Anda di halaman 1dari 145

i

KATA PENGANTAR

Puji syukur disampaikan ke hadirat Allah s.w., karena atas ridha-Nya


pula penulisan buku ini dapat kami selesaikan, meskipun dalam waktu yang
relatif singkat dan kemampuan yang terbatas pula. Ucapan terima kasih ju-
ga disampaikan kepada rekan sekerja yang telah memberi dorongan dan
motovasi kepada penulis untuk menyelesaikan tugas ini. Kepada tim pelak-
sana SP-4 Jurusan Ilmu Tanah yang telah memberikan kesempatan kemada
penulis untuk berpartisipasi dalam program penulisan buku ajar, editor, pe-
nerbit, dan semua pihak yang telah membantu penulis untuk menyelesaikan
pekerjaan ini, diucapkan terima kasih.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa menulis buku ajar yang baik bu-
kanlah pekerjaan yang mudah, setidaknya perlu pengorbanan waktu dan pi-
kiran, serta kesabaran yang tinggi. Meskipun kami telah bekerja keras, ke-
kurangan yang menyangkut isi, teknik penulisan, maupun penggunaan ba-
hasa, sangat mungkin ditemukan dalam buku ini. Penggunaan bahasa asing
(Inggris) telah diusahakan sedikit mungkin, tetapi banyak istilah geomor-
fologi yang belum dapat diterjemahkan ke dalam istilah ke bahasa Indone-
sia. Oleh sebab itu, kritik dan saran dari pembaca sangat diharapkan untuk
mengurangi kekurangan tersebut di masa mendatang.
Akhirnya, semoga buku ini bermanfaat bagi pembaca, khususnya bagi
mahasiswa Jurusan Ilmu yang sedang mengambil mata kuliah Geomorfo-
logi dan Analisis Bentang Lahan.

Mataram, Desember 2005

Suwardji & Joko Priyono

Suwardji & J. Priyono


ii

DAFTAR ISI
SAMBUTAN REKTOR UNIVERSITAS MATARAM
KATA PENGANTAR PENULIS i
DAFTAR ISI iii
DAFTAR TABEL DAN GAMBAR v
TINJAUAN UMUM MATA KULIAH GEOMORFOLOGI DAN 1
ANALISIS BENTANG LAHAN
BAB 1. PENDAHULUAN 3
1.1. Definisi dan Ruang Lingkup 3
1.2. Geomorfologi dan Ilmu Tanah 4
1.3. Prinsip Dasar Geomorfologi 5
1.4. Konsep Uniformitarianisme 9
BAB 2. STRUKTUR KERAK BUMI 11
2.1. Kerak Bumi 11
2.2. Konsep Isostasi 13
2.3. Proses Pembentukan Kulit Bumi 14
2.4. Litosfir 16
2.4.1. Pembentukan dan Evolusi Pegunungan 17
2.4.2. Pengangkatan - Pelipatan (Fold) dan Sesar
(Fault) 18
BAB 3. RELIEF BUMI 25
3.1. Pengertian Relief 25
3.2. Kharakteristik Relief Permukaan Bumi 25
3.3. Bentang Lahan dengan Bentuk Relief Order II 27
BAB 4. BENTANG LAHAN 43
4.1. Proses Geomorfik Pembentukan Bentang Lahan 43
4.2. Pelapukan 45
4.2.1. Pelapukan Kimiawi 47
4.2.2. Pelapukan Fisik 49
4.2.3. Pelapukan Biologis 50
4.2.4. Faktor yang Mempengaruhi Pelapukan 51

Suwardji & J. Priyono


iii

4.3. Bentang Lahan Hasil Pelapukan 53


4.4. Longsoran Masa Batuan dan Tanah 55
BAB 5. BENTANG LAHAN FLUVIAL 63
5.1. Sistim Fluvial 63
5.2. Pembentukan dan Perkembangan Sungai 64
5.3. Pola Drainase 72
5.4. Dataran Banjir (Flood Plain) 73
5.5. Delta 74
5.6. Teras Sungai 76
5.7. Kipas Aluvial 77
BAB 6. BENTANG LAHAN DAERAH GUNUNG API 79
6.1. Proses Pembentukan Gunung Api 80
6.2. Aspek Bentang Lahan 82
6.2.1. Bentuk Gunung Api 82
6.2.2. Kaldera 86
6.3. Produk Letusan Gunung Api 87
6.4. Manfaat dan Bahaya Gunung Api 89
6.5. Morfologi Gunung Api vs Kesuburan Tanah 90
BAB 7. GEOMORFOLOGI DAERAH KARST 93
7.1. Arti Penting Bentang Lahan Karst 93
7.2. Pembentukan Karst 93
7.3. Ciri dan Sifat Bentang Lahan Karst 95
7.4. Karst di Indonesia 96
7.5. Aspek Hidrologi Daerah Karst 96
BAB 8. GEOMORFOLOGI DAERAH PANTAI 103
8.1. Pantai 103
8.2. Terumbu Karang 106
8.3. Delta 107
8.3.1. Bagian Delta 107
8.3.2. Bentuk Delta 108
8.4. Daerah Pasang Surut 108

Suwardji & J. Priyono


iv

BAB 9. KLASIFIKASI DAN ANALISIS BENTANG LAHAN 111


9.1. Konsep Dasar 111
9.2. Sistim Klasifikasi Bentang Lahan 112
9.3. Klasifikasi Bentang Lahan LREP 114
9.4. Analisis Bentang Lahan 115
BAB 10. APLIKASI GEOMORFOLOGI 127
DAFTAR PUSTAKA 129
LAMPIRAN
Biografi Penulis

Suwardji & J. Priyono


v

DAFTAR TABEL DAN GAMBAR


No. Tabel Halaman

5.1. Hubungan antaran kecepatan aliran air dan ukuran (diameter) 67


butir beban yang dapat diangkut oleh aliran sungai.
6.1. Tipe dan bentuk gunung api utama (Pidwirny, 2006) 83
9.1a. Kelompok Utama (order) pada sistim klasifikasi bentang lahan 116
LREP-II dan uraian penjelasan ciri dan sifatnya
9.1b. Pembagian kategori dalam kelompok utama (LREP-II) 117
9.1c. Pembagian lebih rinci dari sub kelompok berdasarkan unit 120
bentuk wilayah (relief) pada sistim klasifikasi bentang lahan
LREP-II

Gambar

2.1. Skema bagian lapisan kerak bumi 12


2.2. Struktur crust dan lapisan bagian atas mantle (dimodifikasi 12
Pidwirny, 2006)
2.3. Adanya penambahan es glasial di permukaan bumi menye- 13
babkan crust tertekan dan bergerak turun (A). Jika es meleleh,
tekanan isostatik kembali (normal) dan crust naik kembali ke
atas berubah ke bentuk semula (B dan C) (digambar ulang dari
Pidwirny, 2006).
2.4. Tubrukan antar lempeng daratan dan terbentuknya deret 15
perbukitan (digambar ulang dari USGS, 2006)
2.5. Plutonik yang umum dijumpai (digambar ulang dari 16
Pidwerny, 2006)
2.6. Plutonik yang umum dijumpai (digambar ulang dari 16
Pidwerny, 2006)
2.7. Konvergensi-konvergensi di lautan (digambar ulang dari 18
USGS, 2006).
2.8. Ilustrasi bagaimana tubrukan antara lempeng Eurasia dan 19
Indian membentuk pegunungan Himalaya. Tenaga tekanan
dari tubrukan antara lempeng Eurasia dengan daratan India
menyebabkan endapan dan batuan di daratan bergerak maju
dan terangkat (digambar ulang dari USGS, 2006).

Suwardji & J. Priyono


vi

2.9. Setelah tahapan orogenik, pelapukan dan erosi mulai memin- 20


dahkan material dari permukaan pegunungan yang baru ter-
bentuk. Pemindahan masa batuan tersebut menyebabkan darat-
an dimana pegunungan berada menjadi berkurang bobotnya
dan bagian ujung crust mulai mengapung lebih tinggi dalam
mantel. Tekanan balik isostatik ini menyebabkan pengangkat-
an dan tekanan ke atas karena pergerakan dari crust mengha-
silkan sesar normal dan graben (digambar ulang dari Pidwer-
ny, 2006).
2.10. Beberapa macam lipatan-angkatan (Pidwirny, 2006) 22
2.11. Beberapa macam sesar (digambar ulang dari Pitwerny, 2006) 23
3.1. Skema penampang melintang relief bumi 26
3.2. Bentuk dasar relief order II (PUSPICS-UGM, 1999) 28
3.3. Tahapan perkembangan plateau (PUSPICS-UGM, 1999) 31
3.4. Tahap perkembangan pegunungan kubah (PUSPICS-UGM, 35
1999).
3.5. Tahapan perkembangan daerah angkatan - lipatan (PUSPICS- 38
UGM, 1999)
3.6. Tahapan perkembangan pegunungan lipatan (fault mountain) 41
(PUSPICS-UGM, 1999)
4.1. Diagram proses geomorfik pembentukan bentang lahan. 43
4.2. Diagram model pembentukan dan perkembangan bentang la- 46
han (Pidwerny, 2006)
4.3. Diagram stabilitas relatif mineral silikat terhadap proses pela- 51
pukan (Goldic, 1939)
4.4. Tahap perkembangan bentang lahan pelapukan di daerah 57
beriklim kering (PUSPICS-UGM, 1999).
4.5. Kenampakan relief order II, bentang lahan destruksional oleh 58
berbagai gaya eksogen (PUSPICS-UGM, 1999)
4.6. Tahapan pelapukan dan pembentukan bentang lahan di daerah 59
tropika dan sub tropika basah (PUSPICS-UGM, 1999)
4.7. Berbagai bentang lahan yang dihasilkan oleh pelapukan di 60
daerah arid (PUSPICS-UGM, 1999)
4.8. Bekerjanya aliran air dan kecepatan aliran masa batuan 61
(PUSPICS-UGM, 1999)
4.9. Skema berbagai tipe longsoran/gerak masa batuan (PUSPICS- 62
UGM, 1999)
5.1. Berbagai macam bentuk sungai berdasarkan genetik pemben- 66
tukannya (PUSPICS-UGM, 1999).

Suwardji & J. Priyono


vii

5.2. Lubang pot pada sungai Goerge, New York dan Flunge Pool 69
di sungai Columbia sebagai tanda sungai masih dalam tahapan
muda (PUSPICS-UGM, 1999).
5.3. Proses pembentukan dataran banjir dan proses lain yang terkait 71
(Daniels dan Hammer, 1992).
5.4. Berbagai pola drainase yang umum dijumpai (Thornbury, 72
1969).
5.5. Tiga delta: arcate, estuarin, dan cakar burung (PUSPICS- 75
UGM, 1999).
5.6. Contoh delta tipe cakar burung (PUSPICS-UGM, 1999). 76
5.7. Proses pembentukan teras sungai (PUSPICS-UGM, 77
1999).
6.1. Sebaran gunung api di Indonesia (Pidwirny, 2006) 79
6.2. Ilustrasi bagaimana terjadinya letusan gunung api di tengah sa- 81
mudra. Di sebelah kiri, air dalam gelas beaker dipanaskan.
Molekul air yang panas memuai (BJ berkurang) bergerak ke
atas dan yang dingin ke bawah, dan seterusnya silih-berganti.
Hal tersebut identik dengan yang terjadi di perut bumi. Pening-
katan tekanan magma menyebabkan terjadinya terobosan mag-
ma ke permukaan litosfir (terjadi erupsi) (Pidwirny, 2006)
6.3. Kegiatan gunung api di daerah batas/pertemuan lempeng tek- 81
tonik divergen dan konvergen. Pada batas lempeng tektonik
divergen, lempeng tektonik dipisahkan (menjauh satu-sama
lain) oleh terobosan magma di tengah samudra. Hal sebaliknya
(konvergen), lempeng tektonik pecah/hancur dan satu bagian
berada di atas yang lain (subduction) (Pidwirny, 2006).
6.4. Contoh tipe gunung api scorio (a) G. Mauna Kae di Hawai, se- 84
belah kiri dan (b) G. La Poruna di Nicaragua, (c) G. Anak
Krakatau, dan (d). G. Bromo (latar belakang berasap adalah G.
Kawi).(Sumber: untuk gambar (a) dan (b) SDUS, 2006; (c)
dan (d) www.Wikipedia.org., 2006)
6.5. Contoh tipe gunung api shield (SDUS, 2006) 84
6.6. Stratifikasi pada gunung api tipe stata (SDUS, 2006) 85
6.7. Gunung Semeru – Jawa Timur (kiri) dan Rinjani – NTB (ka- 85
nan), sebagai contoh gunug api tipe strato di Indonesia
(www.Wikipedia.org. , 2006)
6.8. Kawah G. Kelut di Jawa Timur (kiri) dan G. Tambora di P. 86
Sumbawa (kanan) (Www.Wikipedia.org., 2006)
6.9. Jajaran sistim pit craters (Photo oleh Vic Camp., dimuat dalam 87
www.PhysicalGeography.net)

Suwardji & J. Priyono


viii

6.10. Jenis produk yang dihasilkan oleh letusan gunung api (Pidwir- 88
ny, 2006)
6.11. Contoh aliran lava basaltik (A dan B) dan andesitik (C dan D) 89
(Pidwirny, 2006)

Suwardji & J. Priyono


1

TINJAUAN UMUM MATA KULIAH


GEOMORFOLOGI DAN ANALISIS BENTANG LAHAN

Tujuan umum mata kuliah geomorfologi dan analisis bentang lahan


adalah untuk memberikan bekal pengetahuan kepada mahasiswa strata 1 di
Jurusan Ilmu Tanah, tentang pinsip dasar geomorfologi dan bentang lahan,
serta ketrampilan analisis bentang lahan untuk keperluan evaluasi lahan,
khususnya untuk pengembangan pertanian. Setelah selesai mengikuti kuliah
geomorfologi dan analisis bentang lahan, diharapkan mahasiswa mampu
memahami tentang konsep dasar geomorfologi serta aplikasinya pada ber-
bagai bidang, khususnya dalam bidang evaluasi sumberdaya lahan dalam
rangka pengembangan pertanian dalam arti luas.
Mempelajari geomorfologi dan analisis landscape serta aplikasinya da-
lam bidang pertanian, mirip dengan belajar menjadi seorang detektif atau
penyidik. Berdasarkan hasil rangkaian berbagai proses atau kejadian geo-
morfik yang telah berlangsung lama, yaitu berupa bentang lahan yang ada
sekarang, kemudian diinterpretasikan proses apa saja yang telah terjadi se-
hingga dihasilkan bentang lahan tersebut. Dengan mengetahui jenis proses
tersebut, maka dapat diramalkan sifat dan ciri lahan yang ada. Berkaitan de-
ngan hal tersebut, sebelum mengambil mata kuliah geomorfologi dan ana-
lisis landscape, hendaknya mahasiswa telah menguasai/lulus beberapa ma-
teri kuliah yang lain, yaitu kimia tanah, fisika tanah, konservasi tanah dan
air, morfologi dan klasifikasi tanah, agroklimatologi, agrohidrologi, dan
agrogeologi. Hal itu penting karena untuk dapat melakukan interpretasi atau
analisis bentang lahan dengan baik, pengetahuan tentang ilmu dasar tersebut
sangat diperlukan.
Dalam buku ini, penjelasan yang berkaitan dengan teori dasar geomor-
fologi disajikan dalam Bab 1 s/d 8. Bab 1 berisi uraian tentang konsep da-
sar, kerangka berpikir serta asumsi yang digunakan oleh geomorfologis.
Garis besar proses geoteknik, khususnya yang berkaitan dengan proses
pembentukan dan perkembangan bentang lahan diuraikan secara ringkas
dalam Bab 2. Dalam Bab 3 dijelaskan tentang keragaman bentuk muka

Suwardji & J. Priyono


2

bumi (relief) serta perkembangannya, dilanjutkan dengan Bab 4 yang berisi


tentang bentang lahan ditinjau dari aspek genesis bentang lahan. Bab beri-
kutnya berisi penjelasan tentang bentang lahan khusus, yaitu bentang lahan
fluvial (Bab 5), daerah gunung api (Bab 6), daerah karst (Bab 7), dan daerah
pantai (Bab 8). Aspek praktikal geomorfologi diuraikan dalam Bab 9, yaitu
tentang sistim klasifikasi dan analisis bentang lahan, dan Bab 10 berisi urai-
an singkat tentang aplikasi geomorfologi dalam berbagai bidang. Sebagai
bahan evaluasi hasil belajar mahasiswa, dalam buku ini disajikan soal latih-
an pada lampiran

Suwardji & J. Priyono


3

BAB 1
PENDAHULUAN

Tujuan Instruksional Khusus


Setelah selesai mengikuti matakuliah mengenai bab ini, mahasiswa diharapkan dapat
mejelaskan dengan tepat tentang (1) pengertian dan ruang lingkup geomorfologi dan
analisis bentang lahan ( landscape), (2) arti penting geomorfologi dalam bidang ilmu
tanah, dan (3) prinsip dasar dalam mempelajari geomorfologi dan analisis bentuk
permukaan lahan (landform)

1.1. Definisi dan Ruang Lingkup

Geomorfologi berasal dari kata “geo” yang berarti bumi dan “morphos”
yang berarti rupa atau bentuk. Dalam banyak literatur, terdapat bebeberapa
pengertian yang agak berbeda mengenai definisi geomorfologi, sehingga
cakupannya sedikit berbeda pula, seperti di sitir di bawah ini.
1. Geomorfologi dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari bentuk
permukaan bumi (Thornbury, 1969).
2. Ilmu yang mempelajari proses-proses perubahan permukaan bumi (dis-
course on the earth) (Thornbury, 1069).
3. Ilmu yang mempelajari pembentukan permukaan bumi yang ada di da-
ratan maupun di lautan (Cooke dan Doornkamp, 1978).
4. Cabang ilmu fisiografi dan geologi yang mempelajari batuan permuka-
an, yaitu mengenai (a) konfigurasi permukaan bumi, (b) perubahan
yang terjadi di pada bentuk lahan (Daniels dan Hammer, 1992).
5. Interpretasi yang alamiah tentang pembentukan dan perkembangan ben-
tuk lahan dan bumi (Thornbury, 1969).
6. Studi yang mendiskripsikan secara sistematis tentang bentuk lahan dan
proses geomorfik yang mempengaruhi pembentukannya, hubungan an-
tara bentuk lahan dengan proses geomorfik dalam dimensi ruang
(Twidale, 1975).

Suwardji & J. Priyono


4

7. Ilmu yang mempelajari bentuk lahan yang ada di permukaan bumi, baik
di bawah maupun di atas permukaan laut, dengan penekanan pada pro-
ses pembentukannya (genesa) dan prediksi perkembangan pada masa
yang akan datang dalam hubungannya dengan lingkungan (Verstappen,
1979).
Dari berbagai pengertian yang telah diungkapkan di atas dapat disarikan
bahwa geomorfologi mempelajari 4 aspek kajian penting, yaitu:
1. Morfografi, membahas pemerian (describe) aspek geomorfik (bentuk)
suatu daerah.
2. Morfometri, membicarakan aspek kuantitatif ukuran suatu daerah.
3. Morfostruktur, membahas proses dinamik endogen atau tektonisme, li-
patan, dan sesar (morfostruktur aktif), dan litologi (morfostruktur pasif),
keduanya mengenai tipe dan struktur batuan dalam kaitannya dengan
pelapukan dan erosi.
4. Morfodinamik, membahas proses dinamik eksogen (gaya dari luar bu-
mi), yaitu aktivitas angin, air, es, gerakan masa batuan dan volkanik.
Dalam buku ajar ini, geomorfologi secara sederhana didefinisikan seba-
gai cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari bentuk atau rupa permuka-
an bumi, proses pembentukan, dan karakteristik dari bentuk muka bumi ter-
sebut. Selain garis besar aspek teori, pembahasan akan lebih ditekankan pa-
da aplikasi dari geomorfologi dalam bidang pertanian, khususnya dikaitkan
dengan kegiatan evaluasi sumberdaya lahan yang didasarkan pada hubung-
an antara bentang lahan dengan sifat tanah dan potensi sumberdaya lahan,
dalam rangka pembangunan bidang pertanian dalam arti luas.

1.2. Geomorfologi dan Ilmu Tanah


Pengetahuan tentang bentuk permukaan bumi atau lahan, atau bentang
alam, sangat penting kaitannya dengan ilmu tanah. Proses geomorfik meru-
pakan faktor sangat penting yang menentukan proses pembentukan dan per-
kembangan tanah. Batas sebaran jenis tanah di lapang sering sejajar dengan
batas bentang lahan, sehingga hasil analisis suatu bentang lahan sangat

Suwardji & J. Priyono


5

membantu dalam pekerjaan survai tanah, khususnya dalam hal pembatasan


unit tanah atau lahan.
Geomorfologi mempelajari bentang lahan yang ada sekarang, dan mem-
prediksi proses geomorfik apa saja yang telah terjadi sehingga dihasilkan
bentang lahan yang ada seperti sekarang. Suatu asumsi penting bahwa seti-
ap proses geomorfik akan menghasilkan bentang lahan dengan ciri yang
unik (khas). Jadi, dengan mengetahui hasil proses tersebut, yaitu bentang la-
han yang ada sekarang, maka dapat diperkirakan proses geomorfik apa yang
telah terjadi sehingga dihasilkan bentang lahan seperti itu. Pada awal pera-
malan dan penyusunan sistimatika proses yang telah terjadi di masa lampau,
tentu saja diperlukan data dan pengetahuan lain, seperti ilmu tentang iklim,
ilmu batuan, dan proses pelapukan, serta pengalaman di lapang yang cukup
banyak.
Dalam kegiatan survai dan pemetaan tanah, analisis bentang lahan sa-
ngat penting peranannya. Hal tersebut didasarkan pada kenyataan adanya
korelasi yang erat antara satuan peta tanah (soil unit) dengan bentang lahan
dimana satuan peta tanah tersebut berada. Melalui pengenalan atau analisis
bentang lahan dengan menggunakan foto udara dan/atau citra landsat, maka
pekerjaan survai dan pemetaan tanah dapat dilakukan dengan lebih mudah
dan akurat. Ketepatan interpretasi memerlukan pengalaman dan pengetahu-
an yang cukup baik tentang proses pedogenesa (pembentukan dan perkem-
bangan) tanah serta faktor yang mempengaruhi proses tersebut. Selanjutnya,
dengan mengkombinasikan pengetahuan/hasil interpretasi bentuk lahan
melalui studi (1) konfigurasi relief (2) struktur/jenis batuan, (3) proses geo-
morfologi, dan (4) situs topografi, maka interprestasi tentang kondisi lahan
saat ini dan prediksi kondisi yang akan datang dapat dilakukan dengan baik
dan teliti.

1.3. Prinsip Dasar Geomorfologi


Untuk dapat memahami secara baik tentang geomorfologi dan
aplikasinya dalam analisis bentang lahan, maka perlu dipahami secara
baik beberapa prinsip dasar geomorfologi yang dapat digunakan

Suwardji & J. Priyono


6

sebagai acuan untuk melakukan interpretasi tersebut. Thornbury


(1969) menjelaskan 10 prinsip dasar sebagai berikut:
1. The same physical processes and laws that operate today operated throughout geo-
logic time although not necessarily always with the same intensity as now (Pro-
ses fisika dan hukum yang bekerja saat ini, sama dengan yang bekerja
pada masa lampau (dalam hitungan waktu geologis) meskipun inten-
sitasnya tidak harus sama).
Misalnya, proses erosi dan pegendapan yang terjadi di masa lampau
dan yang terjadi saat ini mengikuti aturan yang sama. Erosi terjadi ter-
utama pada bagian lereng atas – tengah yang curam dan berdampak pa-
da penipisan solum tanah, sedangkan deposisi terjadi pada bagian le-
reng bawah yang datar dan berakibat terjadinya penebalan solum tanah.
Proses lain, seperti volkanik, longsoran, dan pembenukan delta yang
terjadi di masa lampau dan yang sekarang, mengikuti aturan yang sama
pula. Pada kedua masa kejadian tersebut mungkin hasilnya berbeda da-
lam hal kuantitas yang dihasilkan per satuan waktu, karena faktor yang
mempengaruhi dan energi yang terlibat pada kejadian dalam masing-
masing masa tersebut dapat saja sangat berbeda intensitasnya.
2. Geologic structure is a dominant controlling factor in the evolution of landform
and is reflected in them (Struktur geologi merupakan faktor pengontrol
utama dalam evolusi bentang lahan, dan struktur geologi tersebut tam-
pak (ujud) dalam bentang lahan yang terbentuk).
Misalnya, daerah yang dulunya merupakan kawasan perbu-
kitan dengan struktur geologi lipatan atau patahan, maka pada
bentang lahan yang dihasilkan (yang ada pada saat ini) akan tetap
menampakan ciri bentuk struktur tersebut, meskipun telah terjadi
proses evolusi/perubahan geomorfik yang cukup intensif.
3. To a large degree the earth’s surface processes relief because the geomorphic
processes operate at different rates (Sampai batas tertentu, permukaan
bumi mempunyai relief, yaitu perbedaan tinggi rendahnya suatu tempat

Suwardji & J. Priyono


7

relatif terhadap tempat lain, karena proses geomorfik yang bekerja pada
tempat yang berbeda tersebut tidak sama intensitasnya).
3. Geomorphic processes leave their distinctive imprint upon landform and each geo-
morphic process develops its own characteristic assemblage of landform (Proses
geomorfik meninggalkan bekasnya (imprint) pada bentang lahan, dan
setiap proses geomorfik menghasilkan kharakteristik yang unik dan
menjadi penciri dari bentang lahan yang dihasilkannya).
Kita ambil contoh dua bentang lahan yang ekstrim, yaitu bentang
lahan daerah perbukitan dan dataran banjir. Erosi yang terjadi di daerah
perbukitan yang berlereng curam, menghasilkan gully erosion (alur
yang tajam dan dalam, irisan melintangnya berbentuk seperti huruf V).
Bentuk alur tersebut menunjukan telah terjadi penggerusan tanah oleh
agen erosi (air) secara vertikal yang intensif, sebagai akibat dari gerak-
an air limpasan yang cepat (energi tinggi) pada lereng yang curam. Se-
baliknya, erosi di daerah yang relatif datar (yaitu daerah dataran banjir)
menghasilkan alur yang dangkal tetapi lebar, berkelok-kelok (pola me-
ander). Karakteristik itu menunjukan telah terjadinya erosi ke arah la-
teral yang lebih dominan daripada yang ke arah vertikal. Jadi, proses
erosi di kedua bentang lahan tersebut tetap membekas pada bentang
lahan yang terbentuk melalui proses itu.
4. As the different erosional agents act upon the earth’s surface, there is produced an
orderly sequence of landform (Agen erosi yang berbeda bekerja pada permu-
kaan bumi menghasilkan bentang lahan yang tampak secara berurutan
dan teratur).
Erosi oleh air limpasan akan menghasilkan bentang lahan dimana
terjadi erosi, transportasi, dan deposisi pada posisi lereng yang teratur
(berurutan). Erosi oleh angin menghasilkan bentang lahan yang diciri-
kan oleh cekungan dan gundukan partikel debu dan pasir dengan urutan
sesuai dengan arah dan kecepatan agen erosi (angin). Kedua erosi
dengan agen erosi yang berbeda tersebut dapat saja terjadi di daerah
yang sama, jika di daerah itu pernah terjadi perubahan iklim yang eks-
trim. Bentang lahan yang terbentuk oleh hasil kerja dari kedua agen

Suwardji & J. Priyono


8

erosi itu akan tampak secara berurutan, sesuai dengan waktu kejadian
dan intensitasnya.
5. Complexity of geomorphic evolution is more common than simplicity (Evolusi
geomorfik umumnya bersifat kompleks dan jarang bersifat sederhana).
Kondisi alami permukaan bumi sebagian besar merupakan hasil
dari banyak kejadian alami yang menyebabkan terjadinya proses geo-
morfik yang berbeda pada suatu bentang lahan, baik terjadi dalam wak-
tu bersamaan maupun bergantian. Misalnya, erosi, tekanan tektonik
yang menghasilkan suatu patahan atau angkatan, gempa, dan pergeser-
an lapisan tanah, menghasilkan proses pembentukan dan perkembangan
bentang lahan yang kompleks. Proses yang kompleks itu lebih banyak
dijumpai daripada yang sederhana.
6. Little of the earth’s topography is older than tertiary and most of it is not older
than Pleistocene (Hanya sebagian kecil topografi di permukaan bumi
yang lebih tua dari masa tertier dan sebagian besar tidak lebih tua dari
masa Pleistocene).
Masa Tertiary adalah 1,6 – 65 juta tahun yang lalu sebelum masehi
(SM), sedangkan masa Pleistocene adalah sekitar 1,6 juta tahun yang
SM. Jadi, sebagian besar bentang lahan yang ada sekarang jarang yang
sangat tua, berdasarkan umur geologis.
7. Proper interpretation of present-day landscapes is impossible without full appre-
ciation of the manifold influences of the geologic and climatic changes during the
pleistocence (Interpretasi secara tepat tentang landscapes yang ada saat ini
tidak akan mungkin dilakukan tanpa pemahaman yang mendalam me-
ngenai pengaruh perubahan geologi dan iklim dalam masa pleistocene).
8. An appreciation of world climates is a necessary to a proper understanding of
varying importance difference of geomorphic processes (Pemahaman iklim glo-
bal diperlukan untuk dapat memahami keragaman penting yang terjadi
dari perbedaan proses geomorfik).
9. Geomorphology, although concern with present-day landscapes, attains its maxi-
mum usefulness by historical extension (Meskipun geomorfologi lebih

Suwardji & J. Priyono


9

memperhatikan pada bentang alam yang ada saat ini, manfaat maksi-
mum dapat diperoleh jika melalui pemahaman historis).

