(x,)eit (3.3.67)

G∗ u(x, ω) − ρω u(x, ω) = 0 (3.3.68)

τ(x, ω) = G∗ u(x, ω) (3.3.69)

di mana :

(x, ) = tegangan geser


x = kedalaman

t = waktu

 = frekuensi alami

G* = G (1 + i2ξ)

G = modulus elastik geser

   = rasio damping histeretik

u(x, ) = perpindahan horizontal dalam waktu t

i = imaginary unit

Pondasi dalam ruang bebas biasanya digambarkan dalam Gambar untuk

menghitung solusi persamaan gelombang 1-dimensi. Jika jumlah lapisan di

bawah permukaan diketahui dan respons lapisan ke n dari permukaan

diekspresikan sebagai un, diekspresikan sebagai fungsi kedalaman xn (Ref.

Midas/GTS Manual Reference, Part 1 Analysis Case, 2011):

un(xn,) = An()eik*nxn + Bn () e-ikn*xn (3.3.70)

n(xn,) = ik*nG*n(An()eik*nxn – Bn () e-ikn*xn) (3.3.71)

di mana :

un(xn,) = deformasi lapisan n dalam fungsi kedalaman dan

frekuensi alami.

An = komponen gelombang elastik yang ditransmisikan ke atas

Bn = komponen gelombang elastik yang ditransmisikan ke bawah

 = frekuensi alami

i,k = imaginary unit

xn = kedalaman lapisan n

n(xn,) = tegangan geser lapisan n dalam fungsi


kedalaman dan frekuensi alami.

k*n = /V*sn (3.3.72)

G∗
V∗ = ρ (3.3.73)

un

n xn un+1 hn

n+1 xn+1 un+2 hn+1

xn+2

Gambar 43 Model analisis ruang bebas 1 dimensi


Kondisi kompatibilitas dan kesetimbangan gaya harus terpenuhi di batas

lapisan yang berbatasan.

u (x = h ) = u (x = 0)
n = 1, 2, … , (n − 1)
τ (x = h ) = τ (x = 0)

(3.3.74)

A +B =A e +B e
∗ ∗

k ∗ G∗ n = 1, 2, … , (n − 1)
A −B = ∗ A e −B e
∗ ∗

k G ∗

(3.3.75)
Dengan pengaturan ulang untuk menurunkan hubungan antara faktor

respons lapisan tanah yang berbatasan :

A = A (1 + α∗ )e + B (1 − α∗ )e (3.3.76)
∗ ∗

B = A (1 − α∗ )e + B (1 + α∗ )e (3.3.77)
∗ ∗

di mana :

un = deformasi pada lapisan n

n = tegangan geser pada lapisan n


An = komponen gelombang elastis arah ke atas pada lapisan n
Bn = komponen gelombang elastis arah ke bawah pada
lapisan n
An+1 = komponen gelombang elastis arah ke atas pada lapisan
n+1
Bn+1 = komponen gelombang elastis arah ke bawah pada
lapisan n+1
hn = ketebalan lapisan ke n
*n = rasio kekakuan dinamik antara lapisan yang berdekatan.
∗ ∗
α∗ = ∗ ∗
(3.3.78)

i = imaginary unit
k*n = rasio /V* pada lapisan ke n
k*n+1 = rasio /V* pada lapisan ke n+1
G*n = modulus geser pada damping histeretik pada lapis n
G*n+1 = modulus geser pada damping histeretik pada lapis n+1


=

Karena tegangan geser selalu nol, maka A1 = B1 dan faktor respons lapisan

ke m dapat dihitung dengan mengaplikasikan persamaan secara berturutan

mulai dari pertama hingga ke lapisan ke m (Ref. Midas/GTS

Manual Reference, Part 1 Analysis Case, 2011).


An() = an () A1 () (3.3.79)

Bn() = bn () B1 () (3.3.80)

a1 = b1 = 1

Fungsi tranfer antara batas lapisan i dan j, Hij :

u (ω) a (ω) + b (ω)


H (ω) = =
u (ω) a (ω) + b (ω)

(3.3.81)

di mana :

Hij(ω) = Fungsi transfer terhadap frekuensi natural (ω)

ui (ω) = Respons terhadap frekuensi natural (ω) lapisan i

uj (ω) = Respons terhadap frekuensi natural (ω) lapisan j

ai (ω) = Koefisien respons terhadap frekuensi natural (ω)

lapisan i arah atas.

aj (ω) = Koefisien respons terhadap frekuensi natural (ω)

lapisan j arah atas.

bi (ω) = Koefisien respons terhadap frekuensi natural (ω)

lapisan i arah bawah.

bj (ω) = Koefisien respons terhadap frekuensi natural (ω)

lapisan j arah bawah.

A1(ω) = komponen gelombang elastis arah ke atas dalam fungsi

frekuensi natural (ω) pada tegangan geser nol

B1(ω) = komponen gelombang elastis arah ke bawah dalam fungsi

frekuensi natural (ω) pada tegangan geser nol

An(ω) = komponen gelombang elastis arah ke atas dalam fungsi

frekuensi natural (ω) pada lapisan n


Bn(ω) = komponen gelombang elastis arah ke bawah dalam fungsi

frekuensi natural (ω) pada lapisan n

Jika fungsi transfer Hij() dan respons uj() untuk batas lapisan j diberikan,

maka respons ui() batas lapisan ke i diperoleh :

ui() = Hij() uj() (3.3.82)

di mana :

ui(ω) = Respons terhadap frekuensi natural (ω) lapisan i

Hij(ω) = Fungsi transfer terhadap frekuensi natural (ω)

uj(ω) = Respons terhadap frekuensi natural (ω) lapisan j

Jika analisis domain frekuensi dipergunakan, pengaruh perilaku non-linier

pondasi umumnya diperhitungkan dengan teknik linierisasi ekivalen karena

dalam analisis pondasi dianggap berperilaku linier.

Karena kekakuan konstan (modulus geser) dan damping diaplikasikan

dalam analisis domain frekuensi, perubahan kekakuan akibat regangan

geser aktual tidak diperhitungkan sehingga perilaku non-linier pondasi

diperhitungkan dengan melakukan analisis linier iterasi dengan

memasukkan perubahan kekakuan dan rasio damping pondasi berdasar

regangan geser yang diperoleh dari langkah sebelumnya. Untuk

menentukan kekakuan dan damping, regangan geser efektif yang diberikan

sebagai nilai konstan kurang dari satu (misalnya 0,65) dikalikan dengan

regangan geser maksimum yang diperoleh dari langkah sebelumnya yang

menimbulkan tambahan enerji regangan dibandingkan perilaku aktualnya.


Proses analisis ruang bebas dengan memperhitungkan pengaruh non-linier

pondasi menggunakan teknik linierisasi ekivalen dapat dirangkum sebagai

berikut :

1. Tentukan nilai awal modulus geser (G) dan rasio damping (h) tiap

lapisan. Secara umum, nilai yang dipergunakan di mana regangan

sangat kecil.

2. Hitung regangan geser maksimum (max) tiap lapisan dari analisis ruang

bebas menggunakan nilai awal.

3. Hitung regangan geser efektif eff tiap lapisan : eff = R x max

Di mana R adalah rasio antara regangan geser efektif dan regangan

geser maksimum, dipergunakan 0.65 atau berdasar nilai magnitudo

gempa, M :

M‐1
Rγ= 10
(3.3.83)

4. Tentukan modulus geser G dan h menurut kurva G/Gmax - eff dan

kurva h – eff tiap lapisan menggunakan regangan geser efektif eff.

5. Ulangi langkah 2 sampai 4 sampai G dan h konvergen. Umumnya iterasi

kurang dari 5 kali dengan kesalahan relatif kurang dari 5% .


3.3.2.3.2 Analisis dinamik 2 dimensi (metode elemen hingga)

Perbedaan terbesar antara masalah interaksi tanah-struktur masalah

dinamik struktur adalah damping radiasi yang ditimbulkan oleh ketidak-

terbatasan pondasi. Sementara damping mengurangi pergerakan struktur

dengan gesekan material, damping radiasi mengurangi enerji kinetik

struktur dengan melepaskan enerji gelombang ke area pondasi yang tak

terhingga.

Besaran damping radiasi tergantung bentuk gelombang yang dimodelkan

dengan analisis domain frekuensi pada material tanah non-homogen dengan

perilaku mekanika tanah yang sangat non-linier yang dianalisis dengan

metode linierisasi ekivalen.

Analisis domain frekuensi standard menggunakan FFT (Fast Fourier

Transform), respons pondasi dan struktur dapat dihitung dengan satu

operasi dimana persamaan gerak membuat sistem integrasi tanah-struktur

dengan input gerak dari respons ruang bebas. Interpolasi metoda fungsi

transfer untuk sistem SDOF dipergunakan untuk mengurangi jumlah

frekuensi dalam perhitungan solusi persamaan gerak, guna mendapatkan

nilai interpolasi dari fungsi transfer 2 frekuensi dalam 1 baris solusi. Maka

pemilihan frekuensi dasar sangat penting dan diperlukan untuk menentukan

frekuensi yang dapat menjamin validitas analisis pondasi.


Persamaan Gerak

Dari hasil analisis ruang bebas di atas, dilakukan analisis dengan

memasukkan respons gempa pada batuan dasar pada persamaan gerak

berikut ini (Ref. Midas/GTS Manual Reference, Part 2 Element

Formulations, 2011):

[m]{ü} + [k]{u} = -{m}{ÿ} -{V}+{F}-{T} (3.3.84)

di mana :

[m] = matrik massa sistem tanah-struktur 2-dimensi

{ } = vektor percepatan setiap nodal di bagian dasar model

[k] = matrik kekakuan kompleks termasuk pengaruh damping untuk

sistem tanah-struktur 2-dimensi

{u} = vektor perpindahan relatif setiap nodal di bagian dasar model

{m} = vektor massa untuk arah input gerakan

{ÿ} = input gerakan yang bekerja pada bagian dasar model

{V} = gaya yang diberikan pada batas viskus arah 3-dimensi :

{V}= (1/l)[cf]({ù}-{ùf}) (3.3.85)

l = ketebalan sistem

[cf] = matrik diagonal karakteristik ruang bebas

{ù} = vektor kecepatan setiap nodal di bagian dasar model

{ùf} = vektor kecepatan dari ruang bebas

{F} = beban yang bekerja pada permukaan vertikal sistem tanah-struktur

{F} = [Gf] {uf} (3.3.86)

[Gf] = matrik kekakuan kompleks untuk ruang bebas


{T} = gaya akibat transfer horizontal enerji gelombang yang

diekspresikan sebagai kondisi batas trasmisi

{T} = ([R] + [L]) ({u} – {uf}) (3.3.87)

{u} = vektor perpindahan relatif setiap nodal di bagian dasar model

{uf} = vektor perpindahan dari ruang bebas

[R] dan [L] adalah matrik kekakuan menurut frekuensi kondisi batas yang

dikembangkan Lysmer dan Drake & Wass

Dengan anggapan input gerakan ÿ(t) sebagai penjumlahan sejumlah

pergerakan harmonik, analisis domain frekuensi dapat dilakukan.