1.4. Konsep Uniformitarianisme


Konsep unformitarianisme dikembangkan pada tahun 1700-an. Peng-
anut konsep ini beranggapan bahwa bentang lahan berubah dan berkembang
secara lambat dan bertahap melalui berbagai proses geologis dan geomor-
fik. Salah satu contoh yang mudah kita fahami berdasarkan konsep ini ada-
lah terbentuknya profil tanah yang dalam. Proses pembentukan profil terse-
but memerlukan waktu yang lama (geologic time) melalui berbagai proses
pedogenik maupun geomorfik.
Konsep uniformitarianisme muncul dan menentang konsep lama, yaitu
konsep katastrofisme yang percaya bahwa perubahan dan perkembangan
bentang lahan terjadi melalui kekuatan luar biasa (supra natural), yaitu
beberapa kejadian/seri katastropik.
Jadi, uniformitarianisme menyarankan adanya kesamaan (uniformity),
proses yang ada (dikenal) seharusnya digunakan sebagai kerangka berpikir
untuk memahami sejarah geomorfik dan geologik dari bumi. Sekarang, se-
bagian besar teori tentang evolusi bentang lahan menggunakan konsep
uniformitarianisme untuk menjelaskan bagaimana berbagai macam bentang
lahan terbentuk dan berkembang. Konsep ini juga telah digunakan pada
disiplin lain, misalnya teori evolusi oleh Charles Darwin bahwa keaneka-
ragaman di atas bumi dapat dijelaskan dengan kesamaan modifikasi rang-
kaian genetik selama periode yang panjang.

Suwardji & J. Priyono


10

Suwardji & J. Priyono


11

BAB 2
STRUKTUR KERAK BUMI

Tujuan Instruksional Khusus


Setelah selesai mengikuti kuliah tentang bab ini, mahasiswa diharapkan dapat
menjebutkan dan menjelaskan dengan tepat tentang bagian utama kerak bumi,
beberapa teori yang digunakan dalam interpretasi proses pembentukan dan
perkembangan bentang lahan.

Dalam bab ini dibahas secara ringkas tentang beberapa aspek geologi
fisik dengan maksud agar pemahaman tentang bentang lahan atau bentang
alam lebih mudah, karena pembentukan dan perkembangan bentang lahan
sangat dipengaruhi oleh proses geofisik dan struktur geologi. Beberapa con-
toh proses geofisik dikemukakan dalam bab ini untuk menjelaskan bagai-
mana suatu proses yang berkaitan dengan evolusi bumi mempengaruhi ben-
tang lahan yang terbentuk dan berkembang.

2.1. Kerak Bumi


Bumi terdiri dari beberapa lapisan, makin ke bagian dalam mempunyai
berat jenis (BJ) padatan lapisan bumi makin besar. Lapisan yang sekarang
kita manfaatkan (pijak) adalah kulit luar bumi (crust) yang ketebalannya ±
35 km, berupa daratan (continental crust) dan dasar lautan (oceanic crust).
Bagian tersebut (crust) terletak di atas kulit bumi bagian dalam (mantle)
dengan ketebalan ± 2.900 km, dan bagian inti bumi (core) yang mempunyai
ketebalan atau jari-jari ± 3.500 km (lihat Gambar 2.1).
Lapisan kulit bumi bagian dalam (mantle) mencakup sekitar 83 % volu-
me bumi, mempunyai BJ 3,3 - 5,7 dan terdiri atas beberapa lapisan. Lapisan
mantle bagian teratas (merupakan dasar dari crust), ketebalannya sekitar
670 km, sering disebut pula sebagai lapisan SiAl (Si dan Al); sedangkan
bagian di bawahnya merupakan lapisan SiMa (Si dan Mg) yang panas dan

Suwardji & J. Priyono


12

plastis. Istilah lapisan litosfir mencakup lapisan crust + mantle bagian atas
(Gambar 2.2).
Kulit luar bumi (crust )
Kulit dalam bumi (mantle )

Inti bumi bagian luar


(outer core )
Inti bumi bagian dalam
(inner core )

Gambar 2.1. Skema bagian lapisan kerak bumi

Kulit bumi daratan Endapan


(sedimentary deposit ) Kulit bumi dasar lautan
(continental crust )
(continental crust )
Laut
10 km

Lithosfir 100 km

anthenosfir yang plastis


200 km
Kulit dalam bagian atas (upper mantle )
ke bawah sampai 670 km

Gambar 2.2. Struktur crust dan lapisan bagian atas mantle (dimodifikasi
Pidwirny, 2006).

Bahan pada inti bumi (core) terdiri dari Ni dan Fe, dapat dibagi menjadi
dua lapisan, yaitu (1) lapisan bagian luar inti bumi (outer core) yang
ketebalannya + 2.250 km, BJ + 11 dan bersifat cair, dan (2) lapisan bagian
dalam inti bumi (inner core), radiusnya + 1.220 km, berupa padatan
dengan BJ + 13.
Jika dianomalikan seperti medium cair dan terdapat benda yang BJ-nya
lebih kecil (yaitu daratan), maka bagian kulit (daratan) yang tipis tersebut
seolah-olah terapung di atas bagian bumi yang berat (mantle). Karena

Suwardji & J. Priyono


13

tipisnya lapisan kerak bumi bagian luar yang sedang kita pijak ini, jika
terjadi gerakan di bagian dalam bumi (mantle), maka bagian yang tipis
tersebut akan mudah terpengaruh dan mengalami perubahan bentuk. Feno-
mena seperti inilah yang menyebabkan terbentuknya beraneka-ragam ben-
tang lahan yang dapat kita saksikan sekarang.

2.2. Konsep Isostasi


Salah satu hal menarik dari sifat daratan (continental crust) dan dasar
samudra (oceanic crust) bahwa kedua piringan tektonik (tectonic plates) itu
mempunyai kemampuan bergerak naik dan turun. Fenomena ini disebut
isostasi, dan sifat itu dapat digunakan untuk menjelaskan suatu fenomena
baru tentang makin meningkatnya dasar dan permukaan air laut di beberapa
tempat (Kanada bagian utara dan Skandinavia) seperti diilustrasikan dalam
Gambar 2.3.
Es Glasial
A).
Crust

B).
Crust

C).
Crust

Gambar 2.3. Adanya penambahan es glasial di permukaan bumi menyebab-


kan crust tertekan dan bergerak turun (A). Jika es meleleh, tekanan isostatik
kembali (normal) dan crust naik kembali ke atas berubah ke bentuk semula
(B dan C) (digambar ulang dari Pidwirny, 2006).

Suwardji & J. Priyono


14

Berdasarkan konsep isostasi, suatu benua atau daratan (mempunyai BJ


ringan) yang muncul ke permukaan akan lebih banyak daripada yang teng-
gelam. Hal itu dapat diartikan pula bahwa jika banyak terjadi erosi, maka
pada bagian tererosi itu akan mempunyai tekanan ke bawah makin
mengecil, sehingga terangkat oleh gerakan isostasi crust, akibatnya makin
banyak tonjolan di permukaan bumi. Lebih lanjut, daerah yang tererosi akan
banyak mengalami perubahan bentuk permukaannya. Sebaliknya, daerah
pengendapan akan makin tenggelam dan rata.

2.3. Proses Pembentukan Kulit Bumi


Lapisan kulit luar bumi (crust) terdiri atas dua tipe dasar, yaitu kulit
luar daratan (continental crust) dan kulit luar di dasar laut (oceanic crust).
Kulit luar bagian daratan (continental crust) terutama terdiri atas batuan
granitik dengan ketebalan bervariasi 10 – 70 km dengan BJ agak ringan,
yaitu 2,7 cm3/g. Di bawah lautan dijumpai crust dengan ketebalan rata-rata
+ 7 km, terutama terdiri atas batuan basalt dan BJ-nya + 3 cm3/g.
Kulit luar bagian daratan dapat terdiri dari batuan sangat tua, yaitu 3 – 4
juta tahun yang lalu, sedangkan batuan pada dasar samudra relatif lebih
muda. Adanya keragaman umur, BJ, dan komposisi kimia pada lapisan da-
ratan maupun lautan menandakan bahwa deposit itu terbentuk melalui
beberapa kali proses geologik yang berbeda-beda.
Semua lapisan daratan mempunyai bahan dasar yang sama, yaitu cam-
puran endapan batuan sangat tua granit, gneiss, schist, dan batuan volkanik.
Bahan dasar itu sering disebut sebagai shield atau batuan pondasi/landasan
(basement rock). Batuan yang ditemukan pada shield terbentuk selama epoh
pre-kambium, dan sebagian merupakan batuan yang berumur lebih tua (se-
belum pre-kambium). Lapisan shield umumnya ditutupi oleh endapan yang
lebih muda. Batuan endapan itu merupakan bagian interior bentuk dataran
(flatforms) benua. Lapisan batuan flatforms yang tertua berada di dasar laut-
an, berumur sekitar 600 juta tahun. Flatforms bersama shield membentuk
apa yang disebut oleh ahli geologi sebagai ‘craton’, dan sebagian besar
‘craton’ secara tektonik telah stabil, atau hanya mengalami sedikit

Suwardji & J. Priyono


15

deformasi selama ratusan juta tahun. Craton di sekitar pinggiran benua


merupakan batas benua (continental margins), terutama terdiri dari batuan
endapan. Endapan itu mulanya berada di dasar samudra. Karena penghan-
curan secara tektonik dan penyusupan lempengan bumi, maka terjadi pem-
bongkaran endapan tersebut pada craton di pinggiran benua. Dalam
beberapa kasus, proses tersebut dimodifikasi oleh tekanan tektonik, sesar/
geseran (folding), dan lipatan (faulting), menghasilkan deretan perbukitan
seperti diilustrasikan pada Gambar 2.4.

Perbukitan
Dataran tinggi

Crust daratan
Crust daratan
Litosfir Litosfir

Astenosfir Dasar samudra


konvergensi antar daratan
Gambar 2.4. Tubrukan antar lempeng daratan dan terbentuknya deret
perbukitan (digambar ulang dari USGS, 2006)

Bahan crust juga dapat dihasilkan melalui aktivitas intrusif dan extrusif
(plutonik) batuan beku, seperti diilustrasi pada Gambar 2.5. Berbeda dengan
crust daratan yang secara aktif terbentuk dari berbagai aktivitas gunung api
di tengah samudra (Gambar 2.6). Bahan letusan gunung api (magma) yang
terjadi di tengah samudra menyebar merata dan menjauh dari pusat letusan.
Karena proses tersebut, dapat ditemukan batuan yang berumur makin tua ke
arah menjauh dari zone letusan. Jika crust samudra bertemu dengan crust
daratan, maka crust samudra akan masuk ke bagian bawah crust daratan,
karena BJ crust daratan lebih tinggi daripada crust samudra.

Suwardji & J. Priyono


16

Gambar 2.5. Plutonik yang umum dijumpai (digambar ulang dari


Pidwerny, 2006).

Gambar 2.6. Tumbukan crust samudra dengan crust daratan (digambar


ulang dari USGS, 2006).

2.4. Litosfir
Litosfir adalah bagian dari kerak bumi yang posisinya antara dasar crust
dengan bagian atas mantle, di atas bagian mantle yang plastis; ketebalannya
sekitar 100 m. Gerakan oleh gaya tektonik, atau perubahan geologik yang
terjadi di litosfir, sangat penting kaitannya dengan proses pembentukan ben-
tang lahan pegunungan dan munculnya bentuk lipatan/angkatan (fold) dan

Suwardji & J. Priyono


17

sesar (fault). Dalam sub bab ini akan dibahas bentang lahan pada ketiga
struktur geologi tersebut.

2.4.1. Pembentukan dan Evolusi Pegunungan


Pegunungan dapat didefinisikan sebagai suatu areal yang secara jelas
berada pada pisisi lebih tinggi daripada daerah di sekitarnya. Suatu deret
pegunungan (mountain range) merupakan suatu deretan banyak gunung/
bukit yang saling berdekatan. Beberapa deret pegunungan itu dapat berada
berdekatan dan berjajar secara parallel yang disebut mountain belts.
Ada beberapa pengunungan yang mulanya terbentuk secara volkanik,
dimana magna menerobus ke luar ke permukaan bumi. Pegunungan volka-
nik umumnya menyebar secara sporadis dalam kisaran suatu deret pegu-
nungan, atau dapat terpisah-pisah karena lokalisasi titik kegiatan volkanik
(hot spots). Sebagian besar pegunungan terbentuk oleh kekuatan tektonik
melalui pengangkatan kulit bumi, lipatan, dan sesar/geseran blok batuan.
Pegunungan tektonik dapat terjadi dalam deret tunggal atau rangkaian bebe-
rapa deret pegunungan (mountain belt).
Para ahli geologi telah mengembangkan suatu model umum untuk
menjelaskan bagaimana pegunungan itu terbentuk. Model tersebut membagi
proses pembentukan pegunungan menjadi tiga tahapan, yaitu (1) akumulasi
endapan, (2) periode orogenik dari pengrusakan (deformation) batuan dan
pengangkatan crust, dan (3) periode pengangkatan crust oleh tekanan balik
isostatik (isostatic rebound) dan sesar dari suatu blok (block-faulting). Dua
tahapan terakhir meliputi konvergensi (pertemuan/tubrukan) lempengan
tektonik crust yang menghasilkan himpitan dan tekanan yang menyebabkan
terjadinya proses pengrusakan (deformasi) batuan, lipatan, dan sesar (lihat
Gambar 2.7).
Mountain belts biasanya terdiri atas beberapa lapisan endapan dan batu-
an beku volkanik. Akumulasi tersebut dapat mencapai ketebalan beberapa
kilometer. Sebagian besar dari akumulasi itu berasal dari hasil pengendapan
di lautan. Hamparan (beds) dari batuan endapan terdiri atas partikel yang
berasal dari longsoran daratan (terrestrial landmasses) di sekitarnya. Perti-

Suwardji & J. Priyono


18

kel tersebut terlepaskan dari masa batuan melaui proses pelapukan, kemudi-
an dipindahkan oleh proses erosi ke tepian daratan (lihat Gambar 2.8 dan
2.9). Di ujung daratan, endapan tersebut dapat membentuk batuan berlapis
(shale), batu kapur, dan batu pasir. Akumulasi batuan volkanik terbentuk di
sepanjang batas konvergensi, dimana penetrasi (subdution) lempeng tekto-
nik menyebabkan magma tertekan dan nenerobos keluar membentuk pluton
(titik volkanik/sumber magma) dan gunung api. Gunung api yang terbentuk
biasanya berjajar, disebut deretan pulau volkanik (island arc). Batuan
volkanik juga dapat berubah menjadi endapan batu pasir (sandstone).

Gambar 2.7. Konvergensi-konvergensi di lautan (digambar ulang dari


USGS, 2006).

Dalam tahap orogenik pada pembentukan pegunungan, akumulasi en-


dapan dihancurkan oleh tekanan akibat terjadinya tubrukan lempeng tekto-
nik. Konvergensi (pertemuan/tubrukan) tektonik dapat dibagi menjadi tiga
tipe: (1) antar deretan pulau volkanik (island arc), (2) samudra dengan da-
ratan, dan (3) daratan dengan daratan. Pada konvergensi lautan – daratan
(tubrukan antara lempeng samudra dengan lempeng daratan) menyebabkan
endapan marin terbawa dan mengumpul di pinggir daratan. Konvergensi
‘arc – continental‘(deret pulau kecil dengan daratan) terjadi jika deretan
pulau (island – arc) bertubrukan dengan pinggir lempeng daratan.

Suwardji & J. Priyono


19

Dalam konvergensi ini, lempeng samudra yang berada di antara deretan


pulau kecil (arc) dan daratan, menerobos masuk ke astenosfir, dan batuan
volkanik serta endapan bergabung dengan island arc membentuk garis ba-
tas laut - daratan. Konvergensi ‘daratan – daratan’ terjadi ketika dasar sa-
mudra berdekatan dan dua lempeng daratan bertubrukan. Tipe konvergensi
ini yang bertanggung jawab terhadap proses pembentukan pegunungan Hi-
malaya (Gambar 2.8 – 2.9).

Crust samudra
SEBELUM TUBRUKAN kuno
Ujung lempeng India

Lempeng
Eurasia
Lempeng India
umur 2,5 juta tahun
Titik kontrol/ref

SESUDAH TUBRUKAN
Pengangkatan Himalaya
Pengangkatan Lempeng Tibet

Titik kontrol/ref

Lempeng India

Gambar 2.8. Ilustrasi bagaimana tubrukan antara lempeng Eurasia dan


Indian membentuk pegunungan Himalaya. Tenaga tekanan dari tubrukan
antara lempeng Eurasia dengan daratan India menyebabkan endapan dan
batuan di daratan bergerak maju dan terangkat (digambar ulang dari
USGS, 2006).

Dalam tiga tipe konvergensi tektonik di atas, lapisan batuan di dasar


samudra terjepit dan luasannya berkurang. Konvergensi ini menyebabkan
hamparan endapan terangkat (folded and uplifted). Ketiga tenaga tekanan
menjadi lebih besar dari kemampuan batuan untuk bertahan, maka terjadi
sesar (faulting). Tenaga tekanan secara khas menghasilkan sesar berbalik

Suwardji & J. Priyono


20

Deret Perbukitan
(belt) Crust Daratan

A. Tahap akhir Orogenik


Mantle

Erosi permukaan
dan sesar blok

B. Tahap pengaktanan
Mantel isostatik dan sesar blok
Pengangkatan isostatik

Gambar 2.9. Setelah tahapan orogenik, pelapukan dan erosi mulai memin-
dahkan material dari permukaan pegunungan yang baru terbentuk. Pemin-
dahan masa batuan tersebut menyebabkan daratan dimana pegunungan
berada menjadi berkurang bobotnya dan bagian ujung crust mulai menga-
pung lebih tinggi dalam mantel. Tekanan balik isostatik ini menyebabkan
pengangkatan dan tekanan ke atas karena pergerakan dari crust mengahsil-
kan sesar normal dan graben (digambar ulang dari Pidwerny, 2006).

(reverse and overthrust faulting). Konsekuensi lain dari tahapan orogenik


adalah metamorfisme regional dan munculnya letupan magma (magma
plumes), plutons, dan gunung api dalam perkembangan deret pegunungan.
Pada akhir konvergensi lempeng tektonik, pembentukan pegunungan me-
masuki tahapan terakhir. Tahapan ini dicirikan oleh pengangkatan kulit
bumi (crust) karena terjadinya gaya isostatik balik dan sesar blok. Gaya
isostatik balik mengakibatkan pergerakan daratan yang melayang di atas
mantle yang plastis secara vertikal. Karena erosi memindahkan bahan dari
pegunungan, bobot kulit bumi di daerah itu secara bertahap berkurang, ke-
mudian lapisan daratan melakukan penyesuaian secara isostatik sehingga
mengapung (floating) dan bergerak vertical dalam mantle. Proses itu juga
menyebabkan tenaga tekanan ke luar pada arah horizontal sehingga mema-
tahkan daratan (continental crust) menjadi sejumlah blok. Setiap blok

Suwardji & J. Priyono


21

bergerak vertical untuk mengimbangi tenaga tekanan, sehingga dihasilkan


sesar normal dan graben.

2.4.2. Pengangkatan - Pelipatan (Fold) dan Sesar (Fault)


Proses perombakan (deformation) kulit bumi yang diakibatkan oleh te-
kanan yang cukup kuat, mampu memindahkan endapan samudra ke keting-
gi ribuan meter di atas permukaan laut. Perubahan tempat/posisi ini dapat
disebabkan oleh gerakan lempeng tektonik melalui penyusupan/penetrasi ke
dalam bumi (subduction), aktivitas volkanik, dan intrusi batuan beku.
Perombakan batuan meliputi perubahan bentuk dan/atau volume. Per-
ubahan bentuk dan ukuran tejadi jika besarnya tekanan dan tegangan dapat
menyebabkan batuan pecah atau melengkung. Pengangkatan (fold) dapat
didefiniskan sebagi melengkungnya batuan sebagai respon terhadap energi
tekanan. Fold pada batuan akan tampak jelas jika batuan tersebut berlapis-
lapis. Perubahan pada batuan plastis dapat terjadi dalam kondisi yang me-
menuhi syarat utuk proses tersebut, meliputi:
1). Bahan batuan itu harus mampu berubah oleh tertekan dan panas.
2). Makin tinggi temperaturnya, maka batuan itu makin plastis.
3). Tekanan tidak melebihi kekuatan/stabilitas internal dari batuan. Jika
melebihi, maka batuan akan pecah.
4). Perombakan itu harus terjadi secara lambat/bertahap.
Banyak bentuk fold telah dikenal dan diklasifikasikan oleh ahli geologi.
Tipe fold yang paling sederhana adalah monoklin (monoclinic fold) (Gam-
bar 2.10). Struktur itu meliputi lengkungan ke arah lain dari lapisan batuan
yang paralel.
Terdapat beberapa macam sesar (fault), dan masing-masing diberi nama
sesuai dengan tekanan yang berkerja pada batuan dan gerakan alami blok
batuan relatif terhadap bidang sesar (fault plane). Sesar normal terjadi bila-
mana energi tekanan bekerja berlawanan arah dan menyebabkan satu ba-
gian batuan bergeser ke atas dan yang lain bergeser ke bawah (Gambar
2.11- a). Sesar berbalik (reverse fault) terbentuk karena adanya tekanan ke
luar, menyebabkan satu blok bergeser ke atas dan berada di atas blok

Suwardji & J. Priyono


22

a. Lipatan-angkatan antiklin

b. Lipatan-angkatan sinklin

c. Lipatan-angkatan dua antiklin

d. Lipatan-angkatan recumbent

Gambar 2.10. Beberapa macam bentuk lipatan-angkatan (Pidwerny, 2006)

Suwardji & J. Priyono


23

a. Sesar normal

b. Sesar graben

c. Horst fault

Gambar 2.11. Beberapa macam sesar (digambar ulang dari Pitwerny, 2006)

yang lain (Gambar 2.11- b). Horst fault terbentuk dari dua reverse fault
yang me-nyebabkan suatu blok batuan tedorong ke atas (Gambar 2.11- c).
Tipe utama dari sesar adalah sesar lurus atau sesar transform, yaitu sesar
yang secara alami tampak tegak, dihasilkan oleh tekanan paralel.

Suwardji & J. Priyono


24

Suwardji & J. Priyono


25

BAB III
RELIEF BUMI

Tujuan Instruksional Khusus


Setelah selesai mengikuti kuliah untuk bab ini, mahasiswa diharapkan dapat
menjelaskan dengan tepat tentang pengetian relief, kejadian dan proses
perkembangannya, serta hubugnannya dengan bentang lahan

3.1. Pengertian Relief


Relief bumi adalah bentuk ketidak-aturan secara vertikal (tinggi-ren-
dahnya tempat atau kawasan dari permukaan litosfir), baik dalam ukuran
besar maupun kecil. Pengertian relief sering tumpang-tindih dengan pe-
ngertian topografi, fisiografi, dan bentang lahan. Topografi berkaitan de-
ngan aspek kemiringan permukaan bumi, sedangkan pengertian fisiografi
lebih menekankan aspek sifat dan ciri hamparan terutama ditinjau dari segi
kelerengan. Bentang lahan adalah bentuk permukaan bumi yang di dalam-
nya antara lain termasuk aspek relief, topografi, struktur dan formasi geo-
logi, jenis tanah dan sebarannya.
Konsep dasar pembentukan dan perkembangan relief bumi dikemuka-
kan semula oleh Davis. Dia mengenalkan struktur, proses, dan tahapan
(stages) dalam menjelaskan suatu kejadian yang ada di permukaan bumi
yang menghasilkan relief bumi. Terjadinya relief bumi berkaitan dengan
proses erosi oleh angin, aliran sungai, glacial, dan gelombang, menghasil-
kan berbagai bentuk di permukaan bumi. Tahapan yang terjadi merupakan
derajat proses tersebut yang telah terjadi dalam kurun waktu tertentu di
suatu daerah.

3.2. Karakteristik Relief Permukaan Bumi


Relief permukaan bumi akan lebih mudah dipahami jika seluruh air, es,
salju dan vegetasi yang ada di muka bumi dibuang lebih dahulu. Jika hal

Suwardji & J. Priyono


26

tersebut terjadi, maka akan terdapat tiga kelompok besar atau order relief di
permukaan bumi, yaitu:
1) Relief order I: benua dengan paparan dan cekungan samudra
2) Relief order II: pegunungan, dataran tinggi, dan dataran rendah.
3) Relief order III: perbukitan, lembah, ngarai.

1). Relief Order I


Yang termasuk dalam relief order I adalah kelima benua (Asia,
Afrika, Australia, Eropa, Amerika), samudra besar (Atlantik, Pasifik,
India). Paparan merupakan bagian dari benua yang ditutupi laut, me-
rupakan daerah dangkal (< 200 m di bawah permukaan laut). Batas
antara benua/ daratan dan cekungan samudra umumnya miring tajam,
disebut lereng benua (continental slope). Contohnya antara lain lereng
benua di bagian Yucatan, Newfoundland, Amerika Timur, Peru, Cali-
fornia, Jepang, Asia Tenggara. Beberapa contoh pararan antara lain ada-
lah paparan Sunda dan Sahul.

Pegunungan tepi benua tepi “continental


platform”
dataran laut
“interior plateau pantai epikontinental
plain
lereng paparan
benua palung

Gambar 3.1. Skema penampang melintang relief bumi

Permukaan benua umumnya tak teratur dengan kondisi ketidak-ter-


aturannya melebihi dasar Samudra. Diastrofisme, volkanisme, dan erosi
telah dan sedang mengubah bentuk permukaannya. Puncak daratan ter-
tinggi ialah Mt. Everest (± 8880 m).

Suwardji & J. Priyono


27

Cekungan samudra merupakan bagian cekung dari muka bumi, dan


yang paling dalam adalah sekitar 4000 m di bawah permukaan laut. Di
banyak tempat, pada batas antara benua dan cekungan samudra, terda-
pat palung yang dalam sekali dan berbentuk sempit memanjang. Bebe-
rapa palung antara lain Palung Filipina (11.000 m), Guam (10.500 m),
Samoa (10.000 m), Jepang (9.000 m), Alenten (8.000 m), Porto Rico
(9.500 m), dan palung Jawa (7.000 m).
Terjadinya relief orde I itu dapat dijelaskan dengan beberapa hipo-
tesa dan teori: Planetesimal Hypothesis, Liquid Earth Theory, Conti-
nental Drift Hypothesis, dan Plate Tectonic Theory. Teori tersebut telah
banyak dibahas secara khusus dalam referensi geoteknik, dan kurang
tepat untuk dibahas dalam buku ini.
2). Relief Order II
Yang tergolong dalam relief order II adalah bagian dari benua
(daratan) dan cekungan samudra, beberapa deretan pegunungan besar,
plateau (dataran tinggi), dan dataran rendah (plain) yang luas. Secara
garis besar, bentang lahan dasar/utama relief order II meliputi: dataran
dan plateau, pegunungan lipatan, pegunungan patahan/sesar, pegunung-
an dome, gunung api dan pegunungan campuran. Bentang lahan utama
dasar relief order II tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.2, dan secara
rinci dijelaskan dalam sub bab 3.3.
3). Relief Order III
Relief order III terdiri dari bentang lahan yang relatif kecil, seperti
bukit, lembah, pegunungan, cekungan danau, gunung api, dan kipas
aluvium.

3.3. Bentang Lahan dengan Bentuk Relief Order II


Berbagai aspek penting geomorfologi yang terjadi pada masing-masing
bentuk dasar relief order II perlu dipahami. Di bawah ini dijelaskan menge-
nai aspek geomorfologi pada relief order II yang akan banyak digunakan
dalam pekerjaan analisa bentang lahan.

Suwardji & J. Priyono


28

Dataran rendah dan tinggi

Kubah (dome) pegunungan sebelum tererosi

Blok pegunungan sebelum tererosi

Pegunungan lipatan sebelum tererosi

Kompleks pegunungan yang telah banyak tererosi

Volkanik dan bentuk lahan yang berkaitan dengan volkanik

Gambar 3.2. Bentuk dasar relief order II (PUSPICS-UGM, 1999)

Suwardji & J. Priyono


29

A. Dataran Rendah dan Dataran Tinggi (plain dan plateau)


Dataran rendah dan dataran tinggi adalah daratan dengan struktur
horizontal, berada pada tempat yang rendah (untuk dataraan rendah)
atau pada tempat yang tinggi (untuk dataran tinggi). Dataran tinggi
mempunyai relief dengan lembah yang dalam, sedangkan dataran
rendah mempunyai relief dengan lembah relatif dangkal. Banyak datar-
an rendah yang termasuk jenis bentuk konstruksional, misalnya dataran
pantai, interior plains (dataran antar bukit dan lembah), dataran danau,
dataran lava, dan dataran endapan glacial. Yang termasuk dalam ben-
tukan destruksional antara lain adalah dataran delta, dataran banjir
(flood plain), dan dataran residu-tererosi (outwash).
Pada kondisi alami, banyak dataran tinggi dan dataran rendah yang
terganggu dan patah karena terjadinya sesar. Studi mengenai plateau
dan plain menyangkut pula sifat kikisan yang dikendalikan oleh struk-
tur lapisan, jenis batuan, dan struktur geologi.
Dataran rendah dapat digolongkan menjadi 6 jenis, yaitu:
1) Dataran pantai (coastal plain) yang terbentuk oleh pengangkatan
dasar laut.
2) Interior plains, mirip dengan dataran pantai tetapi terbentuk dan
terletak sangat jauh ke tengah laut.
3) Dataran danau (lake plain), terbentuk oleh munculnya dasar danau
karena pengeringan danau.
4) Dataran lava (lava plain) dan pateau lava (lava plateau), terbentuk
oleh aliran lava encer.
5) Dataran endapan glasial (till plains), terdiri dari endapan glasial
(till) yang menutupi topografi yang tidak rata.
6) Dataran aluvial (aluvial plain), terbentuk dari endapan aluvial, dari
kipas aluvial di kaki pegunungan hingga jauh ke dataran banjir dan
pantai.
Dataran lain, misalnya dataran delta, dataran banjir, dan outwash
plains, terbentuk oleh proses destruksional, dan bersama dengan pene-
plane akan dibahas dalam Bab 5 (Bentang lahan Fluvial dan Sungai).

Suwardji & J. Priyono


30

Batuan yang membentuk dataran rendah pada umumnya lepas


(terurai) dan terkadang keras. Kerakal, pasir, lempung, dan napal meru-
pakan batuan yang lazim sebagai pembentuk dataran rendah.
Memperhatikan proses pembentukannya, dataran aluvial umumnya
mempunyai bahan yang terdiri dari pasir, kerikil, debu, serta lempung
(clay) yang mempunyai posisi dan ketebalan yang berbeda-beda yang
sangat dipengaruhi oleh besarnya tenaga transportasi. Bahan pada
dataran danau umumnya berupa lempung yang berlapis-lapis tipis. Ma-
terial penyusun interior plains lebih banyak terdiri dari sedimen lem-
pung (clay) dan batu gamping (chalk) berlapis-lapis dan keras, sedang-
kan kandungan bahan pasir dan konglomerat biasanya sedikit atau
jarang dijumpai.
Ditinjau dari umur relatifnya, suatu dataran dapat digolongkan
menjadi dua, yaitu:
(1). Dataran muda
Dataran ini mempunyai lapisan mendatar dan terletak jauh dari
laut. Biasanya masih ditemui beberapa sungai karena permukaan
aslinya masih ada. Pada dataran muda biasanya tidak dijumpai ja-
lur topografi seperti pada dataran pantai. Batuan yang dominan
umumnya terdiri dari batu gamping, serpih, dan batu pasir. Karena
kondisi kemiringan lerengnya yang relatif kecil, maka sering dite-
mukan danau dangkal. Sungai yang ada biasanya berpola meander.
(2). Dataran rendah dewasa.
Dataran ini biasanya mempunyai bentuk fisiografi berbukit
sampai bergelombang dan landai dengan lapisan tetap horizontal,
biasanya dialiri oleh banyak sungai dengan relief dangkal. Pola
drainasenya biasanya dendritik dengan dominasi batuan masif, mi-
salnya batu pasir dan batu gamping. Dapat juga terjadi pola
drainase rektangular atau menyudut oleh karena adanya sesar dan
struktur topografinya kasar. Pada daerah dengan batuan lunak,
misalnya lempung dan serpih, sungai mengalir ke semua arah dan
bertektur halus.

Suwardji & J. Priyono


31

Plateau seharusnya merupakan dataran tinggi dengan lapisan


horizontal. Tetapi dalam pengertian awam tidaklah demikian. Seba-
gai contoh, plateau Guiana terdiri dari batuan dan bentuk permu-
kaan/bentang lahan yang kompleks. Plateau Piedmond dan Lauren-
sia di AS terdiri dari batuan kristalin yang terganggu dan kompleks.
Sketsa representasi perkembangan plateau dapat dilihat pada Gam-
bar 3.3.

Sangat Muda

Muda

Dewasa

Tua

Gambar 3.3. Tahapan perkembangan plateau (PUSPICS-UGM,


1999)

Suwardji & J. Priyono


32

Plateau muda merupakan daerah dengan lapisan horizontal dan


di beberapa tempat sudah mulai terkikis intensif oleh aliran sungai
dan erosi air lainnya. Plateau muda mempunyai relief yang besar
dan hal itu yang membedakannya dengan dataran rendah. Daerah
plateau biasanya berada pada tempat yang tinggi, lebih tinggi di-
bandingkan dengan daerah sekitarnya, dibatasi oleh gawir tebing,
atau lebih mudah dikenali dari pegunungan yang ada di sebelahnya.
Pada daerah ringkai (arid) atau daerah semi-ringkai (semiarid) pada
lembah plateau berbentuk canyon. Biasanya bentuk ini terjadi dan
terdiri dari singkapan yang didominasi oleh batuan keras. Pada tem-
pat yang mempunyai batuan lunak, lembahnya biasanya lebih lan-
dai dan panjang.
Daerah hulu pada lembah di daerah plateau beriklim gurun bia-
sanya tidak berbentuk tajam atau runcing seperti pada daerah lem-
bab. Perbedaan itu disbabkan oleh perbedaan proses pembentuk-
annya. Lembah di daerah arid terbentuk oleh proses pelapukan/
desintegrasi mekanis, bukan oleh proses erosi yang menyebabkan
pengkisan yang biasanya terjadi pada daerah beriklim tropis/lem-
bab. Karena adanya banyak kekar vertikal, maka canyon yang ter-
jadi di daerah gurun biasanya berbentuk vertikal dan berbelok me-
nyudut.
Plateau dewasa, kenampakannya secara umum seperti halnya
pegunungan biasa dengan bukit, lembah, aliran sungai, dan seba-
gainya. Bukti bahwa daerah seperti itu merupakan dataran (tinggi)
hanya dapat dikenali dari kedudukan lapisan batuannya yang hori-
zontal. Hal lain yang bisa dijadikan pedoman adalah adanya kecen-
derungan bahwa puncak bukitnya sebagian besar berada pada ke-
tinggian yang hampir sama. Hal itu merupakan bukti hasil destruk-
sional tenaga eksogen dari plateu. Plateau dewasa di daerah lembah
umumnya menunjukan adanya perbukitan dengan bentuk membulat
dan puncaknya hampir datar. Tebingnya sering berundak-undak ka-

Suwardji & J. Priyono


33

rena pengikisan melingkar bukit, terpilah oleh adanya lapisan keras


dan lunak. Tebing terjal sering berhutan atau ditumbuhi oleh belu-
kar yang lebat.
Pada daerah arid, puncak bukit sering tajam dengan tebing
terjal. Plateau yang terdiri dari batuan keras sering bertekstur kasar,
dimana jarak antar alur sungai berjauhan, puncak bukitnyanya datar
dan lebar. Sebaliknya, plateau yang terdiri atas batuan lunak cen-
derung bertekstur halus dengan jarak antar sungai berdekatan, dan
punggungnya sempit, menghasilkan suatu topografi yang disebut
bedlands.
Pada plateau yang terdiri dari batuan keras dan berkekar, sering
dijumpai sungai/lembah berpola tegak lurus atau jajaran genjang
satu-sama lain (rectanggle). Lembah tersebut dapat sempit dan da-
lam, punggungannya merupakan blok-blok terpisah satu sama lain
oleh lembah lurus dan sempit, disebut rock city.
Plateau tua umumnya merupakan daerah dataran yang luas,
terbentuk oleh pengikisan dengan lapisan horizontal dan disebut
peneplane. Bukit sisa erosi yang juga berstruktur horizontal disebut
mesa, tingginya dapat mencapai 150 - 200 m. Dimensi yang lebih
kecil dinamakan butte, dan jika berbentuk lebih sempit dan tinggi
seperti pilar disebut pinnacles atau needles. Karena proses peng-
angkatan, sebuah plateau yang tua dapat mengalami peremajaan
(rejuvenation) dengan ciri adanya meander tua dan telah mengalami
beberapa kali perubahan arah aliran (incised meander), teras yang
lebar di kiri dan kanan lembah sebagai hasil peremajaan yang
disebut esplanade atau benches.
Plateau lava, terdiri dari banyak lapisan aliran lava, umumnya
lava basalt yang mulanya encer mengalir berurutan sesuai dengan
waktu kejadiannya. Sering berselingan dengan abu gunung api, lava
terlapuk, endapan danau dan sungai. Banyak lava berpori dengan
selingan endapan kedap air, sehingga sering dijumpai air tanah atau
mata air. Lembah sungai di daerah ini sering terjal atau berbentuk

Suwardji & J. Priyono


34

undak-undak, karena kerasnya lava dan adanya sesar. Mata air pa-
nas, sesar, dan kerucut gunung api, dapat pula berasosiasi dengan
plateau lava.
Plateau tersesarkan atau plateau terganggu (broken or wraped
plateau) adalah plateau yang kebanyakan mengalami gangguan
oleh sesar, lipatan, atau bahkan berubah dan terintrusi. Beberapa
contoh plateau antara lain plateau Colorado dan plateau Missouri
(AS), beberapa pateau dari pegunungan selatan Jawa, plateau Su-
kodana (Lampung).

B. Pegunungan Kubah (dome)


Pegunungan kubah dapat diartikan sebagai struktur dari suatu dae-
rah yang luas dengan sifat lipatan regional dengan sudut kemiringan
yang kecil. Ukurannya bervariasi, dari sekitar satu hingga ratusan kilo-
meter. Ada beberapa sebab terjadinya kubah, antara lain oleh intrusi
garam (diapir), intrusi lakolit, dan intrusi batuan beku (batolit). Istilah
kubah dan cekungan selanjutnya akan beralih menurut struktur dan
bentuknya sebagai antiklinal pada daerah pegunungan lipatan. Repre-
sentasi perkembangan pegunungan kubah (dome) dari tahapan muda
sampai tua dapat dilihat pada Gambar 3.4.
Tahapan Muda. Dalam tahapan ini, pegunungan kubah ditandai de-
ngan sungai-sungai ‘konsekuen’ dengan pola radial. Alur sungai masih
dangkal dan bentuk kubah masih utuh. Selanjutnya, pengikisan dimulai
di bagian puncak dengan membentuk banyak alur erosi. Beberapa su-
ngai konsekuen mengikis ke hulu dan memusat di puncak kubah, se-
hingga puncak kubah menjadi teriris melalui celah (windgap). Lapisan
lunak lebih mudah terkikis daripada yang keras. Gawir/tebing yang ter-
bentuk sering berupa undak-undak (strata) yang memperlihatkan lapis-
an keras dan lunak. Terkadang inti kubah yang keras tampak di dasar
cekungan erosi kubah.

Suwardji & J. Priyono


35

Tahapan Dewasa. Pengikisan di puncak makin meluas dan dalam.


Beberapa undak-undak gawir terbentuk sesuai dengan banyaknya lapis-
an yang resistant. Demikian pula akan lebih banyak terbentuk windgap.

Kondisi awal

Muda

Dewasa

Tua

Gambar 3.4. Tahap perkembangan pegunungan kubah (PUSPICS-UGM,


1999).

Suwardji & J. Priyono


36

Sungai ‘subskuen’ bergabung dengan sungai ‘konsekuen’ yang me-


manjang, karena pengikisan ke hulu oleh sungai subsekuen memanjang
mengikuti sebaran lapisan lunak, membentuk pola angular. Punggung-
punggung yang dibentuk oleh lapisan miring disebut hogbacks, lereng
terjalnya menghadap ke tengah kubah, kecuali kalau sudut kemiringan
lapisan itu lebih dari 45o. Pada lereng itu mengalir sungai ‘obsekuen’.
Sungai resekuen mengalir searah dengan lereng landai hogback. Ba-
nyak windgap yang memutuskan hogback.
Tahapan Tua. Bentuk akhir dari pengikisan kubah akan membentuk
peneplane. Kubah besar dan tinggi dihasilkan oleh intrusi batolit,
sedangkan yang lebih kecil dihasilkan oleh instrusi lakolit, bahkan sill
dapat dihasilkan oleh intrusi garam (diapir), termasuk diapir lempung.
Antiklinal pendek yang menunjukkan penunjaman di kiri-kanannya
cenderung berbentuk kubah.
Hogback dapat terbentuk melalui beberapa kejadian, antara lain
antiklin, sesar, dan intrusi kubah. Terdapat beberapa jenis hogbacks
sbb:
1). Flations, merupakan hogbacks yang terletak terdekat dengan inti ku-
bah yang keras (batuan kristalin). Hogback ini tidak terpisahkan
dari inti kubah oleh adanya aliran subsekuen, tetapi terbelah oleh
lembah aliran konsekuen. Ujung atas umumnya runcing dan ben-
tuknya seperti permukaan datar pada setrika (flat iron).
2). Hogbacks dan Cuestas, berbentuk punggung lebar yang miring ke
arah lapisan dan tebing terjal yang miring ke arah berlawanan de-
ngan arah kemiringan lapisan. Jika kemiringan punggungan melan-
dai, sesuai dengan kemiringan lapisan, disebut cuestas. Batas sudut
kemiringan punggung yang membedakan hogback dan cuesta tidak
tegas, tetapi umumnya 15o (Thornburry, 1969).
3). Plateau upland, lapisan sedimen di bagian atas kubah, horizontal.
4). Faulting hogbacks, terbentuk akibat adanya sesar normal pada lapis-
an sedimen horizontal membentuk apa yang disebut ‘drag’. Suatu

Suwardji & J. Priyono


37

drag lain yang dibentuk oleh sesar dapat naik membentuk hog-
backs.
5). Igneous hogbacks, terbentuk oleh lapisan sill atau lensa batuan beku
di sekitar lakoklit. Batuan tersebut yang menerobos lapisan batuan
sedimen yang lunak, dan setelah pengikisan dapat membentuk hog-
backs.
6). Burried hogbacks, merupakan bukit hogbacks yang terpisah satu
sama lain oleh adanya endapan aluvial yang tebal dan extensif di
sekitarnya.

Aspek geografi kubah. Inti kubah yang terdiri dari batuan kristalin
sering dimanfaatkan sebagai sumber logam. Penambangan garam sering
dijumpai pada kubah garam. Jika tidak berpotensi akan mineral, inti
kubah yang bertekstur kasar sering merupakan daerah hutan, sekaligus
merupakan daerah tadah hujan. Bagian berlereng terjal dari hogbacks
sebaiknya dihutankan untuk mencegah longsor dan untuk tujuan kon-
servasi air.
Daerah luar dari kubah, karena adanya perulangan lapisan keras dan
lunak sering, merupakan perangkap air artesis atau minyak bumi.

C. Pegunungan Angkatan-Lipatan (folded mountaints)


Istilah pegunungan angkatan-lipatan (folded mountains) digunakan
untuk suatu jenis pegunungan dengan struktur lipatan yang relatif seder-
hana. Daerah pegunungan dengan lipatan yang rumit, misalnya pegu-
nungan Alpina, disebut pegunungan kompleks (mountain complex).
Representasi perkembangan pegunungan lipatan dari tahapan muda
sampai tua dapat dilihat pada Gambar 3.5.
Tahapan Muda, bila erosi berlanjut maka pengikisan sungai lateral
dapat menajam ke hulu dan juga memanjang ke puncak antikilin. Ha-
silnya adalah sungai subsekuen di puncak antikilin, dan puncak anti-
kilin dapat terklikis lebih dalam lagi.

Suwardji & J. Priyono


38

Awal

Muda

Dewasa

Tua

Gambar 3.5. Tahapan perkembangan daerah angkatan-lipatan (PUSPICS-


UGM, 1999)

Suwardji & J. Priyono


39

Tahapan Dewasa. Pengikisan di puncak antiklin dapat berlanjut,


melebar dan dalam di sepanjang antiklin, dan akhirnya terbentuk lem-
bah antiklin. Kenampakan morfologi geologi sekitarnya menjadi ter-
balik (inverted relief). Hal sebaliknya dapat terjadi bahwa yang semula
merupakan cekungan sinklin menjadi bukit sinklin (sinclinal ridge). Hal
tersebut tidak harus demikian, dapat saja terbentuk bukit antikilin (anti-
clinal ridges), dan lembah sinklin (sinclinal ridges). Bukit yang terben-
tuk oleh lapisan yang miring searah disebut bukit monokilin (mono-
clinal ridges).
Pola aliran sungai yang lazim adalah trelis, terdiri dari sungai sub-
sekuen, reskuen, dan obsekuen. Pada daerah pegunungan lipatan de-
ngan lipatan memanjang, kenampakan morfologi sering ditandai oleh
pola pegunungan yang berbentuk zig-zag. Jika bentuk lipatannya seder-
hana, dapat dijumpai pegunungan berbentuk cerutu. Arah penunjaman
ditujunjukan oleh belokan pegunungan yang meruncing.
Pada daerah lipatan kuat, sesar sungkup, dan sebagainya, setelah
berlangsung erosi terkadang terdapat bukit yang merupakan sisa erosi
dan memperlihatkan lapisan inti dari sesar sungkup, dan bukit tersebut
disebut outlier. Erosi pada punggung bukit dapat pula membentuk ce-
kungan. Pada dasar cekungan lapisan yang lebih muda, cekungan terse-
but dinamkan window atau fonster.
Tahapan Tua. Daerah pegunungan lipatan oleh pengikisan menjadi
peneplane dan sungai mengalir di dataran tersebut seolah tanpa mengin-
dahkan adanya lapisan lunak ataupun keras. Lapisan tipis endapan alu-
vial dapat menutupi peneplane. Peremnajaan. Setelah terbentuk pene-
plane maka terjadi proses pengangkatan kembali. Sungai-sungai akan
menyayat lebih dalam lagi, meninggalkan puncak-puncak yang lebih
rata. Wingaps jauh di tinggal di atas puncak pegunungan, sementara
sungainya menyayat lebih dalam lagi.
Aspek geografi pegunungan lipatan. Daerah ini umumnya me-
rupakan bukit terjal dengan lembah yang panjang, adanya pengulangan
antara lembah lebar dan sempit akibat perbedaan kekerasan batuan;

Suwardji & J. Priyono


40

adanya gawir/tebing terjal dan pegunungan landai pada hogbacks atau


homoclinal ridges. Bentuk tersebut sangat mempengaruhi perencanaan
pembangunan jalan raya, trowongan, dan potensi pembangunan ben-
dungan dan waduk untuk berbagai tujuan.
Daerah pegunungan lipatan yang terdiri dari batuan sedimen sering
pula mengandung nilai ekonomis seperti batu gamping, lempung, pasir
kwarsa, gipsum dan sebagainya, yang dapat dimanfaatkan untuk berba-
gai industri mineral, misalnya industri semen, gelas, dan kapur. Jika
mengandung batubara tentunya akan berpotensi untuk sumber energi.
Bahkan, tidak jarang mengandung potensi minyak dan gas bumi jika
batuannnya merupakan batuan induk yang memenuhi syarat untuk men-
jadi perangkap minyak (oil traps). Jika mempunyai batuan trobosan,
misalnya batolit, sering pula daerah pegunungan itu diperkaya dengan
mineral logam.

D. Pegunungan Patahan (faulted mountains)


Pegunungan ini merupakan hasil deformasi dengan sesar, atau se-
sar sebagai struktur utama. Yang menjadi masalah adalah pengenalan
sesar dari kenampakan morfologi biasanya agak sulit dilakukan.
Perkembangan pegunungan patahan dari tahap muda sampai tahap tua
dapat dilihat pada Gambar 3.6.
Tahapan Muda. Pada tahapan ini, pegunungan patahan memperli-
hatkan gawir-gawir terjal yang memisahkan antara satu blok pegunung-
an dengan blok yang lain, atau antara blok pegunungan dan blok lem-
bah. Bidang gawir umumnya berbentuk tajam dan relartif rata, belum
tersayat/terpisahkan oleh lembah. Bentuk blok cenderung asimetri, dan
punggung blok cenderung lebih landai dari permukaan gawir, atau bah-
kan rata seperti pada plateau. Bentuk blok dapat persegi, berundak/
strata, atau membagi/terbelah, tergantung pada pola dasar terbentuknya
pegunungan patahan.

Suwardji & J. Priyono


41

Muda

Dewasa

Tua
Gambar 3.6. Tahapan perkembangan pegunungan lipatan (fault mountain)
(PUSPICS-UGM, 1999)

Suwardji & J. Priyono


42

Tahapan Dewasa. Proses pendewasaan menyebabkan adanya pe-


ngikisan pada bagian muka atau punggung blok. Beberapa kondisi
kemungkinan dapat terjadi:
1) Bagian muka dari blok lebih terjal daripada bagian punggung, tetapi
garis pemisah aliran drainase cenderung dikikis ke arah belakang
(berbalik).
2) Garis dasar sesar cenderung lurus.
3) Adanya triangular facets, merupakan sisa-sisa bidang sesar setelah
terkikis oleh beberapa lembah. Karena pengikisan yang intensif,
makin lama triangular facets makin menipis dan akhirnya hilang.
4) Adanya dataran aluvial yang luas di permukaan bidang blok dengan
kipas aluvial sebagai transisi. Kipas aluvial terletak berjajar dalam
garis lurus sepanjang kaki bagian depan dan blok.
5) Teras baru pada kaki bidang bagian depan blok dapat terbentuk
oleh terjadinya sesar yang baru.
6) Mata air, khususnya mata air panas, sering terdapat pada kaki bi-
dang bagian depan (muka).
7) Danau, blok basin lakes, dapat terbentuk di depresi di antara muka
blok, atau antara punggung dan blok yang lain.
Tahapan Tua. Karena proses pengikisan lebih lanjut, daerah pegu-
nungan patahan menjadi lebih datar dan kehilangan bentuk asimetrinya.
Terkadang muka dan punggungnya menjadi sama landai, atau muka
blok mundur jauh ke punggung, jika dibandingkan dengan bidang sesar
semula. Daerah aluvial sangat luas, dan yang terletak di antara dua ja-
jaran bukit sisa pegunungan blok disebut bolson plains.
Bagian daerah yang rendah dan mendatar (kipas aluvial) biasanya
dimanfaatkan atau dihuni penduduk, karena subur dan banyak air. Kota
banyak tumbuh di dataran yang dekat dengan mulut lembah. Daerah
tersebut dapat berpotensi mineral dapat dijumpai sedimen bermineral
logam.

Suwardji & J. Priyono


43

BAB 4

BENTANG LAHAN

Tujuan Instruksional Khusus


Setelah selesai mengikuti matakuliah bab ini, mahasiswa diharapkan dapat
menjelaskan dengan tepat beberapa model pembentukan dan perkembangan
bentang lahan yang mencakup pengertian proses geomorfik, pelapukan (degradasi,
agradasi), proses dan faktor yang mempengaruhi pelapukan, dan bentang lahan
pelapukan; proses gerakan masa tanah dan batuan.

4.1. Proses Geomorfik Pembentukan Bentang Lahan


Proses geomorfik adalah semua proses perubahan, baik secara fisik
maupun kimia, yang mengakibatkan terjadinya modifikasi susunan dan
bentuk permukaan bumi. Proses tersebut terjadi karena adanya energi atau
medium proses geomorfik, yaitu semua medium alami yang mampu meru-
sak, merubah, mengangkut, dan mengendapkan material bumi. Hubungan
antara sumber energi dengan sifat proses geomorfik dapat diilustrasikan
dalam diagram berikut (Gambar 4.1).

Degradasi
Eksogen
Agradasi

Volkanisme
PROSES
Endogen
GEOMORFIK
Diastropisma

Ektraterestrial
Gambar 4.1. Diagram proses geomorfik pembentukan bentang lahan.

Suwardji & J. Priyono


44

Proses geomorfik yang melibatkan tenaga eksogen dapat menghasilkan


penurunan permuka bumi (gradasi) dan pengangkatan permuka bumi
(agradasi). Dalam aplikasi konsep geomorfologi, misalnya hubungan antara
bentang lahan dengan kualitas lahan pertanian, gradasi dan agradasi ma-
sing-masing dapat mencakup penurunan (gradasi) dan peningkatan (agra-
dasi) kualitas maupun kuantitas lahan tersebut.
Gradasi dan agradasi merupakan suatu pasangan dari dua sifat hasil
proses geomorfik yang berlawan dan tak dapat dipisahkan. Terjadinya pro-
ses gradasi di suatu lokasi, diikuti atau sebagai akibat terjadinya agradasi di
tempat lain. Contoh sederhana dari hubungan itu adalah terjadinya proses
erosi (gradasi) di bagian lereng atas yang curam akan menghasilkan bahan
yang diendapkan (agradasi) di lereng bagian bawah yang lebih datar.
Proses gradasi dapat dibagi menjadi tiga, yaitu pelapukan (weathering),
longsoran masa (masswasting), dan erosi (erosion). Ketiga proses tersebut
sangat penting kaitannya dengan perkembangan bentang lahan dan tanah
(pedo-genesis), dan masing-masing akan di bahas dalam sub bab berikut.
Berdasarkan kharakteristik proses pembentukannya, bentang lahan
dapat dikelompokan menjadi 4 tipe sebagai berikut:
1). Bentang lahan struktural, yaitu bentang lahan yang terbentuk oleh ge-
rakan bumi secara massif (besar dan hebat) akibat adanya gaya tektonik
(tenaga endogen) lepeng bumi. Model ini meliputi bentang lahan de-
ngan beberapa bentuk geomorfik khusus, misalnya pegunungan lipatan
(fold mountain), lembah curam (rift valley), dan kawasan volkanik.
2). Bentang lahan pelapukan, yaitu bentang lahan yang terbentuk oleh hasil
pelapukan batuan secara fisik/dan kimia. Pelapukan menyisakan dan
menghasilkan bentang lahan dimana batuan dan sedimen terombak (de-
composed) dan tercerai-berai (disintegrated). Bentang lahan semacam
ini meliputi beberapa bentuk geomorfik, misalnya karst, lahan ber-pola
tertentu, dan profil tanah.
3). Bentang lahan erosional, yaitu bentang lahan yang terbentuk oleh erosi
air, angin, glasier, dan gravitasi pada material bumi. Model ini meliputi

Suwardji & J. Priyono


45

bentang lahan dengan beberapa bentuk geomorfik, misalnya lembah su-


ngai, lembah glacial, dan jajaran pantai (coastal cliffs).
4). Bentang lahan pengendapan, yaitu bentang lahan yang terbentuk dari
proses pengendapan bahan terlapuk dan tererosi. Kadang-kadang bahan
endapan itu dapat terpadatkan oleh adanya proses tekanan, panas, dan
kimia menjadi batuan beku (sedimentary rocks). Bentang lahan ini
meliputi beberapa bentuk geomorfik pantai, delta, dataran banjir, dan
endapan glacial.
Banyak bentang lahan yang terbentuk melalui beberapa proses tersebut
di atas dan dihasilkan bentang lahan poligenetik. Proses yang bekerja pada
suatu bentang lahan dapat berubah/berganti berdasarkan waktu, dan meru-
pakan hasil dari beberapa siklus perkembangan. Proses semacam itu disebut
perkembangan bentang lahan polisiklik. Model perkembangan bentang
lahan yang menjelaskan proses geomorfik dengan tipe bentang lahan yang
dihasilkan diilustrasikan dalam diagram (Gambar 4.2). Proses pembentukan
dan perkembangan bentang lahan struktural telah banyak dibahas dalam
Bab 3, dan beberapa bentang lahan khusus akan dibahas dalam Bab 5 – 7.

4.2. Pelapukan

Pelapukan adalah proses pemecahan, penghancuran, dan pengikisan ba-


tuan dan mineral di atau dekat permukaan bumi, menjadi suatu produk yang
lebih seimbang/stabil di lingkungan itu. Sebagian besar batuan dan mineral
terbentuk di kedalaman kulit bumi (crust) dimana tekanan dan temperatur-
nya sangat berbeda (lebih tinggi) dibanding di permukaan bumi. Kondisi
fisik dan kimia secara alami dari bahan yang terbentuk di bagian dalam bu-
mi itu akan bersifat labil apabila berada di permukaan bumi. Oleh karena
itu, batuan tersebut mudah terlapuk melalui proses pengikisan, erosi, mau-
pun proses kimiawi di permukaan bumi.

Suwardji & J. Priyono


46

Magma
Bentang
Proses tektonik lahan
struktural
Pengerasan

Batuan

Perombakan
Pelapukan batuan (fisik, Bentang
kimia, biologi) lahan
l k
Pecahan/debris

Pengikisan, Bentang
Bahan endapan pengangkutan oleh lahan
dari erosi agen erosi erosional

Muatan bahan
endapan

Bentang
Pengendapan Pengendapan oleh lahan
air, angin, es pengendap-

Gambar 4.2. Diagram model pembentukan dan perkembangan bentang la-


han (Pidwerny, 2006)

Pelapukan merupakan tahap awal dari berbagai proses geomorfik dan


biogeokimia. Hasil dari pelapukan merupakan sumber utama dari erosi dan
deposisi. Dalam kontek geomorfologi, pelapukan merupakan permulaan
terjadinya proses gerakan masa batuan dan erosi, penyebab utama terjadi-

Suwardji & J. Priyono


47

nya penurunan kualitas maupun kuantitas batuan/material bumi (degradasi).


Banyak tipe batuan endapan terdiri atas partikel yang telah terlapukan, ke-
mudian tererosi dan terendapkan sementara di dasar laut. Pelapukan juga
menyebabkan terbentuknya tanah yang terdiri atas partikel pasir, debu, dan
clay. Unsur dan senyawa yang terlarut dari batuan dan mineral oleh proses
pelapukan menjadi stok unsur hara untuk tanaman. Salinitas air laut adalah
hasil dari pelepasan garam dari batuan dan mineral di daratan. Pelindihan
dan aliran permukaan (run off) mengangkut ion tersebut dari daratan ke
laut, dan akhirnya terakumulasi dalam air laut. Jadi, pelapukan adalah pro-
ses sangat penting dan berpengaruh terhadap banyak aspek di hidrosfir, li-
tosfir, dan biosfir.
Tiga akibat utama hasil dari proses pelapukan adalah (1) kehilangan
atom atau senyawa tertentu dari permukaan terlapuk, (2) penambahan atom
atau senyawa tertentu pada permukaan terlapuk, dan (3) pecahan masa batu-
an yang tidak berubah komposisi kimianya. Residu dari proses pelapukan
itu dapat terdiri atas bahan yang terkikis secara kimiawi atau tampak masih
utuh. Mineral yang tak mudah terlapuk/stabil yang paling umum dite-
mukan dipermukaan bumi adalah kuarsa. Banyak bahan terkikis secara ki-
miawi menjadi senyawa sangat sederhana atau ion. Bahan semacam itu mu-
dah terlarut atau terangkut oleh air, terlepas ke atmosfir dalam bentuk gas,
atau diserap tanaman sebagai unsur hara. Beberapa produk pelapukan mine-
ral kurang resisten, yaitu mineral alumino-silikat, dapat berubah menjadi
partikel clay. Bahan terlapuk lainnya dapat berubah menjadi batuan atau
mineral lain melalui proses sedimentasi atau metamorfik.

4.2.1. Pelapukan Kimiawi


Pelapukan kimiawi meliputi pengikisan (alterasi) komposisi kimia dan
mineralogi batuan. Berbagai proses yang berbeda dapat terlibat dalam suatu
tahapan pelapukan kimiawi. Proses pelapukan kimiawi yang paling umum
adalah hidrolisis, oksidasi dan reduksi, hidrasi, karbonasi, dan pelarutan.