ÿ(t) = Re ∑ Ye
/
(3.3.88)

Maka respons dari sistem tanah-struktur (Ref. Midas/GTS Manual

Reference, Part 2 Element Formulations, 2011):

{u} = Re ∑ /
[u] e (3.3.89)

{u } = Re ∑ [u ] e
/
(3.3.90)

[k] + [R] + [L] + [c ] − ω [m] {u}

= −{m}Y + ([G ] + [R] + [L] + [c ]){u } (3.3.91)

{u } = { } Y (3.3.92)

[k] {u} = {P} Y (3.3.93)

[k] = [k] + [R] + [L] + [c ] − ω [m] (3.3.94)

{P} = [G ] + [R] + [L] + [c ] { } − {m} (3.3.95)

[k] {A} = {P} (3.3.96)

di mana :

ÿ(t) = penjumlahan sejumlah pergerakan harmonik


ωs = frekuensi dinamis vektor

i = nomor modus

t = waktu

N = jumlah titik mewakili input gerakan.

Y = pergerakan harmonis

{u} = vektor perpindahan relatif setiap nodal di dasar model

{uf} = vektor perpindahan dari ruang bebas

{m} = vektor massa untuk arah input gerakan

[u] = matrik perpindahan nodal elemen

[uf] = matrik perpindahan nodal elemen dari ruang bebas

[k] = matrik kekakuan untuk ruang bebas

[cf] = matrik diagonal karakteristik ruang bebas

[Gf] = matrik kekakuan kompleks untuk ruang bebas

[m] = matrik massa untuk ruang bebas

[k]s = matrik kekakuan berdasarkan sistem frekuensi

{A} = fungsi transfer frekuensi terhadap input pergerakan

{Af} = fungsi transfer frekuensi terhadap input pergerakan di

dasar

{P}s = vektor beban untuk input gerak untuk Y =1

Re = jumlah elemen batas

[R]s, [L]s = matrik kekakuan menurut frekuensi kondisi batas yang

dikembangkan Lysmer dan Drake & Wass


Respons dalam analisis domain waktu dapat diperoleh dengan invers

transformasi persamaan menggunakan metode FFT.

Batas model harus ditentukan pada posisi yang mampu merepresentasikan

kondisi aktual tanah, agar model 2-dimensi untuk analisis tanah-struktur

dapat dideskripsikan dengan akurat. Kondisi batas dalam model tanah

dibagi menjadi batas elemen, batas viskus dan kondisi batas pemancaran.

Batas elemen dibagi menjadi ujung bebas termasuk gaya dari beban respons

gempa pada batas untuk ruang bebas, ujung jepit termasuk perpindahan dan

ujung terotasi horizontal dan vertikal. Kondisi batas elemen

memperhitungkan pengaruh gelombang gempa pada ruang bebas, tetapi

tidak dapat memperhitungkan pengaruh gelombang pantul dari pelat

pondasi sehingga pengaruhnya akan meningkat jika lokasi batas terlalu

dekat dengan pelat pondasi. Untuk mengatasi masalah pada kondisi batas

elemen tersebut, Kuhlemeyer, Ang, Newmark, et al. mengembangkan

kondisi batas viskus untuk menyerap gelombang material dengan sudut

konstan pada batas, namun tetap harus diletakkan pada jarak yang cukup

jauh dari pelat pondasi karena pengaruh gelombang permukaan cukup sulit

diperhitungkan secara akurat.

Meskipun kondisi batas viskus mempunyai keterbatasanya, kondisi batas

pemancaran dapat memperhitungkan variasi pengaruh gelombang material

dan gelombang permukaan. Lapisan tanah sejajar arah horizontal yang

umumnya dianggap homogen, dapat direpresentasikan sebagai fungsi pegas

dari frekuensi dan damper dengan tetap memberikan hasil yang

memuaskan meskipun kondisi batas diletakkan pada strukturnya. Meskipun


demikian, secara efektif tetap harus diberikan jarak antara batas dan pelat

pondasi agar perubahan karakteristik akibat regangan arah horizontal tetap

dapat diperhitungkan dengan lebih akurat.

3.4 ELEMEN DALAM INTERAKSI TANAH STRUKTUR

Ada 3 tipe elemen utama yang dipergunakan dalam pemodelan interaksi tanah-

struktur :

1. Elemen Tanah : elemen solid, elemen regangan bidang, elemen aksisimetri

2. Elemen Struktur : rangka, rangka tertanam, balok, pelat, tegangan bidang

3. Elemen Aplikasi : elemen interface, pelat interface, tiang, ujung tiang,

geogrid, penghubung elastik, penghubung kaku, pegas, pegas matrik

3.4.1 Elemen Solid

Dapat mempunyai fungsi bentuk elemen linier (8-nodal heksahedron, 6-nodal

pentahedron dan 4- nodal tetrahedron) atau elemen kuadratik (20-nodal he

ksahedron, 15-nodal pentahedron dan 10- nodal tetrahedron). Elemen linier

heksahedron memberikan tegangan dan regangan yang lebih akurat dibanding

linier tetrahedron dan pentahedron, sehingga dipergunakan untuk analisis

bagian elemen yang perlu lebih detail. Elemen solid 3-dimensi terdiri dari 4, 5

atau 6 bidang untuk tanah solid atau pelat tebal atau menggunakan elemen

dengan ordo lebih tinggi dengan nodal tengah.

Elemen solid dapat dikombinasi dengan rangka, balok, pelat, tegangan bidang,

interface, batas elastik dan elemen penghubung elastik dalam bentuk


tetrahedron, irisan dan heksahedron dan mempunyai derajad kebebasan

translasi yang tetap dalam 3 arah.

Elemen heksahedral memberikan hasil akurat perpindahan dan tegangan,

sedangkan irisan dan tetrahedron memberikan hasil yang baik untuk

perpindahan tetapi memberikan hasil tegangan yang kurang tepat, tetapi sangat

berguna untuk sambungan elemen heksahedral di mana elemen berubah ukuran.

Elemen solid tidak mempunyai kekakuan atau DOF rotasi pada nodal

penghubung. Bila DOF dinyatakan , penghubung elemen tanpa kekakuan rotasi

akan menghasilkan kesalahan tunggal pada nodal tersebut, sehingga DOF rotasi

harus dikekang. Pada analisis nonlinier/ tahapan konstruksi, DOF ini tidak

dinyatakan .

Jika elemen solid dihubungkan dengan elemen lain dengan kekakuam rotasi

seperti balok dan elemen pelat dengan penghubung kaku (menggunakan nodal

master dan nodal bantu) atau elemen balok kaku maka kompatibilitas antara

elemen-elemen tersebut dapat terjaga.

Aspek rasio suatu elemen tergantung pada tipe elemen, konfigurasi geometrik,

bentuk struktur, dan sebagainya, meskipun kondisi sudut pojok lebih penting

misalnya untuk heksahedron dengan aspek rasio 100% memberikan hasil eksak

dengan sudut pojok mendekati 90 derajad.


Gambar 44 Sistem koordinat elemen solid
(Sumber : Midas/GTS Manual Reference, 2011)

3.4.2 Elemen Balok

Merupakan elemen garis yang menghubungkan 2 nodal dan memperhitungkan

tarik, tekan, lentur, geser dan torsi dipergunakan untuk model struktur yang

panjang dibanding dimensi penampangnya. Untuk rasio tinggi penampang

terhadap panjang lebih besar dari 1/5 (balok tinggi) sebaiknya dipergunakan

elemen plate atau solid, karena perhitungan pengaruh deformasi geser dalam
elemen balok dilakukan secara akurat. Elemen balok dapat dipergunakan untuk

analisis statik (linier dan non-linier) dan dinamik dan dapat dipergunakan untuk

menghitung deformasi aksial, lentur, torsi dan deformasi geser.

Ketahanan torsi elemen balok berbeda dengan momen inersia rotasi penampang

sehingga jika pengaruh deformasi torsi cukup besar harus diperhatikan lebih

jauh mengingat ketahanan torsi balok umumnya masih ditentukan dengan

metode eksperimen. Jika elemen dengan DOF berbeda berhubungan satu

dengan lainnya dapat dipergunakan elemen balok kaku dengan kekakuan 105-

108 kali kekakuan elemen yang dihubungkan untuk memperhitungkan

kesalahan numerikal.

Gambar 45 Sistem koordinat elemen balok


(Sumber : Midas/GTS Manual Reference, 2011)

3.4.3 Elemen Pelat

Elemen pelat 3D datar dan lengkung dinyatakan dengan 3, 4, 6 dan 8 nodal

dapat memberikan defromasi membran, geser tegak lurus bidang, dan perilaku

lentur seperti shotcrete lining, dinding penahan, lantai pondasi. Pemodelan

struktur dengan elemen pelat direkomendasikan menggunakan elemen tipe


kuadrilateral. Untuk pemodelan pelat lengkung, sudut antara 2 elemen yang

berbatasan harus kurang dari 10o dan untuk area yang membutuhkan hasil lebih

akurat sudut tidak lebih dari 2-3o, juga apabila intensitas tegangan sangat

bervariasi dan dibutuhkan hasil yang detail maka dipergunakan elemen persegi

panjang. Untuk analisis statik non-linier dan tahapan konstruksi dapat

dipergunakan elemen pelat ordo rendah dan tinggi DIANA tanpa penggunaan

DOF bor untuk arah tegak lurus bidang.

Gambar 46 Elemen Pelat Kuadrilateral


(Sumber : Midas/GTS Manual Reference, 2011)

3.4.4 Elemen Tiang

Dalam elemen tiang 3-D dipergunakan elemen balok dan interface antara tiang

dan tanah, dimana bagian tiang akan berpotongan dengan elemen solid melalui

elemen interface.

Karena elemen bagian tiang mempunyai nodal tersendiri, dimungkinkan terjadi

perpindahan relatif antara tiang dan elemen solid melalui perilaku interfacenya.
Gambar 47 Elemen tiang

Gambar 48 Sistem koordinat elemen tiang


(Sumber : Midas/GTS Manual Reference, 2011)

3.4.5 Elemen Ujung Tiang

Jika elemen tiang dibuat dengan interface garis ke solid untuk

memperhitungkan pengaruh non-linier friksi/slip keliling tiang, maka elemen

ujung tiang dibuat dengan menambahkan elemen interface nodal ke solid untuk

memperhitungkan pengaruh kegagalan pada ujung tiang. Kapasitas ujung tiang

merupakan gaya maksimum yang dapat dipikul pada ujung tiang. Kekakuan
pegas ujung adalah kekakuan elastik awal yang dipergunakan sebelum ujung

tiang gagal. Ujung tiang akan berperilaku elastik hingga mencapai kapasitas

daya dukung ujung tiang untuk kemudian sepenuhnya berperilaku plastik.

Kekakuan elastik pada ujung tiang harus cukup untuk menghasilkan

perpindahan yang dapat diabaikan tetapi harus lebih kecil dari modulus

kekakuan geser keliling tiang untuk meningkatkan keandalan analisis numerik.