Suwardji & J. Priyono


48

• Hidrasi adalah reaksi pelapukan yang terjadi ketika permukaan bahan


bertemu dengan air, dan terjadi reaksi antara mineral dengan ion H+ dan
OH- dari molekuk air, menghasilkan permukaan mineral/batuan yang
terlapuk dengan terbentuknya senyawa baru, meningkatnya pH larutan
melalui pelepasan ion OH-. Hidrolisis efektif terutama dalam proses pe-
lapukan mineral silikat dan alumino-silikat karena muatan listrik
dipermu-kaan mineral tersebut.
• Oksidasi adalah reaksi antara suatu bahan dengan oksigen. Hasil akhir
dari reaksi ini adalah pelepasan satu atau lebih elektron dari senyawa
tersebut, dan dapat menyebabkan berkurangnya stabiltias bahan/mineral
tersebut. Oksida yang paling umum adalah senyawa besi dan alumini-
um, dan masing-masing berwarna merah dan kuning (umumnya dijum-
pai di daerah tropis dengan temperatur dan curah hujan tinggi). Reduk-
si adalah kebalikan dari oksidasi, yaitu penambahan satu atau lebih
elektron pada suatu senyawa.
• Hidrasi adalah pengikatan ion H+ dan OH- oleh suatu senyawa/mineral.
Dalam banyak hal, H+ dan OH- menyadi bagian dari struktur kristal mi-
neral. Hidrasi juga dapat mempercepat reaksi pelapukan lainnya dengan
terjadinya pengembangan struktur kristal yang menyebabkan mening-
katnya luas permukaan reaktif senyawa padatan/mineral terhidrasi.
• Karbonasi adalah reaksi ion karbonat (CO3-2) dan bikarbonat (H2CO2-)
dengan mineral. Karbonasi terutama terjadi jika lingkungan dimana ter-
jadinya reaksi itu banyak terdapat karbon dioksida. Pembentukan asam
karbonat (CO2 + H2O ⇋ H2CO3) menghasilkan agen pelapuk alami (ya-
itu larutan asam lemah) yang sangat penting. .
• Pelarutan, yaitu proses pelepasan berbagai senyawa atau ion pada per-
mukaan batuan/mineral oleh air sehingga larut dalam air itu.

Faktor terpenting yang mempengaruhi kecepatan seluruh jenis pelapuk-


an kimiawi secara alami tersebut adalah iklim, terutama kelembaban dan
temperatur. Kedua anasir iklim tersebut berperan sebagai pendorong (kata-
lisator) proses pelapukan kimia. Hasil banyak penelitian menunjukan bahwa

Suwardji & J. Priyono


49

laju pelapukan kimiawi di daerah tropis (temperatur dan kelembaban tinggi)


dapat mencapai 2 – 3 kali lebih tinggi daripada laju pelapukan di daerah se-
dang (temperate).

4.2.2. Pelapukan Fisik


Pelapukan fisik meliputi proses pemecahan dan penghancuran mineral
secara mekanik oleh berbagai sebab. Sebagian energi pelapuk itu berasal
dari dalam mineral atau batuan, sebagian lain dari luar (ekternal). Kedua te-
kanan energi (stresses) itu menghasilkan tegangan dan menghancurkan ba-
tuan. Proses yang dapat dikategorikan sebagai penghancuran mekanik ada-
lah abrasi, kristalisasi, isolasi termal, pembasahan-pengeringan, dan pele-
pasan tekanan (pressure release).
Abrasi terjadi jika beberapa tenaga perusak menyebabkan dua permu-
kaan batuan saling bergesekan atau melindas. Penghancuran antar permuka-
an batuan biasanya terjadi pada proses penghanyutan bahan tererosi oleh
angin, air, atau es.
Kristalisasi dapat menyebabkan timbulnya tenaga tekanan yang dapat
menghancurkan batuan atau mineral itu sendiri secara mekanik. Pertumbuh-
an kristal menyebabkan tekanan sebagai akibat dari perubahan fisik (phys-
ical state) suatu senyawa, dibarengi dengan perubahan temperatur. Per-
ubahan dari cair menjadi kristal/padatan (misalnya es dan garam) mengha-
silkan perubahan volume dan dapat menyebabkan penghancuran secara me-
kanik.
Penghancuran fisik yang disebabkan oleh isolasi termal adalah akibat
ketidak-mampuan/kelemahan secara fisik dari batuan sebagai penghantar
panas. Kelemahan itu (sifat isolatif) menyebabkan tingkat pemuaian di per-
mukaan batuan/mineral lebih tinggi daripada di bagian dalam batuan/mine-
ral itu. Perbedaan pemuaian itu juga dapat disebabkan oleh perbedaan war-
na partikel penyusun batuan. Butiran mineral bewarna gelap dapat menye-
rap panas lebih banyak sehingga memuai lebih intensif daripada mineral
berwarna terang yang lebih banyak memantulkan cahaya atau panas. Jadi,

Suwardji & J. Priyono


50

pelapukan fisik pada batuan yang tersusun atas berwarna-warni butiran da-
pat terjadi dengan kecepatan dan arah yang berbeda-beda pada batas batuan
itu, sehingga menimbulkan ketidak-stabilan batuan tersebut.
Pembasahan-pengeringan batuan dapat menyebabkan pecahnya batu-
an. Proses itu berkaitan dengan jumlah molekul air yang berada di ruang an-
tara pertikel penyusun bongkah batuan/mineral. Meningkatnya ketebalan la-
pisan molekul air menimbulkan tekanan yang makin besar. Proses itu dapat
dipercepat apabila terjadi pula pelarutan natrium sulfat dalam batuan itu.
Sebagian besar batuan beku terbentuk di bawah permukaan bumi de-
ngan tekanan dan temperatur lebih tinggi daripada di permukaan bumi. Ka-
rena terjadinya erosi di lapisan atas kulit bumi, batuan tersebut dapat mun-
cul di permukaan bumi yang tekanan udaranya lebih rendah daripada di ba-
gian dalam bumi. Penurunan tekanan itu dapat menyebabkan pecahnya ba-
tuan ke arah horizontal. Intensitas penghacuran tersebut makin tinggi de-
ngan makin dekatnya batuan ke permukaan bumi.

4.2.3. Pelapukan Biologis


Pelapukan biologis meliputi disintegrasi batuan/mineral karena aktivitas
organisme (termasuk bakteri, tanaman, binatang), baik secara kimiawi mau-
pun fisik. Proses pelapukan oleh organisme secara fisik misalnya penghan-
curan partikel batuan oleh binatang, pemindahan partikel dan pembuatan
sarang binatang, serta pertumbuhan akar tanaman dalam rongga antar par-
tikel batuan. Proses pelapukan biologis melalui proses kimiawi (biokimia)
antara lain pelarutan yang dipercepat oleh produksi karbon dioksida (CO2)
yang dihasilkan dari respirasi (CO2 bercampur dengan air menghasilkan
asam karbonat); pengkelatan oleh eksudat yang dikeluarkan akar tanaman.
Aktivitas organisme dapat mempengaruhi pH larutan melalui proses pem-
bentukan asam karbonat. Tanaman tingkat rendah (lumut, jamur) yang
tumbuh di permukaan batuan dapat mengekstrak unsur hara langsung dari
batuan, menyebabkan batuan menjadi rapuh dan mudah hancur.

Suwardji & J. Priyono


51

4.2.4. Faktor yang Mempengaruhi Pelapukan


Faktor penting yang mempengaruhi pelapukan batuan adalah: (1) jenis
(komposisi mineral, tektur, dan struktur) batuan, (2) kondisi iklim dan cua-
ca, terutama yang berhubungan dengan kondisi kering dan lembab, dingin
dan panas, serta variasi faktor tersebut sepanjang tahun, (3) keberadaan
tumbuhan dan organisme lain, (4) posisi dan kemiringan lereng, kaitannya
dengan pengaruhnya terhadap intensitas penyinaran matahari dan curah
hujan yang menentukan kuantitas aliran permukaan dan infiltrasi.
1). Jenis batuan
Batuan beku umumnya terdiri atas mineral-mineral yang terbentuk
pada suhu tinggi, mempunyai stabilitas terhadap pelapukan yang lebih
rendah dibandingkan dengan mineral yang terbentuk pada suhu rendah.
Sebagai contoh, batuan yang didominasi oleh mineral olivin lebih mu-
dah lapuk daripada batuan yang didominasi oleh mineral amfibol (lihat
skema pada Gambar 4.3). Batuan beku yang berbutir lebih kasar cende-
rung lebih mudah meng-alami disintegrasi daripada batuan beku yang
berbutir halus. Batuan yang berpori banyak (porus) dan yang retak-
retak, akan lebih cepat melapuk daripada batuan yang padat dan kom-
pak. Sebagai contoh, batuan tufa andesit lebih mudah lapuk daripada
batuan dari lava andesit. Batuan yang telah hancur karena sesar (ukuran
partikel lebih kecil dan retak) lebih mudah lapuk daripada batuan yang
segar. Contoh stabilitas mineral berdasarkan pelapukannya menurut
Goldich (1939) menggambarkan urutan pelapukan mineral silikat dari
yang mudah sampai yang sukar lapuk seperti disitir dalam Gambar 4.3.
2). Iklim
Faktor iklim penting yang berpengaruh terhadap pelapukan adalah
peubah iklim yang menyebabkan kondisi lembab-kering, panas-dingin,
dan lebat-tidaknya vegetasi yang tumbuh (iklim mikro), dan sebagai-
nya. Pada iklim gurun, udara kering dengan perbedaan suhu maksimum
dan minimum (amplitudo suhu harian) yang besar, menyebabkan disin-
tegrasi mekanik, dan merupakan proses pelapukan yangdominan pada
daerah gurun. Pelapukan yang terjadi pada kondisi semacam ini

Suwardji & J. Priyono


52

Labil
Olivin

Augit Plagioklas-Ca
Plagioklas-Ca-K
Hornblende Plagioklas-k, Ca
Plagioklas-k
Biotit

Felspat Alkali
Muskovit
Stabil Kwarsa

Gambar 4.3. Diagram stabilitas relatif mineral silikat terhadap proses


pelapukan (Goldic, 1938)

menyebabkan hancurnya batuan menjadi bongkahan yang lebih kecil


sampai ukuran pasir atau debu. Pada pada kondisi yang kontras, yaitu
iklim tropis yang lembab dan hangat, akan mengakibatkan proses pela-
pukan fisik-kimia yang intensif. Banyaknya air, vegetasi dan populasi
organisme tanah, serta tingginya suhu udara, menyebabkan proses pela-
pukan kimiawi yang cepat. Di daerah beriklim dingin, proses pelapukan
lambat karena reaksi kimia berjalan lambat pada suhu dingin. Namun,
di sisi lain proses pembekuan air menjadi es dalam rongga batuan dapat
memecah batuan oleh daya kristalisasi es itu.
3). Aspek lereng.
Aspek lereng suatu hamparan sangat berpengaruh terhadap pela-
pukan. Pada hamparan yang datar, penyinaran matahari dapat tegak lu-
rus pada permukaan batuan dan lama, sehingga dihasilkan jumlah ener-
gi panas yang lebih tinggi dibandingkan pada hamparan yang miring.
Oleh sebab itu, kondisi medan yang rata biasanya menghasilkan aras
pelapukan relatif lebih besar dibandingkan pada medan yang miring.
Selanjutnya, gerakan aliran permukaan (runoff) dan air tanah yang lam-
bat di dalam profil tanah menyebabkan proses reaksi kimia berlangsung

Suwardji & J. Priyono


53

pada periode yang lebih lama, sehingga menghasilkan kuantitas pela-


pukan yang relatif lebih tinggi. Selain itu, kondisi vegetasi yang tumbuh
dengan baik di daerah datar juga memacu terjadinya pelapukan yang le-
bih cepat daripada di daerah miring.

4.3. Bentang Lahan Hasil Pelapukan


Sampai tingkat tertentu, sebagian besar bentang lahan menunjukan ada-
nya pengaruh pelapukan. Proses pelapukan terjadi secara bertahap dan ke-
cepatan proses itu dipengaruhi oleh banyak faktor seperti telah dijelaskan di
sub bab sebelumnya. Oleh sebab itu dijumpai macam-macam bentang lahan
yang dapat dibedakan berdasarkan tingkat perkembangan atau intensitas
pelapukan (weathering stages) yang telah terjadi. Bentuk lahan pada suatu
bentang lahan yang dapat dikenali umumnya bersifat kompleks, atau ga-
bungan dari beberapa bentang lahan khusus. Dalam sub bab ini dibicarakan
beberapa contoh bentang lahan khusus sebagai produk dari proses pela-
pukan.
1). Regolit dan Tanah
Di permukaan bongkah batuan pada suatu bentang lahan adalah
akumulasi produk pelapukan. Di antara akumulasi produk pelapukan itu
adalah bahan yang tampak mempunyai variasi tingkat pelapukan secara
fisik, kimia dan biologi. Akumulasi bahan tersebut beragam dalam
ukuran dari kerikil besar sampai ukuran mikron (clay), dan disebut re-
golit. Pelapukan lebih lanjut dari regolit dihasilkan tanah. Tanah meru-
pakan bentang lahan pelapukan yang paling umum dijumpai.
2). Bentang Lahan Karst
Bentang lahan terbentuk di atas batuan induk batu kapur umumnya
disebut karst. Pada bentang lahan karst, pelapukan terkonsentrasi pada
garis patahan dan lapisan batu kapur menghasilkan beragam bentuk
sebagai pengaruh dari pelarutan. Pelarutan di bagian bawah permukaan
dapat menghasilkan gua. Bentang lahan karst akan dibahas secara
khusus dan detil dalam bab 7.

Suwardji & J. Priyono


54

3). Talus (Scree)


Talus merupakan akumulasi dari debris di kaki tebing terjal. Fraksi
kasarnya berada pada bagian kaki, sedangkan fraksi halus berada di
puncak. Apek pada umumnya bermula pada mulut lembab pada dinding
terjal. Representasi hasil pelapukan ini dapat dilihat pada Gambar 4.6.
4). Bongkah residu.
Bongkah residu terdapat pada batuan masif yang memperlihatkan
retakan (kekar). Pelapukan berlangsung melalui bidang-bidang kekar
dan lambat laun menyisakan bongkah residu yang bundar, lonjong, atau
pipih dengan sudut membulat. Bagian yang melapuk di sekitar bongkah
hampir selalu membentuk lapisan konsentrik dan disebut pelapukan
melilit (seperti kulit bawang) atau spheroidal weathering. Dari bongkah
residu yang segar di bagian tengah, pelapukan makin in-tensif ke arah
luar lapisan konsentrik.
5). Kerangka batuan (stone lattice, mushroom)
Hasil pelapukan di laut dan pantai menghasilkan jenis bentang la-
han kerangka batuan tersusun berlapis (stone lattice) dan berbentuk
seperti jamur (mushroom) yang sangat dipengaruhi oleh perbedaan
kekerasan dan komponen lapisan batuan sedimen yang membentuknya.
Gelombang laut yang terus-menerus terjadi dapat membentuk bentang
lahan tersebut.
6). Kubah terkelupas (expoliation domes)
Bentang lahan expoliation dome berbentuk bukit dari batuan masif
yang homogen dan mengelupas menghasilkan lapisan atau serpihan-
serpihan melengkung akibat perubahan suhu. Ada dua pendapat tentang
pembentukan bentang lahan ini. Pendapat yang pertama mengungkap-
kan bahwa pengelupasan melengkung dikendalikan oleh struktur batuan
asalnya, khususnya pada batuan intrusi, sedangkan pendapat yang ke-
dua menyatakan bahwa expolition tersebut terjadi karena perubahan su-
hu udara yang cukup ekstrim. Pendapat yang umum diterima adalah: (1)
expoliation disebabkan oleh perubahan suhu musiman, sehingga terjadi
expansi dan kontraksi pada batuan, (2) expansi lapisan permukaan oleh

Suwardji & J. Priyono


55

terbentuknya mineral kaolin dan feldsfar selama pelapukan, dan (3) pe-
lepasan tekanan selama terjadinya erosi.

4.4. Longsoran Masa Batuan dan Tanah

Longsoran masa batuan (mass wash) adalah semua proses pengangkut-


an puing batuan menuruni lereng akibat pengaruh gaya gravitasi bumi. Ber-
beda dengan erosi, yaitu terlepas dan terangkutnya material bumi oleh tena-
ga erosi, baik oleh tenaga air mengalir, gleicer, angin, maupun ombak. Se-
cara alami, proses itu sangat kompleks sehingga sangat sulit untuk mem-
bedakan apakah suatu proses pembentukan bentang lahan hanya disebabkan
oleh terjadinya pergerakan masa batuan setelah terjadi pelapukan atau erosi.
Biasanya, beberapa proses gerakan masa batuan dan erosi terjadi secara si-
multan, sehingga menyebabkan terjadinya gerakan masa batuan, terurai dan
terangkutnya masa batuan dari suatu tempat ke tempat lain yang posisinya
lebih rendah.
Terjadinya proses longsoran/gerakan masa batuan tergantung pada per-
kembangan ketidak-stabilan dalam sistem perbukitan curam (hillslope sys-
tem). Sumber utama tekanan yang menyebabkan ketidak-stabilan itu adalah
gaya gravitasi bumi. Besarnya gaya tekanan itu (F) berkaitan dengan berat
masa bahan (tanah dan batuan) W dan kemiringan lereng (∅), yang difor-
mulasikan sebagai berikut:
F = W sin ∅
Banyak faktor yang berperan sebagai penyebab awal (triggers) terja-
dinya gerakan massa batuan pada sistem perbukitan. Faktor yang paling
umum adalah karena terjadinya hujan yang lama dan lebat. Penjenuhan
tanah dan batuan menjadikan masa dari material tersebut bertambah besar
sehingga menambah tekanan (gravitasi) ke bawah. Penjenuhan oleh air juga
menyebabkan melemahnya ikatan kohesif antar individu pertikel tanah pada
lereng. Mekanisme lain adalah adanya bidang luncur yang diperlicin oleh
kelembaban air perkolasi, menyebabkan bahan di atasnya mudah tergelincir
ke bagian lereng bawah. Gempa bumi merupakan kejadian umum yang

Suwardji & J. Priyono


56

menyebabkan terjadinya gerakan massa tanah. Getaran gempa bumi me-


ningkatkan tekanan ke lereng bagian bawah, atau menurunkan kekuatan
ikatan internal partikel sedimen pada sistem lereng yang curam.
Gerakan/longsoran masa tanah sering terjadi pada tanah hasil pelapuk-
an, akumulasi debris, maupun batuan dasar. Gerakan tanah dapat terjadi sa-
ngat lambat hingga sangat cepat, khususnya yang mempunyai kelembaban
tinggi, dan dapat berubah menjadi aliran (flow). Menurut sifat gerakannya,
gerakan tanah dapat dibagi menjadi 3 tipe besar, yaitu (1) robohan (fall), (2)
gelinciran (slide), dan (3) aliran (flow).
Tipe robohan merupakan gerakan masa batuan atau tanah secara verti-
kal, akibat adanya rongga di kaki tebing, baik oleh alam (misalnya gelom-
bang laut, kikisan sungai) maupun buatan. Umumnya terjadi pada tebing
yang sangat terjal dengan batuan/tanah yang menjorok ke luar, bergerak
tanpa bidang luncur dan cepat. Untuk mempelajari gerak massa batuan de-
ngan baik, perlu memperhatikan kondisi geologi (struktur dan jenis batuan),
kondisi fisiografi, dan aspek teknik sipil.

Suwardji & J. Priyono


57

Gambar 4.4. Tahap perkembangan bentang lahan pelapukan di daerah


beriklim kering (PUSPICS-UGM, 1999).

Suwardji & J. Priyono


58

ALIRAN

GLASIER

OMBAK/ARUS

ANGIN

GLASIER

Gambar 4.5. Kenampakan relief order II, bentang lahan destruksional oleh
berbagai gaya eksogen (PUSPICS-UGM, 1999).

Suwardji & J. Priyono


59

TAHAPAN MUDA

TAHAPAN DEWASA

TAHAPAN TUA

TAHAPAN PEREMAJAAN

Gambar 4.6. Tahapan pelapukan dan pembentukan bentang lahan di daerah


tropika dan sub tropika basah (PUSPICS-UGM, 1999).

Suwardji & J. Priyono


60

Gambar 4.7. Berbagai bentang lahan yang dihasilkan oleh pelapukan di


daerah arid (PUSPICS-UGM, 1999).

Suwardji & J. Priyono


61

Gambar 4.8. Bekerjanya aliran air dan kecepatan aliran masa batuan
(PUSPICS-UGM, 1999).

Suwardji & J. Priyono


62

Gambar 4.9. Skema berbagai tipe longsoran/gerak masa batuan (PUSPICS-


UGM, 1999).

Suwardji & J. Priyono


63

BAB V
BENTANG LAHAN FLUVIAL

Tujuan Instruksional Khusus


Setelah selesai mengikuti kuliah untuk bab ini, mahasiswa diharapkan memahami
tentang sistem fluvial yang meliputi aspek genesis (proses dan perkembangan),
karakteristik , dan hubungannya dengan sifat/kesuburan tanah pada bentang lahan
fluvial

5.1. Sistem Fluvial


Di sebagian besar tempat di dunia, aliran air di permukaan bumi meru-
pakan tenaga yang paling penting dalam proses pembentukan bentang lahan,
kecuali untuk beberapa tempat yang didominasi salju (daerah kutub). Mes-
kipun di daerah yang beriklim kering dan gurun dengan curah hujan yang
sangat terbatas, tenaga air yang mengalir masih tetap merupakan tenaga des-
truksional penting dalam proses geomorfik.
Sebagian besar daerah pertanian yang subur di dunia merupakan hasil
proses fluvial (pergerakan air mengalir). Daerah fluvial merupakan daerah
yang sangat kompleks, merupakan hasil transportasi dan deposisi bahan se-
dimen yang berbeda-beda sifatnya, baik secara vertikal maupun horisontal.
Profil tanah yang terbentuk mungkin dapat sangat sederhana pada daerah
deposisi bagian bawah, atau sangat kompleks pada tempat yang dekat
dengan aliran air, misalnya pada teras sungai (river terraces). Dengan kata
lain, keragaman tanah pada sistem fluvial tergantung pada posisi dimana
areal fluvial tersebut berada relatif terhadap lingkungan pengendapannya.
Ahli ilmu tanah lebih banyak tertarik pada daerah endapan fluvial, atau
bentang lahan termodifikasi oleh proses fluvial, dibandingkan pada bentang
lahan dengan proses geomorfik yang lain. Tanah pada sistem fluvial umum-
nya sangat subur, sehingga cocok untuk pengembangan pertanian. Bahan
induk yang berasal dari hasil proses fluvial mendominasi berbagai bentang
lahan pada sistem fluvial, tidak terkecuali bentang lahan residual. Banyak

Suwardji & J. Priyono


64

tanah di daerah bagian lereng atas yang terbentuk dari bahan induk batuan,
bergerak turun akibat aliran air dan gaya gravitasi bumi.
Fakta lapangan menunjukan bahwa sebagian besar bahan endapan (flu-
vial) berasal dari aliran air yang berkelok-kelok (meadering stream) atau
dari kipas aluvial (alluvial fan). Material endapan itu merupakan bahan in-
duk penting dalam pembentukan tanah, karena bahan itu terdapat di berba-
gai posisi sistem lahan. Walaupun bahan fluvial sangat kompleks, sampai
batas tertentu dapat diprediksi sifat dan asalnya berdasarkan anasir bahan
hasil sedimentasi.

5.2. Pembentukan dan Perkembangan Sungai


Terjadinya sungai pada awalnya disebabkan oleh adanya air yang
mengalir di permukaan bumi (run off) yang bersumber dari air hujan, men-
cairnya es, ataupun munculnya mata air ke permukaan tanah. Faktor pen-
ting lain yang menentukan terbentuknya sungai adalah adanya perbedaan
relief. Jika turun hujan, maka sebagian air dapat mengalami penguapan me-
lalui permukaan tanah dan batuan (evaporasi)/dan permukaan daun (trans-
pirasi), masuk ke dalam tanah melalui proses infiltrasi, diserap oleh akar
tumbuhan dan binatang, dan sisanya mengalir di permukaan bumi sebagai
aliran permukaan. Aliran permukaan dapat terjadi segera setelah terjadinya
hujan, atau kadangkala muncul kemudian setelah air hujan meresap ke da-
lam tanah dan muncul kembali sebagai mata air.
Tingkat perkembangan sungai dapat dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu
tahapan muda, dewasa, dan tua. Pada tahapan muda, proses erosi biasanya
terjadi sangat kuat, terutama erosi ke bawah (vertikal). Sungai yang ada air
terjunnya biasanya mempunyai kenampakan penampang longitudinal yang
tidak teratur dan sering terjadi longsoran pada tebing sungai. Pada tahapan
dewasa tercapai kondisi kesetimbangan, penampangnya tingkatan perkem-
bangan tertentu yang stabil, dan besarnya hanya cukup untuk membawa be-
ban aliran air (water load). Terdapat beragam bentuk yang dihasilkan oleh
erosi dan sedimentasi, seperti terbentuknya dataran banjir, sungai yang ber-
kelok-kelok, alur teranyam, tanggul alam (natural levees), dan undak-undak

Suwardji & J. Priyono


65

sungai (river terraces) yang menunjukan kondisi/tingkat perkembangannya


(grad). Sungai yang telah berkembang lanjut (highly graded) memasuki ta-
hapan sungai tua.
Sungai dapat dipelajari pula menurut genetiknya, yaitu berkaitan de-
ngan arah aliran menuruni lereng di permukaan bumi. Sungai konsekuen,
yaitu sungai utama yang arah alirannya sesuai dengan arah kemiringan le-
reng/daratan. Sungai subsekuen, adalah anak sungai konsekwen yang arah
alirannya tegak lurus dengan sungai konsekwen, sedangkan sungai resekuen
adalah anak sungai subsekuen yang arah alirannya sejajar dengan sungai
konsekuen. Sungai obsekuen, anak sungai subsekuen yang arah alirannya
berlawanan dengan sungai konsekwen, sedangkan sungai insekuen merupa-
kan sungai yang tidak jelas pengendaliannya, tidak mengikuti struktur batu-
an maupun kemiringan lapisan, dan umumnya membentuk pola drainase
dendritik.
Sungai super impus (superimposed river) merupakan sungai yang mula-
mula mengalir di atas suatu dataran aluvial atau dataran peneplain, dengan
lapisan tipis yang menutupinya sehingga lapisan di bawahnya tersembunyi.
Jika terdapat peremajaan (rejuvenasi), maka sungai tersebut kemudian
mengikis perlahan-lahan endapan aluvial atau lapisan penutup tersebut dan
menyingkapkan lapisan di bawahnya tanpa banyak mengubah pola aliran
semula.
Sungai anteseden ialah sungai yang mengalir tetap pada pola alirannya,
meskipun selama itu telah terjadi perubahan struktur geologi, misalnya se-
sar atau lipatan. Ini dapat terjadi jika perubahan struktur itu terjadi perla-
han-lahan. Tetapi sungai antesenden yang terjadi di daerah yang mengalami
pengangkatan, kemiringannya berlawanan dengan arah aliran sungai. Pola
aliran sungai gabungan (compound streams) mengairi daerah dengan umur
geomorfik yang berbeda-beda, sedangkan aliran sungai campuran (com-
posite streams) mengairi daerah yang struktur geologinya berbeda-beda.
Banyak sungai besar dapat dikategorikan sebagai compound ataupun com-
posite streams, misalnya S. Bengawan Solo dan Asahan. Contoh represetasi
dari sungai berdasarkan genetiknya dapat dilihat pada Gambar 5.1.

Suwardji & J. Priyono


66

Aliran konsekuen mengalir pada beberapa lereng


konstruksional

Pegunungan dome dengan aliran konsekuen (C), subsekuen (S), obsekuen (O),
dan resekuen (R)

Pegunungan lipatan dengan aliran konsekuen (C), subsekuen (S), obsekuen


(O), dan resekuen (R)

Dataran pantai dengan aliran konsekuen (C), subsekuen (S), obsekuen


(O), dan insekuen (I)

Gambar 5.1. Berbagai macam bentuk sungai berdasarkan genetik pemben-


tukannya (PUSPICS-UGM, 1999).

Perkembangan sungai pada tahap muda biasanya dicirikan dengan ke-


mampuan aliran air untuk mengkikis tebing sungai. Proses itu hanya dapat
terjadi jika kondisi tebing sungai cukup terjal, pengikisan vertikal dalam
dan tenaga aliran air besar sehingga mampu membawa banyak bahan yang
terkikis. Ciri sungai yang masih muda adalah mempunyai alur sempit, pe-

Suwardji & J. Priyono


67

nampang melintang berbentuk V dengan tebing yang terjal dan dalam, serta
jarak antar satu sungai dengan sungai yang lain sangat jauh. Selanjutnya,
kondisi aliran biasanya sangat kuat dan mampu mengangkut bahan yang
terkitis sehingga tidak memberikan peluang untuk terjadinya pelapukan ter-
hadap bahan yang dideposisikan. Pada sungai muda, bahan yang ditranspor-
tasikan dan dideposisikan biasanya menutupi seluruh dasar lembah dengan
maupun tanpa dataran banjir, kadangkala dijumpai air terjun. Variasi batuan
yang ada menyebabkan gradien sungai tampak tidak teratur. Kadang-ka-
dang ditemui danau pada daerah depresi asal (initial depression). Aliran
sungai biasanya cepat dan airnya jernih. Potholes dan rock channel sering
dijumpai pada dasar sungai, seperti dapat dilihat pada Gambar 5.2. Ciri ben-
tukan seperti itu menunjukan kondisi sungai pada tahapan muda.
Selanjutnya, hubungan antara kemampuan untuk memindahkan beban
yang relatif besar yang dinyatakan dengan kekuatan ukuran beban yang di-
gerakan dan kecepatan transportasi telah dijelaskan hubungan tersebut pa-
da Gambar 4.5. Secara rinci kemampuan aliran sungai dalam hubungannya
dengan kecepatan aliran sungai dan ukuran bahan yang mampu dipindahkan
dapat dilihat pada Tabel 5.1.