Kekakuan pegas ujung juga dapat dimodelkan sebagai suatu fungsi yang

menghubungkan normalisasi gaya reaksi ujung dengan perpindahan aksial

relatif antara ujung tiang dan elemen tanah, dimana elemen interface nodal ke

solid akan menggunakan diagram multi linier perpindahan – gaya hasil dari

perkalian fungsi normalisasi ini dengan daya dukung ujung tiang.

Gambar 49 Model elemen ujung tiang


(Sumber : Midas/GTS Manual Reference, 2011)

3.4.6 Elemen Pegas nodal/ Damping

Untuk memberikan kekakuan elastik pada sambungan struktur atau kondisi

tumpuan tanah, serta mencegah terjadinya kesalahan tunggal pada nodal

penghubung elemen dengan derajad kebebasan terbatas seperti rangka,

tegangan bidang, dan sebagainya.


Pegas nodal dapat diekspresikan dalam 6 derajad kebebasan menurut sistem

koordinat global. Kekakuan pegas translasi dan rotasi dinyatakan sebagai gaya

satuan per satuan panjang dan momen satuan per satuan radian. Saat membuat

model pondasi dengan pegas nodal, kekakuan pegas dapat dihitung sebagai

modulus Young dan luas efektif nodal dibagi dengan deformasi tanah efektif

pada kedalamannya.

Damping nodal diberikan dalam bentuk pegas damping pada nodal sesuai

sistem koordinat global dipergunakan untuk memodelkan kondisi batas

damping viskus tanah sebagai 6 derajad kebebasan. Sesuai dengan karakteristik

damping, damping nodal hanya dapat dipergunakan dalam analisis dinamik dan

tidak dalam analisis linier.

Gambar 50 Sistem koordinat elemen pegas/peredam


(Sumber : Midas/GTS Manual Reference, 2011)
3.5 MODEL KONSTITUTIVE

3.5.1 Model Konstitutif Struktur

3.5.1.1 Model Interface

Model interface sebagai model konstitutive struktur dapat dipergunakan juga

untuk model tanah termasuk join pada batuan atau dasar lapisan, sebagaimana

dapat dipergunakan untuk mendefinisikan berbagai tipe perilaku interface baik

arsitektural maupun rekayasa sipil, berdasarkan Hukum Coulomb (1785) di

mana friksi dalam interface bersifat proporsi terhadap koefisien friksi dan

besaran gaya normal yang bekerja pada interface.

Model interface dapat mensimulasikan perilaku interface antara :

(1) Pile dan tanah disekitarnya

(2) Dinding penahan dan tanah

(3) Lining dan urugan tanah

(4) Join pada batuan atau zona patahan

Selain itu untuk simulasi sistem dinding bata dalam bangunan, retak beton, slip-

lekatan antara besi-beton dan beton, dan sebagainya.

Input data material yang diperlukan untuk menghitung friksi Coulomb :

Modulus kekakuan dalam arah normal pada Interface (kn), modulus kekakuan

geser tangensial pada Interface (kt), kohesi pada Interface (c), sudut geser dalam

pada Interface (), kuat tarik untuk penampang tarik, kekakuan geser reduksi

untuk model Mode II, fungsi kohesi multi-linier hardening, fungsi sudut geser

multilinier hardening.
Pada model friksi Coulomb, fungsi kegagalan (f) dan fungsi potensial (g) dapat

dinyatakan menggunakan 3 koefisien , c dan  yang mewakili sudut friksi,

kohesi dan sudut dilatansi ( Ref. Midas/GTS Manual Reference, Part 3

Constitutive Model, 2011).

f= t + tan ϕ(κ) − (κ) = 0 (3.5.1)

g= t + t tan ψ (3.5.2)

di mana :

 = sudut geser dalam sebagai fungsi parameter riwayat deformasi, 


c = kohesi sebagai fungsi parameter riwayat deformasi, 
 = sudut dilatansi (konstan di bawah tegangan normal yang diberikan)
f = fungsi kegagalan
g = fungsi potensial
tn = traksi translasi sejajar permukaan friksi
tt = traksi translasi tegak lurus (tangensial) permukaan friksi
modulus kekakuan pada interface

Gambar 51 Permukaan leleh friksi Coulomb


(Sumber : Midas/GTS Manual Reference, 2011)
Modulus kekakuan dalam arah normal pada Interface (n), modulus kekakuan

geser tangensial pada Interface (t) biasanya diartikan seolah interface

berperilaku kaku yang berarti perpindahan relatif dalam interface kecil

dibanding perpindahan dalam model, tetapi bilamana modulus ini terlalu tinggi

nilainya akan menimbulkan problem numerik yang membuat prosedur solusi

tidak konvergen sehingga perlu dibatasi dengan nilai kn dan kt sebagai berikut :

kn = kt = 10000 x Emaks /d (3.5.3)

di mana

Emaks = modulus Young maksimum dalam model

d = ukuran elemen terkecil dalam model.

Perpindahan relatif merupakan perkalian faktor pengali plastis dengan

komponen arah plastis.

Δu = λ (3.5.4)

dimana :

Δùp = perpindahan relatif

λ = faktor pengali elemen plastis

= komponen elemen arah plastis

Ekspansi order pertama seri Taylor untuk fungsi leleh dipergunakan untuk

mendefinisikan perilaku plastis terhadap tegangan normal yang bekerja ( Ref.

Midas/GTS Manual Reference, Part 3 Constitutive Model, 2011):

f= i+ k=0 (3.5.5)
λ= ∆u = ∆u (3.5.6)

Parameter kenaikan internal () merupakan nilai absolut perpindahan relatif

dan berhubungan dengan faktor pengali plastis () ( Ref. Midas/GTS

Manual Reference, Part 3 Constitutive Model, 2011):

k = Δu =λ =λ = λ 1 + tan ψ (3.5.7)

di mana :

= tanψ | |
(3.5.8)

= tanϕ(k) | |
(3.5.9)

i= D − Δu (3.5.10)

= Vektor satuan traksi

k 0
D = (3.5.11)
0 k

h= = (3.5.12)

k (h + k ) −k k tanψ | |
i= Δu
−k k tanψ | |
k (h + k tanϕ(k)tanψ

(3.5.14)

f = turunan deret taylor untuk fungsi keruntuhan


i = vektor satuan traksi

λ = faktor penggali plastis

k = kekakuan interface

kn = kekakuan interface searah surface friksi

kt = kekakuan interface tegak lurus surface friksi

t = traksi elemen

f = fungsi keruntuhan

g = fungsi potensial

De = matrik kekakuan permukaan

ψ = sudut translasi

ϕ = sudut geser tanah

Δ = perbedaan relatif viskositas nodal

Jika sudut geser dalam sama dengan sudut dilatansi, matrik kekakuan tangen

menjadi simetri dan dalam model akan timbul aliran plastik asosiasi, tetapi

kasus seperti ini tidak tepat untuk aplikasi lapangan karena perilaku bukaan

fraktur yang tidak realistik dapat berpengaruh pada arah normal interface.

Jika sudut geser dalam tidak sama dengan sudut dilatansi, matrik kekakuan

tangen menjadi non-simetri berakibat dalam model akan timbul aliran plastik

non-asosiasi. Dalam kasus ini, analisis akan butuh waktu lebih panjang karena

ukuran matrik kekakuan menjadi lebih besar. Jika perbedaan antara sudut geser

dalam dan sudut dilatansi besar akan bisa terjadi disvergensi, sehingga perlu

dibatasi perbedaan ke 2 sudut tidak lebih dari 20o.


3.5.2 Model Material Tanah

3.5.2.1 Model Mohr - Coulomb

Sering dipergunakan untuk model material granular seperti tanah dan beton,

hubungan tegangan regangan dianggap elasto-plastik sempurna membuat

solusi analisis non-linier dapat diandalkan. Meskipun demikian, ada 3

keterbatasan model Mohr-Coulomb jika diterapkan dalam perilaku tanah :

1. Karena leleh terjadi saat lingkaran Mohr terbesar merupakan tangensial

terhadap bidang leleh, tegangan utama intermediate 2 (1  2  3) tidak

berpengaruh terhadap pada tegangan leleh; hal ini tidak konsisten dengan

hasil percobaan.

2. Bidang leleh yang lurus memberikan sudut gesr dalam tanah yang

independen terhadap tekanan hidrostatik atau tekanan pengekang, sehingga

tekanan pengekang yang lebih besar akan cenderung menimbulkan

kesalahan yang lebih besar dan diskontinyuitas permukaan leleh pada sudut

dapat menyebabkan kesulitan dalam analisis numeriknya.

3. Model Mohr-Coulomb tidak dapat menjelaskan pemadatan tanah.

Meskipun ada keterbatasan ini, model Mohr-Coulomb dipergunakan luas

dalam rekayasa geoteknik karena mudah dalam aplikasinya dan hasil yang

dapat diandalkan.

Input parameter material yang dipergunakan dalam model Mohr-Coulomb :

Kenaikan Modulus Elastik (Einc) dengan kedalaman, kenaikan kohesi (cinc)

dengan kedalaman, tinggi referensi / level datum (yref), sudut dilantansi ()

selama deformasi geser dan kuat tarik tanah (1)


(a) Stress-strain relation (b) Skematik fungsi kegagala

Gambar 52 Kriteria leleh Mohr - Coulomb

Variasi modulus elastik dan kohesi dapat dimodelkan terhadap kedalaman

tanah, variasi modulus elastik sama seperti pada model elastik linier, sedangkan

variasi kohesi dapat dijelaskan sebagai berikut :

Jika kenaikan kohesi sama dengan nol, maka kohesi akan konstan tetapi jika

terjadi kenaikan kohesi terhadap kedalaman, maka :

c = cref + (yref – y) cinc (y  yref) (3.5.15)

c = cref (y > yref) (3.5.16)

di mana :

c = kohesi

cref = kohesi pada kedalaman referensi

cinc = kenaikan kohesi

y = kedalaman titik

yref = kedalaman referensi pada cref


Gambar 53 Skematik variasi kohesi terhadap kedalaman
(Sumber : Dinamika Tanah dan Rekayasa Gempa 2010, Masyhur Irsyam)

Dalam persamaan di atas, y mengacu pada titik integrasi selama analisis

numerik. Jika titik integrasi berada di atas tinggi referensi, perhitungan kohesi

dapat negatif sehingga cref harus ditentukan menjadi kohesi minimum.

Menurut teori Mohr, kriteria leleh dinyatakan dengan ( Ref. Midas/GTS

Manual Reference, Part 3 Constitutive Model, 2011) :

|| = f1() (3.5.17)

Persamaan ini berkaitan dengan bidang leleh berdasar lingkaran Mohr dan

f1() diperoleh dari uji laboratorium, tegangan geser () berhubungan dengan

tegangan normal () dalam bidang yang sama. Tegangan utama intermediate

2 (1  2  3) tidak mempengaruhi tegangan leleh.

Bentuk geometri yang paling sederhana dari bidang leleh Mohr-Coulomb

berupa garis lurus ( Ref.Midas/GTS Manual Reference, Part 3 Constitutive

Model, 2011) :

|| = c +  tan  (3.5.18)

di mana :
c = kohesi, pada titik dimana sumbu vertikal () berpotongan dengan

bidang leleh

 = sudut geser dalam, sudut dari bidang leleh

Kriteria leleh tersebut disebut kriteria leleh Mohr-Coulomb dan merupakan

kriteria leleh yang paling umum dipergunakan dalam masalah geoteknik karena

ketepatan dan kemudahannya.

Menggunakan tegangan utama (1  2  3) persamaan di atas dapat

dinyatakan sebagai :

( ) ( )
σ −σ =1 (3.5.19)

Jika dinyatakan dengan invarian tegangan I1, J2 dan  :

1 1
f(I , J , θ) = − I sin ϕ + J cos θ + sin θ sin ϕ − c cos ϕ = 0
3 √3

(3.5.20)

Menggunakan hubungan ξ = I /√3 dan ρ = 2J

π π
f(ξ , ρ, θ ) = − 2ξ sin ϕ + √3ρ sin θ + − ρ cos θ + sin ϕ − √6c cos ϕ = 0
3 3

(3.5.21)
Fungsi potensial plastik dapat dinyatakan sebagai :
1 1
g(I , J , θ) = − I sin ψ + J cos θ + sin θ sin ψ − c cos ψ = 0
3 √3

(3.5.22)

Permukaan leleh Mohr-Coulomb membentuk piramida heksagonal iregular

dalam ruang tegangan utama 3D, di mana kurva meridiannya berupa garis lurus.

Permukaan leleh menjadi heksagonal iregular pada bidang  (1 + 2 + 3=0),


di mana panjang t0 dan c0 harus ditentukan terlebih dahulu dengan substitusi

( = 0,  = t0, 0 = 60o) dan ( = 0,  = c0, 0 = 0o) sebagai :

ρ =

(3.5.23)

ρ =

(3.5.24)

Karena permukaan leleh Mohr-Coulomb membentuk bentuk geometrik yang

sama dengan bidang deviatorik, rasio t0 terhadap c0 pada bidang deviatorik

sembarang menjadi konstan :

= = (3.5.25)

di mana :

g = komponen arah plastik

I1, J2 = invarian tegangan elemen

ϕ = sudut geser dalam

τ = tegangan geser

c = kohesi

ψ = sudut translasi

θ = sudut kemiringan garis fungsi keruntuhan f

ξ = ratio damping histerik

  panjang permukaaan leleh pada bidang heksagonal

t0 = panjang permukaaan leleh awal pada bidang heksagonal

tarik saat  = 0,  = t0, 0 = 60o

c0 = panjang permukaaan leleh awal pada bidang heksagonal

tarik saat  = 0,  = c0, 0 = 0o


Tegangan tarik utama dibatasi menurut teori Rankine yang menyatakan bahwa

leleh terjadi saat tegangan utama maksimum mencapai tegangan tarik, sehingga

tegangan tarik utama 1 harus lebih kecil dari kuat tarik yang diberikan untuk

mencegah terjadinya kesalahan numerik.

Gambar 54 Permukaan leleh Mohr-Coulomb pada ruang tegangan utama


3D
(Sumber : Midas/GTS Manual Reference, 2011)

(a) Yield surface on π- plane (b) Yield surface on meridian plane (θ = - π/6)

Gambar 55 Permukaan leleh Mohr-Coulomb pada bidang  dan meridian


(Sumber : Midas/GTS Manual Reference, 2011)
3.5.2.2 Model Tiang Non-linier

Perilaku tiang menjelaskan transfer gaya antara tanah dan elemen tiang dan

perpindahan relatifnya. Kekakuan dalam 2 arah normal tiang biasanya sangat

tinggi sehingga perpindahan relatif dalam arah ini sangat kecil. Dalam arah

tiang, hubungan elastik non-linier dapat dinyatakan antara gaya friksi dan

perpindahan aksial relatif untuk interaksi friksi antara tiang dan tanah. Perilaku

pada ujung tiang juga diperhitungkan sebagai perilaku interface.

Parameter yang diperlukan untuk interaksi non-linier tiang - tanah : gaya geser

ultimit, modulus kekakuan geser, modulus kekakuan normal (Kn), kedalaman

referensi, kemiringan kurva friksi - perpindahan relatif, daya dukung ujung

tiang, kekakuan pegas ujung tiang.

Hubungan elastik non-linier antara gaya friksi aksial dan perpindahan relatif

dapat dinyatakan dengan gaya geser ultimit atau dengan menyatakan diagram

atau titik-titik gaya – perpindahan yang dihubungkan oleh garis multi-linier.

Jika perilaku elstik non-linier dinyatakan dengan gaya geser ultimit

diasumsikan bahwa material menunjukkan perilaku elasto – plastik sempurna

di aman kekakuan geser dan gaya bervariasi dengan kedalaman.

Meskipun merupakan model elastik, perpindahan relatif plastik diperhitungkan

untuk ujung dan selimut tiang. Untuk elemen tiang, perpindahan relatif plastik

dinyatakan sebagai perbedaan antara perpindahan relatif total dan perpindahan

relatif elastik yang dinyatakan sebagai gaya dibagi kekakuan elastik pada titik

awal. Meskipun disebut sebagai perpindahan relatif plastik, perpindahan ini

sepenuhnya dapat kembali ke semula saat beban dihilangkan.


Gambar 56 Hubungan perpindahan relatif dan traksi
(Sumber : Midas/GTS Manual Reference, 2011)

Gambar 57 Variasi kekakuan geser terhadap kedalaman tanah


(Sumber : Midas/GTS Manual Reference, 2011)

Jika perilaku elastik non-linier dinyatakan sebagai bentuk fungsional,

persamaan konstitutif dirumuskan dengan kemiringan kurva friksi –

perpindahan relatif. Untuk memperkirakan kuat interface pada kedalaman yang


diberikan, hubungan kekakuan – kedalaman harus disesuaikan berdasarkan

kurva perpindahan friksi-relatif. Modifikasi ini dapat dirumuskan sebagai :

ks = ksref + (yref – y) ksinc (3.5.26)

di mana :

ks = kekakuan geser

yref = kedalaman referensi

ksref = kekakuan geser pada kedalaman referensi

ksinc = kenaikan kekakuan geser

y = kedalaman
BAB IV STUDI MODEL INTERAKSI TANAH-
STRUKTUR

STUDI MODEL INTERAKSI TANAH-STRUKTUR

4.1 PENDAHULUAN

Secara umum penelitian dilakukan untuk membandingkan output Program

Midas GTS terhadap Etabs, dimana model yang akan digunakan yaitu

Bangunan 8 , 12 dan 16 Lantai dengan kondisi jenis tanah berupa tanah lunak

dan medium, masing masing jenis tanah terdiri atas 3 layer.

Untuk pembebanan digunakan beban standar berupa beban mati , live dan

beban tambahan. Adapun beban gempa yang digunakan ialah Beban Gempa

Respons Spektrum , Beban Time History Megathrust dan Beban Time History

Shallow Crustall.

Secara garis besar permodelan yang akan digunakan untuk membandingkan

hasil ouput Midas GTS dengan Etabs terdiri atas 3 model yaitu sebagai

berikut :

115
1. MODEL BANGUNAN 16 LANTAI

0,0

- 21,0

-30,0

-40,0

20 m 80 m 20 m

Gambar 58 Model Bangunan 16 lantai 3 layer tanah tampak depan pada


Midas GTS
40 m

100 m

60 m

Gambar 59 Model Bangunan 16 lantai 3 layer tanah tampak 3D Midas GTS


Gambar 60 Model Bangunan 16 lantai 3 layer tanah tampak 3D pada Midas
GTS
Gambar 61 Model Bangunan 16 lantai tampak depan pada ETABS

Gambar 62 Model Bangunan 16 lantai tampak 3D pada ETABS


2. MODEL BANGUNAN 12 LANTAI

0,0

- 21,0

-30,0

-40,0

20 m 80 m 20 m

Gambar 63 Model Bangunan 12 lantai 3 layer tanah tampak depan pada


Midas GTS
40 m

100 m

60 m

Gambar 64 Model Bangunan 12 lantai 3 layer tanah tampak 3D pada Midas


GTS
Gambar 65 Model Bangunan 12 lantai 3 layer tanah tampak 3D pada Midas
GTS
Gambar 66 Model Bangunan 12 lantai tampak depan pada ETABS

Gambar 67 Model Bangunan 12 lantai tampak 3D pada ETABS


3. MODEL BANGUNAN 8 LANTAI

0,0

- 21,0

-30,0

-40,0

20 m 80 m 20 m

Gambar 68 Model Bangunan 8 lantai 3 layer tanah tampak depan pada


Midas GTS
40 m

100 m

60 m

Gambar 69 Model Bangunan 8 lantai 3 layer tanah tampak 3D pada Midas


GTS
Gambar 70 Model Bangunan 8 lantai 3 layer tanah tampak 3D pada Midas
GTS

Gambar 71 Model Bangunan 8 lantai tampak depan pada ETABS


Gambar 72 Model Bangunan 8 lantai tampak 3D pada ETABS
Secara umum jenis model yang dimodelkan pada penelitian ini yaitu:

1. MODEL 3 LAPISAN TANAH LUNAK 30 M, BANGUNAN 16 LANTAI, PILE 20 M, RSSA


2. MODEL 3 LAPISAN TANAH LUNAK 30 M, BANGUNAN 12 LANTAI, PILE 20 M, RSSA
3. MODEL 3 LAPISAN TANAH LUNAK 30 M, BANGUNAN 8 LANTAI, PILE 20 M, RSSA
4. MODEL 3 LAPISAN TANAH SEDANG 30 M, BANGUNAN 16 LANTAI, PILE 20 M, RSSA
5. MODEL 3 LAPISAN TANAH SEDANG 30 M, BANGUNAN 12 LANTAI, PILE 20 M, RSSA
6. MODEL 3 LAPISAN TANAH SEDANG 30 M, BANGUNAN 8 LANTAI, PILE 20 M, RSSA
7. MODEL 3 LAPISAN TANAH LUNAK 30 M, BANGUNAN 16 LANTAI, PILE 20 M, THSA
(MEGATHRUST)
8. MODEL 3 LAPISAN TANAH LUNAK 30 M, BANGUNAN 12 LANTAI, PILE 20 M, THSA
(MEGATHRUST)
9. MODEL 3 LAPISAN TANAH LUNAK 30 M, BANGUNAN 8 LANTAI, PILE 20 M, THSA
(MEGATHRUST)
10. MODEL 3 LAPISAN TANAH SEDANG 30 M, BANGUNAN 16 LANTAI, PILE 20 M, THSA
(MEGATHRUST)
11. MODEL 3 LAPISAN TANAH SEDANG 30 M, BANGUNAN 12 LANTAI, PILE 20 M, THSA
(MEGATHRUST)
12. MODEL 3 LAPISAN TANAH SEDANG 30 M, BANGUNAN 8 LANTAI, PILE 20 M, THSA
(MEGATHRUST)
13. MODEL 3 LAPISAN TANAH LUNAK 30 M, BANGUNAN 16 LANTAI, PILE 20 M, THSA
(SHALLOW CRUSTAL)
14. MODEL 3 LAPISAN TANAH LUNAK 30 M, BANGUNAN 12 LANTAI, PILE 20 M, THSA
(SHALLOW CRUSTAL)
15. MODEL 3 LAPISAN TANAH LUNAK 30 M, BANGUNAN 8 LANTAI, PILE 20 M, THSA
(SHALLOW CRUSTAL)
16. MODEL 3 LAPISAN TANAH SEDANG 30 M, BANGUNAN 16 LANTAI, PILE 20 M, THSA
(SHALLOW CRUSTAL)
17. MODEL 3 LAPISAN TANAH SEDANG 30 M, BANGUNAN 12 LANTAI, PILE 20 M, THSA
(SHALLOW CRUSTAL)
18. MODEL 3 LAPISAN TANAH SEDANG 30 M, BANGUNAN 8 LANTAI, PILE 20 M, THSA
(SHALLOW CRUSTAL)
4.2 PARAMETER MODEL JENIS TANAH