Tabel 5.1. Hubungan antaran kecepatan aliran air dan ukuran (diameter)
butir beban yang dapat diangkut oleh aliran sungai.

Kecepatan (m/jam) Ukuran butiran (Ø cm)


500 Pasir halus ( < 0,02)
1.500 Kerikil (< 2)
4.500 (cepat) <5
9.000 (sangat cepat) < 25
16.500 (banjir) < 100
33.000 (banjir bandang) < 500

Bahan bawaan (load) tersebut dapat bergerak melalui berbagai cara,


diantaranya adalah gerakan menggelinding di dasar sungai (traction) dan
gerakan melompat-lompat (saltation). Jika pergerakan dari bahan tersebut
terjadi pada lubang kecil atau depresi di dasar sungai, butiran bahan terse-

Suwardji & J. Priyono


68

but dapat terputar oleh arus dan menggerus lubang yang dilewatinya selama
dalam perjalanan aliran, kemudian membentuk potholes, dan pada dasar air
terjun terbentuk plunge pools. Representasi uraian tersebut di atas dapat di-
lihat pada Gambar 5.2.
Untuk sungai pada tahapan muda yang umumnya terdapat di daerah pe-
gunungan, dengan kondisi morfologi yang terjal dan gradien yang besar,
serta arus yang cepat, maka banyak air terjun yang mempunyai beberapa
manfaat dari aspek geografi penting, seperti pembangkit tenaga listrik, sum-
ber air minum, dan kadang-kadang untuk media transportasi dan atraksi pa-
riwisata (arum jeram). Dengan sifat dan karakteristik tersebut di atas, su-
ngai pada tahapan muda di daerah hulu banyak terjadi longsoran, runtuhan,
dan erosi hulu yang memerlukan pemantauan (monitoring) dan upaya per-
ingatan dini (early warning). Pembuatan check dam dan terrassering serta
penghutanan dan penghijauan, merupakan upaya untuk menanggulangi
dampak kurang menguntungkan dari besarnya tenaga yang dihasilkan oleh
aliran air permukaan pada sungai muda.
Pada sungai yang telah mencapai tahapan dewasa, gradien sungai bia-
sanya berkurang, ditandai dengan punggung sungai mulai landai sehingga
kecepatan aliran sungai mulai berkurang sehingga tidak lagi mampu meng-
angkut bahan hasil kikisan yang ukurannya relatif besar. Pada tahapan ini,
daya erosi vertikal berkurang dan terjadi pengendapan. Air terjun jarang
dijumpai pada sungai tahap dewasa. Bahan yang diendapkan biasanya
mengalami pelapukan yang lebih intensif dan dinding lembah lebih landai.
Secara visual, jarang dijumpai adanya singkapan batuan segar, dan dasar
sungai biasanya melebar yang memacu terbentuknya dataran banjir (flood
plain).
Dalam proses evolusinya, sebuah sungai dapat mencapai keseimbang-
an, kuantitas bahan tererosi dan pengendapan setara. Sungai yang demikian
mempunyai penampang yang seimbang. Perubahan keadaan yang terjadi

Suwardji & J. Priyono


69

Gambar 5.2. Lubang pot pada sungai Goerge, New York dan Flunge Pool
di sungai Columbia sebagai tanda sungai masih dalam tahapan muda
(PUSPICS-UGM, 1999).

akan dapat mengganggu keseimbangannya. Kenaikan beban di hulu yang


besar, misalnya oleh endapan lahar, menyebabkan sungai mengendapkan
banyak bahan aluvial, diikuti dengan penyayatan alur sungai lebih dalam

Suwardji & J. Priyono


70

untuk meningkatkan kemampuan transportasi. Dengan kata lain, sungai de-


wasa merupakan sungai yang telah mengalami gradasi, berada dalam kea-
daan seimbang, sehingga energi alirannya hanya cukup untuk membawa be-
bannya dengan kecapatan yang relatif kecil dibandingkan dengan sungai ta-
hap muda. Dengan kondisi yang demikian, jika terjadi perubahan sesaat pa-
da beban atau volume air yang mengalir akan menyebabkan terjadinya
pengendapan atau pengikisan. Dasar sungai yang datar yang umumnya ter-
tutup oleh endapan aluvial tipis, dindingnya cembung dan rendah, menun-
jukan telah tercapainya gradasi sungai yang cukup besar.
Beberapa karakteristik yang tampak pada sungai dewasa antara lain: (1)
dataran banjir dengan tanggul alam, (2) meandering dengan out offs, oxbow
lakes, (3) lembah sama atau lebih lebar daripada daerah meander, (4) tanpa
percepatan atau air terjun, (5) aliran air yang perlahan dan berlumpur, (6)
tebing lembah yang rendah dan solum tanahnya tebal, sedikit singkapan ba-
tuan, dan (7) tanpa danau (kecuali oxbow lakes). Pada sungai tahap dewasa
dapat terbentuk sungai yang berkelok-kelok (meander). Lebar lembah yang
menjadi ayunan sungai meander rata-rata 10 - 20 m. Beberapa sungai besar
di Indonesia dengan meander bebas antara lain S. Bengawsan Solo di Jawa
Tengah, S. Citarum di Jawa Barat, dan S. Musi di Sumatra Selatan.
Tidak ada batasan yang tepat, apakah sungai telah mencapai tahap de-
wasa atau tua. Kemampuan aliran sungai untuk membawa beban yang ber-
ukuran besar mungkin sudah mulai menurun, dan yang terangkut adalah be-
ban dengan ukuran partikel kecil atau bahan suspensi (suspended load). Ka-
rena tenaga angkut yang demikian lemah dan berbagai faktor lain, biasanya
terjadi proses pengendapan di muara sungai (pembentukan delta). Pemben-
tukan delta mengurangi dasar gradien sungai sehingga menyebabkan terja-
dinya pengendapan di daratan yang sering diikuti dengan banjir di dataran
banjir (flood plain) dan pembentukan rawa atau danau.
Peremajaan (rejuvenation) di muara sungai dapat terjadi karena penu-
runan permukaan laut, sehingga terjadi kenaikan gradien dan proses pengi-
kisan ke bawah (vertikal) aktif kembali. Jika terjadi proses peremajaan, ma-
ka hasilnya adalah pembentukan teras sungai (undak-undak). Jika terjadi

Suwardji & J. Priyono


71

pengendapan di bagian tengah sungai melalui proses gradasi, misalnya ada-


nya pengendapan bahan yang dibawa oleh cabang sungai, menyebabkan
adanya penyumbatan di sungai utama. Penyumbatan itu menyebabkan terja-
dinya luapan banjir di bagian tengah tersebut dan terjadi proses pembentuk-
an daerah dataran banjir (flood plain) (Gambar 5.3), atau dapat pula terben-
tuk genangan seperti danau. Perubahan yang terjadi berikutnya dapat meng-
ganggu keseimbangan sungai, mengalami gradasi yang akan menyebabkan
perubahan seterusnya seperti proses yang telah terjadi sebelumnya (siklus),
kemudian menuju ke keseimbangan baru.

Gambar 5.3. Proses pembentukan dataran banjir dan proses lain yang terkait
(Daniels dan Hammer, 1992).

5.3. Pola Drainase


Dalam proses pembentukan sungai, terjadi beberapa pola aliran (drai-
nase) yang sering berkaitan erat dengan kharakteristik bentang lahan dan

Suwardji & J. Priyono


72

struktur batuan. Beberapa pola drainase yang banyak dikenal adalah dendri-
tik, retanguler, trelis, radial, anular (Gambar 5.4).

Gambar 5.4. Berbagai pola drainase yang umum dijumpai (Thornbury,


1969).

Suwardji & J. Priyono


73

Pola drainase dendritik atau sering disebut pola aliran seperti batang
pohon dengan cabangnya yang mengalir ke semua arah, dan akhirnya me-
nyatu di induk sungai. Pola drainase seperti ini terjadi pada daerah dengan
struktur batuan yang homogen, misalnya seperti batuan granit, atau lapisan
batuan sedimen horizontal.
Pola drainase retangular biasanya terbentuk pada cabang sungai yang
berbelok-belok dan bersambung, membentuk sudut hampir tegak lurus. Pola
aliran retangular banyak terdapat pada bentang lahan dengan struktur
geologi kekar dan sesar yang juga berpola berpotongan tegak lurus.
Pola drainase trelis berpola seperti bentuk pagar tralis. Pola aliran trelis
merupakan ciri sungai yang terbentuk pada daerah pegunungan lipatan de-
ngan kemiringan besar. Biasanya, sungai yang besar mengikuti singkapan
batuan yang lebih lunak. Sungai subsekuen dengan cabang sungai obseku-
en/dan resekuen di sebelah kiri dan kanan sungai besar. Sungai yang ada
dapat saja memotong arah struktur utama karena terjadinya superposisi da-
lam proses pembentukannya.
Pola drainase radial umumnya terjadi pada bentang lahan pegunungan
kubah pada tahap muda dan dewasa. Sungai yang terbentuk biasanya tipe
konsekuen yang sentrifugal dari suatu puncak. Pada cekungan struktural da-
pat pula terbentuk pola drainase radial yang sentripetal ke tengah cekungan.
Pola drainase anular merupakan pola aliran yang terbentuk pada daerah
kubah struktural yang telah terkikis (dewasa), sungai besarnya mengalir
melingkar mengikuti struktur batuan dan bagian yang lunak. Sungai itu
umumnya jenis sungai subsekuen. Dengan demikian, pola aliran anular me-
rupakan variasi dari pola aliran trelis.

5.4. Dataran Banjir (Flood Plain)


Pada tahapan dewasa, aliran sungai sering membentuk dataran banjir
dengan cara mengendapkan sebagian bahan yang terangkut oleh aliran air.
Biasanya, dataran banjir terbentuk di sebelah kanan dan kiri badan sungai.
Bahan endapan dapat bervariasi, dari yang sangat tipis sampai sangat tebal
atau dari yang kasar sampai yang halus. Hasil pengendapan di sepanjang

Suwardji & J. Priyono


74

sungai biasanya membentuk tanggul sungai (natural levees) yang biasanya


merupakan tempat yang cukup subur untuk budidaya pertanian, tergantung
pada jenis endapan yang ada.
Pada sungai yang penuh dengan beban pasir, kerikil, dan bongkah se-
perti di daerah aliran lahar atau glasial, dan sungai yang mengalir pada dae-
rah kipas aluvial, sering kali dasar sungai cepat penuh endapan, sehingga
aliran berikutnya akan mencari jalan lain jika terdapat tambahan air yang
besar. Jalur sungai menjadi saling menyilang dan sering berpindah-pindah,
dipisahkan oleh tebing endapan (levees) (lihat Gambar 5.3). Pola aliran
yang demi-kian disebut braided stream. Dapat pula terjadi pembendungan
jika terdapat akumulasi kerikil atau bongkah di jalur sungai. Beberapa
sungai besar di Indonesia dengan dataran banjir yang luas antara lain S.
Begawan Solo di Jawa Tengah dan S. Barito di Kalimantan.

5.5 Delta
Jika tidak mampu lagi mengangkut bahan yang dibawanya karena ber-
kurangnya kecepatan atau karena kehilangan volume aliran, sungai akan
mengendapkan bebannya di daratan. Hal itu biasanya terjadi pada lekukan
lereng, sisi dalam meander, pertemuan antara dua aliran sungai, dan pada
perubahan gradien yang tajam. Tetapi, pengendapan juga akan terjadi jika
sungai mengalir ke danau atau laut. Daratan yang terletak antara dua aliran
sungai besar sering menjadi daerah rawa, karena air yang meluap tidak da-
pat kembali ke dalam sungai, terhalang oleh tanggul alam. Jika aliran su-
ngai masuk bertemu laut, maka dapat terbentuk daratan dari hasil pengen-
dapan bahan yang terbawa oleh aliran sungai, dan daratan itu disebut delta.
Bentuk delta dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain bentuk dan
gradien sungai, besarnya beban, serta kekuatan dan arah arus laut. Contoh
pembentukan dan perkembangan beberapa macam delta disajikan pada
Gambar 5.5 dan 5.6.
Delta arcuate, berbentuk convek (cembung) ke arah laut, dibatasi pegu-
nungan/bukit di daerah hulu dan samping. Beban sungai terdiri dari fraksi
kasar dan sedikit bahan suspensi, dan bersifat porus. Contoh delta arcuate

Suwardji & J. Priyono


75

Gambar 5.5. Tiga delta: arcate, estuarin, dan cakar burung (PUSPICS-
UGM, 1999).

antara lain delta Gangga, Irawadi, dan delta Mekong. Estuarine filling,
berbentuk memanjang pada daerah endapannya. Misalnya delta Elbe, Seine,
Loire, dan Hunson. Bird’s fost delta, berbentuk seperti cakar ayam, terjadi
dari sungai utama yang kemudian bercabang-cabang melebar ke laut,
misalnya Delta Mississippi. Hal itu terjadi karena adanya penyumbatan pa-
da sumbu arus. Daerah antara dua cabang sungai pada delta itu umumnya
berupa rawa. Arah pengembangan delta banyak dipengaruhi oleh arah arus
pantai, angin, dan iklim. Beban yang diendapkan umumnya halus.

Suwardji & J. Priyono


76

Gambar 5.6. Contoh delta tipe cakar burung (PUSPICS-UGM, 1999).

5.6. Teras Sungai


Teras/undak-undak sungai pada hakekatnya merupakan bentuk lahan
yang disebabkan oleh terjadinya pengendapan bahan aluvial, kemudian ter-
kikis oleh aliran sungai itu sendiri. Dengan demikian, undak-undak merupa-
kan hasil peremajaan pada sungai yang telah mencapai tahap perkembangan
dewasa atau tua. Ilustrasi proses terbentuk teras sungai dapat dilihat pada
Gambar 5.7.

Suwardji & J. Priyono


77

Gambar 5.7. Proses pembentukan teras sungai (PUSPICS-UGM,


1999).

5.7. Kipas Aluvial


Bentang lahan kipas aluvial merupakan hamparan bahan aluvial yang
bermula dari suatu mulut lembah di daerah pegunungan, kemudian mema-
suki wilayah dataran. Dari mulut lembah tersebut, endapan menyebar de-
ngan sudut kemiringan makin melandai. Fraksi kasar akan terakumulasi di
dekat mulut lembah, sedangkan fraksi halus akan terdapat pada daerah

Suwardji & J. Priyono


78

dataran. Sungai yang mengalir di daerah kipas cenderung berubah-ubah


arah, karena pembendungan di daerah hulunya oleh fraksi kasar. Kipas alu-
vial dapat terjadi pada kaki gunung api, kaki tebing dari gawir sesar, atau
pada lembah di bawah suatu lembah lain, tergantung pada kondisi dan
posisi daerah erosi. Pada daerah beriklim kering, di kaki pegunungan sering
dijumpai akumulasi endapan dari longsoran batuan dengan lereng yang
landai dan berangsur datar. Daerah tersebut dinamakan rock pediment, rock
plane atau conoplain. Daerah yang terletak antara daerah erosi dan daerah
endapan disebut zone of planation. Jika akumulasi endapan hasil longsoran
tersebut berbentuk kipas disebut pula rock fan.
Sungai yang mengalir perlahan-lahan dan lebar, medan yang landai,
daerah rawa dan delta, dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan. Banyak
sungai menjadi jalur transportasi penting. Selain sering merugikan karena
sering terjadi banjir, dataran banjir juga memberi kesuburan bagi banyak
daerah, dan menekan air asin di daerah tepi pantai. Endapan aluvial banyak
menjadi aquifer air tanah. Bongkah, kerikil, dan pasir, khususnya di daerah
hulu, dapat dimanfaatkan untuk bahan baku bangunan.
Air tanah yang dangkal, tanah yang lembek dan sering mengandung si-
sa tumbuhan (gambut), dan kadar air yang tinggi, dapat juga menimbulkan
permasalahan dalam pembangunan fondasi bangunan dan pengatusan (sa-
luran drainage). Namun demikian, pada kenyataannya dataran banjir mem-
punyai daya tarik untuk banyak usaha, seperti pemukiman, pertanian, sa-
wah, industri, dan pelabuhan.

Suwardji & J. Priyono


79

BAB 6
BENTANG LAHAN DAERAH GUNUNG API

Tujuan Instruksional Khusus


Setelah selesai mengikuti kuliah pada bab ini, mahasiswa diharapkan dapat
mengenal dan memahami berbagai bentang lahan daerah gunung api, proses dan
hasil erupsi (batuan) sebagai bahan induk tanah

Gunung api menyebar di hampir seluruh wilayah Indonesia, sehingga


bentang lahan daerah gunung api sangat penting untuk di bahas dalam buku
ini. Di Indonesia terdapat lebih dari 130 gunung apai aktif, terbanyak diban-
ding di Negara manapun di dunia, menyebar di seluruh kepulauan Indonesia
(Indonesian arc). Deretan gunung api itu terbentuk dari proses penyusupan
satu lempeng tektonik ke bawah lempeng tektonik yang lain (subduction)
arah utara – timur lempeng Indo – Australia.

Gambar 6.1. Sebaran gunung api di Indonesia (Pidwirny, 2006)

Suwardji & J. Priyono


80

Proses dan bentuk gunung api sangat erat kaitannya dengan jenis mag-
ma, batuan, atau bahan erupsi yang membentuk bentang lahan daerah
gunung api dan sekitarnya. Karena sebagian besar tanah mineral terbentuk
dari batuan (vulkanik), aspek pertanian, khususnya tingkat kesuburan tanah
pada bentang lahan tersebut sangat dipengaruhi oleh sifat batuan hasil
erupsi tersebut.

6.1. Proses Terbentuknya Gunung Api


Pembentukan dan aktivitas gunung api erat kaitannya dengan dinamika
lempeng tektonik yang sebagian telah dibahas pada Bab 2. Lempeng tekto-
nik terdiri atas litosfir dengan ketebalan + 100 km yang berada di atas lapis-
an astenosfir (lihat Gambar 2.2 pada Bab 2). Astenosfir merupakan lapisan
bagian lapisan kerak bumi bagian dalam yang panas, plastis (sebagian ba-
tuan mencair) sehingga lapisan ini sangat labil (mudah bergerak).
Gambar 6.2 mengilustrasikan bagaimana letusan gunung api yang terja-
di di tengah samudra dan Gambar 6.3 pada pertemuan lempeng tektonik.
Jika tekanan lapisan cair (magma) di dalam perut bumi melebihi daya tahan
litosfir, maka magma akan menerobos litosfir dan biasanya disertai dengan
letusan gunung api (erupsi). Besarnya letusan gunung api tergantung dari
besarnya tekanan magma dari perut bumi dan kerentanan lapisan litosfir
dimana titik gunung api (hot spot) berada.
Setiap gunung api terdapat mulut letusan (vent) dimana material erupsi
dikeluarkan. Terdapat pusat mulut letusan (central vent) yang berada di
puncak gunung api, dan terhubung langsung dengan sumber magma (mag-
ma chamber). Karena letusan gunung api tidak stabil, sering terdapat bong-
kahan yang tenggelam/masuk ke bagian dalam atau ke pusat sumber mag-
ma. Runtuhan bongkah itu mencair dan menambah volume cairan magma
di perut bumi, dan dapat menyebabkan terjadinya erupsi ke arah samping,
tidak melalui pusat mulut gunung api (central vent). Pencairan runtuhan
bongkah litosfir tersebut juga dapat memunculkan asap yang terus muncul
di bagian lereng gunung api.

Suwardji & J. Priyono


81

Gambar 6.2. Ilustrasi bagaimana terjadinya letusan gunung api di tengah


samudra. Di sebelah kiri, air dalam gelas beaker dipanaskan. Molekul air
yang panas memuai (BJ berkurang) bergerak ke atas dan yang dingin ke
bawah, dan seterusnya silih-berganti. Hal tersebut identik dengan yang ter-
jadi di perut bumi. Peningkatan tekanan magma menyebabkan terjadinya
terobosan magma ke permukaan litosfir (terjadi erupsi) (Pidwirny, 2006)

Gambar 6.3. Kegiatan gunung api di daerah batas/pertemuan lempeng tek-


tonik divergen dan konvergen. Pada batas lempeng tektonik divergen, lem-
peng tektonik dipisahkan (menjauh satu-sama lain) oleh terobosan magma
di tengah samudra. Hal sebaliknya (konvergen), lempeng tektonik pecah/
hancur dan satu bagian berada di atas yang lain (subduction) (Pidwirny,
2006).

Suwardji & J. Priyono


82

6.2. Aspek Bentang Lahan


Bentang alam gunung api terdiri dari berbagai macam bentang lahan.
Yang paling banyak dikenal meliputi bentang lahan gunung api tersusun
(edifices), kaldera, dan kubah lava. Masing-masing jenis bentang lahan ter-
sebut dapat beragam dalam ukuran, bentuk, komposisi, dan sejarah erupsi-
nya.
Pertumbuhan gunung api merupakan salah satu bentuk konstruksional.
Setelah terbentuk, gunung api mengalami berbagai tahapan erosi dari muda
hingga tua. Proses pembentukan gunung api melalui letusan aliran lava,
longsoran, injeksi kubah lava, dan sebagainya, diselingi dengan erosi. Mes-
kipun demikian, proses erosi sering berjalan lebih lambat dari proses erupsi,
sehingga hasil erosi kurang jelas. Disamping itu, daerah di sekitar gunung
api dapat pula mengalami proses konstruksi lain, misalnya sesar dan lipatan.
Berbeda dengan konstruksi yang lain, pembentukan gunung api lebih bersi-
fat parozismal. Artinya, gunung api yang telah mencapai tahapan dewasa
dapat segera menjadi muda kembali oleh letusan baru. Perubahan bentuk
oleh kegiatan gunung api itu sendiri dapat terjadi, misalnya pembentukan
kubah lava, aliran lahar, kerucut porositer, dan kaldera. Tahapan erosi de-
wasa dapat dilihat dengan jelas pada gunung api yang tidak aktif lagi (mati).

6.2.1. Bentuk Gunung Api


Bentuk gunung api dipengaruhi oleh dua faktor utama yang terkait de-
ngan kegiatan gunung api itu sendiri, yaitu sifat letusan dan aliran lava. Be-
berapa gunung api dipengaruhi hanya oleh letusan, sedangkan yang lain
oleh lelehan lava, atau kombinasi antara sifat letusan dan lelehan. Kemudi-
an, masing-masing dapat mengalami tahapan muda, dewasa, dan tua.
Meskipun setiap gunung api mempunyai sejarah letusan yang khas,
terdapat tiga bentuk gunung api umum yang berkaitan dengan pola letusan
gunung api yang diringkas dalam Tabel 6.1.

Suwardji & J. Priyono


83

Tabel 6.1. Tipe dan bentuk gunung api utama (Pidwirny, 2006)

No Tipe Gunung Bentuk Kerucut Komposisi Tipe erupsi


api

Basalt, tepra, dan


1 Scorio cone Lereng samping terkadang adesitik Strombolian
lurus dan curam,
mulut magma
lebar

2 Shield volcano Ladang basalt (basalt


Lereng landai, lava floor) Hawaiaan
konvek ke atas

Lereng bawah Sangat bervariasi, da- Plinian


3 Stratovolcano landai, tetapi ba- ri lava basalt sampai
gian atas curam, rhyolitic dan tepra
cekung/ meleng- dengan komposisi
kung ke atas, mu- keseluruhan andesitik
lut magma sempit

Tipe Kubah Scorio (Scorio Cone) (Gambar 6.4), dikenal pula sebagai
cinder cone, merupakan tipe gunung api yang paling umum dijumpai dan
terkecil, tingginya umumnya kurang dari 300 m. Tipe ini dapat terbentuk
terpisah di ladang lava basaltik, dan monogenetik (hanya terbentuk dari se-
kali erupsi besar). Contoh gunung api jenis ini di Indonesia adalah kom-
pleks gunung api Bromo dan Anak Krakatau.
Tipe gunung api berlapis (shield volcanous), landai dan melebar dengan
gambaran dasar beragam dari beberapa km sampai > 100 km (Gambar 6.5).
Bentuk ini dihasilkan oleh ekstrusi lava basalt yang sangat encer, menyebar
merata dari puncak gunung api ke arah samping menuruni lereng yang gu-
nung api yang landai.

Suwardji & J. Priyono


84

(a). G. Mauna Kea (b). G. La Poruna

(c). G. Anak Krakatau (d). G. Bromo


Gambar 6.4. Contoh tipe gunung api scorio (a) G. Mauna Kae di Hawai,
sebelah kiri dan (b) G. La Poruna di Nicaragua, (c) G. Anak Krakatau, dan
(d). G. Bromo (latar belakang berasap adalah G. Kawi).(Sumber: untuk
gambar (a) dan (b) SDUS, 2006; (c) dan (d) Www.Wikipedia.org., 2006)

G. Mauna Loa, Hawai G. Alcedo, Pulau Isabella-Galapagos


Gambar 6.5. Contoh tipe gunung api shield (SDUS, 2006)

Tipe gunung api strato (stratovolcanoes), juga dikenal sebagai compo-


site cone, merupakan tipe gunung api yang paling berbahaya, terutama ter-
bentuk pada zona penyusupan (subduction) konvergensi lempeng tektonik.
Potongan melintang stratovolcanoes menunjukan statifikasi hasil dari letus-
an yang berbeda: aliran lava, tepra, piroklasik, lumpur volkanik (lahar), dan
aliran debris (bongkah/batuan kasar) (Gambar 6.6). Komposisi batuannya
beragam dari basaltik sampai rhyolit, tetapi secara keseluruhan adalah
andesitik. Banyak gunung api strato di samudra yang komposisinya lebih
bersifat mafik (kaya Fe dan Mg) daripada di daratan terdekat dengan

Suwardji & J. Priyono


85

gunung itu. Banyak gunung api di Indonesia yang termasuk dalam tipe
strato (misalnya G. Rinjani, Agung, Semeru, Merapi, dan G. Kawi).

Gambar 6.6. Statifikasi pada gunung api tipe stata (SDUS, 2006)

Gambar 6.7. Gunung Semeru – Jawa Timur (kiri) dan Rinjani – NTB
(kanan), sebagai contoh gunug api tipe strato di Indonesia
(Www.Wikipedia.org., 2006)

Selain dari ketiga tipe gunung api yang umum (Tabel 6.1), ada dua tipe
gunung api penting, yaitu tipe gunung api subordinat dan hidrovolkanik. Pa-
da tipe subordinat, lava dan tepra dapat dikeluarkan dari mulut gunung api
(vent), tetapi tidak ada kaitannya dengan pembentukan sistim kubah di seki-
tar vent. Tipe kubah di sekitar vent yang berkaitan dengan proses hidrovol-
kamik juga menghasilkan struktur gunung api yang khas.

Suwardji & J. Priyono


86

6.2.2. Kaldera
Ketika erupsi terjadi, volume magma dalam dapur magma (magma
chamber) bekurang sehingga terdapat rongga di bawah vent gunung api.
Adanya rongga tersebut menyebabkan runtuhnya dinding gunung api ke
dalam rongga tersebut, sehingga terbentuk cekungan yang terjal yang dise-
but kaldera. Ukuran kaldera sangat beragam (diameternya 1 – 100 km), dan
dapat dibedakan dengan mudah terhadap lubang puncak (summit crater)
yang ukurannya lebih kecil sebagai hasil letusan melalui mulut di puncak
gunung api (central vent). Kaldera felsik dikelilingi oleh lapisan tebal batu
apung (fumice) dari aliran bahan piroklastik.
Kaldera yang terbentuk dari hasil runtuhnya dinding gunung api tipe
strato menghasilkan kaldera seperti danau (lake type caldera). Kaldera ter-
dalam adalah pada G. Mazama di Oregon USA yang terbentuk pada letusan
yang terjadi sekitar 6850 tahun yang lalu (Pidwirny, 2006), kedalaman
airnya mencapai 600 m dan dinding di atas air itu juga sekitar 600 m.
Kaldera semacam itu tentu dihasilkan dari letusan gunung api yang keku-
atannya luar biasa besarnya, sehingga mampu mengeluarkan magma dalam
volume sangat besar. Danau Toba di Sumatra merupakan resurgent caldera
terbesar di dunia, tetapi tidak dapat dikategorikan seperti halnya lake type
caldera.
Contoh menarik lainnnya tentang kaldera pada gunung api strato adalah
kaldera (kawah) gunung Kelut di Jawa Timur dan Tambora di P. Sumbawa
(Gambar 6.8).

Gambar 6.8. Kawah G. Kelut di Jawa Timur (kiri) dan G. Tambora di P.


Sumbawa (kanan) (Www.Wikipedia.org., 2006)

Suwardji & J. Priyono


87

G. Kelut relatif lebih aktif (sering metelus) daripada G. Tambora. Untuk


menghidarkan bahaya yang lebih besar dari luapan air yang berasal dari
kaldera jika terjadi letusan, maka di kawah G. Kelut telah dibuat tero-
wongan untuk mengurangi volume air kawah, sekaligus memanfaatkan air
tersebut untuk irigasi.
Kaldera basaltik pada gunung api tipe shield, ukurannya umumnya le-
bih kecil daripada kaldera pada tipe gunung api strato, tertenbuk oleh terja-
dinya penurunan dinding gunung api secara perlahan. Dalam banyak ke-
jadian, ekstraksi magma terjadi di beberapa bagian lereng sehingga meng-
hasilkan jajaran sistim pit craters (lubang mulut magma) (Gambar 6.9).

Gambar 6.9. Jajaran sistim pit craters (Photo oleh Vic Camp., dimuat dalam
www.Physical Geography.net)

6.3. Produk Letusan Gunung api


Produk dari letusan gunung api sangat beragam, tergantung dari kom-
posisi, kekentalan, dan kadar gas magma yang dikeluarkan. Aliran lava mi-
salnya, umumnya dari erupsi yang tidak terlalu explosif dari lava basaltik
gunung api shield dan scorio; magma keluar melalui rekahan (fissures).
Sebaliknya, aliran firoklastik, lahar, dan deposit tepra yang tebal dan luas,
umumnya dapat dikaitkan dengan erupsi dahsat magma andesitik sampai
rhyolit pada gunung api tipe strato.

Suwardji & J. Priyono


88

Gambar 6.10. Jenis produk yang dihasilkan oleh letusan gunung api
(Pidwirny, 2006)

Dari segi volumenya, sebagian besar aliran lava terdiri atas bahan basal-
tik. Lelehan basaltik mengandung sedikit gas dan lebih cair (fluiditas tinggi)
daripada bahan andesitik sampai rhyolit. Fluiditas yang tinggi tersebut ber-
kaitan dengan rendahnya kadar SiO2. Jika gas keluar dari lelehan basaltik ti-
dak menimbulkan tekanan yang terlalu besar, sehingga erupsi yang terjadi
lebih tenang dan tidak explosif. Berbeda dengan magma felsik, gerakan gas
ke atas terhalang oleh magma felsik yang viscositasnya (kelekatan) tinggi.
Hal tersebut menyebabkan terbentuknya tekanan gas yang tinggi sehingga
erupsinya sangat explosif diikuti dengan penghamburan bahan piroklastik.
Gambar 6.11 adalah contoh aliran lava basaltik dan lava andesitik.
Lava basaltik umumnya dapat membentuk aliran yang tipis dan luas,
permukaannya halus. Sebaliknya, lava andesitik menghasilkan aliran batuan
lava yang tebal, berbongkah, sehingga permukaan yang dihasilkan tampak
kasar. Terbentuknya bongkahan tersebut disebabkan oleh viskositas lava
andesitik yang tinggi, sehingga ketebalnya mencapai ratio (ketebalan/luas)
> 1/100; dan dalam beberapa kasus dapat membentuk kubah lava (lava
domes). Lava andesitik biasanya berasal dari gunung api tipe strato.

Suwardji & J. Priyono


89

(A) (B)

(C)
(C)

Gambar 6.11. Contoh aliran lava basaltik (A dan B) dan andesitik (C dan
D) (Pidwirny, 2006)

Makin tinggi kadar SiO2 dan polimernya, maka makin tinggi pula vis-
kositas lava. Meskipun lava dasitik sampai rhyolitik dihasilkan dari tipe gu-
nung api strato, keduanya tidak sebanyak lava andesitik. Erupsi bahan felsik
dari gunung api strato umumnya explosif disertai dengan pembentukan
aliran tepra dan bahan piroklastik, berkadar gas tinggi pada magma dasitik
dan rhyolitik.

6.4. Manfaat dan Bahaya Letusan Gunung api


Gunung api terkenal memberi kesuburan lahan pertanian, karena mag-
ma yang telah membeku menjadi batuan, debu volkanik, dan gas yang ter-
larut oleh air hujan, mengandung banyak unsur hara bagi tanaman. Selain
itu, ketinggiannya menyebabkan naiknya angin yang membawa uap air,
sehingga sering terjadi pengembunan dan hujan di daerah pegunungan ter-
sebut. Gunung api juga mempunyai daya tarik bagi wisatawan.
Sifat tufa gunung api yang sarang menyebabkan daerah itu menjadi
daerah rembesan air tanah yang baik. Akibatnya, mata air sungai banyak
muncul dari lereng gunung api. Lava, bongkah lahar, dan pasir lahar di

Suwardji & J. Priyono


90

banyak tempat di gali untuk bahan baku bangunan. Tufanya yang bersifat
hidrantik sering digunakan sebagai tras semen (cement trass).
Selain manfaat yang banyak seperti telah dijelaskan di atas, aktivitas
gunung api juga banyak menimbulkan korban jiwa dan harta benda.
Bencana gunung api sangat tergantung pada sifat letusan dan morfologinya
(tipe gunung api). Beberapa bencana yang dapat timbul antara lain berupa
aliran lava, jatuhan bahan piroklastik secara langsung, aliran lahar (dingin
maupun panas), hembusan awan panas dan gas beracun (CO, CO2, H2SO4,
HCL, HF, dan HBr), dan longsoran. Longsoran tanah sering terjadi pada
tebing terjal di daerah lereng gunung api tua dengan tahapan erosi dewasa
(Misalnya di G. Manglayang – Larantuka/Flores, G. Marapi - Sumatra
Barat, G. Ciremai - Jawa Barat).

6.5. Morfologi Gunung Api vs Kesuburan Tanah


Pertanyaan menarik untuk dikemukakan berkaitan dengan aspek geo-
morfologi daerah gunung api adalah “ adakah kaitannya morfologi gunung-
api dengan tingkat kesuburan tanah relatif di sekitar kawasan gunung api
tersebut?” Secara umum, wilayah atau pulau di Indonesia dimana terdapat
aktivitas gunung api, misalnya P. Sumatra, Jawa, Bali, dan Lombok, relatif
lebih subur daripada lahan di pulau yang tidak terdapat gunung api, misal-
nya Kalimantan, sebagian pulau di NTT, dan daerah tepian Irian Jaya yang
jauh dari pengaruh aktivitas gunung api.
Bahan yang dikeluarkan oleh gunung api tipe scorio dan strato teruta-
ma adalah magma basaltik, membeku menjadi batuan basaltik (kadar SiO2 <
40 %). Batuan basaltik mengandung relatif banyak kation basa (misalnya
Ca dan Mg) dan unsur hara mikro (misalnya Fe, Mn, Zn, dan Cu), tetapi
relatif sedikit kadar K. Gunung api tipe shield mengeluarkan magma yang
beragam, dari basaltik (kadar SiO2 rendah) sampai rhyolitik (kadar SiO2 >
70 %), dan secara keseluruhan bersifat andesitik (kemasaman sedang atau
kadar SiO2 60 – 70 %). Secara umum, kadar hara tanaman yang dikandung
oleh jenis batuan andesitik termasuk sedang (Ca, Mg, K, dan unsur hara
mikro sedikit lebih rendah daripada basaltik). Batuan rhyolitik dan tepra

Suwardji & J. Priyono


91

(masam, kadar SiO2 > 70 %) yang juga banyak dikeluarkan oleh gunung api
tipe shield mengandung sedikit Ca, Mg, dan unsur hara mikro, tetapi kaya
unsur K. Dari penjelasan umum itu dapat disimpulkan bahwa daerah di
sekitar gunung api tipe scorio dan strato relatif lebih subur daripada daerah
di sekitar gunung api tipe shield. Tentu saja kesimpulan ini tidak mutlak,
karena bahan batuan atau lava yang dikelaurkan oleh aktivitas suatu gunung
api serta pola sebarannya bahan itu sangat beragam.
Hal penting lain yang menentukan kesuburan relatif daerah sekitar gu-
nung api adalah sejarah letusan (frekuensi dan besar-kecilnya erupsi) serta
pola penyebaran bahan volkanik. Salah satu contoh yang tampak jelas per-
bedaannya dari segi kesuburan tanah adalah antara daerah Kab. Lombok
Timur dengan Kab. Lombok Barat bagian utara (Kec. Gangga sampai Ba-
yan) NTB. Bahan volkanik yang terlempar ke Lombok Timur lebih bersifat
basaltik, sedangkan yang ke Lombok Barat bagian utara adalah bahan vol-
kanik ringan (batu apung) yang bersifat silisius (kadar silikat tinggi) dan
masam. Terlepas dari kondisi iklim yang berbeda antara kedua wilayah
tersebut, lahan pertanian di Kab. Lombok Timur lebih subur daripada di
Kab. Lombok Barat bagian utara.

Suwardji & J. Priyono


92

Suwardji & J. Priyono


93

BAB 7
GEOMORFOLOGI DAERAH KARST

Tujuan Instruksional Khusus


Setelah selesai mengikuti kuliah untuk bab ini, mahasiswa diharapkan memahami
pengertian dan arti penting wilayah karst, proses pembentukan, sifat dan
karakteristik bentang lahan karst, dan berbagai aspek penting untuk pemanfaatan
lahan pada bentang lahan karst.

7.1. Arti Penting Bentang Lahan Karst


Bentang lahan karst terbentuk dan berkembang secara khusus dari ba-
tuan karbonat melalui proses karstifikasi. Lahan dengan bentang lahan karst
cukup luas di Indonesia dan mempunyai arti penting, baik secara ekonomi
maupun estetika, yaitu sebagai tempat untuk geowisata yang unik. Dalam
forum internasional, bentang lahan karst telah diakui mempunyai nilai pen-
ting dalam banyak aspek dan ditetapkan sebagai kawasan lindung oleh
IUCN (International Union for Conservation of Nature) pada tahun 1997.
Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan pedoman untuk pengelolaan gua
dan karst (Samodra, 2000). Sebelumnya, wilayah karst dianggap menarik
hanya bagi ahli geomorfologi. Tetapi setelah berbagai kajian dilakukan,
ternyata bentang lahan yang kering dan tandus ini memiliki keaneka-ragam-
an hayati dan non hayati yang unik, tidak ditemukan pada bentang alam
yang lain. Pengelolaan kawasan karst harus mempertimbangkan aspek ilmi-
ah, ekonomi, dan kemanusiaan di daerah yang dimiliki kawasan tersebut.
Upaya itu juga menjadi penting kaitannya dengan pelestarian nilai keaneka-
ragaman bumi (geodiversity) dan hayati (biodiversity) di kawasan itu.

7.2. Pembentukan Karst


Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa kawasan karst terdiri atas
bentang alam yang secara khusus berkembang pada batuan karbonat (ba-

Suwardji & J. Priyono


94

tuan gamping dan dolomit). Pembentukan bentang lahan karst secara


berkelompok atau tunggal dipengaruhi oleh proses pelarutan batuan karbo-
nat yang secara alami lebih intensif dibandingkan dengan yang terjadi di
kawasan dengan jenis batuan lain (Samodra, 2001). Proses pelarutan kimia-
wi oleh air dipercepat oleh keberadaan CO2 dari udara maupun hasil pem-
busukan sisa tumbuhan.
Proses terjadinya karst atau karstifikasi berlangsung secara singkat, ka-
rena CO2 bereaksi dengan air hujan membentuk H2CO3 yang sifatnya ma-
sam dan sangat reaktif terhadap batu gamping (CaCO3). Kadar CO2 di uda-
ra sekitar 0,03% dan di dalam gua meningkat mencapai 0,1 - 3.75 %, dan
makin tinggi kadarnya ke arah dalam bumi (IUCN, 1997). Reaksi kimia
pembentukan karst atau karstifikasi yang terjadi pada daerah batu gamping
sebagai berikut:
H2O + CO2 ⇋ H2CO3
H2CO3 ⇋ HCO3- + H+
CaCO3 + 2H+ ⇋ Ca+2 + H2CO3
Secara sederhana, kawasan karst adalah kawasan yang dalam proses
pembentukannya didominasi oleh proses pelarutan seperti reaksi di atas.
Dalam kontek yang lebih luas, proses pembentukan karst atau karstifikasi
merupakan perpaduan antara proses yang melibatkan unsur morfologi, kehi-
dupan alam, energi, air, gas, tanah, dan batuan, membentuk satu-kesatuan
yang utuh (Samodra, 2001). Gangguan terhadap salah satu unsur dalam pro-
ses pembentukan seperti yang digambarkan dalam reaksi kimia di atas akan
mengganggu seluruh sistem dalam pembentukan karst. Proses pelarutan itu
sendiri sebenarnya dapat terjadi pada berbagai batuan, baik batuan beku, se-
dimen, maupun malihan (metamorf). Namun, proses karstifikasi hanya akan
berlangsung intensif pada batuan yang mudah larut (misalnya batuan karbo-
nat) dan batuan evaporit yang terbentuk akibat penguapan (misalnya gyp-
sum).

Suwardji & J. Priyono


95

7.3. Ciri dan Sifat Bentang Lahan Karst


Ciri utama yang menunjukan adanya pembentukan karst adalah kenam-
pakan morfologi permukaan (eksokarst) maupun yang terjadi di bawah per-
mukaan bumi/gua (endokarst). Kenampakan adanya morfologi karst adalah
bentuk bukit tunggal, pematang bukit, ukiran di permukaan batuan (struktur
lapis), lekuk lembah (dolina, polje, avala), mata air, serta menghilang/pin-
dahnya aliran sungai dari permukaan tanah ke dalam tanah melalui sistem
rucutan, seperti lubang penampung (sink) atau mulut gua yang ada.
Dolina, dikenal sebagai lubang penampung (sink hole), adalah lekukan
tertutup pada permukaan batu gamping yang mempunyai garis tengah bebe-
rapa meter hingga 1 km dengan kedalaman ratusan meter. Dasar dolina
yang dilapisi tanah sering dijadikan areal pertanian lahan kering, seperti
yang banyak dijumpai di beberapa wilayah Pegunungan Sewu, daerah an-
tara Yogyakarta dan Pacitan Jawa Timur. Berdasarkan proses pembentuk-
annya (genesis), ada dolina yang terbentuk melalui proses pelarutan dan pe-
runtuhan. Pada kebanyakan kawasan karst, kedua proses pembentukan itu
biasanya terjadi secara bersamaan. Lembah dolina juga sering dialiri oleh
sungai permukaan yang kemudian menghilang masuk ke dalam tanah. Lo-
bang masuk itu dikenal sebagai swallow hole atau stream sink (Monroe,
1970).
Polje merupakan sebuah lekukan tertutup seperti dolina, tetapi ukuran-
nya sangat besar, panjang dan lebarnya mencapai beberapa km. Dasar polje
yang umumnya rata dibatasi oleh dinding batu gamping yang curam. Polje
berasal dari kata Slovenia yang artinya lapangan. Gabungan beberapa doli-
na (compound dolines) memmbentuk suatu lekukan topografi yang besar,
dikenal sebagai ubala (Lowe dan Waltham, 1995).
Keunikan endokarst adalah adanya sistem gua dan sungai bawah tanah.
Dari proses genesisnya, perbedaan kawasan karst dan kawasan batu gam-
ping bukan karst adalah tingginya intensitas proses geokimia, serta keadaan
lingkungan yang berkaitan dengan sistem hidrosfer dan biosfer yang ada,
baik di permukaan maupun di bawah permukaan tanah.

Suwardji & J. Priyono


96

Kawasan karst biasanya dicirikan oleh tata air yang didominasi oleh
aliran air di bawah permukaan tanah. Biosfer kawasan karst dicirikan oleh
adanya jenis tumbuhan tertentu, baik yang hidup di permukaan maupun di
kegelapan gua. Tumbuhan dapat hidup di kawasan karst karena kawasan itu
kaya unsur kalsium dari batu gamping. Pada daerah tropika basah, seperti di
Indonesia, pembentukan tanah di kawasan karst memerlukan waktu yang
sangat lama. Sebagai contoh, untuk pembentukan tanah setebal 1 m diperlu-
kan pelarutan batu gamping setebal 25 m selama 250 - 750 tahun (Yuan,
1983). Maka dapat diperkirakan telah seberapa lama waktu proses itu terja-
di untuk menghasilkan kawasan karst yang memiliki tanah setebal 3 m dan
menghasilkan bentang lahan eksokart dan endokarst.

7.4. Karst di Indonesia


Setiap kawasan karst yang ada di Indonesia mempunyai sifat dan karak-
teristik tersendiri, tergantung pada kondisi iklim, litologi atau struktur geo-
logi setempat, waktu, kemampuan batuan menyerap air dan menyimpan air,
kerapatan vegetasi penutup tanah (land coverage), tebal-tipisnya lapisan ta-
nah, serta campur tangan manusia dalam pengelolan lahan. Bahkan, di da-
lam wilayah kawasan karst yang luas seperti di Gunung Sewu, beberapa ba-
gian dari daerah itu masing-masing mempunyai kekhasan sendiri, sehingga
karakteristik biofisik kawasan karst tidak dapat disama-ratakan. Dengan
melihat kenyataan bahwa adanya karakteristik karst yang sangat beragam,
maka dalam melakukan usaha pemanfaatan dan perlindungan kawasan karst
di Indonesia, keunikan masing-masing daerah karst senantiasa harus diper-
hatikan.

7.5. Aspek Hidrologi Kawasan Karst


Air merupakan faktor utama dalam proses pembentukan ekso- dan
endo- karst. Perilaku air di kawasan karst membentuk sistem hidrologi yang
sangat kompleks dan unik untuk kawasan karst. Kondisi geologis (litologi,
stratigrafi, ketebalan, derajat karstifikasi) kawasan karst yang berbeda-beda

Suwardji & J. Priyono


97

menyebabkan sistem hidrologi dan hidrodinamikanya pada masing-masing


kawasan karst berbeda pula. Kedudukan ilmu speleologi menjadi penting,
karena pengetahuan itu akan mengungkapkan keadaan hidrodinamika masa
lalu dan masa sekarang. Tatanan hidrogeologi kawasan karst yang dinamis
di masa lalu dapat dipelajari melalui kajian fenomena endokarst, seperti
scallops, flutes, ceilling dents dan sebagainya.
Untuk kegiatan pengelolaan kawasan karst, perlu dilakukan inventarisa-
si dan identifikasi kebutuhan air bersih penduduk di kawasan itu. Air terse-
but umumnya diperoleh dari sumber air karst yang ada, baik di sungai ba-
wah tanah, telaga, atau danau yang ada di permukaan. Selanjutnya, untuk
mempermudah pengelolaan dan pengawasannya, kebutuhan tersebut harus
diproyeksikan untuk waktu tertentu (Ko, 1997). Di Indonesia, penduduk
daerah Gunung Kidul, Blitar selatan, Trenggalek selatan, Tuban, Nusa
Tenggara, Timor dan Maluku menjadikan air di kawasan karst sebagai sum-
ber air utama, di atas kebutuhan lainnya.
Keberadaan air di kawasan karst dipengaruhi oleh banyak faktor, antara
lain: (1) sifat fisik batuan karbonat itu sendiri, meliputi jenis itologi, kesa-
rangan, kelulusan, sistem retakan atau celah, (2) keadaan bentang alam (pla-
to, pebukitan), (3) keadaan iklim, (4) keadaan lapisan tanah, (5) keadaan
vegetasi penutup lahan, dan (6) kegiatan penduduk karst (Ko, 1997)
Sistem hidrologi kawasan karst berbeda dengan kawasan lain. Air di
kawasan karst bergerak melalui sistem retakan – celah – gua. Gerakan air
tanahnya melalui pori-pori antar butiran batuan atau mineral. Di kawasan
bukan karst, air mengalir secara intergranular (melalui ruang antar butiran),
sedangkan di kawasan karst sebagian besar membentuk aliran konduit (me-
lalui suatu saluran). Begitu pula dengan media dan arah aliran. Menurut
Atkinson (1977), di kawasan karst medianya bersifat heterogen. Sebaliknya,
media aliran air di kawasan bukan karst bersifat homogen. Di kawasan
karst, aliran air bergerak secara turbulensi (berputar), sedangkan di kawasan
bukan karst gerakannya bersifat difuse atau laminer. Di kawasan bukan
karst, sungai mengalir di permukaan, sedangkan di kawasan karst umumnya
membentuk aliran bawah tanah.

Suwardji & J. Priyono


98

Dengan demikian air yang mengalir melalui lorong gua dapat dianggap
sebagai sungai utama, dan percabangan yang ada mengalir melalui celah
dan retakan batuan. Sebagian kecil air yang bergerak melalui ruang antar-
butir (vadose seepages) batuan karbonat dan retakan sempit (vedose tric-
kles) di kenal sebagai air perkolasi. Air perkolasi dapat dianalogikan de-
ngan aliran difuse, mengalir lambat dan bertindak sebagai “cadangan” air
sungai bawah tanah pada musim kemarau. Air perkolasi di kawasan karst
bergerak dengan kecepatan yang beragam, terganrung dari derajat karstifi-
kasi dan keadaan jaringan sistem celah-retakan yang ada. Di bawah permu-
kaan tanah, di jalur epikarstik, dapat terbentuk tempat penampungan semen-
tara yang disusun oleh saluran dan jaringan retakan atau celah yang luas.
Pada musim hujan, jalur epikarstik mendapat tambahan air yang mengalir
melalui saluran, sedangkan pada musim kemarau dari air perkolasi. Tam-
pungan air yang demikian dikenal sebagai akuifer epikarstik (Bonnaci,
1997).
Sistem celah-rekahan pada gua di kawasan karst dapat disamakan de-
ngan sungai utama dan percabangannya. Air di dalam masa batuan karbonat
dapat dianalogikan dengan aliran difuse, sehingga keduanya akan bertindak
sebagai reservoir untuk menambah air sungai bawah tanah pada musim ke-
marau. Selisih jumlah air yang masuk dan yang keluar merupakan jumlah
air yang tertampung di kawasan karst.
Neraca air kawasan karst tergantung pada jumlah air yang masuk dan
ke luar. Kemampuan batuan dalam sistem rekahan-celah-gua untuk me-
nyimpan air tergantung pada jenis litologi, ketebalan masing-masing lapisan
batugamping, kesarangan dan porositas batuan primer dan sekunder, serta
kerapatan kekar. Hidrologi karst yang bersifat dinamis secara bertahap akan
mengalami perubahan akibat pelebaran sistem celah-retakan. Perubahan
yang sifatnya drastis biasanya disebabkan oleh kegiatan tektonik. Menge-
ringnya air telaga secara serempak akibat runtuhnya lorong gua di bawah-
nya merupakan contoh dari pengaruh kegiatan tektonik.
Menurut Bonnaci (1997), keadaan di dalam akuifer epikarstik itu seo-
lah-olah menangguhkan aliran air perkolasi, sehingga pada saat terjadi

Suwardji & J. Priyono


99

hujan lebat, jalur epikarstik mengalami banjir ke arah hilir, kecepatan air di
saluran utama semakin besar, sehingga air terdesak masuk ke dalam akuifer
epikarstik. Air yang terdesak itu semula terjadi di bagian yang paling deras
arusnya, yaitu di bagian hilir sungai bawah tanah, di dekat pemunculannya
di permukaan (mata air). Secara perlahan, air yang terdesak berpindah ke
arah hulu. Jika celah atau retakan dalam akuifer epikarstik tidak mampu
menampung air yang melimpah, maka akan terjadi arus balik. Fenomena ini
sangat penting dalam memahami hidrodinamika karst, karena arus balik dan
turbulen akan menyebabkan retakan menjadi semakin lebar. Akibatnya, ke-
mampuan akuifer epikarstik dalam menampung dan menahan air hujan
makin besar.
Pada musim kemarau, yang merupakan perioda aliran lambat, akuifer
epikarstik menyalurkan air perkolasi ke dalam saluran utama, dari hulu
hingga hilir. Pada musim kemarau yang panjang, secara berangsur-angsur
akuifer epikarstik mengering. Pengisian kembali akuifer tersebut dalam
sistem hidrologi karst membutuhkan waktu berbulan-bulan. Proses peng-
isian kembali terjadi secara progresif, dan tidak mungkin disebabkan oleh
hujan lebat yang terjadi hanya beberapa kali pada permulaan musim hujan.
Selama permulaan musim hujan, air mengisi retakan akuifer epikarstik,
sebelum mengalir ke dalam saluran utama. Ko (1997) berpendapat bahwa
pada saat itu mungkin saja terjadi banjir di dalam gua, terutama jika air ma-
suk melalui lubang, misalnya pada gua-tembus (though cave).
Pada suatu kawasan karst, subsistem akuifer epikarstik tidak hanya ter-
dapat di satu bagian saja, tetapi di beberapa tempat, tergantung pada jenis
litologi, keadaan stratigrafi, dan derajat karstifikasi. Semua subsistem yang
ada akan berhubungan dengan saluran utama, sebelum berakhir pada suatu
mata air karst.
Penelitian berbagai jenis akuifer karst dilakukan berdasarkan mekanis-
me dan dinamiska sistem masukan (input) dan luaran (output). Usaha itu
dilakukan melalui analisis hidrograf pada mata air karst (Bonnaci, 1997).
Hidrograf sumber air karst merupakan gambaran integral dari jaringan ce-
lah-retakan yang menampung dan menyalurkan air ke mata air yang ada.

Suwardji & J. Priyono


100

Bentuk kurva hidrograf air yang terekam untuk suatu mata air menggam-
barkan tanggapan akuifer terhadap masukan air. Bentuk kurva dan kecepat-
an air akan menginformasikan sifat penampungan dan struktur akuifer yang
menyalurkan air ke mata air yang ada. Analisis hidrograf yang bersifat ku-
antitatif akan menjadi lebih lengkap jika disertai dengan analisis kualitatif
air (kemograf).
Di bagian dalam karst, baik pada jalur jenuh, freatik, maupun jalur pe-
nuh air, juga terdapat akuifer. Akuifer ini disusun oleh jaringan celah, retak-
an, dan gua, yang saling berhubungan dan dipenuhi air sepanjang tahun.
Jalur ini juga membentuk subsistem tersendiri, memiliki aliran lambat dan
cepat di dekat saluran utama.
Selain itu perlu juga dipahami bahwa pada batugamping berongga, apa-
lagi jika sudah membentuk sistem perguaan, aliran air berubah menjadi tur-
bulensi. Pipa atau saluran yang yang dilalui arus turbulen setidaknya mem-
punyai garis tengah lebih dari 1 cm (Atkinson, 1977). Perubahan sifat fisik
batugamping, misalnya pelebaran sistem rekahan atau atau celah, akan
mengubah sistem hidrologi karst secara drastis. Pelebaran retakan atau ce-
lah pada lapisan batugamping mampu meningkatkan kelolosan air sampai
10.000 kali dari nilai kelulusan primer. Jika terjadi sistem gua, kelolosannya
lebih besar lagi, yaitu hingga sekitar 107 kali kelolosan asli.
Keberadaan tanah (tebal, jenis), vegetasi (jumlah, jenis) dan topografi
kawasan karst cenderung mempengaruhi proses peresapan air ke dalam ta-
nah. Hubungannya dengan topografi, air akan lebih mudah meresap di dae-
rah lekukan seperti dolina, uvala, dan lembah. Pada lereng pebukitan yang
terjal, air hujan mengalir sebagai air permukaan. Di dalam sistem kapiler
batuan, peresapan air dihambat oleh gelembung udara yang ada di dalam
celah dan retakan sempit oleh endapan biogenik, seperti humus dan bahan
organik lainnya, atau oleh lumpur, pasir, kerikil, dan akar tumbuhan. Pere-
sapan juga mengalami hambatan pada saat hujan lebat, yaitu ketika akuifer
epikarstik sudah jenuh atau daya salur sistem sifon yang ada terlampaui, se-
hingga terjadi arus balik yang cukup kuat. Gejala seperti itu antara lain

Suwardji & J. Priyono


101

terjadi pada sistem aliran S. Suci, luweng Glatikan, Gelung, dan Grubug, di
daerah Gunung Sewu (Samodra, 1996).
Proses geologi, misalnya pengikisan dasar lembah yang dialiri oleh su-
ngai permukaan, atau pengangkatan akibat gaya tektonik, cenderung me-
nyebabkan terjadinya penurunan muka air tanah. Proses tersebut menyebab-
kan celah, retakan, dan lorong yang semula dialiri air, berangsur-angsur
atau mendadak kering, membentuk lorong fosil. Air mengalir melalui sis-
tem celah atau lorong baru yang letaknya lebih dalam. Sistem celah-retakan
dan lorong baru itu sebenarnya sudah ada sebelumnya, yaitu sebagai lapisan
yang terdapat porositas dan permeabilitas primer, berkembang pada jalur
jenuh air dan jalur di bawah muka air bawah tanah. Di satu sisi, kegiatan
tektonik akan menciptakan retakan baru yang dianggap memperlancar ge-
rakan air di dalam lapisan batuan. Di sisi lain, kegiatan itu menjadi pemicu
terjadinya proses peruntuhan lorong gua, sehingga celah menjadi lebih sem-
pit dan lintasan airpun berubah arah. Pada musim hujan, air akan memban-
jiri seluruh akuifer karst yang ada. Lorong fosil atau celah yang sebelumnya
kering terisi kembali. Di permukaan terbentuk mata air baru, atau mata air
yang berpindah tempat. Limpahan air yang tidak tertampung menyebabkan
timbuknya arus balik, sehingga air mengisi semua lorong dan celah kering
yang ada.
Daya tampung juga meningkat pada lorong baru yang terbentuk akibat
pembajakan sungai bawah tanah (underground river pirating) (Atkinson,
1977). Keadaan ini secara khusus terjadi pada lorong berair yang berbelok-
belok (meandering). Pelarutan yang memperbesar lorong sering diikuti de-
ngan peruntuhan dinding dan atap lorong. Proses peruntuhan yang menye-
babkan lorong menjadi makin lebar karena lapisan batuan mengalami pe-
ngurangan daya dukung. Pelebaran ini bahkan dapat membentuk ruangan
besar di bawah tanah, sehingga daya tampung air menjadi jauh lebih besar
dibanding keadaan semula. Luapan air ketika banjir juga membawa bera-
gam jenis dan ukuran sedimen asal luar, yang selanjutnya diendapkan dida-
sar lorong atau di dalam retakan batuan. Proses ini menimbulkan akibat se-
baliknya, yaitu mengecilnya daya tampung air.

Suwardji & J. Priyono


102

Daya tampung air di kawasan karst dapat dihitung dengan melakukan


analisis terhadap denyut banjir (flood-pulse), baik yang terjadi secara alami
maupun buatan. Denyut banjir itu memasuki retakan sebagai sumber air
karst. Perhitungan daya tampung air karst yang dihasilkan, selanjutnya di-
pakai untuk membuat model matematik akuifer, yang nantinya melengkapi
data masukan dan keluaran air (Bonnaci, 1997).

Suwardji & J. Priyono


103

BAB VIII
GEOMORFOLOGI DAERAH PANTAI

Tujuan Instruksional Khusus


Setelah selesai mengikuti kuliah bab ini, diharapkan mahasiswa dapat menjelaskankan
dengan tepat tentang jenis pantai, terumbu karang, dan delta meliputi proses
pembentukan dan perkembangannya, serta geomorfologi khusus daerah pasang surut.