Secara umum Model Jenis tanah yang digunakan pada model ini yaitu :
1. 3 Layer Tanah Sedang ( N = 20 , N = 50 , N = 10 )

2. 3 Layer Tanah Lunak ( N = 5 , N = 50 , N = 10 )

Berikut ini detail nilai Parameter tanah untuk Model jenis tanah tersebut :
A. 3 Layer Tanah Sedang ( N = 20 , N = 50 , N = 10)

Depth (m) DATA PARAMETER TANAH

0.00
Clay 2
Nrata = 20
γ = 16.00 kN/m3 Korelasi N-SPT dengan γ untuk lempung (Meyerhoff, 1956)
γsat = 17.00 kN/m3 Korelasi N-SPT dengan γ untuk lempung (Meyerhoff, 1956)
Cu = 100.00 kPa Korelasi Stroud (1974) Cu = (3,5 – 6,5)N (kN/m 2 )
-1.00 diambil 5 N
φ = 0.00
E = 15200.00 kN/m2 E = 7,6N kg/cm2 (menurut Schmertmann (1970) )
-21.0
Clay 3
Nrata = 50
γ = 20.00 kN/m3 Korelasi N-SPT dengan γ untuk lempung (Meyerhoff, 1956)
γsat = 21.00 kN/m3 Korelasi N-SPT dengan γ untuk lempung (Meyerhoff, 1956)
Cu = 250.00 kPa Korelasi Stroud (1974) Cu = (3,5 – 6,5)N (kN/m 2 )
diambil 5 N
φ = 0.00
E = 38000.00 kN/m2 E = 7,6N kg/cm2 (menurut Schmertmann (1970) )
-30.0
Clay 3
Nrata = 10
γ = 16.00 kN/m3 Korelasi N-SPT dengan γ untuk lempung (Meyerhoff, 1956)
γsat = 17.00 kN/m3 Korelasi N-SPT dengan γ untuk lempung (Meyerhoff, 1956)
Cu = 50.00 kPa Korelasi Stroud (1974) Cu = (3,5 – 6,5)N (kN/m 2 )
diambil 5 N
φ = 0.00
E = 7600.00 kN/m2 E = 7,6N kg/cm2 (menurut Schmertmann (1970) )
-40.0
B. 3 Layer Tanah Lunak ( N = 5 , N = 50 , N = 10 )

Depth (m) DATA PARAMETER TANAH

0.00
Clay 2
Nrata = 5
γ = 16.00 kN/m3 Korelasi N-SPT dengan γ untuk lempung (Meyerhoff, 1956)
γsat = 17.00 kN/m3 Korelasi N-SPT dengan γ untuk lempung (Meyerhoff, 1956)
Cu = 25.00 kPa Korelasi Stroud (1974) Cu = (3,5 – 6,5)N (kN/m 2 )
-1.00 diambil 5 N
φ = 0.00
E = 3800.00 kN/m2 E = 7,6N kg/cm2 (menurut Schmertmann (1970) )
-21.0
Clay 3
Nrata = 50
γ = 20.00 kN/m3 Korelasi N-SPT dengan γ untuk lempung (Meyerhoff, 1956)
γsat = 21.00 kN/m3 Korelasi N-SPT dengan γ untuk lempung (Meyerhoff, 1956)
Cu = 250.00 kPa Korelasi Stroud (1974) Cu = (3,5 – 6,5)N (kN/m 2 )
diambil 5 N
φ = 42.00
E = 38000.00 kN/m2 E = 7,6N kg/cm2 (menurut Schmertmann (1970) )
-30.0
Clay 3
Nrata = 10
γ = 16.00 kN/m3 Korelasi N-SPT dengan γ untuk lempung (Meyerhoff, 1956)
γsat = 17.00 kN/m3 Korelasi N-SPT dengan γ untuk lempung (Meyerhoff, 1956)
Cu = 50.00 kPa Korelasi Stroud (1974) Cu = (3,5 – 6,5)N (kN/m 2 )
diambil 5 N
φ = 0.00
E = 7600.00 kN/m2 E = 7,6N kg/cm2 (menurut Schmertmann (1970) )
-40.0
4.3 PARAMETER MODEL STRUKTUR BANGUNAN

Sistem struktur yang digunakan untuk permodelan struktur bangunan pada

penelitian ini yaitu Sistem Ganda (Dual System). Untuk struktur atas Model

bangunan terdiri atas Element struktur plat lantai , Element struktur balok ,

Element struktur kolom dan Element struktur dinding geser , sedangkan untuk

Element struktur bawah meliputi Element struktur raft pondasi dan pile.

Semua Element struktur tersebut berdimensi sama baik untuk 8 lantai ,12 lantai

maupun 16 lantai.

Berikut ini detail Struktur yang digunakan :

A. Element Struktur Plat Lantai

Dimensi : t = 12 cm

Mutu Beton : fc` = 25 Mpa

B. Element Struktur Balok

 Tipe 60/30

Dimensi : 600 mm x 300 mm

Mutu : fc` = 25 MPa

C. Element Struktur Kolom

 Tipe 130/45

Dimensi : 1300 mm x 450 mm

Mutu : fc` = 30 Mpa


 Tipe 130/35

Dimensi : 1300 mm x 350 mm

Mutu : fc` = 30 Mpa

 Tipe 100/35

Dimensi : 1000 mm x 350 mm

Mutu : fc` = 30 Mpa

 Tipe 110/45

Dimensi : 1100 mm x 450 mm

Mutu : fc` = 30 Mpa

 Tipe 100/20

Dimensi : 1000 mm x 200 mm

Mutu : fc` = 30 Mpa

D. Element Struktur Dinding Geser

 Tipe T400

Dimensi : t = 400 mm

Mutu : fc` = 30 Mpa

 Tipe T350

Dimensi : t = 350 mm

Mutu : fc` = 30 Mpa

E. Element Struktur Raft Pondasi

Dimensi : t = 1500 mm

Mutu : fc` = 30 Mpa


F. Pile

Dimensi : 500 mm x 500 mm

Mutu : fc` = 30 Mpa

4.4 PEMBEBANAN

Adapun beban yang digunakan dalam permodelan ini yaitu :

A. Dead Load

Beban ini adalah berat sendiri bangunan sehingga besarnya beban ini

dihitung secara otomatis oleh program Midas GTS maupun Etabs sesuai

jenis properti material yang diinput pada program.

B. Live Load

 Lantai Dasar

Live Load = 400 kg / m2 x 0.5 = 200 kg / m2

 Lantai 1-8 , Lantai 1-12 dan Lantai 1-16

Live Load = 250 kg / m2 x 0.3 = 75 kg / m2

 Atap

Live Load = 250 kg / m2 x 0.3 = 75 kg / m2


C. Add Load (ADL)

 Lantai Dasar

Add Load (ADL) = 110 kg / m2

 Lantai 1-8 , Lantai 1-12 dan Lantai 1-16

Add Load (ADL) = 288 kg / m2

 Atap

Add Load (ADL) = 138 kg / m2

D. Seismic Load

Pada penelitian ini digunakan beban seismic load berupa Respons

Spectrum dan Time History. Adapun detail dari beban tersebut yaitu

sebagai berikut :

1. Respons Spectrum

Beban gempa ini berdasarkan SNI 1726-2002 dimana tergantung

dengan jenis tanah yang menjadi tumpuan bangunan dan wilayah

gempa yang digunakan pada permodelan ini yaitu wilayah 3.

Berikut ini disajikan grafik Respons Spectrum yang digunakan dalam

penelitian ini yaitu untuk jenis tanah lunak dan jenis tanah sedang

dimana grafik respons spectrum ini telah di konversi untuk

kedalaman -40.0 m dari permukaan tanah sesuai dengan kedalaman

model dengan menggunakan program NERA .


Respons Spectrum untuk Jenis Tanah Lunak

Acceralation
Respons Spectrum Tanah Lunak
(g) Kedalaman : -40.0 m
0.18

0.16

0.14

0.12

0.1

0.08

0.06

0.04

0.02
Time (s)
0
0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 12.00

Respons Spectrum untuk Jenis Tanah Sedang

Acceralation
Respons Spectrum Tanah Sedang
(g) Kedalaman : -40.0 m
0.25

0.2

0.15

0.1

0.05

Time (s)
0
0 2 4 6 8 10 12
2. Time History : Megathrust

Berikut ini disajikan grafik time history Megathrust yang digunakan

pada penelitian ini yaitu pada pada kedalaman -40.0 m dari

permukaan tanah

Acceralation
Time History Megatrust
(g) Kedalaman : -40.0 m
0.2

0.15

0.1

0.05
Time (s)

0
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45
-0.05

-0.1

-0.15

-0.2
3. Time History : Shallow Crustall

Berikut ini disajikan grafik time history Shallow Costall yang

digunakan pada penelitian ini , yaitu pada pada kedalaman -40.0 m

dari permukaan tanah

Acceralation
Time History Shallow Costal
(g) Kedalaman : -40.0 m
0.06

0.04

0.02

0
0 5 10 15 20 25 30
-0.02
Time (s)

-0.04

-0.06

-0.08

-0.1
4.5 TAHAPAN PERMODELAN DENGAN MENGUNAKAN MIDAS GTS

Berbeda dengan program ETABS , program Midas GTS merupakan program yang

tergolong baru dalam bidang teknik sipil. Berikut ini disajikan tahapan permodelan

dengan menggunakan program Midas GTS .

Secara garis besar tahapan utama dalam permodelan dalam program Midas GTS

antara lain sebagai berikut :

1. Pembuatan Geometri Model

2. Definisi Property Elemen

3. Meshing

4. Definisi Load

5. Definisi Boundary

6. Running

A. Pembuatan Geometri Model

Dalam penelitian ini geometri model berupa 3D sehingga elemen yang akan

digunakan yaitu :

1. Line

Dipergunakan untuk mempermodelkan element 1 dimensi yaitu seperti pile ,

kolom dan balok.

2. Plane

Dipergunakan untuk mempermodelkan element 2 dimensi yaitu Dinding

Geser (Shear Wall ) dan Plat Lantai

3. Solid

Dipergunakan untuk mempermodelkan element 3 dimensi yaitu seperti Profil

Tanah , PileCap
Gambar 73 Pembuatan Geometri Model

B. Definisi Property Element

Pendefinisian property element terdiri atas 3 bagian yaitu sebagai berikut :

1 . Pendefinisian Atribute

Terdapat 5 jenis atribute yang digunakan dalam permodelan ,yaitu line untuk

element 1 dimensi , plane untuk element 2 dimensi , solid untuk element 3 dimensi ,

Spring/Interface untuk permodelan interface element satu dengan yang lain dan

Link untuk mempermodelkan joint. Dalam permodelan ini digunakan element

berupa line , plane , solid dan interface .


Gambar 74 Pendefinisian Atribute

2. Pendefinisian Material

Terdapat 2 jenis material yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu

material Ground dan Structure . Dalam penelitian ini digunakan material structure

berupa model Constitutive Elastic dan material Ground berupa Model Mohr

Coulomb.
Gambar 75 Pedefinisian Material
3. Property

Pada tahapan ini input berupa data dimensi serta properti dari setiap elemen

yang akan digunakan dalam permodelan . Untuk Element Struktural seperti

kolom , balok dan pile input terdiri atas dimensi penampang elemen serta tipe

elemen berupa beam - line, untuk plat lantai dan shear wall input berupa tebal dan

elemen yang digunakan ialah Plane Stress.

Gambar 76 Pedefinisian Property


Gambar 77 Input Interface
C. Meshing

Meshing dilakukan berdasarkan jenis elemen yang digunakan sedangkan mesh

size bervariasi dari 10 - 40 .

Gambar 78 Meshing untuk profil Struktur Balok , Kolom dan Pile ( Elemen
1 Dimensi )

Gambar 79Meshing untuk profil Struktur Plat Lantai dan Shearwall


( Elemen 2 Dimensi )
Gambar 80 Meshing untuk profil tanah

Gambar 81 Pengecekan Jumlah Mesh


D. Definisi Load

Adapun beban yang akan diaplikasikan ke dalam model ini yaitu :

A. Live Load

 Lantai Dasar = 400 kg/m2

 Lantai 1- 8 , Lantai 1-12 , Lantai 1-16 = 250 kg/m2

 Atap = 250 kg/m2

Gambar 82 Asign Load LL


B. Add Load

 Lantai Dasar = 110 kg/m2

 Lantai 1- 8 , Lantai 1-12 , Lantai 1-16 = 288 kg/m2

 Atap = 138 kg/m2


Gambar 83 Asign Load ADL
C. Seismic Load

 Respons Spectrum

Pada penelitian ini Beban Gempa Respons Spectrum yang digunakan

berdasarkan SNI 1726-2002 pada Wilayah 3 baik untuk tanah lunak

dan sedang .

Gambar 84 Pendefinisian Beban Seismic Respons Spectrum


Gambar 85 Input Beban Seismic Respons Spectrum
 Time History

Dalam Penelitian ini digunakan 2 macam time history yaitu Time

History Mega trust dan Shallow Costal .

Gambar 86 Pendefinisian Beban Seismic Time History


Gambar 87 Input Beban Seismic Time History
D. Definisi Boundary

Pada tahap ini dilakukan pendefinisian boundary , pada penelitian ini boundary yang

digunakan yaitu :

1. Support

Boundary Support diaplikasikan pada elemen pile dan bekerja terhadap arah z ( gravity

)
Gambar 88 Pendefinisian Boundary Support

2. Surface Springs

Surface Springs digunakan untuk beban dinamis baik Respons Spectrum

maupun Time History sedangkan untuk beban statis digunakan boundary

ground support . Adapun input pada boundary surface springs ini yaitu nilai

Dumping Constant dan Modulus Subgrade atau Springs Constant. Nilai

Dumping Constant dan Modulus Subgrade dihitung dengan menggunakan

rumus berikut ini :

- Modulus Subgrade (k)

 Bv 
3 / 4

k  k   
 30  …………………. Rumus 4.1
v vo

 Bh 
3 / 4

k  k    …………………. Rumus 4.2


 30 
h ho
1
B  Av kvo  E0  k ho
30
v

B h  A h

dimana kv = Modulus Subgrade Vertikal

kh = Modulus Subgrade Horizontal

Av , Ah = Luas bidang subgrade

Eo = Modulus Elastisitas Tanah

- Dumping Constant (Cp , Cs)

  2G   2G
C    A   W  A   cP  A
 W  9 . 81 ……. Rumus 4.3
P

G G
C    A   W  A   c  A
 W  9 . 81 ……. Rumus 4.4
S S

E

(1   )(1  2 )

E
G 
2 (1   )

dimana v = Poisson Ratio

E = Modulus Elastisitas Tanah


Perhitungan Boundary Line

Springs Constant dan Dumping


3 / 4
 Bh 
kh k ho   
 30 
dimana kv = Modulus Subgrade Vertikal
Bv  Av kh = Modulus Subgrade Horizontal
Av , Ah = Luas bidang subgrade
Eo = Modulus Elastisitas Tanah
B h  A h

1
k vo   E 0  k ho
30

  2G   2G
CP    A  W  A  cP  A
 W  9.81 E

(1  )(1  2 )

G G
CS    A   W  A  cS  A E
 W  9.81 G
2(1  )

Tanah Sedang
Z = 40 m
Lapisan Depth NSPT E0 t
NSPT 20 -21 20 1520 21
NSPT 50 -30 50 3800 9
NSPT10 -40 10 760 10

Lapisan Ax Ay Az Bh Bv
NSPT 20 1260 2100 6000 35.5 45.8
NSPT 50 540 900 6000 23.2 30.0
NSPT10 600 1000 6000 24.5 31.6 y = 100 m

x = 60 m
Ax = t lapisan.x = t lapisan . 60
Ay = t lapisan.y = t lapisan . 100
Az = x.y = 100x60
 8

Lapisan kho kvo kzo


NSPT 20 405.3 405.3 405.3
NSPT 50 1013.3 1013.3 1013.3
NSPT10 202.7 202.7 202.7

Lapisan K H ( ton/m3 ) K v ( ton/m3 ) Kz ( ton/m3 ) Springs Constant


NSPT 20 357.3 295.0 199.0
NSPT 50 1227.3 1013.3 497.5
NSPT10 235.9 194.8 99.5

Lapisan u W G 
NSPT 20 0.3 1.7 584.6 876.9
NSPT 50 0.3 2.1 1461.5 2192.3
NSPT10 0.3 1.7 292.3 438.5
Damper
Cx = Cs
Lapisan Cp X Cp Y Cp Z unit cz Cy = Cs
cy
NSPT 20 23726 39544 112982 Dumping cx Cz = Cp
NSPT 50 17869 29782 198548 ( ton-sec/m3 ) Constant
NSPT10 7989 13315 79891
Cx = Cp
Cx = Cs Cy = Cs
Lapisan Cs X Cs Y Cs Z unit
Cy = Cp Cz = Cs
NSPT 20 12682 21137 60392
Cz = Cs
NSPT 50 9552 15919 106128 ( ton-sec/m3 )
NSPT10 4270 7117 42703
Perhitungan Boundary Line

Springs Constant dan Dumping


3 / 4
 Bh 
k h  k ho   
 30 
dimana kv = Modulus Subgrade Vertikal
Bv  Av kh = Modulus Subgrade Horizontal
Av , Ah = Luas bidang subgrade
Eo = Modulus Elastisitas Tanah
B h  A h

1
k vo   E 0  k ho
30

  2G   2G
CP    A   W  A  cP  A
 W  9.81 E

(1  )(1  2 )

G G
CS    A   W  A  cS  A E
 W  9.81 G
2(1  ) Z = 40 m

Tanah Lunak

Lapisan Depth NSPT E0 t


NSPT 5 -21 5 380 21
NSPT 50 -30 50 3800 9
NSPT10 -40 10 760 10 y = 100 m

Lapisan Ax Ay Az Bh Bv
x = 60 m
NSPT 5 1260 2100 6000 35.5 45.8
NSPT 50 540 900 6000 23.2 30.0
NSPT10 600 1000 6000 24.5 31.6
Ax = t lapisan.x = t lapisan . 60
Ay = t lapisan.y = t lapisan . 100
Az = x.y = 100x60
 8

Lapisan kho kvo kzo


NSPT 5 101.3 101.3 101.3
NSPT 50 1013.3 1013.3 1013.3
NSPT10 202.7 202.7 202.7

Lapisan K H ( ton/m3 ) K v ( ton/m3 ) Kz ( ton/m3 ) Springs Constant


NSPT 5 89.3 73.7 49.7
NSPT 50 1227.3 1013.3 497.5
NSPT10 235.9 194.8 99.5

Lapisan u W G 
NSPT 5 0.3 1.7 146.2 219.2
NSPT 50 0.3 2.1 1461.5 2192.3
NSPT10 0.3 1.7 292.3 438.5
Damper
Cx = Cs
Lapisan Cp X Cp Y Cp Z unit cz Cy = Cs
cy
NSPT 5 11863 19772 56491 Dumping cx Cz = Cp
NSPT 50 17869 29782 198548 ( ton-sec/m3 ) Constant
NSPT10 7989 13315 79891
Cx = Cp
Cx = Cs Cy = Cs
Lapisan Cs X Cs Y Cs Z unit
Cy = Cp Cz = Cs
NSPT 5 6341 10569 30196
Cz = Cs
NSPT 50 9552 15919 106128 ( ton-sec/m3 )
NSPT10 4270 7117 42703
Gambar 89 Pendefinisian Boundary Surface Springs Arah X

Gambar 90 Pendefinisian Boundary Surface Springs Arah Y


Gambar 91 Pendefinisian Boundary Surface Springs Arah Z

E. Running

Pada tahap ini dilakukan definisi Analysis Case , dimana dalam penelitian ini terdapat

4 case yaitu :

1. Respons Spectrum X

2. Respons Spectrum Y

3. Time History Megathrust

4. Time History Shallow Costal

Tetapi sebelum menganalisis case tersebut dilakukan terlebih dahu Analysis

Eigenvalue untuk mengetahui waktu getar struktur


Gambar 92 Pendefinisian Analysis Case Eigen Value
Setelah dilakukan analisis / running terhadap case Eigen Value ini maka diperoleh

waktu getar sebagai berikut :

Gambar 93 Nilai Priode Getar


Gambar 94 Input Priode Getar pada Load Seismic
Setelah dilakukan Analisa terhadap Case Eigen Value maka , analisis untuk

beban seismic lainya dapat dilakukan .

1. Definisi Analysis Case Respons Spectrum

Pengaktifan Elemen , Boundary dan Load yang digunakan untuk analisis

dilakukan dengan cara drop and drop terhadap kolom aktivated.


Gambar 95 Definisi Analysis Case Respons Sepectrum
2. Definis Analysis Case Time History

Sama seperti Analysis Case Respons Spectrum Pengaktifan Elemen ,

Boundary dan Load yang digunakan untuk analisis dilakukan dengan

cara drop and drop terhadap kolom aktivated.


Gambar 96 Definisi Analysis Case Time History

Gambar 97 Analysis Case


Setelah definisi Analysis Case selesai , maka running untuk menganalisa

case dapat dilakukan untuk masing-masing case .