Pada dasarnya, sifat dan keadaan geormopologi suatu wilayah tidak me-
ngenal batas teritorial negara. Tidak ada pemisahan antara geormorfologi
darat dan laut. Namun, secara fisik dapat dilihat bahwa wilayah darat ditu-
tupi oleh media udara, walaupun pada beberapa tempat tertutup oleh media
air, seperti daerah rawa, danau dan sungai; sedangkan laut dan lautan tertu-
tup oleh media air. Perbedaan lain adalah dalam segi proses perubahan yang
terjadi pada wilayah itu, misalnya yang berkaitan dengan proses erosi,
transportasi sedimen, dan pelapukan sedimentasi.

8.1. Pantai
Berdasarkan proses pembentukannya (genesa), pantai dapat diklasifi-
kasikan menjadi (1) pantai submergence, (2) pantai emergence, (3) pantai
netral, dan (4) pantai campuran (compound).
1) Pantai submergence.
Pantai submergence terbentuk jika muka air laut menggenangi dae-
rah dataran. Pada awal terbentukan daerah pantai (tahapan muda) bia-
sanya tidak teratur, banyak teluk dan lembah yang tenggelam. Dasar
laut juga tak teratur dan terdapat lembah dan bukit tua yang telah ada
sebelumnya. Proses selanjutnya, gelombang mulai mengkikis lebih da-
lam di bagian yang lemah, membentuk gua pantai (sea caves). Selan-
jutnya, sering terjadi longsoran karena proses pengikisan kaki tebing.
Akibat pengikisan lanjut dan pengendapan terbentuk spites, dan

Suwardji & J. Priyono


104

tanjung banyak mengalami pengikisan menjadi bukit pantai terjal. Pan-


tai submergence yang berteluk dan dalam sering dijadikan yang baik,
tetapi daerah belakangnya miskin.
Spite adalah bentuk endapan pantai dengan satu bagian tergabung
dengan daratan dan bagian lain menjorok tipis ke laut. Berbagai endap-
an pantai terbentuk, yaitu headland beaches, bayside beach, bay head
beach. Istilah bar digunakan untuk spite yang menghubungkan satu
headland dengan headland yang lain: bay mouth bar, mid bay bar, bay
head bar. Tombolo adalah genting yang menghubungkan pulau dengan
daratan. Pada tahapan dewasa, keadaan detail pantai menjadi hilang.
Headland menjadi mundur, bay mouth bar menjadi satu dengan head-
land, dan teluknya makin terisi lebih banyak sedimen. Akhirnya, selu-
ruh headland terdorong ke belakang dan garis pantai menyatu ke darat-
an utama (main land).
2) Pantai emergence
Pantai emergence terbentuk jika muka air laut menggenangi daerah
laut atau danau yang sebagian terangkat. Pada mulanya, garis pantai
cenderung lurus, dengan kontur lurus pula. Kedalaman laut bertambah
secara teratur. Gelombang kecil dapat melaju dan mengikis tebing ren-
dah membentuk nip. Gelombang besar dapat mengikis dasar pantai, en-
dapannya membentuk submarine bar sejajar dengan garis pantai.
Pada tahapan muda, submarine bar selanjutnya tumbuh membentu
offshore atau barrier bar dengan lagoon di belakangnya. Sebagian be-
sar offshore bars terputus dan tempat offshore bar terputus tadi disebut
tidal inleds. Tidal deltas terbentuk di dalam lagoon, gelombang yang
masuk dan keluar membawa endapan. Pada waktu air pasang (naik),
gelombang air dapat melampui bar dan mengendapkan sedimen di bela-
kangnya, disebut wash over.
Pada tahapan dewasa, setelah gosong (bar) terbentuk dan gelom-
bang mengikis dasar laut di muka gosong. Terkikisnya gosong menye-
babkan pantai terdorong ke arah lagoon dan daratan. Profil pantai men-
jadi lebih terjal dan nip terbentuk.

Suwardji & J. Priyono


105

Pantai emergence umumnya mempunyai delta yang jarang dan mis-


kin, karena dangkal dan berlumpur. Daerah di belakangnya mungkin
sangat subur atau terdapat sumber mineral.
3) Pantai netral.
Pantai netral merupakan pantai yang terbentuk tidak tergantung pa-
da gejala naik-turunnya pantai. Jenis pantai ini merupakan hasil peng-
endapan bahan aluvial. Delta, dataran aluvial, dan pantai outwash plain
terbentuk dari proses itu. Pantai umumnya mendalam pada ujung delta
(fore set bets). Bentuk pantai umumnya sederhana atau agak meleng-
kung.
Bird’s foot delta (lobate) mempunyai bentuk tak teratur karena ba-
nyaknya cabang sungai di delta yang menyebar secara divergen. Aliran
sungai yang sangat perlahan dan penutupan mulut sungai oleh endapan,
menyebabkan adanya divergensi arah sungai pada delta.
4) Pantai campuran (compound beach)
Pantai campuran terbentuk melalui proses pengangkatan dan
penurunan. Indikasi adanya proses tersebut antara lain: dataran
pantai (emergence), teluk yang banyak (submergence), dan teras.
Contraposed shorelines jika daratan lama berbentuk kasar, pan-
tainya terjal, dan dibatasi oleh dataran pantai yang sempit. Istilah
contraposed sama dengan super imposed yang dipergunakan un-
tuk sungai yang mengikis lapisan penutup hingga mencapai batu-
an yang tua.
5) Bentuk lain
Beach bridge, merupakan pantai berbukit memanjang, rendah, aki-
bat pertumbuhan pantai ke arah laut. Lembah di antara bukit di sebut
swales, slashes, atau furrows.
Beach cosps, merupakan akumulasi pantai berbentuk segitiga, terdi-
ri dari pasir/kerikil, tersebar secara teratur di sepanjang pantai,puncak
segitiga menunjak ke arah laut.

Suwardji & J. Priyono


106

8.2. Terumbu Karang


Terumbu karang merupakan koloni dari rumah jasad renik karang (cor-
ral polyps) yang hidup di lingkungan pantai. Persyaratan tumbuh untuk te-
rumbu karang antara lain sebagai berikut:
1) Suhu air dan lingkungan panas atau tropis, yaitu > 20º C.
2) Kedalaman air < 50 m (maximum 40 m).
3) Air jernih, tanpa sedimen, dasar laut cukup keras.
4) Laut harus tenang, karena arus yang besar akan merusak tubuh karang
yang rapuh dan menghambat pertumbuhan terumbu karang.
5) Sirkulasi air cukup lancar untuk mendapatkan cukup oksigen.
Pada kondisi yang sesuai, karang berkembang dengan cepat dan larva
yang berkembang biak pada karang akan tersebar oleh arus laut ke tempat
lain. Jika larva mendapatkan landasan yang kokoh, misalnya batuan keras
atau cangkang yang mengumpul dan mengeras, maka terumbu karang akan
cepat terbentuk dan berkembang. Kumpulan karang itu membentuk terum-
bu. Pertumbuhan karang dipercepat oleh tumbuhnya algae dan millipores
yang juga mengambil kalsium karbonat dari air laut, dan organisme itu tum-
buh efektif pada kedalaman 20 - 40 m.
Terumbu karang dapat berbentuk fringing reefs, barrier reefs, and
atoll reefs. Fringing reefs tumbuh melekat pada pulau atau pantai be-
nua. Tanpa lagoon atau genangan laut, daratan berbatu menjadi tum-
puan dari terumbu tersebut.
Barrier reefs merupakan terumbu yang tumbuh pada jarak beberapa ra-
tus meter sampai beberapa kilometer dari daratan pantai. Terdapat lagoon
atau genangan laut antara terumbu dengan pantai. Barrier reefs itu sendiri
merupakan jalur relatif sempit, terdiri dari karang dan pasirnya yang terka-
dang muncul ke permukaan laut. Jalur karang sempit tadi dapat berbentuk
cincin jika mengitari pulau.
Atoll juga berbentuk cincin atau elips, merupakan jalur sempit karang
atau pasir melingkar dengan lagoon atau genangan laut di tengahnya. Atoll
mirip sebuh barrier reefs yang mengitari pulau, tetapi tanpa pulau di te-
ngahnya.

Suwardji & J. Priyono


107

8.3. Delta
Sebuah delta terdiri dari kumpulan endapan yang berasal dari daratan
(fluvial sediment) pada muara sebuah sungai. Sejumlah bahan endapan
yang dibawa oleh air sungai lebih besar jumlahnya dibanding dengan bahan
endapan yang sudah terendapkan dan disapu lagi oleh arus atau ombak laut-
an. Suatu keseimbangan antara masukan bahan endapan dari sungai dengan
dinamika penerimaan sedimen di sebuah lingkungan pengendapan, secara
terus-menerus dibentuk oleh regime sedimen yang berhubungan langsung
dengan variasi proses pembentukan pesisir pantai dengan kuantitas masuk-
an sedimen lebih besar ke dalam lingkungan endapan pantai tersebut.

8.3.1. Bagian Delta


Suatu delta dapat dibagi menjadi beberapa bagian yang mempunyai
karakteritik yang berbeda-beda, yaitu:
1). Dataran delta (delta plain)
Dataran delta adalah bagian dalam dari sebuah delta, dibentuk oleh
endapan sungai (fluvial) yang menyusun dan berkembang ke atas dan
menyebar dari delta ke arah tengah laut. Daratan delta terbentuk secara
perlahan, kadang menutupi daerah rawa yang biasanya dibentuk oleh
endapan halus. Daerah ini dikikis dan diisi oleh cabang endapan sungai
dengan bentuk penyebaran dan bercabang ke arah laut, kemudian diisi
pada alur sungai tersebut dengan endapan darat pasiran.
2. Bagian muka (delta front)
Bagian muka delta berupa dataran dangkal di bawah muka air laut
pada pinggiran pantai delta, dan menjadi tempat berkumpulnya sedimen
dari cabang sungai di sekitarnya.
3. Bagian terluar
Bagian terluar delta ke arah laut dari delta front, biasanya berbentuk
oleh lumpur tanpa pasir. Bagian ini merupakan zone delta paling luar,
dimana terjadi proses pengendapan suspensi.

Suwardji & J. Priyono


108

8.3.2. Bentuk Delta


Morfologi delta yang dipengaruhi oleh endapan darat (fluvial domina-
ted delta), terbentuk sebagai hasil pengendapan sedimen yang didominasi
oleh endapan dataran banjir (flood plain). Daerah tersebut tenggelam/ditu-
tupi oleh air dan pengiriman bahan sedimen relatif sangat singkat dengan
energi relatif besar. Proses itu biasanya terjadi pada musim hujan dengan
debit air relaif besar.
Morfologi delta yang dipengaruhi oleh pasang surut (tidal dominated
delta), dipengaruhi oleh pasang surut. Akibat banjir, sedimen akan tertahan
di daerah muara oleh pengaruh air pasang, sedimennya diendapkan secara
bersusun dan umumnya didominasi oleh massa dasar lempengan (sedimen
berbutir halus).
Morfologi delta yang dipengaruhi oleh gelombang laut (wave domina-
ted delta), umumnya terbentuk dari batuan sedimen yang dibawa oleh su-
ngai, disapu kembali diendapkan sejajar dengan garis pantai. Endapan pa-
sirnya berkumpul secara teratur. Kalau gelombang besar menghempasnya,
satuan pasir dapat berkumpul menjadi gunung kecil di sepanjang pantai.

8.4. Daerah Pasang Surut


Daerah pasang surut merupakan daerah pantai yang mempunyai sifat
dan ciri khusus, dipengaruhi oleh proses pasang dan surutnya air laut. Ta-
nah di daerah pasang surut terutama adalah tanah organik dan sulfat masam.
Di Indonesia, daerah pasang surut terutama terdapat di daerah Kalimantan,
Sumatera, dan Irian Jaya, dan merupakan lahan potensial yang cukup luas
di yang dapat dikembangkan sebagai areal pertanian, yaitu sekitar 39,4 juta
ha. Baru sekitar 2 juta ha lahan pasang surut tersebut direklamsi di sepan-
jang pesisir timur Sumatera (Riau, Jambi, Sumatra Selatan, dan Lampung)
dan di bagian pesisir barat dan selatan Kalimantan (Dep.Kimpraswil, 2006).
Pengembangan pertanian daerah pasang surut cukup sulit dan mahal,
karena (1) harus dibuat saluran drainase yang sekaligus difungsikan sebagai

Suwardji & J. Priyono


109

sarana transfortasi dan (2) berbagai kenala teknis dan ekologis yang harus
dipertimbangkan.
Dari aspek geomorfologi, daerah pasang surut terbentuk melalui proses
pengendapan bahan aluvial yang dibawa oleh aliran sungai, kemudian dien-
dapkan di sekitar muara sungai itu. Karena adanya air pasang dari laut, ma-
ka aliran air sungai itu tertahan, bahkan berbalik arah (ke hulu). Luapan air
sungai mengarah ke samping, sehingga terbentuklah rawa di sepanjang alur
sungai di dekat muara. Proses itu diikuti dengan pengendapan partikel halus
(clay) dan terjadi terus-menerus dalam waktu geologis sehingga meng-
hasilkan areal rawa pasang surut yang luas.

Tanah organik tebing sungai ▼ muka air pasang


non ▼muka air surut
sulfidikk

Endapan bahan sulfidik

Gambar 8.1. Skema pematang melintang lahan pasang surut.

Seperti tampak pada Gambar 8.1, karena kondisi reduktif daerah rawa
memungkinkan terbentuknya tanah organik (gambut). Selain itu, senyawa
sulfat dari air tawar (sungai) maupun air laut dapat membentuk senyawa
kompleks sulfida dengan logam polivalen (Fe, Al, Mn) melalui proses
biokimia dalam kondisi reduktif. Hasil akhir pembentukan senyawa sulfidik
yang umum dijumpai adalah pirit (FeS2).
Jika tanah organik tersebut terbentuk pada cekungan (sungai tua), maka
akan terbentuk tanah organik yang dalam, bisa mencapai lebih dari 2 m, dan
kurang subur. Hal itu dikarenakan bahan organik yang tertimbun berasal

Suwardji & J. Priyono


110

terutama dari tanaman air, mengambil unsur hara hanya dari air dan udara,
sehingga relatif miskin hara. Sebaliknya, tanah organik yang dangkal ter-
bentuk dari sisa tanaman yang tumbuh pada tanah mineral (endapan) yang
kaya unsur hara, perakarannya dapat menjangkau unsur hara dari tanah mi-
neral lebih dalam. Tanah organik yang umumnya direkomendasikan untuk
diusahakan sebagai lahan pertanian adalah yang tebalnya < 50 cm.
Tanah pasang surut yang mengandung senyawa sulfidik (pirit) pada po-
sisi dangkal umumnya tidak direkomendasikan untuk dibuka, karena pada
kondisi oksidatif (berhubungan langsung dengan atmosfir), pirit akan terok-
sidasi menghasilkan asam sulfat sehingga tanah menjadi sangat masam.
Berkaitan dengan hal tersebut, pembuatan konstruksi saluran drainase juga
harus mempertimbangkan kemungkanan terjadinya oksidasi pirit tersebut.
Bahan tanah sulfidik (sulfat masam potensial) harus dipertahankan dalam
kondisi reduktif (tergenang), sehingga tidak teroksidasi menjadi sulfat ma-
sam aktual.

Suwardji & J. Priyono


111

BAB 9
KLASIFIKASI DAN ANALISIS
BENTANG LAHAN

Tujuan Instruksional Khusus


Setelah selesai mengikuti kuliah ini, diharapkan mahasiswa mengenal beberapa
sistim klasifikasi dan analisis bentang lahan, serta penerapannya pada pekerjaan
survai dan pemetaan tanah, khususnya untuk perencanaan pengembangan pertanian.

9.1. Konsep Dasar


Pada konsep dasar geomorfologi yang telah dibahas dalam Bab I dise-
butkan bahwa masing-masing tipe atau grup bentang lahan membawa atau
mempunyai sifat dan ciri unik yang mencerminkan proses dan evolusi geo-
morfik yang telah terjadi. Klasifikasi bentang lahan merupakan suatu pe-
kerjaan atau langkah memilah suatu objek menjadi beberapa bagian yang
lebih kecil (separating or breaking up of anything into its constituent ele-
ments). Berdasarkan tipe atau grup bentang lahan tersebut, selanjutnya di-
lakukan analisis bentang lahan, yaitu menterjemahkan makna sifat dan ciri
masing-masing tipe atau grup bentang lahan tersebut kaitannya dengan
potensi lahan itu untuk penggunaan tertentu, misalnya untuk pengembangan
pertanian.
Pada kondisi alami, bentang lahan di suatu kawasan umumnya sangat
beragam, baik mengenai kenampakan morfologis maupun tingkat dan seja-
rah perkembangannya. Proses geomorfik yang telah dan sedang terjadi
umumnya jarang yang sederhana (proses tunggal), tetapi lebih banyak yang
kompleks (gabungan dari beberapa proses). Hal tersebut menyebabkan ter-
jadinya keragaman yang tinggi tentang sifat lahan di suatu kawasan, sehing-
ga akan sulit diinterpretasikan jika tanpa pemilahan (klasifikasi) masing-
masing tipe bentang lahan yang ada di kawasan itu. Hasil analisis bentang
lahan selanjutnya dapat digunakan sebagai informasi dasar dalam rangka

Suwardji & J. Priyono


112

pemanfaatan lahan untuk berbagai kepentingan pengembangan, pemantauan


(monitoing), atau pengelolaan sumberdaya lahan di suatu kawasan. Tingkat
kedetilan klasifikasi (hirarki) dan analisis bentang lahan tergantung pada
kepentingan penggunaan data itu. Banyak sistim klasifikasi bentang lahan
yang telah dibuat atau sebagai referensi. Sesuai dengan sasaran pembaca
buku ini, dalam bab ini hanya dibahas sistim klasifikasi dan analisis bentang
lahan khusus untuk kegiatan survai dan pemetaan tanah dalam rangka pe-
nyusunan rencana pengembangan pertanian di Indonesia.

9.2. Sistim Klasifikasi Bentang Lahan


Sebagaimana sistem klasifikasi di bidang lain (misalnya klasifikasi un-
tuk flora, fauna, dan tanah), klasifikasi bentang lahan juga didasarkan pada
pertimbangan tertentu dan disusun secara sistematik berdasarkan kategori
tertinggi hingga terendah (hirarkis). Mengingat bahwa bentang lahan meru-
pakan bentukan alam yang terjadi melalui serangkain proses geomorfik,
maka klasifikasi bentang lahan sebaiknya didasarkan pada proses itu. Misal-
nya, kategori paling tinggi di dasarkan pada proses geomorfik utama, yaitu
proses geomorfik berdasarkan kesamaan sumber atau tipe energi/gaya yang
bekerja pada proses itu, yaitu gaya endogen, eksogen, dan ekstra terestrial.
Kemudian, untuk kategori yang lebih rendah didasarkan pada bentuk mor-
fologi lahan/relief, litologi, tingkat erosi atau torehan. Namun demikian, wi-
layah atau relief dapat pula digunakan sebagai faktor pemisah pada kategori
tinggi. Bentuk wilayah/relief itu merupakan sesuatu yang langsung dapat di-
lihat di lapang maupun melalui interpretasi foto udara atau citra landsat. Se-
lanjutnya, proses geomorfik, morfologi lahan, litologi dan torehan, diguna-
kan sebagai faktor pemisah pada kategori yang lebih rendah. Untuk kepen-
tingan tertentu, diperlukan klasifikasi sangat detail, misalnya berdasarkan
satuan lereng untuk menentukan satuan tanah pada kategori sub grup atau
seri.
Beberapa sistem klasifikasi bentang lahan yang pernah digunakan,
umumnya didasarkan pada proses geomorfik, tetapi dalam banyak hal

Suwardji & J. Priyono


113

sistimatikanya belum konsisten. Contoh dari sistim klasifikasi tersebut


adalah sebagai berikut:
1. Klasifikasi bentang lahan menurut Christian dan Steward (1968) yang
dikembangkan di CSIRO (Australia), menggunakan pendekatan sistim
lahan (land system). Sistem klasifikasi ini didasarkan pada aspek geo-
morfik, iklim, dan penutupan lahan. Dasar pemikiran yang digunakan
dalam sistim ini bahwa jika bentukan permukaan bumi dengan proses
dan evolusi yang sama, tetapi jika berada pada iklim dan penutupan
yang berbeda, akan dihasilkan sistim lahan yang berbeda. Dalam sistim
ini digunakan nama tempat sebagai nama sistem lahan. Penggunaan na-
ma tempat itu dapat memudahkan pengenalan, tetapi dari segi sistema-
tika akan terjadi kerancuan. Jika sistim tersebut digunakan di Indonesia,
misalnya, maka akan terdapat banyak sekali satuan lahan dan kemung-
kinan terjadi kerancuan bahwa sistim lahan yang sama, tetapi berada di
tempat yang berbeda, akan mempunyai nama yang berbeda pula.
2. Klasifikasi bentang lahan menurut Desaunettes (1997), menggunakan
pendekatan fisiografik dan bentuk wilayah. Sistem klasifikasi ini telah
sering digunakan di Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (Puslitta-
nak) Bogor dan Departemen Transmigrasi, serta merupakan acuan uta-
ma dalam penyusunan sistem klasifikasi bentang lahan untuk proyek
Land Resources Evaluation Project (LREP-I) tahun 1985-1990 di Indo-
nesia.
3. Klasifikasi bentang lahan menurut Van Zuidam dan Zuidam Cancelado
(1979), menggunakan metode analisis terain (terrain analysis). Analisis
geomorfologi disertai dengan keadaan bentuk wilayah, stratigrafi, dan
keadaan medan. Sistem klasifikasi terain ini dikembangkan dan diguna-
kan oleh ITC (International Training Center) - Enschede, Belanda.
4. Klasifikasi bentang lahan menurut Buurman dan Balsem (1990), meng-
gunakan pendekatan satuan lahan (land unit). Sistim ini diterapkan pada
Proyek LREP-I untuk survai sumberdaya lahan tingkat tinjau (recon-
naisance) skala 1 : 250.000 di P. Sumatera. Pada kegiatan tersebut,
pembagian bentang lahan pada kategori paling tinggi didasarkan pada

Suwardji & J. Priyono


114

kesamaan faktor fisiografi yang pada dasarnya adalah proses geomor-


fik. Namun, pada kenyataannya masih ada ketidak-konsistenan dalam
penamaannya. Misalnya, Grup Perbukitan (hill), Grup Pegunungan
(mountain), dan Grup Dataran (plain) menggunakan terminologi ben-
tuk wilayah (relief). Di samping itu, karena sistem ini digunakan khusus
untuk P. Sumatra, maka muncul grup fisiografi khusus karena keunik-
annya, yaitu: Grup Dataran Tuf Masam (Acid Tuff Plain) dan Grup Tuf
Toba Masam (Toba Acid Tuff). Kedua grup bentang lahan itu, apabila
konsisten didasarkan pada proses geomorfik, tentunya dapat digabung-
kan dengan grup lain menjadi grup utama tertentu.

9.3. Klasifikasi Bentang Lahan LREP


Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa untuk keperluaan survai
sumberdaya lahan pada tingkat tinjau yang pernah dilakukan di Indonesia,
yaitu pada proyek LREP (land resources evaluation project), klasifikasi
bentang lahan dilakukan berdasarkan sistim yang dikemukakan oleh
Buurman dan Balsem (1990), menggunakan pendekatan unit lahan. Pada
sistim klasifikasi untuk LREP-I masih terdapat beberapa kelemahan yang
perlu diperbaiki, antara lain seperti telah disebutkan di atas. Tiga tambahan
kelemahan lain adalah:
1). Grup Kubah Gambut tidak dapat mewadahi dataran gambut (tidak
membentuk kubah (dome).
2). Grup Teras Marin sebenarnya merupakan bagian/subgrup dari Grup
Marin.
3). Bentang lahan yang terbentuk karena proses sedimentasi oleh angin
(eolian) belum mempunyai wadah tersendiri.
Pada pekerjaan LREP-II, beberapa kelemahan tersebut (LREP-I) diper-
baiki dan telah disusun klasifikasi bentang lahan untuk keperluan survai dan
pemetaan tanah pada tingkat semi detail. Dasar utama sistem klasifikasi
bentang lahan untuk LREP-II adalah proses geomorfik (genesis dan evolu-
sinya). Sesuai dengan format legenda peta tanah yang dibuat dalam LREP-
II, maka dalam analisis bentang lahan melalui potret udara, unit lahan pada

Suwardji & J. Priyono


115

suatu bentang lahan dipilah lebih rinci berdasarkan relief, kelerengan, dan
litologinya.
Pada sistim klasifikasi untuk LREP-II, bentang alam (landscape) di su-
atu kawasan dibagi menjadi 10 kelompok utama bentang lahan (landforms)
Selanjutnya, kelompok utama dibagi lagi menjadi beberapa sub kelompok
berdasarkan sifat masing-masing sub kelompok dan sub sub kelompok (li-
hat Tabel 9.1a – 9.1c).
Pada Tabel 9.1a – 9.1c tampak bahwa pembagian unit bentang lahan
atau unit lahan cukup detail, sesuai dengan keperluan penggunaan sistim
tersebut untuk survai dan pemetaan tanah pada tingkat semi detail. Untuk
survai dan pemetaan tanah pada tingkat tinjau, tentu saja tidak perlu dilaku-
kan klasifikasi sedetail itu, mungkin sampai kategori kelompok utama su-
dah cukup, seperti yang dilakukan dan dilaporkan oleh Desaunettes (1997)
untuk sistim lahan di Nusa Tenggara dan Maluku.

9.4. Analisis Bentang Lahan


Analisis bentang merupakan kelanjutan proses pemilahan bentang la-
han sampai kategori tertentu (klasifikasi) yang telah dilengkapi dengan
penjelasan ciri dan sifat masing-masing unit lahan tersebut. Makna sifat dan
ciri tersebut kemudian diterjemahkan kaitannya dengan kondisi alami lahan,
tingkat kemampuan, kecocokan, ataupun faktor pembatas lahan untuk ke-
pentingan tertentu. Misalnya, pada pekerjaan survai dan pemetaan tanah da-
lam rangka penyusunan rencana pengembangan pertanian atau pemukiman
transmigrasi di suatu kawasan, analisis bentang lahan umumnya dikaitkan
dengan evaluasi kesesuaian lahan untuk budidaya tanaman pangan, tanaman
perkebunan, dan pemukiman. Dengan demikian, interpretasi sifat dan ciri
bentang lahan dikaitkan dengan tingkat kesuburan riel maupun potensial,
bahaya erosi (potensi terjadinya degradasi), ketersediaan air, dan besaran
masukan (input) yang diperlukan. Dalam hal ini, kondisi kelerengan umum-
nya umumnya menjadi faktor pemisah utama antar unit lahan.

Suwardji & J. Priyono


116

Tabel 9.1a. Kelompok Utama (order) pada sistim klasifikasi bentang lahan
LREP-II dan uraian penjelasan ciri dan sifatnya

No Kelompok Utama Uraian


1 ALUVIAL (A) Bentang lahan muda yang terbentuk dari proses
(Alluvial Landform) fluvial (akktivitas sungai) maupun koluvial (gra-
vitasi), atau gabungan dari keduanya.
2 MARIN (M) Bentang lahan yang terbentuk oleh atau dipenga-
(Marine Landform) ruhi oleh proses marin baik proses yang bersifat
konstruktif (pengendapan) maupun distruktif
(abrasi) daerah yang terpengaruh air asin ataupun
daerah pasang surut tergolong dalam landforms
marin.
3 FLUVIO-MARIN (B) Bentang lahan yang terbentuk oleh gabungan dari
(Fluvio-Marine Landform) proses fluvial dan marin. Bentang lahan ini dapat
terbentuk pada lingkungan laut (berupa delta)
ataupun di muara sungai yang terpengaruh lang-
sung oleh akktivitas laut.
4 GAMBUT (O) Bentang lahan yang terbentuk di daerah rawa de-
(Peat Landform) ngan akumulasi bahan organik yang cukup tebal,
termasuk bentang lahan O berupa kubah (dome)
maupun bukan kubah/dataran.
5 EOLIN (E) Bentang lahan yang terbentuk oleh proses peng-
(Aeolian Landform) endapan material (pasir, debu) yang terbawa
angin.
6 KARST (K) Bentang lahan yang didominasi oleh bahan batu
(Karst Landform) gamping, pada umunya keadaan morfologinya
tidak teratur; dicirikan oleh adanya proses pela-
rutan bahan batuan penyusun, terjadinya sungai
dibawah tanah, gua dengan staglagtit dan sta-
lagmit
7 VOLKANIK (V) Bentang lahan yang terbentuk karena aktivitas
(Volcanic Landform) volkanik/gunungapi; dicirikan dengan adanya
bentuk kerucut volkanik, aliran lahar, lava atau
dataran akumulasi bahan volkanik. Bentang lahan
volkanik yang mengalami proses patahan/lipatan
(sebagai proses sekunder) tidak dimasukkan da-
lam bentang lahan V.
8 ANGKATAN (F) Bentang lahan yang terbentuk sebagai akibat ber-
(Uplifted Landform) langsungnya proses pengangkatan. Proses ang-
katan yang berlangsung dapat mendatar, miring,
atau bentuk angkatan yang lain.
9 LIPATAN/PATAHAN (F) Bentang lahan yang terbentuk dari proses peng-
(Folded/faulded Landform) angkatan lebih lanjut, sehingga terbentuk lipatan
atau patahan, ditunjukan oleh lapisan geologi
yang tidak menyambung.
10 ANEKA (X) Grup yang tidak termasuk dalam grup yang telah
(Miscelleneous Landform) diuraikan di atas, misalnya danau dan perkotaan
(bangunan buatan manusia).