4.6 TAHAPAN PERMODELAN DENGAN MENGUNAKAN ETABS

4.6.1 Umum

Model struktur terdiri dari bangunan 8 lantai, 12 lantai dan 16 lantai dimana

struktur dimodelkan dengan bantuan program design struktur ETABS. Dari

segi material struktur itu sendiri digunakan beton fc’ = 25 Mpa dan fy = 400

Mpa. Desain gempa struktur dilakukan dengan mengacu SNI – 1726 – 2002

STANDAR PERENCANAAN KETAHANAN GEMPA UNTUK STRUKTUR

BANGUNAN GEDUNG

Berikut sketsa struktur yang dimodelkan pada program komputer ETABS

dimana setiap lantai sama (typical)

Gambar 98 Potongan Model ETABS 8 Lantai


Gambar 99 Model ETABS 3 Dimensi 8 Lantai

Gambar 100 Denah 8 Lantai pada ETABS Lantai Dasar sampai Atap
(typical)
Gambar 101 Potongan Model ETABS 12 Lantai
Gambar 102 Model ETABS 3 Dimensi 12 Lantai

Gambar 103 Denah 12 Lantai pada ETABS Lantai Dasar sampai Atap
(typical)
Gambar 104 Potongan Model ETABS 12 Lantai
Gambar 105 Model ETABS 3 Dimensi 16 Lantai

Gambar 106 Lantai pada ETABS Lantai Dasar sampai Atap (typical)
4.6.2 Pendefinisian Material Properties Pada Etabs

Dimensi pelat, balok, kolom dan dinding geser yang digunakan adalah

sebagai berikut :

Pelat = 12cm

Balok = b = 30cm, h = 60cm

Kolom = b = 35cm dan h= 100cm

Dinding geser = 15 cm

Berikut pendefinisian properties balok B36

Gambar 107 Properties Balok B36


Gambar 108 Set Modifier Balok B36

Gambar 109 Properties Kolom C35x100


Gambar 110 Set Modifier Kolom C35x100

Gambar 111 Properties Dinding Geser S15


Gambar 112 Set Modifier Kolom C35x100
4.6.3 Beban Gempa Respon Dinamik dan Time History

Analisan beban dinamik (Respon Spectrum) sesuai dengan peraturan gempa

yang berlaku di Indonesia dengan daerah gempa di Indonesia dengan daerah

zona gempa 3. Beban rencana gempa berdasarkan kurva respon spectra

yang didapat dari SNI 1726 2002 respon spectrum gempa rencana wilayah

3.

Berikut gambar kurva respon spectrum pada SNI dan input beban Gempa

pada ETABS

Gambar 113 Kurva Respon Spectra Wilayah 3 untuk Tanah Lunak dan
Tanah Sedang
Gambar 114 Kurva Respon Spectra Wilayah 3 untuk Tanah Lunak pada
Program ETABS
Gambar 115 Kurva Respon Spectra Wilayah 3 untuk Tanah Sedang pada
Program ETABS
Gambar 116 Grafik Time History Mega Trust pada Program ETABS
Gambar 117 Grafik Time History Shallow Crustal pada Program ETABS
4.7 PERBANDINGAN HASIL ANALISIS MODEL MIDAS GTS DENGAN

ETABS

4.7.1 Perbandingan Hasil Analisis Shear Story Model MIDAS GTS dengan

ETABS

A. Tanah Sedang

Struktur 16 Lantai

Grafik 1 Shear Story 16 Lantai untuk Jenis Tanah Sedang


Dari kedua grafik diatas , untuk beban gempa tanah sedang pada model 16

lantai nilai gaya geser dasar hasil analisis program ETABS lebih besar dari

Program MIDAS. Untuk Respons Spectrum , Time History Megathrust dan

Shallow Crustal masing-masing 1.605 , 1.026 dan 1.046 kali. Hal ini

menunjukan bahwa interaksi tanah-struktur dengau menggunakan program

MIDAS relatif memberikan keuntungan dalam desain struktur terhadap beban

gempa dibanding dengan menggunakan program ETABS dengan tumpuan

tetap atau dengan kata lain analisis dengan menggunakan ETABS relatif

memberikan hasil yang konservatif.

Loncatan-loncatan yang terjadi pada grafik umumnya disebabkan oleh

perubahan dimensi kolom dan dinding geser .


Struktur 12 Lantai

Grafik 2 Shear Story 12 Lantai untuk Jenis Tanah Sedang


Dari kedua grafik diatas , untuk beban gempa tanah sedang pada model 12

lantai nilai gaya geser dasar hasil analisis program ETABS lebih besar dari

Program MIDAS. Untuk Respons Spectrum , Time History Megathrust dan

Shallow Crustal masing-masing 1.868 , 1.283 dan 1.360 kali. Hal ini

menunjukan bahwa interaksi tanah-struktur dengau menggunakan program

MIDAS relatif memberikan keuntungan dalam desain struktur terhadap beban

gempa dibanding dengan menggunakan program ETABS dengan tumpuan

tetap atau dengan kata lain analisis dengan menggunakan ETABS relatif

memberikan hasil yang konservatif.

Loncatan-loncatan yang terjadi pada grafik umumnya disebabkan oleh

perubahan dimensi kolom dan dinding geser .

.
Struktur 8 Lantai

Grafik 3 Shear Story 8 Lantai untuk Jenis Tanah Sedang


Dari kedua grafik diatas , untuk beban gempa tanah sedang pada model 8 lantai

nilai gaya geser dasar hasil analisis program ETABS lebih besar dari Program

MIDAS. Untuk Respons Spectrum , Time History Megathrust dan Shallow

Crustal masing-masing 1.764 , 4.79 dan 4.75 kali. Hal ini menunjukan bahwa

interaksi tanah-struktur dengau menggunakan program MIDAS relatif

memberikan keuntungan dalam desain struktur terhadap beban gempa

dibanding dengan menggunakan program ETABS dengan tumpuan tetap atau

dengan kata lain analisis dengan menggunakan ETABS relatif memberikan

hasil yang konservatif.

Loncatan-loncatan yang terjadi pada grafik umumnya disebabkan oleh

perubahan dimensi kolom dan dinding geser .

Berikut ini disajikan perbandingan Base Shear dari beberapa jenis beban

seismic terhadap variasi jumlah lantai pada tanah sedang .

Vbase (Ton)
1000
900 Respons Spektrum Tanah
Sedang (Midas)
800
Respons Spektrum Tanah
700
Sedang (Etabs)
600
TH.Megathrust Tanah
500 Sedang (Midas)
400 TH.Megathrust Tanah
300 Sedang (Etabs)

200 TH.Shallow Crustall Tanah


Sedang (Midas)
100
TH.Shallow Crustall Tanah
0 Sedang (Etabs)
6 8 10 12 14 16 18 Story

Grafik 4 Perbandingan Shear Story untuk tanah sedang terhadap Beban


Seismic Arah X
Vbase (Ton)
900

800
Respons Spektrum
Tanah Sedang (Midas)
700
Respons Spektrum
600 Tanah Sedang (Etabs)
TH.Megathrust Tanah
500
Sedang (Midas)
400 TH.Megathrust Tanah
Sedang (Etabs)
300
TH.Shallow Crustall
200 Tanah Sedang (Midas)
TH.Shallow Crustall
100 Tanah Sedang (Etabs)

0
6 8 10 12 14 16 18
Story

Grafik 5 Perbandingan Shear Story untuk tanah sedang terhadap Beban


Seismic Arah Y
Dari grafik jumlah lantai versus Vbase diatas terlihat terjadi peningkatan linear

sesuai dengan jumlah lantai hanya saja terjadi beberapa anomali yaitu untuk

analisis Time History Shallow Crustal dan Time History Megathrust dengan

ETABS terjadi lonjakan pada lantai tinggi. Hal ini menunjukan dengan

menggunakan ETABS pengaruh Time History Shallow Crustal dan Megathrust

pada gedung tinggi cukup signifikan pada Tanah Sedang dan harus diperhatikan.
B. Tanah Lunak

Struktur 16 Lantai

Grafik 6 Shear Story 16 Lantai untuk Jenis Tanah Lunak


Dari kedua grafik diatas , untuk beban gempa tanah sedang pada model 16

lantai nilai gaya geser dasar hasil analisis program ETABS lebih besar dari

Program MIDAS. Untuk Respons Spectrum , Time History Megathrust dan

Shallow Crustal masing-masing 3.193 , 1.787 dan 1.413 kali. Hal ini

menunjukan bahwa interaksi tanah-struktur dengau menggunakan program

MIDAS relatif memberikan keuntungan dalam desain struktur terhadap beban

gempa dibanding dengan menggunakan program ETABS dengan tumpuan

tetap atau dengan kata lain analisis dengan menggunakan ETABS relatif

memberikan hasil yang konservatif.

Loncatan-loncatan yang terjadi pada grafik umumnya disebabkan oleh

perubahan dimensi kolom dan dinding geser .


Struktur 12 Lantai

Grafik 7 Shear Story 12 Lantai untuk Jenis Tanah Lunak


Dari kedua grafik diatas , untuk beban gempa tanah sedang pada model 12

lantai nilai gaya geser dasar hasil analisis program ETABS lebih besar dari

Program MIDAS. Untuk Respons Spectrum , Time History Megathrust dan

Shallow Crustal masing-masing 1.872 , 2.039 dan 2.029 kali. Hal ini

menunjukan bahwa interaksi tanah-struktur dengau menggunakan program

MIDAS relatif memberikan keuntungan dalam desain struktur terhadap beban

gempa dibanding dengan menggunakan program ETABS dengan tumpuan

tetap atau dengan kata lain analisis dengan menggunakan ETABS relatif

memberikan hasil yang konservatif.

Loncatan-loncatan yang terjadi pada grafik umumnya disebabkan oleh

perubahan dimensi kolom dan dinding geser .


Struktur 8 Lantai

Grafik 8 Shear Story 8 Lantai untuk Jenis Tanah Lunak


Dari kedua grafik diatas , untuk beban gempa tanah sedang pada model 8 lantai

nilai gaya geser dasar hasil analisis program ETABS lebih besar dari Program

MIDAS. Untuk Respons Spectrum , Time History Megathrust dan Shallow

Crustal masing-masing 2.355 , 5.344 dan 4.145 kali. Hal ini menunjukan

bahwa interaksi tanah-struktur dengau menggunakan program MIDAS relatif

memberikan keuntungan dalam desain struktur terhadap beban gempa

dibanding dengan menggunakan program ETABS dengan tumpuan tetap atau

dengan kata lain analisis dengan menggunakan ETABS relatif memberikan

hasil yang konservatif.

Loncatan-loncatan yang terjadi pada grafik umumnya disebabkan oleh

perubahan dimensi kolom dan dinding geser .

Berikut ini disajikan perbandingan Base Shear dari beberapa jenis beban

seismic terhadap variasi jumlah lantai pada tanah lunak .


Vbase (Ton)
900

800 Respons Spektrum


Tanah Sedang
700 (Midas)
Respons Spektrum
600 Tanah Sedang (Etabs)

500
TH.Megathrust
Tanah Sedang
400
(Midas)
300 TH.Megathrust
Tanah Sedang (Etabs)
200
TH.Shallow Crustall
100 Tanah Sedang
(Midas)
0
6 8 10 12 14 16 18
Story

Grafik 9 Perbandingan Shear Story untuk tanah lunak terhadap Beban


Seismic Arah X

Vbase (Ton)

800

700
Respons Spektrum
Tanah Sedang (Midas)
600
Respons Spektrum
500 Tanah Sedang (Etabs)
TH.Megathrust Tanah
400 Sedang (Midas)
TH.Megathrust Tanah
300 Sedang (Etabs)
TH.Shallow Crustall
200 Tanah Sedang (Midas)
TH.Shallow Crustall
100 Tanah Sedang (Etabs)

0
6 8 10 12 14 16 18
Story

Grafik 10 Perbandingan Shear Story untuk tanah lunak terhadap Beban


Seismic Arah Y
Dari grafik jumlah lantai versus Vbase diatas terlihat terjadi peningkatan linear

sesuai dengan jumlah lantai hanya saja terjadi beberapa anomali yaitu untuk

analisis Time History Shallow Crustal dan Time History Megathrust dengan

ETABS terjadi lonjakan pada lantai tinggi. Hal ini menunjukan dengan

menggunakan ETABS pengaruh Time History Shallow Crustal dan Megathrust

pada gedung tinggi cukup signifikan pada Tanah Sedang dan harus diperhatikan.
4.7.2 Perbandingan Hasil Analisis Prilaku Pile dari Midas GTS dengan

Group v8

Hasil ouput program ETABS yang berupa reaksi pada base di input kedalam

program Group v8 untuk mengetahui prilaku pondasi akibat beban seismic.

Adapun Pile yang ditinjau dapat dilihat pada gambar dibawah ini :

Pile
Tengah

Pile Tepi
Sudut

Gambar 118 Posisi titik Pile yang ditinjau

Berikut ini disajikan contoh hasil analisis prilaku tiang pile terhadap beban

seismic baik dengan menggunakan program Midas GTS maupun dengan

program Group v8. Adapun data secara lengkap untuk masing - masing

case beban terdapat pada lampiran 4b.

Dx , Defleksi Pile arah x


Posisi Tengah Tepi S
Tiang Midas GTS Group v8 Midas GTS
Midas
GTS

Unit : m

Unit : m

Unit : m

Dy , Defleksi Pile arah y


Posisi Tengah T
Tiang
Midas GTS Group v8 Midas GTS

Unit : m

Unit : m
Unit : m

Mx , Momen Pile arah x


Posisi Tengah Tepi Su
Tiang
Midas GTS Group v8 Midas GTS

Unit : kN.m Unit: ton.m

Unit: ton.m

My , Momen Pile arah y


Posisi Tengah
Tiang Midas GTS Group v8

Unit: kN.m
Unit: ton.m
Unit: ton.m

Qx , Shear Force Pile arah x


Posisi Tengah
Tiang Midas GTS Group 8 Midas GTS

Uni

Unit : ton

Unit : kN

Qy , Shear Force Pile arah y


Posisi Tengah Tepi Sudut
Tiang Midas GTS Group v8 Midas GTS

Unit : ton

Un
Unit : kN

Dari grafik defleksi pile diatas terlihat perbedaan antara defleksi pile dari output

MIDAS GTS dengan Group v8 , dimana defleksi pile hasil ouput MIDAS terjadi

sepanjang pile sedangkan pada Group v8 hanya terjadi diujung atas pile. Hal ini
dikarenakan pada analisis dengan menggunakan MIDAS GTS , terjadi pergerakan

tanah akibat gaya gempa dan terjadi interaksi antara tanah-struktur sehingga

defleksi pile yang terjadi bersifat relatif . Sedangkan pada program Group v8 beban

gempa hanya dianggap beban horizontal sederhana.

Dengan adanya interaksi tanah-struktur akibat pergerakan tanah pada area sekitar

pile yang menyebabkan pile seolah-olah berpindah pada analisis dengan

menggunakan MIDAS GTS , sehingga menyebabkan gaya dalam seperti momen

dan geser yang akan terjadi lebih kecil dibandingkan dengan asumsi pada program

Group v8 dimana gaya dalam yang diperoleh lebih besar.

Selain dari reaksi balik dari struktur atas , gaya dalam pada struktur pile dipengaruhi

juga oleh tekanan tanah akibat gempa yang berasal dari dalam tanah. Sedangkaan

pada program Group v8 gaya dalam struktur pile hanya berasal dari reaksi struktur

atas, sehingga tidak dapat dilakukan pembandingan gaya dalam dari kedua program

tersebut secara mendetail


BAB V Kesimpulan dan Saran

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan studi dan analisisi yang telah dilakukan maka dapat diperoleh
kesimpulan sebagai berikut :

1. Dalam tesis telah dilakukan pemodelan struktur 8, 12 dan 16 lantai dengan jenis

tanah lunak dan sedang menggunakan program MIDAS GTS 2012 dan ETABS

versi 9.

2. Beban percepatan gempa mempergunakan beban Time History Megathrust dan

Shallow Crustal serta Respons Spektra untuk area Jakarta.

3. Dari hasil perbandingan analisis antara MIDAS dan ETABS menunjukkan gaya

geser dasar (base shear) hasil analisis MIDAS umunya lebih kecil dari ETABS

baik untuk tanah lunak maupun untuk tanah medium. Sedangkan gaya geser

tingkat (shear story) pada umumnya hasil MIDAS juga lebih kecil dari hasil

ETABS. Sehingga untuk kasus dalam tesisi ini, pengaruh interaksi tanah -

struktur memberikan pengaruh yang menguntungkan dalam perencanaan

struktur atas. Meskipun demikian, perlu dikaji lebih dalam untuk jenis tanah

yang sangat lunak apakah tetap memberikan hasil yang sama atau justru

sebaliknya.

4. Perbedaan eigen value antara model ETABS dan MIDAS perlu dikaji lebih

dalam, khususnya adanya elemen tanah dalam model MIDAS pada dasarnya

membuat kekakuan global relatif lebih lemah dibandingkan model struktur saja

pada ETABS. Respons struktur dalam analisis MIDAS yang lebih kecil dari

141
ETABS bisa disebabkan karena perbedaan eigen value yang diperhitungkan ke

dua model. Diperlukan kajian yang lebih mendalam dengan meninjau

perbedaan eigen value antara ke 2 model.

5. Terdapat perbedaan antara hasil analisis perilaku pile dari program MIDAS

dengan Group v8, dimana pada MIDAS pola nilai defleksi dan gaya dalam pile

bervariasi terhadap kedalaman untuk berbagai jenis kasus pembebanan dimana

nilai maksimum pada umumnya terjadi di bagian tengah pile, sedangkan pada

Group v8 defleksi dan gaya dalam berpola hampir sama dari berbagai jenis

kasus pembebanan dan memberikan nilai maksimum pada bagian top of pile.

Perbedaan pola ini dikarenakan pada MIDAS terjadi interaksi tanah-struktur

sehingga untuk defleksi pile bersifat relatif terhadap pergerakan tanah di sekitar

pile, begitu juga dengan gaya dalam cenderung bervariasi sepanjang kedalaman

pile hal ini karena akibat perubahan tekanan pada tanah di daerah sekitar pile

pada saat beban gempa diterapkan. Sedangkan pada program Group v8 reaksi

base dari ouput ETABS di aplikasikan dalam bentuk gaya yang hanya bekerja

pada ujung tiang / pilecap.

B. Saran

1. Perlu dilakukan penelitian yang lebih lanjut dengan pengujian dengan skala
lapangan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Mylonakis, G., Gazetas, G., Seismic Soil-Interaction: Beneficial or

Detrimental ?, Journal of Earthquake Engineering, Vol. 4, No. 3,p. 277-301,

Imperial College Press, 2000

2. Mao-guang Yue, Ya-yong Wang, Soil-Structure Interaction of High-rise

Building Resting on Soft Soil, EJGE, vol 13, Bund.D, 2009

3. Midas/GTS Manual Reference, Part 1 Analysis Case, 2011

4. Midas/GTS Manual Reference, Part 2 Element Formulations, 2011

5. Midas/GTS Manual Reference, Part 3 Constitutive Model, 2011

6. Midas/GTS Manual Reference, Part 4 Numerical Analysis, 2011

7. Irsyam, Masyhur; Hoedajanto, Drajat; Kertapati, Engkon K.; Boen, Teddy;

Petersen, Mark D.; Dangkua, Donny T.; Asrurifak, M. ; Usulan Revisi Peta

Hazard Kegempaan Wilayah, SEE1

8. Irsyam, Masyhur, Kuliah Dinamika Tanah dan Rekayasa Gempa 2010

9. Mylonakis, G., Gazetas, G., Nikolaou, S., Michaelides, O., The Role of Soil

on the Collapse of 18 Piers of the Hanshin Expressway in the Kobe

Earthquake, Proceeding of 12th World Conference on Earthquake

Engineering, New Zealand, Paper No. 1074, 2000

10. Chopra, A.K., Dynamics of Structures : Theory and Application to

Earthquake Engineering, Prentice Hall, Englewood Cliffs, New Jersey,

1995

11. Wolf, J.P., Dynamic Soil-Structure Interaction, Prentice Hall,Inc.,

Englewood Cliffs, New Jersey, 1985

145
12. Taranath,B.S., Reinforced Concrete Design of Tall Buildings, International

Code Council ICC – Concrete Reinforcing Steel Institute CRSI – Taylor &

Francis Group CRC Press, Boica Raton, Florida, 2010

13. Louay Khalil, Marwan Sadek, Isam Shahrour, Influence of the Soil-

Structure Interaction on the Fundamental Peroid of Buildings, Earthquake

Engineering and Structural Dynamics, 36:2445-2453,

www.intersience.wiley.com, Wiley Interscience, 2007

14. Wegner, J.L., Yao, M.M., Bhullar, S.K., Dynamic Wave Soil-Structure

Interaction Analysis of a Two Way Asymmetric Building System DSSIA-

3D, Journal of Engineering and Technology Research Vol. 1(2), pp. 026-

038, http://www.academicjournals.org/JETR, May 2009

15. Grondin, M., Advanced Simulation Tools Soil-Structure Interaction :

Damage Synthesis Project DS-3 Mid-America Earthquake Center, REU

Final Research Report, Home Institute – Michican State University,

Research Institute – University of Illinois at Urbana – Champaign, August

5, 2004

16. Reza Emami Azadi, M., Ali Akbar Soltani, The Effects of Soil-Foundation-

Structures Interaction on the Dynamic Response of Delijan Cement-Storage

Silo under Earthquake Loading,EJGE, Vol. 15, Bund. G, 2010

17. Standar Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk Struktur Bangunan Gedung

dan Non Gedung SNI 03 – 1726 - 2011, Standar Nasional Indonesia, 2011

18. Tata cara perhitungan struktur beton untuk bangunan gedung, SNI 03 –

2847 - 2011, Standar Nasional Indonesia, 2002


19. Minimum Design Loads for Buildings and Other Structures ASCE_7-10,

American Society of Civil Engineers/Structural Engineering Institute

Standard, 2010

20. International Building Code, International Code Council ICC, 2008

21. Building Code Requirements For Structural Concrete (ACI 318M-05),

American Concrete Institute, 2005

Anda mungkin juga menyukai