Suwardji & J. Priyono


117

Tabel 9.1b. Pembagian kategori dalam kelompok utama (LREP-II)

1. KELOMPOK ALUVIAL (A)


A.1. Lahan aluvial A.1.1. Dataran banjir A.1.1.1. Sungai bercabang-cabang
A.1.1.2. Sungai meander:
A.1.1.2.1. Tanggul sungai
A.1.1.2.2. Rawa belakang
A.1.1.2.3. Tasik sungai
A.1.1.2.4. Beting pasir
A.1.1.2.5. Gosong pasir
A.1.1.2.6. Meander scar
A.1.1.2.7. Bekas sungai lama
A.1.1.2.8. Jalur meander
A.1.1.3. Sungai lurus
A.1.1.3.1 Tanggul sungai
A.1.1.3.2 Rawa belakang
A.1.2. Teras sungai A.1.2.1. Teras atas
A.1.2.2. Teras tengah
A.1.2.3. Teras bawah
Dibagi lagi berdasarkan satuan
relief, lereng, dan torehan
A.1.3. Dataran aluvial Dibagi lagi berdasarkan satuan relief,
lereng, dan torehan
A.2. Lahan aluvio- A.2.1. Kipas aluvium A.2.1.1. Bagian atas/kepala
kolovial A.2.1.2. Bagian tengah
A.2.1.3. Bagian bawah/kaki
A.2.2. Kompleks kipas aluvium
A.2.3. Koluvial
A.2.4. Dataran sempit antar bukit
A.3. Aluvial basin A.3.1. Basin tertutup/ danau/lakustrin
A.3.2. Depresi aluvial

2. KELOMPOK MARIN (M)


M.1. Pesisir M.1.1. Punggung &cekungan pesisir
M.1.2. Pesisir pasir
M.1.3. Pesisir lumpur
M.1.4. Pasir penghalang
M.1.5.Tomolo
M.1.6. Spits
M.1.7. Bekas laguna
M.2. Tebing Batuan M.2.1. Tebing karang terjal
M.2.2. Potongan arus.
M.2.3. Terumbu karang menyebar
M.2.4. Terumbu karang pinggir pantai
M.2.5. Atol
M.3. Pantai Pasang M.3.1. Pantai pasang surut pasir
Surut M.3.2. Pantai pasang surut lumpur
M.3.3. Rawa belakang pasang surut
M.4. Teras Marin M.1.1. Teras marin baru
M.1.2. Teras marin lama/tua

Suwardji & J. Priyono


118

3. KELOMPOK FLUVIO-MARIN (B)


B.1. Delta Laut B.1.1. Delta estuarin
B.1.2. Delta Arcuate
B.1.3. Delta kaki burung
B.2. Dataran esturin sepanjang sungai besar

4. KELOMPOK GAMBUT (G)


G.1. Gambut topogen G.1.1. Gambut air tawar
G.1.2. Gambut pengaruh salin
G.2. Gambut ombrogen G.2.1. Gambut air tawar
G.2.2. Gambut pengaruh salin

5. KELOMPOK EOLIN (E)


E.1. Pasir penutup (ketebalan > 50 cm)
E.2. Lapisan pasir (ketebalan < 50 cm)
E.3. Gumuk pasir E.3.1. Gumuk pasir pantai
E.3.2. Gumuk pasir sungai
E.3.3. Gumuk pasir daratan
E.4. Bahan lepas (losses) bahan debu

6. KELOMPOK KARST (K)


K.1. Dataran tinggi (plateau) karst Dibagi berdasarkan unit relief, lereng,
K.2. Punggung dan torehan
K.3. Cekungan K.3.1. Sinkhole
K.3.2. Doline
K.3.3. Uvala
K.3.4. Poljes
K.4. Singkapan batu gambping K.4.1. Runcing (Pinnacle)
K.4.2. Hummock
K.4.3. Terumbu (Clif)

7. KELOMPOK VOLKANIK (V)


V.1. Strato V.1.1. Kerucut volkanik V.1.1.1. Lereng volkanik
V.1.1.1.1. Lereng atas
V.1.1.1.2. Lereng tengah
V.1.1.1.3. Lereng bawah
V.1.1.1.4. Planes
V.1.1.2. Lubang kepundan
V.1.1.3. Kaldera
V.1.1.4. Kaki gunungapi
V.1.1.5. Ngarai
V.2. Gunungapi V.2.1. Shield membulat
shield V.2.2. Plateau
V.3. Aliran lahan V.3.1. Bagian atas
V.3.2. Bagian tengah
V.3.3. Bagian bawah

Suwardji & J. Priyono


119

8. KELOMPOK FORMASI ANGKATAN (U)


U.1. Angkatan U.1.1. Plateu U.1.1.1. Punggung plateu
mendatas U.1.1.2. Gawir plateu
U.1.2. Mesa U.1.2.1. Punggung mesa
U.1.2.2. Gawir mesa
U.1.3. Bute Dibagi berdasarkan bentuk, lereng,
dan torehan
U.2. Angkatan miring Dibagi berdasarkan relief, lereng dan torehan
U.3. Angkatan lain U.3.1. Perbukitan
U.3.2. Pegunungan

9. KELOMPOK FORMASI LIPATAN (F)


F.1. Punggung F.1.1. Lipatan F.1.1.1. Punggung antiklin
paralel F.1.1.2. Depresi sinklin
Dibagi lagi berdasarkan relief,
lereng, dan torehan
F.1.2. Hogback F.1.2.1. Lereng curam
F.1.2.2. Gawir hogback
F.1.3. Cuesta F.1.3.1. Lereng curam
F.1.3.2. Gawir cuesta
F.1.4. Kompleks hogback F.1.4.1. Kompleks lereng curam
F.1.4.2. Kompleks gawir
Dibagi lagi berdasarkan relief,
lereng, dan torehan
F.1.5. Kompleks cuesta F.1.4.1. Kompleks lereng curam
F.1.4.2. Kompleks gawir
Dibagi lagi berdasarkan relief,
lereng, dan torehan
F.2. Kumpulan bukit kecil dan pola perbukitan
F.3. Blok F.3.1. Horse
F.3.2. Graben

10. KELOMPOK ANEKA BENTANG LAHAN (X)


X.1. Lahan rusak; X.2. Pemukiman utama; X.3. Air (water body);
X.4. Galian/pertambangan; X.5. Longsoran; X.6. Luncuran; X.7. Tanah bergerak; X.8.
infrastruktur/fasilitas transfortasi

Suwardji & J. Priyono


120

Tabel 9.1c. Pembagian lebih rinci dari sub kelompok berdasarkan unit ben-
tuk wilayah (relief) pada sistim klasifikasi bentang lahan LREP-II

Bentuk Wilayah Selang Lereng Perbedaan Tinggi


f- Datar <1% <2m
n- Agak datar 1-3% <2m
u- Berombak 3-8% 2 –10 m
r- Bergelombang 8 - 15 % 10 – 50 m
o- Bergumuk > 15 % < 10 m
c- Berbukit kecil > 15 % 10 – 50 m
h- Berbukit > 15 % 50 – 300 m
m- Bergunung > 15 % > 300 m

Kemungkinan kelas kombinasi dengan proporsi kira-kira sama:

fn - Datar dan agak datar


fu - Datar sampai berombak
ur - Berombak dan bergelombang
rc - Bergelombang dan berbukit kecil
rh - bergelombang dan berbukit
ch - berbukit kecil dan berbukit
hm - berbukit dan bergunung

Kemungkinan kelas kombinasi sebagai inklusi yang kontras:

fc - Datar dengan bukit-bukit kecil


fef - Bagian yang datar
fcc - Bukit-bukit kecil
nc - Agak datar dengan hukit-bukit kecil
ncn - Bagian yang agak datar
ncc - Bukit-bukit kecilnya
uc - Berombak dengan bukit-bukit kecil
ucu - Bagian yang berombak
ucc - Bukit-bukit kecil
rc - Bergelombang dengan bukit-bukit kecil
rcr - Bagian yang bergelombang
rcc - Bukit-bukit kecil

Suwardji & J. Priyono


121

Kemungkinan kelas kombinasi yang lain masih dapat disusun berdasarkan unit
yang telah disebutkan di atas.

Unit Lereng
1. Bentuk Lereng
vs Lereng cembung
ss Lereng lurus
cs Lereng cekung
xs Lereng tak teratur
ts Lereng diteras
Apabila tidak disebutkan, biasanya dianggap bahwa lereng bagian atas
adalah cembung, lereng tengah lurus, dan lereng bawah adalah cekung, se-
dangkan kaki lereng bisa cekung atau lurus.
2. Kelas Lereng
Aspek lereng yang penting adalah derajat kemiringannya yang dinyatakan
dengan satuan persen (%). Klasifikasinya sebagai berikut:
1) Untuk lereng tunggal :
A 0–3% Datar
B 3–8% Agak landai
C 8 – 15 % Landai
D 15 – 25 % Agak curam
E 25 – 40 % Curam
F 40 – 60 % Sangat curam
G > 60 % Terjal
2) Kemungkinan kelas kombinasi :
AB 0 – 8 % Datar dan agak melandai
BC 3 – 15 % Agak melandai dan melandai
CD 8 – 25 % Melandai dan agak curam
DE 15 – 40 % Agak curam dan curam
EF 25 – 60 % Curam dan sangat curam
FG > 40 % Sangat curam dan terjal
3. Panjang Lereng
Panjangnya suatu lereng perlu diketahui, antara lain untuk keperluan
pendugaan besarnya erosi yang dapat terjadi. Apabila tidak dilakukan
pengukuran, perkiraan panjangnya suatu lereng perlu dilakukan. Klasifikasi
panjangnya lereng adalah sebagai berikut:

Suwardji & J. Priyono


122

v sangat pendek < 50 m


s pendek 50 - 100 m
m agak panjang 101-200 m
l panjang 201-500 m
e sangat panjang > 500 m

Bahan Induk

Bahan induk dapat berupa bahan plutonik, volkanik, sedimen, metamorfik, alu-
vium atau organik.

100 plutonik plutonic


110 felsik/masam felsic/acid
111 granit granite
112 kuarsa (granit) porfir quartz (granite) porphyrit
113 pegmatit pegmatite
120 intermedier intermediate
121 sienit syenite
122 porfirit porphyrite
123 tonalit tonalite
124 granodiorit granodiorit
125 diorit diorite
130 mafik/base mafic/basic
131 gabro gabbro
132 dolerit dolerite
133 diabas diabase
134 norit norite
140 ultramafik/ultrabasa ultramafic/ultrabasic
141 serpentin serpentinite
142 peridotit peridotite
143 piroksnit pyroxenite

200 volkanik volcanic


210 felsik/masam felsic/acid
211 riolit rhyolite
222 liparit liparite
223 dasit dacite
224 batuapung pumice
225 obsidian obsidian
220 intermedier intermediate
221 andesit andesite
222 tefrit tephrite
223 leusitit leucitite

Suwardji & J. Priyono


123

230 mafic/basa mafic/basic


231 basalt basalt

300 sedimen sediment


310 felsik/halus fine felsic/acid
311 batuliat claystone
312 batulumpur mudstone
313 batulanau silstone
314 diatomit diatomite
315 serpih shale
320 felsik kasar/masam coarse felsik/acid
321 batu pasir sandstone
322 konglomerat conglomerate
323 batu pasir berkapur calcareous sandstone
330 kalkareus keras hard calcareous
331 batu gamping limestone
332 batu gamping karang coral limestone
333 breksi batu gamping limestone breccia
340 kalkareus lunak soft calcareous
341 napal marl
342 batu liat berkapur calcareous clay
343 kapur chalk
344 tuf berkapur calcareous tuff

400 metamorfik metamorfic


410 batu sabak slate
420 filit philite
430 gneis gneiss
440 skis schist
450 hornfels hornfels
460 kuarsit quarzite
470 batu pualan/marmer marble
480 amfibolit amphibolite
490 zeolit zeolite

500 aluvium alluvium


510 kerakal/batu stone
520 kerikil gravel
530 pasir sand
540 debu silt
550 liat clay

600 organik organic


610 rumput-rumputan grass

Suwardji & J. Priyono


124

620 paku-pakuan fern


630 kayu-kayuan wood

Tingkat Torehan
Suatu aspek penting yang sangat berkait dengan bentuk wilayah/relief, kondisi
bentang lahan, dan pengelolaan lahannya, adalah keadaan atau tingkat torehan (dis-
section) yang disebabkan oleh erosi yang telah terjadi dan saat sekarang. Tingkat
torehan ini dapat diklasifikasi secara kualitatif maupun secara kuantitatif.
1. Klasifikasi tingkat torehan secara kualitatif berdasarkan Desaunettes (1977)
adalah sebagai berikut :
a. Sedikit tertoreh, dicirikan oleh jarak antar punggung aliran air (interfluves)
lebar dengan gullies dangkal
b. Agak tertoreh, dicirikan oleh jarak antar punggung aliran air agak lebar
dan gullies agak dalam.
c. Tertoreh, dicirikan oleh jarak antar punggung aliran air sempit dan gullies
dalam.
d. Sangat tertoreh, dicirikan oleh adanya punggung (ridges) sempit dan
gullies sangat dalam dan sangat banyak.
2. Klasifikasi tingkat torehan secara kuantitatif mengikuti Strahrer (1964)
berdasarkan panjangnya alur drainase per satuan luas, sebagai berikut:

Tingkat torehan Di lapang Di peta Di peta


km/km2 1 : 50.000 cm/cm2 1 : 25.000 cm/cm2
0 Tidak tertoreh < 0,5 < 0,25 < 0,125
1 Sedikit tertoreh 0,5 – 1,0 0,25 – 0,5 0,125 – 0,25
2 Agak tertoreh 1,1 – 2,0 0,5 – 0,1 0,25 – 0,5
3 Sangat tertoreh 2,1 – 4,0 1,0 – 2,0 0,5 – 1,0
4 Ekstrim tertoreh > 4,0 > 2,0 > 1,0

Pola Drainase
Jaringan anak sungai yang terbentuk secara alami sangat ditentukan oleh
kondisi strata batuan yang ada. Jaringan sungai/anak sungai tersebut yang dikenal
dengan nama pola drainase (drainage pattern) dengan demikian dapat memberikan
informasi tentang sifat batuan/strata di bawahnya. Oleh karena itu, setiap landform
mempunyai pola drainase masing-masing, karena landform sangat ditentukan oleh
keadaan dan sifat strata batuannya. Beberapa pola drainase utama adalah :

Suwardji & J. Priyono


125

1. Dendritik (Den) :Sub denritik (Sud); Pinnate(Pin); Dikhotomik (Dik)


2. Paralel (Par) : Sub paralel (Sup); Kolinier (Col)
3. Trelis (Tre) : Sub trelis (Sut)
4. Recectangular (Rec) : Angulit (Ang)
5. Radial/sentrifugal (Rad): Sentripetal (Cen)
6. Anular (An) : multi-basinal/karstik (Mul)
7. Kompleks (Com)
8. Sinuous (Sin)
9. Meandering (Mean)
10. Braided (Bra)
Catatan: Istilah “sinuous”, “meandering”, dan “braided” lebih menggambarkan
sungai secara individual daripada pola drainase secara keseluruhan.

Posisi bagian bentang lahan


Banyak bentang lahan dapat dipisahkan lebih lanjut berdasarkan letak/posisi
dari bagian-bagiannya. Untuk bentang lahan pada wilayah datar dan hampir datar,
pemisahan ini dapat mencakup juga :
ue Bagian hulu
de Bagian hilir
cp Bagian tengah
Fr Julur menjari
Untuk landform tidak datar pemisahan atas dasar letak/posisi mencakup juga:
if Punggung antara aliran
cr Bagian puncak (crest/summit)
sl Bagian lereng: atas (us); tengah (ms); bawah (ls); kaki (fs)
ds Lereng pemiringan
sc Gawir

Suwardji & J. Priyono


126

Suwardji & J. Priyono


127

BAB X
APLIKASI GEOMORFOLOGI

Tujuan Instruksional Khusus


Setelah selesai mengikuti kuliah bab ini, diharapkan mahasiswa mengetahui tentang
garis besar penerapan konsep geomorfologi dalam berbagai bidang

Prinsip geomorfologi telah diterapkan dalam berbagai bidang, setidak-


nya sebagai salah satu aspek penting yang perlu dipertimbangkan, terutama
dalam perencanaan pengelolaan sumberdaya alam yang meliputi sumber-
daya lahan, air, flora, dan fauna, serta energi. Selain itu, geomorfologi juga
diterapkan dalam perencanaan konstruksi bangunan teknik sivil (misalnya
jalan raya, jembatan, dan bendungan), pengembangan objek wisata, moni-
toring bencana alam, dan pelestarian lingkungan hidup.
Sesuai dengan ruang lingkup buku ini, maka telah banyak disinggung
dalam bab sebelumnya mengenai aplikasi konsep dasar geomorfologi dalam
bidang survai dan pemetaan tanah, karena proses geomorfik merupakan fak-
tor sangat penting yang mempengaruhi pembentukan dan perkembangan
(genesa) tanah. Oleh sebab itu, batas unit geomorfik (bentang lahan) umum-
nya sejajar atau saling tindih dengan batas satuan unit lahan. Adanya kore-
lasi yang erat antara unit bentang lahan dengan unit tanah atau lahan terse-
but, maka pemahaman tentang geomorfologi sangat membantu memperlan-
car pekerjaan survai dan pemetaan tanah.
Geomorfologi telah diterapkan pula dalam bidang hidrologi dan peng-
airan. Sampai batas tertentu, potensi dan keberadaan sumber air, baik sum-
ber air permukaan maupun air tanah dalam, serta debit dan arah aliran, da-
pat diidentifikasi melalui interpretasi bentuk permukaan bumi (bentang la-
han). Pemilihan posisi bendung, embung, dan jaringan irigasi sangat diten-
tukan oleh kondisi bentang lahan yang ada.
Dalam perencaan pembuatan jalan, jembatan, dan berbagai macam ba-
ngunan teknik sivil, aspek lereng dan struktur geologi menjadi faktor utama

Suwardji & J. Priyono


128

yang sangat diperhatikan, karena hal tersebut berkaitan dengan faktor kese-
lamatan bangunan itu sendiri dan utamanya bagi pengguna sarana tersebut.
Banyak bentukan alam yang unik dan dihasilkan oleh proses geomorfik,
misalnya kawasan pantai, pegunungan, dan karst (gua), menjadi daya tarik
wisatan. Hal itu menunjukan bahwa geomorfologi telah diterapkan pula da-
lam pengembangan daerah wisata.
Dalam dua dasa warsa terakhir, banyak perhatian dicurahkan pada as-
pek penanganan masalah degradasi lingkungan. Misalnya, proses erosi yang
dipercepat, tanah longsor, intrusi air laut, dan deflesi keaneka-ragaman bio-
ta. Dalam hal itu, aspek bentang lahan (geomorfologi) telah menjadi salah
satu faktor yang sangat penting untuk dipertimbangkan dalam perencanaan
penanganan dan monitoring masalah tersebut.

Suwardji & J. Priyono


129

DAFTAR PUSTAKA

Atkinson, T.C. (1977). Diffuse flow and conduit flow in limestone terrain in
the Medip Hill, Great Britain. Journal Hydrology ,Vol. 35.
Birkeland, P. (1984). Soil and Geomorphology. Oxford University Press.
New York.
Bonnaci, O. (1997). Role of speleology in karst hydrology and
hydrogeology. p. 27-30, Proceeding 12 th International Conggress
of Speleology.
Cooke, R.U. dan Doornkamp, J.C. (1978). Geomorphology in Environmntal
Management. Clarendon Press. Oxford.
Daniels, R.B. dan Hammer, R.D. (1992). Soil Geomorphology. John Willey
and Soons, INC.
Dep. Kimpraswil (2006). Informasi umum tentang rawa pasang surut
di Indonesia (www.kimpraswil.co.id)
Dessaunettes, J.R. (1977). Cataloque of Landforms for Indonesia. Prepared
for the Land Capability Appraisal Project at the Soil and Research
Institute Bogor, Indonesia.
Euroconsult (1994). Second Land Resource Evaluation and Planning Pro-
ject. Part C, Strengthening Soil Resources Mapping. CSAR. Bogor.
FAO (1984). Guidelines: Land Evaluation For Rainfed Agriculture. FAO
Soil Bulletin 52. Rome, Italy.
Gerrard, J. (1989). Soil Geomorphology. Champan & Hall. London.
IUCN (1997). Guideline for Cave and Kars Protection. Glend, Switzerland
and Cambrige UK.
Ko, KRT.(1997). Introduksi Kartospeleologi. Himpunan Kegiatan Speleo-
logi Indonesia.
Land Resources Department Department of Transmigration (1988). Physi-
cal Planning Programe For Transmigration (RePPProT). Jakarta
Lowes, D.D. dan Waltham, T. (1995). A dictionary of karst and caves. Bri-
tish Cave Research Association. Cave Studies Series Vol. 6.
London.
Monroe, G.H. (1970). A glossary of kars terminology. USGS Water Supply
paper 1899-K. US Government Printing Office. Washington
PUSPICS-UGM (1999). Geomorfologi. Bahan Kursus Singkat Untuk
Perencanaan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir. Fakultas
Geografi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Pidwirny, M. (2006). Fundamental of Physical Geography (A Review pre-
sented online in www.Physical Geography.net).

Suwardji & J. Priyono


130

Samodra, H. (1996). Aspek geologi batuan karbonat terhadap pencarian alur


sungai bawah tanah di daerah Wonosari dan Sekitarnya, Kabupaten
Gunungkidul, Yogyakarta. Laporan Penelitian Riset Unggulan Ter-
padu Menristek Jakarta.
Samodra, H. (2000). Nilai strategis kawasan kars di Indonesia. Lokakarya
Geowisata Kabupaten Lebak Jawa Barat. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi bekerjasama dengan Dinas Pertambangan
Provinsi Jawa Barat.
Samodra, H. (2001). Nilai strategis kawasan kars di Indonesia. Pengelolaan
dan Perlindungannya. Publikasi Khusus. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi. Badan Penelitian dan Pengembangan
Energi dan Sumberdaya Mineral. Departemen Energi dan Sumber-
daya Mineral. Bandung.
Sampurno (1990). Buku Kuliah Geomorfologi. Jurusan Geologi ITB, Ban-
dung.
Sampurno (1990). Buku Kuliah Geomorfologi. Jurusan Geologi ITB, Ban-
dung.
Thornbury, W. (1969). Principles of Geomorphology. Willey International
Edition. Second Edition.
Twidale, C.R. (1975). Analysis of Landforms. John Willey and Sons Aus-
tralia Pty Ltd.
USGS (2006). (www.education.usgs.gov).
USDG (2006). Volcano landforms. (www. geology.sdsu.edu/how_vol-
canoes_work/)
Verstappen, H.Th. (1979). Applied Geomorphology. I.T.C. Belgium.
Wilkipedia (2006). Encyclopedia online in (www.wilkipedia.org).
Yuan, D. (1983). Problems of environmental protection of karst area.
Annual Meeting of the AAAS, Detroit, Michingan.

Suwardji & J. Priyono


131

LAMPIRAN

Soal Latihan Sebagai Bahan Evaluasi Diri Hasil Belajar Mahasiswa

1. Jelaskan definisi dan ruang lingkup geomorfologi dan bagaimana


kaitannya geomorfologi dengan ilmu tanah.
2. Jelaskan konsep dasar berpikir seorang geomorfologis dalam
menginterpretasikan suatu bentang lahan.
3. Sebutkan dan jelaskan 3 dari 10 prinsip dasar dalam mempelajari
geomorfologi.
4. Jelaskan perbedaan faham uniformitarianisme vs katastrofisme
5. Gambarkan skema beserta penjelasannya masing-masing lapisan yang
menyusun kerak bumi.
6. Apa yang dimaksud dengan kosep isostasi? Jelaskan bagaimana
kaitannya dengan bentang lahan yang banyak terjadi erosi.
7. Jelaskan bagaimana proses tubrukan lempeng tektonik mempengaruhi
proses perkembangan bentang lahan.
8. Jelaskan apa perbedaan antara proses lipatan/angkatan (fold) vs sesar
(fault).
9. Jelaskan apa yang dimaksud dengan relief bumi.
10. Berdasarkan tingkat perkembangannya, relief bumi dibagi menjadi tiga
tahapan (order), jelaskan.
11. Sebutkan beberapa contoh bentang lahan yang termasuk order II dan
jelaskan cirri dan sifat utamanya.
12. Sebutkan bentang lahan di NTB yang perkembangannya termasuk pada
tahapan muda dan tahapan tua.
13. Jelaskan gaya/energi yang terlibat dalam proses geomorfik.
14. Sebutkan dan jelaskan 4 tipe bentang lahan berdasarkan sifat dan cirri
proses pembentukannya, serta berikan satu contoh untuk masing-
masing bentang lahan tersebut.
15. Jelaskan apa yang dimaksud dengan pelapukan fisik, kimia, dan
biologi, serta kharakteristik hasil dari pelapukan tersebut.

Suwardji & J. Priyono


132

16. Sebutkan factor apa saja yang mempengaruhi proses pelapukan batuan.
17. Jelaskan bagaimana proses terjadinya gerakan masa tanah atau batuan,
dan syarat kondisi yang bagaimana kemungkinan longsoran itu dapat
terjadi.
18. Apa yang dimaksud dengan bentang lahan fluvial? Jelaskan.
19. Sebutkan beberapa tipe bentang lahan fluvial dan contohnya di NTB.
20. Sebutkan ciri dari sungai pada tahap perkembangan muda dan tua.
21. Pola drainase dapat memberikan informasi tentang sifat bentang lahan.
22. Aktivitas gunung api mempunyai kaitan erat dengan pertanian/kesubur-
an tanah, jelaskan.
23. Jelaskan tiga tipe dan bentuk gunung api, serta cirri bahan erupsi yang
dikeluarkan.
24. Adakah hubungan antara morfologi gunung api dengan kesuburan tanah
disekitarnya? Jelaskan.
25. Jelaskan apa yang dimaksud dengan bentang lahan karst, dan bagaima-
na proses utama pembentukan bentang lahan karst.
26. Jelaskan beberapa sifat dan ciri penting bentang lahan karst.
27. Jelaskan apa arti penting daerah karst bagi aspek pertanian, hidrologi,
dan wisata.
28. Berdasarkan proses pembentukannya, tedapat 4 jenis pantai. Sebutkan
dan jelaskan proses pembentukannya.
29. Jelaskan persyaratan kondisi laut untuk dapat terbentuk terumbu
karang.
30. Jelaskan beberapa aspek penting daerah pasang surut kaitannya dengan
pengembangan pertanian di Indonesia.
31. Apa yang adan sudah ketahui dengan sistim klasifikasi bentang lahan
LREP, jelaskan.

Suwardji & J. Priyono


Geomorfologi & Analisis Bentang Lahan

DAFTAR PUSTAKA

Atkinson, T.C. (1977). Diffuse flow and conduit flow in limestone terrain in
the Medip Hill, Great Britain. Journal Hydrology ,Vol. 35.
Birkeland, P. (1984). Soil and Geomorphology. Oxford University Press.
New York.
Bonnaci, O. (1997). Role of speleology in karst hydrology and
hydrogeology. p. 27-30, Proceeding 12 th International Conggress
of Speleology.
Cooke, R.U. dan Doornkamp, J.C. (1978). Geomorphology in Environmntal
Management. Clarendon Press. Oxford.
Daniels, R.B. dan Hammer, R.D. (1992). Soil Geomorphology. John Willey
and Soons, INC.
Dessaunettes, J.R. (1977). Cataloque of Landforms for Indonesia. Prepared
for the Land Capability Appraisal Project at the Soil and Research
Institute Bogor, Indonesia
Euroconsult (1994). Second Land Resource Evaluation and Planning Pro-
ject. Part C, Strengthening Soil Resources Mapping. CSAR. Bogor.
FAO (1984). Guidelines: Land Evaluation For Rainfed Agriculture. FAO
Soil Bulletin 52. Rome, Italy.
Gerrard, J. (1989). Soil Geomorphology. Champan & Hall. London.
IUCN (1997). Guideline for Cave and Kars Protection. Glend, Switzerland
and Cambrige UK.
Ko, KRT.(1997). Introduksi Kartospeleologi. Himpunan Kegiatan Speleo-
logi Indonesia.
Land Resources Department Department of Transmigration (1988). Physi-
cal Planning Programe For Transmigration (RePPProT). Jakarta
Lowes, D.D. dan Waltham, T. (1995). A dictionary of karst and caves. Bri-
tish Cave Research Association. Cave Studies Series Vol. 6.
London.
Monroe, G.H. (1970). A glossary of kars terminology. USGS Water Supply
paper 1899-K. US Government Printing Office. Washington
PUSPICS-UGM (1999). Geomorfologi. Bahan Kursus Singkat Untuk
Perencanaan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir. Fakultas
Geografi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Pidwirny, M. (2006). Fundamental of Physical Geography (A Review pre-
sented online in www.Physical Geography.net).

Suwardji & J. Priyono


Geomorfologi & Analisis Bentang Lahan

Samodra, H. (1996). Aspek geologi batuan karbonat terhadap pencarian alur


sungai bawah tanah di daerah Wonosari dan Sekitarnya, Kabupaten
Gunungkidul, Yogyakarta. Laporan Penelitian Riset Unggulan Ter-
padu Menristek Jakarta.
Samodra, H. (2000). Nilai strategis kawasan kars di Indonesia. Lokakarya
Geowisata Kabupaten Lebak Jawa Barat. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi bekerjasama dengan Dinas Pertambangan
Provinsi Jawa Barat.
Samodra, H. (2001). Nilai strategis kawasan kars di Indonesia. Pengelolaan
dan Perlindungannya. Publikasi Khusus. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi. Badan Penelitian dan Pengembangan
Energi dan Sumberdaya Mineral. Departemen Energi dan Sumber-
daya Mineral. Bandung.
Sampurno (1990). Buku Kuliah Geomorfologi. Jurusan Geologi ITB, Ban-
dung.
Sampurno (1990). Buku Kuliah Geomorfologi. Jurusan Geologi ITB, Ban-
dung.
Thornbury, W. (1969). Principles of Geomorphology. Willey International
Edition. Second Edition.
Twidale, C.R. (1975). Analysis of Landforms. John Willey and Sons Aus-
tralia Pty Ltd.
USGS (2006). (www.education.usgs.gov).
Verstappen, H.Th. (1979). Applied Geomorphology. I.T.C. Belgium.
Wilkipedia (2006). Encyclopedia online in (www.wilkipedia.com).
Yuan, D. (1983). Problems of environmental protection of karst area.
Annual Meeting of the AAAS, Detroit, Michingan.

Suwardji & J. Priyono

Anda mungkin juga menyukai